ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENOLAKAN TAWKI@L WALI
OLEH PENGHULU SEBAB PENGANTIN HAMIL PRA-NIKAH
DI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN SUKODONO
SKRIPSI
OLEH:
MOH. NURHASAN AMINULLOH NIM: C31211126
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari
’
ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga
SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul Analisis Yuridis Terhadap Penolakan Tawki@l Wali Oleh Penghulu Sebab Pengantin Hamil Pra-Nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukodono, merupakan hasil penelitian lapangan berupa kajian yuridis terhadap penolakan tawki@l wali yang dilakukan oleh Penghulu KUA Kecamatan Sukodono. Penulis menemukan masalah berupa, pertama apa dasar hukum yang digunakan dalam penolakan tawki@l wali bagi pengantin yang hamil pra-nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukodono, kedua bagaimana analisis yuridis terhadap praktik penolakan tawki@l wali bagi pengantin yang hamil pra-nikah.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, untuk menjelaskan tentang penolakan tawki@l wali oleh penghulu sebab pengantin hamil pra-nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukodono. Kemudian dilakukan penarikan kesimpulan terhadapnya. Pola pikir yang digunakan adalah induktif.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dasar yang digunakan oleh Penghulu KUA Kecamatan Sukodono tentang kasus penolakan tawki@l wali bagi pengantin yang hamil pra-nikah terdapat tiga alasan, pertama menikahkan anak merupakan tanggung jawab orang tua dan boleh mewakilkan hak perwaliannya kepada orang lain. Akan tetapi, orang tersebut boleh menerima maupun menolak perwakilannya. Kedua, tugas penghulu dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu menghadiri, menyaksikan, mencatat. Tidak ada tugas dan kewajiban untuk menikahkan pengantin. Ketiga, adanya masalah khila>fiyah dalam menentukan hukum mengenai nikah hamil, sedangkan yang menjadi pedoman dari Penghulu KUA Kecamatan Sukodono adalah pendapat dari madhhab H}anafiyah. Hal tersebut tidak sesuai dengan peraturan yang membolehkan seorang wali nasab yang dapat mewakilkan haknya untuk menikahkan anaknya kepada PPN, Penghulu, Pembantu PPN, Orang lain yang memenuhi syarat. Sesuai dengan pasal 18 ayat (3) PMA No. 11 Tahun 2007. UU No. 5 Tahun 2014 menjelaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil harus mengabdi kepada Negara dan Rakyat Indonesia.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR TRANSLITERASI ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8
C. Rumusan Masalah ... 9
D. Kajian Pustaka ... 9
E. Tujuan Penelitian ... 11
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 12
G. Definisi Operasional ... 13
H. Metode Penelitian ... 14
I. Sistematika Pembahasan ... 20
A. Perwalian dalam Pernikahan ... 21
1. Pengertian Perwalian ... 21
2. Dasar Hukum Perwalian ... 24
3. Macam-Macam Perwalian ... 25
4. Syarat dan Orang yang boleh menjadi Wali ... 31
5. Faktor Terjadinya Perwalian ... 35
6. Pengangkatan dan Berakhirnya Perwalian ... 37
B. Hukum Nikah Hamil Menurut Ulama’ Madhhab ... 38
C. Tawki@l Wali Nikah ... 39
1. Tawki@l Wali dalam Hukum Islam ... 39
a) Pengertian Tawki@l Wali ... 39
b) Dasar Hukum Tawki@l Wali ... 41
2. Tawki@l Wali dalam Hukum Positif ... 43
a) Tawki@l Wali secara lisan (bi al-lisa>n) ... 43
b) Tawki@l Wali secara tulisan (bi al-kita>bah) ... 44
BAB III DESKRIPSI PENOLAKAN TAWKI<L WALI OLEH PENGHULU KUA KECAMATAN SUKODONO ... 45
A. Profil KUA Kecamatan Sukodono ... 45
1. Letak Geografis. ... 45
2. Visi dan Misi KUA Kecamatan Sukodono ... 47
a) Visi. ... 47
b) Misi. ... 47
3. Struktur Organisasi KUA Kecamatan Sukodono ... 47
4. Tugas dan Fungsi KUA Kecamatan Sukodono . ... 48
a. Tugas Kantor Urusan Agama . ... 48
b. Fungsi Kantor Urusan Agama . ... 48
5. Tugas dan Fungsi Khusus Penghulu . ... 50
a) Tugas Khusus Penghulu ... 50
b) Fungsi Penghulu ... 51
a) Tugas Umum Penghulu ... 51
b) Fungsi Umum Penghulu ... 52
7. Wewenang KUA Kecamatan Sukodono . ... 53
8. Jumlah Pernikahan . ... 54
B. Praktik Penolakan Tawki@l Wali Oleh Penghulu Sebab Pengantin Hamil Pra-Nikah ... 55
1. Prosedur Pendaftaran Nikah ... 55
2. Praktik Penolakan Tawki@l Wali Oleh Penghulu KUA Kecamatan Sukodono ... 58
3.
Pasangan Calon Pengantin yang Mengalami Penolakan Tawki@l Wali …… ... 64BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENOLAKAN
TAWKI@L WALI OLEH PENGHULU SEBAB
PENGANTIN HAMIL PRA-NIKAH
... 66A. Analisis Dasar Hukum yang Digunakan dalam Penolakan Tawki@l Wali Oleh Penghulu Sebab Pengantin Hamil Pra-Nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukodono ... 66
B. Analisis Yuridis Terhadap Praktik Penolakan Tawki@l Wali Oleh Penghulu Sebab Pengantin Hamil Pra-Nikah di KUA Kecamatan Sukodono ……… 68
BAB V PENUTUP ... 75
A. Kesimpulan ... 75
B. Saran ... 76
DAFTAR PUSTAKA ... 77
DAFTAR TABEL
Tabel
Tabel 1 ………. 46
Tabel 2 ………. 46
Tabel 3 ………. 48
DAFTAR GAMBAR
Gambar
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nikah menurut bahasa artinya berkumpul dan bercampur. Sedangkan
menurut istilah shara’ adalah akad ijab-kabul dari seorang laki-laki kepada
seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga yang kekal, bahagia,
dan sejahtera di bawah naungan rid}a Ilahi.1 Pernikahan merupakan satu dari
beberapa ketentuan Allah SWT. Banyak dalil-dalil yang menerangkan
perintah untuk melaksanakan pernikahan. Baik yang terdapat dalam
al-Qur’a>n maupun al-Hadith. Salah satu ayat yang menerangkan tentang
perintah untuk melaksanakan pernikahan adalah terdapat dalam Q.S al-Nu@r :
32
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan, jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui” (Q.S. 24:32).2
1 Ibnu Mas’ud; Zainal Abidin S, Fiqh Madzhab Syafi’i (Edisi Lengkap) Buku 2, (Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2007), 250.
2
Terdapat juga dalam hadith yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud
َلاَق دْوُعْهَم ِنْبا ِنَع
:
ص ِها ُلْوُسَر َلاَق
:
بضَغَا ُهَنِاَف ،ْجَوَزَ تَيْلَ ف َةَءاَبلْا ُمُكِْم َعاَطَتْسا ِنَم ِباَبَشلا َرَشْعَم اَي
ِجْرَسْلِل ُنَصْقَا َو ِرَصَبْلِل
.
ءاَجِو ُهَل ُهَنِاَف ِمْوَصلاِب ِهْيَلَعَ ف ْعِطَتْهَي ََْ ْنَم َو
.
ور
ىراخ ا
3Artinya: Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Hai
para pemuda, barangsiapa diantara kamu yang sudah mampu menikah, maka nikahlah, karena sesungguhnya nikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa itu baginya (menjadi) pengekang
syahwat”. [HR. Bukhari]
Dalam pernikahan, wali merupakan suatu rukun yang harus
dipenuhi.4 Hal ini dikarenakan bahwa wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, sebab ia tidak memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut,
baik melaksanakan secara langsung, maupun dengan pengganti orang lain.5 Dalam al-Qur’a>n telah dijelaskan bahwasannya seorang laki-laki mempunyai
kelebihan dibanding dengan seorang wanita, misalnya dalam hal
kepemimpinan. Dalam hal ini adalah kepemimpinan untuk menikahkan
seorang wanita. Sesuai dengan firman Allah SWT. dalam QS. al-Nisa’: 34
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak
3 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Ju'fi
al-Bukhari, S}ahi>hBukhari, hadith no.5066, (Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1998), 1005.
4 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 14.
5 Muhammad Zuhaili, Fiqih Muna@kah{a@t, (Mohammad Kholison), (Surabaya: CV. Imtiyaz, 2010),
3
ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar (Q.S. 2:34).6
Tujuan adanya persyaratan wali dalam pernikahan adalah demi
menjaga dan melindungi seorang wanita, karena ia mudah tertipu dan
terkecoh. Sehingga tidak dibenarkan menguasakan urusan pernikahan kepada
sesama wanita, sebagaimana orang yang tertuduh boros dalam
membelanjakan harta benda.7 Jika wanita itu menikah dengan tanpa adanya wali, maka pernikahan tersebut batal. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan
oleh Aisyah r.a:
َأ َن
َلا
َِب
ىَلَص
ُها
َع َل
ْي ِه
َو َس
َل َم
َق
َلا
" :
َا َبّ
ْما ا
َر َأ ة
َن
َك
َح
ْت
ِب
َغ ِْي
ِإ
ْذ ِن
َو ِل
ِ ي َاا
,
َف ِ
َك
ُقا
َا
َب ا
ِطا
ل
,
َف ِ
َك
ُقا
َا
َب ا
ِطا
ل
,
َف ِ
َك
ُقا
َا
َب ا
ِطا
ل
,
َف ِإ
ِن
ْشا
َت َج
ُر
َف او
بهلا
ْل
َط
ُنا
َو
بِل
َم
ْن
َا
َو
َِل
َل ُه
,
َف ِإ
ْن
َأ
َص
َ با َا
َ ف ا
َل َا
َم ا
ْا ُر
َ
َِب ا
ْسا ا
َت َح
َل
ِم
ْن
َ ف ْر
ِج
َاا
".
8Artinya: Nabi SAW bersabda: “Setiap orang wanita yang menikah dengan tanpa ijin walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, apabila mereka bersengketa, penguasa boleh menjadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali, jika laki-laki itu telah mempergaulinya, maka ia wajib membayar maskawin
untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya”
Maksud dari hadith di atas adalah bahwasanya wanita yang telah
menikah dengan tanpa adanya ijin dari walinya, maka nikahnya batal. Maka
sebagai konsekwensi dari putusnya ikatan pernikahan mereka ialah jika si
wanita tersebut telah digauli oleh si laki-laki, maka wanita tersebut tidak
6 Kementerian Agama RI, Al-Qur’a>n dan Tafsirnya..., 84. 7 Muhammad Zuhaili, Fiqih Muna>kah{a@t..., 127.
8 Abdullah bin Abdurrahman bin al Fadhl bin Bahram bin Abdush Shamad al-Darimi, Hadith No.
4
diwajibkan untuk mengembalikan maskawin yang diterimanya sebagai ganti
atas kehormatan yang telah dihalalkan untuk laki-laki tersebut.9
Wali nikah ada dua macam,10 yang pertama yakni Wali Nasab, yaitu wali yang perwaliannya didasarkan karena adanya hubungan darah.
Sedangkan yang kedua adalah Wali Hakim, yaitu wali yang hak
perwaliannya timbul, karena orang tua mempelai perempuan menolak (‘ad}al)
atau tidak ada, atau sebab lain yang secara fisik ada tetapi hak perwaliannya
tidak ada.
Urutan Wali Nasab dalam pernikahan adalah sebagai berikut:
1. Ayah (ab)
2. Kakek (jad)
3. Saudara laki-laki sekandung ( akh shaqi@q)
4. Saudara laki-laki seayah ( akh li-ab)
5. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung ( ibn akh shaqi@q )
6. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah ( ibn akh li-ab )
7. Saudara laki-laki ayah yang sekandung (‘am shaqi@q )
8. Saudara laki-laki ayah yang seayah ( ‘am li-ab )
9. Anak saudara laki-laki ayah sekandung ( ibn ‘am shaqi@q )
10.Anak saudara laki-laki ayah seayah ( ibn ‘am li-ab )
11.Kemudian ‘asha@bah 11
9 Muhammad Zuhaili, Fiqih Muna@kah{a@t..., 128. 10 Kompilasi Hukum Islam Pasal 20
5
Dalam pelaksanaannya perwalian dalam akad nikah tidak selalu
dilakukan langsung oleh wali nikah itu sendiri, hal ini disebabkan karena
adanya kebolehan berwaka>lah dalam pernikahan. Ada beberapa alasan
terjadinya waka>lah dalam pernikahan, yang antara lain ialah dikarenakan
wali nikah itu sendiri tidak percaya diri terhadap kemampuannya untuk
menikahkan. Sehingga ia memutuskan untuk mewakilkan kepada orang lain
yang dianggap lebih mampu daripada dirinya.
Berwakil menurut lughat artinya menyerahkan sesuatu. Menurut
shara’ berarti seseorang yang menyerahkan urusannya kepada orang lain agar
orang yang diwakilkan itu dapat melakukan sesuatu yang diserahkan
kepadanya selagi yang menyerahkan itu masih hidup.12 Allah SWT berfirman dalam surat al-Nisa@’ : 35
Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.13
Perwakilan itu sah atau boleh dilakukan pada tiap-tiap pekerjaan
yang boleh diwakilkan menurut shara’, seperti berjual beli, pernikahan, talak,
memberi, menggadai, dan lain-lain yang berhubungan dengan mua>malat dan
muna>kahat.
6
Akan tetapi, tidaklah sah mewakilkan shalat, puasa, dan lain-lain
yang bersangkut paut dengan ibadah. Hal ini karena ibadah merupakan
hubungan manusia dengan Tuhannya yang tidak dapat dilakukan, melainkan
oleh tiap-tiap orang. Dalam hal ini dikecualikan haji dan umrah, yang boleh
diwakilkan karena cara mengerjakannya tidak tetap di satu tempat, tetapi
berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain ditambah lagi dengan
keadaan suhu yang sangat panas.
Kegiatan mewakilkan suatu urusan ini pernah dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW. Dalam hadith yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
َع ْن
َج
ِبا
ِر
َر ِض
َي
ُها
َع ْ
ُه َق
َلا
:
َأ َر ْد
ُت
ُْلا
ُر ْو
َج
ِإ
َل
ََ
ْي َ ب َر
َف َا
َ ت ْي
ُت
َلا
َِب
َص َل
ُها ى
َع َل
ْي ِه
َو َس
َل َم
َ ف
َق
َلا
:
ِإ َذ
َأ ا
َ ت ْي
َت
َو ِك ْي
ِل
ْي
َِخ ْي
َ ب َر
َف
ُخ
ْذ
ِم ْ ُه
َْخ
َه َة
َع
َش
َر َ
و
َس ًق
ا
ِهِتَوُ قْرَ ت ىَلَع َكَدَي ْعَضَف ًةَيآ َكِْم ىَغَ تْ با ْنِإَف
14Artinya: Dari Jabir r.a, ia berkata: “Pernah aku keluar pergi ke Khaibar
(nama satu tempat), kemudian aku datang kepada Nabi SAW.,
maka beliau bersabda,: “Bila engkau datang kepada wakilku di
Khaibar, ambillah darinya lima belas wasaq (bahan makanan). dan apabila ia menginginkan tanda darimu maka letakkan tanganmu pada tulang bahunya!” (H.R. Abu Dawud)
Dalam hadith lain dinyatakan:
َع ْن
َج
ِبا
ِر
َر ِض
َي
ُها
َع ْ
ُه
َنَأ
َلا
َِب
َص َل
ُها ى
َع
َل ْي ِه
َو
َس َل
َم
ََن َر
َث
َل
ًث
َو ا
ِس
ِ ت
َْي
َو َأ
َم َر
َع ِل ي
َر ا
ِض
َي
ُها
َع ْ
ُه
َأ ْن
َي ْد
َب َح
ْلا
َب ِقا
ْي
15Artinya:“Dari Jabir r.a bahwa Nabi SAW. pernah menyembelih qurban sebanyak enam puluh tiga ekor hewan, dan disuruhnya Ali untuk
menyembelih hewan yang tertinggal.” (H.R. Muslim)
Dalam Hukum Positif yang berlaku di Indonesia, untuk melaksanakan
pernikahan Wali Nasab dapat mewakilkan kepada orang lain yang memenuhi
14 Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar al-Azdi as-Sijistani, Hadith
No. 3148, Sunan Abu Dawud, (RIYADH: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1998), 356.
15 Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Hadith no. 1218, S}ahi@h
7
syarat. Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 dijelaskan
bahwasannya Wali Nasab dapat mewakilkan pelaksanaan pernikahan kepada
Petugas Pencatat Nikah, Penghulu, Pembantu Petugas Pencatat Nikah, dan
orang lain yang memenuhi syarat.16 Sehingga dengan demikian orang tua mempelai wanita mempunyai alasan untuk mewakilkan hak untuk
menikahkan anaknya kepada seorang Penghulu KUA Kecamatan Sukodono.
Persoalan yang terjadi di Kantor Urusan Agama Kecamata Sukodono
berawal dari adanya calon pengantin yang mendaftar untuk menikah.
Pelayanan yang diberikan pihak KUA tidak ada perbedaan antara calon
pengantin yang hamil pra-nikah maupun tidak. Ketika diadakannya rafa’,
pihak KUA baru mengetahui bahwasannya calon pengantin tersebut telah
hamil pra-nikah. Pada waktu rafa’ tersebut wali nikah dari calon pengantin
wanita juga dihadirkan, sehingga dengan demikian akan ditanya siapakah
yang akan menjadi wali dalam pernikahan tersebut. Maka kemudian wali
nikah dari calon pengantin perempuan tersebut mewakilkan haknya untuk
menikahkan anaknya tersebut kepada Penghulu KUA Kecamatan
Sukodono.17
Namun, yang terjadi tidaklah demikian. Penghulu yang ditunjuk
untuk menerima perwakilan agar menikahkan anaknya tidak mau menerima
perwakilan tersebut. Alasannya adalah dikarenakan wanita yang akan
menikah dalam keadaan hamil pra-nikah. Hal ini yang membuat Penghulu
tersebut tidak manerima perwakilan untuk menikahkan wanita tersebut.
16 PMA No. 11 Tahun 2007, Pasal 18 ayat (3)
8
Penolakan tawki@l wali yang dilakukan oleh Penghulu ini bertentangan
dengan peraturan yang berlaku. Karena telah disebutkan dalam Pasal 18 ayat
(3) Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007, bahwasannya Wali
Nasab dapat mewakilkan haknya untuk menikahkan anaknya kepada Petugas
Pencatat Nikah, Penghulu, Pembantu Petugas Pencatat Nikah, dan orang lain
yang memenuhi syarat.18
Dari pemaparan di atas, penulis ingin melakukan penelitian mengkaji
lebih mendalam mengenai waka>lah dalam pernikahan dan membahasnya
melalui Skripsi dengan Judul “Analisis Yuridis Terhadap Penolakan Tawki@l
Wali Oleh Penghulu Sebab Pengantin Hamil Pra-Nikah di Kantor Urusan
Agama Kecamatan Sukodono”
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
Identifikasi Masalah diperlukan dalam sebuah penelitian, agar dalam
penelitian dan pembahasan yang dilakukan tidak keluar dari topik yang telah
ditentukan. Dari pemaparan yang telah dibahas di atas, penulis menemukan
beberapa indikasi yang mungkin dapat menjadi sebuah permasalahan, yakni:
1. Hukum pernikahan ketika calon pengantin wanita sudah hamil.
2. Faktor-faktor yang membuat wali nikah mewakilkan haknya untuk
menikahkan anaknya.
3. Alasan penolakan tawki@l wali bagi calon pengantin yang hamil
pra-nikah.
9
4. Analisis yuridis terhadap praktik penolakan tawki@l wali bagi calon
pengantin yang hamil pra-nikah.
Dari identifikasi masalah yang ditemukan, maka penulis membatasi
masalah tersebut yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu:
1. Dasar hukum yang digunakan dalam penolakan tawki@l wali bagi
pengantin yang hamil pra-nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan
Sukodono.
2. Analisis yuridis terhadap praktik penolakan tawki@l wali bagi pengantin
yang hamil pra-nikah.
C. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah ditulis di atas, maka yang
akan dijadikan permasalahan adalah sebagai berikut:
1. Apa dasar hukum yang digunakan dalam penolakan tawki@l wali bagi
pengantin yang hamil pra-nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan
Sukodono?
2. Bagaimanakah analisis yuridis terhadap praktik penolakan tawki@l wali
bagi pengantin yang hamil pra-nikah?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan deskripsi ringkas tentang kajian atau
penelitian yang sudah pernah dilakukan seputar masalah yang pernah diteliti
10
merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian yang telah ada.19 Hal ini dikarenakan oleh kemungkinan adanya persamaan topik, persamaan tema,
persamaan teori, dan lain-lain.
Setelah penulis mengadakan pencarian terkait topik yang
berhubungan dengan tawki@l wali, penulis menemukan beberapa penelitian
yang membahas tentang tawki@l wali, yakni:
Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tauki@l Wali
Nikah Anak di Luar Nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Suko
Manunggal Surabaya”. Skripsi ini ditulis oleh Mochamat Sholikin. Skripsi
ini mendeskripsikan tentang praktik tawki@l wali anak di luar nikah, yang
mana seorang Penghulu Kantor Urusan Agama Kecamatan Suko Manunggal
memperkenankan kepada ayah di luar nikah (ayah biologis) dari calon
mempelai wanita yang bertindak sebagai muwakkilnya untuk melakukan
tawki@l wali (bi al-lisa>n) dan menerima tawki@l wali tersebut. Sehingga
Penghulu tersebut bisa mengakad nikahkan atas nama wakil dari ayah
biologis itu. Pada analisis ini yang menjadi obyek bahasan adalah tawki@l wali
yang dilakukan oleh ayah biologis, sedangkan yang menjadi obyek bahasan
dari penelitian penulis adalah tawki@l wali yang dilakukan oleh ayah kandung
yang sah secara hukum untuk menjadi wali nikah.20
19Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya: Fakultas
Syari’ah, 2014), 8.
20Mockhammat Sholikin, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tauki@l Wali Nikah Anak di Luar
11
Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kasus
Tauki@l Wali Nikah Via Telepon di KUA Kecamatan Rembang Kabupaten
Rembang Jawa Tengah” yang ditulis oleh Af’idatul Aliyah. Skripsi ini
membahas mengenai kebolehan untuk melakukan tawki@l wali nikah melalui
telepon di KUA Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang. Hal ini
dikarenakan oleh keberadaan wali nikah yang bertempat tinggal jauh dan
sulit dijangkau, dan juga terdapat masalah keluarga yang memicu wali nikah
sengaja tidak hadir di majelis akad nikah. Pada analisis ini, yang menjadi
objek pembahasan adalah hukum dari melakukan tawki@l wali nikah melalui
telepon yang dilakukan oleh ayah kandung calon pengantin perempuan
dikarenakan keberadaan ayah tersebut bertempat tinggal jauh dan sulit
dijangkau. Sedangkan yang menjadi obyek pembahasan dari penelitian
penulis adalah tawki@l wali nikah yang dilakukan oleh karena ayah kandung
calon pengantin perempuan tidak mempunyai kecakapan untuk menikahkan
anaknya.21
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, tujuan
dari penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui dasar hukum penolakan tawki@l wali bagi pengantin
yang hamil pra-nikah.
21Af’idatul Aliyah, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kasus Tauki@l Wali Nikah Via Telepon di
12
2. Untuk mengetahui analisis yuridis terhadap praktik penolakan tawki@l
wali bagi pengantin yang hamil pra-nikah.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan, haruslah mempunyai kegunaan dari
diadakannya penelitian tersebut. Sehingga mampu memberikan pengetahuan
baru bagi masyarakat tentang masalah yang diteliti dalam penelitian ini.
Kegunaan penelitian ini dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi teoritis dan
segi praktis. Oleh karenanya, penulis berharap agar hasil penelitian ini
memberikan manfaat kepada masyarakat yakni:
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat di bangku
perkuliahan dengan menerapkannya dengan praktik langsung di
lapangan.
b. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan bagi peneliti.
c. Dapat dijadikan pedoman atau landasan sebagai wacana hukum
tentang hukum mengenai praktik tawki@l wali dalam sebuah
pernikahan.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam hukum islam.
b. Untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai alasan
13
c. Menambah literatur informasi bagi peneliti-peleniti yang lain dalam
membuat karya ilmiah.
G. Definisi Operasional
Untuk memperjelas mengenai judul penelitian yang ditulis, agar di
kemudian hari tidak ada kesalahpahaman jika penelitian ini digunakan
sebagai rujukan atau literatur dalam pembuatan karya ilmiah, maka di sini
penulis akan memberikan penjelasan secara tegas dan jelas mengenai judul
penelitian : “Analisis Hukum Islam Terhadap Penolakan Tawki@l Wali Oleh
Penghulu Sebab Pengantin Hamil Pra-Nikah di Kua Kecamatan Sukodono”
dengan beberapa kata kunci yang digunakan sebagai definisi operasional:
Yuridis : Segala hal yang memiliki arti hukum dan sudah
disahkan oleh pemerintah. Peraturan yang dimaksud
dalam analisis ini adalah Kompilasi Hukum Islam,
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan
Menteri Agam No 11 Tahun 2007, Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
PER/62/M.PAN/2005. Undang-Undang No. 5 Tahun
2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.
Tawki@l Wali : Seseorang yang mewakilkan hak untuk menjadi wali
nikah kepada orang lain. Dalam penelitian ini, yang
ditunjuk untuk menjadi wakil adalah Penghulu KUA
14
Hamil Pra-Nikah : Suatu kehamilan yang dialami seorang wanita yang
belum terikat pernikahan yang sah.
H. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu upaya untuk mencari hal-hal yang baru,
kemudian memecahkannya dengan mencari jawaban atas permasalahan yang
belum diketahui, bisa jadi penelitian ini merupakan jalan baru untuk
menemukan sesuatu yang baru.22 Sedangkan metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan
kegunaan tertentu.23
Penelitian kali ini penulis akan menggunakan metode penelitian
deskriptif. Yakni suatu penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu
gejala atau permasalahan yang terjadi pada saat sekarang. Penelitian
deskriptif ini memusatkan perhatian pada suatu permasalahan aktual yang
sedang terjadi pada saat penelitian berlangsung.24 Yang mana penelitian ini akan dilaksanakan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukodono
Kabupaten Sidoarjo.
Dalam pembahasan yang akan dilakukan oleh peneliti, patut kiranya
memaparkan langkah-langkah yang akan dilakukan guna memperoleh hasil
yang sesuai, yakni:
22 Mukayat D. Brotowidjoyo, Metodologi Penelitian dan Penulisan Karangan Ilmiah,
(Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1992), 2.
23 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2012), 2. 24 Juliansyah Noor, Metode Penelitian Skripsi, Tesis, Desertasi, dan Karya Ilmiah, (Jakarta:
15
1. Data Dikumpulkan
Teknik pengumpulan data merupakan cara untuk mengumpulkan
data yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian.25 Karena tanpa adanya langkah pengumpulan data, maka penelitian
tersebut tidak akan membuahkan hasil.
Terkait dengan rumusan masalah yang telah tersebut di atas,
maka data yang dapat dikumpulkan untuk penelitian ini adalah:
a. Data tentang pendaftaran pernikahan hamil di Kantor Urusan
Agama Kecamatan Sukodono.
b. Data mengenai alasan penolakan tawki@l wali yang dilakukan oleh
Penghulu KUA Kecamatan Sukodono.
2. Sumber Data
Dalam pengumpulan data, terdapat dua macam sumbar data yang
bisa digunakan, yakni:
a. Sumber Primer
Sumber Primer yakni sumber data yang langsung diperoleh
dan dikumpulkan oleh peneliti dari sumber pertamanya.26
1) Data pencatatan pernikahan di Kantor Kepala Urusan Agama
Kecamatan Sukodono.
2) Penghulu Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukodono
25 Ibid, 138.
16
b. Sumber Sekunder
Sumber Sekunder yakni sumber data yang diperoleh dari
penelusuran kepustakaan dan dokumen-dokumen yang telah ada dan
berkaitan dengan penelitian ini.27
1) Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang
Perkawinan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan).
2) Muhammad Zuhaily, Fiqh Muna>kahat.
3) Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam.
4) Ibnu Mas’ud; Zainal Abidin S, 2007, Fiqh Madzhab Syafi’i
(Edisi Lengkap) Buku 2.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang sesuai dengan penelitian ini, maka
peneliti menggunakan teknik pengumpulan data antara lain:
a. Dokumen
Pengumpulan data yang berikutnya yakni bersumber dari
dokumen. Sejumlah data yang diperlukan sangat memungkinkan
sudah tersedia dalam bentuk dokumentasi, baik itu dalam bentuk
surat, catatan harian, dan lain-lain. Secara detail, bahan dokumenter
terbagi dalam beberapa macam, yakni autobiografi, surat pribadi,
buku atau catatan harian, memorial, klipping, dokumen pemerintah
17
atau swasta, data di server dan flashdisk, dan data yang tersimpan di
website.28
Penghimpunan data ini dilakukan dengan cara mengkaji dan
menelaah dokumen yang berupa syarat dan rukun nikah. Juga
mengumpulkan data tentang pencatatan nikah. Hal ini dimaksudkan
untuk mengkaji lebih lanjut mengenai alasan dari penolakan tawki@l
wali oleh Penghulu KUA Kecamatan Sukodono.
b. Wawancara
Teknik ini sangat efektif digunakan dalam penelitian.
Karena dengan wawancara, kita akan mengetahui secara mendalam
mengenai permasalahan yang terjadi. Teknik wawancara akan lebih
dapat diandalkan bila pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan
telah dibuat sebelumnya.29 Dalam pelaksanaan wawancara ini, yang menjadi subyek penelitian adalah Penghulu KUA Kecamatan
Sukodono.
4. Teknik Pengolahan Data
Setelah data terkumpul, maka proses selanjutnya yakni
pengolahan data dengan menggunakan teknik sebagai berikut:
a. Editing. Data yang diperoleh harus dicermati dan diperiksa kembali.
Sehingga terdapat kesesuaian antara data yang satu dengan yang
lain. Serta akan menghasilkan data yang sesuai dengan pembahasan
yang terdapat dalam penelitian ini.
18
b. Organizing. Katika data sudah melalui tahap editing, langkah
selanjutnya yakni mengelompokkan data dengan menyusun secara
sistematis sesuai dengan kerangka paparan yang telah direncanakan
sebelumnya.
c. Analizing. Setelah data tersebut sudah melalui proses editing dan
organizing, maka data tersebut akan dianalisa sehingga akan
menghasilkan kesimpulan-kesimpulan tertentu.30 5. Teknik Analisis Data
Data yang telah diperoleh oleh peneliti tidak akan ada gunanya
jika tidak dianalisa. Analisa data merupakan bagian penting dalam
metode ilmiah, karena dengan analisalah data tersebut dapat menjadi
berarti, sehingga dapat digunakan sebagai pedoman untuk memecahkan
suatu penelitian. Data yang telah terkumpul selanjutnya akan
dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yang akan memudahkan
peneliti untuk menganalisa, sehingga akan menjadikan data tersebut
mempunyai makna untuk menjawab masalah dalam penelitian dan
bermanfaat untuk menguji hipotesa.31
Data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini selanjutnya
akan dianalisa dengan menggunakan teknik deskriptif, yakni
menjabarkan data yang diperoleh dengan kata-kata yang mudah
dipahami. Tujuan dari penelitian deskriptif ini yakni untuk membuat
pencandraan (deskripsi) secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai
19
fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.32 Kemudian kata-kata tersebut dirangkai dengan menggunakan teori induktif.
Berfikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Suatu analisis
berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan berdasarkan
data tersebut, kemudian dicarikan data lagi secara berulang-ulang,
sehingga dapat disimpulkan apakah hipotesis tersebut diterima atau
ditolak berdasarkan data yang terkumpul, dan pada akhirnya hipotesis
tersebut berkembang menjadi teori.33
Secara teknis, penelitian ini menjelaskan kasus tentang
penolakan tawki@l wali yang dilakukan oleh Penghulu KUA Kecamatan
Sukodono. Kemudian dianalisa berdasarkan teori perundang-undangan
dan peraturan-peraturan yang berlaku. Sehingga akan menghasilkan
sebuah kesimpulan terhadap kasus penolakan tawki@l wali yang dilakukan
oleh Penghulu KUA Kecamatan Sukodono.
Dengan memasukkan teori-teori yang berkaitan dengan
pembahasan pernikahan dan kemudian dikaitkan dengan persoalan yang
ada, yakni penolakan tawki@l wali nikah sehingga kemudian akan
menghasilkan suatu kesimpulan dan jawaban mengenai latar belakang
terjadinya penolakan tawki@l wali oleh Penghulu KUA Kecamatan
Sukodono.
20
I. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian ini, maka
penulis mengorganisasikan dalam lima bab pembahasan, yang mencakup
sub-sub bab dengan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama merupakan bab pendahuluan, pada bab pertama ini
terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan
masalah, tinjauan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi oprasional,
metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua merupakan landasan teori yang memaparkan tentang
perwalian secara umum dan tawki@l wali dalam Hukum Positif.
Bab ketiga membahas tentang hasil penelitian atau data penelitian di
lapangan meliputi berapa jumlah nikah hamil dan penolakan tawki@l wali dan
pihak-pihak yang terlibat dalam praktik penolakan tawki@l wali yang terjadi di
KUA Kecamatan Sukodono.
Bab keempat membahas tentang analisis yuridis terhadap penolakan
tawki@l wali oleh penghulu sebab hamil pra-nikah di KUA Kecamatan
Sukodono.
Bab kelima penutup dari semua pembahasan skripsi dari hasil
lapangan dan juga saran yang diberikan kepada pihak-pihak yang terkait
BAB II
PERWALIAN DAN TAWKI@L WALI NIKAH DALAM
PERNIKAHAN
A. Perwalian dalam Pernikahan
1. Pengertian Perwalian
Perwalian berasal dari kata Wali, yang mempunyai arti kata
orang lain selaku pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan
mewakili anak yang belum dewasa atau belum akil balig dalam
melakukan perbuatan hukum.1 Perwalian dalam istilah bahasa adalah
wali yang berarti menolong yang mencintainya.2 Perwalian dapat
diartikan sebagai orang tua pengganti terhadap anak yang belum cakap
dalam melakukan suatu perbuatan hukum. Kata wali dalam bahasa arab
berasal dari kata –kata wilayah (kata benda) kata kerjanya waliya yang
artinya berkuasa.3
Perwalian dalam istilah fiqh disebut wilayah, yang berarti
penguasaan dan perlindungan. Dengan demikian, arti dari perwalian
menurut fiqh ialah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada
1 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum
Islam, dan Hukum Adat Edisi Revisi, (JAKARTA: Sinar Grafika, 2002), 55.
2 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwiir, (Yogyakarta: Pondok Pesantren
al-Munawwir, 1984), 1960.
3 Lili Rasyjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: PT.
22
seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang. Orang
yang diberi kekuasan untuk menguasai orang atau barang disebut wali.4
Sedangkan di dalam Hukum Perdata, Perwalian selalu dipandang
sebagai suatu pengurusan terhadap harta kekayaan dan pengawasan
terhadap pribadi seorang anak yang belum dewasa.5
Perwalian juga memiliki pengertian lain, untuk lebih jelasnya
maka penulis akan memaparkan beberapa pengertian perwalian, antara
lain:
a) Amin Suma mengatakan dalam bukunya yang berjudul “Hukum
Keluarga Islam di Dunia Islam”. Perwalian adalah kekuasaan atau
otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara langsung melakukan
suatu tindakan sendiri tanpa harus bergantung (terikat) atas ijin
orang lain.6
b) Sayyid Sabiq mengatakan, Wali adalah suatu ketentuan hukum
yang dapat dipaksakan pada orang lain sesuai dengan bidang
hukumnya. Selanjutnya menurut beliau, wali ada yang khusus dan
ada yang umum, yang khusus adalah yang berkaitan dengan
manusia dan harta bendanya.7
4 Soemiyati, Hukum Perkawinan dan Undang-undang Perkawinan (Undang-undang No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan), (Yogyakarta: Liberty, 1986), 41.
5 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional Cet. Pertama, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), 206.
6 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Isla,m, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005), 134.
23
c) Menurut Dedi Junaedi, Perwalian dalam Islam dibagi kedalam dua
kategori yaitu: Perwalian umum, biasanya mencakup kepentingan
bersamaa (Bangsa atau rakyat) seperti waliyul amri (dalam arti
Gubernur) dan sebagainya. Sedangkan Perwalian khusus adalah
perwalian terhadap jiwa dan harta seseorang, seperti terhadap anak
yatim.8 Perwalian khusus meliputi perwalian terhadap diri pribadi
anak tersebut dan perwalian terhadap harta bendanya.
d) Menurut Ali Afandi, Perwalian ialah pengawasan pribadi dan
pengurusan terhadap harta kekayaan seorang anak yang belum
dewasa jika anak itu tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.
Jadi dengan demikian anak yang orang tuanya telah bercerai atau
salah satu dari mereka atau semuanya meninggal dunia, ia berada di
bawah perwalian.9
e) Menurut kamus besar bahasa Indonesia, perwalian berasal dari kata
“per” berarti satu. Sedangkan “wali” berarti orang yang menurut
hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta
hartanya, sebelum anak itu dewasa.10
8 Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan Cetakan Pertama, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2000),
104.
9 Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997),
156.
24
Dengan demikian, pada intinya perwalian adalah pengawasan
atas orang atau barang sebagaimana diatur dalam undang-undang, dan
pengelolaan barang-barang dari anak yang belum dewasa ( pupil ).11
2. Dasar Hukum Perwalian
Ketentuan mengenai Perwalian sejatinya telah dijelaskan dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Penjelasan
tersebut terdapat pada pasal 50 sampai dengan pasal 54. Ketentuan
tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 50 ayat (1). Anak yang belum mencapai umur 18 tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan, tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Ayat (2).
Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta
bendanya.
Pasal 51 ayat (1). Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang
menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal dengan surat
wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 orang saksi. Ayat (2). Wali
sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain
yang sudah dewasa, berpikir sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik.
Ayat (3). Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan
harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama anak dan
11 Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata jilid 1, (I.S. Adkwimarta), (Jakarta: Rajawali Press,
25
kepercayaan anak itu. Ayat (4). Wali wajib membuat daftar harta benda
anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai
jabatannya, dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak
atau anak-anak itu. Ayat (5). Wali bertanggungjawab tentang harta
benda anak yang berada di bawah perwalian serta kerugian yang
ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.
Pasal 52. Terhadap wali juga berlaku pasal 48 undang-undang ini
(UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan).
Pasal 53 ayat (1). Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam
hal-hal yang tersebut dalam pasal 49 Undang-undang ini. Ayat (2).
Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana maksud pada
ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagi wali.
3. Macam-macam Perwalian
Kitab undang-undang hukum perdata (B.W) membagi ke dalam
tiga jenis perwalian:12
a) Perwalian menurut undang-undang.
Jika salah satu orang tua meninggal, maka perwalian demi hukum
dilakukan oleh orang tua yang masih hidup terhadap anak kawin
yang belum dewasa, yakni yang sesuai dalam pasal 345.
26
b) Perwalian dengan wasiat.
Menurut pasal 355 ditentukan bahwa setiap orang tua yang
melakukan kekuasaan orang tua, atau perwalian, berhak
mengangkat seorang wali bagi anaknya, jika perwalian itu berakhir
pada waktu ia meninggal dunia atau berakhir dengan penetapan
Hakim. Perwalian yang demikian dapat dilakukan dengan surat
wasiat atau dengan akta notaris.
c) Perwalian datif.
Perwalian datif yaitu apabila tidak ada wali menurut
undang-undang atau wali dengan wasiat, oleh Hakim ditetapkan seorang
wali. Yakni pengangkatan wali dilakukan langsung oleh Hakim
dikarenakan tidak ada wali yang sesuai dengan ketentuan
undang-undang dan tidak ditemukan surat wasiat mengenai penunjukan
wali. Sesuai dengan ketentuan pasal 359.
Sedangkan perwalian di dalam pernikahan, perwalian dibagi dua
macam, pertama yakni wali ijba>r dan kedua yakni wali ikhtiyar.13
Keduanya masing-masing memiliki konsekwensi hukum dalam
pernikahan.
13 Muhammad Zuhaili, Fiqih Muna@kah{a@t, (Mohammad Kholison), (Surabaya: CV. Imtiyaz, 2010),
27
a) Perwalian Ijba>r
Perwalian Ijba>r atau yang bisa disebut dengan wali mujbir
(memaksa). Maksud dari memaksa di sini ialah yang berhak untuk
Wali Nikah anak perempuan tersebut.14 Perwalian ini hanya berlaku
terhadap ayah, kakek atau ayahnya ayah. Tidak ditetapkan wali
ijba>r selain untuk dua orang tersebut. Perwalian ijba>r ini hanya
berlaku terhadap pernikahan anak perempuan yang masih gadis,
baik anak perempuan tersebut sudah dewasa maupun masih di
bawah umur, berakal maupun gila. Wali mujbir berhak untuk
menikahnkan anak perempuannya tanpa meminta ijin dan
kerelaannya terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan bahwasannya wali
mujbir dianggap lebih mengetahui segala hal mengenai anak
perempuannya dengan sangat baik, juga mengetahui apa yang
terbaik untuk anaknya. Disamping itu, anak perempuan tersebut
belum berpengalaman dalam urusan pernikahan, dan sifat pemalu
yang mendominasi dirinya.
Penjelasan tersebut di atas sesuai dengan Hadith Nabi SAW.
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a:
َلْوُسَر َنَأ ُهَْع ُها َيِضَر ساَبَع ِنْبا ْنَع
َُِّأا َلاَق َمَلَسَو ِهْيَلَع ها ىَلَص ها
ْنِم اَاِهْسَ ِب ب َقَا
ُت ُرْكِبْلاَو اَاِ يِلَو
َو اَاِهْسَ ِب ُرَمْأَتْه
اَاُ تاَمُص اَاُ نْذِإ
(
دواد يا اور
)
15
14 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama
dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika. 1995), 2.
28
Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a. Bahwasannya Rasulullah SAW. bersabda: “Janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, dan kepada gadis perawan dimintai persetujuannya, dan persetujuannya adalah diam”. (H.R. Abi Da>wud).
Hadith tersebut menjelaskan bahwasannya anak perempuan
yang masih gadis, walinya lebih berhak atas dirinya daripada dirinya
sendiri. Dan ketika diminta ijin untuk dinikahkan, diamnya anak
gadis merupakan tanda persetujuan darinya. Tetapi dalam hadith
yang lain, kata al-ayim diartikan sebagai wanita janda, atau yang
sudah tidak perawan lagi.16
Pelaksanan perwalian mujbir terdapat beberapa syarat yang
menjadikan sahnya perwalian:
1) Hendaknya antara ayah, kakek dan anak perempuan yang
hendak dinikahkan tidak terdapat persengketaan diantara
meraka yang mencolok.
2) Hendaknya anak perempuan tersebut dinikahkan dengan
pasangan yang selevel (kufu’).
3) Hendaknya anak perempuannya dinikahkan bersama dengan
mahar mithil-nya.
4) Hendaknya calon pengantin laki-laki tidak kesulitan dalam
menyediakan mahar mithil.
29
5) Hendaknya wali mujbir tidak menikahkan dengan laki-laki yang
tidak layak untuk anak perempuannya (laki-laki yang tidak bisa
berinteraksi dengan baik), misalnya; laki-laki buta atau laki-laki
jompo.
b) Perwalian Ikhtiyar
Perwalian Ikhtiyar merupakan perwalian yang berlaku pada
pernikahan perempuan yang telah dewasa (baligh), yang telah hilang
keperawanannya sebab coitus halal atau coitus haram (zina). Dalam
pernikahan perempuan janda, disyaratkan untuk terlebih dahulu
meminta ijin dan kerelaannya. Sebagaimana yang termaktub dalam
hadith Nabi SAW yang berbunyi:
َلْوُسَر َنَأ ُهَْع ُها َيِضَر ساَبَع ِنْبا ْنَع
َأا َلاَق َمَلَسَو ِهْيَلَع ها ىَلَص ها
ُِّ
ْنِم اَاِهْسَ ِب ب َقَا
ُت ُرْكِبْلاَو اَاِ يِلَو
اَاُ تاَمُص اَاُ نْذِإَو اَاِهْسَ ِب ُرَمْأَتْه
(
دواد يا اور
)
17
Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a. Bahwasannya Rasulullah SAW. bersabda: “Janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, dan kepada gadis perawan dimintai persetujuannya, dan persetujuannya adalah diam”. (H.R. Abi Da>wud).
Hadith tersebut dengan jelas menyatakan bahwa meminta
persetujuan dan kerelaannya merupakan suatu keharusan.
Dikarenakan bahwa perempuan janda tersebut sudah mengetahui
tujuan daripada pernikahan. Maka, dalam setuju atau tidaknya
menikah, tidak ada unsur paksaan yang mempengaruhi
30
keputusannya. Dia boleh memilih calon pendamping hidupnya
sendiri dan menentukan pilihannya. Apabila ijin seorang gadis
adalah diamnya, maka ijin dari seorang janda adalah ucapannya.
Dengan demikian, apabila seorang janda dinikahkan dengan tanpa
ada ijin dan kerelaan darinya, maka pernikahan tersebut tidak sah.
Hal ini sesuai dengan hadith Nabi Muhammad SAW. yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a.:
ِب َةَيِراَج َنَأ ُهَْع ُها َيِضَر ساَبَع ِنْبا ْنَع
َنَا ُهَل ْتَرَكَذَف َمَلَسَو ِهْيَلَع ها ىَلَص ها َلوُسَر ْتَتَا اًرْك
َوَز اَاَبَا
مَلَسَو ِهْيَلَع ها ىَلَص ً ها ُلْوُسَر اََرَ يَخَف ًةَِراَك َيَِو اَاَج
(
نبإو دواد وباو دما اور
هجام
)
18Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a. Bahwa Jariyah, seorang gadis telah
menghadap Rasulullah SAW. ia mengatakan bahwa ayahnya telah menikahkannya, sedang ia tidak menyukainya. Maka Rasulullah menyuruhnya memilih.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majjah).
Tidak ada seorang pun yang boleh menikahkan janda yang
masih kecil sebelum ia dewasa (baligh). Baik ia telah melakukan
coitus maupun belum. Sebab tidak berlaku paksaan untuk menikah
baginya, dan tidak ada I’tibar untuk meminta ijinnya. Hal ini
dikarenakan bahwa dia masih kecil, dan dia pernah menikah
walaupun masih kecil. Sehingga dia ditetapkan sebagai wanita yang
gagal dalam pernikahan. Sehingga dengan demikian hendaknya
menunggu sampai dia telah dewasa.
31
4. Syarat dan Orang yang Boleh Menjadi Wali
Mengenai siapakah yang dapat ditetapkan sebagai wali, dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata telah merinci sebagai berikut:
1. Pasal 332, tiap orang wajib menerima penetapan sebagai wali,
kecuali beberapa orang yang boleh mengajukan keberatan, yaitu
yang terdapat dalam pasal 332a yang menjelaskan bahwa seorang
yang diangkat menjadi wali oleh salah satu dari kedua orang tua;
seorang perempuan yang bersuami. Keberatan ini harus dinyatakan
di kepaniteraan Pengadilan Negeri.
2. Pasal 347, orang yang berada di luar negeri dengan tugas
Pemerintah, anggota-anggota Ketentaraan dan Angkatan Laut.
3. Pasal 379, pasal ini membahas mengenai orang yang sama sekali
tidak boleh menjadi wali, yakni:
a) Pejabat-pejabat Pengadilan
b) Orang yang sakit ingatan
c) Orang yang belum dewasa
d) Orang yang di bawah pengampuan
e) Orang yang dipecat kekuasaannya sebagai orang tua atau
perwalian
f) Para anggota pimpinan Balai Harta Peninggalan
4. Pasal 335, tiap wali sebagai jaminan atas pengurusan, harta
32
mulai berjalan, harus mengadakan tanggungan yang berupa ikatan
tanggungan (borg), hipotik atau gadai.
5. Pasal 386, wali harus mengadakan daftar perincian dari barang
kekayaan si anak, di dalam waktu 10 hari setelah perwaliannya
mulai berjalan, yang harus dihadiri oleh wali pengawas (Balai Harta
Peninggalan).
6. Pasal 389, wali harus menjual semua perabot rumah tangga, dan
barang bergerak lainnya yang tidak memberikan hasil, yang jatuh
kepada si anak. Penjualan ini harus dilakukan di depan umum.
7. Pasal 390, keharusan menjual tadi tidak berlaku jika perwalian itu
dilakukan oleh si ayah atau si ibu yang berhak atas hak petik hasil
harta kekayaan si anak, untuk kemudian memberikan barang itu
kepada si anak.
8. Pasal 396, wali untuk kepentingan si anak tidak boleh meminjam
uang, menjual atau menggadaikan barang tak bergerak dari si anak,
dan tidak boleh juga ia menjual surat berharga dan piutang, kalau
tidak dengan ijin Pengadilan.
9. Pasal 395, di dalam penjualan barang tak bergerak itu diijinkan oleh
Pengadilan maka pengjualan itu harus dilakukan di depan umum.
10.Pasal 400, wali tidak boleh menyewa atau mengambil dalam hak
usaha (pacht) barang-barang si anak untuk kepentingan sendiri
33
11.Pasal 401, wali tidak boleh menerima warisan yang jatuh pada si
anak, kecuali dengan hak istimewa akan pendaftaran harta
peninggalan. Wali tidak boleh menolak warisan tanpa ijin
{Pengadilan.
12.Pasal 402, penerimaan hibah juga dengan ijin Pengadilan.
13.Pasal 403, di dalam soal gugat menggugat untuk si anak, wali harus
meminta kuasa lebih dahulu dari Balai Harta Peninggalan.
14.Pasal 404, jika si anak digugat, maka wali tanpa kuasa Balai Harta
Peninggalan tidak boleh menerima putusan (yang membenarkan
gugatan) yang dijatuhkan oleh Pengadilan.
15.Pasal 372, wali (kecuali ayah dan ibu yang melakukan perwalian)
tiap tahun harus membuat pertanggung-jawaban singkat tentang
pengurusannya kepada wali pengawas (Balai Harta Peninggalan).
16.Pasal 409, pada ahkir perwalian, wali harus memberi perhitungan
tanggung jawab penutup dari pengurus harta kekayaan si anak.
17.Pasal 411, kecuali jika perwalian dilakukan seorang ayah atau ibu,
dan kawan wali, wali dapat memperhitungkan upah. Upah tersebut
besarnya:
3% dari segala pendapatan.
34
1½% dari uang modal yang ia terima selaku pengurus dari harta
kekayaan si anak.19
Pembahasan mengenai perwalian dalam pernikahan, para Ulama’
sepakat bahwasannya orang-orang yang akan menjadi wali ialah:20
1. Orang mukallaf/baligh. Karena orang yang mukallaf adalah orang
yang dibebani hukum dan dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya.
2. Muslim. Apabila yang menikah adalah orang muslim, maka
disyaratkan walinya juga seorang muslim.
3. Berakal sehat. Hanya orang yang berakal sehatlah yang dapat
dibebani hukum dan dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya.
4. Laki-laki.
5. Adil.
Tidak semua orang yang termasuk dalam syarat dibolehkannya
menjadi wali, dapat bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan.
Terdapat ketentuan mengenai siapa yang boleh bertindak sebagai wali.
Para Ulama’ berpendapat mengenai siapa yang dibolehkan untuk
menjadi wali, nikah yaitu:
1. Ayah, kakek, dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki.
19 Ibid. 158-160
35
2. Saudara laki-laki kandung dan seayah.
3. Kemenakan laki-laki sekandung dan seayah.
4. Paman sekandung dan seayah.
5. Saudara sepupu laki-laki sekandung atau seayah.
6. Sultan (penguasa) sebagai wali hakim.
7. Wali yang diangkat oleh mempelai perempuan.
Dengan demikian, hanya orang-orang tertentu saja yang
dibolehkan untuk bertindak sebagai wali nikah. Dari macam-macam
wali yang telah disebutkan di atas, dapat kita bedakan adanya tiga
macam wali nikah, yaitu:
1. Wali nasab atau kerabat.
2. Wali penguasa (sultan) atau wali hakim.
3. Wali yang diangkat oleh mempelai perempuan atau Muhakam. 21
5. Faktor Terjadinya Perwalian
Faktor yang membuat seorang anak harus berada dalam
perwalian antara lain adalah karena anak tersebut masih berumur di
bawah 18 tahun. Di samping itu, dalam Undang-undang Perkawinan
disebutkan juga bahwa anak yang belum pernah melangsungkan
pernikahan kedudukannya berada di bawah kekuasaan orang tua atau
wali.
36
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dalam pasal 49 menyatakan,
bahwa kekuasaan orang tua terhadap seorang anak atau lebih dapat
dicabut untuk jangka waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain
atau keluarga si anak dalam garis lurus ke atas, saudara kandung yang
telah dewasa, atau pejabat yang berwenang.22
Faktor lain yang menyebabkan seorang anak berada dalam
penguasaan dan perlindungan ialah:23
1. Pemilikan atas barang atau orang, seperti perwalian atas budak yang
dimiliki atau barang-barang yang dimiliki.
2. Hubungan kerabat atau keturunan, seperti perwalian seseorang atas
salah seorang kerabatnya atau anak-anaknya.
3. Karena memerdekakan budak, seperti perwalian seseorang atas
budak-budak yang telah dimerdekakannya.
4. Karena pengangkatan, seperti perwalian seseorang kepala Negara
atas rakyatnya atau perwalian seorang pemimpin atas orang-orang
yang dipimpinnya.
Oleh sebab itu, dalam garis besarnya perwalian itu dapat dibagi
dalam tiga macam perwalian:
1. Perwalian atas orang.
2. Perwalian atas barang.
22 K. Wantijk Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), 35.
37
3. Perwalian atas orang dalam pernikahannya.
6. Pengangkatan dan Berakhirnya Perwalian
Pasal 331b Kitab Undang-undang Hukum Perdata menjelaskan
bahwasannya apabila anak-anak yang berada di bawah perwalian,
diangkat seorang wali lain atau karena hukum orang lain menjadi wali,
maka berakhirlah perwalian pertama pada saat perwalian yang kedua
mulai berlaku, kecuali hakim menentukan lain24. Perwalian berakhir
ketika:
1. Jika mereka yang belum dewasa setelah berada di bawah suatu
perwalian dipulangkan kembali di bawah kekuasaan orang tua, pada
saat penetapan untuk keperluan itu diberutahukan kepada si wali.
2. Jika mereka yang belum dewasa, setelah berada di bawah suatu
perwalian, dipulangkan kembali di bawah kekuasaan orang tua
menurut Pasal 206b atau 232b, pada saat berlangsungnya
perkawinan.
3. Jika anak-anak belum dewasa luar kawin dan telah diakui menurut
undang-undang, disahkan pada saat berlangsungnya perkawinan
yang mengakibatkan absahnya anak-anak itu, atau saat pemberian
surat-surat pengesahan.
38
4. Jika dalam hal teratur dalam Pasal 453, orang yang berada di bawah
pengampuan, memperoleh kembali kekuasaan orang tuanya, pada
saat pengampuan itu berakhir.
Pakar Hukum Waris dan Hukum Keluarga, Ali Afandi
mengatakan bahwa perwalian berakhir ketika:25
1. Jika anak yang berada di bawah perwalian telah dewasa.
2. Jika anak yang berada di bawah perwalian meninggal dunia.
3. Jika wali meninggal dunia atau dibebaskan atau dipecat dari
perwalian.
B. Hukum Nikah Hamil Menurut Ulama’ Madhhab
Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum nikah hamil.
Pendapat tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga pendapat:
1. Pendapat pertama menurut para ulama’ madhhab Shafi’i@. Hukum dari
nikah hamil adalah boleh. Baik dengan laki-laki yang menghamilinya
maupun dengan laki-laki yang tidak mengahamilinya. Asalkan bahwa
perepmpuan yang akan dinikahi tersebut tidak mempunyai suami. Hanya
saja, menyetubuhinya dalam keadaan hamil hukumnya makruh.26
2. Menurut madhhab H{anafi. Hukum dari nikah hamil adalah boleh. Baik
yang menikahi adalah laki yang menghamili maupun dengan
laki-laki yang tidak menghamilinya. Apabila yang menikahi adalah laki-laki-laki-laki
yang menghamilinya, maka anak yang berada dalam kandungan tersebut
25 Ali Afandi, Hukum Waris…, 160.
26 Yahya Abdurrahman al-Khatib, Fikih Wanita Hamil, (Mujahidin Muhayan), (Jakarta: Qisthi
39
lahir setelah enam bulan dari pernikahan, maka anak tersebut adalah
anaknya. Apabila anak tersebut dilahirkan kurang dari enam bulan
setelah pernikahan, maka dia bukan anaknya dan tidak mendapatkan
warisan.27
3. Menurut madhhab Maliki dan H{anbali, perempuan yang tengah dalam
keadaan hamil tidak boleh dinikahi. Menurut para ulama’ madhhab
Malikiyah{, perempuan tersebut harus membebaskan rahimnya dengan
tiga kali haid, atau dengan berlalunya waktu tiga bulan. Sedangkan
menurut ulama’ madhhab Hanbali, perempuan tersebut harus
membebaskan rahimnya dengan tiga kali haid.28
C. Tawki@l Wali Nikah
1. Tawki@l Wali dalam Hukum Islam
a) Pengertian Tawki@l Wali
Kata tawki@l berbentuk mas}dar, berasal dari kata
wakkala-yuwakkilu-tawki@lan yang berarti penyerahan atau pelimpahan.29
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tawki@l atau pelimpahan
kekuasaan adalah bermakna proses, cara, perbuatan melimpahkan
(memindahkan) hak wewenang.30
27 Ibid.
28 Ibid, 72.
29 Ahmad Warson Munawwir, Kamus…, 1579.
30
40
Sedangkan kata al-waka>lah atau al-wika>lah adalah
perwakilan. Yang menurut bahasa berarti h}ifz}, kifa>yah,
al-d{aman dan al-tafwi@d yang berarti penyerahan, pendelegasian dan
pemberian mandat.31 Dalam segi makna etimologi, keduanya tidak
memiliki perbedaan, karena keduanya berasal dari kata yang sama.
Adapun pengertian tawki@l atau waka>lah menurut perspektif
dari beberapa madhhab adalah sebagai berikut:32
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa waka>lah adalah
seseorang menempati diri orang lain dalam hal tas}arruf
(pengelolaan).
Ulama Malikiyah mengatakan, al-waka>lah adalah seseorang
menggantikan (menempati) tempat orang lain dalam hak dan
kewajiban, kemudian dia mengelola pada posisi itu.
Ulama Hanabilah mengatakan, al-waka>lah adalah
permintaan ganti seseorang yang memperbolehkan adanya tas}arruf
yang seimbang pada pihak lain, yang di dalamnya terdapat
penggantian dari hak-hak Allah SWT dan hak-hak manusia.
Sedangkan menurut Ulama Syafi’iyah al-waka>lah berarti
sesorang yang menyerahkan urusannya kepada orang lain agar orang
31 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014), 231.
32
Abdul Rahman al-Juzayriy, Kita>b al-Fiqh ‘ala> Maz\a>hib al-Arba‘ahjuz III, (Mesir: Darul Hadis,
41
yang mewakilinya itu dapat melaksanakan sesuatu urusan yang
diserahkan kepadanya selama yang menyerahkan masih hidup.
Dari beberapa definisi berbagai ulama tersebut, dapat
disimpulkan bahwa al-waka>lah adalah penyerahan urusan seseorang
kepada orang lain (wakilnya) untuk melaksanakan suatu urusan,
kemudian wakil tersebut menempati posisi orang yang mewakilkan
(muwakkil) dalam hak dan kewajiban yang kemudian berlaku
selama muwakkil masih dalam keadaan hidup.
b) Dasar Hukum Tawki@l Wali
Tawki@l atau waka>lah merupakan perwakilan seseorang
untuk melakukan sesuatu atas nama orang yang mewakilkan. Dalam
al-Qur’a>n dijelaskan pada surat al-Nisa>’ ayat 35:
Artinya: “Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan”33
Ayat tersebut menjelaskan apabila dalam sebuah keluarga
terdapat permasalahan yang mengakibatkan istri pergi dari rumah,
maka jalan keluar yang diberikan dalam ayat tersebut adalah
mengutus seseorang untuk mewakili kedua pihak yang bersengketa
untuk mencari jalan keluar dengan musyawarah.
42
Dalam hukum pernikahan Islam, dibolehkan adanya tawki@l
w