Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh:
SYAHBANA ARIEF
NIM.1110044100043
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ( A H W A L S Y A S K H S I Y Y A H )
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
Oleh:
SYAHBANA ARIEF
NIM.1110044100043
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ( A H W A L S Y A S K H S I Y Y A H )
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
v
NO. 2282/PDT.P/2012/PA.JS).Program Studi Hukum Keluarga Islam, Konsentrasi
Peradilan Agama, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435/2015.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui hak hadhanah akibat putusnya perkawinan dalam Fikih dan Kompilasi Hukum Islam dan juga ingin mengetahui dasar dan pertimbangan majelis hakim yang digunakan dalam menjatuhkan penetapan perkara No. 2282/Pdt.G/2009/PA.JS.
Studi ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris dan dengan pendekatan conceptual approach. Sumber data primer berupa wawancara hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Dan teknik analisis data yang telah diperoleh, lalu diuraikan dan dihubungkan dengan sedemikian rupa sehingga menjadi sistematis dalam menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Data-data tersebut lalu dianalisis, sehingga membantu sebagai dasar acuan dan pertimbangan hukum yang berguna.
Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam perkara No. 2282/Pdt.G/2009/PA.JS telah menetapkan suami atau ayah berhak mendapatkan hak asuh anak akibat putusnya perkawinan setelah Majelis Hakim mendengarkan keterangan anak yang bersangkutan di persidangan.
Studi ini menjelaskan bahwa fikih dan KHI sama-sama memberikan hak asuh anak pasca putusnya perkawinan kepada Ibu kandungnya, bahwa hak hadhanah anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun berhak atas ibunya untuk mengasuh. Sedangkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan perkara nomor 2282/Pdt.G/PA.JS. bahwasanya hak pengasuh anak diberikan pada ayah. Adapun hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang memberi pertimbangan melihat dari kemaslahatan dan kepentingan si anak, bukan semata-mata yang secara normatif paling berhak. Sekalipun si anak belum berumur 12 tahun (mumayyiz).
Kata kunci: Hukum Kewarisan Islam, Ahli Waris Non Muslim, Penetapan Pengadilan Agama.
vi
ميحرلا نمحرلا ه مسب
Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW, pembawa Syari’ahnya yang universal bagi semua umat manusia
dalam setiap waktu dan tempat hingga akhir zaman.
Skripsi ini penulisan persembahkan kepada ayahandaDjakaria dan ibunda
Maisuti.Yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan doa tanpa
kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih
sayang-Nya kepada mereka.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis
temukan, namun syukur alhamdulillah berkat rahmat dan rida-Nya, kesungguhan,
serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak
langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhir
skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan
kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr.H.Abdul Halim, M.A., dan Arip Purkon, M.A., Ketua Prodi dan Sekretaris
Prodi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
vii
4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Prodi Hukum
Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis
selama duduk di bangku perkuliahan.
5. Doa dan harapan penulis panjatkan kepada keluarga tercinta,ayahanda, Djakaria,
dan ibunda Maisuti, serta adik-adikku tercinta Maliza fauziah, Rizka Marhanizah,
dan Anis Faturahma yang senantiasa memberikan dukungan selama ini sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi.
6. Rekan seperjuangan Peradilan Agama Angkatan 2010, Irfan Zidny, Erwin
Hikmatiar, M. Zaky, M. Ulil Azmi, Rifki Abdurrahman, Rizky Rusdi Lubis, M.
Faudzan, Arif Rahman Hakim, Zian, Kahfi, dan yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu.
Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yangberlipat
ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan
kebaikan yang berlipat ganda pula.
Jakarta, 10 September 2015 Penulis
viii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 7
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9
D.Metode Penelitian ... 12
E. Tinjauan Kajian Terdahulu ... 12
F. Sistematika Penulisan ... 15
BAB II HADHANAH DALAM HUKUM ISLAM, KHI, DAN PERUNDANG-UNDANGAN DIINDONESIA A.Hadhanah Menurut Hukum Islam ... 16
B. Hadhanah Menurut Kompilasi Hukum Islam... 23
C.Hak Pemeliharaan Anak Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak ... 24
D.Orang-Orang yang Berhak Mengasuh ... 26
E. Syarat-Syarat Pemeliharaan Anak ... 28
F. Biaya, Masa Pengasuhan dan Hak Khiyar Hadhanah ... 31
BAB III HAK HADHANAH DALAM PUTUSAN HAKIM NOMOR 2282/Pdt.G/2009/PA.JS A. Profil Singkat Pengadilan Agama Jakarta Selatan ... 35
B. Deskripsi Putusan Perkara Nomor 2282/Pdt.G/2009/PA.JS Tentang Hak Hadhanah Anak ... 43
BAB IV HAK AYAH SEBAGAI PENGASUH BAGI ANAK YANG BELUM MUMAYYIZ DALAM PUTUSAN NOMOR 228/Pdt.G/2009/PA.JS A. Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan Memberikan Hak Hadhanah Anak Belum Mumayyiz Kepada Ayah ... 53
ix
1
A. Latar Belakang Masalah
Allah swt tidak membiarkan manusia, pria dan wanita, berkumpul dan
bertemu, dan mengadakan hubungan semuanya sendiri, seperti berkumpulnya
hewan jantan dengan hewan betinanya, kapan saja mereka menghendakinya,
dan kapan saja suasana mendesak, tanpa adanya peraturan, dan tanpa adanya
ikatan kekeluargaan.1 Maka untuk manusia, secara khusus, Allah swt
menetapkan perkawinan, sebagai jalannya untuk bolehnya berkumpul dan
mengadakan adanya hubungan itu; dan untuk perkawinan itu, Allah swt
menetapkan peraturan-peraturan yang baik, sedemikian baiknya sehingga
dengan menerapkan peraturan-peraturan itu, manusia akan mempunyai
keturunan, yang lahir dan dibesarkan dalam pengayoman ibu-bapaknya yang
sayang kepadanya, dipelihara dalam lingkungan keluarganya yang selalu
menjaga dan mengayominya dengan pengawasan yang sempurna dan
pendidikan yang sejahtera.2
Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan
umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan
dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat.3
1
Zakariya Ahmad Al Barry, Hukum Anak-Anak Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h.9.
2
Zakariya Ahmad Al Barry, Hukum Anak-Anak Dalam Islam, h.10. 3
Hukum perkawinan Islam adalah perkawinan yang didasarkan atas
hukum-hukum yang ditetapkan oleh Islam yang terkait dengan pernikahan (Fiqh
Munakahat). Materi Fiqh Munakahat tersebut sudah diadopsi ke dalam UU
No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan.
Menurut Fikih, perkawinan adalah salah satu asas pokok hidup yang
paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu
bukan hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi
juga perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainnya.4 Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pengertian perkawinan adalah “Ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”5
Menurut Kompilasi Hukum Islam
pasal 2, perkawinan adalah “Suatu pernikahan yang merupakan akad yang
sangat baik untuk mentaati perintah Allah dan pelaksanaannya adalah
merupakan ibadah. Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut
hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat
oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.6
Namun, tidaklah dapat dipungkiri bahwa untuk mempertahankan suatu
mahligai perkawinan yang sesuai dengan tujuan perkawinan dan ketentuan
pergaulan suami istri seperti yang diharapkan agama Islam itu tidaklah mudah.
4
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), h.374. 5
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, dan Zakat menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h.43.
6
Hal itu karena manusia adalah makhluk yang tidak luput dari kesalahan,
khilaf, dan dosa. Pertengkaran dan perselisihan terus-menerus dalam suatu
rumah tangga tidaklah hanya digambarkan secara fisik maupun dari kata kata
tidak senonoh ataupun mengucapkan kata talak, baik secara sharih (jelas)
maupun khinayah (sindiran bermaksud mentalaq) tetapi juga dapat suatu
pertengkaran itu berupa adanya acuh (tidak ada komunikasi) dan mendiamkan
satu sama lain yang menunjukan tidak ada harapan lagi keduanya akan hidup
rukun kembali dalam rumah tangga.
Jika suami menceraikan istrinya, sedangkan dia memiliki anak darinya,
maka istrinya lebih berhak untuk memelihara si anak sampai mumayyiz.
Setelah itu, anak diberi hak memilih diantara kedua orang tuanya. Siapa saja
yang dia pilih diantara keduanya, maka anak itu diserahkan kepadanya.7 Abu
Dawud meriwayatkan dari „Amru bin Syu‟aib dari bapaknya dari kakeknya
bahwa Rasulullah saw didatangi oleh seorang wanita dan berkata, “Wahai
Rasulullah! Putraku ini membutuhkan perutku sebagai bejananya,
payudaraku sebagai minumannya, dan pangkuanku.” Rasulullah lalu
bersabda kepadanya, “Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau
belum menikah.”8
Hadhanah menurut bahasa berarti meletakan sesuatu dekat tulang rusuk
seperti menggendong, atau meletakan sesuatu dalam pangkuan. Seorang ibu
7
Musthafa Diib Al-Bugha, Fikih Islam Lengkap Madzhab Syafi’i (Penjelasan Hukum -Hukum Islam), (Solo: Media Zikir, 2009), h.417.
8
waktu menyusukan, meletakan dipangkuannya, dan melindunginya dari segala
yang menyakiti.9 Erat hubungannya dengan pengertian tersebut, hadhanah
menurut istilah ialah tugas menjaga dan mengasuh dan mendidik bayi atau
anak kecil sejak ia lahir sampai mampu menjaga dan mengatur dirinya
sendiri.10 Syarat untuk mengasuh anak itu ada tujuh: berakal, merdeka, beragama, bisa menjaga kehormatan diri (wanita baik-baik), amanah,
bermukim disuatu daerah yang jelas, tidak bersuami. Jika kurang dari salah
syarat, maka gugurlah hak untuk mengasuh anak dari istri yang dicerai itu.11 Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai umur tertentu
memerlukan orang lain dalam kehidupannya, baik dalam pengaturan fisiknya,
maupun dalam pembentukan akalnya. Seorang yang melakukan tugas
hadhanah sangat berperan dalam hal tersebut. Oleh sebab itu masalah
hadhanah mendapatkan perhatian khusus dalam ajaran Islam, di atas pundak
kedua orangtuanya terletak kewajiban untuk melakukan tugas tersebut.
Bilamana orangtuanya tidak dapat atau tidak layak untuk tugas itu disebabkan
tidak mencukupi syarat-syarat yang ditentukan menurut pandangan Islam,
maka hendaklah dicarikan pengasuh yang mencukupi syarat-syaratnya.12
Maka yang paling diharapkan adalah keterpaduan kerjasama antara
ayah dan ibu dalam melakukan tugas ini. Jalinan kerjasama antar keduanya
9
Sayyid Sabiq, Fiqih Al-Sunnah Jilid IV, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1983),h. 288. 10
Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah), (Jakarta: Prenada Media, 2004), h.166.
11
Musthafa Diib Al-Bugha, Fikih Islam Lengkap Madzhab Syafi’i (Penjelasan Hukum -Hukum Islam), h.417.
12
hanya akan bisa diwujudkan selama kedua orang tua itu masih tetap dalam
hubungan suami istri. Dalam suasana yang demikian kendatipun tugas
hadhanah sesuai dengan tabiatnya akan lebih banyak dilakukan oleh pihak
ibu, namun peranan seorang ayah tidak bisa diabaikan, baik dalam memenuhi
segala kebutuhan yang memperlancar tugas hadhanah, maupun dalam
menciptakan suasana damai dalam rumah tangga dimana anak diasuh dan
dibesarkan.13
Harapan di atas tidak akan terwujud, bilamana terjadi perceraian antara
ayah dan ibu si anak. Peristiwa perceraian, apapun alasannya merupakan
malapetaka bagi si anak. Disaat itu si anak dapat merasakan kasih sayang
sekaligus dari kedua orang tuanya. Padahal merasakan kasih sayang kedua
orang tua merupakan unsur penting untuk pertumbuhan mental si anak.
Pecahnya rumah tangga orang tua, tidak jarang membawa kepada terlantarnya
pengasuhan anak, itulah sebabnya menurut ajaran Islam perceraian sedapat
mungkin harus dihadirkan.14 Dalam sebuah hadits diingatkan, bahwa, “Sesuatu yang halal (dibolehkan) yang paling tidak disukai Allah adalah
perceraian.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).15
Suatu gugatan perceraian, bisa mengundang berbagai permasalahan. Di
samping gugatan cerai itu muncul pula masalah-masalah lain sebagai akibat
13
Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah), h.167.
14
Syeikh Hassan Khalid dan Adnan Najja, Ahkam Ahwal Syakhsiyyah fi
Al-Syari’ah Al-Islamiyyah Cet I, (Beirut: Al-Maktabah Al-Tijari, 1964), h.112. 15
dari dikabulkannya surat cerai tersebut, seperti masalah pembagian harta
bersama, dan bilamana mempunyai keturunan timbul pula permasalahan
tentang siapa yang lebih berhak melakukan hadhanah (pemeliharan) terhadap
anak.16 Masalahnya akan menjadi lebih rumit, bilamana masing-masing dari
kedua orangtua tidak mau mengalah, disebabkan ada pertimbangan prinsipal
dalam pandangan kedua belah pihak.17
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 105 huruf a yang
menyatakan bahwa,”Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya.” Akan tetapi pada kenyataannya
Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah menjatuhkan putusan
hak hadhanah yang seharusnya jatuh pada istri, namun memberikan hak
hadhanah tersebut kepada si suami, hal ini sangat bertentangan terhadap fikih
maupun Kompilasi Hukum Islam. Sehingga berlatar belakang dari persoalan
itu, dengan ketidaksesuaian antara ketentuan fikih dan Kompilasi Hukum
Islam dengan kenyataan yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
maka penulis tertarik untuk mengangkat judul skripsi mengenai “Ayah Sebagai Pengasuh Bagi Anak Yang Belum Mumayyiz (Analisis Putusan Perkara No. 2282/Pdt.G/2009/PA.JS).”
16
Saud Agil Husain Al-Munawwar, Problematika Keluarga Islam Konteporer (Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah), (Jakarta: Prenada Media, 2004), h.189.
17
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Menyadari karena luasnya permasalahan pada hukum perkawinan,
maka penulis membatasi masalah pada putusan hak asuh anak (hadhanah)
terhadap anak belum mumayyiz pada perkara No. 2282/Pdt.G/2009/PA.JS.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan al-Qur‟an, Hadits, dan Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam bahwa pemeliharaan anak
yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak istri.
Sedangkan dalam kenyataannya di Pengadilan Agama, telah memberikan
hak hadhanah kepada suami seperti yang diputuskan Majelis Hakim
Pengadilan Agama Jakarta Selatan perkara No. 2282/Pdt.G/2009/PA.JS.
Rumusan masalah di atas, penulis rinci dalam beberapa pertanyaan
berikut:
a. Bagaimana hak hadhanah anak yang belum mumayyiz akibat putusnya
perkawinan dalam Fikih dan Kompilasi Hukum Islam?
b. Apa dasar dan pertimbangan majelis hakim yang digunakan dalam
menetapkan perkara No. 2282/Pdt.G/2009/PA.JS?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun hasil yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah
a. Untuk mengetahui hak hadhanah anak yang belum mumayyiz akibat
putusnya perkawinan dalam Fikih dan Kompilasi Hukum Islam.
b. Untuk mengetahui dasar dan pertimbangan majelis hakim yang
digunakan dalam menjatuhkan penetapan perkara No.
2282/Pdt.G/2009/PA.JS.
2. Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, hasil studi ini diharapkan
bermanfaat untuk penulis khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya,
yaitu:
a. Secara Akademik
Menambah ilmu pengetahuan dibidang hukum perdata serta
mengembangkan ilmu dibidang syariah, khususnya dalam bidang
hadhanah akibat putusnya perkawinan.
b. Secara Lembaga Pustaka
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan ilmiah
dalam memperkaya studi analisis yurisprudensi.
c. Secara Pribadi
Untuk memperluas pengetahuan hukum bagi penulis, khususnya
mengenai Keperdataan Islam dibidang hadhanah serta meningkatkan
kualitas penulis dalam membuat karya tulis ilmiah serta memenuhi
salah satu syarat guna memperoleh gelar S1 dalam bidang hukum
d. Secara Umum
Pengembangan wawasan hukum terhadap perkara-perkara yang ada
pada perkawinan yaitu perkara hadhanah akibat putusnya perkawinan.
D. Metode Penelitian
Metode dalam sebuah penelitian merupakan hal yang penting dan harus
dipegang untuk mencapai hasil yang dapat dipertanggung jawabkan secara
ilmiah. Metodologi dibutuhkan agar penelitian yang dilakukan terlaksana
dengan teratur sesuai dengan prosedur keilmuan yang berlaku. Dalam
penyusunan skripsi ini, metode yang digunakan penulis adalah sebagai
berikut:
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini diaplikasikan model pendekatan kasus, yaitu
mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan
dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus
lalu dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi
penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum.
Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang menekankan
kualitas sesuai dengan pemahaman deskriptif. Penelitian ini berupa
analisis terhadap kasus yang berkenaan dengan putusan hak hadhanah
kepada ayah bagi anak belum mumayyiz yang terjadi di Pengadilan Agama
Adapun pendekatan penelitian ini dilakukan dengan penggabungan
dari penelitian yuridis dan penelitian empiris. Penelitian yuridis dilakukan
dengan cara mempelajari data sekunder berupa buku-buku dan
PerUndang-Undangan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
Sedangkan penelitian empiris dilakukan dengan wawancara dan
menganalisa putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Sedangkan jenis
data yang digunakan yaitu data kualitatif.
2. Metode Pengumpulan Data
Sumber data penelitian hukum dapat dibedakan menjadi
sumber-sumber penelitian berupa data primer dan data sekunder. Adapun sumber-sumber
data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu:
a. Data Primer
1) Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan perkara perkara No.
2282/Pdt.G/2009/PA.JS.
2) Wawancara mendalam (indept interview) terhadap hakim untuk
mendapatkan informasi tentang bagaimana pertimbangan hakim
dalam menetapkan perkara.
b. Data sekunder
1) Buku-buku dan kitab-kitab yang berkenaan dengan hadhanah.
2) Artikel-artikel yang berkaitan baik dari surat kabar maupun
elektronik.
Adapun metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam
a. Putusan perkara perkara No. 2282/Pdt.G/2009/PA.JS, yaitu teknik
pengumpul data dengan cara meng-copy putusan tersebut kemudian
dianalisis oleh penulis.
b. Wawancara mendalam (indept interview), yaitu teknik pengumpul data
untuk mendapat informasi dengan cara mengajukan pertanyaan dan
meminta penjelasan kepada hakim yang memutus perkara tersebut.
c. Kajian kepustakaan, untuk memahami teori-teori dan konsep yang
berkenaan dengan metode ijtihad hakim melalui berbagai buku dan
literatur yang dipandang mewakili (representative) dan berkaitan
dengan obyek penelitian.
Obyek dalam penelitian ini adalah putusan pengadilan yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan yaitu putusan
perkara perkara No. 2282/Pdt.G/2009/PA.JS.
3. Teknik Penulisan Skripsi
Penulisan yang digunakan adalah deskriptif analisis yaitu dengan
cara penulisan yang menggambarkan permasalahan yang didasari pada
data-data yang ada, lalu dianalisis lebih lanjut untuk kemudian diambil
kesimpulan. Adapun pedoman yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012. Serta
penulisan ayat Al-Qur‟an dan Hadits ditulis satu spasi, termasuk
terjemahan Al-Quran dan Hadits dalam penulisannya diketik satu spasi
ejaan yang disempurnakan (EYD), kecuali nama pengarang dan daftar
pustaka ditulis di awal.
E. Teknik Analisis Data
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis
mengenai alasan dan dasar hukum yang dijadikan pegangan hakim dalam
menetapkan keputusan terhadap kasus yang dibahas. Analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan content analysis
(analisis isi) dan mengidentifikasi apa yang menjadi perhatian penulis yaitu
terhadap putusan hakim yang berkenaan dengan hadhanah anak di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan, serta apa yang menjadi persoalan.
Dalam melakukan identifikasi ini proses yang akan penulis lakukan
antara lain:
1. Proses kategorisasi, yaitu proses menyusun kembali catatan dari hasil
observasi atau wawancara menjadi bentuk yang lebih sistematis.
2. Proses prioritas, yaitu dengan memilih mana yang kategori yang dapat
ditampilkan dan mana yang tidak perlu ditampilkan.
3. Proses penentuan kelengkapan, yaitu untuk mengetahui kategori yang
dihasilkan sudah cukup atau belum.
F. Tinjauan Kajian Terdahulu
1. Siti Maryam (108044200013), Hak Hadahanah Anak Belum Mumayyiz
Akibat Istri Nusyuz (Analisis Putusan Perkara No.2545/Pdt.G/2010/
Menganalisa tentang pandangan hukum positif, konsep, serta dasar
pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara hadhanah, penetapan
perkara No. 2545/Pdt.G/2010/PA.JT. Tulisan ini lebih mengacu kepada
praktik penetapan hadhanah di Pengadilan Agama Jakarta Timur.
2. Aziz Angga Riana (106044101392), Kewajiban Pembiayaan Hadhanah
Anak Yang Masih Dibawah Umur Akibat Perceraian (Studi Kritis Pasal
105 Point e Pasal 156 Point d Kompilasi Hukum Islam).
Menyajikan tentang kewajiban pembiayaan anak yang masih
dibawah umur akibat perceraian dengan menganalisa Pasal 105 point c
jo. Pasal 156 point d Kompilasi Hukum Islam, langkah apa yang
seharusnya dilakukan oleh Pengadilan Agama apabila si ayah/suami
tidak bisa atau tidak mampu bertanggung jawab dalam masalah
pembiayaan hadhanah.
3. Mochammad Ansory (105044201459), Hak Hadhanah Terhadap Ibu
Wanita Karir (Analisis Putusan Perkara No. 458/Pdt.G/2006/Pengadilan
Agama Depok).
Menganalisa tentang pandangan hukum positif, konsep, serta dasar
pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara hadhanah, penetapan
perkara No. 458/Pdt.G/2006/PA.Dpk. Tulisan ini lebih mengacu kepada
praktik penetapan hadhanah di Pengadilan Agama Depok.
4. Rizal Purnomo (104044201485), Gugat Rekonpensi Dalam Sengketa
Cerai Gugat Dan Implikasinya Hak Hadhanah Di Pengadilan Agama
Menyajikan tentang pandangan hukum Islam dan hukum positif,
konsep, serta dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara
hadhanah, dalam perkara No. 78/Pdt.G/2007/PA.JP yang dijatuhkan
melalui gugatan rekopensi.
Dari review yang saya lakukan, terlihat bahwa para peneliti
memang sudah banyak yang membahas mengenai masalah hadhanah yang
dijatuhkan kepada suami. Para peneliti terdahulu lebih fokus kepada
analisis yang dikaitkan dengan hukum fikih dan hukum positif. Dari kasus
peneliti di atas, maka penulis sangat membedakan penelitian dalam
masalah hadhanah yaitu berdasarkan perkara No. 2282/Pdt.G/2009/PA.JS.
Ketidakserasian dalam pemberian hak asuh anak yang belum mumayyiz di
Pengadilan Agama dengan teori yaitu fikih dan Kompilasi Hukum Islam,
menarik sekali bagi penulis untuk membahasnya, dikarenakan
penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelum pembahasan skripsi ini
memberikan inspirasi pada penulis untuk mengkaji lebih lanjut ditinjau
dari segi mana dan apa yang menjadi dasar seorang hakim menjatuhkan
putusan yang memberikan hak asuh anak kepada suami bukan kepada istri.
Agar pembahasan skripsi ini tidak melebar, penulis ingin lebih
fokus dengan analisis perkara No. 2282/Pdt.G/2009/PA.JS yaitu perkara
cerai gugat yang didalamnya terdapat hak hadhanah. Dengan demikian
penulis menggarisbawahi bahwasannya bahasan ini tidak ada kesamaan isi
dan pertimbangan hakim karena berdasarkan data yang diperoleh di
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini dibagi dalam lima bab, yaitu
sabagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang
masalah, batasan dan rumusan masalah,tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, teknik analisis data, kajian tinjauan terdahulu, dan sistematika
penulisan.
Bab kedua berisikan tentang ruang lingkup hadhanah yaitu hadhanah
menurut hukum Islam, hadhanah menurut kompilasi hukum Islam, hak
pemeliharaan anak menurut undang-undang perlindungan anak dan
yurisprudensi mahkamah agung, orang-orang yang berhak mengasuh,
syarat-syarat pemeliharaan anak biaya, masa pengasuhan dan hak khiyar hadhanah.
Bab ketiga mengenai profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan
deskripsi putusan perkara No. 2282/Pdt.G/2009/PA.JS.
Bab keempat mengenai analisis penulis yaitu, pertimbangan majelis
hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan memberikan hak hadhanah anak
belum mumayiz dalam putusann Nomor 2282/Pdt.G/PA.JS dan analisis
penulis terhadap pertimbangan majelis hakim perkara No.
2282/Pdt.G/2009/PA.JS.
Bab kelima merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan
16
DI INDONESIA
A. Hadhanah Menurut Hukum Islam
Pada dasarnya yang dimaksud dengan pemeliharaan anak adalah
mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu
berdiri sendiri. Adapun pemeliharaan anak diambil dari pengertian istilah
bahasa Arab “hidanah” atau dapat pula dibaca “hadhanah” yang berasal dari
kata “al hidnu” yang artinya:1 sisi, samping, arah, lambung, rusuk,anggota
tubuh dari ketiak sampai ke pinggul, dan meletakkan sesuatu pada tulang
rusuk atau pangkuan, karena sewaktu menyusukan anaknya ibu meletakkan
pada pangkuan atau sebelah rusuknya, yang seakan-akan ia melindungi dan
memelihara anaknya.2
Secara terminologis pengertiannya adalah pemeliharaan anak kecil,
orang lemah, orang gila sudah besar tapi belum mumayyiz dari apa yang dapat
memberikan mudarat kepadanya, mengusahakan pendidikannya
mengusahakan kemaslahatanya berupa kebersihan, memberi makan dan
mengusahakan apa saja yang menjadi kesenanganya.3 Sayyid Sabiq mendefinisikan hadhanah sebagai melakukan pemeliharaan anak-anak yang
1
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h.274.
2
Jamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Dina Utama, 1993), h.119. 3
masih kecil laki-laki maupun perempuan dan sudah besar tetapi belum
mumayyiz, tanpa perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang
menjadikan kebaikan baginya, menjaga sesuatu yang menyakiti dan
merusaknya, mendidik jasmani rohani dan akalnya agar mampu berdiri sediri
menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.4Menurut Wahbah Zuhaili yaitu mendidik dan memelihara orang yang tidak dapat menjaga dirinya
sendiri dari hal yang dapat menyakitinya karena tidak cakap seperti anak kecil
dan orang gila.5
Pengertian yang lebih moderat didefinisikan dalam Encyclopedia
Islam yaitu mengasuh anak kecil atau abnormal yang belum atau tidak dapat
hidup mandiri yakni dengan memenuhi kebutuhan hidupnya, menjaganya dari
hal-hal yang membahayakan, pendidikan fisik maupun psikis serta
mengembangkan kemampuan intelektualnya agar sanggup memikul tanggung
jawabnya. Hadhanah berbeda dengan tarbiyah, dalam hadhanah terkandung
pengertian pemeliharaan anak jasmani dan rohani disamping ada pengertian
pendidikan terhadap anak, pendidik mungkin terdiri dari keluarga si anak dan
mungkin pula bukan dari keluarga si anak dan ia merupakan pekerjaan
profesional. Hadhanah dilaksanakan dan dilakukan oleh keluarga si anak
kecuali jika anak tidak mempunyai keluarga, maka hal ini dilakukan oleh
setiap ibu anggota kerabat lainnya.6 Menurut Asywadie Syukur, bahwa dalam konsep hadhanah termasuk pula dimensi penyusuan tetapi menurut
4
Al-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Terjemah, h.288. 5
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu, Jus X, (Dimasqy: Dar al-Fikr), h.7295.
6
Mugniyah penyusuan berbeda dan terpisah dari konsep hadhanah hal itu
nampak jelas dari kenyataan bahwa seorang ibu bisa atau boleh
menggugurkan haknya untuk menyusui, namun tetap mempertahankan
haknya dalam hadhanah.7
Syari‟at Islam membebani kewajiban orang tua untuk memelihara
keselamatan dan perkembangan anak, atas dasar pertimbangan bahwa
anak-anak adalah titipan (amanat) Tuhan yang harus dijaga baik-baik sebab mereka
akan mempertanggung jawabkannya kepada tuhan.
Anak kecil selama bertahun-tahun pada permulaan hidupnya belum
dapat menyadari terhadap bahaya yang megancam hidupnya. Di samping itu,
mereka juga belum dapat menjaga dan menghindarkan diri dari ancaman
berbagai penyakit. Oleh karena itu orang tualah yang seharusnya bertanggung
jawab terhadapnya. Karena pertimbangan itulah, maka Islam sangat
menekankan pentingnya pemeliharaana anak. Al-Qur‟an menetapkan aturan
-aturan tentang perlindungan anak, juga menetapkan tuntunan tingkah laku
sepanjang hidupnya.
Ada sejumlah aturan umum dan prinsip-prinsip dasar sebagai
pedoman di mana Islam mengajarkan bahwa menjaga kelangsungan hidup
anak dan perkembangan anak merupakan keharusan. Meremehkan atau
megendurkan pelaksanaan prinsip-prinsip dasar tersebut dianggap sebagai
suatu dosa besar, prinsip-prinsip dasar tersebut antara lain terdapat pada
al-Q.S. An-Nisa‟ (4) : 9 yang berbunyi:
7
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل(
لءاسنلا
٤:
۹
)
ل
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.
Yang dimaksud dengan anak-anak yang lemah atau manusia yang
lemah dalam ayat tersebut meliputi lemah mental spiritual. Karena itu
Al-Qur‟an selanjutnya memerintahkan dalam QS At-Tahrim (66) : 6 yang
berbunyi:
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل(
لم حتلا
٦٦
ل:
٦
)
ل
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Memelihara dari api neraka berarti harus melaksanakan seluruh
perintah Allah SWT. dan meghentikan seluruh larangan-Nya. Karena anak
termasuk dalam lingkungan keluarga maka orang tua atau kerabat juga
mempunyai kewajiban untuk mendidiknya seperti menjadi orang yang
beragama agar kelak ia dapat terhindar dari siksaan api neraka.
Sedangkan yang dimaksud dengan memelihara keluarga dalam ayat
muslim yang berguna bagi agama. Firman Allah SWT. dalam Q.S.
Al-Baqarah (2) : 233 yang berbunyi:
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
لل
(
ل قبلا
٢
ل:
٢٢٢
)
للل
ل
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Begitu juga hadis Nabi saw.
Dari Rafi‟ bin Sinan ra. ia masuk Islam, tetapi istrinya tidak mau (mengikutinya) masuk Islam maka Nabi saw. mendudukan sang ibu di satu sudut dan sang ayah di sudut yang lain, kemudian beliau dudukan si anak diantara keduanya. Ternyata si anak cenderung kepada ibunya. Maka beliau berdoa, “Ya Allah berilah petunjuk”. Dan kemudian ia condong kepada ayahnya, maka sang ayah mengambilnya.8 (HR. Abu Dawud dan Nasa‟I, hadis ini dinilai shahih oleh Imam Hakim).
Dari dasar-dasar pemeliharaan anak di atas secara implisit dapat
ditangkap suatu gagasan sentral bahwa pokok dari pemeliharaan anak pada
hakekatnya menurut ajaran Islam mengandung misi “penyelamatan”, yaitu
menyelamatkan kehidupan anak baik di dunia maupun di akhirat kelak. Oleh
karena itu, dilihat dari aspek moralnya bahwa misi hadhanah adalah untuk
kepentingan anak yang diasuh. Karena itu memelihara dan mengasuh anak
merupakan suatu kewajiban bagi orang tua, karena apabila anak tidak
dipelihara, dididik, maka anak akan celaka, apabila orang tua mengabaikan
pendidikan anak maka ia akan berdosa dan ketika masih kecil anak masih
butuh pada asuhan orang tuanya.9
Para fuqaha‟ sepakat bahwa hak pemeliharaan anak (hadhanah) ada
pada ibu selama ia belum bersuami lagi. Apabila ia telah bersuami lagi dan
sudah disetubuhi oleh suami yang baru maka gugurlah pemeliharaannya.10
Sedangkan para Imam Mazhab berbeda pendapat tentang suami istri yang
bercerai, adapun mereka mempunyai seorang anak atau lebih.
8
Imam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz II, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 1996), h.139.
9
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, h.612. 10
Menurut pendapat Imam Hanafi dalam salah satu riwayatnya: Ibu
lebih berhak atas anaknya hingga anak itu besar dan dapat berdiri sendiri
dalam memenuhi keperluan sehari-hari seperti makan, minum, pakaian,
beristinjak, dan berwudhu. Setelah itu, bapaknya lebih berhak
memeliharanya. Untuk anak perempuan, ibu lebih berhak memeliharanya
hingga ia dewasa, dan tidak diberi pilihan.
Imam Miliki berkata: ibu lebih berhak memelihara anak perempuan
hingga ia menikah dengan orang laki-laki dan disetubuhinya. Untuk anak
laki-laki juga seperti itu, menurut pendapat Maliki yang masyhur, adalah
hingga anak itu dewasa. Imam Syafi‟i berkata: Ibu lebih berhak
memeliharanya, baik anak itu laki-laki maupun perempuan, hingga ia berusia
tujuh tahun. Apabila anak tersebut telah mencapai usia tujuh tahun maka anak
tersebut diberi hak pilih untuk ikut diantara ayah atau ibunya.
Imam Hambali dalam hal ini mempunyai dua riwayat: Pertama, ibu
lebih berhak atas anak laki-laki sampai ia berumur tujuh tahun. Setelah itu, ia
boleh memilih ikut bapaknya atau masih tetap bersama ibunya. Sedangkan
untuk anak perempuan, setelah ia berumur tujuh tahun, ia terus tetap bersama
ibunya, tidak boleh diberi pilihan. Kedua, seperti pendapatnya Imam Hanafi,
yaitu ibu lebih berhak atas anaknya hingga anak itu besar dan berdiri sendiri
dalam memenuhi keperluan sehari-hari sepeti makan, minum, pakaian,
beristinjak, dan berwuduk. Setelah itu, bapak lebih berhak memeliharanya.
Untuk anak perempuan, ibu yang lebih berhak memeliharanya hingga ia
dewasa dan tidak diberi pilihan.11
11
B. Hadhanah Menurut Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam berbagai hal merujuk kepada
peratuan perundang-undangan yang berlaku. Di samping itu, ia juga merujuk
kepada pendapat fuqaha yang sangat dikenal di kalangan ulama dan
masyarakat Islam Indonesia.
Hal itu menunjukan bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjadi
pelaksana bagi peraturan perundang-undangan, terutama yang berkenaan
dengan keberlakuan hukum Islam (bagi orang Islam) dalam bidang
perkawinan sebagaiman diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. KHI juga mengakomodasi berbagai pandangan
fuqaha, bersumber pada ajaran Islam yang sebagian telah menjadi hukum
yang hidup di masyarakat. Kedua landasan tersebut dijadikan landasan yuridis
dan fungsional dalam penyusunan KHI.12 Oleh sebab itu, KHI mengacu kepada dua tatanan hukum yang berbeda, ia memikul beban untuk
mengintegrasikan keduanya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdapat beberapa pasal tentang
pemeliharaan anak, dan untuk lebih jelasnya penyusun kemukakan pasal-pasal
tersebut sebagai berikut:13 Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
12
Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, cet.1, (Bandung: Rosdakarya, 1997), h.29.
13
1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu. 2. ayah.
3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah. 4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu. 6. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.
c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun).
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah an.ak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.
C. Hak Pemeliharaan Anak Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak
Walaupun kata “Hak Asuh” telah biasa dipergunakan dalam
membahas hak orang tua untuk mengasuh anaknya khususnya ketika pasangan
suami istri yang telah memiliki anak melakukan perceraian atau pisah rumah
akan tetapi kata hak asuh tersebut tidak ditemukan dalam UU Perlindungan
Anak yang terkait dalam hukum keluarga.
Kosa kata yang identik dengan itu adalah Kuasa Asuh sebagaimana
dijelaskan dalam pasal 1 angka 11 UU Perlindungan Anak yang mengatakan
memelihara, membina, melindungi, dan menumbuh kembangkan anak sesuai
dengan agama yang dianutnya dan kemanpuan, bakat, serta minatnya.14
Apabila kata “Kuasa Asuh” tersebut berdiri sendiri maka kata tersebut
dapat diartikan sebagai suatu kewenangan untuk mengasuh. Pemahaman
demikian dapat memberikan kesan bahwa orang tua di satu pihak memiliki
kewenangan terhadap anak di pihak lain. Namun demikian halnya apabila
menafsirkan kata “Kuasa Asuh” seperti halnya rumusan UU Perlindungan
Anak yang dikutip di atas karena kewenangan yang dimaksud adalah
kewenangan dalam mengasuh, mendidik, memelihara, membina dan
melindungi serta kewenangan untuk menumbuh kembangkan anak dengan
catatan bahwa cara dan arah pengembangan harus disesuaikan dengan Agama
yang dianut serta kemampuan, minat dan bakatnya, dengan kata lain kuasa
asuh merupakan hak dari orang tua untuk menjalankan kewajiban dalam
hal-hal tersebut.
Di dalam UU Perlindungan Anak pada dasarnya murni mengatur
tentang perlindungan terhadap anak, tanpa melihat latar belakang kondisi
orang tua yang bercerai atau tidak bercerai. Undang-Undang ini juga tidak
mempermasalahkan apakah anak memiliki kejelasan orang tua atau tidak.
Makna lain yang terlihat adalah, adanya fenomena kekhususan dan ketegasan
UU Perlindungan Anak dalam memberikan perlindungan terhadap anak.
Tanggung jawab perlindungan anak berdasarkan UU ini, secara tegas
dikontruksikan dengan pelibatan kewajiban bersama antara orang tua,
14
masyarakat dan Negara yang terbaik bagi anak. UU Perlindungan Anak dapat
dikatakan memiliki nilai Universal yang tinggi. Sebab prolog kelahiran
Undang-Undang ini setelah lebih dulu melalui fase-fase keprihatian
masyarakat Internasional. Khususnya berkaitan dengan nasib anak sebagai
penerus peradaban manusia.15
D. Orang-Orang yang Berhak Mengasuh
Dalam hal terjadinya perceraian selama tidak ada hal-hal yang
melarang, dan anak-anak belum memiliki kemampuan untuk memilih, ibulah
yang paling berhak untuk mengasuh anaknya, karena ibu mempunyai kasih
sayang yang lebih, di samping itu wanita umumnya lebih sering dirumah,
sedangkan laki-laki mempunyai pekerjaan di luar rumah.
Para ahli fiqih kemudian memperhatikan bahwa kerabat ibulah yang
lebih didahulukan dari pada kerabat ayah dalam menangani asuhan terhadap
anak. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang paling
berhak terhadap asuhan pasca ibu.
Ketika anak tersebut telah mumayyiz maka hak hadhanah diberikan
sepenuhnya kepada anak untuk memilih diantara keduanya. Dalam hal urutan
orang yang berhak melakukan hadhanah antara lain yaitu:
1. Apabila anak mempunyai kerabat laki-laki dan perempuan, maka
didahulukan ibu dari pada ayah. Kemudian ibu dari ibu seterusnya ke atas
dengan syarat ada hubungan hak waris dengan anak. Apabila mereka tidak
ada hubungan hak waris maka ayahlah yang lebih berhak melakukan
15
hadhanah, kemudian ibu dari ayah dan seterusnya ke atas dengan syarat
ada hubungan waris. Apabila pada tingkat ini tidak ada, maka yang berhak
adalah kerabat yang paling dekat, dengan ketentuan kerabat yang
perempuan didahulukan dari kerabat yang laki-laki. Dan juga apabila
mereka juga tidak ada, maka yang berhak adalah keturunan menyamping
(hawasyi), seperti saudara perempuan, saudara laki-laki dan sebagainya.
2. Apabila anak hanya mempunyai keluarga perempuan saja, maka ibu
didahulukan, kemudian ibu dari ibu, ibu dari ayah dan seterusnya ke atas.
Kemudian saudara perempuan, saudara perempuan ibu, anak perempuan
dari saudara perempuan, saudara perempuan ayah, anak perempuan dari
saudara perempuan ayah, anak perempuan dari saudara lak-laki ibu,
dengan ketentuan didahulukan yang sekandung dari pada yang tidak, dan
didahulukan yang seayah dari pada yang seibu.
3. Apabila anak hanya mempunyai keluarga yang laki-laki saja, maka
didahulukan ayah, kemudian kakek, saudara laki-laki kandung, seayah,
saudara laki-laki dari ayah yang sekandung atau seayah, kemudian anak
dari saudara laki-laki seayah.16Sementara hak asuh itu berturut-turut dari ibu kepada ibunya dan seterusnya ke atas, saudara perempuan ibu
sekandung, saudara perempuan ibu seibu, saudara nenek perempuan dari
pihak ibu, saudara perempuan kakek dari pihak ibu, saudara perempuan
kakek dari pihak ayah, ibu ibunya ayah ibu bapaknya ayah dan
seterusnya.17
16
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h.141-142. 17
E. Syarat-Syarat Pemeliharaan Anak
Hadhanah dimaksudkan untuk mempersiapkan anak ke dalam
kondisi, baik secara fisik maupun mental. Menjadi kewajiban bagi orang yang
mengasuh untuk menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak yang
diasuhnya dengan memperhatikan kemaslahatan, yakni dengan adanya
kecakapan dan kecukupan. Oleh karena itu, untuk dapat menyelenggarakan
hal ini diperlukan cara-cara tertentu yang harus dimiliki oleh pelaku
hadhanah. Jika salah satu dengan cara-cara tersebut tidak dipenuhi, maka
gugurlah haknya untuk melakukan hadhanah. Syarat-syarat tersebut adalah:18
1. Baligh
Ulama sepakat bahwa pelaku hadhanah harus baligh, sebab anak kecil
sekalipun sudah mumayiz tetap masih membutuhkan orang lain untuk
mengurusi urusannya dan mengasuhnya. Karena itu, ia tidak boleh
mengurusi orang lain.
2. Berakal sehat.
Orang gila dan orang kurang sehat akalnya tidak boleh melakukan
hadhanah. Karena mereka tidak dapat mengurusi urusannya sendiri dan
masih membutuhkan orang lain untuk mengurusnya.
3. Mampu melakukan tugas-tugas pengasuhan anak.
Orang yang karena lemah badannya, sakit, cacat jasmaninya, atau sudah
tua dan tidak mampu untuk melakukan tugas untuk mengasuh anak, maka
orang yang seperti itu tidak berhak lagi untuk melakukan hadhanah.
18
4. Memiliki sifat amanah dalam mendidik anak.
Sebab orang yang curang atau tidak memiliki sifat amanah tidak aman
bagi anak yang diasuhnya dan tidak dapat dipercaya untuk melakukan
kewajibannya dengan baik. Bahkan mungkin anak itu akan meniru atau
berkelakuan seperti orang yang mengasuhnya.
5. Merdeka (bukan budak).
Karena budak tidak berkuasab atas dirinya sendiri (berada di bawah
kekuasaan tuanya), sehingga tidak mampu mengurusi urusan orang lain.
6. Jika pelaku hadhanah ibunya, maka disyaratkan dia belum menikah
dengan laki-laki lain yang bukan mahram anaknya. Sebagaimana hadis
Nabi Muhammad SAW. yang berbunyi:19
ُهْ َع ُللَا َيِضَر ٍوِرْمَع ِنْب ِللَا ِدْبَع ْنَع
: ْتَلاَق ًةَأَرْمِا نَأ ;اَم
يِْبِا نِإ !ِللَا َلوُسَر اَي
َداَرَأَو ,يَِقلَط ُاَبَأ نِإَو ,ًءاَوِح َُل يِرْجِحَو ,ًءاَقِس َُل يِيْدَثَو ,ًءاَعِو َُل يِْطَب َناَك اَذَ
َتَْ ي ْنَأ
ْمَل اَم ,ِِب قَحَأ ِتْنَأ ملسو يلع ها ىلص ِللَا ُلوُسَر اَهَل َلاَقَ ف يِِم َُعِز
ي ِحِكَْ ت
)
ُمِكاَحْلَا َُححَصَو ,َدُواَد وُبَأَو ,ُدَمْحَأ ُاَوَر
(
Artinya: “Seorang perempuan berkata (kepada Rasullulah): Wahai Rasullulah sesungguhnya anakku ini aku yang mengandungnya, air susuku yang diminumnya, dan dibilikku tempat berkumpulnya (bersamaku). Sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku, dan ingin memisahkannya dariku. Maka rasullulah Saw. bersabda: kamulah yang lebih berhak (memeliharanya), selama kamu tidak menikah”. (HR. Abu Dawud).
7. Islam
Fuqaha berbeda pendapat mengenai syarat ini. Fuqaha mazhab Syafi‟i
dan Hambali mensyaratkan Islam bagi pelaku Hadhanah, sehingga
19
seorang istri yang kafir tidak berhak melakukan hadhanah terhadap orang
yang Islam, karena tidak ada walayah terhadapnya dan dikhawatirkan
akan menyesatkan anak dari agamanya. Sedang fuqaha mazhab Hanafi
dan Maliki tidak mensyaratkan Islam bagi pelaku hadhanah karena
Rasullulah telah memberikan hak pilih kepada seorang anak untuk diasuh
oleh ayahnya yang Islam atau ibunya yang kafir. Di samping itu dasar
hadhanah adalah kasih sayang dan hal itu tidak akan terpengaruh dengan
adanya perbedaan agama.
Jika salah satu dari syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka hak
seseorang akan gugur. Ulama berbeda pendapat mengenai apakah hak
hadhanah kembali kepada seseorang jika syarat-syarat tersebut telah dipenuhi
atau kembali, yaitu:
1. Ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa jika gugurnya hak itu karena
uzur, seperti sakit, tidak mempunyai tempat tinggal atau pergi haji,
kemudian penghalang itu telah hilang, maka hal tersebut kembali lagi
kepadanya, tetapi jika penghalang itu berupa mennikahnya ibu dengan
laki-laki lainnya yang bukan mahram anak atau bepergian dengan tanpa
uzur kemudian penghalang itu hilang, yakni dengan adanya perceraian
baik karena talak, fasakh, maupun meninggalnya suami atau telah kembali
dari bepergian, maka hak tersebut tidak bisa kembali lagi kepadanya,
karena menurut mazhab ini penghalang dalam hadhanah adalah unsur
2. Ulama jumhur (Hanafiyyah, Syafi‟iyyah dan Hanabilah) berpendapat
bahwa jika hak hadhanah itu gugur karena adanya penghalang, maka hak
itu kembali lagi kepadanya ikhtiyari (dapat diusahakan, seperti menikah
lagi, bepergian atau fasiq). Berdasarkan kaidah yang berbunyi:20
Artinya: Ketika hilang sesuatu yang mencegah, maka suatu larangan
menjadi hilang (kembali diperbolehkan).
Apabila penghalang telah hilang, maka hukum yang dihalangi seperti
semula, baik penghalang itu idtirari atau ikhtiyari. Akan tetapi, menurut
istilah ulama ushul fiqh, al-mani’ (penghalang) adalah sesuatu ketika sebab
itu telah jelas dan syarat telah terpenuhi, dan menghalangi timbulnya
akibat atas sebabnya.30Jadi, ketiadaan syarat menurut istilah mereka tidak
disebut al-mani’, meskipun dapat menghalangi timbulnya sebab atau
akibat. Dengan demikian, apabila syarat-syarat di atas tidak terpenuhi,
maka hal itu termasuk kategori tidak adanya syarat yang lengkap, bukan
termasuk adanya al-mani’ yang dapat kembali lagi, hukum yang
dihalanginya jika penghalang itu telah hilang.
F. Biaya, Masa Pengasuhan dan Hak Khiyar Hadhanah
Pemeliharaan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab
orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta
mencukupi kebutuhan hidup dari seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya,
tanggung jawab pemeliharaan berupa pengawasan dan pelayanan serta
20
pencukupan nafkah anak tersebut bersifat terus menerus sampai anak tersebut
mencapai batas umur legal sebagai orang dewasa yang telah mampu berdiri
sendiri.21
Jika yang melakukan hadhanah itu ibunya sendiri, maka ibu tidak
berhak meminta upah atau biaya dalam melakukan tugasnya, selama ia masih
berstatus sebagai istri dari ayah anak itu atau ia sudah diceraikan dan masih
dalam masa iddah, baik talak satu, dua atau tiga. Dalam hal ini ibu masih
berhak mendapatkan nafkah dari ayah. Jadi ayah tidak membayar dobel,
nafkah dan upah hadhanah. Tetapi jika telah bercerai dan masa iddahnya telah
habis, maka ia berhak atas upah itu sebagaimana haknya atas upah menyusui.
Firman Allah SWT. dalam surat At-Talaq ayat 6 yang berbunyi:
Jika yang melakukan hadhanah itu perempuan lain (bukan ibu) maka
ia berhak memperoleh upah dari ayah, kecuali kalau ia sendiri yang
menggugurkan haknya dengan sukarela untuk melakukan hadhanah.
Demikian juga ayah wajib membayar ongkos sewa rumah atau
perlengkapanya jika orang yang mengasuhnya tidak mempunyai rumah sendiri
sebagai tempat untuk mengasuh anak, atau membayar gaji pembantu jika
pengasuh (pelaku hadhanah) membutuhkannya. Jika ayah tidak mampu
membayar upah hadhanah, maka upah itu wajib dibayar oleh orang yang
bertugas menanggung nafkah anak itu. Karena upah itu sama dengan upah
menyusui yang merupakan bagian dari nafkah anak. Ayat-ayat al-Qur‟an
maupun Hadis-hadis Nabi tidak menerangkan dengan tegas tentang
21
Amiur Nurruddin dan Azhar Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,
berakhirnya masa pemeliharaan anak, yang ada hanyalah petunjuk-petunjuk
saja. Oleh karena para mujtahid dan para ulama berijtihad sendiri-sendiri
untuk menetapkan masa pemeliharaan anak, dengan tetap berpedoman pada
isyarat-isyarat al-Qur‟an dan Hadis.22 Pada dasarnya ulama fiqh sepakat
bahwa pengasuhan anak dimulai sejak anak lahir sampai mumayyiz dan
mempunyai kemampuan berdiri sendiri, akan tetapi mereka berbeda pendapat
mengenai umur mumayyiz dan mampu berdiri sendiri.
Adapun perempuan berumur sembilan tahun adalah batas maksimal
untuk diasuh. Apabila anak itu telah melewati batas maksimal, bapaknya
boleh mengambilnya dari ibunya, seterusnya bila anak tersebut mendapat usia
rusyd (sempurna akalnya) ia boleh memilih tempat tinggalnya sendiri, kecuali
jika anak itu kurang sehat akhlak maka ia terus tinggal bersama bapaknya
untuk mendapat pengawasan seperlunya.23
Menurut mazhab Malikiyyah bahwa masa asuhan anak laki-laki
adalah dari lahir sampai baligh, sementara masa asuhan anak perempuan
adalah sampai ia menikah dan di dukhuli oleh suaminya. Imam Syafi‟i
berpendapat bahwa tidak ada batasan masa waktu tertentu untuk mengasuh
anak, anak tetap tinggal bersama ibunya sampai ia bisa menentukan pilihan
apakah tinggal bersama ibu atau bapaknya. Kalau anak sudah sampai pada
tingkat ini dia disuruh memilih apakah akan tinggal bersama ibunya atau
bapaknya, kalau seorang anak laki-laki memilih tinggal bersama dengan
ibunya, maka ia boleh tinggal bersama ibunya di malam hari dan dengan
22
Jamaan Nur, Fiqih Munakahat, h.125. 23
ayahnya di siang hari, agar bapak juga bisa mendidiknya. Bila anak itu
perempuan, maka ia boleh tinggal bersam ibunya siang dan malam, tetapi bila
anak memilih tinggal bersama ayah dan ibunya, maka dilakukan undian, bila
anak diam (tidak memberi pilihan) maka ia ikut bersama ibunya.24
Di samping itu mazhab Syi‟ah berpendapat bahwa asuhan anak
laki-laki adalah sampai berumur dua tahun, sedangkan anak perempuan sampai
berumur tujuh tahun. Adapun masalah khiyar, Syafi‟i berpendapat bahwa anak
laki-laki yang sudah berumur tujuh tahun, maka ia berhak memilih antara ibu
dan bapaknya. Menurut mazhab alikiyyah dan Hanafiyyah tidak ada khiyar,
tetapi jika anak sudah mampu berdiri sendiri, makan, berpakaian dan
beristinja‟ sendiri, maka ayah lebih berhak terhadapnya. Mengenai hak khiyar
anak perempuan, Imam Syafi‟i mendasarkan bahwa apabila anak laki-laki
punya hak khiyar maka anak perempuan juga mempunyai hak. Abu Hanifah
berkata: ibu lebih berhak kepadanya sampai ia haid dan menikah, Malikiyyah
juga berpendapat bahwa ibu juga lebih berhak kepadanya sampai ia menikah
dan didukhuli oleh suaminya, sebab tidak ada hukum yang menyuruh mereka
untuk memilih, dan tidak mungkin dipisahkan dari ibunya, maka ibu lebih
berhak terhadapnya sebagaimana sebelum berumur tujuh tahun.25
24
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, h.417. 25
35