• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 adalah kontribusi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 adalah kontribusi"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka

Pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Senada dengan pengertian pajak oleh DR. Diana Sari dalam bukunya Konsep Dasar Perpajakan (2013: hal.35), bahwa pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma– norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.

Agoes (2014: hal.6) mengutip pengertian pajak dari M.J.H Smeets yaitu bahwa pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan secara individual; maksudnya untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Dari seluruh pengertian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan kewajiban warga negara kepada negaranya yang mempunyai sifat memaksa berdasarkan undang-undang melalui proses peralihan kekayaan kepada pemerintah dan digunakan untuk kepentingan masyarakat umum dan pembangunan nasional, yang manfaat atau keuntungannya tidak dapat dirasakan secara langsung.

(2)

11

Warga negara yang dimaksud dalam kesimpulan tersebut dapat berupa orang pribadi atau Badan yang lazim disebut sebagai Wajib Pajak. Berdasarkan UU No.28 Tahun 2007 Pasal 1 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Wajib Pajak didefinisikan sebagai orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam penelitian ini wajib pajak yang menjadi objek penelitian adalah wajib pajak yang dikategorikan sebagai wajib pajak Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Karakteristik UMKM

Karakteristik UMKM merupakan sifat atau kondisi faktual yang melekat pada aktifitas usaha maupun perilaku pengusaha yang bersangkutan dalam menjalankan bisnisnya. Karakteristik ini yang menjadi ciri pembeda antar pelaku usaha sesuai dengan skala usahanya. Menurut Bank Dunia (BI, 2015), UMKM dapat dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu:

1) Usaha Mikro (jumlah karyawan 10 orang); 2) Usaha Kecil (jumlah karyawan 30 orang); dan

(3)

12

Dalam perspektif usaha, UMKM diklasifikasikan dalam empat kelompok, yaitu:

1) UMKM sektor informal, contohnya pedagang kaki lima.

2) UMKM Mikro adalah para UMKM dengan kemampuan sifat pengrajin namun kurang memiliki jiwa kewirausahaan untuk mengembangkan usahanya.

3) Usaha Kecil Dinamis adalah kelompok UMKM yang mampu berwirausaha dengan menjalin kerjasama (menerima pekerjaan sub kontrak) dan ekspor. 4) Fast Moving Enterprise adalah UMKM yang mempunyai kewirausahaan

yang cakap dan telah siap bertransformasi menjadi usaha besar.

Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil Menengah, klasifikasi UMKM bisa dibedakan dari jumlah aset dan total omzet penjualan. Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik, klasifikasi tersebut termasuk juga jumlah karyawan. Dalam undang-undang tersebut UMKM dijelaskan sebagai sebuah perusahaan yang digolongkan sebagai UMKM adalah perusahaan kecil yang dimiliki dan dikelola oleh seseorang atau dimiliki oleh sekelompok kecil orang dengan jumlah kekayaan dan pendapatan tertentu.

UMKM berdasarkan UU No. 20 Tahun 2008 pasal 1, disebutkan bahwa:  Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut:

a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

(4)

13

b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).

 Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut:

a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah).

 Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut:

a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 2.500.000.000,- (dua

milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.50.000.000.000,- (lima puluh milyar rupiah).

Pemungutan pajak di Indonesia menggunakan atau mengacu pada Self Assessment System, artinya wajib pajak menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkannya sendiri besarnya hutang pajak. pengenaan pajak terhadap Wajib Pajak setidaknya dapat dilihat dari dua aspek penting yaitu: Pertama, pengenaan pajak harus melindungi masyarakat dari perbuatan ketidakadilan / kesewenang-wenangan pemerintah selaku pihak yang mempunyai otoritas dalam memungut pajak (aspek peraturan) ; Kedua, pengenaan pajak

(5)

14

harus menciptakan keseimbangan bagi masyarakat, baik dari aspek ekonomi, sosial maupun aspek hukum.

Pemungutan pajak sebagai hak negara disatu sisi dibarengi dengan kewajiban pajak di pihak masyarakat disisi lain, oleh karena adanya kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang bersifat self assessement, maka Wajib Pajak harus aktif memenuhi kewajiban perpajakannya mulai dari mendaftarkan diri, mengisi SPT dengan jujur, baik dan benar sampai dengan melunasi pajak terutang tepat pada waktunya.

2.1.1 Konsep Kepatuhan Pajak

Perkembangan penelitian mengenai kepatuhan pajak telah meluas sejak tahun 1990-an dengan sejumlah konsep teoritis yang diperkenalkan dari berbagai disiplin ilmu. Berbagai definisi telah dikemukakan para peneliti di bidang ini, dan akhirnya secara garis besar definisi kepatuhan pajak dikelompokkan dalam dua kelompok besar, yaitu pendekatan operasional dan konseptual.

Pendekatan operasional secara umum menekankan pada pemenuhan kewajiban perpajakan dalam aspek administratif. Definisi berdasarkan pendekatan ini diantaranya adalah:

"the taxpayer files all required tax returns at the proper time and the returns accurately report tax liability in accordance with the rules, regulations and court decisions applicable at the time the return is filed" (Roth, Scholz & Witte, 1989, hal.2).

(6)

15

Konsep kepatuhan pajak dapat tercermin dari tindakan Wajib Pajak yang melakukan penghitungan dan pelaporan pajak secara akurat dan tepat waktu sesuai dengan aturan pajak yang telah ditetapkan.

Mc Mahon (2001) mengartikan kepatuhan sebagai kegiatan individu, yang didasari kesadaran maupun adanya paksaan, untuk menjalankan kewajibannya sesuai dengan peraturan yang mengaturnya. Jika penerimaan pajak yang diterima negara tidak sesuai dengan jumlah seharusnya, maka menimbulkan adanya tax gap dalam sistem perpajakan yang berjalan. Gunadi (2005) mendefinisikan tax gap sebagai selisih antara penerimaan pajak potensial dengan penerimaan pajak aktual atau perbedaan antara realisasi penerimaan pajak dengan penerimaan yang seharusnya diterima apabila wajib pajak melaksanakan kewajiban perpajakannya secara penuh.

Santoso (2008) merangkum pendapat Sommerfeld, Silva, Madeo, Anderson & Jackson (1994) dalam penelitiannya bahwa tax gap akibat ketidakpatuhan wajib pajak di Indonesia adalah gabungan antara selisih penghasilan yang dilaporkan wajib pajak (SPT) dengan penghasilan menurut hasil pemeriksaan (koreksi penghasilan berupa underreported income) dan biaya yang dilaporkan wajib pajak (SPT) dengan biaya menurut hasil pemeriksaan (koreksi biaya berupa overstated deductions).

Dengan demikian, ketidakpatuhan wajib pajak dalam satu tahun dapat diukur dengan koreksi penghasilan dan koreksi biaya pengurang penghasilan. Kedua jenis koreksi ini merupakan koreksi penghasilan neto wajib pajak sebelum diperhitungkan dengan kompensasi kerugian dari tahun pajak sebelumnya yang

(7)

16

dimiliki oleh wajib pajak. Menurut Barnes (2003) dalam Pongtuluran (2010), besarnya tax gap mencerminkan tingkat kepatuhan membayar pajak (tax compliance), semakin besar tax gap menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak semakin buruk, sedangkan semakin kecil tax gap

menunjukkan bahwa kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak semakin baik.

Definisi kepatuhan pajak berdasarkan pendekatan konseptual cenderung untuk lebih fokus pada pemenuhan kewajiban oleh wajib pajak tanpa mengahadirkan aktivitas penegakan hukum. Diantaranya definisi yang dipopulerkan oleh James dan Alley,

the willingness of individuals and other taxable entities to act in accordance within the spirit as well as the letter of tax law and administration without the application of enforcement activity” (James &

Alley, 2004, hal.32).

James dan Alley (2004, hal.29) menjelaskan definisi kepatuhan sebagai "continuum of definitions" rangkaian definisi dari pendekatan sempit yang berfokus pada kesenjangan pajak (tax gap) ke pendekatan yang lebih luas yang berfokus pada perilaku pembayar pajak. Definisi ini diperpanjang dari yang awalnya hanya berfokus pada faktor penentu ekonomi (economic deterrence factors) kemudian, berkembang dengan faktor sosio-ekonomi dan psikologis (socio-economic and psychological factors) untuk sepenuhnya memahami perilaku unik pembayar pajak.

(8)

17

Pendekatan pencegahan ekonomi (economic deterrence models) awalnya dianggap sebagai cara utama untuk mencegah penggelapan pajak (seperti yang sudah diteliti oleh: Allingham dan Sandmo, 1972; Graetz, Reinganum dan Wilde, 1986; Fischer, Wartick dan Mark, 1992). Pendekatan ini berasumsi bahwa hukuman yang lebih tinggi dan probabilitas audit berkaitan dengan penggelapan pajak yang lebih sedikit. Sebaliknya, penelitian lain menunjukkan arah sebaliknya. Sebagai contoh, tidak ada dampak yang signifikan dari hukuman pidana tambahan pada kepatuhan pajak dan begitu pun audit pajak memiliki dampak yang tidak signifikan terhadap wajib pajak yang digaji (Witte dan Woodbury, 1985, hal.9). Ini mungkin karena ancaman hukuman oleh otoritas pajak melalui penalti pajak dan pemeriksaan pajak mungkin hanya efektif untuk kelompok pembayar pajak tertentu. Oleh karena itu, pendekatan pencegahan ekonomi mungkin tidak tepat untuk menjelaskan masalah kepatuhan pajak (Mohd Ali, 2013, hal.18).

Tantangan nyata dari masalah kepatuhan pajak bukan hanya untuk menjelaskan mengapa orang menghindari membayar pajak, melainkan mengapa orang mematuhi, mengingat bahwa tingkat pemeriksaan pajak dan denda yang dikenakan pada pembayar pajak cukup rendah dibandingkan dengan persentase orang yang mematuhi (Alm, Sanchez dan De Juan, 1995, hal.3). Karena alasan ini, fokus pada pendekatan pencegahan ekonomi telah bergeser ke pendekatan psikologis sosial (social psychological models), untuk mempertimbangkan faktor-faktor non-ekonomi (non-economic factors) dan karenanya, mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang perilaku pembayar pajak. Para ahli teori

(9)

18

psikologi sosial percaya bahwa faktor non-ekonomi adalah faktor utama yang mempengaruhi pembayar pajak dalam membuat keputusan kepatuhan mereka dan bukan faktor ekonomi seperti dalam pendekatan pencegahan ekonomi. Sebagian besar studi tentang pendekatan ini berfokus pada elemen-elemen yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan pembayar pajak seperti pengaruh teman sebaya (peer influences) dan sikap pribadi individu (misalnya: Song dan Yarbrough, 1978; Kaplan dan Reckers, 1985; Hite, 1988).

Namun, penggunaan masing-masing pendekatan saja tampaknya tidak cukup menjelaskan perilaku kepatuhan pembayar pajak. Penggunaan pendekatan psikologis fiskal (fiscal psychological models) disarankan, untuk memberikan gambaran yang lebih baik, dengan menggabungkan dua pendekatan sebelumnya (misalnya: Schmölders, 1959; Hasseldine dan Bebbington, 1991). Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada perilaku pembayar pajak dan pengaruh teman sebaya tetapi juga pada dampak tindakan pemerintah dan pengaruh perlakuan otoritas pajak terhadap perilaku pembayar pajak. Meskipun upaya ini dari berbagai disiplin ilmu, alasan sikap ketidakpatuhan atau perilaku kepatuhan pembayar pajak masih belum dapat disimpulkan karena keterbatasan masing-masing model. Sampai saat ini, tetap penting untuk mengumpulkan semua informasi ini untuk mengembangkan pendekatan yang lebih baik untuk menawarkan solusi yang tepat untuk masalah ketidakpatuhan pajak (Mohd Ali, 2013, hal.19).

(10)

19

Konsep/pendekatan yang mendasari kepatuhan pajak tersebut dikelompokkan dalam tiga kelompok besar, seperti gambar 2.1. berikut ini:

Gambar 2.1.

Tiga Kelompok Model Teori Kepatuhan Pajak Sumber: Rosid, 2017

Economic Deterrence Models

Esensi dari Economic Deterrence Models adalah asumsi bahwa wajib pajak adalah makluk ekonomi yang sangat rasional dan oleh karenanya akan selalu bertindak murni berdasar prinsip utilitas ekonomi (expected utility theory). Hasilnya, teori ini fokus pada variabel probabilitas audit dan besaran sanksi audit (Rosid, 2017a).

Pendekatan ini dikembangkan berdasarkan model ekonomi-kejahatan (economics-of-crime model), yang diperkenalkan oleh Becker (1968) untuk mengoptimalkan kebijakan publik dan swasta dalam memerangi perilaku ilegal, karena ancaman hukuman diharapkan dapat mendorong perilaku taat hukum. Pada dasarnya, dalam pendekatan ini diasumsikan bahwa keputusan kepatuhan

Economic Detterence Model Social Psychology Models Fiscal Psychology Models

(11)

20

pajak dibuat oleh pembayar pajak dalam keadaan yang tidak pasti, karena mereka takut akan kemungkinan tertangkap, apalagi jika hukumannya cepat, pasti dan ketat (Alm dan McKee, 1998, hal.260).

Mengikuti model Becker, penelitian perintis dalam perpajakan yang dilakukan oleh Allingham dan Sandmo (1972, hal.338) menyarankan bahwa salah satu cara untuk memastikan orang membayar pajak mereka adalah dengan menggunakan kebijakan pencegahan (deterrence approach), seperti penggunaan ancaman hukuman yang melibatkan probabilitas audit, tingkat keparahan hukuman serta kenaikan tarif pajak. Meskipun sebagian besar studi tentang pengaruh probabilitas audit pada kepatuhan pajak sesuai dengan teori (misalnya: Fischer, Wartick & Mark, 1992; Scholz dan Pinney, 1995), temuan pengaruh hukuman (misalnya: Alm, Bahl dan Murray, 1990; Park and Hyun, 2003) dan tarif pajak (misalnya: Clotfelter, 1983; Etzioni, 1986) menunjukkan hasil sebaliknya karena sejumlah alasan seperti perbedaan jenis pembayar pajak dan kepastian informasi mengenai kemungkinan pemeriksaan pajak. Oleh karena itu, meningkatkan tingkat hukuman tidak akan selalu menghasilkan efek jera yang lebih besar (Devos, 2004, hal.16).

Kerangka konseptual model ini harus diperluas dengan mempertimbangkan faktor-faktor non-ekonomi (Spicer dan Lundstedt, 1976, hal.302) karena tidak realistis dan kurang manusiawi (Cullis dan Lewis, 1997, hal.309). Alm et al. (1995, hal.15), misalnya berpendapat bahwa menjelaskan kepatuhan pajak harus mengenali banyak faktor yang memotivasi perilaku individu, faktor yang melampaui pendekatan economic-of-crime dengan

(12)

21

memasukkan teori perilaku dan ilmu sosial lainnya. Daripada hanya bergantung pada pendekatan ekonomi untuk mendorong kepatuhan pajak, sebaiknya juga mengeksplorasi pendekatan lain untuk memahami faktor-faktor non-ekonomi yang mungkin mempengaruhi perilaku pembayar pajak (James, Murphy dan Reinhart, 2005, hal.188). Sebagai contoh, pendekatan psikologi sosial yang lebih tepat untuk mengeksplorasi kemauan pembayar pajak untuk mematuhi undang-undang perpajakan. Singkatnya, model deterrence tidak menjelaskan alasan mengapa banyak orang bersedia mematuhi undang-undang perpajakan (Mohd Ali, 2013, hal.20).

Social Psychology Models Psikologi sosial adalah,

discipline that uses the scientific method to understand and explain how the thought, feeling and behavior of individuals are influenced by the actual, imagined or implied presence of other human beings" (Allport, 1989, hal.5). Psikologi sosial adalah "disiplin yang menggunakan metode ilmiah untuk memahami dan menjelaskan bagaimana pikiran, perasaan, dan perilaku individu dipengaruhi oleh kenyataan, imajinasi atau kehadiran dari manusia lain disekitarnya" (Allport, 1989, hal. 5).

Pendekatan ini mengasumsikan bahwa

"individuals are not simply independent, selfish and utility maximisers but they also interact with other human beings according to differing attitudes, beliefs, norms and roles", (James dan Alley, 2004, hal.33).

(13)

22

Sejumlah pendekatan psikologis sosial telah diterapkan untuk penelitian kepatuhan pajak seperti theory of inequity /teori ketidakadilan (Adams, 1965),

prospect theory /teori prospek (Kahneman dan Tversky, 1979) dan reasoned action theory /teori tindakan beralasan (Ajzen dan Fishbein, 1980).

Friedland, Thibaut and Walker (1973, hal.104) berpendapat bahwa pendekatan detterence terlalu sederhana dan akhirnya mengakui teori ketidakadilan (theory of inequity) dalam penelitian mereka berikutnya (Thibaut, Friedland dan Walker, 1974, hal.801) sebagai faktor yang relevan dalam mempengaruhi orang untuk mematuhi serangkaian hukum. Adams (1965, hal.280) mendefinisikan teori ini sebagai “the perception of an individual in terms of the proportion of outcomes to inputs being unequal as compared to others”. Penelitian eksperimental oleh Thibaut et al. (1974, hal.801)

mengungkapkan bahwa pembagian sumber daya yang adil meningkatkan kecenderungan individu untuk patuh, sementara di antara mereka yang mengalami ketidakadilan cenderung untuk tidak patuh. Penelitian ini juga didukung oleh Spicer dan Becker (1980, hal.174) yang mendalilkan bahwa hubungan yang adil antara pembayar pajak dan pemerintah akan mendorong kepatuhan pajak. Wajib pajak memiliki persepsi ketidakadilan berdasarkan keyakinan mereka bahwa membayar pajak tidak memberi manfaat bagi mereka dan bahwa terdapat ketidakadilan dalam sistem pajak (Mohd Ali, 2013, hal.21).

Teori prospek (prospect theory) oleh Kahneman dan Tversky (1979) menjelaskan bagaimana orang membuat pilihan mereka ketika risiko dilibatkan dan bagaimana potensi kerugian dan keuntungan dievaluasi. Jika suatu kerugian

(14)

23

diduga, para pembayar pajak diasumsikan sebagai pencari risiko dan jika suatu keuntungan diduga, para pembayar pajak diasumsikan menghindari risiko. Penerapan teori ini pada proses pengambilan keputusan pajak telah diakui oleh sejumlah peneliti seperti Smith dan Kinsey (1987, hal.649). Mereka berpendapat bahwa pembayar pajak diharapkan untuk mematuhi undang-undang pajak jika kenaikan diantisipasi melalui pengembalian pajak, dan mereka yang diharapkan membayar pajak tambahan atau mengalami kerugian pasti diperkirakan untuk menghindari pajak. Umumnya, beberapa studi dalam penelitian penghindaran pajak (misalnya: Robben, Webley, Elfers and Hessing, 1990; Kirchler dan Maciejovsky, 2001) telah sangat mendukung teori ini. Adapun pendapat bahwa selain keuntungan dan kerugian, tipe pembayar pajak, seperti gaji, wiraswasta atau perusahaan bisnis, juga memiliki dampak yang signifikan terhadap pengambilan keputusan kepatuhan pajak (Kirchler dan Maciejovsky, 2001, hal.188).

Teori tindakan beralasan (reasoned action theory) oleh Ajzen dan Fishbein (1980) (Gambar 2.2.) mengasumsikan bahwa faktor utama dalam teori tindakan beralasan adalah niat individu untuk melakukan perilaku tertentu. Niat pembayar pajak untuk melakukan perilaku tertentu didasarkan pada penilaian pribadi mereka serta pendapat orang lain. Ini konsisten dengan saran dari banyak sosiolog bahwa keyakinan moral dan pengaruh teman sebaya adalah dua faktor utama yang membantu pembayar pajak untuk memutuskan apakah akan mematuhi atau tidak (Grasmick dan Bursik, 1990, hal.857).

(15)

24

Gambar 2.2.

Factors Determining a Person’s Behaviour Sumber: Adapted from Ajzen and Fishbein (1980, hal. 8)

Hanno dan Violette (1996, hal.72) menggunakan reasoned action theory

dalam menganalisis pengaruh moral dan sosial terhadap perilaku pembayar pajak. Temuan mereka menunjukkan bahwa wajib pajak yang patuh lebih peduli tentang kewajiban moral atau kewarganegaraan mereka sedangkan pembayar pajak yang tidak patuh lebih peduli tentang ancaman audit dari otoritas pajak. Dengan demikian faktor non-moneter dan moneter dapat berbagi bobot yang sama dalam pembuatan keputusan kepatuhan pembayar pajak (Reckers, Sanders and Roark, 1994, hlm. 834). Selanjutnya, dalam proses keputusan kepatuhan, pembayar pajak mungkin juga cenderung bergantung pada bagaimana mereka memandang orang lain (Kaplan dan Reckers, 1985, hal. 101).

Dimodifikasi dari theory of reasoned action (TRA), salah satu teori yang menjelaskan bagaimana manusia sebagai makluk sosial berperilaku adalah theory of planned behaviour (TPB) (Gambar 2.3.), teori psikologi sosial ini secara

(16)

25

konseptual menghubungkan tiga variabel kunci (attitudes towards behaviour, perceived norms, dan perceived behavioural control) dengan niat dan perilaku untuk memahami dan memprediksi perilaku manusia (Fishbein dan Ajzen 2010).

Salah satu poin menarik dari TPB ini adalah teori ini dapat ‘membaur’ dengan pendekatan yang saat ini berkembang dalam riset kepatuhan pajak: behavioral economics. Ini karena, TPB tidak mengasumsikan bahwa orang akan selalu bertindak rasional dalam perilaku mereka. Konsepsi TPB memiliki pandangan bahwa perilaku manusia pada dasarnya berasal dari keyakinan dasar (salient beliefs) yang dimiliki. Keyakinan tentu saja bersifat subyektif. Pandangan bahwa ‘rasionalitas’ bukan faktor kunci utama dalam memahami perilaku manusia mendapat dukungan banyak pihak (Rosid, 2017b).

Gambar 2.3.

Theory of planned behaviour Sumber: Fishbein dan Ajzen (2010, hal.22)

(17)

26

Menurut Jackson dan Milliron (1986) dan Alm (1999), perilaku ketidakpatuhan pajak dapat dijelaskan dengan pendekatan sosial dan psikologis. Model yang dibangun pada penelitian oleh Jackson dan Milliron (1986, hal. 126) yang mengidentifikasi faktor yang paling umum diteliti dalam studi kepatuhan pajak, yaitu empat belas variabel dikategorikan ke dalam empat kelompok. Kemudian diperpanjang dengan menggabungkan faktor ekonomi, sosiologis dan psikologis yang diperkenalkan oleh Fischer et al. (1992, hal. 3). sebagaimana disajikan pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Tax Compliance Model Sumber: Fischer et al. (1992, hal.3)

Beberapa peneliti berpendapat bahwa pencegahan ekonomi dan pendekatan psikologi sosial telah mengabaikan beberapa elemen penting yang tidak dapat dijelaskan oleh pendekatan ekonomi dan sosiologis secara independen (Feld dan Frey, 2002, hal 89). Lalu, model ini disarankan untuk dimodifikasi sebagian untuk memasukkan faktor lingkungan dari latar belakang budaya

(18)

27

pembayar pajak seperti norma sosial dan nilai-nilai etika (Chau dan Leung, 2009, hlm. 38). Ini mungkin karena kecenderungan peneliti untuk mempelajari nilai-nilai etika untuk menjelaskan kepatuhan pajak telah meningkat secara signifikan (Richardson dan Sawyer, 2001, hal 177) sejak ulasan sebelumnya oleh Jackson dan Milliron (1986). Oleh karena itu, tidak ada satu pun dari pendekatan ini yang memberikan solusi yang lebih baik terhadap teka-teki kepatuhan pajak.

Fiscal Psychology Models

Sebagian besar penelitian kepatuhan pajak berfokus terutama pada teori tunggal dalam penelitian sebelumnya yang hanya menawarkan analisis terbatas dari masalah kepatuhan pajak (McKerchar, 2001, hal. 126), kecuali untuk sejumlah peneliti yang mencoba untuk menghubungkan teori-teori ini untuk mendapatkan pandangan yang lebih baik dan lebih komprehensif tentang perilaku kepatuhan pembayar pajak. Perpaduan antara pendekatan ekonomi dan perilaku, yang dikenal sebagai pendekatan psikologi fiskal, disarankan oleh sejumlah peneliti seperti Schmölders (1959) dan Hasseldine dan Bebbington (1991) dan telah memberi kita pemahaman yang lebih jelas tentang isu-isu utama kepatuhan pajak. Istilah "psikologi fiskal" pertama kali diperkenalkan oleh Schmölders (1959, hal 345) dan menekankan kurangnya motivasi bagi pembayar pajak untuk membayar pajak karena tidak ada keuntungan nyata dari pembayaran pajak baik dalam bentuk barang-barang moneter atau publik.

Pendekatan psikologi fiskal memberikan wawasan yang lebih baik tentang cara orang berperilaku dalam situasi ekonomi dengan mengeksplorasi

(19)

28

efek masalah ekonomi dan tindakan pemerintah pada sikap seseorang dalam upaya untuk mendorong perilaku positif dalam mematuhi peraturan pajak. Pendekatan ini menekankan pentingnya kebijakan positif yang dikembangkan oleh pemerintah untuk meningkatkan kerja sama antara pembayar pajak dan pemerintah. Salah satu contohnya adalah penggunaan pengurangan tarif pajak, sebagai insentif untuk mendorong perilaku positif pembayar pajak selama proses pembuatan keputusan kepatuhan pajak. Penegakan pajak dipandang sebagai problematik dalam pendekatan psikologi fiskal dan dapat ditingkatkan dengan kerja sama pembayar pajak dengan pemerintah atau otoritas pajak.

Schmölders (1970) memandang sikap pembayar pajak berdasarkan tanggapan mereka terhadap sistem pajak dan penegakan pajak. Survei di Jerman, Inggris, Prancis, Italia, dan Spanyol menunjukkan bahwa sikap pajak individu berbeda antar negara karena perbedaan dalam sistem pajak. Bahkan kata "pajak" digenggam berbeda seperti di Jerman, itu disebut "stuer" yang berarti "dukungan" dan dalam bahasa Latin, itu disebut "impot/ imposto/ impuesto" yang berarti "memaksakan" (Schmölders, 1970, hal.301-302).

Dalam pendekatan psikologi fiskal, mentalitas pajak, perasaan tekanan pajak dan moral pajak adalah tiga elemen yang membentuk sikap pembayar pajak (Schmölders, 1970, hal.301). Elemen pertama, mentalitas pajak, menggambarkan seorang wajib pajak yang merasa ragu-ragu apakah harus mematuhi undang-undang pajak atau tidak. Ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan pengalaman individu. Unsur kedua, perasaan ketegangan pajak, terutama berasal dari distribusi beban pajak yang tidak merata yang menyebabkan ketidakpuasan

(20)

29

wajib pajak dengan sistem pajak. Elemen terakhir, moral pajak, didefinisikan sebagai motivasi internal individu dari keyakinan agama atau nilai moral untuk membayar pajak, juga disebut sebagai "motivasi intrinsik". Peningkatan sikap positif pembayar pajak dari elemen-elemen ini diharapkan dapat mendorong kesediaan mereka untuk membayar pajak.

Pada tahun 1960-an, Sistem Pengumpulan Pajak Swedia dikecam karena frekuensi pengajuan pajak yang berlebihan (rata-rata tiga kali setahun), komplikasi formulir pengembalian pajak dan tata letaknya yang membingungkan, bahasa legalistik yang digunakan dan jumlah informasi wajib. Untuk memberikan rekomendasi mengenai masalah ini, Vogel (1974) menganalisis sikap dan persepsi wajib pajak terhadap penggelapan pajak berdasarkan survei sosiologis opini publik tentang perpajakan dan pengalaman publik dengan proses pengumpulan pajak. Temuan menunjukkan penggelembungan pajak yang meluas di Swedia karena kekecewaan dengan sistem pajaknya. Vogel (1974, hal.511) mengidentifikasi dua kategori penghindaran pajak dalam survei. Kategori pertama dan utama dari penghindaran pajak adalah pengelakan yang terinspirasi oleh kesadaran akan peluang untuk melanggar hukum. Kategori kedua adalah penghindaran yang terinspirasi oleh kebutuhan untuk mengkompensasi beban pajak lebih lanjut karena kategori utama penggelapan pajak. Jadi, meskipun banyak orang menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap penggelapan pajak, masih banyak orang yang akan menghindar untuk kompensasi. Vogel juga menekankan peran penting dukungan kelompok dalam mempengaruhi etika wajib pajak dan keputusan penghindaran pajak.

(21)

30

Robbins (2007) pun mendefinisikan serupa, bahwa sikap adalah pernyataan evaluatif baik yang menguntungkan atau tidak mengenai objek, orang atau peristiwa. Sikap mencerminkan bagaimana seseorang merasakan mengenai sesuatu. Sikap merupakan faktor paling penting yang menentukan pada wajib pajak perorangan untuk mematuhi atau tidak mematuhi. Dalam kaitannya dengan ketidakpatuhan pajak, sikap ketidakpatuhan pajak akan terbentuk apabila wajib pajak mempunyai keyakinan dan evaluasi yang positif terhadap ketidakpatuhan pajak. Diharapkan, dari pemeriksaan sikap dan keyakinan, beberapa alasan mengapa wajib pajak menghindari pajak dapat diidentifikasi dan tindakan yang tepat diambil dalam upaya untuk mengubah sikap dan keyakinan tersebut.

Ketidakpatuhan merupakan konseptualisasi yang paling inklusif berkenaan dengan kegagalan untuk memenuhi kewajiban perpajakan baik disengaja atau tidak disengaja (Kinsey, 1985), sebagaimana dikutip dalam Kasipillai, Aripin & Amran (2003). Penelitian McKerchar dan Evans (2009, hal.173) telah menunjukkan bahwa ada berbagai faktor yang mempengaruhi kepatuhan pajak, yaitu faktor demografi (termasuk usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan), faktor pribadi (termasuk sikap, pengalaman, keadaan moral dan keuangan) dan aspek dari sistem perpajakan itu sendiri (termasuk tarif pajak, penalti, probabilitas audit, strategi penegakan, kompleksitas dan biaya kepatuhan).

Hampir tidak mungkin untuk memiliki satu model 'universal' untuk mempelajari perilaku kepatuhan, karena beberapa faktor biasanya mempengaruhi keputusan individu untuk mematuhi (atau tidak) pembayaran pajak. Faktor-faktor

(22)

31

ini biasanya berbeda dari satu negara ke negara lain dan dari satu situasi ke situasi lainnya. Model yang tersedia untuk mempelajari kepatuhan pajak telah (secara individu dan kolektif) memberikan wawasan untuk memahami kepatuhan wajib pajak, dengan demikian, peneliti kepatuhan pajak dapat membuat pilihan atau mengkombinasikan model yang paling sesuai dengan lingkungan dan situasi yang mereka hadapi. Mengintegrasikan faktor ekonomi dan non-ekonomi dalam sebuah penelitian mungkin menawarkan rute yang paling menjanjikan untuk memecahkan teka-teki kepatuhan pajak (Mohd Ali, 2013, hal.29).

Kesimpulan utama yang dapat ditarik dari semua model kepatuhan pajak adalah bahwa kepatuhan (atau ketidakpatuhan) dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan non-ekonomi. Tinjauan dari ketiga pendekatan penelitian utama ini menunjukkan bahwa fokus pada faktor ekonomi dalam pendekatan pencegahan telah menghasilkan temuan yang beragam. Ini mungkin menunjukkan bahwa pendekatan deterrence saja tidak cukup untuk menjelaskan sikap negatif wajib pajak terhadap masalah pembayaran pajak. Untuk mengatasi kelemahan yang ada pada Economic Deterrence Models, para cendekiawan pajak membangun pendekatan baru berupa non-expected utility theory dengan menyelipkan unsur-unsur psikologi yang mempengaruhi manusia dalam mengambil keputusan, seperti misalnya attribution theory dan prospect theory. Selanjutnya, meski sama-sama fokus pada pentingnya unsur psikologi, yang membedakan Fiscal Psychology Models dengan Social Psychology Models adalah Fiscal Psychology Models lebih fokus pada pemahaman mengenai dinamika kualitas hubungan diakletis antara otoritas pajak (atau negara) dengan wajib pajak (Rosid, 2017a).

(23)

32

Pendekatan psikologis sosial, terutama berfokus pada faktor-faktor non-ekonomi, tampaknya juga kekurangan beberapa elemen penting untuk sepenuhnya memahami sikap-sikap wajib pajak. Pendekatan psikologis fiskal pada dasarnya merupakan perpaduan dua pendekatan tersebut, dan tampaknya menawarkan cara yang lebih berarti untuk menjelaskan keputusan kepatuhan pajak dengan menggunakan faktor ekonomi dan non-ekonomi (Mohd Ali, 2013, hal.30). Karena cakupan luas variabel kepatuhan pajak dalam studi sebelumnya sebagaimana diakui secara luas dalam bab ini, hanya variabel yang relevan yang dibahas secara luas mengingat ketiga model tersebut digunakan sebagai pendekatan utama dalam penelitian ini.

Sesuai dengan PMK Nomor 192/PMK.03/2007 Pasal 1, wajib pajak yang dapat ditetapkan sebagai wajib pajak patuh yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak apabila memenuhi semua syarat sebagai berikut:

a. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;

b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuksemua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak;

c. Laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawas keuangan pemerintah dengan pendapat wajar tanpa pengecualian selama 3 tahun berturut-turut; dan

(24)

33

d. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan berdasar putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 tahun terakhir.

Literatur mengenai kepatuhan pajak di Indonesia yang berkembang selama dekade terakhir diantaranya adalah Salamun A.T. (1991), yang memberikan definisi kepatuhan wajib pajak sebagai pemenuhan kewajiban perpajakan (mulai dari menghitung, memungut, memotong, menyetorkan, hingga melaporkan kewajiban pajak) oleh Wajib Pajak sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Ada empat hal yang dapat mempengaruhi kesadaran dan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya, yaitu: tarif pajak; pelaksanaan penagihan yang rapi, konsisten dan konsekuen; ada tidaknya sanksi bagi pelanggar; pelaksanaan sanksi secara konsisten, konsekuen dan tanpa pandang bulu.

Devano (2006) berpendapat, suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakna tercermin dari situasi sebagai berikut:

1. Wajib Pajak paham atau berusaha untuk memahami Undang-undang Pajak; 2. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas;

3. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar; 4. Membayar pajak tepat pada waktunya.

Sharifuddin (1996, hal.59-60) menyebutkan bahwa tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya pada dasarnya tercermin dalam tiga hal antara lain:

(25)

34

1) Patuh memenuhi kewajiban interim seperti pembayaran SPT Masa.

2) Patuh memenuhi kewajiban tahunan, seperti menghitung pajak (self assessment) sesuai dengan yang seharusnya, melunasi hutang pajak tepat waktu, dan patuh dalam melaporkan perhiungan dalam SPT di akhir tahun pajak.

3) Patuh memenuhi ketentuan materiil dan yuridis formal perpajakan dengan melaksanakan pembukuan atas semua penghasilan dan biaya serta transaksi keuangan lainnya.

Nurmantu (2003) mendefinisikan kepatuhan perpajakan sebagai “suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya”. Terdapat dua macam kepatuhan menurut Nurmantu (2003), yakni: kepatuhan formal dan kepatuhan material.

Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. Kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak secara formal dilihat dari aspek kesadaran Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri, ketepatan waktu dalam membayar pajak, ketepatan waktu dalam menyampaikan SPT, dan pelaporan Wajib Pajak melakukan pembayaran tepat waktu. Kepatuhan material yaitu suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantif atau hakikat memenuhi semua ketentuan material perpajakan. Wajib pajak yang memenuhi kepatuhan material adalah wajib pajak yang mengisi dengan jujur, lengkap, dan benar Surat Pemberitahuan (SPT) sesuai ketentuan dan menyampaikannya ke KPP sebelum batas waktu berakhir.

(26)

35

Suandy (2011:119) menjelaskan kepatuhan Wajib Pajak secara formal menurut Undang-Undang KUP yang sering dilanggar oleh Wajib Pajak adalah sebagai berikut:

1) Kewajiban untuk mendaftarkan diri,

Pasal 2 Undang-undang KUP menegaskan bahwa setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Khusus terhadap pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan undangundang PPN, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

2) Kewajiban mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan,

Pasal 3 ayat (1) Undang-undang KUP menegaskan bahwa setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dalam bahasa Indonesia serta menyampaikan ke kantor pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

3) Kewajiban membayar atau menyetor pajak,

Kewajiban membayar atau menyetor pajak dilakukan di kas negara melalui kantor pos atau bank BUMN/BUMD atau tempat pembayaran lainnya yang ditetapkan Menteri Keuangan.

4) Kewajiban membuat pembukuan dan/atau pencatatan,

Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia diwajibkan membuat pembukuan (Pasal 28 ayat (1)). Sedangkan pencatatan dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usahanya atau pekerjaan bebas

(27)

36

yang diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

5) Kewajiban menaati pemeriksaan pajak,

Terhadap Wajib Pajak yang diperiksa, harus menaati ketentuan dalam rangka pemeriksaan pajak, misalnya Wajib Pajak memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, memberi kesempatan untuk memasuki tempat ruangan yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan, serta memberikan keterangan yang diperlukan oleh pemeriksa pajak.

6) Kewajiban melakukan pemotongan atau pemungutan pajak.

Wajib Pajak yang bertindak sebagai pemberi kerja atau penyelenggara kegiatan wajib memungut pajak atas pembayaran yang dilakukan dan meyetorkan ke kas negara. Hal ini sesuai dengan prinsip withholding system.

Adapun kepatuhan material menurut Undang-undang KUP dalam Suandy (2011:120) disebutkan bahwa:

“Setiap Wajib Pajak membayar pajak terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak dan jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan”.

(28)

37

Kemudian merujuk kepada kriteria Wajib Pajak patuh menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 544/KMK.04/2000 bahwa kriteria Kepatuhan Wajib Pajak adalah:

1. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) untuk semua jenis pajak dalam dua tahun terakhir;

2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak; 3. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang

perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir;

4. Dalam dua tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam hal terhadap Wajib Pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak yang terutang paling banyak 5%;

5. Wajib Pajak yang laporan keuangannya untuk dua tahun terakhir di audit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian, atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal.

Gunadi (2005) mengartikan kepatuhan pajak sebagai kesediaan Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu diadakan pemeriksaan, investigasi seksama, peringatan ataupun ancaman dan penerapan sanksi administrasi.

Berdasarkan berbagai definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian dari kata kepatuhan yang berarti mengikuti suatu spesifikasi, standar,

(29)

38

atau hukum yang telah diatur dengan jelas yang biasanya diterbitkan oleh lembaga atau organisasi yang berwenang dalam suatu bidang tertentu. Maka kata ketidakpatuhan dapat diartikan sebagai tindakan penolakan/penyimpangan/ penyelewengan secara sengaja dari standar, hukum, ataupun peraturan yang berlaku yang seharusnya diterapkan atau dilakukan. Dengan demikian ketidakpatuhan wajib pajak merupakan perilaku penolakan/ penyelewengan yang dilakukan secara sengaja oleh wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya yang seharusnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang ditetapkan.

Indikator Ketidakpatuhan Wajib Pajak

Kepatuhan dalam penelitian ini lebih cenderung mengadopsi indikator sikap ketidakpatuhan yang digunakan oleh Roberts (1994) dan Hasseldine (1999) yang terdiri dari 13 item berikut ini:

1. Bertransaksi barang atau jasa dengan teman tidak perlu dilaporkan dalam formulir pajak Anda;

2. Melaporkan penghasilan pokok Anda sepenuhnya, tapi dengan sengaja tidak melaporkan penghasilan paruh waktu (selain penghasilan pokok); 3. Jika seseorang dibayar tunai untuk suatu pekerjaan dan kemudian tidak

melaporkannya di formulir pajak;

4. Tidak melaporkan beberapa pendapatan dari investasi atau bunga yang tidak dapat dideteksi/diketahui oleh Pemerintah;

(30)

39

5. Karena beberapa pengusaha kaya tidak membayar pajak penghasilan sama sekali, jika seseorang seperti anda mengurangi pembayaran sedikit, ini bukan masalah besar;

6. Tarif pajak penghasilan terlalu tinggi, sehingga bukan sebuah penyelewengan saat anda mencari celah dalam aturan untuk membayar pajak lebih rendah dari yang seharusnya;

7. Bila anda merasa tidak yakin bahwa Anda berhak/tidak mendapatkan pengurangan pajak, masuk akal untuk mengambil kesempatan dan menggunakan pengurangan tersebut;

8. Dengan tingginya biaya barang dan jasa akhir-akhir ini, tidak apa-apa mengklaim lebih banyak biaya untuk membantu memenuhi kebutuhan; 9. Tidak salah jika menyatakan kurang pada penghasilan kena pajak dengan

alasan pemerintah menghabiskan pajak pada terlalu banyak proyek; 10.Tidaklah salah untuk mengecilkan penghasilan karena hal itu tidak

menyakiti siapa pun;

11.Kemungkinan diaudit sangat rendah sehingga sangat berharga mengecilkan sedikit penghasilan kena pajak Anda;

12.Bila Anda tahu bahwa Anda layak mendapatkan potongan yang tidak diijinkan, masuk akal untuk menggantinya dengan beberapa potongan lain yang tidak akan mudah dilacak;

13.Tidak apa-apa untuk sesekali mengecilkan pendapatan tertentu atau mengklaim biaya yang tidak diperbolehkan jika Anda umumnya adalah individu yang taat hukum.

(31)

40

Roberts (1994) meneliti peran iklan televisi dalam mempromosikan kepatuhan wajib pajak dan persepsi keadilan. Dalam penelitian itu, peneliti menggunakan analisis faktor untuk membangun dan memvalidasi skala ketidakpatuhan (cronbach alpha dari 0,93) yang terdiri dari respon subyek terhadap beberapa item sikap. Dalam penelitian lain (misal: Kasipillai & Jabbar, 2005), alpha cronbach sikap terhadap ketidakpatuhan pajak (EVSCALE) adalah 88,5 persen menunjukkan bahwa instrumen survei dapat diandalkan.

2.1.2 Persepsi Keadilan Sistem Pajak

Asas-asas pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan oleh Adam Smith dalam buku An inquiry Into The Nature and Cause of the Wealth of Nations (2000, hal.285) bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada :

1. Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan). Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata. Adil yang dimaksudkan bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan manfaat yang diminta. 2. Certainty (asas kepastian hukum). Certainty yang dimaksud oleh Adam

Smith adalah bahwa pajak itu tidak ditentukan secara sewenang-wenang, sebaliknya pajak itu harus jelas bagi semua wajib pajak dan seluruh masyarakat yaitu berapa jumlah yang harus dibayar, kapan harus dibayar, dan bagaimana cara membayarnya. Apabila tidak ada kepastian kepada wajib pajak tentang kewajiban pajaknya, maka pajak yang terutang tergantung kepada kebijaksanaan petugas pajak yang dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk keuntungan dirinya sendiri.

(32)

41

3. Convenience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan). Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan wajib pajak, misalnya pada saat wajib pajak memperoleh penghasilan. Mansury (2002, hal.12-13) memberikan pengertian convenience bahwa saat wajib pajak harus membayar pajak hendaknya ditentukan pada saat yang tidak akan menyulitkan wajib pajak, misalnya pada saat wajib pajak menerima gaji atau menerima penghasilan lain, seperti pada waktu menerima bunga deposito.

4. Economy (asas efisiensi) menurut Adam Smith biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.

Prinsip keadilan yang dimaksud dalam pemungutan pajak di atas terutama jika dikaitkan dengan pemungutan Pajak Penghasilan (PPh), menurut jenisnya dapat dibedakan lagi menjadi dua macam yaitu prinsip keadilan horizontal dan prinsip keadilan vertikal. Menurut Parwito (2006):

“… Keadilan horizontal dalam perspektif pajak mengandung makna,

untuk wajib pajak dengan kondisi kemampuan atau penghasilan yang sama harus dikenakan jumlah pajak yang sama. Sementara keadilan vertikal diartikan semakin tinggi kemampuan ekonomis wajib pajak, semakin tinggi pula beban pajak yang dikenakan. Konsep ini yang mendasari pengenaan pajak penghasilan secara progresif, seperti dianut rezim perpajakan Indonesia…”.

(33)

42

Keadilan menurut John Rawls (1997) dalam Fadhilah (2007) adalah kebijakan utama dalam institusi sosial sebagai sistem pemikiran. Keadilan pajak adalah sifat (perbuatan atau perlakuan) yang tidak sewenang-wenang atau tidak berat sebelah atas sistem perpajakan yang berlaku (Syahdan & Asfida, 2014).

Keadilan pajak oleh Siahaan (2010) dibagi ke dalam tiga pendekatan prinsip, yaitu:

 Prinsip manfaat (benefit principle) menyatakan bahwa suatu sistem pajak dikatakan adil apabila kontribusi yang diberikan oleh setiap wajib pajak sesuai dengan manfaat atau jasa-jasa yang diperoleh dari pemerintah. Jasa pemerintah ini meliputi berbagai sarana yang disediakan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

 Prinsip kemampuan membayar (ability to pay) memiliki arti bahwa wajib pajak akan membayar jumlah pajak yang terutang sesuai dengan kondisi wajib pajak. Hal ini berarti wajib pajak dengan penghasilan sama besar, akan mempunyai kewajiban perpajakan yang sama.

 Prinsip keadilan horizontal dan vertikal

Keadilan horizontal (horizontal equity) adalah persepsi kewajaran pajak yang dibayar dibanding orang lain yang memiliki jumlah kekayaan yang sama. Keadilan vertikal (vertical equity) merupakan kewajaran pajak yang dibayarkan wajib pajak dibandingkan orang lain yang memiliki kekayaan yang lebih. Prinsip keadilan vertikal berarti bahwa orang-orang yang mempunyai kemampuan lebih besar harus membayar pajak lebih besar.

(34)

43

Pemungutan pajak dipandang adil apabila orang-orang yang berada dalam keadaan ekonomis yang sama dikenakan pajak yang sama, sedang orang-orang yang keadaan ekonomisnya tidak sama diperlakukan tidak sama, setara dengan ketidaksamaannya itu. Apabila rumusan tersebut diterapkan untuk pajak penghasilan, maka rumusannya akan menjadi sebagai berikut :

”Pajak Penghasilan itu sesuai dengan asas keadilan, apabila semua orang dengan tambahan kemampuan ekonomis yang sama tanpa memperhatikan sumber penghasilan dan tanpa membedakan jenis-jenis penghasilannya dikenakan pajak yang sama, sedangkan orang-orang dengan tambahan kemampuan ekonomis berbeda dikenakan pajak penghasilan yang berbeda setara dengan perbedaannya” (Endrianto, 2015).

Wajib pajak akan patuh dalam membayar pajak apabila adanya unsur keadilan umum dan distribusi beban pajak, dimana pajak yang dikenakan kepada wajib pajak harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (Dharmawan, 2011). Wajib pajak yang menerima tambahan kemampuan ekonomis lebih besar dikenakan pajak penghasilan dengan prosentase tarif yang lebih besar. Namun nampaknya hal tersebut belum berlaku pada perpajakan wajib pajak pengusaha UMKM, dimana tarif pajak UMKM dikenakan PPh final sebesar 1% dari peredaran bruto, sedangkan wajib pajak pengusaha besar dikenakan tarif PPh tidak final dihitung dari penghasilan neto.

Bagi wajib pajak belum tentu PP No. 46 tahun 2013 dapat semuanya meringankan beban pajak yang ditanggung. PP 46 tersebut mempunyai beberapa kelemahan dalam segi regulasi dan tidak sesuai dengan prinsip keadilan. Mansury

(35)

44

R (1996) meninjau dari konsep keadilan dalam pemajakan (equity principle), pengenaan tarif final tidak sesuai dengan keadilan karena tidak mencerminkan kemampuan membayar (ability to pay). Pemajakan yang adil adalah bahwa semakin besar penghasilan maka semakin besar pula pajak yang harus dibayar atau disebut dengan keadilan vertikal atau vertical equity. Penghasilan yang dimaksud di sini adalah penghasilan neto, yaitu setelah dikurangi dengan biaya-biaya pengurang penghasilan bruto yang diperkenankan menurut ketentuan perpajakan yang berlaku (Endrianto, 2015).

Menurut hasil wawancara yang dilakukan oleh Yusuf (2016), mayoritas wajib pajak beranggapan bahwa peraturan PPh final yang diberlakukan pemerintah saat ini kurang tepat dan tidak adil bagi wajib pajak UMKM, karena pajak itu dikenakan terhadap peredaran bruto bukan dihitung dari penghasilan neto. Peraturan tersebut mengasumsikan bahwa setiap usaha yang dilakukan oleh pengusaha adalah menguntungkan. Pada kenyataanya banyak usaha kecil yang melakukan penjualan hanya untuk memutar persediannya saja tanpa keuntungan sama sekali, hal ini terpaksa dilakukan pengusaha agar kerugian yang diderita tidak berlarut-larut. Keadaan ekonomi pasar yang tidak menentu juga mempengaruhi daya jual dan daya beli konsumen, dengan tarif final terhadap penghasilan neto tersebut dirasa sangat memberatkan pengusaha terutama pada usaha mikro dan kecil. Risiko kerugian masih terlalu besar dan akan langsung mempengaruhi kelangsungan usaha.

PPh final yang dikenakan dari penghasilan bruto tanpa memperhitung-kan biaya-biaya yang dikeluarmemperhitung-kan untuk memperoleh penghasilan tersebut juga

(36)

45

tidak memenuhi asas keadilan yang menganut ability to pay principle dimana pembebanan pajak didasarkan kepada kemampuan masing-masing wajib pajak.

The more you earn, the more you pay tax, demikian seharusnya yang adil. Kemampuan membayar pajak dicerminkan oleh penghasilan neto bukan penghasilan bruto.

Ketidakadilan ini semakin terasa ketika wajib pajak harus membayar PPh meskipun menderita kerugian dan kerugian tersebut tidak boleh dikompensasikan ke tahun-tahun pajak berikutnya. Penerapan PPh final dengan tarif khusus di luar tarif umum secara langsung telah membeda-bedakan (diskriminasi) jenis atau sumber penghasilan untuk kepentingan pemajakan. Tarif pajak 1% dari omset dikeluhkan oleh wajib pajak UMKM karena dianggap memberatkan dan tidak tepat sasaran, ketika penjualan turun atau ekonomi keadaan lesu masih dibebankan dengan kewajiban membayar pajak. Atasdasar ketepatan penerapan peraturan, sudah dapat dikatakan kurang tepat atas langkah pemerintah yang diambil dalam pengenaan pajak UMKM, dan tidak mencerminkan rasa keadilan.

Apabila wajib pajak merasa bahwa keadilan pajak telah diterapkan kepada semua wajib pajak dengan tidak membedakan perlakuan antara wajib pajak kecil dan wajib pajak besar dalam artian semua wajib pajak diperlakukan secara adil maka setiap wajib pajak akan cenderung menjalankan kewajiban pajaknya dengan baik atau dengan kata lain menimbulkan kepatuhan dalam diri wajib pajak.

(37)

46

Wenzel (2002) dalam psikologi sosial, membagi keadilan dalam tiga bidang yaitu distributive justice, procedural justice, dan retributive justice.

Distributive justice mengacu pada keadilan keputusan pendistribusian atau pengalokasian sumber daya tertentu sehingga setiap unit yang terlibat dapat menerima apa yang berhak mereka dapatkan. Procedural justice mengacu pada keadilan proses alokasi atau distribusi sumber daya. Proses tersebut berkaitan dengan cara, mode dan prosedur untuk mencapai keputusan. Retributive justice

mengacu pada keadilan sanksi dan reaksi terhadap pemutusan aturan sosial dan norma. Retributive justice berbeda dari distributive justice dan procedural justice

karena jika norma distributive justice telah dilanggar, norma itu hanya akan menuntut restitusi dari situasi yang adil (sebagaimana norma mendefinisikannya). Pada kenyataannya, bagaimanapun, orang tidak hanya menuntut restitusi tetapi juga hukuman bagi pelaku melampaui norma distributif dan membutuhkan kategori lebih lanjut dari prinsip keadilan untuk pembenarannya.

Christensen, Weihrich, & Gerbing (1994) dalam Azmi dan Perumal (2008) menyatakan bahwa persepsi keadilan sulit didefinisikan karena empat masalah utama: merupakan masalah dimensional; dapat didefinisikan pada tingkat individu maupun pada mayarakat luas; keadilan terkait dengan kompleksitas; dan kurangnya keadilan dapat menjadikan pertimbangan atau menyebabkan ketidakpatuhan. Sedangkan Gerbing (1988) dalam Azmi dan Perumal (2008) melakukan analisis faktor berdasarkan survei yang dilakukan kepada 225 individu pembayar pajak di Amerika dan mengidentifikasi lima dimensi keadilan pajak yaitu general fairness and distribution of the tax burden,

(38)

47

exchange with the government, special provisions, dan preferred tax rate structure, dan self-interest. Kemudian dimensi keadilan pajak yang dikembangkan oleh Gerbing (1988) tersebut dijadikan acuan oleh beberapa peneliti dalam melakukan penelitian mengenai pengaruh dimensi keadilan sistem pajak terhadap perilaku kepatuhan Wajib Pajak.

Persepsi keadilan pajak yang digunakan dalam penelitian ini pun menggunakan 5 dimensi menurut Gerbing (1988) yang mengukur keadilan pajak dari:

1) keadilan umum dan distribusi beban pajak (general fairness and distribution of the tax burden), membahas tentang apakah sistem pajak selama ini sudah mencakup keadilan secara menyeluruh dan distribusi beban pajak yang merata dan adil;

2) timbal balik pemerintah (exchange with the government), membahas tentang timbal balik yang secara tidak langsung diberikan pemerintah kepada masyarakat pembayar pajak;

3) Ketentuan-ketentuan khusus (special provisions), membahas tentang ketentuan dan insentif yang secara khusus diberikan kepada pembayar pajak; 4) Struktur tarif pajak (preferred tax-rate structure), membahas tentang tarif

pajak progresif/flat/proporsional yang lebih disukai masyarakat;

5) kepentingan pribadi (self-interest), membahas tentang kondisi seseorang yang membandingkan tarif pajaknya lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan dengan wajib pajak lainnya. Jika persepsi masyarakat akan keadilan pajak itu tinggi, maka mereka akan memiliki kesadaran untuk

(39)

48

berperilaku patuh. Tetapi jika sebaliknya, maka mereka akan mulai menurunkan tingkat kepatuhan mereka. Hal tersebut akan membuat mereka melakukan penghindaran dan pengurangan pajak (tax evasion).

Penelitian tentang persepsi keadilan juga telah banyak dilakukan, misalnya studi oleh Azmi dan Perumal (2008) di Malaysia hanya mempelajari persepsi pembayar pajak pada keadilan sistem pajak tanpa menentukan dampak pada kepatuhan pajak dan hanya berfokus pada keadilan distributif.

Penelitian yang menghubungkan dimensi keadilan pajak dan tingkat kepatuhan pajak yang pernah dilakukan oleh Jackson dan Milliron (1986) serta Richardson dan Sawyer (2001) dalam Richardson (2006), menunjukkan pentingnya pajak melekat pada keadilan sebagai sebuah variabel yang dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan pajak di masyarakat. Dimensi keadilan pajak bahkan diidentifikasi sebagai variabel non-ekonomi, kunci yang mempengaruhi tingkat kepatuhan pajak. Namun, Richardson (2006) menemukan bahwa hasil dari penelitian-penelitian mengenai pengaruh dimensi keadilan pajak terhadap tingkat kepatuhan pajak ini tidak konsisten. Salah satu alasan utama ketidakkonsistenan hasil ini adalah sifat multidimensional dari keadilan pajak sebagai variabel kepatuhan pajak yang juga dipengaruhi budaya nasional.

Penelitian mengenai persepsi keadilan sistem pajak di Indonesia dilakukan oleh Andarini (2010) menunjukkan bahwa dimensi keadilan umum tidak mempengaruhi perilaku kepatuhan WP Badan. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Berutu dan Harto (2012) menunjukkan bahwa dimensi yang

(40)

49

berpengaruh signifikan terhadap perilaku kepatuhan WP OP adalah dimensi keadilan umum dan dimensi timbal balik dengan pemerintah.

2.1.3 Ancaman Hukuman

Ancaman hukuman, digunakan di kebanyakan negara untuk mencegah perilaku tidak mematuhi peraturan wajib pajak. Ancaman hukuman, yang terdiri dari audit pajak, denda pajak dan tarif pajak digunakan di sebagian besar negara untuk mencegah perilaku ketidakpatuhan para pembayar pajak. Pendekatan pencegahan ekonomi (economic deterrence) dikembangkan berdasarkan

economics-of-crime model, diperkenalkan oleh Becker (1968) untuk mengoptimalkan kebijakan publik dan swasta dalam memerangi perilaku ilegal, karena ancaman hukuman diharapkan dapat mendorong perilaku taat hukum. Pada dasarnya, diasumsikan bahwa keputusan kepatuhan pajak dibuat oleh wajib pajak dalam keadaan adanya rasa takut terhadap kemungkinan tertangkap dan dihukum (Alm & McKee, 1998).

Becker’s Deterrence Theory kemudian dikembangkan oleh Allingham dan Sandmo (1972) dengan menyodorkan denda, probabilitas audit, dan tarif pajak sebagai motivasi mematuhi pajak. Bagi A-S Model, ketidakpatuhan pajak hanya dapat ditekan dengan paksa melalui sanksi ekonomi atau hukuman.

Sanksi adalah hukuman negatif kepada orang yang melanggar peraturan, dan denda adalah hukuman dengan cara membayar uang karena melanggar peraturan dan hukum yang berlaku, sehingga dapat dikatakan bahwa sanksi denda adalah hukuman negatif kepada orang yang melanggar peraturan dengan cara membayar uang (Jatmiko, 2006). Peraturan atau Undang-Undang merupakan

(41)

50

rambu-rambu bagi seseorang untuk melakukan sesuatu mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Menurut Jatmiko (2006), Undang-undang dan peraturan secara garis besar berisikan hak dan kewajiban, tindakan yang diperkenankan dan tidak diperkenankan oleh masyarakat. Agar undang-undang dan peraturan itu dipatuhi, maka harus ada sanksi bagi pelanggarnya, demikian halnya untuk hukum pajak (Suyatmin, 2004).

Sanksi pajak merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan dipatuhi, dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan (Mardiasmo,2016). Sanksi pajak terdiri dari dua jenis yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana.

1.) Sanksi administrasi merupakan pembayaran kerugian kepada Negara, khususnya berupa bunga dan kenaikan. Sanksi administrasi dapat dijatuhkan apabila Wajib Pajak melakukan pelanggaran, terutama atas kewajiban yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dapat berupa sanksi administrasi bunga, denda dan kenaikan.

2.) Sanksi pidana merupakan siksaan atau penderitaan dan merupakan suatu alat terakhir atau benteng hukum yang digunakan fiskus agar norma perpajakan dipatuhi. Sanksi pidana dapat hukuman kurungan dan hukuman penjara. Pengenaan sanksi pidana tidak menghilangkan kewenangan untuk menagih pajak yang masih terutang.

(42)

51

Zain (2007:35) menyatakan bahwa sesungguhnya tidak diperlukan suatu tindakan apabila dengan rasa takut dan ancaman hukuman (sanksi dan pidana) saja wajib pajak sudah akan mematuhi kewajiban perpajakannya. Perasaan takut tersebut merupakan alat pencegah ampuh untuk mengurangi peyelundupan pajak atau kelalaian pajak. Jika hal ini sudah berkembang dikalangan para wajib pajak maka akan berdampak pada kepatuhan dan kesadaran untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.

Terdapat beberapa temuan tentang pengaruh denda. Sejumlah penelitian (misalnya: Beck, Jon, & Jung, 1991; Park & Hyun, 2003) menunjukkan bahwa denda berpengaruh positif dan lebih tinggi pada kepatuhan pajak tetapi penelitian lain (misalnya: Alm, Bahl, & Murray, 1990; Alm , Jackson, & McKee, 1992) mengarah pada temuan yang berlawanan. Selain itu, dampak denda juga bervariasi menurut kelompok wajib pajak. Misalnya, tingkat keparahan denda terhadap penipuan ditemukan berhubungan positif dengan perilaku wiraswasta berpenghasilan tinggi (Alm, Bahl, & Murray, 1990). Di sisi lain, hukuman perdata tampaknya memiliki hubungan negatif dengan perilaku pemilik usaha kecil dan individu berpenghasilan menengah (Witte & Woodbury, 1985).

Di Indonesia, penelitian mengenai ancaman hukuman diantaranya dilakukan oleh Fuadi dan Mangoting (2013), dalam studinya menyimpulkan bahwa pengenaan sanksi perpajakan terhadap Wajib Pajak UMKM yang melanggar ketentuan yang berlaku mempunyai peran dalam meningkatnya kepatuhan Wajib Pajak UMKM. Imaniati (2016) berpendapat bahwa sanksi tidak terlalu berpengaruh terhadap kepatuhan apabila wajib pajak berpikir bahwa

(43)

52

sanksi tidak ditegakkan secara tegas. Sejalan dengan pendapat di atas, Verboon dan van Dijke (2011) menyatakan bahwa tingkat sanksi pajak yang tinggi dapat meningkatkan kepatuhan hanya jika prosedur pemberian sanksi tersebut dipandang adil. Secara keseluruhan, ancaman hukuman tetap signifikan dalam menghalangi niat negatif atau sikap pembayar pajak.

Saefudin (2003) mengemukakan bahwa Undang-undang pajak dan peraturan pelaksanaannya tidak memuat jenis penghargaan bagi WP yang taat dalam melaksanakan kewajiban perpajakan baik berupa prioritas untuk mendapatkan pelayanan publik ataupun piagam penghargaan. Secara konvensional, terdapat dua macam sanksi yaitu sanksi positif dan sanksi negatif. Sanksi positif merupakan suatu imbalan, sedangkan sanksi negatif merupakan suatu hukuman (Ilyas dan Burton, 2010). Saat ini DJP masih berfokus pada pemberian sanksi negatif dalam menuntut wajib pajak agar patuh terhadap peraturan perpajakan. Apabila dikaitkan dengan UU Perpajakan yang berlaku, menurut Ilyas dan Burton (2010) terdapat empat hal yang diharapkan atau dituntut dari para wajib pajak, yaitu:

1. Dituntut kepatuhan (compliance) wajib pajak dalam membayar pajak yang dilaksanakan dengan kesadaran penuh.

2. Dituntut tanggung jawab (responsibility) wajib pajak dalam menyampaikan atau memasukan Surat Pemberitahuan tepat waktu.

3. Dituntut kejujuran (honesty) wajib pajak dalam mengisi Surat pemberitahuan sesuai dengan keadaan sebenarnya.

(44)

53

4. Memberikan sanksi (law enforcement) yang lebih berat kepada wajib pajak yang tidak taat pada ketentuan yang berlaku.

Dari keempat hal di atas, paling efektif menurut Ilyas dan Burton (2010) adalah dengan menerapkan sanksi (law enforcement) tanpa pandang bulu dan dilaksanakan secara konsekuen. Semakin tinggi atau beratnya sanksi, maka akan semakin merugikan wajib pajak. Oleh sebab itu, sanksi perpajakan diduga akan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak. Walaupun WP tidak mendapatkan penghargaan atas kepatuhannya dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, WP akan dikenakan banyak hukuman apabila alfa atau sengaja tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Variabel bebas ancaman hukuman (Threat of Punishment /ToP) yang digunakan dalam penelitian ini diadaptasi dari Verboon dan van Dijke (2007) dan Mohdali, Isa & Yusoff (2014), diukur pada skala Likert 5 poin (1 = sangat tidak setuju, 5 = sangat setuju), meliputi:

1. Saya TIDAK mengetahui jenis dan tingkat hukuman dan risiko yang ada untuk penghindaran pajak pendapatan di Indonesia.

2. Tidak mungkin bagi pembayar pajak untuk ditemukan dan dihukum oleh DJP jika mereka ingin menghindari pajak penghasilan.

3. Saya TIDAK membayar pajak seperti yang disyaratkan oleh peraturan karena saya tahu kemungkinan diaudit sangat tipis.

4. DJP jarang mengetahui apakah seseorang terlalu mengecilkan penghasilan mereka atau melebih-lebihkan biaya mereka.

(45)

54

2.1.4 Religiusitas

Kepatuhan membayar pajak merupakan salah satu tanggung jawab bagi pemerintah dan Wajib Pajak kepada Tuhan, dimana kedua pihak memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Kewajiban pemerintah adalah melakukan pengaturan penerimaan dan pengeluaran, sedangkan Wajib Pajak memiliki kewajiban membayar pajak kemudian berhak untuk melakukan pengawasan atas penggunaan iuran yang telah dibayarkan kepada negara (Tahar dan Rachman, 2014).

Keagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Orang yang memiliki agama akan memegang nilai-nilai tertentu yang dapat mempengaruhi tindakan dan keputusan mereka (Alam, Mohd & Hisham, 2011). Dister (1998) mendefinisikan religiusitas sebagai sikap keberagamaan yang mempunyai arti bahwa terjadi proses internalisasi agama kedalam diri individu. Sehingga, religiusitas merupakan salah satu faktor yang menentukan perilaku individu dalam kepatuhan pajak (Pope dan Mohdali, 2010).

Definisi religiusitas seperti yang didefinisikan oleh McDaniel dan Burnett (1990) dalam Basri (2015) adalah kepercayaan kepada Tuhan disertai dengan komitmen untuk mengikuti prinsip-prinsip yang diyakini ditetapkan oleh Allah. Allport (1950) mengemukakan bahwa agama dianggap berperan khas dalam kehidupan individu. Agama dipercaya dapat mengontrol perilaku individu dari sikap yang tidak etis. Seseorang yang memiliki sikap religiusitas yang tinggi cenderung berperilaku etis dan menghindari perilaku kecurangan pajak. Keyakinan agama yang kuat diharapkan mencegah perilaku ilegal melalui

Referensi

Dokumen terkait

Komponen elektronika ini terbuat dari bahan semikonduktor.Fungsinya adalah sebagai penyearah arus listrik, sehingga arus listrik yang semula bolak-balik bisa menjadi

Sistem Pendukung Keputusan (SPK) pemilihan lokasi gudang dengan menggunakan metode Brown Gibson ini memberikan hasil, yaitu alternatif akan menjadi prioritas tertinggi

Dalam proses akuntansi diidentifikasikan berbagai transaksi atau peristiwa yang merupakan kegiatan ekonomi perusahaan, yang dilakukan melalui pengukuran, pencatatan, penggolongan,

Perat Peraturan Pe uran Pemerin merintah N tah Nomor 2 omor 23 T 3 Tahun 2 ahun 2010 te 010 tentang ntang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Pelaksanaan Kegiatan

Sesuai dengan definisi irigasinya, maka tujuan irigasi pada suatu daerah adalah upaya rekayasa teknis untuk penyediaaan dan pengaturan air dalam menunjang proses produksi

24 MAHMUD AZIS Jambur P.Matinggi, 07 Juli 1985 Jambur Padang Matinggi Wiraswasta S1 LULUS 25 NELLI JUNITA Huta Siantar, 21 Juni 1978 Mompang Julu Wiraswasta SMU LULUS 26 RAFIKAH

SERVER1 dalam kondisi hidup dan kondisi link (kabel) terhubung dengan jaringan, sementara SERVER2 dalam kondisi mati atau kondisi link (kabel) tidak terhubung dengan

Likuiditas dengan nilai minimum sebesar 0.16 yang diperoleh dari PT. ATPK Resources Tbk pada tahun 2014. Nilai maksimum sebesar 851.65 yang diperoleh dari PT. Perdana