• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gugat rekonpensi dalam sengketa cerai gugat dan implikasinya terhadap hak hadhanah di pengadilan agama : studi analisis perkara No. 078/Pdt. G/2007/PA. Jakarta Pusat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gugat rekonpensi dalam sengketa cerai gugat dan implikasinya terhadap hak hadhanah di pengadilan agama : studi analisis perkara No. 078/Pdt. G/2007/PA. Jakarta Pusat"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

GUGAT REKONPENSI DALAM SENGKETA CERAI GUGAT DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HAK HADHANAH DI PENGADILAN AGAMA

( Studi Analisis Perkara No. 078/Pdt. G/2007/PA. Jakarta Pusat)

Skripsi

Ditujukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Rizal Purnomo

104044201485

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

GUGAT REKONPENSI DALAM SENGKETA CERAI GUGAT DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HAK HADHANAH DI PENGADILAN AGAMA

( Studi Analisis Perkara No. 078/Pdt. G/2007/PA. Jakarta-Pusat)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

RIZAL PURNOMO NIM. 104044201485

Dalam Bimbingan Pembimbing

KAMARUSDIANA, S.Ag., M.H NIP.150 285 972

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AHWAL AL- SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat tak terhingga kepada setiap makhluk-Nya sehingga kita tidak dapat menghitungnya dengan alat modern sekalipun. Saya selalu berharap pada Ridha dan keberkahan-Nya, semoga dapat menjadi insan yang bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat. Amiin.

Shalawat serta salam senantiasa kita limpahkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW yang telah memberikan Nur pada umat di dunia dengan menghadirkan Agama yang diridhai oleh Allah SWT yakni Islam, semoga kita mendapatkan syafa'atnya di hari kiamat nanti. Amiin.

Sungguh sangat anugerah tersendiri bagi diri saya pribadi akhirnya dapat menempuh perjalanan menyelesaikan skripsi ini, bukan sebuah halangan untuk berhenti di tengah jalan namun sebuah tantangan yang cukup merepotkan alhasil dapat diraih. Menggores hitam diatas putih ini menjadi mempunyai makna untuk kehidupan melalui fenomena yang terjadi dalam isi skripsi ini.

Dan selesainya penulisan skripsi ini sesungguhnya tidak terlepas dari bantuan, motivasi serta bimbingan dari berbagai pihak yang telah membantu dan ikut berpartisipasi dalam membantu Penulis menyelesaikan skripsi ini, ucapan terima kasih Penulis haturkan kapada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

(4)

3. Bapak Kamarusdiana S.Ag. MH., Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah.

4. Bapak Kamarusdiana S.Ag. MH., Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya, membimbing, dan mengoreksi serta memotivasi Penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini.

5. Segenap staf dan karyawan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Atas tersedianya buku-buku yang sangat membantu Penulis dalam penyusunan skripsi ini.

6. Segenap staf dan karyawan Akademik Fakultas Syariah dan Hukum dan Akademik Pusat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Ananda haturkan terima kasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya untuk kedua orang tua, yakni : Ayahanda tercinta Bapak Kasro (Alm) dan ibunda tercinta Ibu Faridah karena berkat do’a, motivasi, kasih sayang, perhatian, dan bantuan (moril, materil, dan spiritual) yang beliau berikan dengan tulus, sehingga dapat menyelesaikan studi ini dengan lancar. Do’akan ananda semoga kelak menjadi orang sukses dunia dan akhirat serta dapat membahagiakan ibunda dan mengharumkan nama ayahanda.

(5)

dan mengharmoniskan suasana keluarga yang sakhina, mawaddah, warrahma meski di tanah perantauan.

9. Lembaga Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan segenap staf dan karyawan yang turut membantu pencarian dan telah memberikan data-data yang diperlukan oleh Penulis sehingga sangat membantu selesainya penulisan skripsi ini.

10.Sohib-sohib Administrasi Keperdataan Islam Angkatan Tahun 2004 dalam My Tim KKS 07, yakni : Yanto K, A. Zarkasy, Adnan Y, Taufik J, M. Ridwan, Mara SR, M. Topik, M. Zam-2, Taufik A, dan Boy yang telah mengisi agenda pengabdian masyarakat Bangbayang kidul dengan penuh keikhlasan dalam menjalankan misi sosial kemanusiaan selama satu bulan penuh di Ciamis serta sohib- sohib kelas, Dede S, A. Barri, Lilis, Hj. Hana, Ade P, Dia, Yuli, Atin, serta sohib-sohib alumni MAN 3 SKA Kaliwungu Angkatan Tahun 2003, tidak ketinggalan pula sohib-sohib IMT (Ikatan Mahasiswa Tegal) Mas shobirin, Gus Aqib, Rizqi, saeful kuadrat, Latif, Indah, zee, yang tidak mungkin untuk disebutkan satu persatu, semoga kita bisa tetap bersilaturrahim dan bisa menjaga persahabatan ini. Semoga kelak kita semua bisa menjadi orang yang sukses. Amiin.

11.Haturkan terima kasih kepada K.H. Nidhomuddin Al-Asror Sekelurga Pimpinan Pondok Pesantren Ta’limul Qur’an Al-Asror, yang telah memberikan segudang ilmu agama yang tanpa henti-henti selalu mendoakan anak didiknya agar menjadi insan kamil. Amiin.

(6)

Demikian ucapan terima kasih Penulis ucapkan yang setinggi-tingginya yang mengingatkan saya pada sebuah Hadits Nabi Muhammad SAW berbunyi:

”Khoirunnas Anfa’ahum Linnas” Artinya: ”Sebaik-baiknya manusia bisa

memberikan manfaat kepada manusia lain” dapat disimpulkan memiliki tiga unsur

manfaat dalam diri manusia, Pertama. Bila ada Ilmu diamalkan; Kedua, Bila ada Hartanya disedekahkan; dan Ketiga, Bila ada Tenaganya kerjakan. Jika dalam diri manusia memiliki tiga manfaat itu adalah manusia yang sempurna di mata Allah SWT. Semoga skripsi ini dapat membantu serta dapat memberikan pengetahuan kepada semua pihak.

Jakarta, 17 Ramadhan 1429 H 17 September 2008 M

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 11

D. Metode Penelitian... 12

E. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya ... 15

B. Sebab-sebab Perceraian... 18

C. Macam-macam Perceraian ... 20

D. Akibat Perceraian... 27

E. Tata Cara Perceraian dan Persyaratan Administratif ... 30

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG HADHANAH A. Pengertian Hadhanah Secara Umum ... 36

1. Hadhanah Menurut Hukum Islam ... 38

2. Hadhanah Menurut UU No.1 Tahun 1974 ... 39

3. Hadhanah Menurut KHI ... 41

B. Syarat-syarat Hadhanah ... 45

(8)

D. Masa Pemeliharaan Anak (Hadhanah) dan Biaya Hadhanah ... 48

BAB IV PUTUSAN PERKARA NO.78/PDT.G/2007/PA. JAKARTA PUSAT DALAM CERAI GUGAT REKONPENSI DENGAN HAK HADHANAH A. Pengertian, Syarat, dan Larangan Gugat Rekonpensi ... 52

B. Cara Mengajukan Gugatan Rekonpensi ... 63

C. Kronologis Perkara... 65

D. Pertimbangan dan Putusan Hakim... 73

E. Analisis Penulis... 80

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 85

B. Saran... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87

(9)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul GUGAT REKONPENSI DALAM SENGKETA CERAI GUGAT DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HAK HADHANAH DI PENGADILAN AGAMA ( STUDI ANALISIS PERKARA NO.078/PDT.G/2007/PA. JAKARTA PUSAT) telah di ujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 September 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah (Administrasi Keperdataan Islam).

Jakarta, 17 September 2008

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. H. Basiq Djalil, SH, MA (...)

NIP.150 169 102

2. Sekretaris : Kamarusdiana, SH, M.Ag (...)

NIP.150 285 972

3. Pembimbing : Kamarusdiana, SH, M.Ag (...)

NIP.150 285 972

4. Penguji I : DR. KH. A. Juaini Syukri, LC, MA (...)

NIP.150 256 969

5. Penguji II : Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH (...)

(10)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata I di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunaakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yan berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif (UIN) Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 17 September 2008

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap manusia ingin menciptakan sebuah kedamaian satu sama lain di kehidupannya. Dengan berbagai cara untuk mendapatkan kebahagiaan melalui kedamaian tersebut, tentulah dengan membangun rasa hormat dan kasih sayang terhadap sesama mahluk ciptaan Allah SWT. Misalnya dengan membentuk masyarakat kecil melalui sebuah perkawinan yang ujungnya akan terlahir kedamaian dan kebahagiaan bila saling menaruh nilai-nilai rasa kasih dan sayang dalam mengarungi kehidupan bahtera rumah tangga, baik suka dan dukanya diterima dengan lapang dada yang mungkin ujian dan cobaan merupakan sebuah kodrat bagi makhluk-Nya, demi untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah. Maka masalah-masalah apapun dapat terselesaikan dengan baik.

(12)

merupakan merusak sendi-sendi kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan antara suami isteri.1

!

"# $%

&"' ()* +

,

## * - # *.* ./ 0 *

1

2

Artinya: Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda: " Perbuatan halal yang sangat di benci Allah Azza Wajalla ialah talak ".(HR. Abu Dawud dan Hakim dan yang mengesyahkannya)

Pertengkaran dan perselisihan terus-menerus dalam suatu rumah tangga tidaklah selalu digambarkan adanya pertengkaran secara fisik maupun melalui kata-kata yang tidak senonoh ataupun mengucapkan kata talak, baik secara sharih (jelas) maupun khinayah (sindiran bermaksud mentalaq) tetapi juga dapat suatu pertengkaran itu berupa adanya acuh (tidak ada komunikasi) dan mendiamkan satu sama lain yang menunjukkan tidak ada harapan lagi keduanya akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga.3

Apabila perceraian memang sebagai jalan yang ditempuh, maka kedua pasangan diantara salah satunya untuk menunjuk Pengadilan sebagai jalan tengah dalam menemukan keadilan untuk masalah sengketa perkawinan dan akibat-akibatnya. Dalam hal ini, Pengadilan sangat berperan penting untuk memecahkan masalah tersebut. Tanpa adanya pengajuan kepada Pengadilan oleh para pihak yang berperkara, Pengadilan tidak bisa berbuat apa-apa. Suatu perkara di 1

Al-Sayyid Sabiq. Fiqih SunnahTerjemah, (Bandung:PT Alma'arif,1996),Cet,ke-2,jilid 9,h 9.

2

Al-Hafidz Abu Dawud. Sunan Abu Dawud, (Beirut:Daar al-Fiqri, 1994), jilid 2, h.500

3

(13)

Pengadilan baru dapat diperiksa setelah adanya suatu "permohonan" dan atau "gugatan". Seperti yang termuat dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang No.14 tahun 1970 tentang Ketentuan Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:

"Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tercantum dalam pasal 1 diserahkan kepada badan-badan Peradilan dan ditetapkan dengan

Undang-Undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta

menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.

Cara mengajukan gugatan dan atau permohonan, keduanya memiliki kesamaan, baik gugatan atau permohonan diajukan kepada ketua Pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak dan di dalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak. Dalam suatu gugatan harus ada suatu sengketa antara pihak yang berperkara, demikian pula dalam suatu permohonan juga harus ada sengketa antara dua pihak yang berperkara. Pihak yang berperkara menghadap hakim untuk mendapat suatu putusan.

(14)

Suatu gugatan dapat digabungkan atau dikumulasi menjadi satu surat gugat, misalnya cerai gugat disertai gugatan penguasaan dan nafkah anak. Kemudian dalam gugatan atau permohonan tidak dikumulasikan dengan hal-hal tersebut, maka pihak lawan dalam hal ini tergugat atau termohon dapat mengajukan gugatan balik atau rekonpensi dalam hal-hal tersebut pada waktu menjawab gugatan pokok. Hal ini sesuai dengan pasal 86 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yaitu:

"Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta

bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian

ataupun sesudah perceraian mempunyai kekuatan hukum tetap"

(15)

Tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama berbunyi:

"Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam

lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam

Undang-Undang ini”.

Jadi mengenai gugat rekonpensi walaupun tidak diatur secara tegas dalam undang-undang tersebut, akan tetapi dapat di dasarkan dalam 132 a dan 132 b (ps. 157,158 Rbg) yang dialihkan dari Rv dan disisipkan pada tahun 1927 yang menjadikan hukum acara perdata di lingkungan Peradilan Umum.

Walaupun demikian, Menurut pemahaman Penulis, apabila pasal 86 ayat 1 Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama bila dipahami mendalam maka dalam gugatan atas perceraian, pihak lawan dapat mengajukan gugat rekonpensi tentang akibat perceraian, seperti gugatan penguasaan anak dan nafkah anak. Oleh karena itu, maka kumulasi tuntutan hak dalam gugatan rekonpensi itu akan mencapai tujuannya apabila gugatan-gugatan itu saling berhubungan.

(16)

diselesaikan dengan tidak menghabiskan waktu yang lama, dapat diajukan dengan menggabungkan bersama permohonan cerai gugat sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bila tidak digabungkan permohonan cerai gugat sekaligus dengan masalah penguasaan dan nafkah anak. Maka pihak suami dapat memungkinkan mengajukan gugat rekonpensi tentang penguasaan dan nafkah anak. Sesuai dengan pasal 86 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang membolehkan menggabungkan permohonan cerai gugat dengan penguasaan dan nafkah anak. Maka hal tersebut dapat diajukan dalam bentuk gugat rekonpensi yang bersamaan dengan gugat perceraian, karena antara gugat perceraian sebagai pokok perkara sangat erat kaitannya dengan gugatan penguasaan dan nafkah anak. Dengan demikian suami isteri dalam perkara perceraian dikaitkan dengan akibat perceraian sudah sama-sama diberi cara oleh hukum yang seadil-adilnya dan juga berimbang dengan adanya rekonpensi.4

Tuntutan rekonpensi pada hakekatnya merupakan kumulasi atau gabungan dua tuntutan, yang bertujuan untuk menghemat biaya, mempermuda prosedur, dan menghindarkan putusan-putusan yang bertentangan satu sama lain, jadi mempunyai alasan praktis untuk menetralisir tuntutan konpensi. Terutama bagi tergugat gugat rekonpensi ini menghemat biaya, karena tidak diwajibkan untuk 4

(17)

membayar biaya perkara5. Hal ini sesuai dengan azas Peradilan, bahwa Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana ketentuan pasal 4 ayat 2 Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Sehingga permeriksaan perkara menjadi efisien. Seperti yang dikemukakan para pakar hukum oleh R. Supomo, dalam gugat rekonpensi memiliki beberapa manfaat, yakni; 1. Menghemat ongkos perkara; 2. Mempermuda prosedur; dan 3. Menghindarkan putusan-putusan yang bertentangan.6 Begitu juga yang dipaparkan oleh pakar hukum seperti Raihan A.Rasyid tentang pentingnya gugatan rekonpensi. Bahwa gugatan rekonpensi ini menghemat biaya, sebab penggugat rekonpensi tidak perlu membayar "Vorschot" ongkos perkara. Bahkan ongkos perkara cukup hanya untuk satu proses sekaligus serta menghemat waktu, tenaga, sebab pemeriksaan, mengadili, dan penyelesaian perkara tidak perlu dua kali, selain itu, akan dapat terhindar kemungkinan adanya putusan yang saling bertentangan".7

5

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta;Liberty, 1998) Edisi ke-7 Cet,1 h.124

6

R.Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta:Pradnya Paramitha, 1972), Cet.ke-5, h.40

7

(18)

Dalam hal rekonpensi ini, tergugat kembali penggugat dan posisinya pun menjadi terbalik, tergugat dalam konpensi menjadi penggugat dalam rekonpensi dan penggugat dalam konpensi menjadi tergugat dalam rekonpensi.8

Dapat dilihat, pada satu sisi berdiri gugatan konpensi yang diajukan penggugat kepada tergugat. Pada sisi lain, muncul gugatan rekonpensi yang diajukan tergugat kepada penggugat. Secara teknis, pada saat bersamaan saling berhadapan gugatan konpensi dan rekonpensi dalam suatu proses pemeriksaan yang sedang berjalan.

Permasalahan yang sering timbul dalam perkara perceraian, khususnya yang disertai dengan gugatan rekonpensi yaitu terdapat perbedaan keputusan antara gugatan konpensi (gugatan asal) dengan gugatan rekonpensi (gugatan balik) dalam perceraian, yang mana kalau gugat konpensi dikabulkan maka gugat rekonpensi pun baru bisa dikabulkan dan sebaliknya bila gugat konpensi ditolak maka gugat rekonpensi pun harus ditolak atau tidak dapat diterima karena gugat cerai (konpensi) merupakan gugatan pokok sedangkan gugatan tentang akibat cerai (rekonpensi) merupakan "Assesor" (tambahan).

Dalam masalah perceraian juga timbul persoalan dalam acara, jika gugat diajukan oleh isteri selaku penggugat, kemudian suami selaku tergugat selain menjawab dan membantah alasan dan dalil gugatan, tergugat juga mengajukan gugat rekonpensi untuk menjatuhkan talak terhadap isteri, dengan dalih bahwa

8

(19)

bukan suami yang bersalah akan tetapi isterilah yang bersalah. Serta dalam konpensi isteri ingin menggabungkan gugatan bersama hak hadhanahnya akan tetapi suami menggugat kembali dengan gugat rekonpensi padahal dalam pokok perkara atau petitum tidak boleh ada gugatan rekonpensi dalam satu kwalitas yang sama.

Apakah hal ini dibenarkan adanya dalam beracara? Padahal dalam perkara perceraian dan hal yang sudah jadi konpensi dari pihak isteri yakni hak hadhanah tidak dapat dilakukan gugatan balik (rekonpensi) dalam hal yang sama,

Serta dalam permasalahan diatas seharusnya dalam rekonpensi mengenai pokok perkara yang sama tidak bisa diterima dan dalam hal rekonpensi seharusnya menyangkut kebendaan bukan kepemilikan status orang.

(20)

DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HAK HADHANAH DI PENGADILAN AGAMA (Studi Analisis Perkara No 78/Pdt. G/2007/PA.Jakarta Pusat)"

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk memperjelas dan lebih terarah dalam pembahasan skripsi ini. Penulis memberi batasan dalam pokok bahasan mengenai analisis putusan No.078/Pdt.G/20007/PA.JP. gugat rekonpensi dalam sengketa cerai gugat dan implikasinya terhadap hak hadhanah di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

Sesuai dengan pembatasan masalah, Penulis memaparkan rumusan masalah yang berkaitan dengan judul skripsi ini, yaitu: 1. Bagaimana kedudukan gugat rekonpensi dalam sengketa cerai gugat dengan

kumulasi hadhanah di Pengadilan Agama?

2. Bagaimana pertimbangan dan putusan hakim tentang cerai gugat rekonpensi mengenai hak hadhanah di Pengadilan Agama?

3. Bagaimana perspektif fiqih dan hukum positif tentang putusan hakim mengenai rekonpensi dalam cerai gugat bersama hak hadhanah di Pengadilan Agama?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Dengan adanya perumusan masalah tersebut di atas. Penulis dapat memberikan dari penelitian ini:

(21)

2. Untuk mengetahui pertimbangan dan putusan hakim dalam cerai gugat rekonpensi mengenai hak hadhanah Pengadilan Agama

3. Untuk mengetahui dalam perspektif fiqih dan hukum positif tentang putusan hakim mengenai rekonpensi dalam cerai gugat bersama hak hadhanah di Pengadilan Agama Jakarta Pusat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang lebih mendalam tentang gugat rekonpensi dalam sengketa cerai gugat dan implikasinya terhadap hak hadhanah melalui putusan hakim di Pengadilan Agama khususnya dalam studi analisis perkara No.078/Pdt.G/2007/PA.Jakarta Pusat.

2. Dapat mengetahui prosedur mengajukan perkara dalam hukum acara Peradilan Agama di Jakarta Pusat khususnya.

3. Dalam lembaga pustaka, hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan ilmiah dalam memperkaya studi analisis lapangan.

4. Memberikan pengetahuan hukum secara teori dan praktek di Pengadilan Agama terutama masalah gugat rekonpensi dalam sengketa cerai gugat dan implikasinya terhadap hak hadhanah.

D. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

(22)

wawancara para hakim di Pengadilan. Metode skripsi ini menggunakan deskripsi analisis dengan cara membaca, menelaah, mendeskripsikan, dan menganalisa permasalahan serta peneliti mengadakan wawancara di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

2. Sumber Data

a. Primer, yaitu merupakan data yang diperoleh dari surat putusan No.78/Pdt.G/2007PA. JP, buku-buku, internet serta wawancara dengan pihak Pengadilan.

b. Sekunder, yaitu merupakan data yang diperoleh dari buku-buku sumber lainnya yang berkaitan dan sesuai dengan pokok bahasan skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan yaitu pengambilan putusan hakim Jakarta Pusat dan pedoman wawancara. Adapun wawancara yang digunakan adalah wawancara terbuka, Penulis juga mengajukan sejumlah pertanyaan dan mengundang jawaban secara bebas.

4. Pengolahan dan Analisis Data

(23)

Tehnik penulisan ini menggunakan buku pedoman skripsi Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta penerbit IAIN Press dengan pengecualian terjemah Al-Qur'an dan Hadits ditulis satu spasi dan daftar pustaka Al-Qur'an ditulis diawal.

E. Sistematika Pembahasan

Skripsi ini terdiri dari lima bab dan setiap bab terdiri beberapa sub bab, yaitu:

Bab I : Pendahuluan yang memberikan gambaran secara umum dan menyeluruh tentang skripsi dengan menguraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan. Bab II : Memberikan penjelasan mengenai pengertian perceraian dan dasar

hukumnya, sebab-sebab perceraian, macam-macam perceraian dan akibatnya, tata cara perceraian, dan persyaratan administratif

Bab III : Membahas tinjauan teoritis tentang hadhanah, pengertian hadhanah secara umum, hadhanah menurut hukum Islam, hadhanah menurut UU No.1 Tahun 1974, hadhanah menurut KHI, syarat-syarat hadhanah, hak pemeliharaan anak (hadhanah), masa pemeliharaan anak (hadhanah) dan biaya hadhanah.

[image:23.612.114.533.161.503.2]
(24)

larangan gugat rekonpensi, cara mengajukan gugat rekonpensi, kronologis perkara, pertimbangan dan putusan hakim, analisis Penulis. Bab V : Penutup yang mencakup di dalamnya mengenai kesimpulan dan

(25)

BAB II

PERCERAIAN

A. Pengertian perceraian dan dasar hukumnya

1. Pengertian cerai

Kata ”cerai” dalam kamus bahasa indonesia berarti pisah atau putus hubungan sebagai suami isteri. Sedangkan perceraian dalam istilah ahli fiqih disebut “Talaq” atau “Furqah”.9 Talak berarti “membuka ikatan” membatalkan perjanjian. ”Furqah” berarti “Bercerai”. Lawan dari “berkumpul”. Kemudian kedua perkataan ini dijelaskan istilah oleh ahli fiqih yang berarti perceraian antara suami-isteri.10

Menurut istilah “talak” adalah memutus tali perkawinan yang sah dari pihak suami dengan kata-kata khusus atau dengan apa yang dapat mengganti kata-kata tersebut.11 Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) mendefinisikan “talak” sebagai ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.12

9

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1989), h.168

10

Kamal Mukhtar. Asas-Asas Hukum Islam Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,1974), Cet.ke-2. h. 156

11

Ziyad Abbas,Fiqih Wanita Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas,1991), h.43

12

(26)

Perceraian (talak) dalam ajaran Islam diatur dalam al-qur’an dan hadits Nabi SAW. Dengan adanya landasan tersebut menegaskan bahwa perceraian dalam Islam boleh (halal) dilakukan.

2. Dasar Hukum Perceraian

Surat Al-Baqarah, ayat 229 dan ayat 231

 !"#$

%

&'( )*+

,

*-

.

$

/01

23#4 5

6789

%

:; < =

>

+?#

+, @A ?C

1:

DE ;'

F0 G

%

>

( 5

H0 %

I?JKG(

IJ

M-E>

N:O "PQ

H0 %

1R;KG(

IJ

M

E>

/'

II

!ST

I?V6)

4

1R;#

*7IM4W

X#- .

$

I&

#

J

M

E>

/'

I@

M4W

Y

,4 1

+MI 4W4(

IJ

M

E>

I&Z[

= \=

7 @

4 AR

8

]^^_

` G1

N:O G[

1:>

#bS

Q, 

49

+, d

IT %

ef @A:$P

=

 !"#$

%

+, @A- g) e

&

h !"#$

Y

/01

+, @A:$P i:

S2

1)P

M4C 4W#l

Y

,4 1

63I "4(

I&#

D `

*M G

Qm

n-

"4o

Y

/01

" :;#pqC

#r 4(

1:

E>

S st @

Y

h:u `

1

rI? #o

E>

67:$ ;

4v

>

4 1

4w4to %

7:$ ;

4v

Q,#b

K

4WP$

#xI?$P

1

.:$z8# 4(

X#- .

Y

A8G{

1

>

|AR

*

1

(27)

>

}3:$ .

:~'E

•N€

4v

2

3 4

5

667

8

69:

1

Artinya : ”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui. Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, Karena dengan demikian kamu menganiaya mereka” (Surat Al-Baqarah, ayat 229 dan ayat 231)

Serta Surat Al-Thalaq ayat 1

xV‚M =[ 4(

~Kƒ{„

` G

…mC G[

1:>

#bS

+, @A8G#V

efV†+M# #

Azˆ*- %1

!+M#

A8G{

1

>

6789q.12

/0

ef @AT†h (\

u,#

+, d# A;.

/01

‚f*Th ( 5

F0 G

%

4‰Š#

=4(

&x4‹P

'" .

&x1„Kb 4&Œ

Y

I&

# 1

J

M

E>

Y

,4 1

+MI 4W4(

IJ

M

E>

*M G

Q7

n-

"4o

Y

/0

t2*M

{3I

>

•#M 4:5

IM 4.

I&#

D `

(28)

Artinya :“Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”.(Surat At-Thalaq, ayat 1)

Hadist Nabi SAW

!

+

"# $%

&"' ()*

,

## * - # *.* ./ 0 *

1

13

Artinya ”Dari Ibnu Umar dari Rasulullah SAW, Bersabda: Perkara halal yang tidak disukai Allah SWT adalah Thalak”

Hal tersebut di atas adalah merupakan dasar hukum sekaligus berarti bahwa dalam Agama Islam perceraian diperbolehkan meskipun sangat dibenci Allah SWT.

B. Sebab-sebab Perceraian

Menurut KHI, pengertian perceraian yang dirumuskan dalam Ra XVI tentang putusnya perkawinan dinyatakan ada tiga sebab yaitu:

1. karena kematian; 2. karena perceraian;

3. karena atas putusan pengadilan. 14

13

Al-Hafidz Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, (Beirut:Daar al-Fiqri, 1994), jilid 2, h.500

14

(29)

Perceraian bisa merupakan sebab hak suami, sebab hak isteri, dan keputusan Pengadilan penjelasan tersebut sebagai berikut:

1. Sebab yang merupakan hak suami

Suami diberi hak untuk melaksanakan suatu perbuatan hukum yang akan menjadi sebab pemutusannya. Perbuatan hukum itu disebut talak.15

2. Sebab yang merupakan hak isteri

Isteri disebut hak untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang menjadi sebab putusnya perkawinan, perbuatan hukum tersebut adalah khul’un. Isteri meminta suaminya untuk melakukan pemutusan tali ikatan talak perkawinan dengan cara isteri menyediakan pembayaran untuk menebus dirinya kepada suami.

3. Sebab atas keputusan Pengadilan

Sesuai dengan kedudukannya, kekuasaan atau hak Pengadilan berada di luar pihak-pihak yang mengadakan akad sehingga dalam hal pemutusan hubungan ikatan perkawinan ini Pengadilan tidak melakukan inisiatif keterlibatannya terjadi apabila salah satu pihak, baik pihak suami atau pihak isteri mengajukan gugat atau permohonan kepada Pengadilan.

Perceraian hanya dapat dilakukan dalam suatu sidang di Pengadilan. Apabila perceraian dilakukan bukan dalam sidang Pengadilan maka perceraian itu tidak sah karena tidak ada kekuatan hukum yang tetap. Pada permulaan sidang di Pengadilan hakim melakukan upaya perdamaian terhadap para pihak untuk

15

(30)

bercerai, tetapi apabila tidak bisa didamaikan maka sidang dilanjutkan. Jadi putusnya perkawinan atas putusan Pengadilan berarti bahwa hakim memberikan keputusan menurut pertimbangan pada keadilan dan kemaslahatan pihak-pihak yang mengajukan perkara ke Pengadilan, hakim boleh mengabulkan dan juga boleh menolak gugatan.

C. Macam-macam Perceraian

Dalam hukum Islam putusannya perkawinan dapat terjadi karena talak atau gugatan perceraian, khulu, syiqaq, fasakh, ta’lik talak, zihar, ‘ila, lian, riddah (murtad) berikut penjelasannya:

1. Talak

Kata thalaq (talak) berasal dari kata bahasa Arab; Ithlaq yang berarti “melepaskan” atau meninggalkan. Dalam istilah Fiqih berarti melepaskan ikatan perkawinan, yakni perceraian antara suami dan isteri16

Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 117 menjelaskan talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu 16

(31)

sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129,130, dan 131.

Adapun macam-macam talak adalah Talak ditinjau dari boleh tidak nya suami rujuk kembali pada isterinya setelah isteri ditalak yaitu:

a. Talak Raj’i

Adalah talak seorang suami kepada isterinya dengan hak suami kembali lagi kepada bekas isterinya tanpa melakukan akad nikah lagi (baru). Seperti talak satu atau talak kedua untuk dapat kembali rujuk. Mereka bekas suami isteri pernah melakukan hubungan seksual dan tanpa uang ganti rugi (tebusan dari pihak isteri)

b. Talak Ba’in

Adalah talak suami yang dijatuhkan kepada isterinya dan suami tidak boleh rujuk kecuali dengan nikah baru.

Talak ba'in terbagi menjadi 2 bagian yaitu:

1) Talak Ba’in sughra.17 Yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada isterinya yang belum dicampuri (qabla al dhukul) atau talak yang disertakan tebusan atau uang ganti rugi dari isteri (khulu’).

2) Talak Ba’in Kubra.18 Yaitu talak ketiga yang dijatuhkan suami kepada isterinya. Bagi kedua belah pihak tidak boleh rujuk atau melakukan akad nikah baru kecuali bekas isteri melakukan perkawinan baru 17

Abdul Qadir Djaelani. Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1993), h.331

18

(32)

dengan laki-laki lain. Kalau perkawinan itu putus karena perceraian atau suami meninggal maka ia dapat melakukan perkawinan dengan bekas suami pertama setelah menjalani masa ‘iddahnya.

Talak ditinjau dari waktu mengatakkannya yaitu:

a. Talak Sunni (Pasal 121 KHI) adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan kepada isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu sucinya tersebut.

b. Talak Bid’i (Pasal 121 KHI) adalah talak yang dilarang yaitu talak yang dijatuhkan kepada isteri pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut19.

2. Khulu’

Adalah suatu perceraian perkawinan dengan cara memberikan sejumlah uang dari pihak isteri kepada suami, yang disebut “Talak tebus”. Khulu’ berarti permintaan talak oleh isteri kepada suaminya dengan

membayar tebusan.

Menurut ahli fiqih, khulu’ adalah isteri memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya.20 Ganti rugi (tebusan) merupakan salah satu bagian pokok dari pengertian khulu’, jika ganti rugi tidak ada maka khulu’nya juga tidak sah.

3. Syiqaq

19

Lihat Pasal 121 Kompilasi Hukum Islam

20

(33)

Adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami isteri sedemikian rupa sehingga antara suami isteri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua pihak tidak bisa mengatasinya.21 Dasar hukum syiqaq firman Allah Surat Q.S.Al Nisa. 4:35

G1

mC "PQ

G#

1RV

• 4.

A ‘I 6.

’?

$I-*,#b

X#%

@ %

’? $I-1

*,#b

>

Id

@ %

G

>

IM(†h(

*” G

#l 1A(

•>

>

I?V • J4.

$

{

G

>

4 —'u

˜?J

4

„)h &IQ

,

; <

5

9=

1

Artinya : “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.(Surat An-Anisa, ayat 35 )

4. Fasakh

Berarti rusak atau batal.22 Memfasakh akad nikah berarti membatalkan dan melepaskan ikatan perkawinan suami isteri. Fasakh dapat terjadi karena sebab berkenaan dengan akad (Sah atau tidaknya) atau sebab yang datang setelah berlakunya akad.23

21

Muktar Kamal. Azas-azas Hukum Islam, (Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1993), Cet.ke-3, h.204

22

Mahmud Yunus. Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung,1990), h. 316

23

(34)

Jadi fasakh berarti diputuskannya hubungan perkawinan (atas permintaan salah satu pihak) oleh hakim Pengadilan Agama karena salah satu pihak menemui cela pada pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang yang belum diketahui berlangsungnya perkawinan.24

5. Ta’lik Talak

Arti ta’lik ialah ”Menggantungkan” dan jika dihubungkan dengan kata talak menjadi ”Ta’lik Talak” yang memiliki arti suatu talak yang digantungkan jatuhnya pada suatu hal memang mungkin terjadi yang telah disebutkan lebih dahulu dalam suatu perjanjian atau telah diperjanjikan lebih dahulu.25

6. Zihar

Secara bahasa zihar berarti punggung. Sedangkan menurut istilah kata zihar berarti suatu ungkapan suami terhadap isterinya ”Bagiku kamu seperti punggung ibuku” dengan maksud ia mengharamkan isterinya bagi dirinya.

Dasar hukumnya Q.S Al.Mujadalah: ayat 2-4

4‰™#— >

4

h d

8(

7:$„#

,#b

m dš>

x›

{

ef @

m d#C Id{ \%

G

m dW Id{ \%

H0 G

2#E[

m d4o*M

1

Y

67V{œ G1

4 A:

A8G1;

Žh'9S

Q,#b

Kw6A G

S2 •1

Y

Hž G1

>

ŸA8"I

2A8"'¡

]^

4‰™#— >

1

4

h d

8(

,#

24

Sayuti Thalib. Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Uip.1997), Cet,ke 2 h.117

25

(35)

67VK¢>

x›

7 m

4

JA 4(

I?#

A:

h(†h 4W

&x4& —12

,#b

369 —

%

£¤>

I?4C4(

Y

6.:$#

D `

‚žAz84A

X#- .

Y

•>

1

I? .

4 A I?

•)h &IQ

]†

,I?

m

*MPd 5

¥

1;Pˆ

‰ ™4h6g'

‰ŠI .

4W4C

,#

369 —

%

£¤>

I?4C4(

,I?

m

*€# 4W !¦

¥

I *

4‰Š# WP¤

S„JP$ #

Y

I&#

D `

A„#  W#

E>

.

X#% >A ¤121

Y

‚§

# 1

J

M

E>

$

Q,(†h#"

$

#

1

';4

¡N€#

%

,

>?

5

6

-@

1

Artinya :“Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedihA.(Surat Al-Mujadalah, ayat 2 dan 4)

7. ‘Ila

(36)

lagi isteri dalam waktu 4 (empat) bulan atau dengan tidak dengan menyebutkan jangka waktunya. Dasar hukum ‘ila surat : Al Baqarah ayat 226

4‰™#—

#l

4 A:

 (

,#

67 dš>

x›

‚.4h

#xI 4.62 %

hV*q %

s:>

{

>

2A8"'¡

_m;#- 2

,

3 4

!

66B

1

Artinya : “Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Surat Al-Baqarah, ayat 226)

Meng-ilaa' isteri Maksudnya: bersumpah tidak akan mencampuri isteri, dan dengan sumpah ini seorang wanita menderita karena tidak disetubuhi dan tidak pula diceraikan. Dengan turunnya ayat ini maka suami setelah 4 (empat) bulan harus memilih antara kembali menyetubuhi isterinya lagi dengan membayar kafarat sumpah atau menceraikan.

8. Li’an

Menurut bahasa artinya la’nat, termasuk dosa sebab salah satu dari suami isteri berbuat dosa. Li’an menurut istilah artinya suami menuduh isterinya berzina, ia bersumpah bersedia menerima la’nat apabila berbohong.26

Jadi li’an tuduhan suami bahwa isterinya berbuat zina. Hal ini diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 126 bahwa : Li’an terjadi karena suami 26

(37)

menuduh isterinya berbuat zina dan atau mengikari anak dalam kandungan atua yang sudah lahir dari isterinya sedangkan menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.27

9. Riddah (Murtad)

Adalah keluarga dari agama Islam, baik pindah pada agama lain atau tidak beragama. Di Indonesia putusan perkawinan karena murtadnya. Salah seorang dari suami isteri termasuk fasid atau batal demi hukum dan pemutusannya dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama. Pengadilan Agama hanya dapat menerima riddahnya seseorang jika orang itu mengatakan sendiri dengan tegar di depan sidang Pengadilan Agama. Oleh karena itu, riddahnya seseorang yang dinyatakan bukan di depan sidang Pengadilan Agama dianggap tidak sah.28

D. Akibat Perceraian

Ada beberapa akibat putusannya perkawinan karena perceraian adalah sebagai berikut:

1. Akibat bagi bekas suami dan isteri

a. Kepada bekas suami wajib membayar atau melunasi maskawin yang belum dibayar atau dilunasi sebagaimana firman Allah Q.S. Annisa /4:4

27

H.Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,1992), Cet. Ke-2, h.142

28

(38)

A

1:1

1:>

#bS

+,VK?

— M ”

Ž=

4#©

Y

4‰ #

67:$

,4

%:~'E

-„#b

ª

"4o

 A :$

ŽE";#„I@

ŽE"( +

,

; <

!

@

1

Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.(Surat An-Nisa, ayat 4)

Pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, Karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.

b. Bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda. Kecuali bekas isteri tersebut qabla al dukhul.

c. Bekas suami memberi nafkah, maskan, kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada bekas isteri selama dalam masa ‘iddah kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. d. Bekas suami memberikan biaya hadhanah (pemeliharaan termasuk di

dalamnya biaya pendidikan) untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun.29

Akibat bagi anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hak hadhanah dari ibunya. Sedangkan anak yang sudah mumayyiz berhak 29

(39)

mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya. Dan bapaknya berkewajiban memberikan nafkah, pemeliharaan, dan pendidikan dari bayi sampai dewasa dan dapat mandiri.30

Ketika terjadi perceraian, maka bekas suami berhak rujuk kembali kepada bekas isterinya selama dalam masa ‘iddah. 31 Dan untuk bekas isterinya selama masa ‘iddah wajib menjaga diri dan kehormatannya serta tidak menerima pinangan orang lain. Adapun ‘iddah yang diwajibkan untuk bekas isterinya adalah:

a. ‘Iddah isteri yang haid tiga kali suci; b. ‘Iddah isteri yang tidak haid tiga bulan;

c. ‘Iddah yang ditinggal suaminya empat bulan sepuluh hari; d. ‘Iddah isteri yang hamil sampai melahirkan;

e. Bagi isteri yang belum disetubuhi maka tidak ada ‘iddah baginya.32 2. Akibat bagi harta kekayaan

Menurut pandangan Islam tidak mengenal percampuran harta kekayaan antara suami isteri karena pernikahan. Harta kekayaan isteri tetap milik menjadi isteri dan dikuasai sepenuhnya olehnya. Demikian pula kekayaan harta suami tetap milik suami dan dikuasai sepenuhnya olehnya.

30

Lihat pasal 156 Kompilasi Hukum Islam

31

‘Iddah adalah menanti yang diwajibkan atas isteri yang terputus ikatan perkawinannya dengan suaminya, baik karena ditinggal mati atau perceraian

32

(40)

Karena itu pula menurut hukum perempuan yang bersuami dianggap cakap bertindak hukum sehingga ia dapat melakukan segala perbuatan hukum dalam masyarakat.

Jika dalam perkawinan diperoleh harta, maka harta ini adalah harta syirkah, yaitu harta bersama dari suami isteri. Tetapi dalam harta kekayaan

yang terpisah masing-masing dari suami isteri tidak berhak dan berwenang atas harta kekayaan masing-masing. Harta kekayaan ini meliputi harta bawaan, harta yang diperoleh salah seorang suami isteri atas usahanya sendiri dan harta yang diperoleh hadiah atau warisan.33

3. Akibat bagi anak

Perceraian mengakibatkan adanya pemeliharaan anak (Hadhanah) serta aturan hidup tentang biaya hidup anak yang harus ditanggung orang tua, hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam bab selanjutnya.

E. Tata Cara Mengajukan Talak dan Persyaratan Administratif

1. Tata Cara Mengajukan Talak

Mengenai tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, gugatan perceraian diajukan

33

(41)

kepada Pengadilan sedangkan tata cara mengajukan gugatan diatur dalam pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa: “Seorang isteri yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam

yang akan melakukan gugatan cerai kepada suaminya, mengajukan surat

gugatan kepada Pengadilan ditempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan

bahwa ia bermaksud menggugat cerai disertai dengan alasan-alasannya, serta

memilih kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu”.

Dalam permohonan tersebut dimuat identitas para pihak yaitu pemohon (isteri) dan termohon (suami) yang meliputi: nama, umur, dan tempat kediaman serta alasan-alasan yang menjadi dasar cerai gugat. Ketika pemeriksaan permohonan tersebut dilakukan oleh majelis hakim selambat-lambatnya 30 hari serta berkas atau surat permohonan didaftarkan di panitera Pengadilan Agama.

Dalam pemeriksaan permohonan yang dilakukan dalam sidang tertutup hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Dalam sidang perdamaian tersebut para pihak (suami isteri) harus datang secara pribadi selama permohonan belum ditetapkan, usaha mendamaikan dapat dilakukan dalam setiap sidang pemeriksaan. Apabila tercapai perdamaian maka tidak dapat diajukan lagi permohonan baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh pemohon sebelum perdamaian tercapai.

(42)

perceraian diperiksa dalam sidang tertutup. Pemeriksaan dalam sidang tertutup ini berlaku juga bagi pemeriksaan saksi-saksi. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terdapat alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar perceraian, hakim mengabulkan kehendak suami isteri untuk melakukan perceraian.34

Dalam penetapan waktu sidang hendaknya jangka waktu penyampaian panggilan dan sidang diatur agar baik pihak-pihak maupun saksi-saksi mempunyai waktu yang cukup untuk mengadakan persiapan guna menghadapi sidang tersebut.

Oleh karena itu, panitera Pengadilan Agama atau pejabat Pengadilan Agama yang ditunjuk berkewajiban selambat-lambatnya 30 hari mengirim satu helai penetapan tersebut tanpa materai kepada Pegawai Pencatatan Nikah (PPN) yang wilayahnya meliputi tempat kediaman pemohon dan termohon untuk mendaftarkan ketetapan perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.

Apabila perceraian dilakukan wilayah yang berbeda dengan wilayah pegawai pencatat nikah tempat perkawinan dilangsungkan, makan satu helai penetapan tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah ditempat perkawinan dilangsungkan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dicatat dibagian pinggir daftar pencatat perkawinan.

34

(43)

Selain berkewajiban sebagaimana tersebut diatas, maka panitera berkewajiban pula memberikan akta cerai sebagai bukti surat cerai kepada pihak (penggugat-tergugat) selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung dari setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.35

Sebuah perkara dijatuhkan suatu putusan, selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permintaan pihak penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk berpisah berlainan rumah, juga menentukan nafkah yang akan ditanggung oleh suami dan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak barang-barang yang menjadi hak bersama serta hak masing-masing.

Alasan-alasan perceraian yang diajukan oleh penggugat baik suami maupun isteri.

Menurut Peraturan Pemerintahan Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam pasal 19 jo Kompilasi Hukum Islam pasal 116 menyebutkan alasan bagi suami isteri untuk bercerai ialah:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar ketentuan;

35

(44)

3. Salah satu pihak mendapat hukuman 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sabagai suami isteri;

6. Antara isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

7. Suami melanggar talik talak;

8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.36

2. Tata Cara Persyaratan Administratif

Bagi para pihak yang mengajukan permohonan atau gugatan ke Pengadilan Agama selain berkewajiban menyampaikan permohonan gugatan secara lisan maupun tulisan dilengkapi dengan:

1. KTP;

2. Surat keterangan untuk talak dari kepala desanya (Tra); 3. Kutipan Akta Nikah (Model NA);

4. Membayar uang muka biaya perkara menurut peraturan yang berlaku; 5. Surat Izin Talak/Cerai bagi anggota TNI;

36

(45)

6. Surat Izin Talak/Cerai bagi PNS.

Mengenai tata cara gugatan atau permohonan diatur dalan pasal 119 HIR Pasal 143 Rbg. Menurut ketentuan pasal yang dimaksud sebagai berikut:

1. Permohonan ditunjukan kepada ketua pengadilan; 2. Gugatan disampaikan kepada panitera Pengadilan; 3. Pemohon wajib membayar biaya perkara.

Adapun formulasi cerai gugat dan cerai talak pada dasarnya tidak ada perbedaan dan harus disusun sesuai dengan sistematikanya yaitu:

1. Mencantumkan tanggal gugatan;

2. Mencantumkan alamat ketua Pengadilan;

3. Mencantumkan identitas dan kedudukan pihak yang berperkara untuk dipanggil dan diperiksa.

Oleh karena itu berdasarkan sistematika formulasi gugatan di atas, bila dikaitkan dengan pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang membolehkan pengajuan gugatan atau permohonan cerai bersama dengan penyelesaian tentang hadhanah. Maka susunan gugatan harus disusun secara sistematis.

(46)

BAB III

TINJAUAN TEORITIS TENTANG HADHANAH

A. Pengertian Hadhanah Secara Umum

Hadhanah berasal dari kata ”Hidan” artinya lambung. Sebagaimana juga

kata

'#

Cﺡ

E

C

artinya: Burung itu mengepit

telur dengan sayapnya. Begitu pula dengan perempuan (ibu) yang mengepit anaknya.37 Hadhanah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk

atau dipangkuan.38 Menurut Muhammad bin Ismail Salah Al-Amir Al-Kahlani atau yang

disebut dengan nama Sa’ani, mengartikan hadhanah ialah pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri mengenai dirinya, pendidikannya serta pemeliharaannya dari segala sesuatu yang membinasakannya atau yang membahayakannya.39 Menurut para ahli fiqih hadhanah ialah melakukan pemeliharaan

anak-anak yang masih kecil baik laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyyiz, tanpa perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaga dari sesuatu yang menyakitinya dan merusak,

37

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1980), cet ke14, h.173.

38

DEPAG RI, Ilmu Fiqih, Direktorat Jendral Pembinaan Agama Islam Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama IAIN Jakarta, 1984/1985. Jilid.2, h.206.

39

(47)

mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.40 Dalam Ensiklopedi Islam dijelaskan, hadhanah yaitu mengasuh anak kecil

atau anak normal yang belum atau tidak dapat hidup mandiri, yakni dengan memenuhi kebutuhan hidupnya, menjaga dari hal-hal yang membahayakan, memberinya pendidikan fisik maupun psikis mengembangkan kemampuan intelektual agar sanggup memikul tanggung jawab hidup.41 Dari beberapa definisi yang telah disebutkan dapat disimpulkan,

hadhanah ialah mengasuh atau memelihara anak yang masih kecil atau di bawah

umur dari segala segi fisiknya, mentalnya, maupun moralnya dari pengaruh yang buruk dikarenakan anak tesebut belum dapat mengurus dirinya sendiri dan masih memerlukan bantuan orang lain, agar menjadi manusia yang dapat bertanggung jawab dalam hidupnya. Pada dasarnya pemeliharaan anak menjadi tanggung jawab kedua orang

tua, pemeliharaan ini meliputi berbagai bidang baik masalah ekonomi, perhatian dan kasih sayang, maupun pendidikan yang mencakup pendidikan agama maupun pendidikan umum, dalam konsep Islam tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami sebagai kepala rumah tangga. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan sebagai isteri turut membantu suami dalam menanggung

40

Sayyid Sabiq, Fiqih Al Sunnah, (Beirut: Dar al Fikr,1983), cet. Ke-4,Jilid 2, h.288.

41

(48)

kewajiban ekonomi keluarga tersebut, karena hal itu yang terpenting adalah kerjasama dan saling membantu antara suami isteri dalam memelihara anak tersebut sampai

berdiri sendiri atau dewasa.

1. Hadhanah Menurut Hukum Islam

Dalam Islam mengatur secara tegas tugas dan kewajiban suami isteri

dalam keluarga. Salah satunya adalah suami mencari nafkah untuk menghidup anak isterinya dan isteri merawat serta memelihara anak. Tugas isteri atau ibu tidak dapat dipindah tangankan kecuali ada alasan syar’i yang membolehkannya, misalnya meninggal dunia atau karena mempunyai penyakit yang membahayakan anaknya. Namun apabila tidak ada alasan syar’i maka ibu tidak boleh meninggalkan tugasnya itu. Dasar hukum hadhanah adalah firman Allah SWT :

xV‚M =[ 4(

4‰™#— >

A„4

1:

|A —

6.:$

8"o %

6.:$;

@ %1

S2

4o

I@ JA —1

s{

{„

:!12

I«#4 ¬

1

xV6)

4v

¡x $Z[

4

-s/'#¡

•J

IM#

H0

4 Azˆ 4(

>

>

4

67 @4h4

%

4 A I "4(1

4

4

s

 (

)

F # ی ! B

(

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia

dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya

kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang

(49)

Pada ayat di atas, orang tua diperintahkan Allah SWT memelihara

keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota

keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah, termasuk dalam anggota keluarga dalam ayat ini adalah

anak.42 Meskipun dalam pekerjaan orang tuanya selalu sibuk, anaklah yang

menjadi prioritas utama karena masih sangat membutuhkan keperluan hidupnya serta kasih sayangnya terutama sebagai perempuan (ibu) misalnya menjadi wanita karier tetap saja hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk meninggalkan tugas pokoknya itu ”mengasuh anak”. Apabila ia meniggalkan tugas ini berarti ia tidak menjalankan tugas pokoknya. Melihat fenomena ini hukum Islam memandang ibu dikenakan sangsi hukum “berdosa” dari apa yang ia lakukan yaitu meninggalkan kewajiban yang utama seorang ibu.

2. Hadhanah Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan

Undang-undang perkawinan sampai saat ini belum mengartur secara

khusus tentang penguasaan anak bahan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun

42

(50)

1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Pengadilan Agama diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikan.43

Kendati demikian, secara global sebenarnya undang-undang perkawinan telah memberi aturan pemeliharaan anak tersebut yang dirangkai akibat putusnya perkawinan, di dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dinyatakan: Apabila perkawinan putus karena perceraian, maka akibat itu adalah :

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak, Pengadilan memberikan keputusannya;

b. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak. Akan tetapi bila bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bekas isteri.

43

(51)

Menyangkut kewajiban orang tua terhadap anak dimuat di dalam Bab

X mulai pasal 45-49, pasal-pasal tersebut menjelaskan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak dengan sebaik-baiknya. Ketika sebelum perceraian orang tua berkewajiban untuk

memperhatikan segala anak sekaligus harta bendanya, begitu pula apabila terjadi perceraian orang tuanya. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, anak yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tua selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Kekuasaan orang tua dapat dicabut berdasarkan ketentuan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 49 (1), yaitu: a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya b. Ia berkelakuan buruk sekali.

Dan ketika anak tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya, ia

berada dibawah kekuasaan wali. Adapun hal-hal yang bersangkutan dengan perwalian adalah meliputi pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya hal Perwalian juga dapat dicabut berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun Tentang Perkawinan 1974 Pasal 49 (1).

3. Hadhanah Menurut Kompilasi Hukum Islam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal-pasal menggunakan

(52)

berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat secara fisik maupun mental atau belum menikah. Pasal 105 dan pasal 106 secara eksplisit mengatur masalah kewajiban

pemeliharaan anak dan harta. Dalam pasal tersebut dijelaskan jika terjadi perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun adalah hak ibunya, jika sudah mumayyiz maka anak tersebut disuruh memilih siapa diantara ayah atau ibu yang memegang hak pemeliharaannya. Namun biaya pemeliharaan anak tetap ditanggung oleh ayahnya, selain

itu juga orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa, dan orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban orang tua tersebut. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) batas usia yang di asuh dan

dipelihara adalah sampai anak itu dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri. Batas usia itu adalah ketika anak berusia berumur 21 (dua puluh satu) tahun sebagaimana pasal 156 huruf (d): “Semua biaya hadhanah dan nafkah manjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya

sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya-sendiri (21

tahun)”. Dan Pasal 98 ayat (1) :“Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri

atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik

(53)

Jadi menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) batas usia anak yang

wajib diasuh dan dapat mengurus dirinya sendiri sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental, selain itu anak yang telah melangsungkan perkawinan dianggap telah dewasa, dan pada masa tersebut orang tua tidak berkewajiban memberikan pemeliharaan dan nafkah kepada anak. Dan juga pasal 156 huruf (a) menjelaskan akibat putusnya perkawinan karena perceraian, bahwa anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila telah meninggal dunia, maka kedudukannya dapat digantikan. Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 156 huruf (c)

dinyatakan apabila pemegang hadhanah ternyata tidak menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah, dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yamg mempunyai hak hadhanah pula. Mengambil dari syarat-syarat yang terdapat pada pasal 49 ayat (1)

undang-undang perkawinan dan pasal 156 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam (KHI) maka seorang pengasuh harus dapat dipercaya dan mampu untuk melaksanakan kewajiban dalam pemeliharaan dan pengasuhan anak (hadhanah), di samping itu seorang pengasuh harus taat beribadah.

(54)

Ada beberapa syarat yang digariskan dalam hukum Islam tentang

melaksanakan pemeliharaan anak (Hadhanah), yang berkenaan dengan masa depan anak. Seseorang yang melaksanakan hadhanah anak kecil atau belum mumayyiz harus mempunyai ketentuan-ketentuan dan kecakapan serta kecukupan yang harus dipenuhi dalam melakukan hadhanahnya dengan memerlukan persyaratan tertentu. Jika syarat-syarat tidak dapat dipenuhi, maka gugurlah haknya untuk memelihara anak tersebut. Adapun syarat utama untuk dapat mengasuh anak, orang tersebut mampu

dan cakap. Dan untuk menilai mampu atau tidaknya lihat kepada beberapa syarat-syarat, yaitu: 1. Islam

Wanita kafir tidak boleh mengasuh anak kecil yang beragama Islam,

karena hadhanah itu adalah semacam kekuasaan dan wewenang. Sedangkan Allah SWT melarang orang kafir menguasai orang Islam

2. Baligh (Dewasa) Anak-anak tidak boleh mengasuh, karena dia sendiri masih

memerlukan asuhan dari orang lain. 3. Berakal sehat44 Tidak ada hak bagi orang yang kurang sehat akalnya, gila, dan

keduanya tidak mampu bertugas mengatur dirinya sendiri.

44

(55)

4. Mampu Mendidik

Orang yang buta dan wanita berpenyakitan terus-menerus dan orang

lanjut usia (pikun) dan wanita yang tidak sanggup mengurus rumah tangga, tidak boleh mengasuh anak. Jika mereka tunjuk untuk mengasuh dan mendidik, karena dikhawatirkan anak itu akan menjadi terlantar dan sia-sia.

5. Dapat dipercaya dan berakhlak mulia

Orang fasik atau orang jahat dan tidak dapat dipercaya, tidak boleh

mengurus anak asuhannya yang masih kecil dan tidak dapat dipercaya akan menuaikan tugas asuhannya. Orang yang dapat merusak budi pekerti anak seperti pezina, pencuri, pemabuk, tidaklah pantas melakukan hadhanah. 6. Belum kawin

Ji

Gambar

gambaran secara

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pembiayaan murabahah mikro express yang dilakukan BPRS Mandiri Mitra Sukses telah berhasil memberikan dampak

Bagaimanapun, perakaunan zakat terhadap semua kekayaan baharu perlulah diqiyaskan kepada salah satu daripada lima jenis harta yang telah ditentukan oleh para fuqaha, iaitu emas

1 Yusuf Setyaji, “Metode Pembelajaran Nahwu-Shorof dalam Meningkatkan Kemampuan Baca Kitab Kuning di Pondok Pesantren Ibnu Abbas Sragen Tapel 2018/2019”

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) Bentuk gaya bahasa personifikasi dalam iklan parfum di brosur Avon dan Oriflame , 2) Makna gaya bahasa

(2) Dalam keadaan luar biasa Musyawarah Provinsi dapat dipercepat atas permintaan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Dewan Pengurus Kabupaten/Kota/Kotamadya dan 2/3 dari jumlah

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Penyayang atas Rahmat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian yang berjudul

Ogan Komering

Nilai RMSEP dari kelima model pendugaan data curah hujan dengan penambahan peubah dummy rata-rata cenderung lebih kecil dan korelasi yang lebih besar dibandingkan