• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anemia Mikrositik Hipokrom Definisi

Dalam dokumen 239136437-Skenario-b-Blok-13.docx (Halaman 34-44)

Anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit dan/atau massa hemoglobin sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk

membawa oksigen dalam jumlah cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity).

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi pada tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang. Kelainan ini ditandai oleh besi serum menurun, TIBC meningkat, saturasi transferrin menurun, ferritin serum menurun, pengecatan besi

Etiologi

Etiologi anemia defisiensi besi:

1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun. a. Saluran cerna

Tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid dan infeksi cacing tambang.

b. Saluran genitalia perempuan: menorrhagia c. Saluran kemih: hematuria

d. Saluran napas: hemoptoe 2. Faktor nutrisi.

Kurangnya jumlah besi total dalam makanan atau kualitas besi tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C dan rendah daging).

3. Kebutuhan besi meningkat.

Pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan. 4. Gangguan absorbsi besi.

Gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik. Patogenesis

Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin menurun, keadaan ini disebut iron depleted state atau negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus, maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit, tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai: iron deficient

erythropoiesis. Pada fase ini, kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Akhir-akhir ini, parameter yang sangat spesifik ialah peningkatan reseptor transferin dalam serum. Apabila jumlah besi menurun terus, maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer, disebut sebagai iron deficiency anemia.

Etiologi

a. Gejala umum anemia (apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl): badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, telinga

mendenging. Pada pasien dengan hemoglobin di bawah 7 g/dl: pasien pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku.

b. Gejala khas defisiensi besi

Kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung mirip seperti sendok.

 Atrofi papil lidah

Permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang.

Stomatitis angularis (cheilosis)

Keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.

 Disfagia

Nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.

 Atrofi mukosa gaster

 Pica

Keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim seperti, tanah liat, es, lem dan lain-lain.

Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut:

a. Anemia akibat penyakit cacing tambang

Dijumpai dispepsia, parotis membengkak dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami.

b. Anemia karena perdarahan kronik akibat kanker kolon

Gangguan kebiasaan buang air besar atau gejala lain tergantung dari lokasi kanker tersebut.

Pemeriksaan laboratorium

a. Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit.

Didapat anemia hipokrom mikrositer dengan penurunan kadar Hb mulai dari ringan sampai berat. MCV dan MCH menurun. MCHC menurun pada defisiensi yang berat dan berlangsung lama. Anisositosis merupakan tanda awal defisiensi besi. Peningkatan anisositosis ditandai oleh peningkatan RDW (red cell distribution width).

Hapusan darah tepi menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis dan poikilositosis. Derajat hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia. Jika terjadi hipokromia dan mikrositosis ekstrim, sel tampak sebagai sebuah cincin sehingga disebut sel cincin (ring cell) atau memanjang seperti elips (pencil cell atau cigar cell). Kadang-kadang dijumpai sel target.

Leukosit dan trombosit umumnya normal. Tetapi granulositopenia ringan dapat dijumpai pada ADB (Anemia defisiensi besi) yang

berlangsung lama. Pada ADB karena cacing tambang dijumpai eosinofilia. b. Konsentrasi besi serum menurun pada ADB dab TIBC meningkat.

TIBC menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan saturasi transferrin dihitung dari besi serum dibagi TIBC

dikalikan 100%. Untuk diagnosis ADB, kadar besi serum menurun < 50 μg/dl dan saturasi transferrin < 15%.

c. Feritin serum merupakan indikator cadangan besi yang sangat baik, kecuali pada keadaan inflamasi dan keganasan tertentu.

Titik pemilah (cut off point) untuk feritin serum pada ADB dipakai angka < 12 μg/l, tetapi ada juga yang memakai < 15 μg/l. Angka ferritin serum normal tidak selalu dapat menyingkirkan adanya defisiensi besi, tetapi ferritin serum di atas 100 mg/dl dapat memastikan tidak adanya defisiensi besi.

d. Protoporfirin merupakan bahan antara pada pembentukan heme. Apabila sintesis heme terganggu, maka protoporfirin akan menumpuk dalam eritrosit. Angka normal adalah kurang dari 30mg/dl. Untuk

defisiensi besi, protoporfirin bebas adalah lebih dari 100mg/dl. e. Kadar reseptor transferrin dalam serum meningkat.

Kadar normal dengan cara imunologi adalah 4-9μg/L. Apabila dipakai rasio reseptor transferrin dengan log ferritin serum, rasio >1,5

menunjukkan ADB dan rasio <1,5 sangat mungkin karena anemia penyakit kronik.

f. Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia normoblastik ringan sampai sedang dengan normoblas kecil-kecil.

Sitoplasma sangat sedikit dan tepi tidak teratur. Normoblas ini disebut sebagai micronormoblast. Dalam keadaan normal, 40-60% normoblast mengandung granula feritin dalam sitoplasmanya, disebut sebagai sideroblas. Pada defisiensi besi, maka sideroblast negatif.

Diagnosis

Terdapat tiga tahap diagnosis ADB:

a. Menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit. Kriteria anemia yang digunakan di Indonesia adalah:

a. Hemoglobin < 10g/dl b. Hematokrit < 30% c. Eritrosit < 2,8 juta/mm3

b. Memastikan adanya defisiensi besi.

Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV <80fl dan MCHC <31% dengan salah satu dari:

 Dua dari tiga parameter di bawah ini: o Besi serum <50mg/dl

o TIBC >350mg/dl

o Saturasi transferrin <15%

 Ferritin serum <20mg/l

Pengecatan sumsum tulang dengan Perl’s stain menunjukkan cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif

 Dengan pemberian sulfat ferosus 3 x 200mg/hari selama 4 minggu disertai kenaikan kadar Hb lebih dari 2g/dl

c. Menentukan penyebab dari defisiensi besi. Diagnosis banding Anemia defisiensi besi Anemia akibat penyakit kronik Trait Thalassemia Anemia sideroblastik Derajat anemia Ringan – berat Ringan Ringan Ringan – berat

MCV ↓ / N ↓ / N

MCH ↓ / N ↓ / N

Besi serum ↓ < 30 ↓ < 50 Normal/ ↑ Normal/ ↑

TIBC ↑ > 360 ↓ < 300 Normal/ ↓ Normal/ ↓

Saturasi transferrin

↓ < 15 % ↓ / N 10-20% ↑ > 20% ↑ > 20%

Besi sumsum tulang

(-) (+) (+) kuat (+) dengan ring

sideroblast

Protoporfirin eritrosit

Normal Normal

Feritin serum ↓< 20μg/l Normal 20-200μg/l ↑ > 50μg/l ↑ > 50 μg/l Elektrofoesis Hb N N Hb.A2 ↑ N Terapi

Untuk anemia defisiensi besi, terdapat pendekatan terapi: 1. Transfusi sel darah merah

Transfusi tidak hanya mengoreksi anemia akutnya, namun transfusi sel darah merah juga menjadi sumber besi untuk penggunaannya kembali. Terapi transfusi dapat menstabilkan pasien.

2. Terapi besi oral

Besi dapat diberikan sampai 300mg per hari, umumnya dalam tiga atau empat tablet besi (masing-masing mengandung 50-65 mg elemen besi) diberikan sepanjang hari. Diberikan saat lambung kosong, karena makanan dapat menghambat absorbsi besi.

3. Terapi besi parenteral

Besi intravena dapat diberikan ke pasien yang tidak dapat mentolerir besi oral.

2. Eritropoesis

Eritropoesis adalah proses pembuatan eritrosit, pada janin dan bayi proses ini berlangsung di limfa dan sumsum tulang, tetapi pada orang dewasa terbatas hanya pada sumsum tulang. (Dorland edisi 28)

2. Mekanisme Eritropoesis

Sel darah berasal dari sel stem hemopoetik pluripoten yang berada pada sumsum tulang. Sel ini kemudian akan membentuk bermacam macam sel darah tepi. Asal sel yang akan terbentuk selanjutnya adalah sel stem commited, Sel ini akan dapat meghasilkan Unit pembentuk koloni eritrosit (CFU-E) dan Unit granulosit dan monosit (CFU-GM).

Pada eritropoesis, CFU-E membentuk banyak sel Proeritroblas sesuai dengan rangsangan. Proeritroblas akan membelah berkali-kali menghasilkan banyak sel darah merah matur yaitu Basofil Eritroblas. Sel ini sedikit sekali

mengumpulkan hemoglobin. Selanjutnya sel ini akan berdifferensiasi menjadi

Retikulosit dengan sel yang sudah dipenuhi dengan hemoglobin. Retikulosit masih mengandung sedikit bahan basofilik. Bahan basofilik ini akan

menghilang dalam waktu 1-2 hari dan menjadi eritrosit matur.

3. Substansi yand diperlukan untuk eritropoiesis

Banyak substansi esensial untuk pembentukan SDM dan hemoglobin. Diantaranya adalah asam amino, besi (Hb), tembaga, piridoksin, kobalt, vitamin B12, asam folat. Besi esensial untuk produksi heme, dan kira-kira 65% dari besi tubuh ada dalam hemoglobin. Vitamin B12 (sianokobalamin) esensial untuk sintesis molekul asam deoksiribonukleat (DNA) dalam pembentukan SDM. Molekul besar ini tidak dengan mudah menembus mukosa saluran gastrointestinal, tetapi harus terikat pada glikoprotein yang diketahui sebagai faktor intrinsik untuk absropsinya. Faktor intrinsik ini disekresi oleh sel parietal dari mukosa lambung dan berikatan dengan vitamin B12 untuk melindunginya dari enzim pencernaa. Setelah absorpsi dari saluran

gastrointestinal, vitamin B12 disimpan dalam hati dan tersedia untuk produksi eritrosit baru.

4. Sel Seri Eritropoesis Rubriblast

Rubriblast disebut juga pronormoblast atau proeritrosit, merupakan sel termuda dalam sel eritrosit. Sel ini berinti bulat dengan beberapa anak inti dan kromatin yang halus. Dengan pulasan Romanowsky inti berwarna biru kemerah-merahan sitoplasmanya berwarna biru. Ukuran sel rubriblast bervariasi 18-25 mikron. Dalam keadaan normal jumlah rubriblast dalam sumsum tulang adalah kurang dari 1 % dari seluruh jumlah sel berinti Prorubrisit

Prorubrisit disebut juga normoblast basofilik atau eritroblast basofilik. Pada pewarnaan kromatin inti tampak kasar dan anak inti menghilang atau tidak tampak, sitoplasma sedikit mengandung hemoglobin sehingga warna biru dari sitoplasma akan tampak menjadi sedikit kemerah-merahan. Ukuran lebih kecil dari rubriblast. Jumlahnya dalam keadaan normal 1-4 % dari seluruh sel berinti.

Rubrisit

Rubrisit disebut juga normoblast polikromatik atau eritroblast polikromatik. Inti sel ini mengandung kromatin yang kasar dan menebal secara tidak teratur, di beberapa tempat tampak daerah-daerah piknotik. Pada sel ini sudah tidak terdapat lagi anak inti, inti sel lebih kecil daripada prorubrisit tetapi

sitoplasmanya lebih banyak, mengandung warna biru karena kandungan asam ribonukleat (ribonucleic acid-RNA) dan merah karena kandungan

hemoglobin, tetapi warna merah biasanya lebih dominan. Jumlah sel ini dalam sumsum tulang orang dewasa normal adalah 10-20 %.

Metarubrisit

Sel ini disebut juga normoblast ortokromatik atau eritroblast ortokromatik. Inti sel ini kecil padat dengan struktur kromatin yang menggumpal. Sitoplasma telah mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga warnanya merah walaupun masih ada sisa-sisa warna biru dari RNA. Jumlahnya dalam keadaan normal adalah 5-10 %.

Retikulosit

Pada proses maturasi eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan penglepasan inti sel, masih diperlukan beberapa hari lagi untuk melepaskan sisa-sisa RNA. Sebagian proses ini berlangsung di dalam sumsum tulang dan sebagian lagi dalam darah tepi. Pada saat proses maturasi akhir, eritrosit selain mengandung sisa-sisa RNA juga mengandung berbagai fragmen mitokondria dan organel lainnya. Pada stadium ini eritrosit disebut retikulosit atau eritrosit polikrom. Retikulum yang terdapat di dalam sel ini hanya dapat dilihat dengan pewarnaan supravital. Tetapi sebenarnya retikulum ini juga dapat terlihat segai bintik-bintik abnormal dalam eritrosit pada sediaan apus biasa.

Polikromatofilia yang merupakan kelainan warna eritrosit yang kebiru-biruan dan bintik-bintik basofil pada eritrosit sebenarnya disebabkan oleh bahan ribosom ini. Setelah dilepaskan dari sumsum tulang sel normal akan beredar sebagai retikulosit selama 1-2 hari. Kemudian sebagai eritrosit matang selama 120 hari. Dalam darah normal terdapat 0,5-2,5 % retikulosit.

Eritrosit

Eritrosit normal merupakan sel berbentuk cakram bikonkav dengan ukuran diameter 7-8 um dan tebal 1,5-2,5 um. Bagian tengah sel ini lebih tipis daripada bagian tepi. Dengan pewarnaan Wright, eritrosit akan berwarna kemerah-merahan karena mengandung hemoglobin. Eritrosit sangat lentur dan sangat berubah bentuk selama beredar dalam sirkulasi. Umur eritrosit adalah sekitar 120 hari dan akan dihancurkan bila mencapai umurnya oleh limpa. Banyak dinamika yang terjadi pada eritrosit selama beredar dalam darah, baik mengalami trauma, gangguan metabolisme, infeksi Plasmodium hingga di makan oleh Parasit.

Apabila sumsum tulang mengalami kelainan, misalnya fibrosis, eritropoesis akan terjadi di luar sumsum tulang seperti pada lien dan hati maka proses ini disebut juga sebagai eritropoesis ekstra meduler

4. Faktor yang Mempengaruhi Eritropoesis

Keseimbangan jumlah eritrosit yang beredar di dalam darah mencerminkan adanya keseimbangan antara pembentukan dan destruksi eritrosit.

Keseimbangan ini sangat penting, karena ketika jumlah eritrosit turun akan terjadi hipoksia dan ketika terjadi kenaikan jumlah eritrosit akan

meningkatkan kekentalan darah.

Untuk mempertahankan jumlah eritrosit dalam rentang hemostasis, sel-sel baru diproduksi dalam kecepatan yang sangat cepat yaitu lebih dari 2 juta per detik pada orang yang sehat. Proses ini dikontrol oleh hormone dan

tergantung pada pasokan yang memadai dari besi, asam amino dan vitamin B tertentu.

 Hormonal Control

Stimulus langsung untuk pembentukan eritrosit disediakan oleh hormone eritropoetin ( EPO ) dan hormon glikoprotein. Ginjal memainkan peranan utama dalam produksi EPO. Ketika sel-sel ginjal mengalami hipoksia

(kekurangan O2), ginjal akan mempercepat pelepasan eritropoetin. Penurunan kadar O2 yang memicu pembentukan EPO :

1. Kurangnya jumlah sel darah merah atau destruksi eritrosit yang berlebihan 2. Kurang kadar hemoglobin di dalam sel darah merah (seperti yang terjadi

pada defisiensi besi)

3. Kurangnya ketersediaan O2 seperti pada daerah dataran tinggi dan pada penderita pneumonia.

Peningkatan aktivitas eritropoesis ini menambah jumlah sel darah merah dalam darah, sehingga terjadi peningkatan kapasitas darah mengangkut O2 dan memulihkan penyaluran O2 ke jaringan ke tingkat normal. Apabila penyaluran O2 ke ginjal telah normal, sekresi eritropoetin dihentikan sampai diperlukan kembali. Jadi, hipoksia tidak mengaktifkan langsung sumsum tulang secara langsung, tapi merangsang ginjal yang nantinya memberikan stimulus hormone yang akan mengaktifkan sumsum tulang.

Selain itu, testosterone pada pria juga meningkatkan produksi EPO oleh ginjal. Hormone sex wanita tidak berpengaruh terhadap stimulasi EPO, itulah sebabnya jumlah RBC pada wanita lebih rendah daripada pria.

- Dihasilkan oleh: sel interstisial peritubular ginjal, hati

- Stimulus pembentukan eritroprotein: tekanan O2 dalam jaringan ginjal. - ↓ penyaluran O2 ke ginjal merangsang ginjal mengeluarkan hormon

eritropoetin ke dalam darah → merangsang eritropoiesis di sumsum tulang dengan merangsang proliferasi dan pematangan eritrosit →jumlah eritrosit meningkat→kapasitas darah mengangkut O2 ↑ dan penyaluran O2 ke jaringan pulih ke tingkat normal → stimulus awal yang

mencetuskan sekresi eritropoetin hilang sampai diperlukan kembali. - Pasokan O2 ↑ ke jaringan akibat peningkatan massa eritrosit/Hb dapat

lebih mudah melepaskan O2 : stimulus eritroprotein turun

- Fungsi: mempertahankan sel-sel precursor dengan memungkin sel-sel tersebut terus berproliferasi menjadi elemen-elemen yg mensintesis Hb. - Bekerja pada sel-sel tingkat G1

- Hipoksia: rangsang fisiologis dasar untuk eritropoeisis karena suplai O2 & kebutuhan mengatur pembentukan eritrosit.

Dalam dokumen 239136437-Skenario-b-Blok-13.docx (Halaman 34-44)

Dokumen terkait