• Tidak ada hasil yang ditemukan

Intubasi trakea pada periode awal luka bakar (48 jam pertama) dapat menggunakan suksinil kolin sebagai pelumpuh otot. Pada penderita dengan luka bakar berat (luas >20%), kerusakan pada neuromuscular end plates diikuti dengan up-regulasi dari reseptor asetilkolin. Pemberian suksinil kolin pada periode lebih dari 48 jam dapat mengakibatkan peningkatan letal kadar potassium serum.

Analgesia pada penderita luka bakar memerlukan pendekatan multimodal, mengingat adanya toleransi terhadap opioid dan komplikasi psikososial. Regional anestesi dapat dipertimbangkan, walaupun pada kondisi akut teknik anestesi ini dapat menimbulkan masking effect terhadap gejala klinis maupun tanda – tanda dari compartment syndrome. 2.4 Kegawatan Disability

Dalam penanganan kegawatdaruratan (primary survey) semua tindakan yang dilakukan tujuan utamanya adalah untuk menjamin suplai oksigen ke otak. Hal ini dikarenakan otak memiliki peran yang sangat penting dalam metabolisme tubuh manusia secara keseluruhan. Selain itu juga, karakteristik otak yang sangat rentan di mana ketiadaan oksigen lebih dari 5-20 menit saja sudah mulai menimbulkan kematian sel-selnya; maka hal inilah membuat otak menjadi prioritas dalam penanganan kegawatdaruratan. Jadi pada prinsipnya, semua tindakan yang dilakukan selama primary survey, goal/tujuan utamanya adalah menjamin oksigenasi otak.

Pemeriksaan yang penting dalam penilaian fungsi Neurologi/Brain/Dissability adalah penilaian kesadaran. Pemeriksaan kesadaran yang lazim digunakan dalam kegawatdaruratan adalah pemeriksaan dengan metode AVPU dan metode GCS (Glasgow Coma Scale-Score).

2.4.1. Penilaian Derajat Kesadaran Dengan Metode Avpu

Saat pertama kali kita menerima pasien gawat maka langkah pertama kita pasti adalah “tegur sapa” terhadap pasien. Dari “tegur sapa” ini kita bisa menilai kesadaran pasien secara cepat. Ini adalah bagian dari metode AVPU. Jika dipanggil(tegur sapa) tidak memberikan respon maka bisa dilanjutkan dengan memberikan rangsang nyeri di bagian-bagian tubuh yang bisa menimbulkan rangsang nyeri yang adekuat, misalnya: di sternum, supra orbita atau glabella, dan pangkal kuku pasien. Kadang-kadang ada yang memberikan rangsang nyeri di areola mammae, rangsangan di areola mammae memang adekuat untuk menimbulkan nyeri, tapi hal ini perlu hati-hati terutama pada pasien wanita karena pemeriksa bisa dianggap melakukan pelecehan saat ada orang/keluarga yang melihat.

Untuk interpretasi AVPU adalah sebagai berikut: Alert/Awake.

Pada pasien normal, sadar baik, bisa diajak komunikasi/bicara dengan baik. Verbal Responds

Kesadaran menurun, tampak tidur/terpejam tapi terbangun dengan membuka mata saat namanya dipanggil.

Pain Responds

Kesadaran menurun, tampak tidur/terpejam, dan tidak terbangun ketika dipanggil dan baru memberi respon (dengan membuka mata atau menggerakkan anggota tubuh) ketika dirangsang nyeri.

Unresponsive.

Tidak ada respon apapun dengan rangsangan apapun(verbal maupun pain). 2.4.2 Penilaian Derajat Kesadaran Dengan Metode Gcs

Penilaian GCS ini baru dilakukan saat secondary survey. Pemeriksaan GCS ini merupakan pemeriksaan yang lebih detail daripada pemeriksaan AVPU, dan bersifat kuantitatif. Kegunaan utama dari pemeriksaan GCS ini adalah untuk menilai kesadaran pada kasus-kasus trauma terutama trauma kepala. Dampak dari suatu trauma kepala adalah adanya Cedera Otak Primer (edema otak, dan perdarahan yang akan mengakibatkan peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK); dan adanya Cedera Otak Sekunder (yaitu semakin beratnya cedera otak setelah terjadi cedera primer yang disebabkan oleh hal-hal berikut: hipoksia, hiperkarbia, hipovolemia, batuk, mengejan

dan semua hal yang akan meningkatkan tekanan intra thoraks, dan intra abdomen yang mengakibatkan peningkatan TIK).

Yang penting yang perlu diingat dari pemeriksaan GCS ini adalah bahwa GCS ini digunakan untuk memprediksi prognosis pasien. Jika GCS pasien baik(atau pada awalnya baik/lucid interval pada EDH) maka akan mempunyai prognosis yang baik jika segera dilakukan tindakan).

Ketika kita ragu-ragu tentang nilai GCS yang kita lakukan maka tetapkan harga yang jika salah tetap tidak akan merugikan pasien. Dalam hal ini jika GCS rendah berakibat kita harus melakukan tindakan yang invasif, maka berikan nilai rendah; dan jika GCS tinggi memberikan harapan yang lebih baik, maka berikan nilai tinggi agar dilakukan upaya medik yang maksimal.

Perlu diingat bahwa pemeriksaan GCS ini dilakukan jika pasien: tidak di bawah pengaruh obat sedatif, pelumpuh otot, narkotik, alkohol, tidak hipotermia, hipotensi, shock, hipoksia, dan diukur jika masalah di primary survey sudah diterapi dengan baik. Jadi pemeriksaan ini harapannya dapat menilai fungsi otak murni, tanpa ada kelainan-kelainan lain yang saat itu berpengaruh pada otak.

Penilaian GCS

Penilaian GCS meliputi respon mata, bicara/verbal, dan gerak/motorik. Pemeriksaan dilakukan dengan memberikan rangsang nyeri pada daerah-daerah yang menimbulkan nyeri yang adekuat, dan dinilai dari nilai terbaiknya. Skor maksimal adalah 15 dengan rincian: E (eye opening responses)= 4, V (verbal responses)= 5, dan M (Motoric Responses)= 6 pada sisi yang terkuat.

E Score:

4 : membuka mata spontan (normal) 3 : membuka mata bila diminta

2 : membuka mata bila diberikan rangsangan nyeri

1 : tidak membuka mata meskipun diberikan rangsangan nyeri V Score:

5 : mempunyai orientasi (orang, tempat, waktu) yang baik terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

4 : memberi jawaban terhadap pertanyaan tetapi bingung, tidak sesuai dengan pertanyaan (confused conversation)

3 : memberi jawaban terhadap pertanyaan tetapi hanya berupa kata-kata yang tidak jelas (inappropriate words)

2 : bersuara yang tidak jelas (incomprehensible sounds), misalnya erangan. 1 : diam, tidak ada suara sama sekali.

M Score

6 : menurut pada perintah, menggerakkan anggota tubuh sesuai perintah (Obeys command)

5 : dapat menggerakkan anggota tubuhnya ke arah rangsang nyeri berusaha menangkis (localise to pain)

4 : dapat menggerakkan anggota tubuhnya yang dirangsang nyeri untuk menjauhi rangsang nyeri tersebut (withdraws to pain)

3 : adanya gerakan fleksi abnormal terhadap rangsang nyeri (Abnormal Flexion) 2 : adanya gerakan ekstensi terhadap rangsang nyeri(Extensor Respons)

1 : tidak ada gerakan sama sekali meskipun telah diberi rangsang nyeri yang adekuat 2.4.3 Penanganan

Pada prinsipnya, penanganan pada Brain/Dissability adalah: 1. Tindakan untuk menjamin oksigenasi ke otak yang cukup 2. Mencegah terjadinya Peningkatan Tekanan Intra Kranial.

Pada kasus trauma maka tujuan lain dari tindakan pertolongan terhadap pasien adalah untuk mencegah terjadinya Cedera Otak Sekunder.

Hal ini dilakukan dengan cara:

1. Menjaga Airway-nya tetap bebas, juga saat melakukan suctioning tidak boleh terlalu agresif sehingga mengakibatkan oksigen tersedot. Pada kecurigaan Cervical Injury pasien diposisikan in-line position

2. Memberikan support Breathing berupa oksigenasi yang adekuat, cegah hipoksia & hiperkarbia

3. Menjaga agar Circulationnya tidak mengalami shock 4. Memposisikan kepala lebih tinggi 30º

6. Jangan menggunakan obat-obat anestesi yang dapat meningkatkan TIK (misal: halothan, ketamin, morfin).

Bahan Bacaan

1. American Burn Association. Advance Burn Life Support Provider’s manual. 2001 2. Dripps RD, Ekkenhoff JE,Vandam LD, Intreocduction to Anesthesia. 7th edition.W.B

Saunders Company. Phladelpia-London Toronto,1988. Hal: 389-402

3. Edward Morgan Jr, Maged S Mikhail. Clinical Anesthesiology Fifth Edition a Lange Medical Book. 2013.

4. Ipaktchi K, Arbabi S: Advance in burn critical care. Crit Care Med 2006; 34-S239 5. Eddy Rahardjo. Kumpulan Materi Kuliah Kegawatdaruratan Anestesi untuk S1

Kedokteran Universitas Airlangga. 2012.

6. Karjadi Wiroatmodjo. Anestesiologi dan Reanimasi – Modul dasar. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional 1999/2000.

7. Puger Rahardjo. Penanganan Luka Bakar. Departemen Anestesiologi dan Reanimasi-RSUD Dr.Soetomo-Universitas Airlangga Surabaya. 2013

Dokumen terkait