• Tidak ada hasil yang ditemukan

iv DAFTAR TABEL

B. Budidaya Organik dibandingkan Anorganik

Budidaya anorganik adalah sistem produksi pertanian konvensional yang dirancang untuk meningkatkan produktivitas pertanian menggunakan senyawa sintetik dalam pupuk, zat tumbuh, maupun pestisida (Deptan 2002). Menurut FAO (2007) di dalam Deptan (2007), sistem pertanian organik adalah sistem produksi holistik dan terpadu, mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro ekosistem secara alami serta mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas dan berkelanjutan. Selain aman terhadap lingkungan, budidaya organik dirasa aman pula terhadap kesehatan sebab tidak menggunakan unsur-unsur kimia sintetis yang dikhawatirkan meninggalkan residu pada produk tanaman (Notohadiprawiro, 2002). Konsep awal pertanian organik yang ideal adalah menggunakan seluruh input yang berasal dari dalam pertanian organik itu sendiri, namun pada prakteknya hal ini sulit dilakukan sehingga pola pertanian organik yang banyak dijumpai adalah pola pertanian yang membatasi input dari luar dalam jumlah minimal (Winarno 2002). Prinsip pertanian organik menurut Pracaya (2004) yaitu ramah terhadap lingkungan, tidak mencemarkan dan merusak lingkungan hidup. Sementara itu, istilah pertanian anorganik mengacu pada sistem produksi pertanian konvensional yang masih secara luas dilakukan saat ini. Sistem ini dirancang untuk meningkatkan produktivitas pertanian menggunakan senyawa sintetik dalam pupuk, zat tumbuh, maupun pestisida.

Sebagai perbandingan, beberapa studi menunjukkan kandungan total polifenol pada tanaman organik lebih tinggi daripada tanaman anorganik (Benbrook et al. 2008, Carbonaro et al. 2002, Young et al. 2005, Abu-Zahra et al. 2007). Jus bayam, bawang bombai, dan kol organik memiliki aktivitas antioksidan 50-120% lebih tinggi daripada jus dari komoditas sejenis yang dibudidayakan secara anorganik (Ren et al. 2008). Studi lain melaporkan bahwa rata-rata kandungan vitamin C, besi, magnesium, dan fosfor pada beberapa tanaman organik berturut-turut 27.0, 21.1, 29.3, dan 13.6% lebih tinggi dibandingkan dengan produk anorganik (Worthington 2001). Kandungan senyawa berbahaya seperti nitrat ditemukan dalam jumlah sedikit pada tanaman organik dibandingkan dengan tanaman anorganik (Benbrook et al. 2008; Wang et al. 2008).

Diketahui bahwa tanaman yang dibudidayakan secara organik mengandung lebih banyak gula dibandingkan tanaman anorganik (Hallmann & Rembialkowska 2006). Oleh karena itu hal ini menjadi menarik sebab dapat memberikan informasi yang berguna bagi masyarakat, khususnya bagi peneliti untuk mengembangkan penelitian sejenis pada tanaman lain. Pengaruh pembudidayaan organik dan anorganik terhadap kadar total serat pangan maupun pektin (substansi pektat) pada daun kolesom belum diteliti. Perbedaan hasil biosintesisnya pun belum diketahui. Oleh karena itu hal ini menjadi menarik untuk diteliti lebih jauh.

C.

Pemupukan

Secara alami, unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman tersedia di dalam tanah. Namun, karena terus-menerus diserap oleh tanaman dan hilang akibat pencucian oleh air hujan ataupun air irigasi maka jumlahnya menjadi berkurang. Seiring pertumbuhan tanaman, unsur hara dalam tanah pun semakin berkurang, oleh karena itu diperlukan pemupukan. Unsur hara dapat dibedakan berdasarkan jumlah yang dibutuhkan menjadi unsur hara makro (N, P, K, S, Ca, Mg), dan unsur hara mikro (Cl, Mn, Fe, Cu, Zn, B, dan Mo).

Unsur hara N, P, dan K di dalam tanah tidak cukup tersedia dan terus berkurang karena diserap tanaman untuk pertumbuhannya. Selain itu, unsur-unsur di atas juga terangkut pada waktu panen, tercuci, menguap, dan tererosi sehingga perlu dilakukan pemupukan. Jumlah pupuk yang diberikan berhubungan dengan kebutuhan tanaman akan unsur hara, kandungan unsur hara yang ada di dalam tanah, serta kadar unsur hara yang terdapat dalam pupuk. Leiwakabessy dan Sutandi (1988)

6

 

menambahkan bahwa penambahan unsur hara akan meningkatkan pertumbuhan tanaman, yang berarti bahwa pengangkutan unsur hara oleh tanaman semakin meningkat.

1.

Peranan dan Ketersediaan Nitrogen

Nitrogen (N) merupakan unsur hara terpenting yang digunakan untuk pertumbuhan vegetatif tanaman dan bersifat mobile di dalam tanaman. Gejala kekurangan N pertama kali tampak pada daun tua. Unsur N berada dalam bentuk inorganik dan organik dalam tanaman, dan berkombinasi dengan C, H, O, dan suatu saat dengan S membentuk asam amino, amino enzim, asam nukleat, klorofil, alkaloid, dan basa-basa purin (Jones 1998). Tanaman pada umumnya menyerap N dalam bentuk amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-) (Adams 2004). Sebagian besar amonium bergabung dengan senyawa organik dalam akar, sedangkan nitrat bergerak dengan mudah dalam xilem dan dapat pula disimpan dalam vakuola akar, pucuk, dan organ-organ penyimpan. Akumulasi nitrat dalam vakuola sangat penting untuk keseimbangan kation-anion (Marschner 1995). Dubey dan Pessarakli (1995) menyatakan bahwa nitrat yang diserap tanaman tidak langsung digunakan untuk sintesis asam amino. Bentuk nitrat harus diasimilasikan ke bentuk amonium oleh enzim nitrat reduktase dan nitrit reduktase. Reduksi nitrat dapat berlangsung pada akar dan tajuk. Menurut Li (2000), pengaruh nitrat pada perkembangan tanaman dipengaruhi oleh waktu dan metode pemupukan, kombinasi efek osmotik pada pengambilan air, dan efek hara pada sintesis protein.

Kekurangan N ditandai dengan adanya daun yang menguning atau kuning kehijauan dan cenderung cepat gugur akibat kemampuan berfotosintesis berkurang, sehingga tanaman tumbuh kerdil, dan sistem perakaran terbatas (Leiwakabessy dan Sutandi 1998). Penelitian Tresnawati (1999) menunjukkan pada tanaman som Jawa (Talinum paniculatum Gaertn), peningkatan dosis N sampai 450 kg/ha cenderung meningkatkan pertumbuhan dan produksi, tetapi efeknya tidak berbeda nyata dengan pemberian 150 kg N/ha. Peningkatan efisiensi penggunaan N pada tanaman sangat penting dalam meningkatkan hasil dan kualitas tanaman, menurunkan input N, dan meningkatkan kualitas tanah, air, dan udara (Baligar et al. 2001).

2.

Peranan dan Ketersediaan Fosfor

Pada banyak sistem produksi pertanian, fosfor (P) merupakan unsur hara esensial yang paling sering dijumpai setelah N (Mosali et al. 2005). Unsur P sangat kritis bagi pertumbuhan tanaman, namun ketersediaannya di dalam tanah umumnya rendah. Efisiensi penggunaan unsur P tidak sama dengan unsur N sebab unsur P bersifat immobile di dalam tanah (Soepardi 1983). Fosfor berasal dari pelapukan mineral tanah dan bahan-bahan lain penyusun bahan tanah. P terdapat dalam bentuk inorganik dan organik, namun bentuk-bentuk inorganik lebih banyak dijumpai. Bentuk-bentuk inorganik P didominasi oleh hydrous sesquitides, amorphous crystalline aluminium, besi fosfat pada tanah asam, dan kalsium fosfat pada tanah alkali. Jumlah P terlarut yang tersedia tergantung pada pH, area kontak antara daerah presipitasi dengan larutan tanah, tingkat lelarutan dan difusi dari P dalam bentuk padat, waktu reaksi, kandungan bahan organik, temperatur, dan tipe tanah (Mosali et al. 2005).

Fosfor diserap akar tanaman dalam dua bentuk anion, masing-masing hidrogen fosfat (H2PO4-) dan monohidrogen fosfat (HPO42-) (Jones 1998). Mobilitas anion fosfat dalam tanah sangat rendah karena retensinya dalam tanah sangat tinggi. Oleh sebab itu, efisiensi dari pupuk P sangat rendah antara 10-30%, sisanya 70-90% P tertinggal dalam bentuk immobile atau hilang karena erosi (Leiwakabessy dan Sutandi 1998). Fungsi P yang paling penting pada tanaman adalah penyimpanan dan transfer energi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) dan adenosin difosfat (ADP), serta merupakan komponen struktural penting dalam penyusunan asam nukleat, kofaktor enzim, fosfolipid, dan nukleotida (Jones 1998, Mosali et al. 2005).

7

 

3.

Peranan dan Ketersediaan Kalium

Kalium (K) seringkali terdapat sebagai salah satu unsur penyusun tanah mineral (Reddy et al. 2000). Kalium pada tanaman berperan sebagai aktivator enzim, mempertahankan vigor tanaman, merangsang pertumbuhan akar dan sebagai katalisator (Soepardi 1983). Selain itu K juga berperan dalam proses pembentukan karbohidrat, translokasi gula dan metabolisme protein (Leiwakabessy 1982). Dalam mempertahankan vigor tanaman, K berperan dalam proses pemeliharaan status air tanaman, tekanan turgor dalam sel, serta proses membuka dan menutupnya stomata (Marschner 1995, Jones 1998).

Berdasarkan ketersediaannya di dalam tanah, kalium dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: (1) bentuk K tidak dapat dipertukarkan, (2) bentuk K dapat dipertukarkan, dan (3) bentuk K larut. Bentuk K tidak dapat dipertukarkan banyak terdapat di dalam tanah, tetapi pelepasannya lambat sehingga disebut bentuk K yang sukar tersedia. Bentuk ini merupakan K cadangan. Bentuk K dipertukarkan adalah K yang tersedia. Bentuk ini ada yang cepat tersedia dan ada yang lambat tersedia. Bentuk K yang mudah diserap tanaman adalah K terlarut (Reddy et al. 2000).

Kalium merupakan unsur yang mobile sehingga akan terjadi translokasi dari bagian tanaman yang tua ke bagian tanaman yang lebih muda bila terjadi gejala kekurangan K dalam tanaman. Oleh karena itu gejala kekurangan K dicirikan terjadinya klorosis, tepi daun mengering, produksi daun berkurang, dan malformasi daun. Reddy et al. (2000) menambahkan bahwa permukaan luas daun akan berkurang pada saat defisiensi K. Gejala defisiensi K juga seringkali mirip gejala akibat mikroba patogen sehingga sulit dibedakan.

Defisiensi K dapat dicegah dengan menambahkan jumlah K yang cukup ke dalam tanah. Hanya sebagian kecil saja yang dapat dicukupi melalui pemupukan daun (Reddy et al. 2000). Ismatika (1999) melaporkan bahwa pemupukan KCl pada som jawa (Talinum paniculatum Gaertn.) sampai dosis 1,125 g/tanaman meningkatkan bobot kering tanaman, bobot basah daun, dan hampir semua bagian vegetatif tanaman. Produksi umbi mengalami peningkatan yang besar terutama pada pemupukan KCl dengan dosis 0,750 g/tanaman.

Dokumen terkait