• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Perkawinan Beda Agama Di Indonesia Setelah Berlakunya Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Perkawinan Beda Agama Di Indonesia Setelah Berlakunya Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN NOMOR

23 TAHUN 2006

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Disusun oleh:

AINUR RAHMAN

NIM : 109044100054

PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA (SAS)

FAKULTAS SYARI’AH DANHUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)

KEPENDUDUKAN NOMOR

23 TAHUN 2006

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Ainur Rahman

NIM : 109044100054

Dibawah Bimbingan

Dr. H. JM. Muslimin, MA.,

NIP. 196808121999031014

PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA (SAS)

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(3)

INDONESIA SETELAH BERLAKLINYA UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI

KEPENDUDUKAN

NoMoR

23 TAHUN 2006" telah diujikan dalam sidang

munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah "Iakarta pada 9 Mei 2014 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana syariah (S.SV) pada Plogram Studi Ahwal al-syakhshiyah.

Jakarta, 9 Mei 2014 M'eqggsahkan

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Ketua Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA., NIP. 19s00306197603 1001

Hj. Rosdiana" MA..

NIP. 1 96906 1 02003 122001

Dr. H. JM. Muslimin, MA.,

NrP. 1 9680812199903

t0I4

Drs. H. A" Basiq Djalil, SH.. MA"

NIP. 19s00306197603 1001

H. Kamarusdiana, S.Ag, MH.,

NIP. 1 9720224199803 1 003

Sekretaris

Pembimbing

Penguji I

z;.."ttffi

'

/,7i;i\{lRr' ] 96808 12199903 101 4
(4)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini ;

Nama NPM Jurusan

: Ainur Rahman :1040100054

: Peradilan Agama

Menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat adalah :

1.

Murni gagasan, rumusan dan hasil penelitian penulis dengan arahan dosen

pembimbing.

2.

Di

dalamnya tidak terdapat karya-karya atav pendapat yang telah di tulis atau

dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan

sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang atau

dicantumkan dalam daftar pustaka.

Demikian pernyataan

ini

di

buat dengan sebenarnya, apablla dikemudian hari

terdapat kekeliruan saya bersedia dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang

berlaku di Fakultas Hukum dan Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah .Iakarta

(5)

v

Ainur Rahman, mahasiswa jurusan Peradilan Agama Fakultas Hukum dan Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya ketentuan tentang perkawinan beda agama dalam Pasal 35 huruf (a) pada Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang mana pada dasarnya agama apapun tidak menghendaki adanya perkawinan beda agama. Dan didalam peraturan perundang-undangan tentang perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan yang syah adalah menurut agama dan kepercayaan (Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan) dan selama bertahun-tahun ditafsirkan bahwa (UUP) sebagai aturan yang melarang perkawinan beda agama. Namun adanya aturan baru tentang perakwinan beda agama yang sama-sama memiliki kedudukan setingkat dalam perundang-undangan enjadi pertanyaan baru. Oleh karena itu penulis mengangkat permasalah ini dengan mengaangkat rumusan masalah terkait kedudukan dan keabshan perkawinan beda agama.

Dibuatnya penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah yang termuat dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan Pasal 35. Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan. Hal ini berfungsi untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang-undang-undang yang lain yaitu antara Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan antara Undang-Undang Dasar 1945, sehingga dapat disimpulkan mengenai ada tidaknya benturan baik filosofi ataupun sosial antara undanga-undang dengan isu yang dihadapi.

Hasil dari penelitian skrispsi ini yaitu bahwa aturan yang termuat dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 Pasal 35 huruf (a) terkait beda agama merupakan aturan khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum bukan menghapus ketentuan yang lama, sehingga Undang-Undang Perkawinan masih beralaku dalam sistem peraturan nasional di bidang perkawinan. dibuatnya aturan tentang perkawinan beda agama ini dianggap sebagai solusi bagi pelaku perkawinan beda agama yang ingin mengesahkan perkawinanya dengan melalui penetapan pengadilan atau mengisi kekosongan hukum namun ternyta pasal ini malah menimbulkan masalah yang lebih rumit. Aturan yang dimuat yang mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM) pada kenytaanya lebih dominan kepada adanya pertentanga dengan nilai-nilai agama sehingga jika dikaji secara horizontal maka aturan ini memiliki pertentangan dengan sistem hierarki tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “ANALISIS YURIDIS

PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA SETELAH BERLAKUNYA

UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN NOMOR 23 TAHUN

2006 Penulisan ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh dalam menyelesaikan jenjang pendidikan strata satu (S-1) Fakultas Hukum dan Syariah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dan bimbingan serta dorongan yang diberikan oleh banyak pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak. Dr. H. JM. Muslimin, MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta dosen pembimbing utama, atas waktu, bimbingan, serta saran-sarannya dalam menyusun skripsi ini. 2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA., dan Ibu Rosdiana, MA., selaku ketua

dan sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Rumadi, MA., selaku dosen akademik, atas waktu, kesabaran, dan bimbingan, dalam menyusun skripsi ini.

(7)

vii

bijaksana membantu dan mengarahkan penulis dalam pengumpulan data selama proses pelaksanaan observasi dalam penulisan skripsi ini.

5. Ayah dan Ibu, kakak serta adik-adikku di rumah yang memberi kasih sayang, doa, dorongan dan dukungannya baik materiil maupun spiritual serta memberikan motivasi kepada penulis dengan ketulusan.

6. Teman-teman kelas Peradilan Agama “B” yang selalu mendukung dan mengisi hari-hari penulis dengan keceriaan.

7. Dosen-dosen, staf dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas dukungannya.

8. Pihak-pihak lain yang terlibat dan turut membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata penulis memohon maaf sebesar-besarnya jika dalam pembuatan skripsi ini penulis melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak sengaja. Semoga ini bermanfaat bagi para pembaca.

Jakarta, April 2014

(8)

viii

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Studi Review ... 11

E. Metode Penelitian ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II PERKAWINAN... 17

A.Kajian Umum Tentang Perkawinan ... 17

(9)

ix

BAB III PERKAWINAN BEDA AGAMA ... 41

A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Beda Agama dari Sudut Pandang Berbagai Agama di Indonesia ... 41

B. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Beda Agama Dalam Hukum Positif di Indonesia ... 56

C. Tata Cara Perkawinan Beda Agama Dalam Praktek ... 66

D. Pencatatan dalam Perkawinan Beda Agama ... 69

BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA ... 73

A. Perkawinan Antar Agama dalam Perspektif Undang-Undang No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan ... 74

B. Analisis Pasal 35 Huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan ... 82

BAB V PENUTUP ... 109

A. Kesimpulan ... 109

(10)

x

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 200

1. Surat Permohonan Data/Wawancara... 200

2. Surat Bukti Wawancara... 201

3. Hasil Wawancara ... 202

4. Penetapan Nomor 111/Pdt.P/2007/PN.Bgr ... 206

(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk hidup yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lainnya, dengan kelebihan yang ada pada manusia maka sudah sewajarnya bahwa manusia seharusnya menggunakan kelebihan tersebut dengan baik.Manusia sebagai makhluk hidup dan sosial memiliki kebutuhan-kebutuhan untuk melangsungkan eksitensinya sebagai makhluk.Manusia sebagai makhluk sosial selalu hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antar manusia, antara lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani. Kebutuhan manusia sangatlah banyak maka dari itu Maslow mengklasifikasikannya kedalam empat bentuk yaitu dilihat dari hierarki atau dasar hakikat manusia antar lain : The Physiological Needs (kebuthan fisik), The Safety Needs (rasa aman), Love Needs, The Esteem Needs, The Needs For Self –Actualization.1 Kebutuhan fisiologis itu sendiri adalah kebutuhan seksual, pemenuhan kebutuhan seksual dapat diterima dengan baik jika adanya hubungan seksual dengan lawan jenis yaitu antara wanita dengan seorang pria. Namun dengan demikian hubungan seksual itu dapat dilakukan melalui dua hal yaitu dengan cara ikatan perkawinan maupun tanpa ikatan perkawinan atau hubungan seksual yang tak sah. Hubungan seksual tanpa

1

(12)

ikatan perkawinan yang sah dipandang sebagai aib dan perbuatan tersebut dilarang norma masyarakat Indonesia. Maka dapat dikatakan bahwa hubungan seksual yang dapat diterima oleh norma msyarakat Indonesia hanya melalui perkawinan dan yang melatarbelakangi perkawinan adalah untuk memenuhi kebutuhan fisiologis yang sesuai dengan norma masyarakat Indonesia.2

Perkawinan sendiri sudah menjadi tradisi dan budaya yang sudah tak dapat lagi dipisahkan, Ia dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, dan keagamaan yang dianut masyarakat yang bersangkutan. Di Indonesia perbedaan suku bangsa, budaya dan kewarganegaraan antara laki-laki dan perempuan yang akan melangsungkan perkawinan bukanlah masalah. Hukum negara Indonesia tidak melarang perkawinan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang berbeda suku bangsa, budaya, dan kewarganegaraan. Hal ini sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari bermacam-macam suku dan adat istiadatnya, karena banyaknya perbedaan dan keragaman sering kali menimbulkan masalah yang sangat komplek, misalnya perkawinan antar negara ataupun yang labih rumit perkawinan antar agama.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengatur segala sesuatu berkaitan dengan pelaksanaan perkawinan dalam Pasal 1

Undang-Undang Perkawinan memberikan pengertian tentang perkawinan yaitu :

“Ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

2

(13)

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa dan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.3 Walaupun tentang

perkawinan ini telah ada pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tidak berarti bahwa undang-undang ini telah mengatur semua aspek yang

berkaitan dengan perkawinan. Contoh persoalan yang tidak diatur oleh Undang-Undang Perkawinan adalah perkawinan beda agama, yaitu antara seorang

laki-laki dan seorang perempuan yang berbeda agama.4

Fenomena perkawinan antar agama, bukanlah hal baru di Indonesia. Sebelumnya sudah berderet wanita Indonesia yang menikah dengan laki-laki non-muslim. Kasus yang cukup terkenal adalah perkawinan artis Deddy Corbuzier dan Kalima pada awal tahun 2005 lalu, di mana Deddy yang Katolik dinikahkan secara Islam oleh penghulu pribadi yang dikenal sebagai tokoh dari Yayasan Paramadina. Pengadilan Negeri Bogor sendiri telah mengeluarkan suatu penetapan dan memberikan izin untuk melangsungkan perkawinan beda agama serta memerintahkan pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil (KCS) Kota Bogor untuk mendaftarkan suatu perkawinan beda agama (No. 111/Pdt.P/2007 / Pn.Bgr,)

3

M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind Hill Co, 1990), h.3.

4

(14)

Sementara seluruh agama yang diakui di Indonesia tidak membolehkan adanya perkawinan yang dilakukan jika kedua calon beda agama. Dalam Islam sendiri sudah jelas tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) yang diantara materi-materinya adalah masalah kawin beda agama yaitu Pasal 40 huruf (c) dan Pasal 44.5 Hanya saja materi yang termuat dalam pasal tersebut adalah berupa pelarangan tegas terhadap persoalan kawin beda agama. Dalamajaran Islam sendiri wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki non muslim (QS al-Baqarah [2] : 221) selain itu dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (I Korintus 6 : 14-18 )6. Agama Kristen Katholik secara tegas menyatakan perkawinan antara seorang Katolikdengan penganut agama lain adalah tidak sah (Kanon;1086), namun gereja memberikan dispensasi dengan persyaratan yang ditentukan hukum gereja (Kanon;1125).7 Dispensasi dalam realisasinya diberikan oleh Uskup setelah memenuhi persyaratan tertentu dan kedua belah pihak membuat perjanjian tertulis Pertama yang beragama Katolik berjanji akan tetap setia pada iman Katolik, berusaha memandikan dan mendidik anak-anak mereka secara Katolik, Kedua, mereka yang tidak beragama Katolik berjanji menerima perkawinan secara Katolik, tidak akan menceraikan pihak yang

5

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 berbunyi : Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan tertentu yaitu pada huruf (c) seorang wanita yang tidak beragama Islam. Dan Pasal 44 berbunyi : Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Focus Media, 2010), h. 16.

6

Hukum Online, Tanya Jawab Hukum Perkawinan dan Perceraian, (Ciputat: Kataelha, 2010,) h. 31.

7

(15)

beragama Katolik, tidak menghalangi pihak yang beragama Katolik melaksanakan imannya, dan bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik. Menurut hukum Hindu suatu perkawinan hanya sah jika dilaksanakan upacara suci oleh Pedende, dan Pedende hanya mau melaksanakan upacara pernikahan kalau kedua calon pengantin beragama Hindu maka perkawinan orang Hindu yang tidak memenuhi syarat dapat dibatalkan.

Sehubungan dengan soal keabsahan dari perkawinan beda agamayang masih menjadi dualisme yang dipertanyakan dan selama ini pelaksanaanya masih belum mendapat kejelasan kini telah mendapat suatu dasar hukum yaitu berdasarkan penetapan pengadilan sesuai dengan Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 yang mana dalam salah satu pasalnya Pasal 35 berbunyi: “Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi :

a. Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan dan

b. Perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan.

Bunyi penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 : huruf (a) yang dimaksud dengan "perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan" adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama8. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Kantor Catatan Sipil kini memiliki kewenangan

8

[image:15.612.127.528.269.559.2]
(16)

baru,yang sebelumnya hanya berwenang mencatatkan perkawinan selain pasangan non-muslim sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983 tentang Penataan, Pembinaan, Penyelenggaraan Catatan Sipil yang pada Pasal 1 ayat 2 huruf (a) menyatakan kewenangan dan tanggung jawab di bidang catatan sipil adalah: menyelenggarakan pencatatan dan penerbitan kutipan akta kelahiran, akta kematian, akta perkawinan dan akta perceraian bagi mereka yang bukan beragama Islam.9 Kemudian diperkuat dengan keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 15 Tahun 1999 tentang Prosedur Pelayanan Masyarakat pada Kantor Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan setiap perkawinan WNI atau WNA yang telah sah dilaksanakan oleh pemuka agama selain agama Islam dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil selambat-lambatnya 30 hari sejak peristiwa perkawinan.Dengan adanya peraturan-peraturan tersebut maka Kantor Catatan Sipil tidak lagi berwenang mengawinkan pasangan beda agama walaupun ada perintah dari pengadilan untuk melaksanakannya.

Namun dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminitrasi Kependudukan, Kantor Catatan Sipil memiliki tugas baru yaitu selain mencatat perkawinan non-Islam kini juga mencatat pasangan beda agama. Jika dilihat dari poin Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan muncul sebagai jalur legal dari berbagai jalur ilegal yang sering dilakukan masyarakat untuk melangsungkan perkawinan, ketentuan

9

(17)

pasal ini jelas bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yaitu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan atas Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun1974 terhadap Pasal 2 ayat 1 ini, berarti tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Pasal 8 huruf (f) mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Walaupun bunyi Pasal 8 huruf(f) Undang-Undang Perkawinan , tidak tegas menyebutkan larangan perkawinan beda agama, tetapi sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa setiap agama di Indonesia melarang perkawinan antara umat yang berbeda agama. Hal tersebut diperkuat dengan bunyi penjelasan atas Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini memperlihatkan bahwa suatu penjelasan atas suatu pasal dari suatu undang-undang, menghapuskan atau membatalkan suatu ketentuan undang-undang yang lain.10

Dengan demikian timbulah pertanyaan apakah hukum negara telah mengakui adanya perkawinan beda agama dan segala akibat perkawinan beda agama tersebut dan apakah keberadaan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang

10

(18)

Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan merupakan pengecualian dari berlakunya Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan berarti perkawinan beda agama telah mendapat pengaturan tersendiri. Berdasarkan hal yang diuraikan di atas penulis tertarik untuk mengangkat topik yang berjudul: “Analisa Yuridis Perkawinan Beda Agama di Indonesia Setelah diberlakukannya Undang-Undang Administrasi

Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006”

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Dalam hal ini penulis hanya membatasi permasalahnya terkait dalam keabsahan Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 itu sendiri, yang mana disebutkan dalam salah satu pasalnya yaitu tentang penjelasan Pasal 35 huruf (a) : Yang dimaksud dengan ”perkawinan yang

ditetapkan oleh pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang

berbeda agama, yang esensinya bertolak belakang dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sehingga hal ini membuka celah baru bagi pasangan untuk menikah beda agama atau hal ini memiliki peraturan yang terpisah ataukah pengecualian.

(19)

umatnya menikah dengan penganut agama lain. KHI (Kompilasi Hukum Islam) pun tegas melarang perkawinan beda agama akan tetapi kenyataanya perkawinan beda agama saat ini bukan lagi rahasia umum, hal ini di buktikan dengan adanya putusan Pengadilan Negeri Bogor Nomor(No. 111/Pdt.P/2007/Pn.BGR) dan Pengadilan Negeri Lumajang Nomor (No. 198/Pdt,P/2013/Pn.Lmj) yang berisi tentang pemberian izin untuk melangsungkan perkawinan beda agama karena sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan terutama Pasal 35 yang menjadi dasarnya. Akibat lahirnya Undang-Undang Administrasi Kependudukan tersebut tanpa sadar telah melegalkan perkawinan beda agama untuk disahkan dengan dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.

Dari rumusan masalah tersebut penulis kembangkan pada bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Apakah hukum negara telah mengakui adanya perkawinan beda agama dan segala akibat perkawinan beda agama tersebut?

2. Bagaimana keabsahan perkawinan beda agama setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Pasal 35 huruf (a)

(20)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan umum dalam penulisan skripsi ini adalah dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 terutama dalam Pasal 35 huruf (a) berlaku dan apakah keberadaan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 merupakan pengecualian dari berlakunya Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun1974 dan berarti perkawinan beda agama telah mendapat pengaturan tersendiri. Dan tujuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan pemahaman tentang bagaimana perkawinan itu sendiri berkembang dan apa saja yang menjadi polemik yang termuat dalam aturan yang sudah ada dan dilakukan sebagai pemahaman tentang asas perkawinan yang berkembang di Indonesia, dengan mencoba mengidentifikasi isu-isu yang bisa dipecahkan.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik bagi kepentingan ilmu hukum maupun kepentingan praktis sebagai berikut:

1. Penelitian ini secara khusus bermanfaat bagi penulis yaitu dalam rangka menganalisadan menjawab keingintahuan penulis terhadap perumusan masalah dalam penelitian.

(21)

pihak-pihak yang berkepentingan sebagai bagian informasi bagi masyarakat mengenai ketentuan hukum dan masalah-masalah yang terkait dengan perkawinan beda agama yang dilangsungkan didalam dan di luar negeri. 3. Untuk menjadi bahan referensi oleh pembaca baik mahasiswa, dosen, maupun

masyarakat umum.

D. Studi Review

Sebelum penulis membuat skrispi ini penulis melakukan telaah terlebih dahulu mencari teks-teks atau naskah-naskah yang memiliki kesamaan dengan tema atau malah sama percis dengan tema yang penulis angkat, hal ini dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan atau terjadi plagiat (pencotekan hak cipta). Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa naskah skripsi terdahulu yang memiliki kaitan dan kesamaan.

Skripsi yang berjudul Analisis Kritis Terhadap Konsep Pemikiran Feminis

tentang Perkawinan Beda Agama karya Anih Robbani Tahun 2011 lebih menekannkan tentang perubahan Kompilasi Hukum Islam yang diusung kaum

feminisme sudah tidak relevan dan tentang konsep perkawinan beda agama yang di gagas kaum feminisme. Sedangkan skripsi yang berjudul Hak Anak dalam

Memilih Agama dari Pasangan Beda Agama karya Azazi Tahun 2008, lebih menegaskan tentang hak-hak anak, kebebasan anak dalam menetukan pilihanya

(22)

Jika penulis simpulkan dari skripsi-skripsi terdahulu jelas sekali perbedaan

yang dapat dilihat yang mana dalam pembahasan yang penulis angkat ini adalah tentang aturan adanya celah baru tentang pelegalan perkawinan antar agama, sedangkan skripsi terdahulu belum ada tentang aturan yang terkait atau sebelum

adanya aturan yang penulis angkat.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, yang diteliti adalah sampai sejauh mana hukum positif tertulis itu singkron atau bertentangan. Ada beberapa jalur dapat dilakukan antara lain:11

1. Vertical yaitu dengan cara melihat suatu peraturan perundang-undanganyang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antar satu dengan yang lainapabila dilihat dari sudut vertical atau hierarki peraturan perundang-undangan yang ada.

2. Horizontal yaitu melihat dan meninjau peraturan perundang-undangan yang kedudukannya sederajat dan mengatur bidang yang sama.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode antara lain: 1. Pendekatan Masalah

Sehubung dengan tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan

11

(23)

undangan. Hal ini berfungsi untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang yang lain yaitu antara Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan antara Undang-Undang Dasar 1945, sehingga dapat disimpulkan mengenai ada tidaknya benturan baik filosofi ataupun sosial antara undang-undang dengan isu yang dihadapi.12

2. Sumber dan Jenis Data

Untuk mengumpulkan data dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan sumber dan jenis data library research yaitu penelitian yang dilakukan di Kepustakaan.

Berkenaan dengan metode yuridis normatif yang dipergunakan maka penulis melakukan penelitian kepustakaan (library research) yaitu :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan yang sifatnya mengikat masalah-masalah yang akan diteliti seperti Undang Dasar 1945, Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Peraturan tentang perkawinan Gemengde Huwelijken Regeling (GHR) Staatsblad 158-1898, norma dasar Pancasila, dan Yurisprudensi.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

12

(24)

mengenai bahan hukum primer. Penulis akan meneliti buku-buku ilmiah hasil karya dikalangan hukum yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti, memahami bahan hukum primer adalah rancangan peraturan perundang-undangan,hasil-hasil penelitian, hasil-hasil karya ilmiah para sarjana.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder. Misalnya kamus bahasa hukum, ensiklopedi, majalah, media massa dan internet.13

Tempat penelitian kepustakaan ini adalah:

a. Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Perpustakaan Fakultas Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta c. Buku hukum dari koleksi pribadi.

d. Situs-situs hukum dari internet 3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data ini penulis berusaha mencari dan mengidentifikasi setiap masalah, baik bahan hukum primer maupun sekunder dikumpulkan berdasarkan topik permsalahannya lalu dirumuskan sesuai isu yang diteliti dan diklasifikasi menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji secara komprehensif. Adapun bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan, aturan perundang-undangan maupun artikel akan penulis uraikan

13

(25)

dan hubungkan sehingga disajikan dalam penulisan yang sitematis guna menjawab permasalahan. Sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul akan dipergunakan metode analisis normatif kualitatif dengan menggunakan penafsiran gramatikal, sistematis dan outentik karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif sedangkan kualitatif dimaksudkan analisis data yang bertitik tolak pada usaha-usaha penemuan asas-asas dan informasi yang bersifat ungkapan monografis dari responden.

F. Sitematika Penulisan

Dalam skripsi ini di susun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab, masing-masing bab terdiri atas subbab guna memperjelas ruang lingkup dan cangkupan permasalahan yang dibahas. Adapun urutan tata letak masing-masing bab serta pokok permasalahan sebagai berikut.

(26)

Bab II menguraikan tentang kajian teoritis tentang perkawinan. Yaitu berisi tentang pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, syarat dan rukun perkawinan, sahnya perkawinan. Lalu menguraikan perkawinan campuran dan terakhir pandangan agama di Indonesia tentang perkawinan itu sendiri sekaligus analisa pemikirannya terhadap perkawinana beda agama sesuai dengan tema yang akan penulis bahas dan konsep-konsep hukum keluarga tentang perkawinan.

Bab III, berisi kajian tentang aturan hukum atau yuridiksi, tinjauan yuridis tentang perkawinan beda agama sebelum dan sesudah lahirnya Undang-Undang Perkawinan, dan juga menguraikan posedur pencatatan atau pengesahan suatu perkawinan terutama beda agama di Kantor Catatan Sipil yang menjadi kewenangannya.

Bab IV membahas tentang eksitensi dan yuridiksi perkawinan beda agama. Pada intinya pembahasan ini dilakukan untuk mengkaji implikasi dan urgensi Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 terhadap upaya pemberlakuan pengesahan atau pelegalan perkawinan beda agama yang esensinya bertentangan dengan mayoritas salah satu norma agama, dan menjawab pertanyaan apakah Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 cukup responsif atau malah bertentangan dengan aturan yang sudah ada sehingga dapat ditarik kesimpulan atas kedudukan Undang-Undang tersebut.

(27)

17

A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan

1. Definisi Perkawinan Menurut Fiqih.

An-nikaah secara etimologi/bahasa berarti mengumpulkan atau menggabungkan. Makna hakiki kata an-nikaah adalah bersetubuh. Namun secara majaz sering diungkapkan dengan arti akad perkawinan, penyebutan ini termasuk al-musabbab (hubungan intim) namun yang dimaksud adalah as-sabab (akad pernikahan).1 Selain itu ada juga yang mengartikannya dengan percampuran. Al-Fara’ mengatakan: “An-Nukh” adalah sebutan untuk

kemaluan. Disebut sebagai akad karena ia merupakan penyebab terjadinya kesepakatan itu sendiri. Sedangkan menurut Al-Azhari akar kata nikah dalam ungkapan bahasa arab artinya hubungan badan, dikatakan pula bahwa berpasangan itu juga merupakan salah satu dari makna nikah. Al-Farisi

mengatakan: “jika mereka mengatakan bahwa si fulan atau anaknya fulan

menikah maka yang dimaksud adalah mengadakan akad, namun jika dikatakan bahwa ia menikahi istrinya berarti yang dimaksud adalah berhubungan badan.2

1

Abdullah bin Abdurrahman al Bassam, Taudhih Al Ahkam min Bulugh Al Maram (Syarah Bulugh Maram), (Jakarta : Pustaka Azzam, Jilid. 5, 2006) h. 252.

2

(28)

Sedangkan secara syariat berarti sebuah akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang dengan perempuan, berhubungan intim, mencium dan sebagainya, jika perempuan tersebut bukan termasuk mahram dari segi nasab atau keluarga dan sepersusuan. Atau bisa juga diartikan bahwa nikah adalah sebuah akad yang telah ditetapkan oleh syariat yang befungsi untuk memberikan hak kepemilikan bagi lelaki.3

Para ulama Hanifiah mendefinisikan nikah adalah sebuah akad yang memberikan hak kepemilikan seutuhnya artinya kehalalan seorang laki-laki bersenang-senang dengan seorang perempuan yang tidak dilarang untuk

dinikahi secara syariat. Dengan adanya kata “ perempuan” maka tidak

termasuk di dalamnya laki-laki atupun banci musyikil4, seperti firman Allah yang berbunyi:































































Artiya :

“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" (an-Nahl : 72).

3

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Jakarta:Gema Insani dan Darul Fikir, 2011, Jilid Ke-9), h. 39.

4

(29)

Dan dalam al-Qu’ran dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodoh adalah naluri segala makhluk Allah sebagaimana dalam firman Allah dalam surat az-Zarariyat ayat 49 yang berbunyi :























Artinya ;

“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah SWT” (az-Zarariyat: 49)

Dalam surat Yasin ayat 36 pun dijelaskan tentang perkwanina yaitu dinyatakan dalam firman Allah yang berbunyi:

































Artinya :“Maha suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (Yasin : 36)5

Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan selanjutnya Allah menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya, sebagaimana dalam firman Allah yang berbunyi:

































5
(30)











































Artinya :” Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah

menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263]6 Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah

selalu menjaga dan Mengawasi kamu”. (an-Nisaa :1)

Sedangkan menurut Imam Syafi’i menyebut arti perkawinan sebagai akad yang menjadikan kebolehan melakukan persetubuhan. Sementara Imam Hambali mendefinisikan perkawinan sebagai akad yang didalamnya terdapat lafadz perkawinan secara jelas diperbolehkannya bercampur. Akad yang dimaksud adalah serah terima antara orang tua atau wali calon mempelai. Dengan adanya akad tersebut maka sudah halalnya sepasang insan untuk melakukan hubungan intim dan terhindarlah dari perbuatan yang tidak di inginkan.7Allah berfirman:





























Artinya :

“janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah keji

dan seburuk-buruknya jalan.” (al-Isra : 32).

6

(263) maksud dari padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.

7

(31)

Menurut ahli ilmu ushul fiqih dan bahasa, kata nikah digunakan secara

haqiqah (arti sebenarnya) untuk arti hubungan intim, dan secara majaz

(kiasan) artinya akad. Sekiranya kata nikah dalam Al-qur’an dan sunah tanpa adanya indikasi lain maka yang dimaksud adalah hubungan intim. Kata

“nikah” di dalam bahasa arab menurut ahli fiqih dari senior empat mazhab

mereupakan kata yang di gunakan secara haqiqah dalam mengungkapkan makna akad, sedangan digunakan secara majaz ketika mengungkapkan kata hubungan intim.8

Dari penjelasan yang diuraikan diatas tampaknya para ulama mendefinisikan perkawinan semata-mata dalam konteks hubungan biologis saja, hal ini adalah wajar karna makna asal itu sendiri sudah berkonotasi hubungan seksual.9 Disamping itu harus jujur diakui yang menyebabkan laki-laki dan perempuan tertarik untuk menjalin hubungan adalah salah satunya dorongan-dorongan yang bersifat biologis baik disebabkan karna faktor ingin memperoleh keturunan ataupun memenuhi kebutuhan seksualitasnya.

2. Definis Perkawinan Menurut Hukum Positif di Indonesia

Sebelum Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan berlaku, aneka ragam aturan tentang perkawinan sudah lebih dulu ada. Seperti

8

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Jakarta: Gema Insani dan Darul Fikir, 2011, Jilid Ke-9), h. 40.

9

(32)

Huwelijiks Ordinantie Christen Indonesia - Indonesia Java, Ninahassa en

Amboina (HOCI) S.1933 Nomor 74 (Undang-Undang Perkawinan Indonesia Kristen, Jawa, Minahasa dan Ambon) aturan ini beralaku bagi golongan Indonesia asli beragama Kristen di wilayah Jawa, Minahasa dan Ambon. Dan bagi penduduk asli Indonesia yang beragama Islam beralaku hukum adat, sedangkan bagi orang timur asing Cina dan warganegara keturunan Cina berlaku ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KHUPer) atau Burgerlijk Wetboek (BW) sama halnya dengan warga golongan Eropa.

Dan munculah Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang mulai berlaku tangal 2 Januari 1974 menurut Prof. R. Sardjono, “ kita telah

lama bersatu dalam keinginan memiliki undang-undang perkawinan nasional

yang mampu menampung aspirasi bersama”. Beliau juga mengatakan terbentuknya undang-undang ini merupakan suatu sluitstuk yang berhasil daripada suatu rentetan usaha-usaha kearah penyusun perundang-undangan tentang perkawinanyang telah dilakukan bertahun-tahun.10 Dan sejalan dengan itupun muncullah aturan bagi mayoritas muslim walaupun dalam bentuk Intruksi Persiden Nomor 1 Tahun 1991 tetapi dapat digunakan sebagai pelengkap dan mengisi kekosongan hukum.

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memberikan pengertian tentang perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan

10

(33)

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari bunyi Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tersimpul bahwa suatu rumusan dan tujuan dari

perkawinan. “arti” perkawinan yang dimaksud diatas adalah ikatan lahir batin

antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dan tujuanya tersirat dalam membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhahan Yang Maha Esa. Pengertian perkawinan sepeti yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bila dipeirincikan sebagai berikut :

a. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri.

b. Ikatan lahir batin itu ditunjukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal dan sejahtera.

c. Ikatan lahir dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan ketuhanan yang maha esa.11

Menurut Kitab Undang-Udang Hukum Perdata (KHUPer) atau Burgerlijk Wetboek (BW) secara tegas tidak mengatur tetang definisi perkawinan namun dalam Pasal 26 BW memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata saja.12Dalam konsep hukum perdata barat, perkawinan itu dipandang dalam hubungan keperdataan saja maksudnya

11

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, , 1987 Cet. Pertama), h. 3.

12

(34)

undang-undang tidak ikut campur dalam keterkaitan dengan adat istiadat atau agama, undang-undang hanya mengenal perkawinan yang dilangsungkan dihadapan pegawai catatan sipil. Perbedaan mengenai pengertian perkawinan pada Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan dengan pengertian perkawinan yang terdapat didalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu bahwa di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perkawinan merupakan ikatan yang bersifat lahiriah namun tidak memperhatikan urusan batiniah, sedangkan Undang-Undang Perkawinan, mengartian perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri. Maksud dari ikatan lahir bathin ialah bahwa ikatan tersebut tidak cukup diwujudkan dengan ikatan lahir saja, tetapi harus terwujud pula ikatan bathin yang mana keduanya harus terpadu erat menjadi satu kesatuan.

Pada umumnya perkawinan menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang suci (sakramen), perkawinan yang di lakukan di Pengadilan ataupun di Kantor Catatan Sipil tanpa dilakukan terlebih dahulu menurut hukum agama tertentu berarti tidak sah. Perkawinan yang dilakukan oleh hukum adat atau aliran kepercayaan yang bukan agama, dan tidak dilakukan menurut tata cara agama yang di akui pemerintah berarti tidak sah.13 Menurut hukum adat sendiri perkawinan bukan saja perikatan adat14 melainkan

13

Wahjadi Darmabrata dan Adhi Wibowo Nurhidayat, Psikiatri Forensic, (Jakarta: Kedokteran EGC, 2003), h. 96.

14

(35)

perikatan kekeluargaan.

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.15 Perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat baik untuk mentaati perintah Allah dan pelaksanaanya adalah merupakan ibadah. kata mitssaqan ghalidzan ini ditarik dari firman Allah yang terdapat pada surat an-Nisa ayat 21 yang berbunyi :





































Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian

kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (an-Nisa : 21)16

Di dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), perkawinan itu diartikan sebagai akad dan kontrak, sering

disebut perkawinan adalah “marriagein Islam is purely civil contract

(perkawinan merupakan perjanjian semata-mata).

15

Lihat Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Focus Media, 2010), h. 7.

16

(36)

B. Tujuan Perkawinan

Perkawinan adalah sebuah peristiwa yang sakral, sebuah momentum yang ditunggu-tunggu setiap pasangan. Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir bathin yang sah untuk membentuk rumah tangga sejahtera dan bahagia dimana keduanya memikul amanah dan tanggung jawab. Di dalamp setiap agama manapun peristiwa-peristiwa sakral seperti perkawinan mengandung berbagai maksud dan arti tersndiri,maksud-maksud itulah yang mendasari seseorang dalam berumah tangga dan menjadi dasar bagi para pasangan untuk membentuk sebuah keluarga berdasarkan keimanan. Karena itulah, tujuan perkawinan harus dicari dalam konteks spiritual.

Tujuan dari perkawinan diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, disebutkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa maka perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama atau kerohanian, dalam hal perkawinan disetiap agama pasti mempunyai suatu tujuan yang jelas, tujuan perkawinan tersebut diharapkan dapat membuat suatu ketenangan (sakinah) dalam hubungan rumah tangga dengan dasar agama.

1. Tujuan Perkawinan Menurut Agama Islam

(37)

Hanifah, Ahmad bin Hambal dan Malik bin Anas menyatakan untuk pribadi-pribadi perkawinan bahkan bisa menjadi wajib, melakukannya agar dapat menghindarkan diri dari perbuatan maksiat akan mendapatkan pahala dari-nya.17 Seperti firman Allah yang berbunyi:

























































Artinya ;

“ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat

tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”( ar-Rum:21).

Selain beribadah kepada Allah dalam arti sempit maupun luas tujuan seorang muslim menjalin bahtera rumah tangga adalah untuk melestarikan keturunan, tidak seperti orang-orang yang fanatik dengan kesukuan maupun trah-nya, tujuan melestarikan keturunan bukan hanya membuat silsilah tapi lebih menekankan pada terbentuknya generasi-generasi yang berpegang teguh pada keimanan. Selain itu juga tujuan perkawinan dalam Islam untuk sarana pemenuhan kebutuhan seksual atau dorongan syahwat yang merupakan insting dasar semua makhluk hidup. Karena manusia bebeda dengan binantang, maka mesti ada system dan syariat yang benar. Al-Qur’an mengatakan “zuyyinah li al-nnasihubbu-al-syahwati min al-annisa” (QS.

17

(38)

Imran, 3:41) “manusia (laki-laki) dihisi kencintaan kepada perempuan. Laki-laki menyukai dan mencintai lawan jenisnya.” Untuk penyaluran yang benar Islam dari rasa suka dan cinta itu Islam membuat syariat,yakni pernikahan.Rosulullah bersabda “Annikahusunnati” pernikahan merupakan

sunnahku, dalam sabda lainnya “Tidak ada suatu bentuk yang lebih baik

didalam Islam daripada perkawinan.”18

Imam al-Ghazali dalam faedah melangsungkan perkawinan, merincikan tujuan perkawian sebagai berikut :

a. Mendapatkan dan melangsungkan perkawinan

b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwat dan menumpahkan kasih sayang.

c. Memenuhi panggilan agama, untuk memelihara diri sendiri dari kejahatan dan kerusakan

d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak dan kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.

e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang.19

18

Mohammad Monib dan Ahmad Nurcholis, Kado Cinta Bagi Pasangan Nikah Beda Agama, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 38.

19

(39)

Sehingga dapat disimpulkan empat faktor penting dalam perkawinan itu sendiri antara lain, menentramkan jiwa, melestarikan keturunan, memenuhi kebutuhn biologis, dan latihan bertanggung jawab.20

2. Tujuan Perkawinan Menurut Agama-Agama di Indonesia

Dalam tradisi gereja masa lampau, tujuan primer perkawinan adalah meneruskan keturun dan tujuan-tujuan lain dianggap tujuan tambahan. Hal ini

terbukti dari salah satu ayat dalam kitab suci injil yang berbunyi : “Allah

memberikan mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka : beranak cuculah

dan bertambah banyak ; penuhilah bumi ini dan ditaklukanlah itu.” Dalam

perjanjian baru dijelaskan pula masalah perkawinan, dimana dikatakan bahwa perkawinan merupakan hubungan lahir bathin yang sah antara seorang pria dengan seorang wanita seperti yang dijelaskan dalam Kitab Suci Injil yang berbunyi ; “Allah merencanakan kawin untuk mengadakan hubungan sehingga pria dan wanita menjadi satu daging.”21

Dalam agama Konguchu tujuan perkawinan ialah memungkinkan manusia melangsungkan sejarahnya dan mengembangkan benih-benih Thian (Tuhan Yang Maha Esa) yang berwujud kebajikan yang bersemayam di dalam

20

Ali Hasan, Pedoman Hidup “ Berumah Tangga dalam Islam”, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 21

21

(40)

dirinya, dan memungkinkan manusia membimbing putri-putrinya.22

Dari uraian di atas ternyata pada dasarnya disetiap agama memilki tujuan yang sama dalam perkawinan, dan di dalam Undang-Undang Perkawinan yang berpegang pada Pasal 1 yang berbunyi “dengan tujuan

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang

maha esa”. Rumusan tersebut sudah mencangkup makna tujuan perkawinan

dari berbagai kalangan beragama, yang mengandung harapan bahwa dengan melangsungkannya perkawinan akan diperoleh suatu kebahagiaan baik materil

maupun spiritual.

C. Syarat-Syarat Syah Perkawinan

1. Pengertian Rukun, Syarat dan Sah

Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.23 Syarat itu adalah hal yang menjadi penentu keberadaan sesuatu, dan ia berada di luar hakikat sesuatu tersebut. Syarat-syarat setiap akad, termasuk akad nikah ada empat macam: syarat in’iqaad (pelaksanaan), syarat ini harus dipenuhi di dalam rukun-rukun akad, syarat shihhah (sah) syarat ini

mempunyai konsekuensi syar’i terhadap akad, syarat nafaadz (terlaksana)

22

Komisi Ateketik Keuskupan Agung Semarang, Mewujudkan Hidup Beriman, dalam Masyarakat Dan Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Kanisius (Angota IKAPI), 2006), h. 63.

23

(41)

yaitu syarat yang menentukan konsekuensi akad jika dilaksanakan, syarat

luzum (kelanggengan) yaitu syarat yang menentukan kesinambungan dan kelanggengan akad.24

Rukun perkawinan sendiri ialah kerelaan hati kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan), karena kerelaan adalah hal yang tersembunyi di dalam hati. Caranya harus diungkapkan melalui ijab dan qabul, ijab dan qabul adalah pernyataan yang menyatukan keinginan kedua belah pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perkawinan.25

Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas : a. Adanya calon suami istri

b. Adanya wali dari pihak wanita c. Adanya dua orang saksi

d. Sighat akad nikah

Kendatipun dalam hal-hal tertentu, seperti posisi wali dalam saksi lalu tentang mahar masih dalam iktilaf dikalangan ulama. Namun mayoritas

sepakat dengan rukun yang lima ini. Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan juga tentang rukun dan syarat perkawinan yag tertuang di dalam

bab IV, yaitu Pasal 14 tentang bagian rukun dan Pasal 16-17 tentang aturan calon memepelai, Pasal (19-23) tentang wali nikah, (Pasal 24-26) tentang

24

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Jakarta: Gema Insane dan Darul Fikir, 2011, Jilid Ke-9), h. 54.

25

(42)

aturan saksi nikah dan Pasal (25-29) tentang akad nikah. Sedang bab V berisi

tentang ketentuan mahar.26

2. Syarat dan Sah Perkawinan Menurut Hukum di Indonesia

Perkawinan itu adalah suatu perbuatan hukum, sebagai perbuatan hukum ia mempunyai akibat-akibat hukum. Sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum ditentukan oleh hukum positif. Hukum positif di bidang perkawinan di Indonesia sejak 2 Januari 1974 adalah Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dengan demikian sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh ketentuan undang-undang tersebut.

Menurut Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu”.

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) itu menjelaskan bahwa: ”Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang

ini”.27

26

Kompilasi Hukum Islam, selanjutnya disingkat KHI merupakan Instruksi Presiden RI Nomer 1 Tahun 1991, yang memuat tiga buku. Buku I berisi tentang Hukum Perkawinan, Buku ke II tentang Hukum Kewarisan dan Buku ke III tentang Hukum Perwakafan , Bandung, Focus Media, 2010).

27

(43)

Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 kita melihat bahwa Undang-Undang Perkawinan ini menggantungkan sahnya suatu perkawinan kepada hukum agama dan kepercayaan masing-masing pemeluknya, berarti sudah tidak ada lagi perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.28 Hal ini sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: a. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

b. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaan.29

Syarat-syarat perkawinan di Negara Republik Indonesia diatur dalam Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975. Syarat-syarat tersebut dikelompokan menjadi : 30

1) Syarat-syarat materil yang berlaku umum.

Syarat-syarat yang termasuk kedalam kelompok ini diatur di dalam pasal dan mengenai hal sebagai berikut :

a) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calonsuami-isteri (Pasal 6 ayat 1Undang-Undang Perkawinan).

28

Hazairin, Tinjauan UU Perkawinan Nomer 1/1974, (Jakarta: Tintamas, 1976), h. 7.

29

Lihat UUD 1945, Jakarta, Sekretariat Jendral dan Kepanitraan,, 2011, h. 33.

30

(44)

b) Seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapatkan ijin dari kedua orang tuanya (Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan). c) Perkawinan diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan

pihak wanita sudah mencapai umur 16 ( Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan).

d) Bagi wanita yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu (Pasal 11 Undang-Undang Perkawinan), yaitu :

a) Apabila perkawinan putus karena kematian waktu tunggu ditetapkan 130 hari.

b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari.

c) Apabila perkawinan putus, sedangkan janda dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan.

d) Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan antara janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, maka tidak ada waktu tunggu.

2) Syarat materil bersifat khusus

Syarat ini hanya berlaku untuk perkawinan tertentu saja dan meliputi hal-hal sebagai berikut ;

(45)

Pasal 8,9 dan 10 Undang-Undaang Perkawinan Nomor 1/1974 yaitu mengenai laranga perkawinan,

b) Berhubungan darah dalam garis ketururnan lurus ke bawah ataupun ke atas ataupun kesamping.

c) Berhubungan sebenda, susuan.

d) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi, kemenakan dari istri, dalam hal suami beristri lebih dari seorang

e) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

f) Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan (Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan).

g) Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang bahwa masing-masing agamanya dan kepercayaannya dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 Undang-Undang Perkawinan)

3) Syarat formal

(46)

Penelitian syarat-syarat perkawinan dilakukan setelah ada pemberitahuan akan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Penelitian syarat-syarat perkawinan memeriksa apakah syarat-syarat perkawinan sudah terpenuhi atau belum dan apakah ada halangan perkawinan menurut undang-undang. Selain itu Pegawai Pencatat Perkawinan juga meneliti mengenai: Pengumuman tentang pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan.

Tujuan diadakan pengumuman ini, yaitu untuk memberi kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan terhadap dilangsungkannya perkawinan.

Pengumuman tersebut ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dan memuat hal ihwal orang yang akan melangsungkan perkawinan, yang memuat kapan dan dimana perkawinan itu akan dilangsungkan.31

Dari ketentuan-ketentuan diatas jelaslah betapa besarnya peranan hukum agama dalam menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Kita melihat juga adanya hubungan saling melengkaapi antara Undang-Undang Perkawinan nasional dengan hukum perkawinan menurut agama dan kepercayaan.

31

(47)

D. Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan adalah seseorang yang karena perubahan status sipilnya dari yang sebelumnya lajang menjadi berstatus kawin, yang membawa akibat hukum.32 Secara umum pencatatan di Indonesia menurut Undang-Undang Perkawinan dibagi dalam dua kelompok yaitu :

1. Pelaksanana perkawinan untuk orang non- muslim 2. Pelaksanaan perkawinan untuk orang Islam33

Masalah pencatatan perkawinan di Indonesia diatur dalam beberapa Pasal peraturan perundang-undangan. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengatur “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Nikah (PPN) sebagaimana yang dimaksud oleh Undang-Undang Nomer 32 Tahun 1945 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk. Sedangkan tata caranya berpedoman pada Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975. Selanjutnya dalam Pasal 10 ayat (3) PP No 9/1975 menetukan bahwa perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat, yang dihadiri dua orang saksi. Fungsi pencatatan disebutkan pada angka 4b, penjelasan umum Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974: pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam ke hidupan seseorang, misalnya

32

Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, (Jakarta: YLBHI, 2007), h. 112.

33

(48)

kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-surat daftar pencatatan.34 Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan, berbunyi :

1. “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari Pasal 2 ayat (1) tersebut, dapat diketahui bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Akan tetapi sahnya perkawinan ini dimata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, tentang pencatatan perkawinan.

Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan

34

(49)

di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dilakukan di Kantor Catatan Sipil.35

Perintah Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 untuk melakukan pencatatan terhadap suatu perkawinan ditunjukan untuk seluruh Warga Negara Indonesia (WNI). Bagi Warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di luar Indonesia diatur dalam Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan No. 1/179436:

1. Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing (WNA) adala sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang.

2. Dalam waktu 1(satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkn di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.

Tata cara pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ini, antara lain pada ayat (1) : setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan

35

Lihat Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Pustaka Widiyamata,, 2006), h. 47.

36

(50)

memberitahukan secara lisan atau tertulis rencana perkawinannya Kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, pemberitahuan dalam ayat (1) dilakukan selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.37

Ketentuan tentang perintah pencatatan terhadap suatu perbuatan hukum yang didalam hal ini adalah perkawinan, sebenarnya tidak diambil dari hukum barat atau Burgerlijk Wetboek (BW) tetapi diambil dari ketentuan Allah SWT yang dicantumkan dalam al-Qur’an surat ( al-Baqarah: 282 ) “ hai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan suatu transaksi dalam waktu yang tidak

ditentukan (tidak tunai) hendaklah kamu mencatatanya…”38

Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Administrasi kependudukan:

“ Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan

wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya

perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.”39

Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tidak ditemukan suatu halangan untuk perkawinan, pegawai pencatat mengumumkan dan menandatangani pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempel surat pengumuman pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.

37

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia “Studi

Kritis Perkembangan Huum Islam Dari Fiqih”, UU No 1/1974 Sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 122.

38

Anshary, Hukum

Gambar

Grafika, 2007), h. 17.

Referensi

Dokumen terkait

Pembayaran yang dilakukan dalam periode tersebut adalah pembayaran cicilan Pinjaman SEK Tranche A, B dan C sebesar USD45,0 juta, cicilan Pinjaman HSBC Coface dan Sinosure

Berdasarkan fokus penelitian bahwa konsep pembangunan tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) melalui perencanaan, dan musyawarah atau rapat yang dihadiri oleh wakil-wakil masyarakat,

Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia (lihat World Bank: Bab 2 dan Hollinger).

[r]

Pengaruh NPF terhadap Likuiditas yaitu semakin banyak pembiayaan yang disalurkan kepada masyarakat, maka semakin banyak juga kemungkinan pembiayaan yang macet ataupun

Pada lahan terbuka km 35 jenis kupu-kupu yang paling banyak ditemukan yaitu Junonia hedonia, s edangkan pada riparian Sungai Ella Hulu-Botas dalam km 37

Dengan begitu Framework Zachman sangat membantu dalam memecahkan masalah yang ada di KSP Jaya Manunggal dengan menggunakan sudut pandang yang berbeda di setiap

Mempermudah pencarian pengetahuan mengenai bahan baku dan produk perusahaan.. a) Memudahkan pencarian dokumen mengenai proses penelitian dan pengembangan produk.