• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penatalaksanaan Penderita Luka bakar

Saat memeriksa pasien dengan luka bakar, diwajibkan memakai sarung tangan steril untuk meminimalisasi resiko infeksi pada penderita. Pemeriksaan dilakukan secara menyeluruh meliputi dari ABCDE pada primary survey dan dilanjutkan dengan secondary survey.

Airway dan Breathing

Bebaskan jalan napas. Lakukan manuver pembebasan jalan napas dengan tetap memperhatikan ada tidaknya cedera cervical. Penderita luka bakar dapat juga mengalami trauma lain seperti trauma kepala ataupun trauma pada cervical spine. Penderita luka bakar dengan distress napas dapat dipertimbangkan untuk dilakukan intubasi endotracheal. Selain membebaskan jalan napas dan pemberian oksigen yang adekuat, evaluasi juga ada/ tidaknya trauma inhalasi.

Trauma Inhalasi

Terjadi dikarenakan penderita menghirup langsung uap panas atau uap dari produk yang terbakar seperti jelaga dan bahas iritan khusus yang dapat menyebabkan kerusakan mukosa saluran napas dan bronchospasme reaktif. Kerusakan mukosa ini diikuti dengan adanya proses inflamasi yang menyebabkan edema saluran napas, diperparah dengan peningkatan debris endobronchial yang tidak bisa dikeluarkan akibat kerusakan system klirens silier,

sehingga menyebabkan obstruksi jalan napas yang progresif. Mikroatelektasis difus dapat juga terjadi karena hilangnya surfactant dan edema alveolar.

Penderita patut dicurigai mengalami trauma inhalasi:

1. Terjadi pada ruang tertutup (terjebak didalam ruangan terbakar) 2. Luka bakar pada perioral, hidung, bibir, mulut dan tenggorokan 3. Sputum tercampur arang (jelaga)

4. Penurunan kesadaran

5. Rasa tercekik, tersedak, suara serak/ batuk, malas bernapas, rasa tidak nyaman pada mata atau tenggorokan (iritasi mukosa)

6. Tanda – tanda distress napas

7. Wheezing/stridor pada suara napas, takipneu, sampai sesak.

Selain menghirup langsung udara panas, penderita dapat juga mengalami intoksikasi asap yang toksik, misalnya; hydrogen sianida, nitrogen dioksida, nitrogen klorida, akreolin, yang juga dapat menyebabkan iritasi mukosa saluran napas serta bronkokonstriksi. Sehinggga obstruksi jalan napas akan lebih hebat akibat trakeal bronkitis dan edema saluran pernapasan.

Intoksikasi karbon monoksida juga tidak dapat dipisahkan pada kejadian trauma inhalasi. Gas CO mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap Hb dibandingkan dengan O2.

Hal ini akan mengakibatkan terbentuk nya karboksihemoglobin (COHb) yang tinggi, sehingga distribusi O2 ke jaringan menurun dan terjadi hipoksia jaringan/sel. Kadar COHb dalam darah dapat diukur, sehingga juga dapat digunakan untuk menunjang diagnose trauma inhalasi.

Hipoksia jaringan yang progesif pada trauma inhalasi akan membawa penderita dalam keadaan ARDS yang mengancam nyawa. Oleh karena itu, tindakan intubasi endotrakeal hendaknya segera dipertimbangkan untuk menciptakan patensi dari jalan napas dan oksigenasi yang memadai.

Indikasi intubasi pada luka bakar antara lain; Adanya luka bakar sirkumferensial pada leher, luka bakar pada wajah, edema laring atau faring (stridor), penurunan kesadaran, kehilangan reflek jalan napas, keracunan karbon monoksida dan sianida, luka bakar >40% (resiko laryngeal edema sebagai bagian dari edema menyeluruh pada luka bakar luas), terdapat tanda- tanda ARDS. Pipa endotracheal yang digunakan dipilih yang terbesar agar dapat dilakukan bronchial toilet dan bronchoscopy dengan mudah.

Pada kasus yang berat mungkin memerlukan ventilasi mekanis, yang dilakukan dengan teknik khusus seperti HFO (High Frequency Oscilation) atau protective ventilation strategy dengan permissive hypercapnea untuk menjamin oksigenasi dan mencegah

timbulnya kerusakan paru lebih lanjut karena pasien luka bakar lebih sensitive terhadap barotrauma.

Circulation

Pada luka bakar berat (derajat II atau III dengan luas >20%), terjadi perubahan permeabilitas kapiler sistemik yang diikuti oleh ekstravasasi cairan ke jaringan interstitial. Sehingga hipovolemik intravaskuler dan edema interstitial menjadi masalah utama dalam penanganan sirkulasi penderita luka bakar. Hipovolemik intravaskuler menyebabkan perfusi ke bagian distal tubuh semakin menurun sehingga memperburuk oksigenasi jaringan, jika proses ini terus berlanjut, penderita akan mengalami syok.

Mekanisme syok pada luka bakar berat dapat juga terjadi karena penurunan cardiac ouput hingga 50% dalam 30 menit pertama sebagai respon dari vasokonstriksi general tubuh, yang dapat berakibat pada normovolemik hipoperfusi (burn shock).

Prognosis penderita bergantung pada terapi cairan dan pengembalian hemodinamik penderita. Jika cairan telah kembali tercukupi, fungsi jantung dapat kembali dalam 48 jam, dan selanjutnya akan berlanjut pada fase hiperdinamik fisiologis sebagai respon dari proses penyembuhan.

Angka kematian pada penderita luka bakar sangat dipengaruhi oleh kecepatan penanganan resusitasi cairan untuk mengatasi syok hypovolemia. Keterlambatan resusitasi cairan dapat menyebabkan renal failure, sepsis, dan multiple organ failure. Selain itu penanganan segera dari pembedahan untuk eksisi jaringan nekrosis juga sangat berpengaruh pada angka kematian.

Terapi cairan diperlukan pada penderita luka bakar dewasa dengan luas luka bakar >20% TBSA, sedangkan pada anak >10% TBSA. Tujuan resusitasi adalah memberikan cairan dan elektrolit, namun dengan meminimalisasi edema, sehingga perfusi dan oksigenasi jaringan adekuat yang pada akhirnya organ tubuh dapat berfungsi dengan baik.

Pemberian cairan yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi yang serius, karena dapat berakibat terjadinya circulatory overload, edema paru, dan pleural effusion. Pada pasien dewasa kadang terjadi abdominal compartment syndrome (tekanan intra abdominal > 25 mmHg). Hal ini dapat mengakibatkan turunnya compliance paru, mengganggu pengembangan paru, menaikkan tahanan jalan napas, menurunkan venous return, mengganggu cardiac output, menyebabkan oliguria, dan juga dapat menyebabkan edema otak terutama pada anak.

Berbeda dengan traumatic injury yang lain, hipovolemia pada luka bakar terjadi secara bertahap dan dapat diprediksi, sehingga resusitasi yang diberikan juga harus bertahap dan dilakukan selama 24 jam. Bermacam-macam rumus dipakai untuk melakukan resusitasi hipovolemia pada luka bakar. Hal itu tergantung dari rumah sakit dan pengalaman dari pengelola burn unit. Rumus yang sering digunakan adalah Parkland Formula atau juga dikenal sebagai Formula Baxter, rumus ini telah digunakan dan diajarkan pada Advanced Trauma Life Support dan Emergency Medicine for severe burn di Amerika.

Terapi cairan pada luka bakar menggunakan Formula Baxter, dengan menggunakan jarum besar melalui kateter intravena disambungkan ke cairan Ringer Laktat. Yakni:

Cara pemberian:

50% kebutuhan cairan total 24 jam pertama diberikan pada 8 jam pertama 50% kebutuhan cairan total 24 jam pertama diberikan pada 16 jam berikutnya

Komplikasi berupa edem paru dan pneumonia dapat terjadi akibat resusitasi cairan yang berlebihan, sehingga pemberian cairan pada penderita luka bakar harus dicatat dan dimonitor ketat melalui produksi urin.

Contoh:

Penderita perempuan dengan berat badan 40 kg, mengalami luka bakar lebih dari grade 2, dengan luas luka bakar 50% (perhitungan menggunakan rule of nine), maka defisit cairan berdasarkan Parkland Formula/Baxter yang akan diberikan dalam 24 jam adalah :

4ml x 40 x 50 (% burn surface area) = 8000ml 4000ml RL diberikan dalam 8jam pertama 4000ml RL sisanya diberikan dalam 16 jam

Pada resusitasi luka bakar harus dihindari penggunaan cairan normal saline karena dapat menimbulkan hiperchloremic metabolic acidosis.

Disability

Dilakukan pemeriksaan tingkat kesadaran maupun trauma kepala yang mungkin dapat menyertai penderita luka bakar.

Exposure

Periksa titik kontak utama pada luka bakar. Terutama jika luka bakar disebabkan karena sengatan listrik, periksa apakah melewati garis tengah tubuh, tempat titik masuk dan keluar nya aliran listrik dalam tubuh. Luka bakar akibat sengatan listrik dapat mengakibatkan gangguan irama jantung, rabdomyolisis, thrombosis maupun oklusi kapiler berat.

Karakteristik primer pada penderita luka bakar adalah ketidakmampuan untuk meregulasi suhu tubuh, sehingga hipotermi seringkali menjadi permasalahan utama. Oleh karena itu, lingkungan resusitasi pada penderita luka bakar harus terus dijaga mendekati temperature tubuh.

D. Monitoring Penderita Luka Bakar

Dokumen terkait