• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Terhadap Pertimbangan Majelis Hakim Perkara Memberikan Hak Asuh Anak Belum Mumayiz Kepada Ayah

Dalam perkara perceraian No. 2282/Pdt.G/2009/PA.JS terjadi perebutan

hak asuh anak. Tergugat sebagai suami merasa lebih berhak memperoleh hak

asuh anaknya masing-masing bernama Reyhan Dahananto Ariyadi lahir pada

tanggal 4 Juni 1999, Rannafi Pawitra Ariyadi lahir pada tanggal 1 Agustus

2001, Raina Nabila Ariyadi, lahir pada tanggal 21 Juli 2007.

Tergugat beranggapan bahwa istrinya yaitu penggugat bukanlah ibu yang

baik dalam hal mengurus anak-anak. Selama ini anak-anak lebih banyak

diurus oleh asisten rumah tangga dan oleh neneknya bersama-sama dengan

Tergugat. Bahwa akhir-akhir ini lebih banyak waktu tergugat tercurah pada

kasih sayang anak-anak. Hari-hari libur tergugat habiskan waktu bersama

anak-anak. Sedangkan penggugat tidak tahu pergi kemana dan bersama

dengan teman-temanya.

Perhatian dan kasih sayang anak-anak sudah penggugat abaikan. Hal ini

terbukti sebelum perceraian ini penggugat merampas hak-hak anak-anak

dengan melarang anak-anak untuk berkunjung bertemu nenek dan tergugat.

berhubungan dengan tergugat. Hal ini sangat dirasakan oleh anak-anak saat

ini, khususnya anak pertama dan kedua. Bahwa setelah tergugat

memperhatikan dan mengamati perkembangan anak sejak gugatan perceraian

di Pengadilan ini, ada beberapa hal yang terjadi dan sangat menghawatirkan

bagi perkembangan mental anak-anak, yakni anak-anak sering marah-marah,

ada gejala sikap apatis atau tertekan batinnya dan mulai kehilangan percaya

diri dan kurang ceria.3

Selain itu, suami juga sangat mengkhawatirkan kondisi anak mengingat

pergaulan istri yang mengarah kepada pergaulan narkoba. Suami merasa takut

akan perkembangan jiwa dan masa depan anaknya jika anak berada dalam

pengasuhan istri dikarenakan istri tidak mencerminkan sikap yang baik

sebagai ibu panutan anak.4

Suami merasa lebih berhak memperoleh hak asuh anak dikarenakan anak

selama ini diasuh oleh asisten rumah tangga dan neneknya bersama sama

dengan tergugat. Tergugat beranggapan bahwa anak tidak pantas berada di

bawah pengasuhan ibunya dikarenakan sikap dan tingkah laku istri sangat

memalukan di mata masyarakat sehingga demi masa depan dan perkembangan

jiwa anak, suami menuntut hak asuh anak diberikan kepadanya mengingat

masa depan anak tersebut lahir batin adalah tanggung jawab dari suami.

Bahwa ketiga anak penggugat dengan tergugat masing-masing bernama

Reyhan Dahananto Ariyadi (anak I), Rannafi Pawitra Ariyadi (anak II) berada

dikediaman penggugat dan Raina Nabila Ariyadi (anak III) berada dikediaman

3

Abdurahim Wawancara, Jakarta, Tanggal 18 Mei 2015 di Ruang Hakim.

4

tergugat. Untuk itu untuk meyakinkan alasan tergugat ini, mohon agar kiranya

Majelis Hakim berkenan untuk menghadirkan anak-anak dalam persidangan

ini dengan maksud dan tujuan untuk dimintai pandangannya mengenai

masalah hak asuh ini.

Berdasarkan wawancara peneliti pada tanggal 18 Mei 2015, hakim yang

menangani perkara tersebut memamparkan bahwa adapun pertimbangan

hakim memutuskan untuk memberikan hak asuh hak asuh salah satu anak

yaitu Raina Nabila Ariyadi (anak III) kepada tergugat atau suami adalah

Majelis Hakim memerintahkan kepada penggugat dan tergugat untuk

menghadirkan anaknya yang saat ini ada bersamanya untuk didengar

keterangannya.5

Bahwa penggugat telah tidak menghadirkan 2 (dua) orang anak yang

pada saat ini berada padanya sehingga Majelis Hakim tidak bisa mendengar

keterangannya dan tergugat telah menghadirkan anak yang pada saat ini ikut

bersamanya yang bernama anak dan telah didengar keterangannya atas

pertanyaan Majelis Hakim anak tersebut menyatakan akan ikut dengan

tergugat sebagai ayahnya apabila terjadi perpisahan antara kedua orang

tuanya, dengan alasan lebih nyaman ikut dengan tergugat karena selama ikut

dengan penggugat apabila terjadi pertengkaran dengan kakaknya dia yang

selalu disalahkan baik oleh penggugat maupun oleh orang-orang yang berada

di rumah penggugat.6

5

Muh.Rusydi Thahir Wawancara, Jakarta, Tanggal 18 Mei 2015 di Ruang Hakim.

6

Landasan yang mengharuskan Majelis Hakim mempertimbangkan anak

boleh memilih diantara ayah atau ibunya ketika ayah dan ibunya memilih

bercerai adalah terdapat dalam Pasal 105 huruf b Kompilasi Hukum (KHI) yang berbunyi: “Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya”.

Dari bunyi pasal tersebut di atas tidak ada kalimat yang mengharuskan

Pengadilan/Majelis Hakim secara langsung didepan persidangan mendengar

pendapat anak yang disengketakan pemeliharaan oleh ayah atau ibunya

tentang akan ikut siapa ketika ayah atau ibunya berpisah, tetapi hanya anak

tersebut diberikan hak memilih di antara ibu atau ayahnya yang bercerai.

Dalam hal ini juga dapat di lihat dalam Undang-Undang No. 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak dalam hal terjadi perceraian atas perkawinan

campuran (antara WNI dan WNA) anak yang sudah berhak memilih tetap

diberikan hak pilihnya, namun pilihan anak tersebut tidak serta merta menjadi

hal yang menjadi putusan Pengadilan karena dalam pasal itupun ada kata atau

berdasarkan Putusan Pengadilan berada dalam pengasuhan salah satu dari

kedua orang tuanya. Dan lebih lengkapnya Pasal 29 ayat (2) dan (3)

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 sebagai berikut:

Dalam hal terjadinya perceraian dan perkawinan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) anak berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan

Pengadilan, berada dalam pengasuhan salah satu dari kedua orang tuanya (ayat

sedangkan anak belum mampu menentukan pilihan dan ibunya

berkewarganegaraan RI demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan

ibunya, pemerintah berkewajiban mengurus status kewaganegaraan RI bagi

anak tersebut (ayat (3)).

Dalam kaitan dengan bolehkah ditanyakan atas pilihan anak akan ikut ibu

atau ayahnya yang bercerai yang usia anak tersebut belum berusia 12 tahun

sebagaimana yang di atur dalam Pasal 105 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam

bahwa: pemeliharaan anak yang belum mumayyiz/belum berumur 12 tahun

adalah hak ibunya.

Dapat ditafsirkan bahwa kategori anak belum mumayyiz adalah dibawah

umur 12 tahun. Sedangkan dalam literatur-literatur lain arti dari mumayyiz

adalah anak yang belum bisa membedakan antara mana yang bermanfaat dan

mana yang membahayakan dirinya. Kalau diperhatikan dari uraian tersebut di

atas masalah mumayyiz atau belum mumayyiz adalah bukan terfokus pada

titik sentral usia dari seseorang, tertapi titik sentralnya terkait dengan tingkat

kecerdasan anak itu sendiri, namun mungkin dari pengamatan para ulama

yang dalam hal ini para perumus KHI.

Bahwa anak-anak di Indonesia pada umumnya baru dapat membedakan

atau dianggap dapat berpendapat apabila anak tersebut telah berumur 12

tahun. Dengan demikian apabila kaitan memilih tersebut berhubungan dengan

tingkat kecerdasan seorang anak, bisa saja dalam menyelesaikan

persengketaan anak yang belum berumur 12 tahun dengan meminta pendapat

dalam hal ini adalah ahli yang dapat mendeteksi tingkat kecerdasan seseorang

yang dengan batasan umur terendah anak tersebut pun adalah 7 tahun sampai

sebelum 12 tahun.

Hal ini sesuai dengan aturan Pasal 10 Undang-Undang No. 23 Tahun

2003 tentang Perlindungan anak bahwa:

1) Setiap anak berhak untuk tidak dipisah: Setiap anak berhak

mengatakan dan didengar pendapatnya, menerima dan memberikan

informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi

pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan

kepatutan. Begitupun bila telah memilihnya itu tetap harus diberikan

hak kepada ayahnya untuk diberikan akses melihat, menjenguk,

mengajak jalan-jalan dan hak yang sama untuk bermusyawarah dalam

menentukan pendidikan anak tersebut sesuai dengan Pasal 59

Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia berbunyi:

ahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak

anaknya sendiri, kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah

yang menunjukkan bahwa pemisahan itu, demi kepentingan terbaik

bagi anak.

2) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud ayat (1) hak anak untuk tetap

bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orang

tuanya tetap dijamin oleh UU.

Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum materiil bagi lingkungan

Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

sebagai hukum formil belum memberikan jawaban secara limitatif terhadap

beberapa permasalahan hukum dalam menetapkan pengasuhan anak ketika

kedua orang tuanya bercerai.

Dalam Kompilasi Hukum Islam setidaknya ada dua pasal yang menentukan pengasuhan anak yaitu Pasal 105 dan Pasal 156. Pasal 105 menentukan tentang pengasuhan anak pada dua keadaan. Pertama, ketika anak

masih dalam keadaan belum mumayyiz (kurang dari 12 tahun) pengasuhan anak ditetapkan kepada ibunya. Kedua ketika anak tersebut mumayyiz (usia 12 tahun ke atas) dapat diberikan hak kepada anak untuk memilih diasuh oleh

ayah atau ibunya. Adapun Pasal 156 mengatur tentang pengasuhan anak ketika ibu kandungnya meninggal dunia dengan memberikan urutan yang berhak mengasuh anak.

Dalam melindungi hak-hak anak setelah terjadi perceraian, pihak Pengadilan Agama Jakarta Selatan menyerahkan sepenuhnya kepada pihak yang ditunjuk pengadilan untuk menerima hadhanah anak tersebut agar

memenuhi hak-hak anak tersebut. Jika terbukti pihak yang diberi kewenangan mengasuh anak tersebut lalai dalam memenuhi hak-hak anak, maka pengadilan akan memeberikan peringatan (aan manin). Jika peringatan

tersebut tetap tidak dihiraukan, maka pengadilan bisa mencabut hak pemeliharaan anak (hadhanah) tersebut.7

Jadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan hanya sebagai pihak pemutus

perkara, Dalam melindungi hak-hak anak setelah terjadi perceraian,

7

Pengadilan menyerahkan tanggungjawab hadhanah penuh kepada penerima

hak hadhanah. Karena Pengadilan Agama Jakarta Selatan tidak melakukan

pengawasan pelaksanaan terhadap putusan yang telah dikeluarkan. Akan tetapi

pihak Pengadilan memiliki upaya-upaya untuk melindungi hak-hak anak, yaitu

dengan memberikan saran-saran serta peringatan kepada pihak yang tidak

melaksanakan putusan tersebut. Akan tetapi, upaya-upaya Pengadilan Agama

66

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari uraian di atas maka penulis dapat menarik kesimpulan, sebagai berikut:

1. Hak asuh anak pasca perceraian berdasarkan pada Hukum Islam telah diatur secara jelas dalam Kompilasi Hukum Islam khususnya pada Pasal 105, yaitu:

Dalam hal terjadi perceraian:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

b. Pemeliharan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharannya;

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Umumnya hakim menggunakan pasal 105 ini sebagai dasar hukum dalam membuat keputusan terkait dengan kewenangan hak asuh anak. Namun

demikian ketentuan ini tidak berlaku mutlak karena dalam Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam ditegaskan bahwa Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan

sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan. Jadi hakim harus mempertimbangkan sungguh-sungguh apakah si Ibu layak mendapatkan

tahun. Dalam Al-Qur‟an orang tua wajib memelihara, mengasuh, mendidik dan menjaga, melindungi anak menurut kadar kemampuannya Q.S.

al-Baqarah (2):233, artinya bahwa kewajiban orang tua terhadap anak tidak terputus oleh perceraian ataupun penetapan hakim berdasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.

Dalam memutus perkara hak asuh anak,hakim diharapkan dapat

mengambil keputusan yang terbaik bagi kepentingan anak bukan hanya

untuk kepentingan para pihak sehingga nantinya tidak menghambat

pertumbuhan jasmani dan rohani anak-anak korban perceraian.

2. Dasar dan pertimbangan Majelis Hakim perkara No.

2282/Pdt.G/2009/PA.JS dalam memberikan hak asuh anak dibawah umur

kepada suami, selain menggunakan undang-undang sebagai dasar

menjatuhkan putusan tersebut, hakim memiliki pertimbangan lain melalui

fakta-fakta yang terungkap di persidangan.

Pertimbangan hakim memutuskan untuk memberikan hak asuh anak

kepada suami adalah suami mampu membuktikan sifat/akhlak buruk yang

dimiliki istri sehingga tidak layak untuk memelihara anak. Selain itu,

hakim menerapkan asas ius contra legem yang memungkinkan hakim

memberikan hak asuh anak ke ayah meskipun telah di atur dalam

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum

Islam bahwa pemeliharaan anak hak ibunya. Hakim melakukan tindakan

contra legem karena dianggap istri tidak dapat memberi contoh yang baik

untuk anaknya dan demi kepentingan serta masa depan anak maka hak

Pemberian hak asuh anak tersebut bukanlah pemberian kekuasaan yang

mengatur, memiliki dan mengendalikan sang anak. Tetapi hak asuh anak

yang dimakksud adalah hak untuk memlihara anak, medidik dan merawat

sang anak. Jadi bekas istri atau bekas suami diperbolehkan bertemu

anak-anak mereka karena masih memiliki hubungan keluarga.

B. Saran-saran

Berdasarkan pemaparan skripsi ini maka penulis memaparkan

beberapa saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak,

diantaranya sebagai berikut:

1. Dalam memberikan hak asuh anak dibawah umur, hakim harus memiliki

pertimbangan-pertimbangan lain selain undang-undang yang berlaku.

Pertimbangan-pertimbangan tersebut bisa melalui fakta-fakta yang

terungkap di persidangan. Hakim dalam memberikan putusan, perlu

memperhatikan dengan sungguh-sungguh faktor yang harusnya

diterapkan, yaitu keadilan, kemashlahatan, kepastian hukumnya, dan

manfaat yang tidak bertentangan dengan hukum syara’ sehingga putusan tersebut menghasilkan kepastian hukum serta rasa keadilan di

tengah-tengah masyarakat.

2. Pengambilan hak asuh anak dapat dilakukan oleh pihak yang tidak diberi

kewenangan untuk mengasuh anak dibawah umur, dengan cara

mengajukan permohonan pengaalihan hak asuh anak ke pengadilan. Tetapi

ketika terjadi perebutan hak kuasa anak kembali, sebaiknya tidak

kekeluargaan karena dapat memberikan dampak buruk untuk psikologi

anak. Sebaiknya pihak yang menginginkan hak tersebut menunggu hingga

anak tersebut tumbuh dewasa sehingga bisa berfikir dengan siapa anak

70 Al- Qur‟an al-Karim.

A. Rasyid, Roihan. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Abdurahman. Perkawinan Dalam Syari’at Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1992. __________, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Akademika

Pressindo, 2007.

Abi Bakr, Imam Taqiyudin Ibn Muhammad Al-Husaini. Kifayah Al-Akhyar. Beirut: Dar Al-Fikr, 1994.

Abidin, Slamet. Fiqih Munakahat 1. Bandung: Pustaka Setia. 1999.

Al-Barry, Zakariya Ahmad. Hukum Anak-Anak Dalam Islam. Alih bahasa Chadijah Nasution. cet ke-1. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Al-Bugha, Musthafa Diib. Fikih Islam Lengkap Madzhab Syafi’i (Penjelasan

Hukum-Hukum Islam). Solo: Media Zikir, 2009.

Al-Munawwar, Saud Agil Husain. Problematika Keluarga Islam Konteporer (Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah). Jakarta: Prenada Media, 2004.

Al-Utsaimin, M. Sholeh. Pernikahan Islami Dasar Hukum Hidup Berumah Tangga. Solo: Pustaka Mantiq, 1994.

As-Siddieqy, Hasby. Hukum-Hukum Fiqh Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Az-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu. Dimasqy: Dar al-Fikr. Cik Hasan Bisri. Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. cet.1.

(Bandung: Rosdakarya. 1997). h.29

Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1998. Ensiklopedia hadits 8: Sunan Ibnu Majah. Jakarta: Almahira, 2013. Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana, 2006.

Imam Abu Dawud. Sunan Abi Dawud Juz II. Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 1996.

Khalid, Syeikh Hassan dan Adnan Najja. Ahkam Ahwal Syakhsiyyah fi

Al-Syari’ah Al-Islamiyyah Cet I. Beirut: Al-Maktabah Al-Tijari, 1964. Kuzari, Ahmad. Perkawinan Sebagai Sebuah Perikatan. Jakarta: Rajawali Pers,

1995.

Latief, Jamil. Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981.

Muchtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Mugniyah, Muhammad Jawad. Fiqh Lima Mazhab alih bahasa Masykur AB. Afif Muhammad. Jakarta : Lentera, 1999.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif. 1997. h.274.

Nur, Jamaan. Fiqih Munakahat. Semarang: Dina Utama, 1993.

Nuruddin, H. Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI). Jakarta: Kencana, 2004.

Rasjid, H. Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010.

Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan. Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, dan Zakat menurut Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 1995.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.

Penjelasan atas Undang-Undang Tentang Perkawinan.UU No. 1 Tahun 1974. LN No. 1 Tahun 1974. TLN No.3019

Sabiq, Al-Sayyid. Fiqih Al-Sunnah Jilid IV. Beirut: Dar Al-Fikr, 1983. _________. Fiqih Sunnah Terjemah. Bandung: PT. al-Ma'arif, 1996.

Said, Umar. Hukum Islam di Indonesia Tentang Pernikahan. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

Sudiyat, Iman. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1998. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana,

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.

Usman, Muchlis. Kaidah-Kaidah Usuliyah dan Fiqhiyyah. cet. Ke-3. Jakarta: Grafindo Persada, 1999.

Zein, Satria Efendi M. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah). Jakarta: Prenada Media, 2004.

B. Internet

http://www.legalakses.com/hak-asuh-anak-dalam-perceraian-hadhanah. http://www.pa-jakartaselatan.go.id