• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ancaman hukuman, digunakan di kebanyakan negara untuk mencegah perilaku tidak mematuhi peraturan wajib pajak. Ancaman hukuman, yang terdiri dari audit pajak, denda pajak dan tarif pajak digunakan di sebagian besar negara untuk mencegah perilaku ketidakpatuhan para pembayar pajak. Pendekatan pencegahan ekonomi (economic deterrence) dikembangkan berdasarkan

economics-of-crime model, diperkenalkan oleh Becker (1968) untuk

mengoptimalkan kebijakan publik dan swasta dalam memerangi perilaku ilegal, karena ancaman hukuman diharapkan dapat mendorong perilaku taat hukum. Pada dasarnya, diasumsikan bahwa keputusan kepatuhan pajak dibuat oleh wajib pajak dalam keadaan adanya rasa takut terhadap kemungkinan tertangkap dan dihukum (Alm & McKee, 1998).

Becker’s Deterrence Theory kemudian dikembangkan oleh Allingham dan Sandmo (1972) dengan menyodorkan denda, probabilitas audit, dan tarif pajak sebagai motivasi mematuhi pajak. Bagi A-S Model, ketidakpatuhan pajak hanya dapat ditekan dengan paksa melalui sanksi ekonomi atau hukuman.

Sanksi adalah hukuman negatif kepada orang yang melanggar peraturan, dan denda adalah hukuman dengan cara membayar uang karena melanggar peraturan dan hukum yang berlaku, sehingga dapat dikatakan bahwa sanksi denda adalah hukuman negatif kepada orang yang melanggar peraturan dengan cara membayar uang (Jatmiko, 2006). Peraturan atau Undang-Undang merupakan

50

rambu-rambu bagi seseorang untuk melakukan sesuatu mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Menurut Jatmiko (2006), Undang-undang dan peraturan secara garis besar berisikan hak dan kewajiban, tindakan yang diperkenankan dan tidak diperkenankan oleh masyarakat. Agar undang-undang dan peraturan itu dipatuhi, maka harus ada sanksi bagi pelanggarnya, demikian halnya untuk hukum pajak (Suyatmin, 2004).

Sanksi pajak merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan dipatuhi, dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan (Mardiasmo,2016). Sanksi pajak terdiri dari dua jenis yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana.

1.) Sanksi administrasi merupakan pembayaran kerugian kepada Negara, khususnya berupa bunga dan kenaikan. Sanksi administrasi dapat dijatuhkan apabila Wajib Pajak melakukan pelanggaran, terutama atas kewajiban yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dapat berupa sanksi administrasi bunga, denda dan kenaikan.

2.) Sanksi pidana merupakan siksaan atau penderitaan dan merupakan suatu alat terakhir atau benteng hukum yang digunakan fiskus agar norma perpajakan dipatuhi. Sanksi pidana dapat hukuman kurungan dan hukuman penjara. Pengenaan sanksi pidana tidak menghilangkan kewenangan untuk menagih pajak yang masih terutang.

51

Zain (2007:35) menyatakan bahwa sesungguhnya tidak diperlukan suatu tindakan apabila dengan rasa takut dan ancaman hukuman (sanksi dan pidana) saja wajib pajak sudah akan mematuhi kewajiban perpajakannya. Perasaan takut tersebut merupakan alat pencegah ampuh untuk mengurangi peyelundupan pajak atau kelalaian pajak. Jika hal ini sudah berkembang dikalangan para wajib pajak maka akan berdampak pada kepatuhan dan kesadaran untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.

Terdapat beberapa temuan tentang pengaruh denda. Sejumlah penelitian (misalnya: Beck, Jon, & Jung, 1991; Park & Hyun, 2003) menunjukkan bahwa denda berpengaruh positif dan lebih tinggi pada kepatuhan pajak tetapi penelitian lain (misalnya: Alm, Bahl, & Murray, 1990; Alm , Jackson, & McKee, 1992) mengarah pada temuan yang berlawanan. Selain itu, dampak denda juga bervariasi menurut kelompok wajib pajak. Misalnya, tingkat keparahan denda terhadap penipuan ditemukan berhubungan positif dengan perilaku wiraswasta berpenghasilan tinggi (Alm, Bahl, & Murray, 1990). Di sisi lain, hukuman perdata tampaknya memiliki hubungan negatif dengan perilaku pemilik usaha kecil dan individu berpenghasilan menengah (Witte & Woodbury, 1985).

Di Indonesia, penelitian mengenai ancaman hukuman diantaranya dilakukan oleh Fuadi dan Mangoting (2013), dalam studinya menyimpulkan bahwa pengenaan sanksi perpajakan terhadap Wajib Pajak UMKM yang melanggar ketentuan yang berlaku mempunyai peran dalam meningkatnya kepatuhan Wajib Pajak UMKM. Imaniati (2016) berpendapat bahwa sanksi tidak terlalu berpengaruh terhadap kepatuhan apabila wajib pajak berpikir bahwa

52

sanksi tidak ditegakkan secara tegas. Sejalan dengan pendapat di atas, Verboon dan van Dijke (2011) menyatakan bahwa tingkat sanksi pajak yang tinggi dapat meningkatkan kepatuhan hanya jika prosedur pemberian sanksi tersebut dipandang adil. Secara keseluruhan, ancaman hukuman tetap signifikan dalam menghalangi niat negatif atau sikap pembayar pajak.

Saefudin (2003) mengemukakan bahwa Undang-undang pajak dan peraturan pelaksanaannya tidak memuat jenis penghargaan bagi WP yang taat dalam melaksanakan kewajiban perpajakan baik berupa prioritas untuk mendapatkan pelayanan publik ataupun piagam penghargaan. Secara konvensional, terdapat dua macam sanksi yaitu sanksi positif dan sanksi negatif. Sanksi positif merupakan suatu imbalan, sedangkan sanksi negatif merupakan suatu hukuman (Ilyas dan Burton, 2010). Saat ini DJP masih berfokus pada pemberian sanksi negatif dalam menuntut wajib pajak agar patuh terhadap peraturan perpajakan. Apabila dikaitkan dengan UU Perpajakan yang berlaku, menurut Ilyas dan Burton (2010) terdapat empat hal yang diharapkan atau dituntut dari para wajib pajak, yaitu:

1. Dituntut kepatuhan (compliance) wajib pajak dalam membayar pajak yang dilaksanakan dengan kesadaran penuh.

2. Dituntut tanggung jawab (responsibility) wajib pajak dalam menyampaikan atau memasukan Surat Pemberitahuan tepat waktu.

3. Dituntut kejujuran (honesty) wajib pajak dalam mengisi Surat pemberitahuan sesuai dengan keadaan sebenarnya.

53

4. Memberikan sanksi (law enforcement) yang lebih berat kepada wajib pajak yang tidak taat pada ketentuan yang berlaku.

Dari keempat hal di atas, paling efektif menurut Ilyas dan Burton (2010) adalah dengan menerapkan sanksi (law enforcement) tanpa pandang bulu dan dilaksanakan secara konsekuen. Semakin tinggi atau beratnya sanksi, maka akan semakin merugikan wajib pajak. Oleh sebab itu, sanksi perpajakan diduga akan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak. Walaupun WP tidak mendapatkan penghargaan atas kepatuhannya dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, WP akan dikenakan banyak hukuman apabila alfa atau sengaja tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Variabel bebas ancaman hukuman (Threat of Punishment /ToP) yang digunakan dalam penelitian ini diadaptasi dari Verboon dan van Dijke (2007) dan Mohdali, Isa & Yusoff (2014), diukur pada skala Likert 5 poin (1 = sangat tidak setuju, 5 = sangat setuju), meliputi:

1. Saya TIDAK mengetahui jenis dan tingkat hukuman dan risiko yang ada untuk penghindaran pajak pendapatan di Indonesia.

2. Tidak mungkin bagi pembayar pajak untuk ditemukan dan dihukum oleh DJP jika mereka ingin menghindari pajak penghasilan.

3. Saya TIDAK membayar pajak seperti yang disyaratkan oleh peraturan karena saya tahu kemungkinan diaudit sangat tipis.

4. DJP jarang mengetahui apakah seseorang terlalu mengecilkan penghasilan mereka atau melebih-lebihkan biaya mereka.

54

2.1.4 Religiusitas

Kepatuhan membayar pajak merupakan salah satu tanggung jawab bagi pemerintah dan Wajib Pajak kepada Tuhan, dimana kedua pihak memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Kewajiban pemerintah adalah melakukan pengaturan penerimaan dan pengeluaran, sedangkan Wajib Pajak memiliki kewajiban membayar pajak kemudian berhak untuk melakukan pengawasan atas penggunaan iuran yang telah dibayarkan kepada negara (Tahar dan Rachman, 2014).

Keagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Orang yang memiliki agama akan memegang nilai-nilai tertentu yang dapat mempengaruhi tindakan dan keputusan mereka (Alam, Mohd & Hisham, 2011). Dister (1998) mendefinisikan religiusitas sebagai sikap keberagamaan yang mempunyai arti bahwa terjadi proses internalisasi agama kedalam diri individu. Sehingga, religiusitas merupakan salah satu faktor yang menentukan perilaku individu dalam kepatuhan pajak (Pope dan Mohdali, 2010).

Definisi religiusitas seperti yang didefinisikan oleh McDaniel dan Burnett (1990) dalam Basri (2015) adalah kepercayaan kepada Tuhan disertai dengan komitmen untuk mengikuti prinsip-prinsip yang diyakini ditetapkan oleh Allah. Allport (1950) mengemukakan bahwa agama dianggap berperan khas dalam kehidupan individu. Agama dipercaya dapat mengontrol perilaku individu dari sikap yang tidak etis. Seseorang yang memiliki sikap religiusitas yang tinggi cenderung berperilaku etis dan menghindari perilaku kecurangan pajak. Keyakinan agama yang kuat diharapkan mencegah perilaku ilegal melalui

55

perasaan bersalah terutama dalam hal penghindaran pajak (Grasmick, Bursik, & Cochran, 1991 ).

Religiusitas menunjuk pada tingkat keterikatan individu dengan agama. Hal ini menunjukkan bahwa individu telah menghayati dan menginternalisasi ajaran agamanya sehingga berpengaruh dalam segala tindakan dan pandangan hidupnya. Religiusitas dapat dibagi menjadi lima dimensi (Glock, 1962). Pertama, dimensi ideologis, dimana para pengikut agama-agama diharapkan untuk mematuhi set tertentu dari keyakinan. Kedua, dimensi ritualistik - praktek keagamaan tertentu dianut oleh pengikut agama seperti shalat, puasa dan meditasi. Ketiga, dimensi pengalaman yang menekankan pengalaman religius sebagai indikator tingkat religiusitas. Keempat, dimensi intelektual yang berfokus pada pengetahuan agama digunakan untuk memperkuat satu adalah keyakinan agama. Terakhir, dimensi konsekuensial mengidentifikasi efek dari kepatuhan terhadap empat dimensi pertama yang individu.

Religiusitas dalam penelitian terdahulu dapat dilihat dari dua perspektif utama: religious affiliation dan religious commitment. Religious affiliation mengacu pada kelompok agama tertentu yang dianut oleh individu seperti Islam, Kristen, Buddha dan Hindu. Hirschman (1983, hal.147) berpendapat bahwa individu dipengaruhi oleh afiliasi keagamaan jauh sebelum mereka dilahirkan. Johnson, Jang, Larson & De Li (2001, hal.25) mendefinisikan religious commitment atau religiusitas sebagai "sejauh mana seorang individu berkomitmen terhadap agama yang dia anut dan ajarannya, sehingga sikap dan perilaku individu mencerminkan komitmen ini".

56

Basri et al., (2012) menemukan bahwa nilai religiusitas berpengaruh signifikan terhadap ketidakpatuhan wajib pajak, semakin kuat pemahaman terhadap nilai religiusitas akan mendorong meningkatnya perilaku patuh bagi wajib pajak. Pemahaman yang kuat terhadap kaidah agama akan mendorong seorang individu untuk menghindari perilaku tidak patuh, salah satunya dalam melakukan pembayaran pajak. Namun berbeda dengan penelitian Masfufah (2013) yang menyatakan bahwa pemahaman agama/religiusitas tidak mempengaruhi kemauan dalam membayar pajak meskipun tingkat pemahaman agama /religiusitas wajib pajak tinggi.

Religiusitas dalam penelitian ini diukur berdasarkan 10 item religiusitas, diadaptasi dari Worthington et al. (2003, hal.94), yang dibagi menjadi dua komitmen religiusitas: intrapersonal dan interpersonal, pada skala Likert 5 poin (1 = tidak sepenuhnya benar bagi saya, 5 = benar benar saya).

a) Intrapersonal

1. Saya jarang mencoba menjalani hidup sesuai dengan keyakinan agama saya.

2. Saya jarang membaca buku dan majalah tentang kepercayaan saya. 3. Agama sangat penting bagi saya karena menjawab banyak pertanyaan

tentang makna kehidupan.

4. Penting bagi saya untuk menghabiskan waktu secara pribadi untuk berpikir dan merenungkan agama saya.

5. Saya menghabiskan waktu mencoba untuk meningkatkan pemahaman saya tentang iman saya.

57

6. Keyakinan agama tidak mempengaruhi sebagian besar urusan saya dalam kehidupan.

b) Interpersonal

7. Saya tidak suka menghabiskan waktu dengan orang lain dari afiliasi agama saya.

8. Saya jarang bergabung dengan kegiatan organisasi agama saya.

9. Saya tetap mendapat informasi yang baik tentang kelompok agama lokal saya dan memiliki pengaruh pada keputusannya.

10. Saya memberikan kontribusi keuangan kepada organisasi agama saya.

Dokumen terkait