• Tidak ada hasil yang ditemukan

Substansi pektat dihitung berdasarkan metode kolorimetrik McCready dan McComb (1952) yang telah dimodifikasi oleh Blumenkrantz dan Asboe-Hansen (1973). Anhidrouronat yang diperoleh

18

 

dari hidrolisis terhadap substansi pektat dengan diberi orto-hidroksidifenil akan menghasilkan warna yang dapat diukur pada panjang gelombang 520 nm. Sampel kering kolesom ditimbang sebanyak 0,1 g, diekstrak dengan etanol 70% 10 ml. Larutan disaring dan endapan diambil, ditambahkan 10 ml reagen versen (larutan Na-EDTA 0,5%). Larutan sampel diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang untuk melarutkan substansi pektat. Larutan diasamkan sampai pH 3,3-5,5 menggunakan asam asetat, selanjutnya ditambahkan 0,05 ml viscozyme (V2010) yang mengandung pektinase, silanase, arabinase, selulase, hemiselulase dan β-glukanase. Larutan diinkubasi pada suhu 25 ºC selama 60 menit. Volume campuran ditepatkan sampai 25 ml dengan aquades, kemudian disaring dan diperoleh filtrat. Filtrat dipipet 0,8 ml, kemudian ditambahkan 4,8 ml larutan tetraborat dalam asam sulfat pekat (0,0125 M larutan Na2B4O7 dalam asam sulfat pekat). Larutan sampel didinginkan pada penangas es sampai suhu 4 ºC, dan divortek. Sampel dipanaskan dalam penagas air 100 ºC selama 5 menit, didinginkan kembali dalam penangas es sampai suhu 20 ºC. Sampel kemudian ditambahkan 0,08 ml larutan o- hidroksidifenil (0,075 g o-hidroksidifenil dilarutkan dalam NaOH 0,5%) dan divortek. Sampel dibiarkan selama ± 5 menit sampai terbentuk warna yang sempurna. Sampel diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Blanko dibuat dengan memipet 0,8 ml aquades diperlakukan sama seperti sampel tetapi tidak ditambahkan o-hidroksidifenil.

Standar asam galakturonat ditimbang sebanyak 24,1 mg, ditambahkan 2 ml NaOH 0,05 N, diencerkan hingga volume 100 ml dengan akuades. Larutan standar dibiarkan semalam pada suhu kamar. Setiap ml larutan standar mengandung 24,1 mg/L asam galakturonat. Kurva standar dibuat dengan mengencerkan larutan standar menggunakan aquades. Standar dipipet 0,8 ml dan direaksikan sama seperti pada sampel. Perhitungan kadar substansi pektat dengan persamaan regresi y = ax + b. Kadar substansi pektat (% bk) = konsentrasi (mg/L) x volume akhir (ml) x 1 L/1000 ml x 100% berat sampel (gram bk)

4.

Analisis Data

Data analisis kimia dianalisis menggunakan statistik ANOVA untuk melihat perbedaan antar tiap sampel, dan statistik uji t untuk melihat perbedaan antarbudidaya.

5.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Pengujian dilakukan dengan menggunakan model matematika:

Yij = μ + τi + βj + εij Keterangan:

i = 1, 2, 3, …, 6 j = 1, 2, 3, …, r

Yij = pengamatan pada perlakuan kelompok ke-i dan kelompok ke-j

μ = rataan umum

τi = pengaruh perlakuan (organik/anorganik)

βj = pengaruh kelompok ke-j

εij = pengaruh acak perlakuan ke-I dan kelompok ke-j Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut:

H0: τ1 = … = τr = 0 (perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati) H1: paling sedikit ada satu i di mana τi ≠ 0

Pengaruh pengelompokan:

H0: β1 = … = βr = 0 (kelompok tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati) H1: paling sedikit ada satu j di mana βj ≠ 0

19

 

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

Hasil Budidaya dengan Pemupukan Organik dan Anorganik Tanaman

Kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd

Secara visual tampak bahwa tanaman kolesom hasil budidaya dengan pemupukan secara anorganik lebih subur dan lebih baik pertumbuhannya dibandingkan dengan tanaman kolesom hasil budidaya dengan pemupukan secara organik. Daun kolesom budidaya dengan pemupukan anorganik tampak memiliki lebih banyak cabang dan daun. Selain itu, daun kolesom budidaya dengan pemupukan anorganik tampak relatif lebih tebal. Hasil budidaya tanaman kolesom organik dan anorganik terlihat pada gambar 7:

a b c d e

f g h i j

Gambar 8. Tanaman kolesom budidaya dengan pemupukan organik (a-e), dan anorganik (f-j)

B.

Analisis Kadar Serat Pangan Sayuran Kolesom

Analisis kadar serat pangan total (TDF), serat pangan tidak larut (IDF), dan substansi pektat dilakukan terhadap sampel yang telah dikeringkan. Sedangkan analisis data dilakukan untuk menghitung TDF dan IDF terkoreksi, serta kadar SDF dan substansi pektat dalam bobot segar dan basis kering.

1. Kadar Serat Pangan Sampel Segar

Sampel segar daun kolesom menunjukkan rata-rata hasil analisis kadar TDF sampel budidaya dengan pemupukan organik (6,01 g/100g sampel segar) lebih rendah daripada rata-rata hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan anorganik (6,46 g/100g sampel segar). Hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan organik menunjukkan bahwa sampel organik 1 memiliki kadar TDF paling rendah dalam sampel segar, sedangkan sampel organik 3 memiliki kadar TDF paling tinggi dalam sampel segar. Sementara itu, hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan anorganik menunjukkan hasil sebaliknya, yaitu sampel anorganik 3 memiliki kadar TDF paling tinggi dalam sampel segar, sementara sampel anorganik 1 memiliki kadar TDF paling rendah dalam sampel segar.

Rata-rata hasil analisis IDF sampel budidaya dengan pemupukan organik (5,48 g/100 g sampel segar) lebih rendah dibandingkan rata-rata hasil analisis IDF sampel budidaya dengan pemupukan anorganik (5,89 g/100 g sampel segar). Hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan organik menunjukkan bahwa sampel organik 1 memiliki kadar IDF paling rendah dalam sampel segar, sedangkan sampel organik 4 memiliki kadar IDF paling tinggi dalam sampel segar. Sementara itu, hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan anorganik menunjukkan sampel

20

 

anorganik 5 memiliki kadar IDF paling tinggi dalam sampel segar, sementara sampel anorganik 2 memiliki kadar IDF paling rendah dalam sampel segar.

  a     b     c Keterangan:

Gambar 9. Histogram analisis sampel segar TDF (a), IDF (b), dan SDF (c)

Data SDF bobot basah sampel segar diperoleh dari pengurangan nilai TDF bobot basah sampel segar terhadap nilai IDF bobot basah sampel segar. Rata-rata hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan organik (0,52 g/100 g sampel segar) lebih rendah daripada rata-rata hasil analisis

Kode organik N (kg/ha) P (kg/ha) K (kg/ha) Kode anorganik N (kg/ha) P (kg/ha) K (kg/ha)

1 22,82 7,88 29,70 1 23 7,2 30

2 34,42 15,77 45,10 2 34,5 14,4 45

3 46,01 23,65 60,50 3 46 21,6 60

4 57,61 31,54 74,80 4 57,5 28,8 75

21

 

sampel budidaya dengan pemupukan anorganik (0,57 g/100 g sampel segar). Hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan organik menunjukkan bahwa sampel organik 1 memiliki kadar SDF paling rendah dalam sampel segar, sedangkan sampel organik 3 memiliki kadar SDF paling tinggi dalam sampel segar. Sementara itu, hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan anorganik menunjukkan hasil sebaliknya, yaitu sampel anorganik 5 memiliki kadar SDF paling tinggi dalam sampel segar, sementara sampel anorganik 2 memiliki kadar SDF paling rendah dalam sampel segar. Hasil ini serupa hasil analisis IDF berdasarkan bobot segar sampel.

2. Kadar Serat Pangan Basis Kering

Hasil analisis TDF kolesom basis kering pun menunjukkan rata-rata kadar TDF sampel kolesom budidaya dengan pemupukan organik (77,78 g/100 g bk) lebih rendah daripada rata-rata TDF sampel kolesom budidaya dengan pemupukan anorganik (85,54 g/100 g bk). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada perlakuan dengan dosis pupuk yang sama menghasilkan kadar TDF yang berbeda pada budidaya dengan pemupukan organik dan budidaya dengan pemupukan anorganik dengan hasil dari budidaya dengan pemupukan anorganik lebih tinggi dibandingkan hasil budidaya dengan pemupukan organik. Bahkan terdapat perbedaan yang sangat tajam antara perlakuan 1 sampel budidaya dengan pemupukan organik yang memiliki kadar TDF 62,73 g/100 g bk dengan perlakuan 1 sampel budidaya dengan pemupukan organik yang memiliki kadar TDF 89,09 g/100 g bk. Uji t yang dilakukan untuk melihat perbedaan kadar TDF menunjukkan bahwa kedua jenis budidaya memiliki nilai p 0,026. Taraf error (α) yang digunakan pada analisis ini adalah 0,5. Artinya, terdapat perbedaan nyata antara hasil analisis TDF sampel budidaya dengan pemupukan organik dan analisis TDF sampel budidaya dengan pemupukan anorganik.

Hasil analisis IDF sampel daun kolesom basis kering menunjukkan rata-rata kadar IDF sampel kolesom dengan pemupukan organik (70,95 g/100 g bk) lebih rendah daripada rata-rata kadar IDF sampel kolesom dengan pemupukan anorganik (77,94 g/100 g bk). Sama seperti hasil analisis TDF, hasil analisis IDF juga menunjukkan bahwa sampel budidaya dengan pemupukan anorganik menghasilkan IDF lebih tinggi dibandingkan sampel budidaya dengan pemupukan organik pada perlakuan dengan dosis pupuk yang sama. Terdapat pula perbedaan nyata pada setiap perlakuan budidaya dengan pemupukan organik dan anorganik, kecuali pada perlakuan 3. Uji t yang dilakukan untuk melihat perbedaan kadar IDF menunjukkan bahwa kedua jenis budidaya memiliki nilai p 0,022. Nilai (α) yang digunakan pada analisis ini adalah 0,5. Artinya, terdapat perbedaan nyata antara hasil analisis IDF sampel budidaya dengan pemupukan organik dengan analisis IDF sampel budidaya dengan pemupukan anorganik.

Perhitungan kadar SDF sampel basis kering juga dilakukan dengan mengurangkan hasil analisis TDF dengan IDF untuk tiap-tiap sampel (by difference). Rata-rata nilai SDF diperoleh dari rata-rata hasil pengurangan yang dilakukan untuk tiap perlakuan. Rata-rata kadar SDF sampel kolesom budidaya dengan pemupukan organik (6,83 g/100 g bk) lebih rendah daripada rata-rata kadar SDF sampel kolesom budidaya dengan pemupukan anorganik (7,60 g/100 g bk). Sama seperti hasil analisis TDF dan IDF, hasil analisis SDF juga menunjukkan bahwa sampel budidaya dengan pemupukan anorganik menghasilkan SDF lebih tinggi dibandingkan sampel budidaya dengan pemupukan organik pada perlakuan yang sama. Uji t yang dilakukan untuk melihat perbedaan kadar SDF menunjukkan bahwa kedua jenis budidaya memiliki nilai p 0,215. Nilai (α) yang digunakan pada analisis ini adalah 0,5. Artinya, terdapat perbedaan nyata antara hasil analisis SDF sampel budidaya organik dengan analisis SDF sampel budidaya anorganik.

22   a   b   c Keterangan:

a-h : nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda pada tiap batang menunjukkan hasil analisis rata-rata SDF berbeda nyata

antar sampel (nilai p < 0,05)

** : nilai rata-rata analisis SDF berbeda nyata untuk dua jenis perlakuan (nilai p < 0,05)

Gambar 10. Histogram analisis basis kering TDF (a), IDF (b), dan SDF (c)

Kode organik N (kg/ha) P (kg/ha) K (kg/ha) Kode anorganik N (kg/ha) P (kg/ha) K (kg/ha)

1 22,82 7,88 29,70 1 23 7,2 30

2 34,42 15,77 45,10 2 34,5 14,4 45

3 46,01 23,65 60,50 3 46 21,6 60

4 57,61 31,54 74,80 4 57,5 28,8 75

23

 

3. Kadar Substansi Pektat

Rata-rata hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan organik (0,35 g/100 g sampel segar) lebih rendah daripada rata-rata hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan anorganik (0,40 g/100 g sampel segar). Hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan organik menunjukkan bahwa sampel organik 1 memiliki kadar substansi pektat paling rendah dalam sampel segar, sedangkan sampel organik 4 memiliki kadar substansi pektat paling tinggi dalam sampel segar. Sementara itu, hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan anorganik menunjukkan sampel anorganik 5 memiliki kadar substansi pektat paling tinggi dalam sampel segar, sementara sampel anorganik 4 memiliki kadar substansi pektat paling rendah dalam sampel segar.

Rata-rata kadar substansi pektat basis kering untuk sampel kolesom budidaya dengan pemupukan organik (3,64 g/100 g bk) lebih rendah daripada rata-rata kadar substansi pektat sampel kolesom budidaya dengan pemupukan anorganik (4,27 g/100 g bk bk). Uji t yang dilakukan untuk melihat perbedaan kadar substansi pektat menunjukkan bahwa kedua jenis budidaya memiliki nilai p sebesar 0,781. Nilai (α) yang digunakan pada analisis ini adalah 0,5. Artinya, tidak terdapat perbedaan nyata antara hasil analisis substansi pektat sampel budidaya organik dengan analisis substansi pektat sampel budidaya anorganik.

a

b Keterangan:

a-h : nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda pada tiap batang menunjukkan hasil analisis rata-rata substansi pektat

berbeda nyata antar sampel (nilai p < 0,05)

* : nilai rata-rata analisis substansi pektat tidak berbeda nyata untuk dua jenis perlakuan (nilai p > 0,05)

Gambar 11. Histogram analisis substansi pektat sampel segar (a), dan basis kering (b) Kode organik N (kg/ha) P (kg/ha) K (kg/ha) Kode anorganik N (kg/ha) P (kg/ha) K (kg/ha)

1 22,82 7,88 29,70 1 23 7,2 30

2 34,42 15,77 45,10 2 34,5 14,4 45

3 46,01 23,65 60,50 3 46 21,6 60

4 57,61 31,54 74,80 4 57,5 28,8 75

24

 

C.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kadar Serat Pangan

Terjadinya perbedaan kadar serat pangan disebabkan perbedaan komposisi kimia dan sifat fisik sayuran. Sedangkan komposisi kimia dan sifat fisik tersebut dipengaruhi oleh spesies, kematangan (umur panen), bagian tanaman, dan perlakuan pada sampel sayuran tersebut (Anderson dan Clydesdale 1980). Kadar IDF sebagian besar dipengaruhi oleh kandungan selulosa, hemiselulosa, dan lignin di dalam dinding sel tanaman, sedangkan kadar SDF sebagian besar dipengaruhi oleh kandungan pektin. Komponen selulosa menempati sekitar 40-45% bagian dinding sel tanaman berkayu maupun bertangkai, komponen lignin menempati sekitar 40% bagian dinding sel tanaman, selebihnya merupakan komponen hemiselulosa dan pektin (Sjostrom 1995, Fengel dan Wegener 1995). Hal ini menyebabkan kadar IDF di dalam sayuran yang dimakan beserta tangkainya lebih besar dibandingkan kadar SDF di dalamnya.

 

Gambar 17. Struktur dinding sel tanaman (IPPA 2002)

Besarnya kadar IDF ini merupakan keunggulan sayuran kolesom sebab konsumsi serat sebesar 13 g/hari dapat menurunkan resiko timbulnya kanker kolon (Howe 1992). Kemampuan serat pangan dalam menurunkan resiko penyakit kanker kolon ini berkaitan erat dengan sifat IDF yang mampu menurunkan waktu transit makanan di dalam usus dan memperbesar volum feses (Southgate dan Penson 1983). Selain itu, kadar IDF di dalam daun kolesom juga lebih tinggi dibandingkan kadar IDF dari berbagai jenis sayuran dan kacang-kacangan yang sudah diketahui nilainya.

Rata-rata TDF dan IDF kolesom, baik yang mengalami perlakuan secara organik maupun anorganik, menunjukkan angka yang tinggi. Penelitian ini menunjukkan daun kolesom mengandung 6-6,5 gram TDF di dalam 100 gram kolesom segar. Artinya untuk memenuhi kecukupan serat sebesar 28-30 g/hari, manusia perlu memakan sekitar 400 gram kolesom segar. Atau dengan kata lain, konsumsi 100 gram kolesom per hari mampu mencukupi hampir 25% kebutuhan serat harian manusia. Konsumsi daun kolesom yang disarankan adalah sebesar 200-250 gram atau dua cangkir per hari. Porsi ini dapat memenuhi sekitar 50% kebutuhan serat harian. Untuk mencapai 100% pemenuhan kebutuhan serat harian, perlu dikombinasikan dengan bahan pangan lain yang juga tinggi kadar serat pangannya.

Kadar TDF dan IDF sayuran kolesom lebih tinggi dibandingan dengan berbagai jenis sayuran dan kacang-kacangan. Menurut Giese (1973), daun memiliki jaringan parenkim yang membentuk lapisan sel palisade pada permukaan daun. Pada daun juga terdapat tangkai yang merupakan jaringan meristematis yang selalu membelah dan terkomposisi sebagai jaringan yang sangat muda. Kedua jaringan ini memiliki sel-sel yang tipis dan tidak terlignifikasi. Hal ini menyebabkan sayuran daun seperti kolesom memiliki kadar serat pangan yang lebih tinggi daripada jenis sayuran lain sebab sayuran daun tidak hanya dimakan daunnya tetapi juga sebagian tangkainya yang masih muda sebagai

25

 

Tabel 4. Kadar serat pangan pada beberapa jenis sayuran dan kacang-kacangan

Jenis sayuran Nama latin Metode Serat Pangan (g/100 g basis kering)

TDF IDF SDF Kacang tanaha Arachis hypogaea L. Asp, 1995 10,91 ± 2,84 9,63 ± 2,50 1,18 ± 0,24 Kacang polongb Pisum sativum Asp, 1983 13,17 ± 1,64 11,31 ± 1,51 1,86 ± 0,86 Wortelc Daucus carota L. AOAC, 1990 26,78 ± 1,13 10,46 ± 1,26 16,32 ± 4,79 Tomat hijaud Solanum

lycopersicum Asp, 1983 32,84 ± 0,23 25,22 ± 0,47 7,62 ± 0,24

Genjerd Limnocharis flava Asp, 1983 39,38 ± 1,29 31,74 ± 0,94 7,62 ± 0,35 Kacang kedelai 1e Glycine max (L.) Asp, 1992 35,22 ± 0,23 30, 43 ± 0,25 4,36 ± 0,04 Daun jambu

meted

Anacardium

occidentale L. Asp, 1983 45,64 ± 1,29 39,98 ± 0,20 5,66 ± 1,09 Daun ubi jalard Ipomoea batatas Asp, 1983 46,66 ± 1,41 39,82 ± 0,28 6,82 ± 0,56

Pariad Momordica

charantia Asp, 1983 49,34 ± 1,09 42,96 ± 0,35 6,38 ± 0,42 Kemangid Ocinum bassilicum

ferina citratum Asp, 1983 50,63 ± 0,89 43,51 ± 2,00 7,12 ± 1,11

Daun singkongd Manihot utilissima Asp, 1983 52,26 ± 2,72 43,03 ± 2,74 9,23 ± 0,01 Daun melinjod Gnetum gnemon Asp, 1983 57,45 ± 0,16 48,69 ± 0,25 876 ± 0,09 Daun pepayad Carica papaya Asp, 1983 57,46 ± 2,26 48,75 ± 0,35 8,71 ± 0,49 Kacang kedelai 2e Glycine max (L.) AOAC, 1999 59,42 ± 0,10 57,65 ± 0,23 1,31 ± 0,02 Pakisd Cycas rumphii Asp, 1983 60,97 ± 0,52 53,64 ± 0,81 7,33 ± 0,25 Poh-pohand Pilea trinervia Asp, 1983 67,03 ± 0,44 57,04 ± 0,25 9,99 ± 0,15 Beluntasd Pluchea indica Asp, 1983 70,26 ± 1,06 67,29 ± 1,09 2,97 ± 0,03 Daun kolesom

organic

Talinum triangulare

(Jacq.) Willd AOAC, 1999 77,78 ± 8,32 70,95 ± 8,47 6,83 ± 0,46

Daun kolesom anorganik

Talinum triangulare

(Jacq.) Willd AOAC, 1999 85,54 ± 3,22 77,94 ± 3,08 7,60 ± 0,64

a

Kutoz et al. (2003) b

Stoughton-Ens et al. (2009) c

Englyst dan Hudson (1996) d

Desminarti (2001) e

Jelita (2011)

Faktor lain yang menyebabkan munculnya angka yang tinggi hasil analisis serat pangan pada sayuran daun kolesom adalah karena perbedaan metode analisis yang digunakan. Beberapa sayuran dianalisis kadar serat pangannya menggunakan metode AOAC, sementara beberapa sayuran yang lain menggunakan metode Asp. Perbedaan hasil analisis serat pangan dengan kedua metode terlihat pada kacang kedelai. Kacang kedelai yang dianalisis serat pangannya menggunakan metode Asp menunjukan hasil kadar TDF sebesar 35,22%, sementara kacang kedelai yang dianalisis menggunakan metode AOAC menunjukkan hasil kadar TDF sebesar 59,42%. Perbedaan keduanya hampir 20%.

Perbedaan metode analisis serat pangan AOAC dan Asp terletak pada enzim yang digunakan. Enzim yang digunakan pada metode AOAC untuk menghidrolisis pati ialah amiloglukosidase, sementara pada metode Asp digunakan enzim pankreatin (Uhlig 1998). Selain enzim yang digunakan untuk menghidrolisis pati, perbedaan lainnya antara metode AOAC dan metode Asp ialah penggunaan enzim untuk menghidrolisis protein. Metode AOAC menggunakan enzim protease, sementara metode Asp menggunakan enzim fisiologis, yaitu pepsin dan pakreatin (Asp 2001). Pendekatan yang

26

 

digunakan pada metode AOAC adalah penghilangan semua komponen pangan selain serat pangan sehingga yang terhitung sebagai residu hanya serat pangan, sementara metode Asp dilakukan seperti yang terjadi di dalam tubuh manusia. Penggunaan enzim pada metode Asp ini didasarkan pada definisi serat pangan sebagai komponen yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia (Trowell 1974). Metode Asp menghasilkan angka yang lebih kecil sebab hidrolisis protein terjadi dua kali, yaitu saat menggunakan enzim pankreatin dan pepsin. Sayuran dan kacang-kacangan pada tabel di atas yang dianalisis menggunakan metode AOAC hanya kacang polong, wortel, kacang kedelai 2, daun kolesom, selebihnya menggunakan metode Asp. Sayuran daun yang dianalisis menggunakan metode AOAC hanya kolesom. Oleh karena itu hasil analisis serat pangan sampel kolesom lebih tinggi dibandingkan sayuran daun lainnya.

Selain mengandung TDF dan IDF dalam kadar yang tinggi, daun kolesom juga menunjukkan kadar SDF yang lebih tinggi dibandingkan dengan kadar SDF pada berbagai jenis sayuran dan kacang-kacangan di atas. Kadar SDF pada daun kolesom organik lebih tinggi dibandingkan kadar SDF pada kacang tanah, kacang polong, daun jambu mete, kacang kedelai 2, daun ubi jalar, paria, dan beluntas. Sedangkan kadar SDF pada daun kolesom anorganik lebih tinggi dibandingkan kacang tanah, kacang polong, daun jambu mete, kacang kedelai 2, daun ubi jalar, kemangi, paria, pakis, dan beluntas. Kadar SDF kolesom tampak jauh lebih rendah dari kadar SDF wortel. Hal ini dikarenakan kolesom merupakan sayuran daun yang dimakan beserta bagian batangnya yang masih muda. Namun demikian, SDF kolesom memiliki kelebihan dilihat dari besarnya kadar substansi pektin.

Tabel 5. Kadar pektin pada beberapa jenis buah dan sayuran dengan metode kolorimetrik

Sumber Nama Latin

Kadar pektin dalam bentuk asam anhidro galakturonat (g/100g

basis kering)

Rujukan

Lengkeng Dimocarpus longan 0,34 Voragen et al. (1983)

Rasberi Rubus idaeus 0,34 Voragen et al. (1983)

Kolesom anorganik Talinum triangulare

(Jacq.) Willd 0,35  

Kolesom anorganik Talinum triangulare

(Jacq.) Willd 0,40  

Apel Pyrus malus 0,39-0,49 Ross et al. (1985)

Kacang-kacangan Legumoniceae 0,43-0,63 Ross et al. (1985)

Jeruk orange Citrus sinensis 0,57 Ross et al. (1985)

Ubi jalar Ipomoea batatas 0,61

Vollendorf dan Marlett (1993)

Jeruk lemon Citrus limon 0,63 Vollendorf dan Marlett

(1993)

Grapefruit Citrus x paradise 0,65 Graumlich (1981)

Anggur Vitis vinifera 0,7-0,8 Morrison (1990)

Wortel Daucus carota L. 0,72-1,01 Ross et al. (1985)

*

27

 

Kadar pektin di dalam kolesom lebih rendah dibandingkan dengan kadar pektin pada berbagai jenis buah dan sayur, kecuali lengkeng dan rasberi. Namun, diperkirakan kadar pektin pada kolesom akan lebih tinggi jika hanya dihitung berdasarkan basis bobot daun saja, bukan bobot edible portion. Sebab, edible portion sayuran kolesom terdiri atas daun dan tangkai yang masih muda. Rendahnya kadar pektin pada sayuran kolesom dibandingkan berbagai buah dan sayuran di atas disebabkan karena protopektin di dalamnya tidak banyak diubah menjadi pektin seperti yang terjadi pada sebagian besar buah-buahan maupun sayuran dengan kadar gula yang mengalami pematangan. Proses pengubahan protopektin menjadi pektin terjadi pada saat buah-buahan dan sebagian sayuran mengalami pematangan sehingga terasa lebih manis dan empuk ketika dikonsumsi (Bartley 1982). Namun sayuran daun kolesom tidak perlu mengalami pematangan pada saat dikonsumsi, sehingga kandungan protopektinnya lebih tinggi dibandingkan kandungan pektinnya. Protopektin tidak larut dalam etanol sehingga tidak dapat lolos ketika dilakukan penyaringan pada metode analisis yang digunakan (Stasse-Wolthuis 1980).

Namun demikian kandungan pektin di dalam kolesom sebesar 0,35-0,40 g/100 g ini cukup besar dan memiliki manfaat fungsional untuk kesehatan manusia. Kemampuan pektin ini dibuktikan oleh penelitian Baker (1994) yang menyatakan bahwa pektin sebesar 0,23 g/100 g dari kulit buah jeruk orange yang dicampurkan ke dalam ransum dapat menurunkan kadar LDL tikus percobaan hingga 5% serta menurunkan respon glukosanya.

D. Pengaruh Pemupukan terhadap Biosintesis Karbohidrat

Berdasarkan keseluruhan hasil analisis serat pangan dan substansi pektat di atas, dapat dilihat bahwa hasil budidaya dengan pemupukan anorganik lebih baik dibandingkan hasil budidaya dengan pemupukan organik meskipun dengan perlakuan yang sama. Hal ini terjadi karena kandungan pupuk anorganik yang sudah dalam bentuk ion-ion yang mudah larut sehingga lebih mudah diserap oleh tanaman sehingga unsur-unsur tersebut lebih mudah digunakan di dalam proses fotosintesis (Lingga dan Marsono 2007, Hasibuan 2006). Sementara itu, pupuk organik membutuhkan waktu lebih lama untuk diserap tanaman sebab kandungan di dalamnya masih berupa senyawa organik kompleks yang perlu didekomposisi terlebih dahulu sebelum dapat digunakan oleh tanaman. Oleh karena itu umumnya tanaman yang dibudidayakan menggunakan pupuk organik membutuhkan waktu panen sekitar 2-3 minggu lebih lama sebelum dapat dipanen (Lingga dan Marsono 2007). Hal ini merupakan faktor yang mempengaruhi efisisensi budidaya, dalam hal ini berarti pemupukan anorganik lebih efisien dibandingkan dengan pemupukan organik. Bahkan jika dikonversi menjadi keuntungan ekonomi, hasil pemupukan anorganik lebih tinggi dibandingkan hasil pemupukan organik sebab selain harga pupuknya lebih murah (untuk dosis yang sama), waktu pembudidayaan yang lebih singkat juga dapat menghemat biaya perawatan tanaman. Namun prospek keunggulan budidaya dengan pemupukan organik selalu perlu dikaji untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitasnya, mengingat sistem budidaya ini sangat mendukung program pertanian berkelanjutan.

Masing-masing unsur N, P, dan K dominan dalam pemupukan. Unsur N berperan dalam kemampuan tanaman berfotosintesis, sehingga secara langsung unsur ini mempengaruhi pembentukan komponen karbohidrat (Leiwakabessy dan Sutandi 1998). Unsur P juga memiliki fungsi penting pada tanaman untuk penyimpanan dan transfer energi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) dan adenosin difosfat (ADP). Penggunaan dan pembentukan ATP serta ADP ini juga terjadi pada proses fotosintesis yang menghasilkan komponen karbohidrat (Jones 1998). Selain itu unsur K juga berperan dalam mempercepat pembentukan karbohidrat pada tanaman (Sutedjo dan Kartasapoetra 1988). Artinya, setiap unsur tersebut memiliki peran yang signifikan terhadap pembentukan karbohidrat di dalam tanaman. Salah satu komponen karbohidrat yang terbentuk adalah serat pangan. Oleh karena itu

28

 

penggunaan jumlah pupuk dengan kandungan N, P, dan K perlu benar-benar diperhatikan dosisnya. Khusus untuk pupuk organik, perlu diperhatikan pula waktu yang diperlukan untuk dekomposisi unsur-unsur yang terkandung di dalamnya sebab faktor ini juga akan mempengaruhi total biaya yang diperlukan untuk proses budidaya. Tanpa memperhatikan proses pemupukan organik maupun anorganik, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tanaman kolesom yang dibudidayakan dengan perlakuan 3 memiliki kadar TDF, IDF, SDF, dan substansi pektat yang secara konsisten relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sampel-sampel yang lain, yaitu dengan dosis pemupukan sebesar ± 46 kg

Dokumen terkait