• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENOLAKAN

B. Analisis Yuridis Terhadap Praktik Penolakan Tawki@l Wal

Setelah dilakukan wawancara dengan Penghulu Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukodono di atas, terlebih dahulu penulis jelaskan terjadinya penolakan tawki@l wali oleh Penghulu sebab pengantin hamil pra- nikah di KUA Kecamatan Sukodono yang diamanahkan kepadanya dari orang tua calon pengantin perempuan. Padahal status calon pengantin perempuan tersebut memang benar-benar merupakan anak yang sah dari pernikahan yang sah pula dari Bapak Naman. Dengan demikian, jika melihat hukum yang berlaku di Indonesia, bapak Naman selaku orang tua merupakan wali yang sah dari calon pengantin perempuan.

Alasan yang mendasari orang tua calon pengantin perempuan untuk mewakilkan kewajibannya untuk menikahkan anaknya adalah, pertama: bahwa orang tua calon pengantin perempuan merasa tidak mempunyai kemampuan dan kecakapan dalam hal muna>kah}a>t. Sehingga pilihannya

69

adalah mewakilkan kewajibannya kepada orang lain, dalam hal ini yang ditunjuk adalah Penghulu KUA Kecamatan Sukodono. Kedua: bapak Naman selaku wali nikah, beranggapan bahwa menikahkan anaknya adalah termasuk dalam tugas seorang Penghulu. Ketiga: memang sudah menjadi hal yang wajar dalam masyarakat bahwa ketika akad nikah, orang tua calon pengantin perempuan memasrahkan haknya untuk menikahkan anaknya kepada Penghulu.3

Setelah diketahui alasan orang tua calon pengantin perempuan untuk mewakilkan kewajibannya untuk menikahkan anaknya kepada Penghulu di atas, jika dianlisa secara yuridis bahwasannya posisi Penghulu KUA Kecamatan Sukodono merupakan seorang petugas pemerintahan, maka hendaknya harus melayani masyarakat dengan memperhatikan aturan hukum positif yang berlaku. Karena dalam hal pernikahan wanita hamil, di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan yang berbunyi “seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya”.4

Pasal tersebut secara jelas bahwasannya tidak ada larangan menikah bagi wanita yang hamil pra-nikah.

Wali merupakan suatu rukun nikah yang harus dipenuhi. Sesuai dengan peraturan yang berlaku, yakni yang tercantum di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 14. Hal ini dikarenakan bahwasannya seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, sebab ia tidak

3 Naman, Wawancara. Sidoarjo, 27 Desember 2015. 4 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 53 ayat (1).

70

mempunyai kewenangan untuk melakukan hal tersebut, baik melakukannya secara langsung, maupun dengan pengganti orang lain.5

Di samping itu, Pemerintah mengeluarkan aturan melalui Menteri Agama mengenai kebolehan wali nasab untuk mewakilkan haknya untuk menikahkan anaknya kepada orang lain yang memenuhi syarat. Peraturan tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah yang berbunyi: “Untuk melaksanakan pernikahan

Wali Nasab dapat mewakilkan kepada PPN, Penghulu, Pembantu PPN, atau

orang lain yang memenuhi syarat”.6

Pasal tersebut secara jelas menyebutkan bahwasannya dalam hal melaksanakan pernikahan atau akad nikah, seorang wali nasab dapat mewakilkan kepada orang lain. Bahkan dalam pasal tersebut juga secara jelas menyebut seorang Penghulu sebagai orang yang ditunjuk untuk mewakili wali nasab.

Dengan demikian pendapat penulis bahwa tawki@l wali yang dilakukan oleh Bapak Naman kepada Penghulu KUA Kecamatan Sukodono sebenarnya sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Karena dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menyebutkan bahwasannya seorang wanita yang dalam keadaan hamil pra-nikah, dibolehkan untuk melangsungkan pernikahan.

5 Muhammad Zuhaili, Fiqih Muna@kah{a@t, (Mohammad Kholison), (Surabaya: CV. Imtiyaz, 2010),

125.

71

Tawki@l wali yang dilakukan oleh Bapak Naman tersebut selain sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku, Penghulu KUA Kecamatan Sukodono juga memenuhi persyaratan sebagai seorang wali nikah. Yang mana syarat orang agar bisa bertindak sebagai wakil dari wali nikah, adalah sama dengan syarat dari seorang wali nikah itu sendiri, yaitu:7

1. Orang mukallaf/baligh. Karena orang yang mukallaf adalah orang yang dibebani hukum dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. 2. Muslim. Apabila yang menikah adalah orang muslim, maka disyaratkan

walinya juga seorang muslim.

3. Berakal sehat. Hanya orang yang berakal sehatlah yang dapat dibebani hukum dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.

4. Laki-laki. 5. Adil.

Syarat-syarat yang disebutkan di atas, jika disandarkan kepada pribadi Penghulu, maka Penghulu tersebut memenuhi persyaratan untuk menjadi wali nikah, maupun bertindak sebagai wakil dari wali nikah.

Seorang Penghulu memang mempunyai tugas untuk menikahkan seseorang. Namun statusnya adalah bertindak sebagai Wali Hakim. Hal itu juga terjadi hanya apabila dalam pelaksanaannya, Kepala KUA Kecamatan setempat berhalangan hadir atau tidak ada, sehingga digantikan oleh

72

Penghulu KUA Kecamatan setempat.8 Lain halnya dengan kasus ini, dimana calon pengantin masih mempunyai seorang Wali Nasab, dan wali tersebut memberikan ijin kepada puterinya untuk melangsungkan pernikahan, maka yang berkewajiban untuk menikahkan adalah orang tua atau Wali Nasab dari calon pengantin perempuan tersebut.

Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara menjelaskan bahwasannya yang termasuk pegawai Aparatur Sipil Negara adalah Pegawai Negeri Sipil. Bunyi pasal yang menjelaskan hal tersebut

adalah “Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai

ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.”9

PMA No. 30 Tahun 2005 menjelaskan mengenai status dan tugas seorang Penghulu, yakni Penghulu merupakan Pegawai Negeri Sipil sebagai Pegawai Pencatat Nikah yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan.10

8 PMA No. 30 Tahun 2005 Tentang Wali Hakim Pasal 3 ayat (2).

9 Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, Pasal 1 ayat (2). 10PMA No. 30 Tahun 2005 Tentang Wali Hakim, Pasal 1 ayat (3).

73

Kedua peraturan di atas menjelaskan bahwa kedudukan dari seorang Penghulu adalah Pegawai Negeri Sipil yang juga merupakan Pegawai Aparatur Sipil Negara. Dengan demikian, maka Penghulu mempunyai tugas lain yang sesuai dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Pasal 3 huruf a menjelaskan bahwa Aparatur Sipil Negara sebagai profesi harus mengedepankan prinsip dasar. Prinsip dasar yang tersebut dalam pasal 3 huruf a dijelaskan dalam pasal 4, diantaranya yakni

1) Huruf c: mengabdi kepada Negara dan rakyat Indonesia.

2) Huruf d: dijelaskan bahwa harus memegang prinsip menjalankan tugas secara professional dan tidak berpihak.

3) Huruf j: memberikan pelayanan kepada publik secara jujur, tanggap, cepat, tepat, akurat, berdaya guna, dan santun.

Pasal 11 Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara menjelaskan tentang Tugas dari Aparatur Sipil Negara, yakni:

1) Melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2) Memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas.

3) Mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik

74

Namun demikian, menikahkan pengantin memang bukan merupakan tugas dan wewenang seorang Penghulu. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. PER/62/N.PAN/6/2006. Yakni seorang Penghulu mempunyai tugas merencanakan kegiatan kepenghuluan, pengawasan pencatatan nikah/rujuk, pelaksanaan pelayanan nikah/rujuk, penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk, pemantauan pelanggaran ketentuan nikah/rujuk, pelayanan fatwa hukum muna>kah}a>t dan bimbingan mua>malah, pembinaan keluarga sakinah serta pemantauan dan evaluasi kegiatan kepenghuluan dan pengembangan kepenghuluan.

Menurut penulis, kewajiban untuk menikahkan seseorang hanya terjadi apabila calon pengantin perempuan tersebut tidak mempunyai wali. Maka Penghulu KUA Kecamatan yang bertindak untuk menikahkan calon pengantin tersebut dengan status sebagai Wali Hakim.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisa yang dirumuskan berdasarkan dengan landasan teori yang dikemukakan dan hasil penelitian yang ada, maka penulis dapat memberikan kesimpulan mengenai penolakan tawki@l wali yang dilakukan oleh Penghulu KUA Kecamatan Sukodono sebab pengantin hamil pra-nikah:

1. Penolakan tawki@l wali nikah yang dilakukan oleh Penghulu KUA Kecamatan Sukodono bukanlah tanpa alasan. Beliau menolak untuk bertindak sebagai wakil wali nikah karena memegang pendapat dari Ulama’ H{anafiyah. Pendapat tersebut menjelaskan bahwasannya seorang yang tengah dalam keadaan hamil, maka tidak boleh dinikahkan sampai ia telah melahirkan. Meskipun setelah penulis teliti tentang pendapat dari Ulama’ Hanafiyah membolehkan pernikahan perempuan hamil. Yang tidak mebolehkan adalah pendapat dari Ulama’ Malikiyah dan Ulama’ Hanabilah.

2. Ditinjau secara yuridis, penolakan tawki@l wali yang dilakukan oleh Penghulu KUA Kecamatan Sukodono tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Karena dalam Pasal 18 ayat (3) PMA No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah menjelaskan bahwa seorang wali nasab dalam menikahkan anaknya, dapat mewakilkan kepada PPN, Penghulu,

76

Pembantu PPN atau orang lain yang memenuhi syarat. Sehingga dengan demikian, tawki@l wali yang dilakukan oleh Bapak Naman sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara juga menjelaskan bahwa seorang Pegawai Negeri Sipil harus mengabdi kepada Negara dan Rakyat Indonesia.

B. Saran

Menikahkan anak memang menjadi kewajiban orang tua. Karena hal tersebut merupakan hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tua. Meskipun di dalam peraturan yang berlaku di Indonesia tidak terdapat kewajiban seorang Penghulu untuk menikahkan seorang pengantin, tetapi tidak serta merta bahwa dia bisa menolak keinginan orang tua calon pengantin untuk menjadi wakil dari orang tua pengantin untuk menikahkan anaknya. Bagi orang tua anak, karena menikahkan merupakan tanggungjawab orang tua, hendaknya sebagai orang tua harus mendalami ilmu agama, sehingga jika terjadi hal yang demikan, tidak merepotkan orang lain. Sedangkan bagi pengantin, meskipun menikah dalam keadaan hamil pra-nikah dalam hukum positif dibolehkan, tetapi tetap saja ada dosa zina yang telah dikerjakan. Sehingga meskipun sudah melangsungkan akad nikah, dosa tersebut tidak akan terhapus dengan sendirinya, kecuali dengan memohon ampun kepada Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqih Munakahat I. Bandung:Pustaka

Setia,1999.

Afandi, Ali. Hukum Waris Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.

Aliyah, Af’idatul. “Tinjauan Hukum Islam TerhadapKasus Tauki@l Wali Nikah

Via Telepon DI KUA Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang Jawa

Tengah” (Skripsi — IAIN Sunan Ampel, Surabaya) 2009.

Brotowidjoyo, Mukayat D. Metodologi Penelitian dan Penulisan Karangan Ilmiah. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1992.

Bukhari (al), Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi. S}ahi@h Buchori. Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1998.

Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif Edisi Kedua, Jakarta: Kencana, 2007. Darimi (al), Abdullah bin Abdurrahman bin al Fadhl bin Bahram bin Abdush

Shamad. Sunan al-Darimi. Riyadh: Da>r al-Mughni Li al-Nasyar Wa al-

Tauzi’, 2000.

Departemen Agama RI Al-Qur’a>n dan Terjemah. Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2011.

Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel. Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi.

Surabaya: Fakultas Syari’ah, 2014.

Husen, Alhabsyi. Kamus Alkausar. Surabaya: Darussagaf, 1997.

Junaedi, Dedi. Bimbingan Perkawinan Cetakan Pertama, Jakarta: Akademika Pressindo, 2000.

Khatib (al), Yahya Abdurrahman. Fikih Wanita Hamil, (Mujahidin Muhayan). Jakarta: Qisthi Press, 2005.

Mas’ud, Ibnu; Zainal Abidin S, Fiqh Madzhab Syafi’i (Edisi Lengkap), Buku 2.

Bandung: CV. Pustaka Setia 2007.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwiir. Yogyakarta: Pondok

78

Naisaburi (al), Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi. S}ahi@h Muslim. Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1998.

Nazir, Mohammad. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998. Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian. Jakarta: Prenadamedia Group, 2011. Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara

Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 1995.

Rasyjidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991.

Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah Jilid 7. Bandung: Al-Ma’arif, 1980.

Saleh, K. Wantijk. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.

Sevilla, Consuelo G., dkk.. Pengantar Metode Penelitian, (Terjemah oleh: Alimuddin Tuwu). Jakarta: Universitas Indonesia, 1993.

Sholikin, Mockhammat, 2011, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Taukil Wali

Nikah Anak di luar Nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Suko

Manunggal Surabaya” (Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya).

Sijistani (al), Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar

al-Azdi. Sunan Abu Dawud, Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1998. Soemiyati. Hukum Perkawinan dan Undang-undang Perkawinan (Undang-undang

No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Yogyakarta: Liberty, 1986. Soimin, Soedharyo. Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata

Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat Edisi Revisi. JAKARTA: Sinar Grafika, 2002.

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional Cet. Pertama. Jakarta: Rineka Cipta, 1991.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2012.

Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. RajaGrafindo {Persada, 2014. Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Isla,m. Jakarta: PT.

79

Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Tanzeh, Ahmad. Metodologi Penelitian Praktis. Yogyakarta: Teras, 2011.

Vollmar. Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid 1 (I.S. Adkwimarta). Jakarta: Rajawali Press, 1997.

Zuhaili, Muhammad. Fiqih Muna@kah{a@t, (Mohammad Kholison). Surabaya: CV. Imtiyaz, 2010.

Zuhaili (az), Wahbah. Al-Fiqhu al-Isla>mi@ Wa Adillatuhu, Juz VII. Damasqus:Da>r Al-Fikr, 2008.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, t.t. Sulaiman, Abi@ Da>wud. Sunanu Abi@ Da>wud. Riyad: Da>r al-Islam, t.t.

Kompilasi Hukum Islam

Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara

Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah. Peraturan Menteri Agama No. 30 Tahun 2005 Tentang Wali Hakim.

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. No.

Dokumen terkait