• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

ANCAMAN (T) T1: Penduduk di dalam dan sekitar

hutan masih tergolong miskin (1,04).

T2: Kebutuhan lahan untuk berbagai kepentingan sangat tinggi (0,76).

T3: Peraturan pemerintah di bidang RHL yang sering berubah-ubah (0,49).

T4: Kepastian hak kelola dan pelayanan usaha dibidang

STRATEGI ST

• Sinkronisasi penyelengaaraan antara pusat dan daerah dalam rangka optimalisasi (S6, T5)

• Peningkatan Koordinasi para pihak pada pemanfaatan lahan (S1,S2, S6, T1, T4, T5)

• Peningkatan kegiatan pemantapan kawasan hutan, perlindungan dan pengamanan kawasan hutan (S6, T1, T2, T4 , T5 )

STRATEGI WT

• Pemantapan analisis kebutuhan masyarakat dalam rangka penyiapan kegiatan GN-RHL (W2, W5, W6, T1, T2, T4)

• Peningkatan peran serta masyarakat, mulai penyiapan kelembagaan kelompok, penyiapan bibit tanaman, pembuatan tanaman hingga pemeliharaan dan pemanfaatan hasil tanaman GN-RHL (W2, W5,

kehutanan masih rendah (0,48)

T5: Intensitas gangguan hama tinggi (0,40).

• Pengembangan kegiatan GN-RHL berbasis sistem silvopastoral (S1, T1, T2, T3) • Peningkatan pembinaan kelompok tani

hutan (HR dan reboisasi) pada tiga aspek kelola (kelola areal/kawasan, kelola kelembagaan, dan kelola usaha) (S1, S2, S3, S6, T1, T3)

W6, W7, T1, T2, T3, T4) • Mendorong pengembangan

ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan (T1, T3)

Berdasarkan Tabel 30, nampak bahwa strategi SO yang dapat diterapkan antara lain: (a) Pembangunan dan pengembangan hutan rakyat dan percepatan kegiatan reboisasi pada kawasan hutan produksi dan lindung, (b) Peningkatan pemanfaatan aneka fungsi kehutanan, (c) Peningkatan kemitraan dengan kelembagaan lokal dalam pelaksanaan GN-RHL, dan (d) Percepatan rehabilitasi hutan dan lahan berbasis tanaman MPTS.

Strategi ST: (a) Sinkronisasi penyelengaaraan antara pusat dan daerah dalam rangka optimalisasi, (b) Peningkatan koordinasi para pihak pada pemanfaatan lahan, (c) Peningkatan kegiatan pemantapan kawasan hutan dan perlindungan serta pengamanan kawasan hutan, (e) Pengembangan kegiatan GN-RHL berbasis sistem silvopastoral, dan (f) Peningkatan pembinaan kelompok tani hutan (HR dan reboisasi) pada tiga aspek kelola (kelola areal/kawasan, kelola kelembagaan, dan kelola usaha). Strategi WO: (a) Pemeliharaan tanaman GN-RHL melalui pembuatan penampungan- penampungan air yang berdekatan dengan lokasi penanaman, (b) Pembangunan hutan rakyat dan hutan tanaman rakyat berbasis tanaman jarak pagar, (c) Penyiapan bibit tanaman GN-RHL sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan iklim Lembah Palu, (d) Peningkatan peran penyuluh kehutanan lapangan dalam kegiatan sosialisasi dan Bintek GN-RHL yang tepat sasaran, dan (e) Pembangunan sarana dan prasaranan bangunan hutan (jalan pemeriksaan dan pondok kerja/pertemuan dan penyuluhan).

Strategi WT: (a) Pemantapan analisis kebutuhan masyarakat dalam rangka penyiapan kegiatan GN-RHL, (b) Peningkatan peran serta masyarakat, mulai penyiapan kelembagaan kelompok, penyiapan bibit tanaman, pembuatan tanaman hingga pemeliharaan dan pemanfaatan hasil tanaman GN-RHL, dan (c) Mendorong pengembangan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan.

Strategi Pengembangan Partisipasi

Berdasarkan hasil analisis SWOT, dihasilkan sejumlah arahan strategi pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan GN-RHL. Peubah-peubah bersifat strategis unsur kelemahan dan peluang (WO) dalam partisipasi masyarakat pada kegiatan GN-RHL di Layana dan Lambara, merupakan prioritas tertinggi untuk segera ditangani.

Seperti dijelaskan sebelumnya, di kedua lokasi penelitian memiliki curah hujan yang sangat rendah, sehingga ketersediaan air untuk keperluan penanaman dan pemeliharaan tanaman sangat terbatas. Kondisi ini menyebabkan persen tumbuh tanaman menjadi rendah. Hasil evaluasi tim independen, yang bertugas dalam menilai persen tumbuh tanaman melaporkan bahwa di Layana persentase tumbuh tanaman hanya mencapai 30% dan di Lambara mencapai 45%.

Bila mengacu pada aturan yang berlaku tentang Pedoman Pembuatan Tanaman Penghijauan Kota GN-RHL (Permenhut no.3 2004), maka Kelurahan Layana dan Kelurahan Lambara masuk dalam kategori gagal (di bawah 55%). Selain faktor pembatas berupa iklim, kegagalan tumbuh tanaman disebabkan pula oleh keterbatasan sarana dan prasarana penunjang di lapangan, seperti sarana penampungan air dan pondok kerja. Oleh karena itu, perlu diupayakan pembuatan sarana dan prasarana penunjang, utamanya bak-bak penampungan air. Hal ini penting mengingat adanya faktor pembatas iklim yang tergolong ekstrim.

Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan memilih jenis tanaman yang lebih toleran terhadap kekeringan. Salah satu jenis yang dapat dikembangkan adalah tanaman jarak. Menurut masyarakat, jenis ini lebih mudah tumbuh, tahan terhadap kekeringan, dan memiliki nilai ekonomis. Selain itu, jenis ini juga tidak disukai oleh ternak sehingga gangguan hama dapat dikurangi.

Penanaman tanaman jarak berskala besar melalui kegiatan GN-RHL, baik di hutan rakyat maupun hutan tanaman rakyat, dapat memberikan peluang terhadap peningkatan pendapatan masyarakat, sekaligus membuka kesempatan kerja bagi penduduk produktif yang belum memiliki pekerjaan. Terlebih lagi, luas lahan kritis di Sulawesi Tengah masih cukup tersedia untuk pengembangan tanaman jarak yang

berskala luas. Untuk mengupayakan hal tersebut, dukungan pemerintah daerah dan instansi terkait sangat dibutuhkan. Komitmen yang diberikan oleh pemerintah daerah dan stakeholder lainnya dapat dijadikan entry point pengembangan GN-RHL yang menggunakan tanaman-tanaman komersil berskala lokal.

Hal penting lain yang juga harus diperhatikan adalah penyiapan jenis tanaman yang betul-betul dibutuhkan dan diinginkan oleh masyarakat, sesuai dengan kondisi iklim Kota Palu, serta diupayakan jenis yang dapat pula memberikan nilai tambah ekonomis secara langsung bagi masyarakat. Hal ini penting mengingat permintaan kayu dan hasil hutan non kayu yang cukup tinggi di Sulawesi Tengah. Jenis kayu yang banyak dibutuhkan antara lain: nyatoh, meranti dan palapi. Sedangkan untuk non kayu antara lain: rotan, damar dan aren.

Untuk menunjang hal tersebut, diperlukan peningkatan peran penyuluh kehutanan lapangan dalam kegiatan sosialisasi dan Bintek GN-RHL yang tepat sasaran. Hal ini penting, sebab tingkat pendidikan peserta kegiatan GN-RHL tergolong rendah dan pelaksanaan kegiatan bimbingan teknis pembuatan dan pemeliharaan tanaman selama ini yang dinilai belum efektif. Agar solusi alternatif yang ditawarkan tersebut dapat memperoleh dukungan nyata dari pihak pelaksana dan stakeholder lainnya, maka perlu memperbaiki rencana strategis pengembangan GN- RHL yang lebih partisipatif, dan mampu mengakomodasi kepentingan publik yang luas.

Masyarakat mempunyai kepentingan untuk meningkatkan kesejahteraannya, dan dengan kesejahteraan yang baik maka kesadaran untuk memelihara dan memperbaiki fungsi lahan menjadi semakin tinggi. Pemerintah mempunyai kepentingan untuk memelihara dan meningkatkan kestabilan ekonomi dan sosial, menyediakan infrastruktur sosial ekonomi, dan menjaga ketertiban umum. Kepentingan publik yang luas terletak pada lancarnya dukungan fungsi kehidupan, yakni terjaganya penyediaan dan kualitas air, udara, dan keanekaragaman penunjang kehidupan, termasuk melalui kegiatan GN-RHL ini.