• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.5 Rata-rata Konsentrasi TSS

4.5.3 Analisis TSS Perairan Teluk Jakarta

Hubungan antara konsentrasi TSS perairan hasil pendugaan dengan

konsentrasi TSS perairan in situ terlihat pada Gambar 25. Data TSS perairan in situ maupun pendugaan terdapat untuk musim kemarau dan musim hujan terdapat pada Lampiran 8 dan 9. Konsentrasi TSS perairan hasil pendugaan dengan

kecenderungan yang hampir sama. Jumlah data pada musim hujan lebih sedikit dibandingkan data pada musim kemarau.

Gambar 25. Hubungan antara TSS in situ dengan TSS Dugaan pada Musim Kemarau dan Hujan

Perbedaan konsentrasi TSS in situ dengan konsentrasi TSS hasil pendugaan disebabkan oleh perbedaan waktu pengambilan sampel air laut untuk analisis konsentrasi TSS dengan waktu satelit mengindera perairan Teluk Jakarta. Pada musim kemarau dilakukan pengambilan sampel air laut mulai pagi hari hingga siang hari (sekitar pukul 09.00 hingga 14.00 WIB) dan pada musim hujan dilakukan sekitar pukul 09.00 hingga 15.30 WIB, sedangkan satelit Landsat mengindera wilayah perairan Teluk Jakarta sekitar pukul 15.00 WIB. Kondisi perairan Teluk Jakarta yang sangat dinamis menyebabkan arus dan pasang surut berubah sangat cepat.

Konsentrasi TSS perairan pada musim hujan lebih rendah dibandingkan pada musim kemarau, hal tersebut berkaitan dengan kondisi citra yang banyak

mendapat pengaruh dari tutupan awan maupun haze yang tidak hilang meskipun sudah dilakukan koreksi atmosferik. Konsentrasi TSS lebih tinggi di perairan

pantai dan menurun di lepas pantai, secara umum sebaran distribusi rata-rata konsentrasi TSS perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau semakin tinggi setiap tahunnya, begitu pula pada musim hujan.

Pendugaan konsentrasi TSS perairan Teluk Jakarta selama tahun 2004-2009 secara kuantitatif terlihat pada Gambar 26. Konsentrasi TSS pada musim kemarau (Gambar 26a) yang tertinggi pada tahun 2009 yaitu 106.28 mg/l dan yang

terendah pada tahun 2005 yaitu 28.82 mg/l. Pada musim hujan (Gambar 26b) konsentrasi TSS tertinggi adalah pada tahun 2005 yaitu 96.82 mg/l, hal tersebut akibat pencemaran yang sangat tinggi pada awal tahun 2005 sekitar bulan Januari dan Februari.

(a) (b)

Gambar 26. Pendugaan Konsentrasi TSS secara Kuantitatif pada Musim Kemarau (a) dan Musim Hujan (b)

Kantor MNKLH (1988) menetapkan nilai ambang batas (NAB) untuk TSS sebesar ≤ 80 ppm (mg/l) untuk budidaya perikanan, taman laut, dan konservasi, ≤ 23 ppm (mg/l) untuk pariwisata dan rekreasi seperti renang dan selam, dan 20 ppm (mg/l) untuk kehidupan koral. Berdasarkan nilai ambang batas tersebut, perairan Teluk Jakarta tidak cocok untuk rekreasi dan sangat rentan untuk

kehidupan terumbu karang. Terumbu karang merupakan bagian ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Rusaknya terumbu karang mengakibatkan sumber rantai makanan juga hilang. Akibatnya, nelayan semakin sulit menangkap ikan, udang, atau biota laut lainnya. Pencemaran berat yang melanda Teluk Jakarta membuat terumbu karang di perairan ini hanya tersisa 2% (Harian Media Indonesia, 2009).

Lee et al. (1978) in Adiputro (1994) mengklasifikasikan tingkat pencemaran perairan berdasarkan kandungan konsentrasi TSS (Tabel 13). Berdasarkan kriteria tersebut, dilihat dari pendugaan konsentrasi TSS selama tahun 2004-2005

(Gambar 26), maka perairan Teluk Jakarta tergolong perairan yang tercemar berat pada musim kemarau dan pada musim hujan tergolong tercemar sedang.

Tabel 13. Klasifikasi Derajat Pencemaran Berdasarkan Kadar TSS

Sumber TSS salah satunya adalah masukan dari darat dan sungai. Perairan Teluk Jakarta bagian Timur dipengaruhi oleh sungai Citarum dan sungai-sungai kecil lainnya yang membawa materi-materi dari darat saat hujan dan angin bertiup dari arah timur. Sedangkan perairan Teluk Jakarta bagian Barat dan Tengah dipengaruhi oleh sungai-sungai yang mengalir melalui kota Jakarta. Seperti yang telah diketahui bahwa kota Jakarta banyak berdiri pabrik-pabrik industri yang kapan saja dapat membuang limbah industri ke sungai, hal tersebut menjadi salah satu faktor tingginya konsentrasi TSS di bagian Barat dan Tengah perairan Teluk Jakarta. Terkait dengan jumlah penduduk yang selalu meningkat setiap tahunnya

No. Total Padatan Tersuspensi (mg/l) Kriteria Perairan

1 20 Belum Tercemar

2 20-49 Tercemar Ringan

3 50-100 Tercemar Sedang

maka semakin banyak pula limbah rumah tangga yang dibuang ke sungai. Berdasarkan BPS DKI Jakarta (2006) tercatat jumlah penduduk di kota Jakarta pada tahun 2004 sebanyak 2.266.490 jiwa, pada 1 Januari 2005 sebanyak

8.540.306 jiwa, dan 1 Januari 2006 sebanyak 7.512.323 jiwa. Berdasarkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (2009), pada bulan Juni 2007 tercatat jumlah penduduk di Jakarta sebanyak 7.552.444 jiwa, pada tahun 2008 mencapai 8.059.170 jiwa, dan tercatat pada bulan Maret 2009 sebanyak 8.513.385 jiwa.

Bertambahnya jumlah penduduk setiap tahunnya maka semakin banyak pula dilakukan pembangunan di sekitar kota Jakarta, terutama untuk wilayah

pemukiman dan perindustrian. Aktivitas sehari-hari yang dilakukan masyarakat sekitar ikut menyumbang limbah rumah tangga masuk ke sungai dan sampai di perairan Teluk Jakarta.

Konsentrasi TSS yang tinggi secara tidak langsung dapat membatasi produktivitas perairan akibat partikel-partikel yang melayang di perairan menghalangi penetrasi cahaya matahari masuk ke dalam badan air, sehingga proses fotosinteis menjadi terganggu. Secara langsung, tingginya konsentrasi TSS dapat mengganggu respirasi biota laut dan menyebabkan infeksi pada biota laut (Setiapermana dan Nontji, 1980).

Berdasarkan hasil pengamatan pada bulan Desember 2006, terlihat adanya indikasi kenaikan suhu di perairan Teluk Jakarta akibat peningkatan panas global dan dipengaruhi juga oleh limbah industri, limbah pabrik, maupun PLTU di sekitar muara sungai Muara Karang yang membuang hasil limbah yang secara langsung dialirkan ke perairan laut (BPLHD, 2007).

Akibat pencemaran dan reklamasi, frekuensi melaut berkurang drastis, bangkrutnya usaha budidaya kerang yang dikembangkan masyarakat hingga berkurangnya jenis ikan di perairan Teluk Jakarta membuat kelangsungan hidup nelayan di Teluk Jakarta semakin jauh dari sehat dan sejahtera. Bahkan pada tahun 2005, salah seorang nelayan tradisional asal Marunda meninggal dunia setelah terkontaminasi oleh pencemaran air dari teluk ini (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia et al., 2009). Menurut data resmi Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLHD) Jakarta, perairan Teluk Jakarta sudah tidak layak lagi untuk wisata bahari dan kehidupan biota laut karena di Teluk Jakarta kandungan nitrat, amoniak, dan fosfat sudah melebihi ambang batas. Bahkan pencemaran sudah mencapai Kepulauan Seribu (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia et al., 2009).

Dokumen terkait