• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pasal 35 Huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Administrasi Kependudukan

TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA

B. Analisis Pasal 35 Huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Administrasi Kependudukan

Pembentukan suatu peraturan yang baik haruslah merujuk pada unsur-unsur yang hidup dalam masyarakat itu sendiri, hal ini bertujuan agar saat peraturan tersebut diterapkan bisa menyelesaikan atau meminimalisir masalah

yang terjadi bukan menimbulkan masalah baru sehingga aturan yang di buat tersebut tepat sasaran. Namun dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan terutama dalam Pasal 35 berisi sebuah ketentuan baru yang menimbulkan perdebatan yang sampai saat ini menjadi pro dan kontra, karena dianggap bertentangan dengan nila-nila agama, namun sebagian kalangan masyarakat menganggap lahirnya pasal ini sebagai jawaban penghapusan diskriminatif.

Menurut Soerjano Soekanto dan Purbacaraka untuk membentuk suatu peraturan yang baik harus memenuhi beberapa asas sebagai berikut:10

1. Undang-Undang tidak boleh berlaku surut

2. Undang-Undang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi

3. Undang-Undang yang bershifat khusus mengesampingkan Undang-Undang yang bersifat umum.

4. Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-Undang yang berlaku terdahulu

5. Undang-Undang tidak dapat di ganggu gugat

6. Undang-Undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaruan maupun pelestarian

10

Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik (Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan), Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2009, h 117.

Hal yang menjadi perdebatan banyak pihak adalah apakah perkawinan yang dicatatkan dengan penetapan pengadilan sesuai dengan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 sah menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Dalam permasalahan ini untuk melihat aturan mana yang mesti diberlakukan dan adakah pertentangan kita harus mengaitkanya dengan asas-asas pembentukan peraturan agar terlihat titik persoalan secara sistematis.

Menurut Van Der Vlies suatu peraturan yang akan dibuat harus memiliki tujuan yang jelas, dengan tujuan yang jelas maka akan dapat dicapai sebuah aturan yang menjawab permasalahan.11 Dalam teknis pembentukan peraturan perundang-undangan, penggambaran tujuan yang jelas di cantumkan pada bagian konsidern (menimbang) termasuk pula bagian penjelasan. Dalam konsideren yang termuat dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan menekankan pada penyelenggaraan pecatatan sipil maupun pencatatan kependudukan yang erat kaitanya dengan upaya perlindugan status hukum setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting. Penduduk berhak mendapatkan dokumen kependudukan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimana hak-hak tersebut berkaitan dengan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh seseorang tanpa adanya diskriminatif. Dalam pemenuhan hak penduduk, terutama di bidang pencatatan sipil, masih ditemukan penggolongan penduduk yang didasarkan pada perlakuan diskriminatif yang

11

membeda-bedakan suku, keturunan, dan agama sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan produk kolonial Belanda.12 Maka adanya Pasal 35 terkait perkawinan beda agama adalah upaya untuk menghilangkan deskriminatif dan upaya penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Maka munculnya Pasal 35 menurut dianggap sebagai suatu kemajuan HAM khususnya hak warga negara untuk dicatat. Dengan maksud bahwa agama bukan lagi masalah krusial agar suatu perkawinan bisa dicatatkan.

Suatu peraturan perundang-undangan yang baik haruslah didasarkan pada asas pembentukan peraturan yang baik, yaitu kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentukan yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi kedudukanya. Hal ini sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukn Peraturan Perundang-Undangan Pasal 5.13 Sehingga dalam menganalisa suatu peraturan perundang undangan, ada beberapa langkah yang mesti diperhatikan antara lain14 ;

12

Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2006 Tetang Administrasi Kependudukan, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Pertama), h. 44.

13

Lihat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, (Bandung: Nuansa Indah 2011, Cet. Pertama), h.5.

14

Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik (Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan), (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2009), h.171.

1. Sitematika penulisan sesuai dengan aturan pembentukan perundang-undangan yang baru,

2. Dasar hukum yang dijadikan acuan harus sesuai dengan aturan pembentukan perundang-undangan yang baru,

3. Masalah sosial yang ingin diatasi,

4. Dan norma-norma pokok yang terdapat dalam peraturan yang akan dibuat Hal ini bertujuan untuk melihat efesiensi dan efektivitas peraturan tersebut, apakah menimbulkan masalah baru atau adanya sebuah kepentingan dalam pembentukan peraturan tersebut.

Jika kita analisis Undang-Undang Administrasi Kependudukan menurut Undang-Undang Nomer 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, secara aspek teknis pembentukan peraturan perundang-undangan, Undang-Undang Administrasi Kependudukan sendiri telah sesuai dengan aturan yang berlaku baik, secara sitematika penulisan ataupun secara teknis pembentukan. Bisa kita lihat dari segi sitematika penulisanya, yaitu adanya judul yang jelas, pembukaan, batang tubuh, penutup, penjelasan dan lampiran. Di dalam pembukaan itu sendri berisi konsideren/ pertimbangan yang memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran dari Undang-Undang Administrasi Kependudukan yaitu adanya upaya perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum sehingga jika ditafsirkan dibuatnya undang-undang ini bertujuan untuk mengatasi permasalahan dan mengisi kekosongan hukum agar terciptanya keadilan. Maka jelas bahwa

dimuatnya Pasal 35 terkait perkawinan beda agama adalah salah satu upaya untuk menghilangkan perbedaan dan upaya mengisi kekosongan hukum yang mana sebelumnya belum ada aturan jelas yang mengatur perkawinan antar agama.

Dasar hukum yang dijadikan acuan dalam pembentukan Undang-Undang Administrasi Kependudukan sendiri sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 7 terkait jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yaitu susunan tertinggi harus berdasarkan Undng-Undang Dasar 1945, sedangkan masalah sosial yang ingin diatasi sendri dari Undang-Undang Administrasi Kependudukan bisa dilihat dalam bab penjelasan yaitu terkait pemenuhan hak Penduduk, terutama di bidang Pencatatan Sipil, yang masih ditemukan penggolongan Penduduk yang didasarkan pada perlakuan diskriminatif yang membeda-bedakan suku, keturunan, dan agama sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan yang berlaku. Dan itulah yang menjadi latar belakang lahirnya Pasal 35 Undang-Undang Administrasi Kependudukan tentang penetapan pengadilan bagi pasangan beda agama15. Namun kenyataannya dalam pasal tersebut jika ditafsirkan sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai agama yang menekankan sebuah perkawinan pada ikatan yang syakral.

Hukum agama sendiri merupakan salah satu hukum yang hidup dan menjiwai seluruh umat manusia, dan diyakini kebenarnya sehingga memberi efek

15

sosiologis pada seluruh aspek kehidupan, termasuk juga hukum khusus yaitu hukum perkawinan, maka dari itu suatu perkawinan seharusnya sesuai dengan aturan agama dan bangsa. Indonesia sendiri merupakan bangsa yang monotheis dan bukan atheis,16 oleh karena itu agama dijadikan landasan filsafah bangsa Indonesia dan bisa kita lihat pada sila pertama dalam Pancasila yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Paham inilah yang menjadi dasar dilahirkannya Undang-Undang Perkawinan yang mana agama diajdikan hal utama yakni hukum agama sebagai pengesah suatu perkawinan, misalnya seorang muslim maka ia berdasarkan hukum agamanya sebaliknya agama lain.

Menurut Daud Ali dalam Negara yang berdasarkan Pancasila tidak boleh berlaku aturan hukum yang bertentangan dengan hukum agama, agama-agama yang ada di Indonesia melarang perkawinan beda agama. Maka dalam Negara Pancasila tidak boleh terjadi perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda. Bustanul Arifin berpendapat bahwa dalam sistem perkawinan kita sekarang tidak ada lagi tempat untuk perkawinan yang bersifat sekuler seperti perkawinan perdata masa dulu, karena Pancasila tidak menampung hal-hal yang bersipat sekuler.17

Keabsahan suatu perkawinan merupakan suatu yang bersipat prinsipil, karena berkaitan langsung dengan akibat–akibat perkawinan. Hal ini lah yang melatarbelakangi lahirnya Pasal 2 ayat (1) yakni “ perkawinan adalah syah

16

Monotheis adalah sebuah paham yang menyakini adanya suatu Tuhan sebagai pencipta kehidupan manusia, sedangkan atheisme adalah paham yang tidak menyakini adanya tuhan.

17

Ichtiyanto, Perkawinan Campuran Dalam Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2003, Cet. Pertama), h. 81-82.

menurut agama dan kepercayaan masing-masing”, hukum masing-masing agama itu termasuk pula ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaanya sepanjang tidak bertentangan atau ditentukan lain dalam Undang-Undang Perkawinan.18

Dari ketentuan tersebut, jelas terlihat bahwa perkawinan mempunyai kaitan erat dengan agama yang dianut oleh calon mempelai, sehingga perkawinan dapat dikatakan syah secara yuridis apabila perkawinan tersebut dilakukan menurut agama orang yang melangsungkan perkawinan tersebut. Maka bagi orang Islam perkawinan mereka dikatakan syah jika mengikuti aturan tata cara hukum Islam, dan bagi pasangan yang berbeda agama maka perkawinannya dapat dikatakan tidak sah.

Menurut penulis adanya pelarang perkawinan beda agama atau perkawinan beda agama tidak syah bukanlah sebuah pelanggar Hak Asasi Manusia, jika dikaitkan dengan Pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945 yang

berbunyi; “ Dalam menjalankan hak dan kebebasanya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undangdengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral dan nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis” maka jika ditapsirkan bahwa hak asasi

18

H.M. Anshary, Hukum Perkawinan Indonesia (Masalah-Masalah Krusial), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, Cet. Pertama), h. 12.

manusia dibatasi selama tidak melanggar nilai-nilai agama dan sebagainya.19 Dari ketentuan pasal di atas dapat dilihat bahwa perkawinan beda agama bukan lagi Hak Asasi Manusia, karena sudah melanggar nilai-nilai agama walaupun pada kenyataanya perkawinan tersebut bisa diberlangsungkan dengan adanya dipensasi. Pada dasarnya dikeluarkanya dispensasi dari masing-masing agama bukanlah degan cuma-cuma tapi ada persyaratan yang mesti dilakukan terlebih dahulu, hal ini menandakan bahwa perkawinan beda agama sangatlah tidak disukai di setiapa ajaran agama manapun. Dampak yang ditimbulkan dari perkawinan beda agamapun sangatlah lebih banyak, terkait masalah anak terutama dalam pertumbuhan kejiwaanya. Kewajiban orang tua mendidik anaknya dengan nilai-nilai agama merupakan hak setiap anak, bagaimana pasangan beda agama dalam meberikan pendidikan untuk tumbuh kembang anak, menjadi masalah yang mesti diperhatikan.

Walaupun benar bahwa perkawinan adalah hak setiap orang, dan adanya Pasal 35 tentang perkawinan beda agama adalah untuk menghilangkan adanya diskriminasi, di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia diskriminasi dimaksudkan kepada adanya pembatasan, pelecehan, pengucilan yang langsung maupun tidak langsung didasarkan pembedaan manusia atas dasar etnis, agama, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial,

19

Jimmy Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republic Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Cet. Pertama), h.127.

status ekonomi dan sebagainya.20 Dan dalam Pasal 10 ayat 1 menyatakan bahwa

setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunannya dengan melalu perkawinan yang sah, dan dalam ayat 2 menyatakan perkawinan yang sah hanya berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan istri yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.21 Maka sebagian aliansi seperti Paramadinan dan Indonesian Conference in Region and Peace

(ICRP) mengatakan bahwa perkawinan beda agama adalah hak asasi manusia, namun jika dilihat dari makna diskriminasi yang dimaksud dalam undang-undang tersebut adalah dalam perlakuan atau tindakan diskriminatif adalah tindakan yang bertujuan memberikan perlakuan yang berbeda terhadap sesama warga negara hingga hilangnya kesempatan dan kesetaraan dalam menjalankan kehidupannya. Sedangkan dalam dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 memberikan jaminan, perlindungan dan kesempatan untuk berkehidupan namun dibuatnya batasan pada dasarnya untuk menciptakan kehidupan yang seimbang, saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Oleh karena itu adanya aturan baru yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Adminstrasi Kependudukan Pasal 35 huruf (a) terkait perkawinan beda agama bukanlah sebuah kemajuan HAM melainkan membuka permasalahan baru dan berimplikasi

20

Tim Hukum Pusat Pengkajian Dan Pelayanan Informasi, Amandemen UU 1945 dan Implikasinya Terhadap Pembangunan Sistem Hukum Nasioanal, (Jakarta: Sekertariat Jendral DPR-RI, 2001), h. 154-155.

21

Ahmad Baso Dan Ahmad Nurcholis, Pernikahan Beda Agama (Kesaksian, Argument Keagamaan Dan Analisa Kebijakan), (Jakarta: Komnas HAM-ICRP, 2005, Cet. Pertama), h.258.

pada pelanggaran nilai-nilai agama yang nantinya dikaitkan pada hal penistaan agama seperti kasus Asmiranda, dan banyak dampak negatif yang di timbulkan. Ternyata aturan tersebut tidak hanya bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan namun bertentangan dengan esensi yang terkandung pada Undang-Undang Dasar 1945.

Selanjutnya jika dikaitkan pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan, Pasal 35 Undang-Undang Administrasi Kependudukan tentang penetapan pengadilan bagi pasangan beda agama sama-sama pasal yang menyangkut masalah kerohanian yang mana dalam Undang-Undang Perkawinan mengutamakan agama sebagai sumber utama dalam pengesahan perkawinan sedangkan dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan lebih menekankan pada hak asasi manusia atau lebih tepatnya agama bukan masalah krusial. Pendefinisian agama sendiri dalam Undang-Undang Dasar 1945 tepatnya Pasal 29 ayat 2 memuat ketentuan yang bermakna untuk memeluk agama dan kepercayaan serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang diyakini.22

Menurut Prof. Mohammad Daud Ali terkait pemaknaan pada Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 tentang kata-kata agama dan kepercayaan dapat kita telaah dari pendapat mereka yang merumuskan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun pendapat mereka antara lain:

22

Lihat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Jakarta ,Sekretaris Jendral Dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2011, h. 33.

1. Menurut H.Agus Salim menyatakan makna Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 adalah kepercayaan atau

akidah agama, “tidak ada seorangpun diantara kami (para perancang atau

penyusun Undang-Undang Dasar 1945) yang ragu-ragu bahwa yang dimaksud adalah, akidah atau kepercayaan agama.

2. Menurut Mohammad Hatta menyatakan arti perkataan kepercayaan dalam Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 adalah kepercayaan agama, ditambah lagi oleh Mohammad Hatta kuncinya adalah kata “itu” dalam ujung

bunyi Pasal 29 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Kata “itu” menurut beliau

adalah menunjuk pada kata agama yang terletak di depan kata kepercayaan tersebut. Dilihat dari sudut pandang penafsiran sistematis, Mohammad Hatta menjelaskan hal tersebut adalah logis, karena kata-kata agama dan kepercayaan itu digandengkan atau disandingkan dalam satu kalimat dan diletakan di bawah bab agama dan benar sesuai dengan penjelasan H. Agus Salim.

3. Selanjutnya menurut Kasman Singodimedjo, yang ikut serta menjadi anggota PPK yang mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945. Mengatakan bahwa makna kepercayaan dalam Undang-Undang Perkawinan tidak lain adalah

kepercayaan yang termasuk dalam lingkup “agama” yang dipeluk bangsa

Indonesia.23

23

David Hartadi Tenggara, Dampak Lahirnya Undang-Undang Administrasi Kependukdukan Terhadap Keabsahan Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan ”, Skripsi, Depok , Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007, h.152-153.

Dengan kata lain bahwa agama dan kepercayaan adalah satu kesatuan dari penjelasan diatas menurut Prof. Muhammad Daud Ali bahwa dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) telah sesuai dengan Undang-Undang-Undang-Undang Dasar 1945 yang mana kata agama dan kepercayaan adalah satu kesatuan dan penjelasan dari pasal tersebut yaitu “ dengan perumusan pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan berarti tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu’’ sehingga jika tarik kesimpulan dari penjelasan pasal tersebut bahwa tidak ada lagi upaya untuk melanggar ‘hukum agamanya sendiri” jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin

dengan melanggar hukum agamanya hal ini sejalan dengan pendapat Prof. Dr Hazairin SH.

Didalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 (b) berbunyi “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

syah” ditafsirkan bahwa perkawinan yang syah merupakan persyaratan untuk timbulnya hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan maka negara tidak menjamin hak seseorang jika dalam membentuk keturunan tanpa adanya proses perkawinan yang sah, perkawinan yang sah sendiri dalam Undang-Undang Perkawinan adalah menurut agama dan kepercayaan.24 Menurut Hadikusuma di dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Nasional mengatakan bahwa perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan nasional adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama

24

Jimly Asshiddiqie, Kometar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republic Indonesia Tahun 1945, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, Cet. Pertama, h. 115.

yang diakui di Indonesia. Kata “hukum masing-masing agamanya”, berati hukum dari salah satu agama itu, bukan masing-masing agama calon mempelai. Dan ia mendefiniskan perkawina beda agama sebagai perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib salah satu agama, bukan oleh setiap agama, sehingga ia menekankan pada penundukan salah satu agama.25 Munculnya sebuah ketentuan baru dalam Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Administrasi Kependudukan mengenai penetapan pengadilan terkait pasangan beda agama yang membolehkan perkawinan beda agama untuk dicatatkan sehingga memberikan definisi baru bahwa perkawinan beda agama sudah mendapat tempat di konstitusi dengan kata lain Negara mengakui dan menfasilitasi perkawinan tersebut.

Dilahirkanya Undang-Undang Perkawinan adalah untuk meminimalisir adanya pertentangan dalam persoalan agama sehingga perkawinan beda agama tidak diakomidir dalam Undang-Undang tersebut. Timbulnya permasalahan dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan, penulis rasa lebih menekankan pada masalah apa yang ingin diatasi Undang-Undang Administrasi Kependudukan itu sendiri. Ternyata banyak muatan materi yang bertolak belakang dengan ketentuan yang masih berlaku hingga saat ini dan norma-norma yang hidup di masyarakat, apalagi dalam pasal-pasal yang menyoroti masalah keyakinan atau kerohanian. Hal ini dalam pembentukan Undang-Undang disebut dengan disharmoni hukum. Disharmoni hukum biasanya timbul karena adanya

25

Ichtijanto, Laporan Akhir Analisis Dan Evaluasi Hukum 20 Tahun Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1996), h. 37.

perbedaan antara berbagai Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan bisa juga dikarenakan adanya pertentangan dengan peraturan pelaksanaan dan sebagainya. Misalnya pertentangan antara Undang-Undang yang kedudukanya sederajat ataupun adanya perbedaan dengan peraturan pelaksana sehingga tujuan dibuatnya Undang-Undang tersebut tidak sesuai.

Undang-Undang Perkawinan yang sudah mendasari hukum perkawinan hingga saat ini, secara yuridis merupakan ketentuan yang tertinggi dalam mengatur perkawinan di Indonesia termasuk dalam memeberi keabsahan terhadap suatu perkawinan bagi masyarakat di Indonesia. Namun dengan dilahirkanya Undang-Undang Administrasi Kependudukan di tahun 2006 lalu dari segi yuridis menjadi sebuah ketentuan perundang-undangan yang tertinggi dalam penyelesaian administrasi kependudukan, sehingga ketentuan sebelumnya yang hanya berupa Keppres posisinya naik menjadi undang-undang. Hal tersebut menyebabkan ketentuan lain yang ada dibawahnya, yakni ketentuan yang bersipat pluralistis harus mengacu pada aturan ini. Sedangkan Undang-Undang Perkawinan dianggap memiliki ketentuan yang pluralistis hukum dan adanya diskriminatif terutama dalam hal pencatatan perkawinan, terlihat dari banyaknya pro kontra dalam masyarakat mengenai keabsahan dan pencatatan bagi mereka yang memilki perbedaan agama sehingga adanya Undang-Undang Administrasi Kependudukan dianggap sebagi solusi atau mengakomodir bagi mereka yang ingin dicatatkan dan mendapat pengakuan. Tetapi banyak yang menganggap perkawinan yang berbeda agama adalah hal yang sangat sensitip karena ini

menyangkut konteks agama bukan lagi terkait Hak Asasi Manusia melainkan sebuah keyakinan yang menyangkut orang banyak bukan lagi masing-masing pihak walaupun dalam Pasal 29 ayat 2 mengatakan “Negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan

untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu” dengan kata lain

bukan berati kita bisa melanggar ketentuan agama yang bisa menimbulkan konflik lebih banyak. Sehingga kedudukan Undang-Undang Administrasi Kependudukan sendiri terhadap Undang-Undang Perkawinan harus di lihat dari segi asas-asas yang termuat dalam undang-undang, hal ini berfungi untuk melihat kedudukan masing-masing.

Untuk menyelesaikan pertentangan yuridis terkait dalam Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Administrasi Kependudukan dengan Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 ayat 1 maka didalam sistem perundangan pada umumnya mengunakan tiga asas hukum yaitu :

1. Asas Lex Specialis Derograt Lex Generalis, maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diperlakukan umum atau lebih luas yang juga dapat mencangkup peristiwa khusus. Asas ini lebih sering diartikan sebagai suatu aturan yang bersipat khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum.

2. Asas Lex Posteriore Derograt Lex Priori, yang dimaksud dengan asas ini adalah, bahwa undang-undang lain (yang lebih dahulu berlaku) yang

mengatur suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi jika ada undang-undang baru (yang berlakunya belakangan) yang mengatur pula hal tertentu tersebut, akan tetapi makna atau tujuanya berlainan atau berlawanan dengan undang-undang yang lama tersebut (pencabutan undang-undang secara diam-diam). Asas ini sering diartikan bahwa ketentuan yang dibuat dan berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu.

3. Asas Lex Superiori Derograt Legi Inferiori. Yang dimaksud dengan asas ini adalah sebuah aturan yang dibuat dan kedudukannya lebih tinggi posisinya