• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Tanggung Jawab Organ-Organ Perseroan

BAB IV PENERAPAN PRINSIP BUSINESS JUDGMENT RULE

D. Analisis Tanggung Jawab Organ-Organ Perseroan

Ketiga kasus tersebut di atas ini akan berkaitan dengan tanggung jawab organ- organ Perseroan terhadap tindakan-tindakan yang dilakukannya yang menyebabkan suatu Perseroan tidak mampu membayar utang-utang yang telah jatuh tempo atau tindakan yang dilakukan oleh organ Perseroan menyebabkan pihak ketiga dirugikan.

Pada kasus pertama tersebut berkaitan dengan apakah organ Perseroan dalam hal ini Direksi dan Dewan Komisaris turut bertanggung jawab atas obligasi yang diterbitkan oleh Perseroan di mana Perseroan kemudian tidak mampu untuk membayar kembali obligasi tersebut baik pokok maupun bunganya. Dalam kasus ini Bank Mandiri mengajukan permohonan kepailitan terhadap PT Bakrie Finance Corporation karena tidak mampu lagi membayar obligasi yang diterbitkannya. Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan juga turut digugat pailit karna dianggap turut bertanggung jawab terhadap kewajiban Perseroan dalam membayar utang obligasi ini.

Sebenarnya dalam kasus Bank Mandiri melawan Bakrie Finance Corporation ini harus dibedakan pada dua masalah, yakni kewajiban Perseroan untuk membayar utang obligasi dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris atas ketidakmampuan Perseroan dalam membayar utang obligasi tersebut. Terhadap masalah yang pertama hakim menolak mempailitkan debitor padahal debitor telah memenuhi persyaratan untuk dipailitkan, yakni mempunyai utang yang telah jatuh tempo dan tidak dibayar serta mempunyai dua atau lebih kreditor. Disamping itu juga fakta hukum menunjukkan bahwa Perseroan sedang dalam kesulitan keuangan

sehingga Perseroan tidak mampu lagi untuk membayar kewajiban-kewajiban utangnya baik utang jangka pendek maupun utang jangka panjang. Kinerja keuangan Perseroan sangat buruk mengingat kondisi bisnis disektor pembiayaan telah mengalami krisis yang berkepanjangan akibat krisis moneter yang terjadi. Akan tetapi, kendatipun telah memenuhi persyaratan untuk dipailitkan, debitur sedang dalam penundaan kewajiban pembayaran utang tetap, sehingga tidak dapat dipailitkan. Seandainya kreditur pemohon pailit menunda waktu pengajuan permohonan kepailitan ini setelah berakhirnya PKPU tetap tersebut, maka tidak ada alasan hakim untuk menolak permohonan pailit ini.

Sedangkan persoalan yang kedua dari kasus pertama (Bank Mandiri melawan Bakrie Finance Corporation cs) adalah pertanggungjawaban Direksi secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukan oleh Perseroan. Dalam kasus ini hakim sudah tepat menolak permohonan kepailitan terhadap Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan. Hakim telah tepat menerapkan prinsip tanggung jawab Direksi atas pailitnya Perseroan. Dalam menerbitkan obligasi tersebut, sama sekali tidak ada pengikatan akan jaminan pribadi dari masing-masing anggota Direksi dan Dewan Komisaris sehingga teori kemandirian Perseroan harus diterapkan secara konsisten. Di samping itu juga tidak terdapat penyalahgunaan kewenangan baik oleh Direksi maupun Dewan Komisaris sehingga tidak terdapat kesalahan atau kelalaian yang menyebabkan kepailitan terhadap Perseroan. Ketidakmampuan Perseroan untuk membayar obligasi ini adalah murni kondisi kinerja keuangan yang sangat buruk dan ini merupakan sebuah risiko bisnis.

Tanggung jawab Direksi Perseroan yang perusahaannya mengalami kepailitan adalah sama dengan tanggung jawab Direksi yang perusahaannya tidak sedang mengalami kepailitan. Ada beberapa kondisi yang merupakan pengaturan lebih lanjut dari kelembagaan Direksi berkaitan dengan kepailitannya Perseroan ini. Pada prinsipnya Direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama Perseroan berdasarkan wewenang yang dimilikinya. Hal ini karena perbuatan Direksi dipandang sebagai perbuatan Perseroan yang merupakan subjek hukum mandiri sehingga Perseroanlah yang bertanggung jawab terhadap perbuatannnya Perseroan itu sendiri yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Direksi. Akan tetapi, dalam beberapa hal Direksi dapat pula dimintai pertanggungjawabannya secara pribadi dalam kepailitan Perseroan ini.

Ketentuan normatif mengenai tanggung jawab Direksi dalam hal terjadinya kepailitan Perseroan adalah apa yang disebutkan dalam Pasal 104 Ayat (2) Undang- Undang No 40 Tahun 2007. Pasal 104 Ayat (2) tersebut menyatakan bahwa dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian itu. Kemudian Pasal 104 Ayat (3) UUPT menyatakan bahwa anggota Direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut. Dalam kasus tersebut sama sekali tidak terdapat perbuatan Direksi yang dapat dikenakan ketentuan Pasal ini.

Demikian pula dengan Dewan Komisaris dari Perseroan, juga tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pribadi dalam hal Perseroan tidak mampu lagi membayar kewajiban utangnya dikarenakan kinerja keuangan Perseroan yang buruk sebagai akibat dari lingkungan bisnis yang ada. Dalil yang dikemukakan Bank Mandiri bahwa ketertarikan pemegang obligasi karena figur para anggota Dewan Komisaris adalah dalil yang berlebihan karena tidak terdapat tindakan yang dilakukan oleh anggota Dewan Komisaris yang dapat dikategorikan sebagai penipuan. Secara normatif tanggung jawab hukum dari Dewan Komisaris adalah bertitik tolak dari ketentuan Pasal 114 Ayat (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa Dewan Komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan. Kepentingan Perseroan secara normatif tidak identik dengan kepentingan pemilik Perseroan (pemegang saham), walaupun tidak harus selalu bertentangan. Perseroan Terbatas merupakan badan hukum yang notabene sebagai subjek hukum mandiri yang memiliki harta kekayaan dan kewajiban yang mempunyai kepentingan yang tidak selalu identik dengan kepentingan pemiliknya. Apabila tujuan dari Perseroan adalah untuk memperbesar kekayaannya, maka kepentingan pemiliknya adalah untuk memperoleh pendapatan melalui pemilikan sahamnya berdasarkan harga saham dan dividen yang diterimanya. Ketentuan normatif ini memiliki arti bahwa Dewan Komisaris harus mendahulukan kepentingan perusahaan di atas kepentingan pemilik perusahaan. Dengan demikian Dewan Komisaris bukan mewakili pemegang saham dan tidak harus berpihak kepada mereka.

Ketentuan normatif ini merupakan benang merah untuk menenentukan tanggungjawab Dewan Komisaris baik Perseroan dalam keadaan sehat maupun dalam hal Perseroan sedang mengalami kepailitan. Fungsi utama komisaris adalah melakukan pengawasan. Melakukan pengawasan adalah suatu tindakan mengusahakan agar suatu kegiatan dilaksanakan sesuai dengan yang telah digariskan atau menilai apakah yang telah dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan. Pengawasan yang baik adalah cara pemantauan tepat waktu yang dapat mengetahui penyimpangan sehingga kerugian dapat dicegah atau setidak-tidaknya diminimalisir. Gagal melakukan pengawasan bisa menyebabkan kerugian pada pihak lain. Kerugian ini akan terjadi pada Perseroan itu sendiri, kerugian terhadap pemegang saham selaku pemilik Perseroan, dan bahkan kerugian pada pihak luar. Dalam kasus tersebut tidak berkaitan dengan fungsi Dewan Komisaris ini sehingga Dewan Komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi.

Pada kasus PT Indosurya Mega Finance melawan PT Greatstar Perdana Indonesia dan pada kasus The Hongkong Chinese Bank Ltd. melawan PT Dok & Perkapalan Kodja Bahari tersebut di atas, permasalahannya adalah mengenai tindakan hukum dari Direksi Perseroan yang merupakan tindakan ultra vires.

Adapun yang dimaksudkan dengan prinsip ultra vires (pelampauan kewenangan Perseroan) adalah suatu prinsip yang mengatur akibat hukum seandainya ada tindakan Direksi untuk dan atas nama Perseroan, tetapi tindakan Direksi tersebut sebenarnya melebihi dari apa yang diatur dalam anggaran dasar Perseroan. Suatu perbuatan dikatakan ultra vires bila dilakukan tanpa wewenang (authority) dalam

melakukan perbuatan tersebut. Bagi Perseroan perbuatan tersebut adalah ultra

vires bila dilakukan di luar atau melampaui wewenang Direksi Perseroan

sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar dan hukum perusahaan. Doktrin ultra

vires berdampak pada perikatan antara Perseroan dan pihak ketiga, di mana transaksi

yang dilakukan bersifat ultra vires Menurut Chatamarrasjid Ais suatu transaksi ultra

vires adalah tidak sah dan tidak dapat disahkan kemudian oleh suatu Rapat Umum

Pemegang Saham (RUPS). Sehingga perbuatan Direksi yang ultra vires adalah merupakan tanggung jawab pribadi dari Direksi tersebut.168

Pada prinsipnya, perbuatan hukum Direksi yang merupakan tindakan ultra

vires adalah tanggung jawab pribadi dari Direksi Perseroan tersebut. Namun, tindakan ultra vires ini harus dibedakan dalam dua kategori, yakni tindakan yang dilakukan di

luar kewenangan Direksi untuk melakukannya, tapi masih dalam cakupan maksud dan tujuan Perseroan, serta tindakan yang dilakukan di luar kewenangan Direksi untuk melakukannya yang berada di luar maksud dan tujuan Perseroan. Dalam kasus kedua dan ketiga merupakan kategori tindakan ultra vires di mana tindakan yang dilakukan diluar kewenangan Direksi untuk melakukannya tapi masih dalam cakupan maksud tujuan Perseroan. Implikasi yuridisnya adalah bahwa pihak ketiga yang beriktikad baik harus dilindungi dari perbuatan Perseroan Hal ini berarti perbuatan Perseroan tersebut harus dipandang sebagai perbuatan yang sah dan mengikat Perseroan keluar di samping Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban pribadi atas

168

Chatamarrasjid, Penerobosan Cadar Perseoan dan Soal-Soal Aktual Hukum Perusahaan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 41.

perbuatan hukum yang dilakukannya tersebut. Dengan demikian Direksi bertanggung jawab renteng dengan Perseroan, di mana jika harta kekayan Perseroan tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban-kewajiban utangnya maka Direksi secara pribadi bertanggung jawab untuk menutup kekurangannya tersebut.

Pada kasus PT Indosurya Mega Finance melawan PT Greastar Perdana Indonesia, putusan Pengadilan Niaga sudah tepat di mana hakim memiliki argumentasi bahwa anggaran dasar dari PT Greatstar Perdana Indonesia, di mana menurut ketentuan Pasal 15 Ayat (2) dan (4) anggaran dasar tersebut, memang benar Direksi harus mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Komisaris dan kalau tidak, maka tindakan Direksi tidak sah terhadap Perseroan. Namun demikian, alasan tersebut dapat diterima menurut hukum, karena pada prinsipnya anggaran dasar ataupun anggaran rumah tangga suatu persekutuan hanya mengikat dan berlaku intern/kedalam persekutuan tersebut dan tidak mengikat dan berlaku ekstern terhadap pihak ketiga. Memang kalau untuk hal-hal tertentu perbuatan Direksi dibatasi oleh anggaran dasar suatu Perseroan, yang pada umumnya Direksi tidak berbuat sendiri jika tidak bersama-sama dengan Dewan Komisaris atau setidaknya terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Komisaris, biasanya telah melampaui batas wewenangnya sehingga perbuatannya tidak sah terhadap Perseroan. Ketentuan tersebut pada prinsipnya hanya berlaku dan mengikat ke dalam Perseroan (intern), sedangkan bagi pihak ketiga (hubungan ekstern), tidak berlaku, oleh karena itu pihak Perseroan harus tetap bertanggung jawab terhadap pihak ketiga tersebut, sekalipun ada perbuatan yang melampaui batas wewenang dari Direksi.

Dengan demikian, justru putusan kasasi Mahkamah Agung yang tepat yang menyatakan bahwa oleh karena dalam surat sanggup, tanggal 6 Februari 1998 yang ditandatangani oleh Budi Handoko, Direktur PT Greatstar Perdana Indonesia, tanpa adanya persetujuan tertulis dari Dewan Komisaris maka surat sanggup tersebut tidak mengikat termohon (PT Greatstar Perdana Indonesia), melainkan hanya mengikat Budi Handoko pribadi dan karenanya permohonan pailit yang diajukan oleh pemohon terhadap termohon harus ditolak. Diakui bahwa dalam hal perbuatan hukum Perseroan yang diwakili oleh Direksi, tetapi perbuatan Direksi tersebut tidak sesuai dengan anggaran dasar Perseroan, apakah perbuatan hukum tersebut mengikat pada pihak ketiga (pihak luar) ataukah tidak. Jika perbuatan tersebut mengikat pada pihak ketiga, maka implikasi yuridisnya Perseroanlah yang akan bertanggung jawab terhadap perbuatan tersebut kepada pihak luar. Sejauh mana perlu, secara internal Perseroan dapat meminta pertanggungjawaban pribadi pada Direksi yang telah melakukan perbuatan hukum ultra vires tersebut. Sedangkan jika perbuatan Perseroan tersebut dinyatakan tidak mengikat pihak luar, maka konsekuensi yuridisnya adalah pihak Direksilah yang secara pribadi bertanggung jawab terhadap pihak luar.

Dengan demikian, benang merah dari tanggung jawab Direksi pada kasus kedua dan ketiga adalah Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban pribadi. Apabila perbuatan Perseroan tersebut dianggap sah, maka tanggung jawab Direksi pribadi adalah secara internal kepada Perseroan. Sedangkan, jika perbuatan Perseroan dianggap tidak mengikat kepada pihak luar, maka tanggung jawab pribadi Direksi adalah kepada pihak luar tersebut.

Dokumen terkait