• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang

Salah satu penyangga lingkungan hidup adalah keberadaan hutan yang terpelihara dengan baik. Selain produk kayu dan kekayaan biodiversity, terdapat produk jasa yang dapat dihasilkan dari ekosistem hutan seperti air bersih, udara bersih, keindahan alam dan kapasitas asimilasi udara lingkungan yang mempunyai manfaat penyangga kehidupan (Suhendang, 2002). Berdasarkan penelitian empirik, nilai ekomomi produk jasa tersebut jauh lebih besar dari nilai ekonomi produk kayu.

Kemiskinan dan ketiadaan mata pencaharian alternatif masyarakat yang tinggal sekitar hutan selain memungut hasil hutan, lemahnya penegakan hukum dan kebijakan pemerintah yang kurang jelas tentang pembangunan kehutanan, kurang berfungsinya lembaga penyuluhan kehutanan, adanya konsesi kawasan hutan menyebabkan degradasi hutan kian menajam. Laju deforestasi dalam dekade terakhir mencapai 1,6 juta hektar per tahun (Departemen Kehutanan, 2000) bahkan meningkat menjadi 3,8 juta hektar per tahun pada 3 tahun terakhir (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, 2004 ). Kondisi tersebut menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan ekonomi, sosial dan lingkungan yang menyebabkan sulit tercapainya pengelolaan hutan dan lingkungan secara konservatif yang ditunjukkan oleh kejadian-kejad ian antara lain bencana tanah longsor, banjir, pencemaran udara, kekeringan, perubahan iklim mikro dan lain -lain.

Perubahan tatanan politik menimbulkan euphoria reformasi dan banyak ekses pula, seperti meningkatnya kegiatan radikal dan anarki seperti perambahan yang mengancam kelestarian sumberdaya alam lingkungan (Departemen Kehutanan, 2000). Oleh karena itu, usaha-usaha menjaga kelestarian hutan dan lingkungan dilakukan dengan pendekatan kemasyarakatan (Community Based Development), artinya melibatkan peranserta masyarakat dalam pengelolaan hutan.

Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat terhadap pelestarian hutan maka dapat dilakukan melalui upaya-upaya sebagai berikut : peningkatan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan, menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat, menumbuhkan sensitifitas masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial, serta memberikan saran dan pendapat kepada pemerintah. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian sejauh mana partisipasi masyarakat dalam usaha pelestarian hutan.

Masalah Penelitian

Masyarakat desa sekitar hutan pada umumnya menggantungkan kehidupannya sebagian dari sumberdaya alam hutan, baik dalam pemenuhan kebutuhan pokok maupun kebutuhan energi.

Situasi saat ini, tingkat partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan sangat lemah (Anbiya, 2004). Satu hal alasan mendasar adalah bahwa keberadaan hutan tidak berkontribusi nyata terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat sekitar hutan yang berdampak pada kualitas kehidupan masyarakat sekitar hutan, yang pada umumnya tergolong miskin dan bahkan sangat miskin.

Karakteristik para shared holder hutan beberapa diantaranya yaitu masyarakat dan pemimpin tergolong lemah. Masyarakat sekitar hutan pada umumnya berpendidikan rendah, tidak mempunyai akses (miskin asesibilitas), pemenuhan kebutuhan pada kebutuhan dasar dan tidak punya banyak kesempatan. Pengetahuan masyarakat tentang pelestarian hutanpun sangat lemah Mereka belum banyak mengetahui dan menyadari manfaat jangka panjang keberadaan kawasan hutan. (Departemen Kehutanan, 2000). Sistem nilai yang dianut masyarakat, masih berorientasi pada eksplo itasi sumber daya alam, berorientasi pada atribut konsumtif dan materi. Hal ini memperlemah usaha-usaha pelestarian hutan.

Demikian juga dengan program -progra m untuk mendukung pelestarian hutan seperti penyuluhan kehutanan. Pendekatan -pendekatan yang dilakukan hanyalah pemberian bantuan teknis, pendekatan penyuluhan belum berupaya untuk melakukan penyadaran (penyadaran kritis) pengelolaan hutan secara lestari.

Kemampuan para penyuluh kehutanan sangat lemah, apalagi dengan adanya otonomi daerah (Departemen Kehutanan, 2000). Pada umumnya mereka mempunyai pendidikan setingkat SLTA. Kedudukan penyuluh kehutanan masih mengalami transisi dari pegawai pusat menjadi pegawai daerah, dan hal ini menimbulkan permasalahan tersendiri yang berdampak pada lemahnya kinerja penyuluh kehutanan.

Sarana dan prasarana sangat terbatas, baik sarana transportasi, komunikasi, pendidikan, dan kesehatan. Fasilitas yang tersedia sangat terbatas, terutama dalam mendukung kegiatan pelestarian hutan sehingga memperlemah aksesibilitas dan motivasi masyarakat dalam melestarikan hutan.

Kelembagaan formal yang ada masih mengutamakan kepentingan pemerintah daripada kepentingan masyarakat. Kelembagaan non formal tidak bisa banyak berbuat,

karena hukum formal lebih mendominasi daripada hukum adat (tradisional). Bila hukum adat itu masih berlaku, maka itu hanya sebuah “penghormatan” dan simbolitas dalam rangka pelestarian budaya. Hukum adat (hukum non formal) hanya berlaku bagi masyarakat lokal, tidak bersifat menyeluruh (general), sehingga secara yuridis ditempatkan kekuatannya ditempatkan setelah hukum formal. Oleh karena itu, keberadaan hukum (kelembagaan adat) hanya merupakan perwujudan sebuah penghormatan terhadap keberadaan masyarakat (adat). Simbolitas, lebih kepada keberadaan hukum adat merupakan sebuah simbol atas eksistensi masyarakat (adat).

Pendekatan-pendekatan mengisolasi kawasan hutan dari masyarakat bukanlah cara yang baik dalam pengelolaan kawasan hutan, seperti yang selama ini dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan akan berdampak langsung kepada masyarakat desa sekitar hutan yang memang dalam kehidupan sehari- harinya beriteraksi dan tergantung pada sumberdaya hutan.

Secara skematis, permasalahan lemahnya partisipasi anggota masyarakat terhadap pelestarian hutan disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Permasalahan Lemahnya Partisipasi Masyarakat Dalam Pelestarian Hutan

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Menemukan sebaran karakteristik anggota masyarakat desa sekitar hutan 2. Menganalisis tingkat partisipasi anggota masyarakat desa sekitar hutan

Karakteristik Pemimpin lemah Penyuluhan Kehutanan lemah

Sistem nilai tidak sejalan dengan upaya pelestarian

hutan

Partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan

lemah

Kelembagaan tidak mendukung pelestarian

hutan

Sarana dan prasarana kurang kondusif

Karakteristik Masyarakat

lemah

Kegiatan pelestarian hutan tidak berkontribusi terhadap pemenuhan Kebutuhan

Pengetahuan tentang pelestarian

3. Menganalisis hubungan karakteristik anggota masyarakat desa sekitar hutan dengan partisipasinya dalam pelestarian hutan

4. Menganalisis hubungan dukungan pimimpin, dukungan program dan dukungan kelembagaan non formal dengan partisipasi anggota anggota masyarakat desa sekitar hutan dalam pelestarian hutan melip uti tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pemanfaatan

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam bidang :

1. Pengembangan ilmu : hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan bagi pengembangan keberdayaan masyarakat

2. Penyuluhan Kehutanan : hasil penelitian dapat memberi masukan dalam menyusun strategi penyuluhan yang lebih efektif terutama dalam rangka meningkatkan gerakan swadaya masyarakat desa sekitar hutan dalam pelestarian hutan.

Definisi Operasional

Definisi operasional dibuat untuk memberikan batasan jelas dan memudahkan pengukuran sesuai dengan tujuan penelitian. Definisi operasional yang digunakan dalam pengumpulan data dalam penelitian ini sebagai berikut :

I. Karakteristik masyarakat, adalah ciri-ciri yang mele kat pada diri anggota masyarakat sekitar hutan yang diduga berhubungan dengan partisipasinya dalam pelestarian hutan, yaitu :

A. Karakteristik individual masyarakat

1. Umur adalah usia responden dihitung sejak dilahirkan sampai saat penelitian dilakukan

2. Pendidikan formal adalah lamanya responden duduk di bangku sekolah formal. 3. Pendidikan non formal adalah lamanya responden belajar di luar bangku

4. Tugas/pekerjaan utama adalah kegiatan utama atau profesi responden yang paling dominan (paling banyak memakan waktu, baik menghasilkan pendapatan banyak maupun sedikit) serta kesesuaiannya dengan kegiatan pelestarian hutan. 5. Asal daerah adalah lingkungan sosial dimana responden dilahirkan dan

dibesarkan oleh keluarga intinya, yang dicerminkan oleh suku bangsa

6. Pengetahuan tentang pelestarian hutan adalah tingkat kemampuan kognitif responden dalam melestarikan hutan

7. Kebutuhan adalah hal-hal yang diperlukan responden dan keluarga khususnya dalam hal sandang, pangan, papan, tambahan pendapatan, rasa aman dan gengsi (kebutuhan biologik, psikologik dan sosiologik)

B. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat

1. Tingkat penghasilan adalah pendapatan rata-rata responden setiap bulan, yaitu penghasilan per bulan dan penghasilan dari kegiatan di kawasan hutan (PHBM) 2. Sistem nilai adalah konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik (sehingga

harus dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga harus dihindari), meliputi hakekat hidup, hakekat lingkungan alam, hakekat karya, hakekat waktu dan hakekat lingkungan sosial.

II. Dukungan Pemimpin adalah karakteristik pemimpin yang diduga memperlancar kegiatan dan memberikan motivasi masyarakat dalam pelestarian hutan yaitu pemimpin formal dan pemimpin non formal, yang dalam penelitian ini adalah :

1. Dukungan pemimpin adalah jumlah pemimpin yang memberikan motivasi baik fisik maupun non fisik terhadap kegiatan dan keinginan masyarakat dalam pelestarian hutan

2. Tipe pemimpin adalah cara/gaya kepuasan di dalam mengendalikan perilaku anggotanya (pengikutnya), tipe otoriter atau demokratis.

3. Pengalaman memimpin adalah lamanya pemimpin menjadi panutan bagi masyarakat sekitar hutan

III. Dukungan Program adalah segala sesuatu kegiatan yang memperlancar program pelestarian hutan antara lain penyuluhan dan sarana/prasarana, melip uti :

1. Intensitas penyuluhan adalah frekuensi kegiatan penyuluhan yang dilakukan per bulan

2. Metoda penyuluhan adalah cara pendekatan kepada sasaran penyuluhan, secara berkelompok atau individual atau kombinasi keduanya.

3. Kemampuan Penyuluh Kehutanan adalah ketrampilan penyuluh sebagai agen pembaharu dalam menyampaikan dan menerapkan inovasi yang berkaitan dengan pelestarian hutan.

4. Sarana dan prasarana adalah benda tak bergerak yang dimanfaatkan untuk mendukung dan memperlancar proses kegiatan hidup masyarakat.

IV. Dukungan Kelembagaan non formal adalah sistem yang mengatur hubungan orang dengan orang terhadap sesuatu atau himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat, yang dalam hal ini diwujudkan dalam peraturan maupun organisasi masyarakat yang bersifat non formal sehingga memperlancar dan memotivasi berjalannya kegiatan pelestarian hutan.

V. Partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan pada aspek perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pemanfaatan.

Partisipasi

Pengertian partisipasi menurut Cohen dan Uphoff (1977) mengacu pada pengertian partisipasi sebagai keterlibatan aktif masyarakat mulai dari tahap proses pengambilan keputusan tentang rencana kegiatan, tahap pelaksanaan kegiatan, tahap menikmati hasil dan tahap evaluasi pelaksanaan kegiatan. Dengan demikian, jenis partisipasi yang diharapkan mencakup (1) partisipasi dalam pengambilan keputusan/perencanaan, (2) partisipasi dalam pelaksanaan, (3) partisipasi dalam evaluasi dan (4 ) partisipasi dalam menikmati hasil.

Partisipasi dalam tahap pengambilan keputusan/perencanaan dibedakan menjadi tiga kegiatan, yaitu : (1) pada saat penentuan keputusan awal mengenai proyek dengan memperhatikan keperluan dan prioritas proyek atau kegiatan apa yang akan dikerjakan, (2) ikut serta secara terus menerus dalam setiap proses pengambilan keputusan, (3) ikut serta dalam merumuskan keputusan mengenai rencana kerja.

Partisipasi dalam tahap pelaksanaan dibedakan alam tiga kegiatan, yaitu : (1) sumbangan sumberdaya yang berupa sumbangan tenaga dengan ikut bekerja dalam program, sumbangan materi atau pemberian informasi, (2) terlibat dalam kegiatan administrasi dan koordinasi, (3) ikut serta sebagai peserta dari program yang dilaksanakan. Partisipasi dalam tahap evaluasi merupakan tahap yang penting bagi para pengambil keputusan untuk memperoleh masukan mengenai pelaksanaan program.

Partisipasi dalam tahap menikmati hasil mencakup : (1) keuntungan materiil berupa meningkatnya pendapatan dan konsumsi, baik dalam bentuk jumlah maupun distribusi yang merata, (2) keuntungan sosial antara lain meningkatnya pendidikan dan terberantasnya buta huruf, (3) keuntungan perorangan antara lain berupa kemantapan status sosial seseorang serta meningkatnya kekuasaan politik.

Yadaf (1980) mengemukakan bahwa secara umum partisipasi masyarakat merupakan keikutsertaan seseorang dalam suatu aktivitas. Tingkat keikutsertaan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sebagian faktor ini terdapat pada diri warga dan sebagian lagi datang dari lingkungannya, Yadaf juga mengemukakan bahwa masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan dengan sukarela dan kemauan sendiri tanpa paksaan.

Muhadjir (1982) partisipasi dapat dilihat dari dua segi yaitu segi kualitatif dan segi kuantitatif. Segi kuantitatif dapat dilihat dari partisipasi seseorang dalam hal frekuensi

keikutsertaannya dalam kegiatan, sedangkan segi kualitatif dapat dilihat dari tingkat dan derajatnya.

Muhadjir (1982) mengemukakan bahwa berdasarkan derajatnya, dapat dibedakan menja di : (1) berpartisipasi tanpa mengenal ide obyek partisipasi (diperintahkan untuk ikut), (2) berpartisipasi karena telah mengenal ide baru tersebut dan adanya daya tarik dari obyek dan minat dari subyek itu sendiri, (3) berpartisipasi karena telah meyakini bahwa ide tersebut memang baik, (4) berpartisipasi karena telah melihat lebih mendeta il tentang alternatif pelaksanaan atau implementasi ide-ide tersebut, (5) berpartisipasi karena langsung dapat memanfaatkan ide dan usaha tersebut untuk dirinya, keluarga dan masyarakatnya.

Slamet (2003) menyatakan bahwa partisipasi diartikan sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, bukan hanya partisipasi dalam menyumbangkan input tetapi termasuk ikut memanfaatkan dan menikmati hasil pembangunan. Slamet (2003) membagi partisipasi dalam 5 jenis yaitu (1) ikut memberi input, menerima imbalan atas input dan ikut menikmati hasil, (2) ikut memberi input dan menikmati hasil, (3) ikut memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil secara langsung, (4) menikmati/memanfaatkan hasil tanpa ikut memberi input, (5) memberi input tanpa menerima imbalan dan tidak menerima hasil. Tanpa partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan hasil berarti pula bahwa masyarakat tidak naik tingkat hidupnya atau kesejahteraannya.

Selanjutnya Slamet (2003) mengemukakan bahwa kemanfaatan pembangunan dapat bersifat dekat atau jauh dalam arti jarak, waktu maupun persepsi masyarakat. Persepsi jauh terhadap pemanfaatan pembangunan mengindikasikan bahwa masyarakat tidak segera atau dalam jangka pendek memperoleh manfaat. Tentu saja kondisi seperti ini akan membawa masyarakat menjadi tidak responsif untuk ikut serta dalam pembangunan. Syarat-syarat yang diperlukan agar masyarakat dapat berpartisipasi adalah adanya kesempatan, kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan dan kemauan untuk berpartisipasi. Dengan kata lain, bahwa kondisi yang kondusif untuk terjadinya partisipasi harus tercipta terlebih dahulu.

Partisipasi juga dapat dibedakan menjadi : (1) partisipasi dalam pelaksanaan usaha, (2) partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan (3) partisipasi dalam perencanaan program.

Yadaf (1980), berpendapat bahwa partisipasi seseorang dapat dilihat melalui 4 unsur yaitu : (1) Partisipasi dalam pengambilan keputusan, (2) partisipasi dalam

pelaksanaan pembangunan atau kegiatan, (3) partisipasi dalam monitoring dan evaluasi program-program pembangunan (4) partisipasi dalam membagi-bagi keuntungan atau hasil pembangunan.

Nilvises (1997) dalam Perhutani (1999) membagi partisipasi ke dalam 6 katego ri yaitu :

1. Bukan partisipasi, yaitu masyarakat dipaksa terlibat dalam suatu kegiatan pengelolaan hutan, pemegang hak pengusahaan hutan sengaja mengingkari hak-hak yang melekat pada masyarakat lokal, atau jika masyarakat menolak dilibatkan, maka dapat dilibatkan dengan hukum.

2. Partisipasi tingkat paling rendah, yaitu masyarakat terlibat karena memperoleh insentif atau penghargaan sebagai upah atau kemewahan sosial tertentu (misalnya mengijinkan masyarakat berobat di klinik perusahaan, menyekolahkan anak-anak dan lain -lain).

3. Partisipasi tingkat rendah, yaitu keterlibatan masyarakat karena pihak perusahaan menggunakan propaganda, iklan, kampanye, rapat, radio atau televisi.

4. Partisipasi tingkat sedang, yaitu masyarakat diminta menghadiri pertemuan- pertemuan atau temu wicara, yang menggali pandangan-pandangan terhadap suatu masalah atau kebutuhan masyarakat. Perusahaan akan melakukan analisis, merumuskan solusi dan rekomendasi hasil temu wicara.

5. Partisipasi tingkat tinggi, yaitu masyarakat berkesempatan mengungkapkan pendapat dan aspirasinya dan dilanjutkan dengan pengamb ilan keputusan dalam mengatasi mas alah-masalah tersebut dan apa langkah-langkah terbaik yang harus diambil mereka, dilakukan dengan mengajukan usulan-usulan kegiatan yang lebih rinci.

6. Partisipasi tingkat ideal, yaitu anggota masyarakat setempat menjadi aktor utama dalam pembuatan keputusan mulai perencanaan, operasional, pengendalian dan monitoring suatu program. Pihak perusahaan hanya mendukung dan menyetujui keputusan masyarakat.

Dorongan dan ra ngsangan untuk berpartisipasi mencakup faktor-faktor kesempatan, kemauan, kemampuan dan bimbingan. Implikasinya adalah bila masyarakat diberikan kesempatan, ditingkatkan kemampuannya dengan cara memberikan peluang untuk mendapatkan lebih banyak pengalaman dan dimotivasi kemauannya untuk berpartisipasi maka intensitas partisipasinya alam pembangunan akan meningkat.

Kesempatan ini dapat diberikan pada waktu pelaksanaan, pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, penilaian dan distribusi hasil.

Mitchell (1997) dalam Soemardjo (2005) mengemukakan beberapa elemen yang merupakan kriteria kesuksesan dan keefektifan partisipasi dalam bentuk kemitraan yaitu : (1) tercapainya kecocokan antara pihak yang terlibat berupa penghargaan dan kepercayaan, (2) terwujudnya keuntungan untuk semua pihak, (3) berkembangnya keseimbangan perwalian dan kekuasaan yang dapat disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat, (4) berkembangnya komunikasi yang efektif, baik dalam kelompok maupun luar kelompok, (5) kemampuan beradaptasi terhadap ketidakpastian dan perubahan, (6) tingkat integritas kesabaran dan keajegan semua pihak yang terlibat.

Partisipasi Masyakat dalam Pelestarian Hutan

Dalam rangka memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi hutan, pendekatan utama yang harus dilakukan adalah pendekatan masyarakat (Community Based Development), karena shared holder yang berinteraksi langsung dan setiap hari adalah masyarakat sekitar hutan sehingga harus menjadi perhatian utama. Dalam pelaksanaannya, partisipasi masyarakat dalam mengelola hutan berdasar azas kelestarian sangat diperlukan.

Suhaeri (1994) mengemukakan hasil penelitian di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, bahwa dalam pemanfaatan hutan oleh masyarakat pada umumnya dilandasi oleh adat istiadat masyarakat kasepuhan (masyarakat yang tinggal di kawasan hutan) dan tampak sudah mengakar, sehingga kelembagaan formal hanya mampu mengendalikan sebagian kecil sumber saling ketergantungan antara masyarakat dengan kawasan hutan dengan kata lain peran masyarakat dalam pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan sangat menentukan.

Damayanti (2003) dalam hasil penelitiannya, ditinjau dari partisipasinya, masyarakat di sekitar hutan dapat digolongkan menjadi 2 yaitu kelompok masyarakat yang berpartisipasi dalam program pengelolaan dan kelompok masyarakat yang tidak berpartisipasi dalam program pengelolaan. Kelompok masyarakat yang berpartisipasi dalam program pegelolaan juga terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang berpartisipasi langsung (misalnya petani agroforestry, penyadap kopal) dan kelompok yang secara tidak langsung (masyarakat yang mengikuti program home industry ataupun program lain, yang basis kegiatannya di desa).

Peran petani agroforestry adalah menanam jenis -jenis tumbuhan pertanian (palawija) dan tumbuhan lain yang diperlukan di bawah tegakan dan menjaga pohon induk dari pencurian dan kebakaran hutan. Selain itu, mereka berperan juga dalam program home industry sebagai penyuplai bahan baku dan dalam program ekoturisme, sebagai interpreter di lahan agroforestry atau di areal penyadapan kopal.

Peran kelompok masyarakat yang berpartisipasi di desa, dalam program home industry atau ekoturisme adalah memproduksi produk-produk dari tumbuhan obat, seperti minuman instan, teh, jamu, juga produk makanan ringan dari hasil bumi masyarakat sekitar hutan seperti manisan pala. Dalam program ekoturisme, mereka berperan sebagai interpreter dalam pembuatan masing-masing produk juga memasarkan produk-produk kepada para pengunjung.

Kelompok masyarakat yang tidak berpartisipasi dalam program pengelolaan memiliki peran secara tidak langsung dalam pengelolaan, yaitu sebagai pengunjung, agen penyebar informasi, pemanfaat tidak langsung dari keberadaan hutan. Salah satu kunci keberhasilan suatu program pengelolaan adalah penyebaran informasi dan masyarakat adalah penyebar informasi yang sangat cepat dan murah.

Peran umum masyarakat dari semua kelompok adalah bekerja bersama pengelola dalam pengamanan kawasan. Pelanggaran yang terjadi di dalam maupun di batas -batas hutan akan dapat dideteksi dan ditangani dengan cepat dengan adanya kerjasama masyarakat.

Banyak penelitian lain menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal dan hidup dalam kawasan hutan dan sekitar hutan adalah shared holder utama dalam pengelolaan hutan. Oleh karenanya mereka perlu ditingkatkan keberdayaannya dan ditempatkan sebagai subyek dalam pembangunan hutan yang berbasiskan kelestarian (Sustained yield principle based on community development)

Karakteristik Masyarakat :

Karakteristik Individual dan karakteristik sosial ekonomi

Ginting (1999) menyatakan bahwa karakteristik pribadi (individual) pemimpin merupakan sesuatu yang memang sudah demikian adanya, dengan kata lain sukar untuk mengubah atau meningkatkan kualitasnya kecuali melatih atau mengembangkan refleksi dari beberapa karakteristik pribadi. Refleksi pendidikan (yang relatif tinggi) dapat berwujud minat permanen untuk selalu memberi informasi, termasuk informasi

pembangunan sehingga pengetahuannya terus bertambah, berwawasan luas dan toleran terhad ap pendapat orang lain dan sejenisnya.

Jahi (1981) mengemukakan bahwa dengan mengetahui karakteristik para pelajar dalam menyusun rencana pelajaran akan berguna bagi penentuan pada tingkat mana pelajaran itu akan dmulai dan pendekatan-pendekatan mengajar apa yang digunakan. Slamet (1978) berpendapat bahwa perbedaan-perbedaan individuil yang mempengaruhi cepat lambatnya proses adopsi adalah : (1) umur, (2) pendidikan, (3) status sosial, (4) Kekosmopolitan, (5) keberanian mengambil resiko, (6) sikap terhadap perubahan, (7) motivasi berkarya, (8) aspirasi, (9) fatalisme dan (10) diagnotisme.

Berdasarkan konsep yang dikemukakan Slamet (1978), karakteristik pribadi masyarakat/warga belajar yang akan diteliti, antara lain :

1. Umur

De Cecco (1968) mengemukakan bahwa umur warga belajar akan berpengaruh pada kematangannya, baik kematangan fisik maupun kematangan emosional, yang sangat menentukan kesiapan belajar. Dahama dan Bhatnagar (1980) menjelaskan pula bahwa umur warga belajar berkaitan dengan efisiensi dan kapasitas belajar seseorang yang tidak merata menurut perkembangan umurnya, dimana kapasitas belajar meningkat sampai usia dewasa kemudian menurun sehubungan dengan bertambahnya umur. Ginting (1999) mengemukakan bahwa makin tinggi usia seorang maka makin matang dalam mengambil keputusan.

2. Pendidikan Formal dan Non Formal

De Cecco (1968) juga mengemukakan bahwa kesiapan seseorang belajar ditentukan oleh kematangannya dan pendidikan yang diperolehnya. Latar belakang pendidikan perlu dipertimbangkan dalam rangka penentuan titik berat dan teknik -teknik serta jalur penyampaian materi.

3. Tingkat Penghasilan

Muhadjir (1982) menjelaskan bahwa kesempatan memperoleh pendidikan akan cenderung jatuh pada golongan yang kemampuan ekonominya tidak minimal, sehingga warga yang mempunyai pendapatan rendah memperoleh kesempatan terbatas dalam mengikuti pendidikan

4. Asal Daerah

Triandis (1972) dalam Warnaen (2001) mengemukakan bahwa salah satu faktor lingkungan yang sangat penting yang mempengaruhi tingkah laku manusia adalah apa yang disebut kultur atau kebudayaan. Triandis menarik kesimpulan bahwa sejarah hidup

manusia terpenting adalah akomodasi terhadap pola standar yang secara tradisional dianut oleh lingkungan sosialnya. Sejak individu dilahirkan, kebiasaan lingkungan membentuk pengalaman-pengalaman hidup dan tingkah laku. Adat dan tingkah laku manusia dalam lingkungannya menjadi kebiasaan, kepercayaaannya, dan yang tabu bagi lingkungan juga tabu baginya. Dari konsep tersebut, asal daerah akan berimplikasi pada persepsi tentang nilai aturan, dan norma kelompok serta peran yang merupakan aspek-aspek kultur subyektif (cara khas suatu golongan kebudayaan memandang lingkungan sosialnya). Pada umumnya, interaksi akan membentuk kesamaan norma dan sikap, serta kesamaan kultur subyektif.

5. Pengalaman Memimpin

Ginting (1999) dalam hasil penelitiannya mengemukakan bahwa pemimpin yang telah lama memimpin akan lebih mampu mengidentifikasi sifat dan kebutuhan pengikut, lebih dapat memahami masalah yang dialami warga.

Berdasarkan konsep ini pula, maka pengalaman yang lebih lama akan berpengaruh pada kematangan dalam mengambil keputusan (bagi warganya).

Kemudian karakteristik tentang sistem nilai yang dianut responden, mengacu pada

Dokumen terkait