• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENOLAKAN TAWKIL WALI OLEH PENGHULU SEBAB PENGANTIN HAMIL PRA-NIKAH DI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN SUKODONO.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENOLAKAN TAWKIL WALI OLEH PENGHULU SEBAB PENGANTIN HAMIL PRA-NIKAH DI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN SUKODONO."

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENOLAKAN TAWKI@L WALI

OLEH PENGHULU SEBAB PENGANTIN HAMIL PRA-NIKAH

DI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN SUKODONO

SKRIPSI

OLEH:

MOH. NURHASAN AMINULLOH NIM: C31211126

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari

ah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Analisis Yuridis Terhadap Penolakan Tawki@l Wali Oleh Penghulu Sebab Pengantin Hamil Pra-Nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukodono, merupakan hasil penelitian lapangan berupa kajian yuridis terhadap penolakan tawki@l wali yang dilakukan oleh Penghulu KUA Kecamatan Sukodono. Penulis menemukan masalah berupa, pertama apa dasar hukum yang digunakan dalam penolakan tawki@l wali bagi pengantin yang hamil pra-nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukodono, kedua bagaimana analisis yuridis terhadap praktik penolakan tawki@l wali bagi pengantin yang hamil pra-nikah.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, untuk menjelaskan tentang penolakan tawki@l wali oleh penghulu sebab pengantin hamil pra-nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukodono. Kemudian dilakukan penarikan kesimpulan terhadapnya. Pola pikir yang digunakan adalah induktif.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dasar yang digunakan oleh Penghulu KUA Kecamatan Sukodono tentang kasus penolakan tawki@l wali bagi pengantin yang hamil pra-nikah terdapat tiga alasan, pertama menikahkan anak merupakan tanggung jawab orang tua dan boleh mewakilkan hak perwaliannya kepada orang lain. Akan tetapi, orang tersebut boleh menerima maupun menolak perwakilannya. Kedua, tugas penghulu dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu menghadiri, menyaksikan, mencatat. Tidak ada tugas dan kewajiban untuk menikahkan pengantin. Ketiga, adanya masalah khila>fiyah dalam menentukan hukum mengenai nikah hamil, sedangkan yang menjadi pedoman dari Penghulu KUA Kecamatan Sukodono adalah pendapat dari madhhab H}anafiyah. Hal tersebut tidak sesuai dengan peraturan yang membolehkan seorang wali nasab yang dapat mewakilkan haknya untuk menikahkan anaknya kepada PPN, Penghulu, Pembantu PPN, Orang lain yang memenuhi syarat. Sesuai dengan pasal 18 ayat (3) PMA No. 11 Tahun 2007. UU No. 5 Tahun 2014 menjelaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil harus mengabdi kepada Negara dan Rakyat Indonesia.

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR TRANSLITERASI ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Kajian Pustaka ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 11

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 12

G. Definisi Operasional ... 13

H. Metode Penelitian ... 14

I. Sistematika Pembahasan ... 20

(7)

A. Perwalian dalam Pernikahan ... 21

1. Pengertian Perwalian ... 21

2. Dasar Hukum Perwalian ... 24

3. Macam-Macam Perwalian ... 25

4. Syarat dan Orang yang boleh menjadi Wali ... 31

5. Faktor Terjadinya Perwalian ... 35

6. Pengangkatan dan Berakhirnya Perwalian ... 37

B. Hukum Nikah Hamil Menurut Ulama’ Madhhab ... 38

C. Tawki@l Wali Nikah ... 39

1. Tawki@l Wali dalam Hukum Islam ... 39

a) Pengertian Tawki@l Wali ... 39

b) Dasar Hukum Tawki@l Wali ... 41

2. Tawki@l Wali dalam Hukum Positif ... 43

a) Tawki@l Wali secara lisan (bi al-lisa>n) ... 43

b) Tawki@l Wali secara tulisan (bi al-kita>bah) ... 44

BAB III DESKRIPSI PENOLAKAN TAWKI<L WALI OLEH PENGHULU KUA KECAMATAN SUKODONO ... 45

A. Profil KUA Kecamatan Sukodono ... 45

1. Letak Geografis. ... 45

2. Visi dan Misi KUA Kecamatan Sukodono ... 47

a) Visi. ... 47

b) Misi. ... 47

3. Struktur Organisasi KUA Kecamatan Sukodono ... 47

4. Tugas dan Fungsi KUA Kecamatan Sukodono . ... 48

a. Tugas Kantor Urusan Agama . ... 48

b. Fungsi Kantor Urusan Agama . ... 48

5. Tugas dan Fungsi Khusus Penghulu . ... 50

a) Tugas Khusus Penghulu ... 50

b) Fungsi Penghulu ... 51

(8)

a) Tugas Umum Penghulu ... 51

b) Fungsi Umum Penghulu ... 52

7. Wewenang KUA Kecamatan Sukodono . ... 53

8. Jumlah Pernikahan . ... 54

B. Praktik Penolakan Tawki@l Wali Oleh Penghulu Sebab Pengantin Hamil Pra-Nikah ... 55

1. Prosedur Pendaftaran Nikah ... 55

2. Praktik Penolakan Tawki@l Wali Oleh Penghulu KUA Kecamatan Sukodono ... 58

3.

Pasangan Calon Pengantin yang Mengalami Penolakan Tawki@l Wali …… ... 64

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENOLAKAN

TAWKI@L WALI OLEH PENGHULU SEBAB

PENGANTIN HAMIL PRA-NIKAH

... 66

A. Analisis Dasar Hukum yang Digunakan dalam Penolakan Tawki@l Wali Oleh Penghulu Sebab Pengantin Hamil Pra-Nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukodono ... 66

B. Analisis Yuridis Terhadap Praktik Penolakan Tawki@l Wali Oleh Penghulu Sebab Pengantin Hamil Pra-Nikah di KUA Kecamatan Sukodono ……… 68

BAB V PENUTUP ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel

Tabel 1 ………. 46

Tabel 2 ………. 46

Tabel 3 ………. 48

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Nikah menurut bahasa artinya berkumpul dan bercampur. Sedangkan

menurut istilah shara’ adalah akad ijab-kabul dari seorang laki-laki kepada

seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga yang kekal, bahagia,

dan sejahtera di bawah naungan rid}a Ilahi.1 Pernikahan merupakan satu dari

beberapa ketentuan Allah SWT. Banyak dalil-dalil yang menerangkan

perintah untuk melaksanakan pernikahan. Baik yang terdapat dalam

al-Qur’a>n maupun al-Hadith. Salah satu ayat yang menerangkan tentang

perintah untuk melaksanakan pernikahan adalah terdapat dalam Q.S al-Nu@r :

32                            

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan, jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha

Mengetahui” (Q.S. 24:32).2

1 Ibnu Mas’ud; Zainal Abidin S, Fiqh Madzhab Syafi’i (Edisi Lengkap) Buku 2, (Bandung: CV.

Pustaka Setia, 2007), 250.

(12)

2

Terdapat juga dalam hadith yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud

َلاَق دْوُعْهَم ِنْبا ِنَع

:

ص ِها ُلْوُسَر َلاَق

:

بضَغَا ُهَنِاَف ،ْجَوَزَ تَيْلَ ف َةَءاَبلْا ُمُكِْم َعاَطَتْسا ِنَم ِباَبَشلا َرَشْعَم اَي

ِجْرَسْلِل ُنَصْقَا َو ِرَصَبْلِل

.

ءاَجِو ُهَل ُهَنِاَف ِمْوَصلاِب ِهْيَلَعَ ف ْعِطَتْهَي ََْ ْنَم َو

.

ور

ىراخ ا

3

Artinya: Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Hai

para pemuda, barangsiapa diantara kamu yang sudah mampu menikah, maka nikahlah, karena sesungguhnya nikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa itu baginya (menjadi) pengekang

syahwat”. [HR. Bukhari]

Dalam pernikahan, wali merupakan suatu rukun yang harus

dipenuhi.4 Hal ini dikarenakan bahwa wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, sebab ia tidak memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut,

baik melaksanakan secara langsung, maupun dengan pengganti orang lain.5 Dalam al-Qur’a>n telah dijelaskan bahwasannya seorang laki-laki mempunyai

kelebihan dibanding dengan seorang wanita, misalnya dalam hal

kepemimpinan. Dalam hal ini adalah kepemimpinan untuk menikahkan

seorang wanita. Sesuai dengan firman Allah SWT. dalam QS. al-Nisa’: 34

                                                                            

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak

3 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Ju'fi

al-Bukhari, S}ahi>hBukhari, hadith no.5066, (Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1998), 1005.

4 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 14.

5 Muhammad Zuhaili, Fiqih Muna@kah{a@t, (Mohammad Kholison), (Surabaya: CV. Imtiyaz, 2010),

(13)

3

ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar (Q.S. 2:34).6

Tujuan adanya persyaratan wali dalam pernikahan adalah demi

menjaga dan melindungi seorang wanita, karena ia mudah tertipu dan

terkecoh. Sehingga tidak dibenarkan menguasakan urusan pernikahan kepada

sesama wanita, sebagaimana orang yang tertuduh boros dalam

membelanjakan harta benda.7 Jika wanita itu menikah dengan tanpa adanya wali, maka pernikahan tersebut batal. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan

oleh Aisyah r.a:

َأ َن

َلا

َِب

ىَلَص

ُها

َع َل

ْي ِه

َو َس

َل َم

َق

َلا

" :

َا َبّ

ْما ا

َر َأ ة

َن

َك

َح

ْت

ِب

َغ ِْي

ِإ

ْذ ِن

َو ِل

ِ ي َاا

,

َف ِ

َك

ُقا

َا

َب ا

ِطا

ل

,

َف ِ

َك

ُقا

َا

َب ا

ِطا

ل

,

َف ِ

َك

ُقا

َا

َب ا

ِطا

ل

,

َف ِإ

ِن

ْشا

َت َج

ُر

َف او

بهلا

ْل

َط

ُنا

َو

بِل

َم

ْن

َا

َو

َِل

َل ُه

,

َف ِإ

ْن

َأ

َص

َ با َا

َ ف ا

َل َا

َم ا

ْا ُر

َ

َِب ا

ْسا ا

َت َح

َل

ِم

ْن

َ ف ْر

ِج

َاا

".

8

Artinya: Nabi SAW bersabda: “Setiap orang wanita yang menikah dengan tanpa ijin walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, apabila mereka bersengketa, penguasa boleh menjadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali, jika laki-laki itu telah mempergaulinya, maka ia wajib membayar maskawin

untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya”

Maksud dari hadith di atas adalah bahwasanya wanita yang telah

menikah dengan tanpa adanya ijin dari walinya, maka nikahnya batal. Maka

sebagai konsekwensi dari putusnya ikatan pernikahan mereka ialah jika si

wanita tersebut telah digauli oleh si laki-laki, maka wanita tersebut tidak

6 Kementerian Agama RI, Al-Qur’a>n dan Tafsirnya..., 84. 7 Muhammad Zuhaili, Fiqih Muna>kah{a@t..., 127.

8 Abdullah bin Abdurrahman bin al Fadhl bin Bahram bin Abdush Shamad al-Darimi, Hadith No.

(14)

4

diwajibkan untuk mengembalikan maskawin yang diterimanya sebagai ganti

atas kehormatan yang telah dihalalkan untuk laki-laki tersebut.9

Wali nikah ada dua macam,10 yang pertama yakni Wali Nasab, yaitu wali yang perwaliannya didasarkan karena adanya hubungan darah.

Sedangkan yang kedua adalah Wali Hakim, yaitu wali yang hak

perwaliannya timbul, karena orang tua mempelai perempuan menolak (‘ad}al)

atau tidak ada, atau sebab lain yang secara fisik ada tetapi hak perwaliannya

tidak ada.

Urutan Wali Nasab dalam pernikahan adalah sebagai berikut:

1. Ayah (ab)

2. Kakek (jad)

3. Saudara laki-laki sekandung ( akh shaqi@q)

4. Saudara laki-laki seayah ( akh li-ab)

5. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung ( ibn akh shaqi@q )

6. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah ( ibn akh li-ab )

7. Saudara laki-laki ayah yang sekandung (‘am shaqi@q )

8. Saudara laki-laki ayah yang seayah ( ‘am li-ab )

9. Anak saudara laki-laki ayah sekandung ( ibn ‘am shaqi@q )

10.Anak saudara laki-laki ayah seayah ( ibn ‘am li-ab )

11.Kemudian ‘asha@bah 11

9 Muhammad Zuhaili, Fiqih Muna@kah{a@t..., 128. 10 Kompilasi Hukum Islam Pasal 20

(15)

5

Dalam pelaksanaannya perwalian dalam akad nikah tidak selalu

dilakukan langsung oleh wali nikah itu sendiri, hal ini disebabkan karena

adanya kebolehan berwaka>lah dalam pernikahan. Ada beberapa alasan

terjadinya waka>lah dalam pernikahan, yang antara lain ialah dikarenakan

wali nikah itu sendiri tidak percaya diri terhadap kemampuannya untuk

menikahkan. Sehingga ia memutuskan untuk mewakilkan kepada orang lain

yang dianggap lebih mampu daripada dirinya.

Berwakil menurut lughat artinya menyerahkan sesuatu. Menurut

shara’ berarti seseorang yang menyerahkan urusannya kepada orang lain agar

orang yang diwakilkan itu dapat melakukan sesuatu yang diserahkan

kepadanya selagi yang menyerahkan itu masih hidup.12 Allah SWT berfirman dalam surat al-Nisa@’ : 35

                                    

Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.13

Perwakilan itu sah atau boleh dilakukan pada tiap-tiap pekerjaan

yang boleh diwakilkan menurut shara’, seperti berjual beli, pernikahan, talak,

memberi, menggadai, dan lain-lain yang berhubungan dengan mua>malat dan

muna>kahat.

(16)

6

Akan tetapi, tidaklah sah mewakilkan shalat, puasa, dan lain-lain

yang bersangkut paut dengan ibadah. Hal ini karena ibadah merupakan

hubungan manusia dengan Tuhannya yang tidak dapat dilakukan, melainkan

oleh tiap-tiap orang. Dalam hal ini dikecualikan haji dan umrah, yang boleh

diwakilkan karena cara mengerjakannya tidak tetap di satu tempat, tetapi

berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain ditambah lagi dengan

keadaan suhu yang sangat panas.

Kegiatan mewakilkan suatu urusan ini pernah dilakukan oleh Nabi

Muhammad SAW. Dalam hadith yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:

َع ْن

َج

ِبا

ِر

َر ِض

َي

ُها

َع ْ

ُه َق

َلا

:

َأ َر ْد

ُت

ُْلا

ُر ْو

َج

ِإ

َل

ََ

ْي َ ب َر

َف َا

َ ت ْي

ُت

َلا

َِب

َص َل

ُها ى

َع َل

ْي ِه

َو َس

َل َم

َ ف

َق

َلا

:

ِإ َذ

َأ ا

َ ت ْي

َت

َو ِك ْي

ِل

ْي

َِخ ْي

َ ب َر

َف

ُخ

ْذ

ِم ْ ُه

َْخ

َه َة

َع

َش

َر َ

و

َس ًق

ا

ِهِتَوُ قْرَ ت ىَلَع َكَدَي ْعَضَف ًةَيآ َكِْم ىَغَ تْ با ْنِإَف

14

Artinya: Dari Jabir r.a, ia berkata: “Pernah aku keluar pergi ke Khaibar

(nama satu tempat), kemudian aku datang kepada Nabi SAW.,

maka beliau bersabda,: “Bila engkau datang kepada wakilku di

Khaibar, ambillah darinya lima belas wasaq (bahan makanan). dan apabila ia menginginkan tanda darimu maka letakkan tanganmu pada tulang bahunya!” (H.R. Abu Dawud)

Dalam hadith lain dinyatakan:

َع ْن

َج

ِبا

ِر

َر ِض

َي

ُها

َع ْ

ُه

َنَأ

َلا

َِب

َص َل

ُها ى

َع

َل ْي ِه

َو

َس َل

َم

ََن َر

َث

َل

ًث

َو ا

ِس

ِ ت

َْي

َو َأ

َم َر

َع ِل ي

َر ا

ِض

َي

ُها

َع ْ

ُه

َأ ْن

َي ْد

َب َح

ْلا

َب ِقا

ْي

15

Artinya:“Dari Jabir r.a bahwa Nabi SAW. pernah menyembelih qurban sebanyak enam puluh tiga ekor hewan, dan disuruhnya Ali untuk

menyembelih hewan yang tertinggal.” (H.R. Muslim)

Dalam Hukum Positif yang berlaku di Indonesia, untuk melaksanakan

pernikahan Wali Nasab dapat mewakilkan kepada orang lain yang memenuhi

14 Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar al-Azdi as-Sijistani, Hadith

No. 3148, Sunan Abu Dawud, (RIYADH: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1998), 356.

15 Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Hadith no. 1218, S}ahi@h

(17)

7

syarat. Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 dijelaskan

bahwasannya Wali Nasab dapat mewakilkan pelaksanaan pernikahan kepada

Petugas Pencatat Nikah, Penghulu, Pembantu Petugas Pencatat Nikah, dan

orang lain yang memenuhi syarat.16 Sehingga dengan demikian orang tua mempelai wanita mempunyai alasan untuk mewakilkan hak untuk

menikahkan anaknya kepada seorang Penghulu KUA Kecamatan Sukodono.

Persoalan yang terjadi di Kantor Urusan Agama Kecamata Sukodono

berawal dari adanya calon pengantin yang mendaftar untuk menikah.

Pelayanan yang diberikan pihak KUA tidak ada perbedaan antara calon

pengantin yang hamil pra-nikah maupun tidak. Ketika diadakannya rafa’,

pihak KUA baru mengetahui bahwasannya calon pengantin tersebut telah

hamil pra-nikah. Pada waktu rafa’ tersebut wali nikah dari calon pengantin

wanita juga dihadirkan, sehingga dengan demikian akan ditanya siapakah

yang akan menjadi wali dalam pernikahan tersebut. Maka kemudian wali

nikah dari calon pengantin perempuan tersebut mewakilkan haknya untuk

menikahkan anaknya tersebut kepada Penghulu KUA Kecamatan

Sukodono.17

Namun, yang terjadi tidaklah demikian. Penghulu yang ditunjuk

untuk menerima perwakilan agar menikahkan anaknya tidak mau menerima

perwakilan tersebut. Alasannya adalah dikarenakan wanita yang akan

menikah dalam keadaan hamil pra-nikah. Hal ini yang membuat Penghulu

tersebut tidak manerima perwakilan untuk menikahkan wanita tersebut.

16 PMA No. 11 Tahun 2007, Pasal 18 ayat (3)

(18)

8

Penolakan tawki@l wali yang dilakukan oleh Penghulu ini bertentangan

dengan peraturan yang berlaku. Karena telah disebutkan dalam Pasal 18 ayat

(3) Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007, bahwasannya Wali

Nasab dapat mewakilkan haknya untuk menikahkan anaknya kepada Petugas

Pencatat Nikah, Penghulu, Pembantu Petugas Pencatat Nikah, dan orang lain

yang memenuhi syarat.18

Dari pemaparan di atas, penulis ingin melakukan penelitian mengkaji

lebih mendalam mengenai waka>lah dalam pernikahan dan membahasnya

melalui Skripsi dengan Judul “Analisis Yuridis Terhadap Penolakan Tawki@l

Wali Oleh Penghulu Sebab Pengantin Hamil Pra-Nikah di Kantor Urusan

Agama Kecamatan Sukodono”

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

Identifikasi Masalah diperlukan dalam sebuah penelitian, agar dalam

penelitian dan pembahasan yang dilakukan tidak keluar dari topik yang telah

ditentukan. Dari pemaparan yang telah dibahas di atas, penulis menemukan

beberapa indikasi yang mungkin dapat menjadi sebuah permasalahan, yakni:

1. Hukum pernikahan ketika calon pengantin wanita sudah hamil.

2. Faktor-faktor yang membuat wali nikah mewakilkan haknya untuk

menikahkan anaknya.

3. Alasan penolakan tawki@l wali bagi calon pengantin yang hamil

pra-nikah.

(19)

9

4. Analisis yuridis terhadap praktik penolakan tawki@l wali bagi calon

pengantin yang hamil pra-nikah.

Dari identifikasi masalah yang ditemukan, maka penulis membatasi

masalah tersebut yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu:

1. Dasar hukum yang digunakan dalam penolakan tawki@l wali bagi

pengantin yang hamil pra-nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan

Sukodono.

2. Analisis yuridis terhadap praktik penolakan tawki@l wali bagi pengantin

yang hamil pra-nikah.

C. Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah ditulis di atas, maka yang

akan dijadikan permasalahan adalah sebagai berikut:

1. Apa dasar hukum yang digunakan dalam penolakan tawki@l wali bagi

pengantin yang hamil pra-nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan

Sukodono?

2. Bagaimanakah analisis yuridis terhadap praktik penolakan tawki@l wali

bagi pengantin yang hamil pra-nikah?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan deskripsi ringkas tentang kajian atau

penelitian yang sudah pernah dilakukan seputar masalah yang pernah diteliti

(20)

10

merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian yang telah ada.19 Hal ini dikarenakan oleh kemungkinan adanya persamaan topik, persamaan tema,

persamaan teori, dan lain-lain.

Setelah penulis mengadakan pencarian terkait topik yang

berhubungan dengan tawki@l wali, penulis menemukan beberapa penelitian

yang membahas tentang tawki@l wali, yakni:

Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tauki@l Wali

Nikah Anak di Luar Nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Suko

Manunggal Surabaya”. Skripsi ini ditulis oleh Mochamat Sholikin. Skripsi

ini mendeskripsikan tentang praktik tawki@l wali anak di luar nikah, yang

mana seorang Penghulu Kantor Urusan Agama Kecamatan Suko Manunggal

memperkenankan kepada ayah di luar nikah (ayah biologis) dari calon

mempelai wanita yang bertindak sebagai muwakkilnya untuk melakukan

tawki@l wali (bi al-lisa>n) dan menerima tawki@l wali tersebut. Sehingga

Penghulu tersebut bisa mengakad nikahkan atas nama wakil dari ayah

biologis itu. Pada analisis ini yang menjadi obyek bahasan adalah tawki@l wali

yang dilakukan oleh ayah biologis, sedangkan yang menjadi obyek bahasan

dari penelitian penulis adalah tawki@l wali yang dilakukan oleh ayah kandung

yang sah secara hukum untuk menjadi wali nikah.20

19Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya: Fakultas

Syari’ah, 2014), 8.

20Mockhammat Sholikin, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tauki@l Wali Nikah Anak di Luar

(21)

11

Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kasus

Tauki@l Wali Nikah Via Telepon di KUA Kecamatan Rembang Kabupaten

Rembang Jawa Tengah” yang ditulis oleh Af’idatul Aliyah. Skripsi ini

membahas mengenai kebolehan untuk melakukan tawki@l wali nikah melalui

telepon di KUA Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang. Hal ini

dikarenakan oleh keberadaan wali nikah yang bertempat tinggal jauh dan

sulit dijangkau, dan juga terdapat masalah keluarga yang memicu wali nikah

sengaja tidak hadir di majelis akad nikah. Pada analisis ini, yang menjadi

objek pembahasan adalah hukum dari melakukan tawki@l wali nikah melalui

telepon yang dilakukan oleh ayah kandung calon pengantin perempuan

dikarenakan keberadaan ayah tersebut bertempat tinggal jauh dan sulit

dijangkau. Sedangkan yang menjadi obyek pembahasan dari penelitian

penulis adalah tawki@l wali nikah yang dilakukan oleh karena ayah kandung

calon pengantin perempuan tidak mempunyai kecakapan untuk menikahkan

anaknya.21

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, tujuan

dari penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui dasar hukum penolakan tawki@l wali bagi pengantin

yang hamil pra-nikah.

21Af’idatul Aliyah, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kasus Tauki@l Wali Nikah Via Telepon di

(22)

12

2. Untuk mengetahui analisis yuridis terhadap praktik penolakan tawki@l

wali bagi pengantin yang hamil pra-nikah.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan, haruslah mempunyai kegunaan dari

diadakannya penelitian tersebut. Sehingga mampu memberikan pengetahuan

baru bagi masyarakat tentang masalah yang diteliti dalam penelitian ini.

Kegunaan penelitian ini dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi teoritis dan

segi praktis. Oleh karenanya, penulis berharap agar hasil penelitian ini

memberikan manfaat kepada masyarakat yakni:

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat di bangku

perkuliahan dengan menerapkannya dengan praktik langsung di

lapangan.

b. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan bagi peneliti.

c. Dapat dijadikan pedoman atau landasan sebagai wacana hukum

tentang hukum mengenai praktik tawki@l wali dalam sebuah

pernikahan.

2. Manfaat Praktis

a. Untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam hukum islam.

b. Untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai alasan

(23)

13

c. Menambah literatur informasi bagi peneliti-peleniti yang lain dalam

membuat karya ilmiah.

G. Definisi Operasional

Untuk memperjelas mengenai judul penelitian yang ditulis, agar di

kemudian hari tidak ada kesalahpahaman jika penelitian ini digunakan

sebagai rujukan atau literatur dalam pembuatan karya ilmiah, maka di sini

penulis akan memberikan penjelasan secara tegas dan jelas mengenai judul

penelitian : “Analisis Hukum Islam Terhadap Penolakan Tawki@l Wali Oleh

Penghulu Sebab Pengantin Hamil Pra-Nikah di Kua Kecamatan Sukodono”

dengan beberapa kata kunci yang digunakan sebagai definisi operasional:

Yuridis : Segala hal yang memiliki arti hukum dan sudah

disahkan oleh pemerintah. Peraturan yang dimaksud

dalam analisis ini adalah Kompilasi Hukum Islam,

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan

Menteri Agam No 11 Tahun 2007, Peraturan Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor

PER/62/M.PAN/2005. Undang-Undang No. 5 Tahun

2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.

Tawki@l Wali : Seseorang yang mewakilkan hak untuk menjadi wali

nikah kepada orang lain. Dalam penelitian ini, yang

ditunjuk untuk menjadi wakil adalah Penghulu KUA

(24)

14

Hamil Pra-Nikah : Suatu kehamilan yang dialami seorang wanita yang

belum terikat pernikahan yang sah.

H. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu upaya untuk mencari hal-hal yang baru,

kemudian memecahkannya dengan mencari jawaban atas permasalahan yang

belum diketahui, bisa jadi penelitian ini merupakan jalan baru untuk

menemukan sesuatu yang baru.22 Sedangkan metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan

kegunaan tertentu.23

Penelitian kali ini penulis akan menggunakan metode penelitian

deskriptif. Yakni suatu penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu

gejala atau permasalahan yang terjadi pada saat sekarang. Penelitian

deskriptif ini memusatkan perhatian pada suatu permasalahan aktual yang

sedang terjadi pada saat penelitian berlangsung.24 Yang mana penelitian ini akan dilaksanakan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukodono

Kabupaten Sidoarjo.

Dalam pembahasan yang akan dilakukan oleh peneliti, patut kiranya

memaparkan langkah-langkah yang akan dilakukan guna memperoleh hasil

yang sesuai, yakni:

22 Mukayat D. Brotowidjoyo, Metodologi Penelitian dan Penulisan Karangan Ilmiah,

(Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1992), 2.

23 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2012), 2. 24 Juliansyah Noor, Metode Penelitian Skripsi, Tesis, Desertasi, dan Karya Ilmiah, (Jakarta:

(25)

15

1. Data Dikumpulkan

Teknik pengumpulan data merupakan cara untuk mengumpulkan

data yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian.25 Karena tanpa adanya langkah pengumpulan data, maka penelitian

tersebut tidak akan membuahkan hasil.

Terkait dengan rumusan masalah yang telah tersebut di atas,

maka data yang dapat dikumpulkan untuk penelitian ini adalah:

a. Data tentang pendaftaran pernikahan hamil di Kantor Urusan

Agama Kecamatan Sukodono.

b. Data mengenai alasan penolakan tawki@l wali yang dilakukan oleh

Penghulu KUA Kecamatan Sukodono.

2. Sumber Data

Dalam pengumpulan data, terdapat dua macam sumbar data yang

bisa digunakan, yakni:

a. Sumber Primer

Sumber Primer yakni sumber data yang langsung diperoleh

dan dikumpulkan oleh peneliti dari sumber pertamanya.26

1) Data pencatatan pernikahan di Kantor Kepala Urusan Agama

Kecamatan Sukodono.

2) Penghulu Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukodono

25 Ibid, 138.

(26)

16

b. Sumber Sekunder

Sumber Sekunder yakni sumber data yang diperoleh dari

penelusuran kepustakaan dan dokumen-dokumen yang telah ada dan

berkaitan dengan penelitian ini.27

1) Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang

Perkawinan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan).

2) Muhammad Zuhaily, Fiqh Muna>kahat.

3) Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam.

4) Ibnu Mas’ud; Zainal Abidin S, 2007, Fiqh Madzhab Syafi’i

(Edisi Lengkap) Buku 2.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang sesuai dengan penelitian ini, maka

peneliti menggunakan teknik pengumpulan data antara lain:

a. Dokumen

Pengumpulan data yang berikutnya yakni bersumber dari

dokumen. Sejumlah data yang diperlukan sangat memungkinkan

sudah tersedia dalam bentuk dokumentasi, baik itu dalam bentuk

surat, catatan harian, dan lain-lain. Secara detail, bahan dokumenter

terbagi dalam beberapa macam, yakni autobiografi, surat pribadi,

buku atau catatan harian, memorial, klipping, dokumen pemerintah

(27)

17

atau swasta, data di server dan flashdisk, dan data yang tersimpan di

website.28

Penghimpunan data ini dilakukan dengan cara mengkaji dan

menelaah dokumen yang berupa syarat dan rukun nikah. Juga

mengumpulkan data tentang pencatatan nikah. Hal ini dimaksudkan

untuk mengkaji lebih lanjut mengenai alasan dari penolakan tawki@l

wali oleh Penghulu KUA Kecamatan Sukodono.

b. Wawancara

Teknik ini sangat efektif digunakan dalam penelitian.

Karena dengan wawancara, kita akan mengetahui secara mendalam

mengenai permasalahan yang terjadi. Teknik wawancara akan lebih

dapat diandalkan bila pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan

telah dibuat sebelumnya.29 Dalam pelaksanaan wawancara ini, yang menjadi subyek penelitian adalah Penghulu KUA Kecamatan

Sukodono.

4. Teknik Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, maka proses selanjutnya yakni

pengolahan data dengan menggunakan teknik sebagai berikut:

a. Editing. Data yang diperoleh harus dicermati dan diperiksa kembali.

Sehingga terdapat kesesuaian antara data yang satu dengan yang

lain. Serta akan menghasilkan data yang sesuai dengan pembahasan

yang terdapat dalam penelitian ini.

(28)

18

b. Organizing. Katika data sudah melalui tahap editing, langkah

selanjutnya yakni mengelompokkan data dengan menyusun secara

sistematis sesuai dengan kerangka paparan yang telah direncanakan

sebelumnya.

c. Analizing. Setelah data tersebut sudah melalui proses editing dan

organizing, maka data tersebut akan dianalisa sehingga akan

menghasilkan kesimpulan-kesimpulan tertentu.30 5. Teknik Analisis Data

Data yang telah diperoleh oleh peneliti tidak akan ada gunanya

jika tidak dianalisa. Analisa data merupakan bagian penting dalam

metode ilmiah, karena dengan analisalah data tersebut dapat menjadi

berarti, sehingga dapat digunakan sebagai pedoman untuk memecahkan

suatu penelitian. Data yang telah terkumpul selanjutnya akan

dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yang akan memudahkan

peneliti untuk menganalisa, sehingga akan menjadikan data tersebut

mempunyai makna untuk menjawab masalah dalam penelitian dan

bermanfaat untuk menguji hipotesa.31

Data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini selanjutnya

akan dianalisa dengan menggunakan teknik deskriptif, yakni

menjabarkan data yang diperoleh dengan kata-kata yang mudah

dipahami. Tujuan dari penelitian deskriptif ini yakni untuk membuat

pencandraan (deskripsi) secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai

(29)

19

fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.32 Kemudian kata-kata tersebut dirangkai dengan menggunakan teori induktif.

Berfikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Suatu analisis

berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan berdasarkan

data tersebut, kemudian dicarikan data lagi secara berulang-ulang,

sehingga dapat disimpulkan apakah hipotesis tersebut diterima atau

ditolak berdasarkan data yang terkumpul, dan pada akhirnya hipotesis

tersebut berkembang menjadi teori.33

Secara teknis, penelitian ini menjelaskan kasus tentang

penolakan tawki@l wali yang dilakukan oleh Penghulu KUA Kecamatan

Sukodono. Kemudian dianalisa berdasarkan teori perundang-undangan

dan peraturan-peraturan yang berlaku. Sehingga akan menghasilkan

sebuah kesimpulan terhadap kasus penolakan tawki@l wali yang dilakukan

oleh Penghulu KUA Kecamatan Sukodono.

Dengan memasukkan teori-teori yang berkaitan dengan

pembahasan pernikahan dan kemudian dikaitkan dengan persoalan yang

ada, yakni penolakan tawki@l wali nikah sehingga kemudian akan

menghasilkan suatu kesimpulan dan jawaban mengenai latar belakang

terjadinya penolakan tawki@l wali oleh Penghulu KUA Kecamatan

Sukodono.

(30)

20

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian ini, maka

penulis mengorganisasikan dalam lima bab pembahasan, yang mencakup

sub-sub bab dengan sistematika sebagai berikut:

Bab pertama merupakan bab pendahuluan, pada bab pertama ini

terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan

masalah, tinjauan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi oprasional,

metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua merupakan landasan teori yang memaparkan tentang

perwalian secara umum dan tawki@l wali dalam Hukum Positif.

Bab ketiga membahas tentang hasil penelitian atau data penelitian di

lapangan meliputi berapa jumlah nikah hamil dan penolakan tawki@l wali dan

pihak-pihak yang terlibat dalam praktik penolakan tawki@l wali yang terjadi di

KUA Kecamatan Sukodono.

Bab keempat membahas tentang analisis yuridis terhadap penolakan

tawki@l wali oleh penghulu sebab hamil pra-nikah di KUA Kecamatan

Sukodono.

Bab kelima penutup dari semua pembahasan skripsi dari hasil

lapangan dan juga saran yang diberikan kepada pihak-pihak yang terkait

(31)

BAB II

PERWALIAN DAN TAWKI@L WALI NIKAH DALAM

PERNIKAHAN

A. Perwalian dalam Pernikahan

1. Pengertian Perwalian

Perwalian berasal dari kata Wali, yang mempunyai arti kata

orang lain selaku pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan

mewakili anak yang belum dewasa atau belum akil balig dalam

melakukan perbuatan hukum.1 Perwalian dalam istilah bahasa adalah

wali yang berarti menolong yang mencintainya.2 Perwalian dapat

diartikan sebagai orang tua pengganti terhadap anak yang belum cakap

dalam melakukan suatu perbuatan hukum. Kata wali dalam bahasa arab

berasal dari kata –kata wilayah (kata benda) kata kerjanya waliya yang

artinya berkuasa.3

Perwalian dalam istilah fiqh disebut wilayah, yang berarti

penguasaan dan perlindungan. Dengan demikian, arti dari perwalian

menurut fiqh ialah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada

1 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum

Islam, dan Hukum Adat Edisi Revisi, (JAKARTA: Sinar Grafika, 2002), 55.

2 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwiir, (Yogyakarta: Pondok Pesantren

al-Munawwir, 1984), 1960.

3 Lili Rasyjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: PT.

(32)

22

seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang. Orang

yang diberi kekuasan untuk menguasai orang atau barang disebut wali.4

Sedangkan di dalam Hukum Perdata, Perwalian selalu dipandang

sebagai suatu pengurusan terhadap harta kekayaan dan pengawasan

terhadap pribadi seorang anak yang belum dewasa.5

Perwalian juga memiliki pengertian lain, untuk lebih jelasnya

maka penulis akan memaparkan beberapa pengertian perwalian, antara

lain:

a) Amin Suma mengatakan dalam bukunya yang berjudul “Hukum

Keluarga Islam di Dunia Islam”. Perwalian adalah kekuasaan atau

otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara langsung melakukan

suatu tindakan sendiri tanpa harus bergantung (terikat) atas ijin

orang lain.6

b) Sayyid Sabiq mengatakan, Wali adalah suatu ketentuan hukum

yang dapat dipaksakan pada orang lain sesuai dengan bidang

hukumnya. Selanjutnya menurut beliau, wali ada yang khusus dan

ada yang umum, yang khusus adalah yang berkaitan dengan

manusia dan harta bendanya.7

4 Soemiyati, Hukum Perkawinan dan Undang-undang Perkawinan (Undang-undang No. 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan), (Yogyakarta: Liberty, 1986), 41.

5 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional Cet. Pertama, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), 206.

6 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Isla,m, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2005), 134.

(33)

23

c) Menurut Dedi Junaedi, Perwalian dalam Islam dibagi kedalam dua

kategori yaitu: Perwalian umum, biasanya mencakup kepentingan

bersamaa (Bangsa atau rakyat) seperti waliyul amri (dalam arti

Gubernur) dan sebagainya. Sedangkan Perwalian khusus adalah

perwalian terhadap jiwa dan harta seseorang, seperti terhadap anak

yatim.8 Perwalian khusus meliputi perwalian terhadap diri pribadi

anak tersebut dan perwalian terhadap harta bendanya.

d) Menurut Ali Afandi, Perwalian ialah pengawasan pribadi dan

pengurusan terhadap harta kekayaan seorang anak yang belum

dewasa jika anak itu tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.

Jadi dengan demikian anak yang orang tuanya telah bercerai atau

salah satu dari mereka atau semuanya meninggal dunia, ia berada di

bawah perwalian.9

e) Menurut kamus besar bahasa Indonesia, perwalian berasal dari kata

“per” berarti satu. Sedangkan “wali” berarti orang yang menurut

hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta

hartanya, sebelum anak itu dewasa.10

8 Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan Cetakan Pertama, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2000),

104.

9 Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997),

156.

(34)

24

Dengan demikian, pada intinya perwalian adalah pengawasan

atas orang atau barang sebagaimana diatur dalam undang-undang, dan

pengelolaan barang-barang dari anak yang belum dewasa ( pupil ).11

2. Dasar Hukum Perwalian

Ketentuan mengenai Perwalian sejatinya telah dijelaskan dalam

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Penjelasan

tersebut terdapat pada pasal 50 sampai dengan pasal 54. Ketentuan

tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 50 ayat (1). Anak yang belum mencapai umur 18 tahun

atau belum pernah melangsungkan perkawinan, tidak berada di bawah

kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Ayat (2).

Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta

bendanya.

Pasal 51 ayat (1). Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang

menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal dengan surat

wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 orang saksi. Ayat (2). Wali

sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain

yang sudah dewasa, berpikir sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik.

Ayat (3). Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan

harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama anak dan

11 Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata jilid 1, (I.S. Adkwimarta), (Jakarta: Rajawali Press,

(35)

25

kepercayaan anak itu. Ayat (4). Wali wajib membuat daftar harta benda

anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai

jabatannya, dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak

atau anak-anak itu. Ayat (5). Wali bertanggungjawab tentang harta

benda anak yang berada di bawah perwalian serta kerugian yang

ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.

Pasal 52. Terhadap wali juga berlaku pasal 48 undang-undang ini

(UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan).

Pasal 53 ayat (1). Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam

hal-hal yang tersebut dalam pasal 49 Undang-undang ini. Ayat (2).

Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana maksud pada

ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagi wali.

3. Macam-macam Perwalian

Kitab undang-undang hukum perdata (B.W) membagi ke dalam

tiga jenis perwalian:12

a) Perwalian menurut undang-undang.

Jika salah satu orang tua meninggal, maka perwalian demi hukum

dilakukan oleh orang tua yang masih hidup terhadap anak kawin

yang belum dewasa, yakni yang sesuai dalam pasal 345.

(36)

26

b) Perwalian dengan wasiat.

Menurut pasal 355 ditentukan bahwa setiap orang tua yang

melakukan kekuasaan orang tua, atau perwalian, berhak

mengangkat seorang wali bagi anaknya, jika perwalian itu berakhir

pada waktu ia meninggal dunia atau berakhir dengan penetapan

Hakim. Perwalian yang demikian dapat dilakukan dengan surat

wasiat atau dengan akta notaris.

c) Perwalian datif.

Perwalian datif yaitu apabila tidak ada wali menurut

undang-undang atau wali dengan wasiat, oleh Hakim ditetapkan seorang

wali. Yakni pengangkatan wali dilakukan langsung oleh Hakim

dikarenakan tidak ada wali yang sesuai dengan ketentuan

undang-undang dan tidak ditemukan surat wasiat mengenai penunjukan

wali. Sesuai dengan ketentuan pasal 359.

Sedangkan perwalian di dalam pernikahan, perwalian dibagi dua

macam, pertama yakni wali ijba>r dan kedua yakni wali ikhtiyar.13

Keduanya masing-masing memiliki konsekwensi hukum dalam

pernikahan.

13 Muhammad Zuhaili, Fiqih Muna@kah{a@t, (Mohammad Kholison), (Surabaya: CV. Imtiyaz, 2010),

(37)

27

a) Perwalian Ijba>r

Perwalian Ijba>r atau yang bisa disebut dengan wali mujbir

(memaksa). Maksud dari memaksa di sini ialah yang berhak untuk

Wali Nikah anak perempuan tersebut.14 Perwalian ini hanya berlaku

terhadap ayah, kakek atau ayahnya ayah. Tidak ditetapkan wali

ijba>r selain untuk dua orang tersebut. Perwalian ijba>r ini hanya

berlaku terhadap pernikahan anak perempuan yang masih gadis,

baik anak perempuan tersebut sudah dewasa maupun masih di

bawah umur, berakal maupun gila. Wali mujbir berhak untuk

menikahnkan anak perempuannya tanpa meminta ijin dan

kerelaannya terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan bahwasannya wali

mujbir dianggap lebih mengetahui segala hal mengenai anak

perempuannya dengan sangat baik, juga mengetahui apa yang

terbaik untuk anaknya. Disamping itu, anak perempuan tersebut

belum berpengalaman dalam urusan pernikahan, dan sifat pemalu

yang mendominasi dirinya.

Penjelasan tersebut di atas sesuai dengan Hadith Nabi SAW.

yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a:

َلْوُسَر َنَأ ُهَْع ُها َيِضَر ساَبَع ِنْبا ْنَع

َُِّأا َلاَق َمَلَسَو ِهْيَلَع ها ىَلَص ها

ْنِم اَاِهْسَ ِب ب َقَا

ُت ُرْكِبْلاَو اَاِ يِلَو

َو اَاِهْسَ ِب ُرَمْأَتْه

اَاُ تاَمُص اَاُ نْذِإ

(

دواد يا اور

)

15

14 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama

dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika. 1995), 2.

(38)

28

Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a. Bahwasannya Rasulullah SAW. bersabda: “Janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, dan kepada gadis perawan dimintai persetujuannya, dan persetujuannya adalah diam”. (H.R. Abi Da>wud).

Hadith tersebut menjelaskan bahwasannya anak perempuan

yang masih gadis, walinya lebih berhak atas dirinya daripada dirinya

sendiri. Dan ketika diminta ijin untuk dinikahkan, diamnya anak

gadis merupakan tanda persetujuan darinya. Tetapi dalam hadith

yang lain, kata al-ayim diartikan sebagai wanita janda, atau yang

sudah tidak perawan lagi.16

Pelaksanan perwalian mujbir terdapat beberapa syarat yang

menjadikan sahnya perwalian:

1) Hendaknya antara ayah, kakek dan anak perempuan yang

hendak dinikahkan tidak terdapat persengketaan diantara

meraka yang mencolok.

2) Hendaknya anak perempuan tersebut dinikahkan dengan

pasangan yang selevel (kufu’).

3) Hendaknya anak perempuannya dinikahkan bersama dengan

mahar mithil-nya.

4) Hendaknya calon pengantin laki-laki tidak kesulitan dalam

menyediakan mahar mithil.

(39)

29

5) Hendaknya wali mujbir tidak menikahkan dengan laki-laki yang

tidak layak untuk anak perempuannya (laki-laki yang tidak bisa

berinteraksi dengan baik), misalnya; laki-laki buta atau laki-laki

jompo.

b) Perwalian Ikhtiyar

Perwalian Ikhtiyar merupakan perwalian yang berlaku pada

pernikahan perempuan yang telah dewasa (baligh), yang telah hilang

keperawanannya sebab coitus halal atau coitus haram (zina). Dalam

pernikahan perempuan janda, disyaratkan untuk terlebih dahulu

meminta ijin dan kerelaannya. Sebagaimana yang termaktub dalam

hadith Nabi SAW yang berbunyi:

َلْوُسَر َنَأ ُهَْع ُها َيِضَر ساَبَع ِنْبا ْنَع

َأا َلاَق َمَلَسَو ِهْيَلَع ها ىَلَص ها

ُِّ

ْنِم اَاِهْسَ ِب ب َقَا

ُت ُرْكِبْلاَو اَاِ يِلَو

اَاُ تاَمُص اَاُ نْذِإَو اَاِهْسَ ِب ُرَمْأَتْه

(

دواد يا اور

)

17

Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a. Bahwasannya Rasulullah SAW. bersabda: “Janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, dan kepada gadis perawan dimintai persetujuannya, dan persetujuannya adalah diam”. (H.R. Abi Da>wud).

Hadith tersebut dengan jelas menyatakan bahwa meminta

persetujuan dan kerelaannya merupakan suatu keharusan.

Dikarenakan bahwa perempuan janda tersebut sudah mengetahui

tujuan daripada pernikahan. Maka, dalam setuju atau tidaknya

menikah, tidak ada unsur paksaan yang mempengaruhi

(40)

30

keputusannya. Dia boleh memilih calon pendamping hidupnya

sendiri dan menentukan pilihannya. Apabila ijin seorang gadis

adalah diamnya, maka ijin dari seorang janda adalah ucapannya.

Dengan demikian, apabila seorang janda dinikahkan dengan tanpa

ada ijin dan kerelaan darinya, maka pernikahan tersebut tidak sah.

Hal ini sesuai dengan hadith Nabi Muhammad SAW. yang

diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a.:

ِب َةَيِراَج َنَأ ُهَْع ُها َيِضَر ساَبَع ِنْبا ْنَع

َنَا ُهَل ْتَرَكَذَف َمَلَسَو ِهْيَلَع ها ىَلَص ها َلوُسَر ْتَتَا اًرْك

َوَز اَاَبَا

مَلَسَو ِهْيَلَع ها ىَلَص ً ها ُلْوُسَر اََرَ يَخَف ًةَِراَك َيَِو اَاَج

(

نبإو دواد وباو دما اور

هجام

)

18

Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a. Bahwa Jariyah, seorang gadis telah

menghadap Rasulullah SAW. ia mengatakan bahwa ayahnya telah menikahkannya, sedang ia tidak menyukainya. Maka Rasulullah menyuruhnya memilih.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majjah).

Tidak ada seorang pun yang boleh menikahkan janda yang

masih kecil sebelum ia dewasa (baligh). Baik ia telah melakukan

coitus maupun belum. Sebab tidak berlaku paksaan untuk menikah

baginya, dan tidak ada I’tibar untuk meminta ijinnya. Hal ini

dikarenakan bahwa dia masih kecil, dan dia pernah menikah

walaupun masih kecil. Sehingga dia ditetapkan sebagai wanita yang

gagal dalam pernikahan. Sehingga dengan demikian hendaknya

menunggu sampai dia telah dewasa.

(41)

31

4. Syarat dan Orang yang Boleh Menjadi Wali

Mengenai siapakah yang dapat ditetapkan sebagai wali, dalam

Kitab Undang-undang Hukum Perdata telah merinci sebagai berikut:

1. Pasal 332, tiap orang wajib menerima penetapan sebagai wali,

kecuali beberapa orang yang boleh mengajukan keberatan, yaitu

yang terdapat dalam pasal 332a yang menjelaskan bahwa seorang

yang diangkat menjadi wali oleh salah satu dari kedua orang tua;

seorang perempuan yang bersuami. Keberatan ini harus dinyatakan

di kepaniteraan Pengadilan Negeri.

2. Pasal 347, orang yang berada di luar negeri dengan tugas

Pemerintah, anggota-anggota Ketentaraan dan Angkatan Laut.

3. Pasal 379, pasal ini membahas mengenai orang yang sama sekali

tidak boleh menjadi wali, yakni:

a) Pejabat-pejabat Pengadilan

b) Orang yang sakit ingatan

c) Orang yang belum dewasa

d) Orang yang di bawah pengampuan

e) Orang yang dipecat kekuasaannya sebagai orang tua atau

perwalian

f) Para anggota pimpinan Balai Harta Peninggalan

4. Pasal 335, tiap wali sebagai jaminan atas pengurusan, harta

(42)

32

mulai berjalan, harus mengadakan tanggungan yang berupa ikatan

tanggungan (borg), hipotik atau gadai.

5. Pasal 386, wali harus mengadakan daftar perincian dari barang

kekayaan si anak, di dalam waktu 10 hari setelah perwaliannya

mulai berjalan, yang harus dihadiri oleh wali pengawas (Balai Harta

Peninggalan).

6. Pasal 389, wali harus menjual semua perabot rumah tangga, dan

barang bergerak lainnya yang tidak memberikan hasil, yang jatuh

kepada si anak. Penjualan ini harus dilakukan di depan umum.

7. Pasal 390, keharusan menjual tadi tidak berlaku jika perwalian itu

dilakukan oleh si ayah atau si ibu yang berhak atas hak petik hasil

harta kekayaan si anak, untuk kemudian memberikan barang itu

kepada si anak.

8. Pasal 396, wali untuk kepentingan si anak tidak boleh meminjam

uang, menjual atau menggadaikan barang tak bergerak dari si anak,

dan tidak boleh juga ia menjual surat berharga dan piutang, kalau

tidak dengan ijin Pengadilan.

9. Pasal 395, di dalam penjualan barang tak bergerak itu diijinkan oleh

Pengadilan maka pengjualan itu harus dilakukan di depan umum.

10.Pasal 400, wali tidak boleh menyewa atau mengambil dalam hak

usaha (pacht) barang-barang si anak untuk kepentingan sendiri

(43)

33

11.Pasal 401, wali tidak boleh menerima warisan yang jatuh pada si

anak, kecuali dengan hak istimewa akan pendaftaran harta

peninggalan. Wali tidak boleh menolak warisan tanpa ijin

{Pengadilan.

12.Pasal 402, penerimaan hibah juga dengan ijin Pengadilan.

13.Pasal 403, di dalam soal gugat menggugat untuk si anak, wali harus

meminta kuasa lebih dahulu dari Balai Harta Peninggalan.

14.Pasal 404, jika si anak digugat, maka wali tanpa kuasa Balai Harta

Peninggalan tidak boleh menerima putusan (yang membenarkan

gugatan) yang dijatuhkan oleh Pengadilan.

15.Pasal 372, wali (kecuali ayah dan ibu yang melakukan perwalian)

tiap tahun harus membuat pertanggung-jawaban singkat tentang

pengurusannya kepada wali pengawas (Balai Harta Peninggalan).

16.Pasal 409, pada ahkir perwalian, wali harus memberi perhitungan

tanggung jawab penutup dari pengurus harta kekayaan si anak.

17.Pasal 411, kecuali jika perwalian dilakukan seorang ayah atau ibu,

dan kawan wali, wali dapat memperhitungkan upah. Upah tersebut

besarnya:

3% dari segala pendapatan.

(44)

34

1½% dari uang modal yang ia terima selaku pengurus dari harta

kekayaan si anak.19

Pembahasan mengenai perwalian dalam pernikahan, para Ulama’

sepakat bahwasannya orang-orang yang akan menjadi wali ialah:20

1. Orang mukallaf/baligh. Karena orang yang mukallaf adalah orang

yang dibebani hukum dan dapat mempertanggungjawabkan

perbuatannya.

2. Muslim. Apabila yang menikah adalah orang muslim, maka

disyaratkan walinya juga seorang muslim.

3. Berakal sehat. Hanya orang yang berakal sehatlah yang dapat

dibebani hukum dan dapat mempertanggungjawabkan

perbuatannya.

4. Laki-laki.

5. Adil.

Tidak semua orang yang termasuk dalam syarat dibolehkannya

menjadi wali, dapat bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan.

Terdapat ketentuan mengenai siapa yang boleh bertindak sebagai wali.

Para Ulama’ berpendapat mengenai siapa yang dibolehkan untuk

menjadi wali, nikah yaitu:

1. Ayah, kakek, dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki.

19 Ibid. 158-160

(45)

35

2. Saudara laki-laki kandung dan seayah.

3. Kemenakan laki-laki sekandung dan seayah.

4. Paman sekandung dan seayah.

5. Saudara sepupu laki-laki sekandung atau seayah.

6. Sultan (penguasa) sebagai wali hakim.

7. Wali yang diangkat oleh mempelai perempuan.

Dengan demikian, hanya orang-orang tertentu saja yang

dibolehkan untuk bertindak sebagai wali nikah. Dari macam-macam

wali yang telah disebutkan di atas, dapat kita bedakan adanya tiga

macam wali nikah, yaitu:

1. Wali nasab atau kerabat.

2. Wali penguasa (sultan) atau wali hakim.

3. Wali yang diangkat oleh mempelai perempuan atau Muhakam. 21

5. Faktor Terjadinya Perwalian

Faktor yang membuat seorang anak harus berada dalam

perwalian antara lain adalah karena anak tersebut masih berumur di

bawah 18 tahun. Di samping itu, dalam Undang-undang Perkawinan

disebutkan juga bahwa anak yang belum pernah melangsungkan

pernikahan kedudukannya berada di bawah kekuasaan orang tua atau

wali.

(46)

36

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dalam pasal 49 menyatakan,

bahwa kekuasaan orang tua terhadap seorang anak atau lebih dapat

dicabut untuk jangka waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain

atau keluarga si anak dalam garis lurus ke atas, saudara kandung yang

telah dewasa, atau pejabat yang berwenang.22

Faktor lain yang menyebabkan seorang anak berada dalam

penguasaan dan perlindungan ialah:23

1. Pemilikan atas barang atau orang, seperti perwalian atas budak yang

dimiliki atau barang-barang yang dimiliki.

2. Hubungan kerabat atau keturunan, seperti perwalian seseorang atas

salah seorang kerabatnya atau anak-anaknya.

3. Karena memerdekakan budak, seperti perwalian seseorang atas

budak-budak yang telah dimerdekakannya.

4. Karena pengangkatan, seperti perwalian seseorang kepala Negara

atas rakyatnya atau perwalian seorang pemimpin atas orang-orang

yang dipimpinnya.

Oleh sebab itu, dalam garis besarnya perwalian itu dapat dibagi

dalam tiga macam perwalian:

1. Perwalian atas orang.

2. Perwalian atas barang.

22 K. Wantijk Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), 35.

(47)

37

3. Perwalian atas orang dalam pernikahannya.

6. Pengangkatan dan Berakhirnya Perwalian

Pasal 331b Kitab Undang-undang Hukum Perdata menjelaskan

bahwasannya apabila anak-anak yang berada di bawah perwalian,

diangkat seorang wali lain atau karena hukum orang lain menjadi wali,

maka berakhirlah perwalian pertama pada saat perwalian yang kedua

mulai berlaku, kecuali hakim menentukan lain24. Perwalian berakhir

ketika:

1. Jika mereka yang belum dewasa setelah berada di bawah suatu

perwalian dipulangkan kembali di bawah kekuasaan orang tua, pada

saat penetapan untuk keperluan itu diberutahukan kepada si wali.

2. Jika mereka yang belum dewasa, setelah berada di bawah suatu

perwalian, dipulangkan kembali di bawah kekuasaan orang tua

menurut Pasal 206b atau 232b, pada saat berlangsungnya

perkawinan.

3. Jika anak-anak belum dewasa luar kawin dan telah diakui menurut

undang-undang, disahkan pada saat berlangsungnya perkawinan

yang mengakibatkan absahnya anak-anak itu, atau saat pemberian

surat-surat pengesahan.

(48)

38

4. Jika dalam hal teratur dalam Pasal 453, orang yang berada di bawah

pengampuan, memperoleh kembali kekuasaan orang tuanya, pada

saat pengampuan itu berakhir.

Pakar Hukum Waris dan Hukum Keluarga, Ali Afandi

mengatakan bahwa perwalian berakhir ketika:25

1. Jika anak yang berada di bawah perwalian telah dewasa.

2. Jika anak yang berada di bawah perwalian meninggal dunia.

3. Jika wali meninggal dunia atau dibebaskan atau dipecat dari

perwalian.

B. Hukum Nikah Hamil Menurut Ulama’ Madhhab

Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum nikah hamil.

Pendapat tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga pendapat:

1. Pendapat pertama menurut para ulama’ madhhab Shafi’i@. Hukum dari

nikah hamil adalah boleh. Baik dengan laki-laki yang menghamilinya

maupun dengan laki-laki yang tidak mengahamilinya. Asalkan bahwa

perepmpuan yang akan dinikahi tersebut tidak mempunyai suami. Hanya

saja, menyetubuhinya dalam keadaan hamil hukumnya makruh.26

2. Menurut madhhab H{anafi. Hukum dari nikah hamil adalah boleh. Baik

yang menikahi adalah laki yang menghamili maupun dengan

laki-laki yang tidak menghamilinya. Apabila yang menikahi adalah laki-laki-laki-laki

yang menghamilinya, maka anak yang berada dalam kandungan tersebut

25 Ali Afandi, Hukum Waris…, 160.

26 Yahya Abdurrahman al-Khatib, Fikih Wanita Hamil, (Mujahidin Muhayan), (Jakarta: Qisthi

(49)

39

lahir setelah enam bulan dari pernikahan, maka anak tersebut adalah

anaknya. Apabila anak tersebut dilahirkan kurang dari enam bulan

setelah pernikahan, maka dia bukan anaknya dan tidak mendapatkan

warisan.27

3. Menurut madhhab Maliki dan H{anbali, perempuan yang tengah dalam

keadaan hamil tidak boleh dinikahi. Menurut para ulama’ madhhab

Malikiyah{, perempuan tersebut harus membebaskan rahimnya dengan

tiga kali haid, atau dengan berlalunya waktu tiga bulan. Sedangkan

menurut ulama’ madhhab Hanbali, perempuan tersebut harus

membebaskan rahimnya dengan tiga kali haid.28

C. Tawki@l Wali Nikah

1. Tawki@l Wali dalam Hukum Islam

a) Pengertian Tawki@l Wali

Kata tawki@l berbentuk mas}dar, berasal dari kata

wakkala-yuwakkilu-tawki@lan yang berarti penyerahan atau pelimpahan.29

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tawki@l atau pelimpahan

kekuasaan adalah bermakna proses, cara, perbuatan melimpahkan

(memindahkan) hak wewenang.30

27 Ibid.

28 Ibid, 72.

29 Ahmad Warson Munawwir, Kamus…, 1579.

30

(50)

40

Sedangkan kata al-waka>lah atau al-wika>lah adalah

perwakilan. Yang menurut bahasa berarti h}ifz}, kifa>yah,

al-d{aman dan al-tafwi@d yang berarti penyerahan, pendelegasian dan

pemberian mandat.31 Dalam segi makna etimologi, keduanya tidak

memiliki perbedaan, karena keduanya berasal dari kata yang sama.

Adapun pengertian tawki@l atau waka>lah menurut perspektif

dari beberapa madhhab adalah sebagai berikut:32

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa waka>lah adalah

seseorang menempati diri orang lain dalam hal tas}arruf

(pengelolaan).

Ulama Malikiyah mengatakan, al-waka>lah adalah seseorang

menggantikan (menempati) tempat orang lain dalam hak dan

kewajiban, kemudian dia mengelola pada posisi itu.

Ulama Hanabilah mengatakan, al-waka>lah adalah

permintaan ganti seseorang yang memperbolehkan adanya tas}arruf

yang seimbang pada pihak lain, yang di dalamnya terdapat

penggantian dari hak-hak Allah SWT dan hak-hak manusia.

Sedangkan menurut Ulama Syafi’iyah al-waka>lah berarti

sesorang yang menyerahkan urusannya kepada orang lain agar orang

31 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014), 231.

32

Abdul Rahman al-Juzayriy, Kita>b al-Fiqh ‘ala> Maz\a>hib al-Arba‘ahjuz III, (Mesir: Darul Hadis,

(51)

41

yang mewakilinya itu dapat melaksanakan sesuatu urusan yang

diserahkan kepadanya selama yang menyerahkan masih hidup.

Dari beberapa definisi berbagai ulama tersebut, dapat

disimpulkan bahwa al-waka>lah adalah penyerahan urusan seseorang

kepada orang lain (wakilnya) untuk melaksanakan suatu urusan,

kemudian wakil tersebut menempati posisi orang yang mewakilkan

(muwakkil) dalam hak dan kewajiban yang kemudian berlaku

selama muwakkil masih dalam keadaan hidup.

b) Dasar Hukum Tawki@l Wali

Tawki@l atau waka>lah merupakan perwakilan seseorang

untuk melakukan sesuatu atas nama orang yang mewakilkan. Dalam

al-Qur’a>n dijelaskan pada surat al-Nisa>’ ayat 35:



 

   



Artinya: “Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan

seorang hakam dari keluarga perempuan”33

Ayat tersebut menjelaskan apabila dalam sebuah keluarga

terdapat permasalahan yang mengakibatkan istri pergi dari rumah,

maka jalan keluar yang diberikan dalam ayat tersebut adalah

mengutus seseorang untuk mewakili kedua pihak yang bersengketa

untuk mencari jalan keluar dengan musyawarah.

(52)

42

Dalam hukum pernikahan Islam, dibolehkan adanya tawki@l

w

Gambar

  Tabel Tabel 1
  Gambar Gambar 1
Tabel 2 Batas Wilayah Kecamatan Sukodono
Tabel 3 Periode Pergantian Kepala KUA Kecamatan Sukodono
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hubungannya dengan sumber daya manusia, dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, perubahan kondisi lingkungan organisasi baik internal maupun eksternal secara

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapatnya perubahan yang signifikan terhadap variabel-variabel penelitian pada toko kelontong sebelum dan sesudah munculnya

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Dorongan atau motivasi perempuan pengrajin kue adee di Gampong Meuraxa Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya adalah kekurangan

Hara Shintaro (2000) mendapati bahawa dalam kalangan masyarakat Melayu di WSST, golongan pelajarnya dan orang dewasanya bekerja di syarikat atau badan kerajaan merupakan

Selain rambu yang harus diperhatikan adalah kelengkapan pengendara yaitu helm, apabila terjadi pelanggaran dalam arti melanggar rambu atau tidak memakai helm maka

16 Tahun 2013 Tentang Bantuan Hukum masih terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, yang menjadi kendala dalam pemberian bantuan hukum, faktor tersebut banyak