• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini merupakan bab yang membahas tentang Posisi Kasus yang berisikan sub bab . Kronologi Kasus, Fakta-Fakta Hukum serta Tuntutan Jaksa/

Dakwaan kemudian dilanjutkan dengan Analisis Terhadap Putusan Nomor 10/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Mdn.

BAB V : PENUTUP

Berisikan tentang kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan saran-saran yang mungkin berguna.

Tujuan dilakukannya pemidanaan di Indonesia sendiri belum pernah dirumuskan secara rinci. Selama ini wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut masih dalam tataran yang bersifat teoritis. Namun sebagai bahan kajian, Rancangan KUHP Nasional telah menetapkan tujuan pemidanaan pada Buku Kesatu Ketentuan Umum dala Bab II dengan judul Pemidanaan, Pidana dan Tindakan. Tujuan pemidanaan menurut Wirjono Prodjodikoro, yaitu:15

1. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (generals preventif) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventif), atau

2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan agar menjadi orang-orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

Tujuan pemidanaan itu sendiri diharapkan dapat menjadi sarana perlindungan masyarakat, rehabilitasi dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek psikologi untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan.

15 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1981), hal. 16.

Meskipun pidana merupakan suatu nestapa tetapi tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. P.A.F. Lamintang menyatakan bahwa pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri, untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatankejahatan, dan untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.

Mengacu pada tujuan pemidanaan di atas, melahirkan beberapa teori tentang tujuan pemidanaan. Beberapa teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan adalah sebagai berikut:

1. Teori Absolut / Retribusi

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang yang telah melakukan suatu tindak pidana atau kejahatan. Imamanuel Kant memandang pidana sebagai “Kategorische Imperatif” yakni seseorang harus dipidana oleh Hakim karena ia telah melakukan kejahatan sehingga pidana menunjukan suatu tuntutan keadilan. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolute ini terlihat pada pendapat Imamanuel Kant di dalam bukunya “Philosophy of Law” sebagai berikut:16

Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi sipelaku itu sendiri maupun bagi

16 Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005) hal. 127.

masyarakat tapi dalam semua hal harus dikenakan karena orang yang bersangkutan telah melakukan sesuatu kejahatan.

Mengenai teori pembalasan tersebut, Andi Hamzah juga memberikan pendapat sebagai berikut:17

“Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur dijatuhkan pidana. Pidana secara mutlak, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana”.

Artinya teori pembalasan tidak memikirkan bagaimana membina sipelaku kejahatan, padahal sipelaku kejahatan mempunyai hak untuk dibina dan untuk menjadi manusia yang berguna sesuai dengan harkat dan martabatnya.

2. Teori Tujuan / Relatif

Pada penganut teori ini memandang sebagaimana sesuatu yang dapat digunakan untuk mencapai pemanfaatan, baik yang berkaitan dengan orang yang bersalah maupun yang berkaitan dengan dunia luar, misalnya dengan mengisolasi dan memperbaiki penjahat atau mencegah penjahat potensial, akan menjadikan dunia tempat yang lebih baik.

Dasar pembenaran dari adanya pidana menurut teori ini terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena orang membuat kesalahan) melakukan ne peccetur (supaya orang jangan melakukan kejahatan),

17 Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 89.

maka cukup jelas bahwa teori tujuan ini berusaha mewujudkan ketertiban dalam masyarakat.18

Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa dibedakan menjadi dua istilah, yaitu:

a. Prevensi special (speciale preventie) atau Pencegahan Khusus

Bahwa pengaruh pidana ditunjukan terhadap terpidana, dimana prevensi khusus ini menekankan tujuan pidana agar terpidana tidak mengulangi perbuatannya lagi. Pidana berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki terpidana untuk menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, sesuai dengan harkat dan martabatnya.

b. Prevensi General (Generale Prevenie) atau Pencegahan Umum

Prevensi General menekankan bahwa tujuan pidana adalaha untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Pengaruh pidana ditunjukan terhadap masyarakat pada umumnya dengan maksud untuk menakut-nakuti. Artinya pencegahan kejahatan yang ingin dicapai oleh pidana adalah dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukuan tindak pidana.

Menurut Johan Andenaes terdapat tiga bentuk pengaruh dalam pengertiannya prevensi general yaitu:

a. Pengaruh pencegahan;

b. Pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral;

18 Muladi, Op.Cit, hal. 93.

c. Pengaruh untuk mendorong suatu kebiasaan pembuatan patuh pada hukum.

Sehubungan yang dikemukakan oleh Johan Andenaes, maka Van Veen berpendapat bahwa prevensi general mempunya tiga fungsi, yaitu: 19

a. Menegakan Kewibawaan;

b. Menegakan Norma;

c. Membentuk Norma;

3. Teori Gabungan

Teori gabungan adalah kombinasi dari teori relatif. Menurut teori gabungan, tujuan pidana selalu membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban dengan ketentuan beratnya pidana tidak boleh melampaui batas pembalasan yang adil.

Menurut Pellegrino Rossi dalam bukunya “Traite de Droit Penal” yang ditulis pada tahun 1828 menyatakan: „Sekalipun pembalasan sebagai asas dari pidana bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun pidana mempunya berbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general’. 20

Terhadap teori gabungan ini terdapat tiga aliran yang mempengaruhi, yaitu:21

a. Teori gabungan yang menitikberatkan unsur pembalasan, tetapi sifatnya yang berguna bagi masyarakat. Pompe menyebutkan dalam

19 Djisman Samosir, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, (Bandung: Bina Cipta, 1992), hal. 143.

20 Ibid.

21 Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 96 .

bukunya “Hand boek van het Ned.Strafrecht” bahwa pidana adalah suatu sanksi yang memiliki ciri- ciri tersendiri dari sanksi lain dan terikat dengan tujuan dengan sanksi-sanksi tersebut karenanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah- kaidah yang berguna bagi kepentingan umum.

b. Teori gabungan yang menitikberatkan pertahan tatatertib masyarakat.

Pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi tujuannya adalah melindungi kesejahteraan masyarakat.

c. Teori gabungan yang memandang sama pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat.

Begitu pula Roeslan Saleh mengemukakan, bahwa pidana hakekatnya terdapat dua poros yang menentukan garis-garis hukum pidana yaitu:22

a. Segi Prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan.

b. Segi Pembalasan, yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentu hukum, merupakan koreksi dan reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum.

Pada hakekatnya pidana selalu melindungi masyarakat dan pembalasan atas perbuatan tidak hukum. Selain itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai suatu yang akan membawa kerukunan serta sebagai suatu proses pendidikan untuk

22 Ibid, hal. 98.

menjadikan orang dapat diterima kembalidalam masyarakat. Jadi memang sudah seharusnyalah tujuan pidana adalah membentuk kesejahteraan negara dan masyarakat yang tidak bertentangan dengan norma kesusilaan dan perikamanusiaan sesuai dengan Pancasila.

4. Teori Integratif

Pemilihan teori integratif tentang tujuan pemidanaan ini didasarkan atyas alasan-alasan, baik yang bersifat sosiologis, ideologis, maupun yuridis. Alasan secara sosiologis dapat diruk pada pendapat yang dikemukakan oleh Stanley Group, bahwa kelayakan suatu teori pemidanaan tergantung pada anggapan-anggapan seseorang terhadap hakekat manusia, informasi yang diterima seseorang sebagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat, macam dan luas pengetahuan yang mungkin dicapai dan penilaian terhadap persyaratan-persyaratan untuk menerapkan teori-teori tertentu serta kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan untuk menemukan persyaratan-persyaratan tersebut.23

Alasan secara ideologis, dengan mengutip pendapat Notonagoro, menyatakan:24

Berdasarkan Pancasila, maka manusia ditempatkan pada keseluruhan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran untuk mengembangkan kodratnya sebagai mahluk pribadi dan sekaligus sosial.

Pancasial yang bulat dan utuh itu memberi keyakinan kepada rakyat dan bangsa Indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai apabila didasarkan atas keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia dengan alam, dalam

23 Marcus Priyo Gunarto, “Sikap Memidana yang Berorientasi Pada Tujuan Pemidanaan”, (Yogyakarta: Jurnal Hukum Universitas Gajah Mada, 2009), hal. 96.

24 Notonegoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 52.

hubungannya dengan bangsa lain, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun dalam mengejar kemajuan lahirlah dan kebahagiaan rohani.

Selanjutnya alasan yang bersifat yuridis Muladi menyetujui pendapat Herbert L. Packer sebagai berikut:

Hanya ada dua tujuan untama dari pemidanaan, yakni pengenaan penderitaan yang setimpal terhadap penjahat dan pencegahan kejahatan. Teori pemidanaan yang integratif mensyaratkan pendekatan yang integral tujuan-tujuan pemidanaan, berdasarkan pengakuan bahwa ketegangan- ketegangan yang terjadi diantara tujuan-tujuan pemidanaan tidak dapat dipecahkan secara menyeluruh.

Didasarkan atas pengakuan bahwa tidak satupun tujuan pemidanaan bersifat definitif, maka teori pemidanaan yang bersifat integratif ini meninjau tujuan pemidanaan tersebut dari segala perspektif. Pidana merupaka suatu kebutuhan, tetapi merupakan bentuk kontrol sosial yang diselesaikan, karena mengenakan penderitaan atas nama tujuan-tujuan yang pencapaiannya merupakan sesuatu kemungkinan.

Berdasarkan alasan-alasan sosiologis, ideologi dan yuridis diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut: dengan demikian, maka tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial (individual and social damages) yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri dari seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi, dengan catatan bahwa tujuan manakah yang merupakan titik berat sifatnya kasuitis.

Perangkat tujuan pemidanaan yang dimaksud diatas adalah:

a. Pencegahan (umum dan khusus);

b. Perlindungan Masyarakat;

c. Memelihara Solidaritas Masyarakat dan d. Pengimbalan/Pengimbangan.

B. Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

Tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diperbaharui dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut Undang-Undang PTPK). Secara umum bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang PTPK dapat dikelompokan sebagai berikut:

1. Tindak Pidana Korupsi dengan Memperkaya Diri Sendiri, Orang Lain, atau Suatu Korporasi (Pasal 2)

2. Tindak Pidana Korupsi dengan Menyalahgunakan Kewenangan, Kesempatan, Sarana Jabatan, atau Kedudukan (Pasal 3)

3. Tindak Pidana Korupsi Suap dengan Memberikan atau Menjanjikan Sesuatu (Pasal 5)

4. Tindak Pidana Korupsi Suap pada Hakim Dan Advokat (Pasal 6)

5. Korupsi dalam Hal Membuat Bangunan dan Menjual Bahan Bangunan dan Korupsi dalam Hal Menyerahkan Alat Keperluan TNI dan KNRI (Pasal 7) 6. Korupsi Pegawai Negeri Menggelapkan Uang dan Surat Berharga (Pasal 8) 7. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri Memalsu Buku-Buku dan

Daftar-Daftar (Pasal 9)

8. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri Merusakkan Barang, Akta, Surat, atau

Daftar (Pasal 10)

9. Korupsi Pegawai Negeri Menerima Hadiah atau Janji yang Berhubungan dengan Kewenangan Jabatan (Pasal 11)

10. Korupsi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara atau Hakim dan Advokat Menerima Hadiah atau Janji; Pegawai Negeri Memaksa Membayar, Memotong Pembayaran, Meminta Pekerjaan, Menggunakan Tanah Negara, dan Turut Serta dalam Pemborongan (Pasal 12)

11. Tindak Pidana Korupsi Suap Pegawai Negeri Menerima Gratifikasi (Pasal 12B)

12. Korupsi Suap pada Pegawai Negeri dengan Mengingat Kekuasaan Jabatan (Pasal 13)

Unsur kesengajaan dirumuskan dalam berbagai istilah, antara lain:

a. Dengan sengaja, merupakan perumusan kesengajaan yang secara jelas terlihat.

Hal ini dapat ditemukan dalam pasal-pasal KUHP, antara lain Pasal 187, 281, 304, 310, 333, 338, 354 dan 372 KUHP;

b. Yang diketahuinya, misalnya Pasal 204, 220, dan 419 KUHP. Terdapat juga dalam Pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU;

c. Sedang diketahuinya, terdapat dalam Pasal 110, 250, 275 KUHP;

d. Sudah tahu,misalnya pada Pasal 483 ke-2 KUHP;

e. Dapat mengetahui,terdapat dalam Pasal 164, 464 KUHP;

f. Telah dikenalnya, terdapat dalam Pasal 245 dan 247KUHP;

g. Telah diketahuinya, terdapat dalam Pasal 282 KUHP;

h. Bertentangan dengan pengetahuannya, terdapat pada Pasal 311 KUHP;

i. Dengan tujuan yang nyata, Terdapat dalam Pasal 310 KUHP;

j. Dengan maksud (pada dasarnya sama dengan tujuan), terdapat dalam Pasal 378 KUHP, atau bisa juga ditentukandari kata-kata kerja yang ada dalam rumusan tindak pidana tersebut.

Untuk melihat Mens Rea dalam Undang-Undang PTPK, Berikut ini diuraikan pasal 2, Pasal 3 dan Undang-Undang PTPK yaitu:

(1). Pasal 2 Undang-Undang PTPK.

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

(2). Pasal 3 Undang-Undang PTPK adalah sebagai berikut:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Niat jahat (mens rea) berupa kesengajaan di dalam Pasal 2 Undang-Undang PTPK di atas tidak buat secara jelas, namun dari kalimat “…secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi…”, maka bentuk kesengajaannya adalah termasuk “dengan maksud atau dengan tujuan”. Hal ini secara tersirat bahwa PMH itu dilakukan

dengan maksud atau dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

Sedangkan Pasal 3 Undang-Undang PTPK secara jelas dan tersurat mencantumkan kata-kata “dengan tujuan” menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Unsur subjektif yang melekat pada batin si pembuat me-nurut pasal 3 ini merupakan tujuan si pembuat dalam melakukan perbuatan menyalahgunakan kewenangan dan lain-lain tadi yakni untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

Unsur tujuan (doel) tidak berbeda artinya dengan maksud atau kesalahan sebagai maksud (opzet als oogmerk) atau kesengajaan dalam arti sempit seperti yang ada pada pemerasan, pengancaman, maupun penipuan (368, 369,378 KUHP).

Dengan demikian bentuk mens rea di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK ini adalah opzet als oogmerk atau kesengajaan sebagai maksud. Pada pasal 2 UU PTPK harus dibuktikan adanya hubungan kausalitas bahwa motif perbuatan melawan hukum tersebut bertujuan (dimaksudkan) untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Sedangkan pada Pasal 3 UU PTPK maka perlu dibuktikan hubungan kausalitas bahwa penyalahgunaan kewenangan atau kesempatan atau sarana karena kedudukan atau jabatan tersebut ditujukan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Moeljatno bahwa untuk menentukan sesuatu perbuatan yang dikehendaki oleh terdakwa maka konsekuensinya adalah: (1) harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai

dengan motifnya untuk berbuat dan bertujuan yang hendak dicapai; (2) antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal dalam batin terdakwa.25

Berikut ini unsur kesengajan yang terdapat dalam berbagai pasal tindak pidana korupsi, yaitu:26

1. Pasal 5 ayat (1) huruf (a) tentang tindak pidana korupsi penyuapan aktif, yaitu “Dengan maksud supaya pegawai negeri atau peyelenggara negara berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.”

2. Jenis tindak pidana korupsi penyuapan aktif atau memberi suap kepada hakim atau advokat. Pasal 6 ayat (1) huruf a , yaitu “Dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.” Pasal 6 ayat (1) huruf b, yaitu“Dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.”

3. Jenis tindak pidana korupsi memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri yang diatur dalam Pasal 13 “dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya”;

4. Unsur “diketahui atau patut diduga” terdapat dalam Pasal 11, Pasal 12 huruf a dan huruf b serta huruf c, Pasal 12 huruf h;

5. Unsur “dengan sengaja” terdapat dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, b, dan c, Pasal 12 huruf I.

25 Moeljatno (1994) . Loc. Cit.

26 Mahmud Mulyadi, Niat Jahat (Mens Rea) dalam Tindak Pidana Korupsi, (Medan:

Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2017), hal. 33.

Apabila dilihat dalam Putusan Nomor 10/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Mdn, pertanggungjawaban pidananya adalah secara person atau seseorang. Dalam putusan juga disebutkan mengenai syarat-syarat pemidanaan dimana terdakwa dinyatakan memenuhi syarat-syarat pemidanaan sehingga dijatuhi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, korupsi yaitu setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.27 Korupsi bisa dikategorikan menjadi 7 jenis yaitu, kerugian keuangan negara, penyuapan, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, kecurangan, benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, serta gratifikasi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, sesuai 30 pasal yang ada di dalamnya).

Dalam konteks kriminologi atau ilmu tentang kejahatan ada sembilan tipe korupsi yaitu:

1. Political bribery adalah termasuk kekuasaan di bidang legislatif sebagai badan pembentuk Undang-Undang. Secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berkaitan dengan

27 https://aclc.kpk.go.id/wp-content/uploads/2019/07/Modul-tindak-pidana-korupsi-aclc-KPK.pdf diakses pada 16 Desember 2020

aktivitas perusahaan tertentu. Para pengusaha berharap anggota yang duduk di parlemen dapat membuat aturan yang menguntungkan mereka.

2. Political kickbacks, yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak-pihak yang bersangkutan.

3. Election fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan pemilihan umum.

4. Corrupt campaign practice adalah praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas Negara maupun uang Negara oleh calon yang sedang memegang kekuasaan Negara.

5. Discretionary corruption yaitu korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam menentukan kebijakan.

6. Illegal corruption ialah korupsi yang dilakukan dengan mengacaukan bahasa hukum atau interpretasi hukum. Tipe korupsi ini rentan dilakukan oleh aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa, pengacara, maupun hakim.

7. Ideological corruption ialah perpaduan antara discretionary corruption dan illegal corruption yang dilakukan untuk tujuan kelompok.

8. Mercenary corruption yaitu menyalahgunakan kekuasaan semata-mata untuk kepentingan pribadi.

Korupsi berasal dari kata latin yaitu corruptio atau corruptu yang memiliki makna yang sangat luas. Dalam ensiklopedia Grote Winker Prins (1997), kata corruptio memiliki makna penyuapan.28 United State Agency for International Development (USAID) menjelaskan korupsi dalam dua model pengertian.

Pertama, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.

Kedua, korupsi adalah tindakan suap-menyuap untuk mempengaruhi kewenangan penyelenggara negara.29

Pengertian korupsi dalam Kamus Peristilahaan diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan diri dan merugikan negara dan rakyat.30

Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M.Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Kesimpulan ini diambil dari defenisi yang dikemukakan antara lain berbunyi:“financial manipulations and deliction injuriousto the economy are often labeled corrupt (manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering dikategorikan perbuatan korupsi)”.31

Dunia internasional memberikan pengertian korupsi berdasarkan Black Law Dictionary:“Corruption an act done with an intent to give some advantage

28 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, (Jakarta: Rajawali Pez, 2008), hal. 5.

29 Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 106.

30 M.D.J.Al Barry, Kamus Peristilahaan Modern dan Populer 10.000 Istilah, (Surabaya:

Indah Surabaya, 1996), hal. 208.

31 Ibid, hal. 9.

inconsistent with official duty and and the rights of others. The act of an official of fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or for another person, contrary to duty and the right of others” yang artinya“Suatu perbuatan yang dilakukan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya. Suatu perbuatan dari sesuatu yang resmi atau kepercayaan seseorang yang mana dengan melanggar hukum dan penuh kesalahan memakai sejumlah keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan tugas dan kebenaran-kebenaran lainnya”.32

Dalam hukum positif di Indonesia, tindak pidana korupsi sebenarnya sudah diatur pada pasal- pasal yang mengatur tentang kejahatan berkaitan dengan jabatan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Misalnya dalam Pasal 209 dan 210 KUHP tentang penyuapan pegawai negeri atau actieve omkoping. Namun, dalam KUHP tidak disebutkan secara expressis verbis (tegas bahwa hal tersebut merupakan tindak pidana korupsi.33

Misalnya dalam Pasal 209 dan 210 KUHP tentang penyuapan pegawai negeri atau actieve omkoping. Namun, dalam KUHP tidak disebutkan secara expressis verbis (tegas bahwa hal tersebut merupakan tindak pidana korupsi.33

Dokumen terkait