• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP DANA PENDIDIKAN (STUDI PUTUSAN NO. 10/PID.SUS-TPK/2017/PN.MDN) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP DANA PENDIDIKAN (STUDI PUTUSAN NO. 10/PID.SUS-TPK/2017/PN.MDN) SKRIPSI"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

RISSHA LAURENS NIM: 160200117

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)
(4)

Besarnya dana pendidikan yang dianggarkan guna peningkatan kesejahteraan guru tersebut ternyata memberikan celah bagi oknum untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Salah satu kasus yang dapat dijadikan contoh adalah dalam Perkara Nomor 10/Pid.Sus- TPK/2017/PN.Mdn. Dalam perkara ini, terdakwa yang bernama Maranatha Dakhi, didakwa melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dalam dakwaan Alternative Kesatu. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah:

bagaimanakah pertanggungjawaban tindak pidana korupsi, bagaimanakah pengaturan hukum anggaran dana pendidikan dan bagaimanakah analisis penjatuhan sanksi pidana terhadap tindak pidana korupsi dana pendidikan (Studi Putusan No. 10/Pid.Sus/2017/PN.Mdn).

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Peneliti menggunakan alat pengumpulan data berupa Studi Kepustakaan atau Studi Dokumen (Documentary Study).

Penelitian kepustakaan dilakukan terhadap Putusan Pengadilan No. 10/Pid.Sus/2017 /PN.Mdn.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pertanggungjawaban tindak pidana korupsi berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Adapun pertanggungjawaban pidana dalam Putusan Nomor 10/Pid.Sus- TPK/2017/PN.Mdn pertanggungjawaban pidana penjara terhadap orang yang melakukan tindak pidana korupsi. Aturan mengenai penyaluran dana pendidikan diatur dalam Pasal 19 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9 Tahun 2020 yaitu: Penyaluran Dana BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan cara pemindahbukuan dari RKUN ke Rekening Sekolah. Rekening Sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan rekening kas setiap Sekolah pada bank umum yang terdaftar dalam Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) dan/ atau Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila dianalisis secara umum, pertimbangan-pertimbangan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam memutus perkara tindak pidana korupsi, telah sesuai dengan pertimbangan hukum pidana baik secara yuridis maupun pertimbangan hukum sosiologis. Pertimbangan hukum ini akan memberikan kepastian hukum karena telah dilakukan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.

Pertimbangan oleh hakim didasarkan pada pertimbangan yiridis yaitu secara hukum menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Sedangkan pertimbangan sosiologis meliputi latar belakang terdakwa.

Kata kunci: Dana Pendidikan, Korupsi, Pemidanaan

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I

*** Dosen Pembimbing II

(5)

sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.

Skripsi ini menjadi tugas akhir penulis dalam upaya untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi yang penulis angkat menjadi pembahasan berjudul “Analisis Yuridis Tindak Pidana Korupsi Terhadap Dana Pendidikan (Studi Putusan Nomor No. 10/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Mdn)”. Penulis mengangkat permasalahan ini menjadi pembahasan dikarenakan mengingat dana pendidikan rawan untuk dikorupsi.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan- kekurangan, oleh karena itu penulis sangat berharap adanya beberapa masukan dan saran yang sifatnya membangun dimasa yang akan datang.

Selama beberapa semester penulis menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini, terdapat banyak masalah yang penulis hadapi. Namun berkat doa-doa dan motivasi dari orangtua, keluarga dan teman- teman disekitar penulis, setiap masalah itu dapat penulis hadapi. Dan pada akhirnya dalam menulis tugas akhir ini terlalu banyak masalah dan rintangan yang datang, baik itu masalah yang datang dari keluarga maupun dari lingkungan sekitar. Ada kalanya penulis merasa bingung, malas, merasa jenuh dikarenakan sulitnya mencari bahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Kemudian setelah itu penulis pun menyadari tidak ada usaha yang mengkhianati hasil dan didorong

(6)

kuat dan mental yang kuat oleh Allah SWT untuk dapat berjalan dijalan apapun yang ditentukan untuk penulis. Semoga dengan gelar yang didapatkan oleh penulis, kelak dapat berguna dan bermanfaat untuk membantu orang-orang yang memerlukan bantuan.

Penulis ingin mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada pihak- pihak yang banyak membantu, membimbing, memberi dukungan dan memberikan doa serta memberikan motivasi kepada penulis. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Dr. Saidin, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Dr. Liza Erwina, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga Dosen Pembimbing I;

(7)

banyak sekali memberikan ilmu serta pengetahuan kepada penulis yang sangat berguna bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Seluruh Staf Pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu untuk keperluan kampus maupun keperluan di luar kampus.

10. Denni laurens dan Yuke Juliana selaku orang tua penulis yang sangat hebat dan sangat penulis sayangi dan cintai, yang selalu memberikan motivasi dan doa-doa yang tulus yang tak henti-henti diberikan kepada penulis agar penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan cepat, yang selalu mengingatkan apabila penulis merasa malas untuk mengerjakan skripsi ini, skripsi ini dan gelar yang didapatkan nanti tak lain dan tak bukan adalah buah dari doa-doa orang tua penulis.

11. Adik-adik penulis Giri Agiel Laurens, Alvi Laurens, Indigo Laurens dan Regiansyah Laurens yang selalu memberikan bantuan, doa serta motivasi yang tak henti-henti kepada penulis agar penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik dan gelar yang didapat nantinya berguna bagi orang banyak.

12. Mutia Sari Siregar, Tamara Devani Hutagalung dan M.ilyas Farhan selaku sahabat dari penulis mulai dari penulis duduk dibangku SMA sampai sekarang yang selalu menemani penulis disaat senang maupun sedih.

(8)

akhir masa perkuliahan penulis dengan kebahagiaan.

15. Sekar, Nadira, Eigina, Mia, Liwarny, Sonya, Vila, Tika, Tasya selaku teman penulis yang mengisi masa-masa perkuliahan penulis.

16. Randy, Wibi, Anwar, Syafril, Jaka, Dedi, Brem selaku teman penulis yang mengisi masa-masa perkuliahan penulis.

17. Citra dan Suci selaku teman penulis di jurusan Hukum Pidana yang mendengarkan keluh kesah penulis di akhir-akhir perkuliahan.

18. Muhammad Dimas Aditya yang telah mendengarkan keluh kesah penulis dan banyak membantu dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan perkuliahan.

19. Dan untuk kawan-kawan penulis yang tidak bisa sebutkan satu persatu terimakasih banyak telah berbagi banyak waktu, canda dan tawa serta telah berbagi kesedihan kepada penulis, sekali lagi penulis mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya.

Demikianlah yang dapat penulis ucapkan, atas segala kekurangan dan kesalahan penulis mohon maaf, Atas perhatiannya penulis mengucapkan terimakasih.

Medan, Juni 2020

Rissha Laurens NIM 160200117

(9)

Daftar Isi...iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Keaslian Penelitian ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 10

1. Tindak Pidana Korupsi Tindak Pidana Korupsi Menurut UU No. 20 Tahun 2001 ... 10

2. Depdikbud tentang Sertifikasi Guru ... 12

3. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 14

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Tujuan Pemidanaan ... 20

B. Tindak Pidana Korupsi Menurut UU No. 20 Tahun 2001 Jo. UU No. 31 Tahun 1999 ... 28

C. Pertanggungjawaban Pidana ... 43

BAB III PENGATURAN HUKUM ANGGARAN DANA PENDIDIKAN A. Pengelolaan Dana Pendidikan ... 62

B. Aturan-aturan Tentang Penyaluran Dana Pendidikan ... 65

C. Laporan Pertanggungjawaban Dana BOS ... 74

BAB IV ANALISIS YURIDUS TERHADAP PUTUSAN NO. 10/PID.SUS/2017/PN.MDN A. Kasus Posisi ... 79

(10)

1. Kronologi Kasus ... 79 2. Fakta-Fakta Hukum ... 85 3. Tuntutan Jaksa/ Dakwaan ... 88 B. Analisis Terhadap Putusan Nomor 10/Pid.Sus-

TPK/2017/PN.Mdn ... 97 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan...108 B. Saran...109 Daftar Pustaka...111 Lampiran

(11)

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sebagaimana disingkat UUD NRI Tahun 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat).

Ini berarti bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan pancasila dan UUD NRI 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada pengecualian.1

Hukum menentapkan apa yang harus dilakukan dan apa yang boleh dilakukan serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum, melainkan juga perbuatan hukum yang mungkin akan terjadi, dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum. 2Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu merupakan salah satu bentuk penegak hukum. Hukum bukan saja menjadi panglima dalam memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Hukum juga memberikan peranan dalam membangun karakter bangsa. Selain hukum, salah satu sektor yang paling berpengaruh membangun karakter masyarakat adalah sektor pendidikan.

1 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi Bagian Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hal.1.

2 Idup suhady, Wawasan Kebangsaan Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lembaga Administrasi Negara-Republik Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2001), hal. 5.

(12)

Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan yang sangat vital bagi masyarakat Indonesia. Ini dapat dibuktikan dengan besarnya anggaran yang diberikan oleh negara sebesar 20% dari Anggaran Pemerintah Belanja Negara.

Pendidikan telah menjadi kebutuhan masyarakat. Pendidikan tidak lagi dianggap sebagai pengeluaran yang konsumtif, namun memiliki fungsi produktif dan investatif bagi masa depan. Pendidikan telah dijadikan komoditas ekonomi dan sektor penting untuk meningkatkan produktivitas dalam rangka mengantarkan seseorang atau masyarakat kepada cita-cita dan merubah keadaannya menuju kondisi lebih baik.3

Menurut Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Salah satu peran negara dalam hal tersebut adalah dengan memberikan atau meringankan biaya pendidikan di Indonesia. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) menjelaskan bahwa secara garis besar biaya pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal.

Biaya pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam pencapaian tujuan pendidikan. Biaya pendidikan inilah yang akan digunakan untuk membiayai seluruh pembiayaan pendidikan. Masalah pokok dalam pembiayaan pendidikan salah satunya adalah bagaimana mencukupi kebutuhan investasi,

3 Dadang Suhardan, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2012), hal. 2.

(13)

operasional dan personal sekolah serta bagaimana melindungi masyarakat khususnya masyarakat tidak mampu untuk memperjuangkan haknya mendapatkan pendidikan yang layak baik di tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Semua biaya yang dikeluarkan baik oleh pemerintah maupun swasta untuk sektor pendidikan merupakan investasi. Investasi dalam bidang pendidikan akan diperoleh dalam jangka waktu cukup lama namun bersifat jangka panjang dan memiliki efek berlipat ganda (multiplier effects). Keuntungan dan balikan investasi pendidikan juga terkait dengan kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan itu sendiri menghasilkan tenaga berkualitas, sedangkan kualitas tenaga kerja memberi kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.4

Komponen penting yang harus dibiayai dalam pendidikan meliputi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Biaya langsung adalah biaya bagi terlaksananya pendidikan yang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh peserta didik, sedangkan biaya tidak langsung adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh murid, keluarga, dan masyarakat yaitu berupa uang sekolah, pembeliaan bahan-bahan pelajaran, transportasi, maupun pengorbanan pendapatan selama belajar. Pengorbanan pendapatan yang dimaksud adalah pendapatan yang tidak diperoleh, kesempatan yang dikorbankan karena tidak bekerja, atau keuntungan yang hilang selama peserta didik menempuh pendidikan (earning forgone).5

4 Mohammad Ali, Pendidikan untuk Pembangunan Nasional: Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya Saing Tinggi, (Bandung: Imtima, 2009), hal. 206.

5 Dadang Suhardan, Op.Cit, hal. 7.

(14)

Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun yang dicanangkan sejak 2 Mei 1994 merupakan usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas serta mempermudah akses pendidikan di Indonesia. Program wajib belajar 9 tahun ini tercapai dengan menciptakan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pada tahun 2005. Seiring berjalannya waktu, mulai tahun 2009 pemerintah telah melakukan perubahan tujuan, pendekatan, dan orientasi-program BOS. Program BOS bukan hanya berperan untuk mempertahankan jumlah peserta didik saja, namun juga harus berkontribusi dalam peningkatan mutu pendidikan dasar. Selain itu kenaikan jumlah Dana BOS yang signifikan mulai tahun 2009 diharapkan akan menjadikan BOS sebagai pilar utama mewujudkan pendidikan dasar tanpa dipungut biaya.

Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) adalah program pemerintah untuk penyediaan pendanaan biaya non personalia bagi satuan pendidikan dasar dan menengah pertama sebagai wujud pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun.

BOS diperioritaskan untuk biaya operasional non personal, meskipun dimungkinkan untuk membiayai beberapa kegiatan lain yang tergolong dalam biaya personil dan biaya investasi. Tujuan umum program BOS untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar Sembilan tahun yang bermutu. 6

Program wajib belajar 9 tahun tersebut berhasil meningkatkan angka partisapasi kasar dalam pendidikan tingkat dasar. Tuntasnya program wajib belajar 9 tahun ini antara lain diukur melalui tambahnya jumlah gedung dan ruang

6 https:// layanansosial.blogspot.com/2018/01/pengertian-program-bantuan-operasional sekolah.htmi?m=1 diakses pada 13 Mei 2020

(15)

kelas baru di dekat masyarakat yang banyak memiliki anak-anak wajib belajar (usia 7-15 tahun), memperluas jangkauan SMP terbuka dan menambah tempat kegiatan belajar (TKB) dan Pendidikan Kesetaraan Paket B Setara SMP, serta meningkatnya peran dan kesadaran masyarakat dalam pelaksanaan wajib belajar.

Keberhasilan program wajib belajar 9 tahun menjadikan lulusan SMP semakin meningkat, sehingga pemerintah menambah daya tampung layanan pendidikan menengah (SMA dan SMK) untuk menampung para siswa memperoleh jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Pemerintah tidak hanya memberikan bantuan dalam hal jaminan pendidikan bagi anak, namun juga berupaya memberikan kesejahteraan bagi guru.

Meski begitu, upaya meningkatkan kesejahteraan guru tidak bisa secara sekaligus, tetapi harus secara bertahap. Ini mengingat posisi guru di Indonesia relatif beragam. Melalui pemberian tunjangan profesi guru (TPG) yang jumlah penerimanya terus meningkat, Pemerintah berupaya serius untuk meningkatkan martabat para guru, memajukan profesi guru, serta mendorong peningkatan mutu pembelajaran.

Pada tahun 2017, Pemerintah melalui transfer daerah menyalurkan Rp55,1 triliun kepada 1.310,7 juta guru Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD), meningkat menjadi Rp56,9 triliun di tahun 2019. Sedangkan besar dana yang disalurkan Pemerintah melalui mekanisme dana pusat yang ditransfer Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ke rekening masing-masing guru non-PNS sebesar Rp4,8 triliun di tahun 2017, meningkat menjadi Rp5,7 triliun pada tahun 2019.

(16)

Besarnya dana pendidikan yang dianggarkan guna peningkatan kesejahteraan guru tersebut ternyata memberikan celah bagi oknum untuk melakukan tindak pidana korupsi. Salah satu kasus yang dapat dijadikan contoh adalah dalam Perkara Nomor 10/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Mdn. Dalam perkara ini, terdakwa yang bernama Maranatha Dakhi, didakwa melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dalam dakwaan Alternative Kesatu.

Putusan pada tingkat pertama menyatakan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Terdakwa dijatuhi hukuman dengan pidana Penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp.

200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) subsidair 4 (empat) bulan kurungan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah agar Terdakwa tetap ditahan.

Tindak pidana korupsi adalah merupakan permasalahan yang saat ini dirasakan semakin pesat perkembanganya seiring dengan semakin maju pembangunan suatu bangsa, maka semakin menigkat pula kebutuhan dan mendorong untuk melakukan korupsi. 7Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainya, fenomena ini dapat dimaklumi mengikat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Dampak yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang

7 Andi Hamzah, Perbandingan Korupsi di Berbagai Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 1.

(17)

kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masrayakat adil dan makmur.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dirasa perlu untuk meneliti terjadinya tindak pidana dana pendidikan. Adapun penelitian ini dituangkan dalam bentuk tulisan skripsi dengan judul: “Analisis Yuridis Tindak Pidana Korupsi Terhadap Dana Pendidikan (Studi Putusan Nomor No. 10/Pid.Sus- TPK/2017/PN.Mdn).”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, kemudian diajukan rumusan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban tindak pidana korupsi?

2. Bagaimanakah pengaturan hukum anggaran dana pendidikan?

3. Bagaimanakah analisis yuridis terhadap Putusan No.

10/Pid.Sus/2017/PN.Mdn?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penulisan dan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban tindak pidana korupsi.

2. Untuk mengetahui pengaturan hukum anggaran dana pendidikan.

(18)

3. Untuk mengetahui analisis yuridis terhadap Putusan No.

10/Pid.Sus/2017/PN.Mdn.

Adapun manfaat penulisan adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum, yang terkhusus berkaitan dengan penjatuhan sanksi tindak pidana korupsi dana pendidikan.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat menjadikan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, maupun pihak lainnya dalam penulisan- penulisan ilmiah lainnya yang berhubungan.

b. Agar menambah pengetahuan kepada masyarakat berkaitan dengan tindak pidana korupsi dana pendidikan.

c. Dapat dijadikan sebagai rujukan bagi pelaksanaan penjatuhan sanksi tindak pidana korupsi dana pendidikan.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan pada perpusatkaan baik secara langsung maupun secara online, tidak ditemukan judul penelitian tentang Analisis Yuridis Tindak Pidana Korupsi Terhadap Dana Pendidikan (Studi Putusan Nomor No. 10/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Mdn). Namun ditemukan beberapa penelitian yang berkaitan dengan pengelolaan dana pendidikan dan juga tindak pidana korupsi, diantaranya adalah:

(19)

Roni Mukti Siregar (2017) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul penelitian Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Penggunaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dana Bantuan Operasional Sekolah Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 80 Tahun 2015 (Studi Dinas Pendidikan Daerah Kota Padang Sidempuan).

Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Penetapan penggunaan dan pertangunggjawaban keuangan dana Bantuan Operasional Sekolah berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 80 Tahun 2015;

2. Penerapan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 80 Tahun 2015 tentang Penggunaan Dan Pertanggungjawaban Keuangan Dana Operasional Bantuan Sekolah di Kota Padang Sidempuan;

3. hambatan dalam penggunaan dan pertanggungjawaban keuangan dana Bantuan Operasional Sekolah di Kota Padang Sidempuan.

Maradu Soleh Tua Pasaribu (2019) Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya dengan judul penelitian Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) (20/Pid.Sus- TPK/2015/PN.Plg). Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan Operasional Sekolah dalam Putusan (Studi Kasus Putusan Nomor: Nomor:20/Pid.Sus-Tpk/2015/PN.Plg;

(20)

2. Pertimbangan hakim oleh majelis hakim dalam Putusan Perkara Pidana (Nomor:20/Pid.Sus-Tpk/2015/PN.Plg).

Berdasarkan penelusuran tersebut, maka dapat terlihat bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan dengan judul yang sama, sehingga keasliannya dapat dipetanggungjawabkan baik secara hukum dan juga pertanggungjawaban seara akademis.

E. Tinjauan Kepustakaan

Adapun judul yang dikemukakan oleh adalah “Analisis Yuridis Tindak Pidana Korupsi Terhadap Dana Pendidikan (Studi Putusan Nomor No.

10/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Mdn).” Dalam tinjauan kepustakaan dicoba untuk mengemukakan beberapa ketentuan dan batasan yang menjadi sorotan dalam mengadakan studi kepustakaan. Hal ini akan berguna untuk membantu melihat ruang lingkup skripsi agar tetap berada di dalam topik yang diangkat dari permasalahan di atas. Adapun yang menjadi pengertian secara etimologis daripada judul skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Tindak Pidana Korupsi Menurut Umdang-Undang No. 20 Tahun 2001

Pengertian Tindak Pidana Korupsi sendiri adalah kegiatan yang dilakukan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok dimana kegiatan tersebut melanggar hukum karena telah merugikan bangsa dan negara. Dari sudut pandang hukum, kejahatan tindak pidana korupsi mencakup unsur-unsur sebagai. berikut:8

a. Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, dan sarana b. memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi

8 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 23.

(21)

c. merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Melihat dalam arti yang luas, korupsi adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk memperkaya diri sendiri agar memperoleh suatu keuntungan baik pribadi maupun golongannya. Kegiatan memperkaya diri dengan menggunakan jabatan, dimana orang tersebut merupakan orang yang menjabat di departemen swasta maupun departeman pemerintahan. Korupsi sendiri dapat muncul dimana- mana dan tidak terbatas dalam hal ini saja, maka dari itu untuk mempelajari dan membuat solusinya kita harus dapat membedakan antara korupsi dan kriminalitas kejahatan.

Adapun pengertian tindak pidana korupsi tidak disebutkan secara gambling di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diperbaharui dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK). Secara umum bentuk- bentuk tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang PTPK dapat dikelompokan sebagai berikut:

1. Tindak Pidana Korupsi dengan Memperkaya Diri Sendiri, Orang Lain, atau Suatu Korporasi (Pasal 2)

2. Tindak Pidana Korupsi dengan Menyalahgunakan Kewenangan, Kesempatan, Sarana Jabatan, atau Kedudukan (Pasal 3)

3. Tindak Pidana Korupsi Suap dengan Memberikan atau Menjanjikan Sesuatu (Pasal 5)

4. Tindak Pidana Korupsi Suap pada Hakim Dan Advokat (Pasal 6)

5. Korupsi dalam Hal Membuat Bangunan dan Menjual Bahan Bangunan dan Korupsi dalam Hal Menyerahkan Alat Keperluan TNI dan KNRI (Pasal 7)

6. Korupsi Pegawai Negeri Menggelapkan Uang dan Surat Berharga (Pasal 8)

7. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri Memalsu Buku-Buku dan Daftar- Daftar (Pasal 9)

(22)

8. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri Merusakkan Barang, Akta, Surat, atau Daftar (Pasal 10)

9. Korupsi Pegawai Negeri Menerima Hadiah atau Janji yang Berhubungan dengan Kewenangan Jabatan (Pasal 11)

10. Korupsi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara atau Hakim dan Advokat Menerima Hadiah atau Janji; Pegawai Negeri Memaksa Membayar, Memotong Pembayaran, Meminta Pekerjaan, Menggunakan Tanah Negara, dan Turut Serta dalam Pemborongan (Pasal 12)

11. Tindak Pidana Korupsi Suap Pegawai Negeri Menerima Gratifikasi (Pasal 12B)

12. Korupsi Suap pada Pegawai Negeri dengan Mengingat Kekuasaan Jabatan (Pasal 13)

Unsur kesengajaan dirumuskan dalam berbagai istilah, antara lain:

a. Dengan sengaja, merupakan perumusan kesengajaan yang secara jelas terlihat. Hal ini dapat ditemukan dalam pasal-pasal KUHP, antara lain Pasal 187, 281, 304, 310, 333, 338, 354 dan 372 KUHP;

b. Yang diketahuinya, misalnya Pasal 204, 220, dan 419 KUHP. Terdapat juga dalam Pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU;

c. Sedang diketahuinya, terdapat dalam Pasal 110, 250, 275 KUHP;

d. Sudah tahu,misalnya pada Pasal 483 ke-2 KUHP;

e. Dapat mengetahui,terdapat dalam Pasal 164, 464 KUHP;

f. Telah dikenalnya, terdapat dalam Pasal 245 dan 247KUHP;

g. Telah diketahuinya, terdapat dalam Pasal 282 KUHP;

h. Bertentangan dengan pengetahuannya, terdapat pada Pasal 311 KUHP;

i. Dengan tujuan yang nyata, Terdapat dalam Pasal 310 KUHP;

j. Dengan maksud (pada dasarnya sama dengan tujuan), terdapat dalam Pasal 378 KUHP, atau bisa juga ditentukandari kata-kata kerja yang ada dalam rumusan tindak pidana tersebut.

2. Depdikbud tentang Sertifikasi Guru

Guru merupakan ujung tombak pelaksanaan kegiatan pendidikan. Sebagai bentuk apresiasi terhadap peranan guru yang begitu besar, maka pemerintah memberikan penghargaan berupa sertifikat kepada guru. Hal ini dikenal dengan istilah sertifikasi guru. Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesi guru. Sertifikat adalah dokumen resmi yang menyatakan informasi di dalam dokumen itu adalah benar adanya.

(23)

Sertifikasi adalah proses pembuatan dan pemberian dokumen tersebut.

Guru yang telah mendapat sertifikasi berarti telah mempunyai kualifikasi mengajar seperti yang dijelaskan di dalam sertifikat itu. Sertifikat pendidik adalah sertifikat yang di tandatangani penyelenggara sertifikasi sebagai bukti formal pengakuan profesionalitas guru yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional. 9

Guru merupakan komponen paling menentukan dalam sistem pendidikan secara keseluruhan, yang harus mendapat perhatian sentral, pertama, dan utama.

Figur yang satu ini akan senantiasa menjadi sorotan strategis ketika berbicara masalah pendidikan, karena guru selalu terkait dengan komponen manapun dalam sistem pendidikan. Guru memegang peran utama dalam pembangunan pendidikan, khususnya yang diselenggarakan secara formal di sekolah guru juga sangat menentukan keberhasilan peserta didik, terutama dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar. Guru mempunyai peran yang sangat strategis dalam upaya mewujudkan tujuan pembangunan nasional, khusunya dibidang pendidikan, sehingga perlu dikembangkan sebagai tenaga profesi yang bermartabat dan profesional.10

Peraturan Menteri Pendidikan mengenai sertifikasi guru tertuang dalam Permendikbud Nomor 05 Tahun 2012 tentang sertifkasi guru. Pelaksanaan sertifikasi dilaksanakan melalui pola:

a. penilaian portofolio;

b. pendidikan dan latihan profesi guru;

9 Suyatno, Panduan Seritifikasi Guru, ( Jakarta: PT.Indeks, 2008), hal. 2.

10 E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 5.

(24)

c. pemberian sertifikat pendidik secara langsung; atau d. pendidikan profesi guru.

3. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Pertanggungjawaban pidana merupakan bentuk perbuatan dari pelaku tindak pidana terhadap kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena ada kesalahan yang merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, dan telah ada aturan yang mengatur tindak pidana tersebut.

Dalam membicarakan tentang pertanggungjawaban pidana, tidaklah dapat dilepaskan dari satu dua aspek yang harus dilihat dengan pandangan-pandangan falsafah. Satu diantaranya adalah keadilan, sehingga pembicaraan tentang pertanggungjawaban pidana akan memberikan kontur yang lebih jelas.

Pertanggungjawaban pidana sebagai soal hukum pidana terjalin dengan keadilan sebagai soal filsafat.11

Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai toerekenbaarheid, criminal responbility, criminal liability. Bahwa pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan. Jika ia dipidana, harus ternyata bahwa tindakan yang dilakukan itu

11 Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 10.

(25)

bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggung jawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan. Artinya tindakan tersebut tercela tertuduh menyadari tindakan yang dilakukan tersebut.

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas perbuatan yang dilakukan. Dengan mempertanggung jawabkan perbuatan yang tercela itu pada si pembuatnya, apakah si pembuatnya juga dicela ataukah si pembuatnya tidak dicela. Pada hal yang pertama maka si pembuatnya tentu dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua si pembuatnya tentu tidak dipidana.12

Pasal-pasal KUHP, unsur-unsur delik dan unsur pertanggungjawaban pidana bercampur aduk dalam buku II dan III, sehingga dalam membedakannya dibutuhkan seorang ahli yang menentukan unsur keduanya. Menurut pembuat KUHP syarat pemidanaan disamakan dengan delik, oleh karena itu dalam pemuatan unsur-unsur delik dalam penuntutan haruslah dapat dibuktikan juga dalam persidangan.

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.

Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana (ilmiah) bagi pengembangan ilmu

12 Ibid, hal. 75.

(26)

pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.

Penulisan skripsi ini, menggunakan metodologi penulisan sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar ilmiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Fenomena yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai penjatuhan sanksi tindak pidana korupsi. Penelitian ini juga didasarkan pada upaya untuk membangun pandangan subjek penelitian yang rinci, dibentuk dengan kata-kata, gambaran holistik dan rumit agar dapat membantu memperjelas hasil penelitian.13

2. Metode penelitian

Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengkonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analitis (Analitical Approach).

Pendekatan Analitis (Analitical Approach) tujuannya adalah mengetahui makna yang dikandung dalam peraturan perundang-undangan secara

13 Moeleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), hal. 6.

(27)

konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik.14 Penggunaan metode penelitian yuridis normatif dan pendekatan Analitis disesuaikan dengan judul penelitian ini yaitu penjatuhan sanksi tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi dengan menggunakan studi putusan. Metode ini digunakan untuk menyesuaikan peraturan yang ada dengan putusan yang terdapat dalam putusan tersebut.

3. Data dan sumber data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat.

b. Bentuk maupun isinya data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh peneliti- peneliti terdahulu.

c. Data sekunder tanpa terikat/dibatasi oleh waktu dan tempat.

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi : a. Bahan-bahan hukum primer, yang mencakup Putusan Nomor

10/Pid.Sus/2017/PN.Mdn, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer seperti Jurnal Nasional maupun Internasional, hasil-hasil penelitian.

14 Ibrahim Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi Revisi), (Malang: Bayu Media Publishing, 2007), hal. 303.

(28)

c. Bahan-bahan hukum tersier,meliputi kamus hukum, kamus bahasa Indonesia.

G. Sistematika Penulisan

Keseluruhan sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah satu kesatuan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan tidak terpisahkan.

Sistematika penulisan adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar di dalamnya terurai mengenai latar belakang, perumusan masalah, kemudian dilanjutkan, dengan tujuan penulisan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK

PIDANA KORUPSI

Bab ini merupakan bab yang membahas tentang Tujuan Pemidanaan, Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Jo.

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan Pertanggungjawaban Pidana.

BAB III : PENGATURAN HUKUM ANGGARAN DANA PENDIDIKAN

(29)

Bab ini merupakan bab yang membahas tentang Pengelolaan Dana Pendidikan, Aturan-aturan Tentang Penyaluran Dana Pendidikan dan Laporan Pertanggungjawaban Dana BOS.

BAB IV : ANALISIS YURIDUS TERHADAP PUTUSAN NO. 10/PID.SUS/2017/PN.MDN

Bab ini merupakan bab yang membahas tentang Posisi Kasus yang berisikan sub bab . Kronologi Kasus, Fakta-Fakta Hukum serta Tuntutan Jaksa/

Dakwaan kemudian dilanjutkan dengan Analisis Terhadap Putusan Nomor 10/Pid.Sus- TPK/2017/PN.Mdn.

BAB V : PENUTUP

Berisikan tentang kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan saran-saran yang mungkin berguna.

(30)

Tujuan dilakukannya pemidanaan di Indonesia sendiri belum pernah dirumuskan secara rinci. Selama ini wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut masih dalam tataran yang bersifat teoritis. Namun sebagai bahan kajian, Rancangan KUHP Nasional telah menetapkan tujuan pemidanaan pada Buku Kesatu Ketentuan Umum dala Bab II dengan judul Pemidanaan, Pidana dan Tindakan. Tujuan pemidanaan menurut Wirjono Prodjodikoro, yaitu:15

1. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (generals preventif) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventif), atau

2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan agar menjadi orang-orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

Tujuan pemidanaan itu sendiri diharapkan dapat menjadi sarana perlindungan masyarakat, rehabilitasi dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek psikologi untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan.

15 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1981), hal. 16.

(31)

Meskipun pidana merupakan suatu nestapa tetapi tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. P.A.F. Lamintang menyatakan bahwa pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri, untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatankejahatan, dan untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.

Mengacu pada tujuan pemidanaan di atas, melahirkan beberapa teori tentang tujuan pemidanaan. Beberapa teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan adalah sebagai berikut:

1. Teori Absolut / Retribusi

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang yang telah melakukan suatu tindak pidana atau kejahatan. Imamanuel Kant memandang pidana sebagai “Kategorische Imperatif” yakni seseorang harus dipidana oleh Hakim karena ia telah melakukan kejahatan sehingga pidana menunjukan suatu tuntutan keadilan. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolute ini terlihat pada pendapat Imamanuel Kant di dalam bukunya “Philosophy of Law” sebagai berikut:16

Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi sipelaku itu sendiri maupun bagi

16 Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005) hal. 127.

(32)

masyarakat tapi dalam semua hal harus dikenakan karena orang yang bersangkutan telah melakukan sesuatu kejahatan.

Mengenai teori pembalasan tersebut, Andi Hamzah juga memberikan pendapat sebagai berikut:17

“Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur dijatuhkan pidana. Pidana secara mutlak, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana”.

Artinya teori pembalasan tidak memikirkan bagaimana membina sipelaku kejahatan, padahal sipelaku kejahatan mempunyai hak untuk dibina dan untuk menjadi manusia yang berguna sesuai dengan harkat dan martabatnya.

2. Teori Tujuan / Relatif

Pada penganut teori ini memandang sebagaimana sesuatu yang dapat digunakan untuk mencapai pemanfaatan, baik yang berkaitan dengan orang yang bersalah maupun yang berkaitan dengan dunia luar, misalnya dengan mengisolasi dan memperbaiki penjahat atau mencegah penjahat potensial, akan menjadikan dunia tempat yang lebih baik.

Dasar pembenaran dari adanya pidana menurut teori ini terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena orang membuat kesalahan) melakukan ne peccetur (supaya orang jangan melakukan kejahatan),

17 Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 89.

(33)

maka cukup jelas bahwa teori tujuan ini berusaha mewujudkan ketertiban dalam masyarakat.18

Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa dibedakan menjadi dua istilah, yaitu:

a. Prevensi special (speciale preventie) atau Pencegahan Khusus

Bahwa pengaruh pidana ditunjukan terhadap terpidana, dimana prevensi khusus ini menekankan tujuan pidana agar terpidana tidak mengulangi perbuatannya lagi. Pidana berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki terpidana untuk menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, sesuai dengan harkat dan martabatnya.

b. Prevensi General (Generale Prevenie) atau Pencegahan Umum

Prevensi General menekankan bahwa tujuan pidana adalaha untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Pengaruh pidana ditunjukan terhadap masyarakat pada umumnya dengan maksud untuk menakut- nakuti. Artinya pencegahan kejahatan yang ingin dicapai oleh pidana adalah dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukuan tindak pidana.

Menurut Johan Andenaes terdapat tiga bentuk pengaruh dalam pengertiannya prevensi general yaitu:

a. Pengaruh pencegahan;

b. Pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral;

18 Muladi, Op.Cit, hal. 93.

(34)

c. Pengaruh untuk mendorong suatu kebiasaan pembuatan patuh pada hukum.

Sehubungan yang dikemukakan oleh Johan Andenaes, maka Van Veen berpendapat bahwa prevensi general mempunya tiga fungsi, yaitu: 19

a. Menegakan Kewibawaan;

b. Menegakan Norma;

c. Membentuk Norma;

3. Teori Gabungan

Teori gabungan adalah kombinasi dari teori relatif. Menurut teori gabungan, tujuan pidana selalu membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban dengan ketentuan beratnya pidana tidak boleh melampaui batas pembalasan yang adil.

Menurut Pellegrino Rossi dalam bukunya “Traite de Droit Penal” yang ditulis pada tahun 1828 menyatakan: „Sekalipun pembalasan sebagai asas dari pidana bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun pidana mempunya berbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general’. 20

Terhadap teori gabungan ini terdapat tiga aliran yang mempengaruhi, yaitu:21

a. Teori gabungan yang menitikberatkan unsur pembalasan, tetapi sifatnya yang berguna bagi masyarakat. Pompe menyebutkan dalam

19 Djisman Samosir, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, (Bandung: Bina Cipta, 1992), hal. 143.

20 Ibid.

21 Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 96 .

(35)

bukunya “Hand boek van het Ned.Strafrecht” bahwa pidana adalah suatu sanksi yang memiliki ciri- ciri tersendiri dari sanksi lain dan terikat dengan tujuan dengan sanksi-sanksi tersebut karenanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah- kaidah yang berguna bagi kepentingan umum.

b. Teori gabungan yang menitikberatkan pertahan tatatertib masyarakat.

Pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi tujuannya adalah melindungi kesejahteraan masyarakat.

c. Teori gabungan yang memandang sama pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat.

Begitu pula Roeslan Saleh mengemukakan, bahwa pidana hakekatnya terdapat dua poros yang menentukan garis-garis hukum pidana yaitu:22

a. Segi Prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan.

b. Segi Pembalasan, yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentu hukum, merupakan koreksi dan reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum.

Pada hakekatnya pidana selalu melindungi masyarakat dan pembalasan atas perbuatan tidak hukum. Selain itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai suatu yang akan membawa kerukunan serta sebagai suatu proses pendidikan untuk

22 Ibid, hal. 98.

(36)

menjadikan orang dapat diterima kembalidalam masyarakat. Jadi memang sudah seharusnyalah tujuan pidana adalah membentuk kesejahteraan negara dan masyarakat yang tidak bertentangan dengan norma kesusilaan dan perikamanusiaan sesuai dengan Pancasila.

4. Teori Integratif

Pemilihan teori integratif tentang tujuan pemidanaan ini didasarkan atyas alasan-alasan, baik yang bersifat sosiologis, ideologis, maupun yuridis. Alasan secara sosiologis dapat diruk pada pendapat yang dikemukakan oleh Stanley Group, bahwa kelayakan suatu teori pemidanaan tergantung pada anggapan- anggapan seseorang terhadap hakekat manusia, informasi yang diterima seseorang sebagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat, macam dan luas pengetahuan yang mungkin dicapai dan penilaian terhadap persyaratan-persyaratan untuk menerapkan teori-teori tertentu serta kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan untuk menemukan persyaratan-persyaratan tersebut.23

Alasan secara ideologis, dengan mengutip pendapat Notonagoro, menyatakan:24

Berdasarkan Pancasila, maka manusia ditempatkan pada keseluruhan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran untuk mengembangkan kodratnya sebagai mahluk pribadi dan sekaligus sosial.

Pancasial yang bulat dan utuh itu memberi keyakinan kepada rakyat dan bangsa Indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai apabila didasarkan atas keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia dengan alam, dalam

23 Marcus Priyo Gunarto, “Sikap Memidana yang Berorientasi Pada Tujuan Pemidanaan”, (Yogyakarta: Jurnal Hukum Universitas Gajah Mada, 2009), hal. 96.

24 Notonegoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 52.

(37)

hubungannya dengan bangsa lain, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun dalam mengejar kemajuan lahirlah dan kebahagiaan rohani.

Selanjutnya alasan yang bersifat yuridis Muladi menyetujui pendapat Herbert L. Packer sebagai berikut:

Hanya ada dua tujuan untama dari pemidanaan, yakni pengenaan penderitaan yang setimpal terhadap penjahat dan pencegahan kejahatan. Teori pemidanaan yang integratif mensyaratkan pendekatan yang integral tujuan-tujuan pemidanaan, berdasarkan pengakuan bahwa ketegangan- ketegangan yang terjadi diantara tujuan-tujuan pemidanaan tidak dapat dipecahkan secara menyeluruh.

Didasarkan atas pengakuan bahwa tidak satupun tujuan pemidanaan bersifat definitif, maka teori pemidanaan yang bersifat integratif ini meninjau tujuan pemidanaan tersebut dari segala perspektif. Pidana merupaka suatu kebutuhan, tetapi merupakan bentuk kontrol sosial yang diselesaikan, karena mengenakan penderitaan atas nama tujuan-tujuan yang pencapaiannya merupakan sesuatu kemungkinan.

Berdasarkan alasan-alasan sosiologis, ideologi dan yuridis diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut: dengan demikian, maka tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial (individual and social damages) yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri dari seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi, dengan catatan bahwa tujuan manakah yang merupakan titik berat sifatnya kasuitis.

Perangkat tujuan pemidanaan yang dimaksud diatas adalah:

a. Pencegahan (umum dan khusus);

(38)

b. Perlindungan Masyarakat;

c. Memelihara Solidaritas Masyarakat dan d. Pengimbalan/Pengimbangan.

B. Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

Tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diperbaharui dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut Undang- Undang PTPK). Secara umum bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang PTPK dapat dikelompokan sebagai berikut:

1. Tindak Pidana Korupsi dengan Memperkaya Diri Sendiri, Orang Lain, atau Suatu Korporasi (Pasal 2)

2. Tindak Pidana Korupsi dengan Menyalahgunakan Kewenangan, Kesempatan, Sarana Jabatan, atau Kedudukan (Pasal 3)

3. Tindak Pidana Korupsi Suap dengan Memberikan atau Menjanjikan Sesuatu (Pasal 5)

4. Tindak Pidana Korupsi Suap pada Hakim Dan Advokat (Pasal 6)

5. Korupsi dalam Hal Membuat Bangunan dan Menjual Bahan Bangunan dan Korupsi dalam Hal Menyerahkan Alat Keperluan TNI dan KNRI (Pasal 7) 6. Korupsi Pegawai Negeri Menggelapkan Uang dan Surat Berharga (Pasal 8) 7. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri Memalsu Buku-Buku dan Daftar-

Daftar (Pasal 9)

8. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri Merusakkan Barang, Akta, Surat, atau

(39)

Daftar (Pasal 10)

9. Korupsi Pegawai Negeri Menerima Hadiah atau Janji yang Berhubungan dengan Kewenangan Jabatan (Pasal 11)

10. Korupsi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara atau Hakim dan Advokat Menerima Hadiah atau Janji; Pegawai Negeri Memaksa Membayar, Memotong Pembayaran, Meminta Pekerjaan, Menggunakan Tanah Negara, dan Turut Serta dalam Pemborongan (Pasal 12)

11. Tindak Pidana Korupsi Suap Pegawai Negeri Menerima Gratifikasi (Pasal 12B)

12. Korupsi Suap pada Pegawai Negeri dengan Mengingat Kekuasaan Jabatan (Pasal 13)

Unsur kesengajaan dirumuskan dalam berbagai istilah, antara lain:

a. Dengan sengaja, merupakan perumusan kesengajaan yang secara jelas terlihat.

Hal ini dapat ditemukan dalam pasal-pasal KUHP, antara lain Pasal 187, 281, 304, 310, 333, 338, 354 dan 372 KUHP;

b. Yang diketahuinya, misalnya Pasal 204, 220, dan 419 KUHP. Terdapat juga dalam Pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU;

c. Sedang diketahuinya, terdapat dalam Pasal 110, 250, 275 KUHP;

d. Sudah tahu,misalnya pada Pasal 483 ke-2 KUHP;

e. Dapat mengetahui,terdapat dalam Pasal 164, 464 KUHP;

f. Telah dikenalnya, terdapat dalam Pasal 245 dan 247KUHP;

g. Telah diketahuinya, terdapat dalam Pasal 282 KUHP;

(40)

h. Bertentangan dengan pengetahuannya, terdapat pada Pasal 311 KUHP;

i. Dengan tujuan yang nyata, Terdapat dalam Pasal 310 KUHP;

j. Dengan maksud (pada dasarnya sama dengan tujuan), terdapat dalam Pasal 378 KUHP, atau bisa juga ditentukandari kata-kata kerja yang ada dalam rumusan tindak pidana tersebut.

Untuk melihat Mens Rea dalam Undang-Undang PTPK, Berikut ini diuraikan pasal 2, Pasal 3 dan Undang-Undang PTPK yaitu:

(1). Pasal 2 Undang-Undang PTPK.

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

(2). Pasal 3 Undang-Undang PTPK adalah sebagai berikut:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Niat jahat (mens rea) berupa kesengajaan di dalam Pasal 2 Undang- Undang PTPK di atas tidak buat secara jelas, namun dari kalimat “…secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi…”, maka bentuk kesengajaannya adalah termasuk “dengan maksud atau dengan tujuan”. Hal ini secara tersirat bahwa PMH itu dilakukan

(41)

dengan maksud atau dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

Sedangkan Pasal 3 Undang-Undang PTPK secara jelas dan tersurat mencantumkan kata-kata “dengan tujuan” menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Unsur subjektif yang melekat pada batin si pembuat me- nurut pasal 3 ini merupakan tujuan si pembuat dalam melakukan perbuatan menyalahgunakan kewenangan dan lain-lain tadi yakni untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

Unsur tujuan (doel) tidak berbeda artinya dengan maksud atau kesalahan sebagai maksud (opzet als oogmerk) atau kesengajaan dalam arti sempit seperti yang ada pada pemerasan, pengancaman, maupun penipuan (368, 369,378 KUHP).

Dengan demikian bentuk mens rea di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK ini adalah opzet als oogmerk atau kesengajaan sebagai maksud. Pada pasal 2 UU PTPK harus dibuktikan adanya hubungan kausalitas bahwa motif perbuatan melawan hukum tersebut bertujuan (dimaksudkan) untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Sedangkan pada Pasal 3 UU PTPK maka perlu dibuktikan hubungan kausalitas bahwa penyalahgunaan kewenangan atau kesempatan atau sarana karena kedudukan atau jabatan tersebut ditujukan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Moeljatno bahwa untuk menentukan sesuatu perbuatan yang dikehendaki oleh terdakwa maka konsekuensinya adalah: (1) harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai

(42)

dengan motifnya untuk berbuat dan bertujuan yang hendak dicapai; (2) antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal dalam batin terdakwa.25

Berikut ini unsur kesengajan yang terdapat dalam berbagai pasal tindak pidana korupsi, yaitu:26

1. Pasal 5 ayat (1) huruf (a) tentang tindak pidana korupsi penyuapan aktif, yaitu “Dengan maksud supaya pegawai negeri atau peyelenggara negara berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.”

2. Jenis tindak pidana korupsi penyuapan aktif atau memberi suap kepada hakim atau advokat. Pasal 6 ayat (1) huruf a , yaitu “Dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.” Pasal 6 ayat (1) huruf b, yaitu“Dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.”

3. Jenis tindak pidana korupsi memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri yang diatur dalam Pasal 13 “dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya”;

4. Unsur “diketahui atau patut diduga” terdapat dalam Pasal 11, Pasal 12 huruf a dan huruf b serta huruf c, Pasal 12 huruf h;

5. Unsur “dengan sengaja” terdapat dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, b, dan c, Pasal 12 huruf I.

25 Moeljatno (1994) . Loc. Cit.

26 Mahmud Mulyadi, Niat Jahat (Mens Rea) dalam Tindak Pidana Korupsi, (Medan:

Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2017), hal. 33.

(43)

Apabila dilihat dalam Putusan Nomor 10/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Mdn, pertanggungjawaban pidananya adalah secara person atau seseorang. Dalam putusan juga disebutkan mengenai syarat-syarat pemidanaan dimana terdakwa dinyatakan memenuhi syarat-syarat pemidanaan sehingga dijatuhi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, korupsi yaitu setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.27 Korupsi bisa dikategorikan menjadi 7 jenis yaitu, kerugian keuangan negara, penyuapan, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, kecurangan, benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, serta gratifikasi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, sesuai 30 pasal yang ada di dalamnya).

Dalam konteks kriminologi atau ilmu tentang kejahatan ada sembilan tipe korupsi yaitu:

1. Political bribery adalah termasuk kekuasaan di bidang legislatif sebagai badan pembentuk Undang-Undang. Secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berkaitan dengan

27 https://aclc.kpk.go.id/wp-content/uploads/2019/07/Modul-tindak-pidana-korupsi-aclc- KPK.pdf diakses pada 16 Desember 2020

(44)

aktivitas perusahaan tertentu. Para pengusaha berharap anggota yang duduk di parlemen dapat membuat aturan yang menguntungkan mereka.

2. Political kickbacks, yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak-pihak yang bersangkutan.

3. Election fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan pemilihan umum.

4. Corrupt campaign practice adalah praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas Negara maupun uang Negara oleh calon yang sedang memegang kekuasaan Negara.

5. Discretionary corruption yaitu korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam menentukan kebijakan.

6. Illegal corruption ialah korupsi yang dilakukan dengan mengacaukan bahasa hukum atau interpretasi hukum. Tipe korupsi ini rentan dilakukan oleh aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa, pengacara, maupun hakim.

7. Ideological corruption ialah perpaduan antara discretionary corruption dan illegal corruption yang dilakukan untuk tujuan kelompok.

8. Mercenary corruption yaitu menyalahgunakan kekuasaan semata-mata untuk kepentingan pribadi.

(45)

Korupsi berasal dari kata latin yaitu corruptio atau corruptu yang memiliki makna yang sangat luas. Dalam ensiklopedia Grote Winker Prins (1997), kata corruptio memiliki makna penyuapan.28 United State Agency for International Development (USAID) menjelaskan korupsi dalam dua model pengertian.

Pertama, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.

Kedua, korupsi adalah tindakan suap-menyuap untuk mempengaruhi kewenangan penyelenggara negara.29

Pengertian korupsi dalam Kamus Peristilahaan diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan diri dan merugikan negara dan rakyat.30

Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M.Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Kesimpulan ini diambil dari defenisi yang dikemukakan antara lain berbunyi:“financial manipulations and deliction injuriousto the economy are often labeled corrupt (manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering dikategorikan perbuatan korupsi)”.31

Dunia internasional memberikan pengertian korupsi berdasarkan Black Law Dictionary:“Corruption an act done with an intent to give some advantage

28 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, (Jakarta: Rajawali Pez, 2008), hal. 5.

29 Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 106.

30 M.D.J.Al Barry, Kamus Peristilahaan Modern dan Populer 10.000 Istilah, (Surabaya:

Indah Surabaya, 1996), hal. 208.

31 Ibid, hal. 9.

(46)

inconsistent with official duty and and the rights of others. The act of an official of fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or for another person, contrary to duty and the right of others” yang artinya“Suatu perbuatan yang dilakukan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya. Suatu perbuatan dari sesuatu yang resmi atau kepercayaan seseorang yang mana dengan melanggar hukum dan penuh kesalahan memakai sejumlah keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan tugas dan kebenaran-kebenaran lainnya”.32

Dalam hukum positif di Indonesia, tindak pidana korupsi sebenarnya sudah diatur pada pasal- pasal yang mengatur tentang kejahatan berkaitan dengan jabatan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Misalnya dalam Pasal 209 dan 210 KUHP tentang penyuapan pegawai negeri atau actieve omkoping. Namun, dalam KUHP tidak disebutkan secara expressis verbis (tegas bahwa hal tersebut merupakan tindak pidana korupsi.33

Korupsi secara tegas diatur sebagai kejahatan dimulai sejak Peraturan Penguasa Militer Angkatan Darat dan Laut Nomor Prt/PM/06/1957 tertanggal 9 April 1957. Konsideran dari peraturan tersebut menyatakan:

Berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha- usaha memberantas perbuatan- perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan

32 Surachmin & Suhandi Cahaya, Strategi & Teknik Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 10.

33 Suprapto, Hukum Pidana Ekonomi ditinjau dalam Rangka Pembangunan Nasional, (Jakarta:Widjaya, 1963), hal. 35.

Referensi

Dokumen terkait

Mengidentifikasi rata-rata pemenuhan jam tidur pasien di ruang rawat inap bedah setelah dilakukan teknik relaksasi guided imagery antara kelompok eksperimen dengan

namun ia yang komitmen dengan kata-katanya Dia yang bukan hanya berani mendekatimu, tapi juga berani mendatangi kedua orangtuamu Dia yang tak mau menjadi pacarmu,?. tapi ingin

menemukan buku seperti ini, yang mengggambarkan relung-relung kehidupan kemanusiaan yang paling dalam dari kehidupan Nabi Muhammad Sallā Allāh „alayhi

Satu unik asas dalam sebuah produksi cerita. Untuk lebih faham, setiap kali butang on kamera dihidupkan untuk merakamkan sesuatu kemudian kamera itu dimatikan dengan menekan butang

Penulis memilih membuat e-learning Teori Bahasa dan Automata karena merupakan salah satu mata kuliah yang sulit dipelajari dan mata kuliah ini adalah mata kuliah yang diutamakan

1. M Quraish Shihab berpendapat kata jahiliyah terambil dari kata jahl yang digunakan Alquran untuk menggambarkan suatu kondisi dimana masyarakatnya

analisis multivariat yang terbukti sebagai faktor risiko terhadap kejadian tuberkulosis paru adalah; pengetahuan (OR = 2,622), kepadatan penghuni (OR = 2,989), suhu dalam rumah (OR

main idea, listening for specific information, and listening to make inferences. So,