• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Karakteristik Anggota Masyarakat Sekitar Hutan dan Beberapa Faktor Pendukung dengan Partisipasinya Dalam Pelestarian Hutan Di Kawasan Pemangkuan Hutan Parung Panjang Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Karakteristik Anggota Masyarakat Sekitar Hutan dan Beberapa Faktor Pendukung dengan Partisipasinya Dalam Pelestarian Hutan Di Kawasan Pemangkuan Hutan Parung Panjang Kabupaten Bogor"

Copied!
282
0
0

Teks penuh

(1)

SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG

DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN

DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG

KABUPATEN BOGOR

YAYUK SISWIYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Hubungan Karakteristeristik Anggota

Masyarakat Sekitar Hutan dan Beberapa Faktor Pendukung dengan Partisipasinya dalam Pelestarian Hutan di Kawasan Pemangkuan Hutan Parung Panjang Kabupaten Bogor ” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip

dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2006

(3)
(4)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2006 Hak Cipta Dilindungi

(5)

DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN

DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG

KABUPATEN BOGOR

YAYUK SISWIYANTI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sain

pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Beberapa Faktor Pendukung dengan Partisipasinya Dalam

Pelestarian Hutan Di Kawasan Pemangkuan Hutan Parung

Panjang Kabupaten Bogor

Nama

: Yayuk Siswiyanti

NRP

:

P. 051040131

Disetujui

Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA.

Ketua

Prof. Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM,APU.

Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi

Ilmu Penyuluhan Pembangunan,

Dr. Ir. Amri Jahi, MSc.

Dekan Sekolah Pascasarjana,

Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(7)

Penulis dilahirkan di Ngawi pada tanggal 30 Juni 1970 sebagai anak sulung dari pasangan Sadin Hadisiswojo (almarhum) dan Wakinah. Sejak tahun 1995 hingga saat ini

penulis bekerja pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan (Pusdiklat Kehutanan) Departemen Kehutanan.

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan

(8)

Puji syukur penulis ucapkan kepada Alloh SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari sampai dengan April 2006 dengan judul “Hubungan

Karakteristeristik Anggota Masyarakat Sekitar Hutan dan Beberapa Faktor Pendukung dengan Partisipasinya dalam Pelestarian Hutan di Kawasan Pemangkuan Hutan Parung Panjang Kabupaten Bogor”.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Basita Ginting Sugihen, MA. sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM., APU. sebagai anggota atas bimbingan dan arahan yang sangat berharga. Apresiasi

yang tinggi juga kami sampaikan kepada jajaran Perum Perhutani Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Parung Panjang, atas fasilitas dan bantuan yang penulis terima selama melaksanakan penelitian. Terima kasih pula kami ucapkan kepada Departemen Kehutanan yang memberikan beasiswa kepada penulis, serta semua pihak yang telah memberi dukungan baik langsung maupun tidak langsung kepada penulis.

Penghargaan juga penulis sampaikan kepada para dosen dan teman-teman pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan yang selalu memberikan motivasi kepada penulis. Tak lupa ungkapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada ibunda, suami dan ananda Abi Haris yang telah memberikan kasih sayang, do’a tulus dan tiada putus.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam rangka mengembangkan masyarakat desa hutan yang pada umumnya miskin.

Bogor, Agustus 2006

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL

……….

x

DAFTAR GAMBAR

………..………

xi

DAFTAR LAMPIRAN

……….…

xii

PENDAHULUAN

Latar Belakang...………...………

Masalah Penelitian...………

Tujuan Penelitian...

Manfaat Penelitian...………...…

Definisi Operasional ...

1

2

3

4

4

TINJAUAN PUSTAKA

Partisipasi ………...…

Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan...

Karakteristik Masyarakat : Karakteristik Individual & Karakteristik

Sosial Ekonomi...

Kepemimpinan ………..

Pemimpin Non Formal dan Pemimpin Formal ………...

Penyuluhan ………...….

Kelembagaan ………...

Pengelolaan Hutan secara Lestari ... …………. ……...

Program Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).

7

9

10

12

15

21

23

24

29

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

Kerangka Berpikir ………..

Hipotesis...

31

35

METODE PENELITIAN

Populasi dan Sampel...

Populasi……….

Sampel………

Desain Penelitian……….

Data dan Instrumentasi………

Data……….

Instrumentasi………..

Pengumpulan Data………...

Analisis Data………...

36

36

37

38

38

38

41

44

45

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Lokasi Penelitian...………...…...

Keadaan Fisik Lokasi……….

Keadaan Sosio Demografi ……….

Keadaan Sosio Ekonomi……….

Sarana dan Prasarana ……….

Potret Interaksi Masyarakat Desa Hutan terhadap Kawasan

Pemangkuan Hutan Parung Panjang………...

Program Perum Perhutani : Program Pengelolaan Sumber Daya

Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) ...

(10)

Potret Sejarah Masyarakat dalam Kegiatan Pengelolaan

Sumberdaya Hutan Parung Panjang………

Karakteristik Individual Masyarakat...

Umur……….……….

Pendidikan Formal dan Pendidikan Non Formal ……….

Pekerjaan ………...

Asal Daerah ………..

Pengetahuan tentang Pelestarian Hutan ……….

Kebutuhan………..

Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat ...

Penghasilan..………..

Sistem Nilai yang Dianut ...

Dukungan Pemimpin... ………...

Dukungan Program………...….

Penyuluhan...

Sarana dan Prasarana...

Dukungan Kelembagaan ………...………...

Partisipasi Masyarakat... ... …………. ……...

Hubungan Karakteristik Individual Anggota Masyarakat dengan

Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan ...

Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Anggota Masyarakat

dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan ...

Hubungan Karakteristik Pemimpin dengan Partisipasi Masyarakat

dalam Pelestarian Hutan ...

Hubungan Karakteristik Dukungan Program dengan Partisipasi

Masyarakat dalam Pelestarian Hutan ...

Hubungan Karakteristik Dukungan Kelembagaan dengan Partisipasi

Masyarakat dalam Pelestarian Hutan ...

67

71

71

73

74

76

77

77

79

79

81

84

89

89

91

91

94

101

104

106

108

109

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ……….

Saran ………...

110

111

DAFTAR PUSTAKA

………

112

(11)

Halaman

1.

Data Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin di Kawasan

Pemangkuan Hutan BKPH Parung Panjang………

49

2.

Data Jumlah Penduduk berdasar Kelompok Umur di Kawasan

Pemangkuan Hutan BKPH Parung Panjang………

50

3.

Data Jumlah Penduduk menurut Pendidikan di Desa Kawasan

Pemangkuan Hutan BKPH Parung Panjang………

51

4.

Data Jumlah Rumah Tangga berdasarkan Pekerjaan di Desa-desa

Kawasan Hutan BKPH Parung Panjang………..

52

5.

Data Penggunaan Tanah di Desa-Desa Sekitar Kawasan

Pemangkuan Hutan BKPH Parung Panjang………

53

6.

Data Hasil Produksi Panen di Desa Kawasan Pemangkuan Hutan

BKPH Parung Panjang……….

53

7.

Data Kepala Keluarga yang Tercatat Miskin di Desa-desa Sekitar

Kawasan Pemangkuan Hutan BKPH Parung Panjang………

54

8.

Data Sarana dan Prasarana di Kawasan Pemangkuan Hutan BKPH

Parung Panjang………

55

9.

Sistem Bagi hasil PHBM……….

61

10.

Data Luas Kawasan Pangkuan Hutan dan Partisipan Program

PHBM di Pemangkuan Hutan BKPH Parung Panjang………...

63

11.

Daftar Nama KTH dan LMDH pada Wilayah Penelitian di BKPH

Parung Panjang ………..

64

12.

Perhitungan Pendapatan Bagi Hasil pada Lokasi PHBM per Hektar

67

13.

Sebaran Responden menurut Umur ………

72

14.

Sebaran Responden menurut Pendidikan ……….

73

15.

Sebaran Responden menurut Pekerjaan Utama ditinjau dari

Kesesuaian Pekerjaannya dengan Pelestarian Hutan serta Alokasi

Waktu untuk Bekerja ………..

76

16.

Sebaran Responden menurut Tingkat Kebutuha n ………..

78

17.

Sebaran Responden menurut Tingkat Penghasilan ……….

79

18.

Sebaran Responden menurut Sistem Nilai yang Dianut………..

81

19.

Sebaran Responden berdasarkan Penilaian terhadap Karakteristik

Pemimpin Formal………....

86

20.

Sebaran Responden berdasarkan Penilaian terhadap Karakteristik

Pemimpin Non Formal………

88

21.

Sebaran Responden berdasarkan Penilaian terhadap Program

Penyuluhan ……….

89

22.

Sebaran Responden menurut Partisipasinya dalam Pelestarian

Hutan………..

95

23.

Korelasi Karakteristik Individual Anggota Masyarakat dengan

Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan………....

101

24.

Korelasi Karakteristik Sosial Ekonomi Anggota Masyarakat dengan

Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan……….

105

25.

Korelasi Karakteristik Pemimpin dengan Partisipasi Masyarakat

dalam Pelestarian Hutan………...

106

26.

Korelasi Dukungan Program dengan Partisipasi Masyarakat dalam

Pelestarian Hutan……….

(12)

Halaman

1.

Permasalahan Lemahnya Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian

Hutan ………...

3

2.

Dua Kutub Gaya Kepemimpinan ……….

13

3.

Kawasan Hutan dengan Berbagai Pihak yang Berkepentingan

(

Shared holder

)...

34

4.

Kerangka Berpikir Partisipasi Anggota Masyarakat dalam

Pelestarian Hutan……...

32

5.

Desa Lokasi Penelitian Partisipasi Masyarakat Sekitar Hutan

dalam Pelestarian Hutan ...

37

6.

Peta Situasi Wilayah Penelitian ...

48

7.

Beberapa Interaksi Masyarakat Desa Hutan dengan Kawasan…….

57

8.

Struktur Organisasi BKPH Parung Panjang ...

58

9.

Kondisi Tanaman

A. mangium

dan Padi Huma dalam Kerjasama

PHBM………

62

10.

Struktur Organisasi Program PHBM ...

65

11.

Peta Interaksi Masyarakat dengan Kawasan Hutan……..…………

66

12.

Tanaman Tumpangsari (padi huma & singkong) serta Hasil Panen

Padi Huma ………

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1.

Pengukuran dan Skoring masing- masing Variabel………..

118

2.

Korelasi (r

s

) Peubah Bebas dengan Peubah Respon (Partisipasi

Anggota Masyarakat sekitar Hutan)………..

(14)

Latar Belakang

Salah satu penyangga lingkungan hidup adalah keberadaan hutan yang

terpelihara dengan baik. Selain produk kayu dan kekayaan biodiversity, terdapat produk jasa yang dapat dihasilkan dari ekosistem hutan seperti air bersih, udara bersih,

keindahan alam dan kapasitas asimilasi udara lingkungan yang mempunyai manfaat

penyangga kehidupan (Suhendang, 2002). Berdasarkan penelitian empirik, nilai

ekomomi produk jasa tersebut jauh lebih besar dari nilai ekonomi produk kayu.

Kemiskinan dan ketiadaan mata pencaharian alternatif masyarakat yang tinggal

sekitar hutan selain memungut hasil hutan, lemahnya penegakan hukum dan kebijakan

pemerintah yang kurang jelas tentang pembangunan kehutanan, kurang berfungsinya

lembaga penyuluhan kehutanan, adanya konsesi kawasan hutan menyebabkan degradasi

hutan kian menajam. Laju deforestasi dalam dekade terakhir mencapai 1,6 juta hektar

per tahun (Departemen Kehutanan, 2000) bahkan meningkat menjadi 3,8 juta hektar

per tahun pada 3 tahun terakhir (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, 2004 ). Kondisi

tersebut menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan ekonomi, sosial dan

lingkungan yang menyebabkan sulit tercapainya pengelolaan hutan dan lingkungan

secara konservatif yang ditunjukkan oleh kejadian-kejad ian antara lain bencana tanah

longsor, banjir, pencemaran udara, kekeringan, perubahan iklim mikro dan lain -lain.

Perubahan tatanan politik menimbulkan euphoria reformasi dan banyak ekses pula, seperti meningkatnya kegiatan radikal dan anarki seperti perambahan yang

mengancam kelestarian sumberdaya alam lingkungan (Departemen Kehutanan, 2000).

Oleh karena itu, usaha-usaha menjaga kelestarian hutan dan lingkungan dilakukan

dengan pendekatan kemasyarakatan (Community Based Development), artinya melibatkan peranserta masyarakat dalam pengelolaan hutan.

Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat terhadap pelestarian hutan maka

dapat dilakukan melalui upaya-upaya sebagai berikut : peningkatan kemandirian,

keberdayaan masyarakat dan kemitraan, menumbuhkembangkan kemampuan dan

kepeloporan masyarakat, menumbuhkan sensitifitas masyarakat untuk melakukan

pengawasan sosial, serta memberikan saran dan pendapat kepada pemerintah. Oleh

karena itu, perlu dilakukan penelitian sejauh mana partisipasi masyarakat dalam usaha

(15)

Masalah Penelitian

Masyarakat desa sekitar hutan pada umumnya menggantungkan kehidupannya

sebagian dari sumberdaya alam hutan, baik dalam pemenuhan kebutuhan pokok

maupun kebutuhan energi.

Situasi saat ini, tingkat partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan sangat

lemah (Anbiya, 2004). Satu hal alasan mendasar adalah bahwa keberadaan hutan tidak

berkontribusi nyata terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat sekitar hutan yang

berdampak pada kualitas kehidupan masyarakat sekitar hutan, yang pada umumnya

tergolong miskin dan bahkan sangat miskin.

Karakteristik para shared holder hutan beberapa diantaranya yaitu masyarakat dan pemimpin tergolong lemah. Masyarakat sekitar hutan pada umumnya

berpendidikan rendah, tidak mempunyai akses (miskin asesibilitas), pemenuhan

kebutuhan pada kebutuhan dasar dan tidak punya banyak kesempatan. Pengetahuan

masyarakat tentang pelestarian hutanpun sangat lemah Mereka belum banyak

mengetahui dan menyadari manfaat jangka panjang keberadaan kawasan hutan.

(Departemen Kehutanan, 2000). Sistem nilai yang dianut masyarakat, masih

berorientasi pada eksplo itasi sumber daya alam, berorientasi pada atribut konsumtif dan

materi. Hal ini memperlemah usaha-usaha pelestarian hutan.

Demikian juga dengan program -progra m untuk mendukung pelestarian hutan

seperti penyuluhan kehutanan. Pendekatan -pendekatan yang dilakukan hanyalah

pemberian bantuan teknis, pendekatan penyuluhan belum berupaya untuk melakukan

penyadaran (penyadaran kritis) pengelolaan hutan secara lestari.

Kemampuan para penyuluh kehutanan sangat lemah, apalagi dengan adanya

otonomi daerah (Departemen Kehutanan, 2000). Pada umumnya mereka mempunyai

pendidikan setingkat SLTA. Kedudukan penyuluh kehutanan masih mengalami transisi

dari pegawai pusat menjadi pegawai daerah, dan hal ini menimbulkan permasalahan

tersendiri yang berdampak pada lemahnya kinerja penyuluh kehutanan.

Sarana dan prasarana sangat terbatas, baik sarana transportasi, komunikasi,

pendidikan, dan kesehatan. Fasilitas yang tersedia sangat terbatas, terutama dalam

mendukung kegiatan pelestarian hutan sehingga memperlemah aksesibilitas dan

motivasi masyarakat dalam melestarikan hutan.

Kelembagaan formal yang ada masih mengutamakan kepentingan pemerintah

(16)

karena hukum formal lebih mendominasi daripada hukum adat (tradisional). Bila

hukum adat itu masih berlaku, maka itu hanya sebuah “penghormatan” dan simbolitas

dalam rangka pelestarian budaya. Hukum adat (hukum non formal) hanya berlaku bagi

masyarakat lokal, tidak bersifat menyeluruh (general), sehingga secara yuridis ditempatkan kekuatannya ditempatkan setelah hukum formal. Oleh karena itu,

keberadaan hukum (kelembagaan adat) hanya merupakan perwujudan sebuah

penghormatan terhadap keberadaan masyarakat (adat). Simbolitas, lebih kepada

keberadaan hukum adat merupakan sebuah simbol atas eksistensi masyarakat (adat).

Pendekatan-pendekatan mengisolasi kawasan hutan dari masyarakat bukanlah

cara yang baik dalam pengelolaan kawasan hutan, seperti yang selama ini dilakukan

oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan akan berdampak

langsung kepada masyarakat desa sekitar hutan yang memang dalam kehidupan

sehari-harinya beriteraksi dan tergantung pada sumberdaya hutan.

Secara skematis, permasalahan lemahnya partisipasi anggota masyarakat

terhadap pelestarian hutan disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Permasalahan Lemahnya Partisipasi Masyarakat Dalam Pelestarian Hutan

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Menemukan sebaran karakteristik anggota masyarakat desa sekitar hutan

2. Menganalisis tingkat partisipasi anggota masyarakat desa sekitar hutan

Karakteristik Pemimpin

lemah

Penyuluhan Kehutanan lemah

Sistem nilai tidak sejalan dengan upaya pelestarian

hutan

Partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan

lemah

Kelembagaan tidak mendukung pelestarian

hutan

Sarana dan prasarana kurang kondusif

Karakteristik Masyarakat

lemah

Kegiatan pelestarian hutan tidak berkontribusi terhadap pemenuhan Kebutuhan

Pengetahuan tentang pelestarian

(17)

3. Menganalisis hubungan karakteristik anggota masyarakat desa sekitar hutan dengan

partisipasinya dalam pelestarian hutan

4. Menganalisis hubungan dukungan pimimpin, dukungan program dan dukungan

kelembagaan non formal dengan partisipasi anggota anggota masyarakat desa sekitar

hutan dalam pelestarian hutan melip uti tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi

dan pemanfaatan

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam bidang :

1. Pengembangan ilmu : hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan bagi pengembangan

keberdayaan masyarakat

2. Penyuluhan Kehutanan : hasil penelitian dapat memberi masukan dalam menyusun

strategi penyuluhan yang lebih efektif terutama dalam rangka meningkatkan gerakan

swadaya masyarakat desa sekitar hutan dalam pelestarian hutan.

Definisi Operasional

Definisi operasional dibuat untuk memberikan batasan jelas dan memudahkan

pengukuran sesuai dengan tujuan penelitian. Definisi operasional yang digunakan dalam

pengumpulan data dalam penelitian ini sebagai berikut :

I. Karakteristik masyarakat, adalah ciri-ciri yang mele kat pada diri anggota

masyarakat sekitar hutan yang diduga berhubungan dengan partisipasinya dalam

pelestarian hutan, yaitu :

A. Karakteristik individual masyarakat

1. Umur adalah usia responden dihitung sejak dilahirkan sampai saat penelitian

dilakukan

2. Pendidikan formal adalah lamanya responden duduk di bangku sekolah formal.

3. Pendidikan non formal adalah lamanya responden belajar di luar bangku

(18)

4. Tugas/pekerjaan utama adalah kegiatan utama atau profesi responden yang

paling dominan (paling banyak memakan waktu, baik menghasilkan pendapatan

banyak maupun sedikit) serta kesesuaiannya dengan kegiatan pelestarian hutan.

5. Asal daerah adalah lingkungan sosial dimana responden dilahirkan dan

dibesarkan oleh keluarga intinya, yang dicerminkan oleh suku bangsa

6. Pengetahuan tentang pelestarian hutan adalah tingkat kemampuan kognitif

responden dalam melestarikan hutan

7. Kebutuhan adalah hal-hal yang diperlukan responden dan keluarga khususnya

dalam hal sandang, pangan, papan, tambahan pendapatan, rasa aman dan gengsi

(kebutuhan biologik, psikologik dan sosiologik)

B. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat

1. Tingkat penghasilan adalah pendapatan rata-rata responden setiap bulan, yaitu

penghasilan per bulan dan penghasilan dari kegiatan di kawasan hutan (PHBM)

2. Sistem nilai adalah konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik (sehingga

harus dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga harus dihindari), meliputi

hakekat hidup, hakekat lingkungan alam, hakekat karya, hakekat waktu dan

hakekat lingkungan sosial.

II. Dukungan Pemimpin adalah karakteristik pemimpin yang diduga memperlancar

kegiatan dan memberikan motivasi masyarakat dalam pelestarian hutan yaitu

pemimpin formal dan pemimpin non formal, yang dalam penelitian ini adalah :

1. Dukungan pemimpin adalah jumlah pemimpin yang memberikan motivasi baik

fisik maupun non fisik terhadap kegiatan dan keinginan masyarakat dalam

pelestarian hutan

2. Tipe pemimpin adalah cara/gaya kepuasan di dalam mengendalikan perilaku

anggotanya (pengikutnya), tipe otoriter atau demokratis.

3. Pengalaman memimpin adalah lamanya pemimpin menjadi panutan bagi

masyarakat sekitar hutan

III. Dukungan Program adalah segala sesuatu kegiatan yang memperlancar program

pelestarian hutan antara lain penyuluhan dan sarana/prasarana, melip uti :

1. Intensitas penyuluhan adalah frekuensi kegiatan penyuluhan yang dilakukan per

bulan

2. Metoda penyuluhan adalah cara pendekatan kepada sasaran penyuluhan, secara

(19)

3. Kemampuan Penyuluh Kehutanan adalah ketrampilan penyuluh sebagai agen

pembaharu dalam menyampaikan dan menerapkan inovasi yang berkaitan

dengan pelestarian hutan.

4. Sarana dan prasarana adalah benda tak bergerak yang dimanfaatkan untuk

mendukung dan memperlancar proses kegiatan hidup masyarakat.

IV. Dukungan Kelembagaan non formal adalah sistem yang mengatur hubungan orang

dengan orang terhadap sesuatu atau himpunan norma-norma dari segala tingkatan

yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat, yang

dalam hal ini diwujudkan dalam peraturan maupun organisasi masyarakat yang

bersifat non formal sehingga memperlancar dan memotivasi berjalannya kegiatan

pelestarian hutan.

V. Partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan anggota masyarakat dalam pengambilan

(20)

Partisipasi

Pengertian partisipasi menurut Cohen dan Uphoff (1977) mengacu pada

pengertian partisipasi sebagai keterlibatan aktif masyarakat mulai dari tahap proses

pengambilan keputusan tentang rencana kegiatan, tahap pelaksanaan kegiatan, tahap

menikmati hasil dan tahap evaluasi pelaksanaan kegiatan. Dengan demikian, jenis

partisipasi yang diharapkan mencakup (1) partisipasi dalam pengambilan

keputusan/perencanaan, (2) partisipasi dalam pelaksanaan, (3) partisipasi dalam evaluasi

dan (4 ) partisipasi dalam menikmati hasil.

Partisipasi dalam tahap pengambilan keputusan/perencanaan dibedakan menjadi

tiga kegiatan, yaitu : (1) pada saat penentuan keputusan awal mengenai proyek dengan

memperhatikan keperluan dan prioritas proyek atau kegiatan apa yang akan dikerjakan,

(2) ikut serta secara terus menerus dalam setiap proses pengambilan keputusan, (3) ikut

serta dalam merumuskan keputusan mengenai rencana kerja.

Partisipasi dalam tahap pelaksanaan dibedakan alam tiga kegiatan, yaitu : (1)

sumbangan sumberdaya yang berupa sumbangan tenaga dengan ikut bekerja dalam

program, sumbangan materi atau pemberian informasi, (2) terlibat dalam kegiatan

administrasi dan koordinasi, (3) ikut serta sebagai peserta dari program yang

dilaksanakan. Partisipasi dalam tahap evaluasi merupakan tahap yang penting bagi para

pengambil keputusan untuk memperoleh masukan mengenai pelaksanaan program.

Partisipasi dalam tahap menikmati hasil mencakup : (1) keuntungan materiil

berupa meningkatnya pendapatan dan konsumsi, baik dalam bentuk jumlah maupun

distribusi yang merata, (2) keuntungan sosial antara lain meningkatnya pendidikan dan

terberantasnya buta huruf, (3) keuntungan perorangan antara lain berupa kemantapan

status sosial seseorang serta meningkatnya kekuasaan politik.

Yadaf (1980) mengemukakan bahwa secara umum partisipasi masyarakat

merupakan keikutsertaan seseorang dalam suatu aktivitas. Tingkat keikutsertaan ini

dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sebagian faktor ini terdapat pada diri warga dan

sebagian lagi datang dari lingkungannya, Yadaf juga mengemukakan bahwa masyarakat

berpartisipasi dalam pembangunan dengan sukarela dan kemauan sendiri tanpa paksaan.

Muhadjir (1982) partisipasi dapat dilihat dari dua segi yaitu segi kualitatif dan segi

(21)

keikutsertaannya dalam kegiatan, sedangkan segi kualitatif dapat dilihat dari tingkat dan

derajatnya.

Muhadjir (1982) mengemukakan bahwa berdasarkan derajatnya, dapat dibedakan

menja di : (1) berpartisipasi tanpa mengenal ide obyek partisipasi (diperintahkan untuk

ikut), (2) berpartisipasi karena telah mengenal ide baru tersebut dan adanya daya tarik dari

obyek dan minat dari subyek itu sendiri, (3) berpartisipasi karena telah meyakini bahwa

ide tersebut memang baik, (4) berpartisipasi karena telah melihat lebih mendeta il tentang

alternatif pelaksanaan atau implementasi ide-ide tersebut, (5) berpartisipasi karena

langsung dapat memanfaatkan ide dan usaha tersebut untuk dirinya, keluarga dan

masyarakatnya.

Slamet (2003) menyatakan bahwa partisipasi diartikan sebagai ikut sertanya

masyarakat dalam pembangunan, bukan hanya partisipasi dalam menyumbangkan input

tetapi termasuk ikut memanfaatkan dan menikmati hasil pembangunan. Slamet (2003)

membagi partisipasi dalam 5 jenis yaitu (1) ikut memberi input, menerima imbalan atas

input dan ikut menikmati hasil, (2) ikut memberi input dan menikmati hasil, (3) ikut

memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil secara langsung, (4)

menikmati/memanfaatkan hasil tanpa ikut memberi input, (5) memberi input tanpa

menerima imbalan dan tidak menerima hasil. Tanpa partisipasi masyarakat dalam

memanfaatkan hasil berarti pula bahwa masyarakat tidak naik tingkat hidupnya atau

kesejahteraannya.

Selanjutnya Slamet (2003) mengemukakan bahwa kemanfaatan pembangunan

dapat bersifat dekat atau jauh dalam arti jarak, waktu maupun persepsi masyarakat.

Persepsi jauh terhadap pemanfaatan pembangunan mengindikasikan bahwa masyarakat

tidak segera atau dalam jangka pendek memperoleh manfaat. Tentu saja kondisi seperti

ini akan membawa masyarakat menjadi tidak responsif untuk ikut serta dalam

pembangunan. Syarat-syarat yang diperlukan agar masyarakat dapat berpartisipasi adalah

adanya kesempatan, kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan dan kemauan untuk

berpartisipasi. Dengan kata lain, bahwa kondisi yang kondusif untuk terjadinya partisipasi

harus tercipta terlebih dahulu.

Partisipasi juga dapat dibedakan menjadi : (1) partisipasi dalam pelaksanaan

usaha, (2) partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan (3) partisipasi dalam

perencanaan program.

Yadaf (1980), berpendapat bahwa partisipasi seseorang dapat dilihat melalui 4

(22)

pelaksanaan pembangunan atau kegiatan, (3) partisipasi dalam monitoring dan evaluasi

program-program pembangunan (4) partisipasi dalam membagi-bagi keuntungan atau

hasil pembangunan.

Nilvises (1997) dalam Perhutani (1999) membagi partisipasi ke dalam 6 katego ri

yaitu :

1. Bukan partisipasi, yaitu masyarakat dipaksa terlibat dalam suatu kegiatan

pengelolaan hutan, pemegang hak pengusahaan hutan sengaja mengingkari hak-hak

yang melekat pada masyarakat lokal, atau jika masyarakat menolak dilibatkan, maka

dapat dilibatkan dengan hukum.

2. Partisipasi tingkat paling rendah, yaitu masyarakat terlibat karena memperoleh

insentif atau penghargaan sebagai upah atau kemewahan sosial tertentu (misalnya

mengijinkan masyarakat berobat di klinik perusahaan, menyekolahkan anak-anak

dan lain -lain).

3. Partisipasi tingkat rendah, yaitu keterlibatan masyarakat karena pihak perusahaan

menggunakan propaganda, iklan, kampanye, rapat, radio atau televisi.

4. Partisipasi tingkat sedang, yaitu masyarakat diminta menghadiri

pertemuan-pertemuan atau temu wicara, yang menggali pandangan-pandangan terhadap suatu

masalah atau kebutuhan masyarakat. Perusahaan akan melakukan analisis,

merumuskan solusi dan rekomendasi hasil temu wicara.

5. Partisipasi tingkat tinggi, yaitu masyarakat berkesempatan mengungkapkan

pendapat dan aspirasinya dan dilanjutkan dengan pengamb ilan keputusan dalam

mengatasi mas alah-masalah tersebut dan apa langkah-langkah terbaik yang harus

diambil mereka, dilakukan dengan mengajukan usulan-usulan kegiatan yang lebih

rinci.

6. Partisipasi tingkat ideal, yaitu anggota masyarakat setempat menjadi aktor utama

dalam pembuatan keputusan mulai perencanaan, operasional, pengendalian dan

monitoring suatu program. Pihak perusahaan hanya mendukung dan menyetujui

keputusan masyarakat.

Dorongan dan ra ngsangan untuk berpartisipasi mencakup faktor-faktor

kesempatan, kemauan, kemampuan dan bimbingan. Implikasinya adalah bila masyarakat

diberikan kesempatan, ditingkatkan kemampuannya dengan cara memberikan peluang

untuk mendapatkan lebih banyak pengalaman dan dimotivasi kemauannya untuk

(23)

Kesempatan ini dapat diberikan pada waktu pelaksanaan, pengambilan keputusan,

perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, penilaian dan distribusi hasil.

Mitchell (1997) dalam Soemardjo (2005) mengemukakan beberapa elemen yang

merupakan kriteria kesuksesan dan keefektifan partisipasi dalam bentuk kemitraan yaitu :

(1) tercapainya kecocokan antara pihak yang terlibat berupa penghargaan dan

kepercayaan, (2) terwujudnya keuntungan untuk semua pihak, (3) berkembangnya

keseimbangan perwalian dan kekuasaan yang dapat disepakati oleh seluruh pihak yang

terlibat, (4) berkembangnya komunikasi yang efektif, baik dalam kelompok maupun luar

kelompok, (5) kemampuan beradaptasi terhadap ketidakpastian dan perubahan, (6) tingkat

integritas kesabaran dan keajegan semua pihak yang terlibat.

Partisipasi Masyakat dalam Pelestarian Hutan

Dalam rangka memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi hutan, pendekatan

utama yang harus dilakukan adalah pendekatan masyarakat (Community Based Development), karena shared holder yang berinteraksi langsung dan setiap hari adalah masyarakat sekitar hutan sehingga harus menjadi perhatian utama. Dalam

pelaksanaannya, partisipasi masyarakat dalam mengelola hutan berdasar azas kelestarian

sangat diperlukan.

Suhaeri (1994) mengemukakan hasil penelitian di kawasan Taman Nasional

Gunung Halimun, bahwa dalam pemanfaatan hutan oleh masyarakat pada umumnya

dilandasi oleh adat istiadat masyarakat kasepuhan (masyarakat yang tinggal di kawasan hutan) dan tampak sudah mengakar, sehingga kelembagaan formal hanya mampu

mengendalikan sebagian kecil sumber saling ketergantungan antara masyarakat dengan

kawasan hutan dengan kata lain peran masyarakat dalam pengambilan keputusan dalam

pengelolaan hutan sangat menentukan.

Damayanti (2003) dalam hasil penelitiannya, ditinjau dari partisipasinya,

masyarakat di sekitar hutan dapat digolongkan menjadi 2 yaitu kelompok masyarakat

yang berpartisipasi dalam program pengelolaan dan kelompok masyarakat yang tidak

berpartisipasi dalam program pengelolaan. Kelompok masyarakat yang berpartisipasi

dalam program pegelolaan juga terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang

(24)

Peran petani agroforestry adalah menanam jenis -jenis tumbuhan pertanian (palawija) dan tumbuhan lain yang diperlukan di bawah tegakan dan menjaga pohon

induk dari pencurian dan kebakaran hutan. Selain itu, mereka berperan juga dalam

program home industry sebagai penyuplai bahan baku dan dalam program ekoturisme, sebagai interpreter di lahan agroforestry atau di areal penyadapan kopal.

Peran kelompok masyarakat yang berpartisipasi di desa, dalam program home industry atau ekoturisme adalah memproduksi produk-produk dari tumbuhan obat, seperti minuman instan, teh, jamu, juga produk makanan ringan dari hasil bumi masyarakat

sekitar hutan seperti manisan pala. Dalam program ekoturisme, mereka berperan sebagai

interpreter dalam pembuatan masing-masing produk juga memasarkan produk-produk

kepada para pengunjung.

Kelompok masyarakat yang tidak berpartisipasi dalam program pengelolaan

memiliki peran secara tidak langsung dalam pengelolaan, yaitu sebagai pengunjung, agen

penyebar informasi, pemanfaat tidak langsung dari keberadaan hutan. Salah satu kunci

keberhasilan suatu program pengelolaan adalah penyebaran informasi dan masyarakat

adalah penyebar informasi yang sangat cepat dan murah.

Peran umum masyarakat dari semua kelompok adalah bekerja bersama pengelola

dalam pengamanan kawasan. Pelanggaran yang terjadi di dalam maupun di batas -batas

hutan akan dapat dideteksi dan ditangani dengan cepat dengan adanya kerjasama

masyarakat.

Banyak penelitian lain menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal dan hidup

dalam kawasan hutan dan sekitar hutan adalah shared holder utama dalam pengelolaan hutan. Oleh karenanya mereka perlu ditingkatkan keberdayaannya dan ditempatkan

sebagai subyek dalam pembangunan hutan yang berbasiskan kelestarian (Sustained yield principle based on community development)

Karakteristik Masyarakat :

Karakteristik Individual dan karakteristik sosial ekonomi

Ginting (1999) menyatakan bahwa karakteristik pribadi (individual) pemimpin

merupakan sesuatu yang memang sudah demikian adanya, dengan kata lain sukar untuk

mengubah atau meningkatkan kualitasnya kecuali melatih atau mengembangkan refleksi

dari beberapa karakteristik pribadi. Refleksi pendidikan (yang relatif tinggi) dapat

(25)

pembangunan sehingga pengetahuannya terus bertambah, berwawasan luas dan toleran

terhad ap pendapat orang lain dan sejenisnya.

Jahi (1981) mengemukakan bahwa dengan mengetahui karakteristik para pelajar

dalam menyusun rencana pelajaran akan berguna bagi penentuan pada tingkat mana

pelajaran itu akan dmulai dan pendekatan-pendekatan mengajar apa yang digunakan.

Slamet (1978) berpendapat bahwa perbedaan-perbedaan individuil yang mempengaruhi

cepat lambatnya proses adopsi adalah : (1) umur, (2) pendidikan, (3) status sosial, (4)

Kekosmopolitan, (5) keberanian mengambil resiko, (6) sikap terhadap perubahan, (7)

motivasi berkarya, (8) aspirasi, (9) fatalisme dan (10) diagnotisme.

Berdasarkan konsep yang dikemukakan Slamet (1978), karakteristik pribadi

masyarakat/warga belajar yang akan diteliti, antara lain :

1. Umur

De Cecco (1968) mengemukakan bahwa umur warga belajar akan berpengaruh

pada kematangannya, baik kematangan fisik maupun kematangan emosional, yang sangat

menentukan kesiapan belajar. Dahama dan Bhatnagar (1980) menjelaskan pula bahwa

umur warga belajar berkaitan dengan efisiensi dan kapasitas belajar seseorang yang tidak

merata menurut perkembangan umurnya, dimana kapasitas belajar meningkat sampai usia

dewasa kemudian menurun sehubungan dengan bertambahnya umur. Ginting (1999)

mengemukakan bahwa makin tinggi usia seorang maka makin matang dalam mengambil

keputusan.

2. Pendidikan Formal dan Non Formal

De Cecco (1968) juga mengemukakan bahwa kesiapan seseorang belajar

ditentukan oleh kematangannya dan pendidikan yang diperolehnya. Latar belakang

pendidikan perlu dipertimbangkan dalam rangka penentuan titik berat dan teknik -teknik

serta jalur penyampaian materi.

3. Tingkat Penghasilan

Muhadjir (1982) menjelaskan bahwa kesempatan memperoleh pendidikan akan

cenderung jatuh pada golongan yang kemampuan ekonominya tidak minimal, sehingga

warga yang mempunyai pendapatan rendah memperoleh kesempatan terbatas dalam

mengikuti pendidikan

4. Asal Daerah

Triandis (1972) dalam Warnaen (2001) mengemukakan bahwa salah satu faktor

lingkungan yang sangat penting yang mempengaruhi tingkah laku manusia adalah apa

(26)

manusia terpenting adalah akomodasi terhadap pola standar yang secara tradisional dianut

oleh lingkungan sosialnya. Sejak individu dilahirkan, kebiasaan lingkungan membentuk

pengalaman-pengalaman hidup dan tingkah laku. Adat dan tingkah laku manusia dalam

lingkungannya menjadi kebiasaan, kepercayaaannya, dan yang tabu bagi lingkungan juga

tabu baginya. Dari konsep tersebut, asal daerah akan berimplikasi pada persepsi tentang

nilai aturan, dan norma kelompok serta peran yang merupakan aspek-aspek kultur subyektif (cara khas suatu golongan kebudayaan memandang lingkungan sosialnya). Pada umumnya, interaksi akan membentuk kesamaan norma dan sikap, serta kesamaan kultur

subyektif.

5. Pengalaman Memimpin

Ginting (1999) dalam hasil penelitiannya mengemukakan bahwa pemimpin yang

telah lama memimpin akan lebih mampu mengidentifikasi sifat dan kebutuhan pengikut,

lebih dapat memahami masalah yang dialami warga.

Berdasarkan konsep ini pula, maka pengalaman yang lebih lama akan berpengaruh

pada kematangan dalam mengambil keputusan (bagi warganya).

Kemudian karakteristik tentang sistem nilai yang dianut responden, mengacu pada

Soekanto (1982) bahwa sistem nilai mencakup konsepsi abstrak tentang apa yang

dianggap baik dan dianggap buruk, terdiri dari hakekat mengenai hidup, karya, waktu,

lingkungan alam dan lingkungan sosial.

Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi pengikut yang

menyangkut penggunaan kekuasaan dan diterimanya pemimpin oleh para pengikut.

Kemampuan mempengaruhi berkaitan dengan pemuasan kebutuhan para pengikut

(Gibson dkk, 1993).

Menurut Slamet (2005) bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi

perilaku orang banyak. Pandangan lain menyatakan bahwa kepemimpinan adalah sebagai

kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain. Perilaku diartikan secara luas karena

perilaku dipengaruhi oleh sikap mental. Sikap mental ini dipengaruhi oleh faktor lain,

pengetahuannya, ketrampilannya dan sikapnya. Selanjutnya dikemukakan bahwa

pemimpin adalah individu dalam kelompok yang bertugas mengarahkan dan atau

mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan kelompok (stimulasi, motivasi, mempengaruhi

(27)

Aspek-aspek penting kepemimpinan, antara lain : (1) tipe/gaya

kepemimpinan, (2) jenis -jenis pemimpin, (3) hal-hal yang harus dilakukan pemimpin.

Setiap kelompok sosial pasti memiliki pola tingkah laku yang sesuai dengan tipe

kepemimpinan yang mengaturnya. Tipe/gaya kepemimpinan dikelompokkan menjadi dua

kutub, yaitu : (1). Otoriter, dan (2). Demokratis (Slamet, 2005) yang dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2. Dua kutub gaya kepemimpinan

1. Otoriter : Semua keputusan atau pendapat terpusat pada satu orang dan tidak

melibatkan orang lain. Menurut Syamsu dkk. (1990) bahwa tipe otoriter adalah tipe

kepemimpinan yang berpusat pada pekerjaan tanpa menghiraukan kepentingan

anggota kelompok. Keputusan senantiasa berada ditangan pemimpin, anggota

kelompok cenderung dijadikan sebagai alat untuk mengeks ploitir tujuan kelompok

semata.

2. Demokratis : merupakan kebalikan dari otoriter. Berorientasi pada hubungan

pemimpin dan anggota, selalu ingin mengetahui keinginan anggo ta dan pendapat

anggota. Syamsu dkk. (1990) mengemukakan bahwa tipe demokratis merupakan pola

kepemimpinan yang sama mementingkan tercapainya tujuan kelompok seoptimal

mungkin dengan mengikutsertakan seluruh partisipasi anggota, daya dan segenap

kemampuan yang dimilikinya sehingga kelompok merupakan tanggung jawab

bersama. Ciri utamanya adalah pendistribusian wewenang dan tanggung jawab pada

sejumlah anggota, tanpa mengurangi partisipasi dan tanggung jawab terhadap

kelompok secara keseluruhan. Kepemimpinan yang demokratik ini membantu

adanya interaksi dalam kelompok, membantu kelompok membuat keputusan dan

membantu kelompok mencapai tujuan-tujuannya.

Slamet (2005) mengemukakan bahwa ada tiga faktor utama yang perlu

diperhatikan dalam mempelajari situasi suatu kelompok, yaitu (1) struktur tugas, Kontinum

Otokratik Otoriter Orientasi tugas Inisiatif Penyuluhan

OTORITER

Demokratik Keseimbangan Permisif

Orientasi kelompok

Bijaksana Partisipasi

(28)

(2) kekuatan kedudukan yang dimiliki oleh pemimpin, dan (3) hubungan antara pemimpin

dengan anggota, dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Struktur tugas (task structure) adalah sifat-sifat dari tugas kelompok yang mencakup ketetapan/konkrit keputusan, kejelasan tujuan, cara pencapaian tujuan, dan

kespesifikan solusi. Struktur tugas ini secara kontinum dari struktur tugas yang jelas

sampai dengan struktur tugas tidak jelas.

2. Kekuatan kedudukan yang dimiliki oleh pemimpin adalah derajat dari suatu

kedudukan yang memungkinkan pemimpin mendapatkan pengakuan dari anggota

kelompoknya serta mau menerima dan mematuhi pengarahan dari pemimpinnya.

Kekuatan kedudukan pemimpin ini berkisar dari kuat ke lemah dan sebaliknya.

3. Hubungan anggota dengan pemimpin adalah derajat kualitas emosi hubungan anggota

dengan pemimpinnya meliputi keakraban, rasa sayang, rasa hormat, rasa kepercayaan

dan lain -lain, yang secara umum dapat dikategorikan baik hingga jelek.

Gaya kepemimpinan yang otoriter (berorientasi pada tugas) digunakan apabila

situasi sangat menguntungkan atau situasi sangat tidak menguntungkan bagi pemimpin,

dan menggunakan gaya demokratis (orientasi pada hubungan) apabila situasi

menguntungkan atau kurang menguntungkan (sedang-sedang saja keuntungannya) bagi

pemimpin.

Slamet (2005) mengemukakan bahwa kelompok yang bermusuhan dan tidak

bermotivasi memerlukan kepemimpinan yang kuat. Kelompok besar cenderung akan

berorientasi pada tugas dan kelompok kecil akan cenderung berorientasi pada hubungan.

Menurut Kartono (1993), terdapat sepuluh sifat pemimpin yang merupakan

karakteristik sosial yang harus dimiliki pemimpin, yaitu (1) kekuatan, (2) stabilitas emosi,

(3) pengetahuan tentang relasi insani, (4) kejujuran, (5) obyektif, (6) dorongan pribadi, (7)

ketrampilan berkomunikasi, (8) kemampuan mengajar, (9) ketrampilan sosial dan (10)

kecakapan teknis atau kecakapan manajerial.

Pemimpin Nonformal dan Pemimpin Formal

Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia sebagai makhluk sosial membentuk

kelompok-kelompok (masyarakat) dengan melakukan interaksi yang disebut dengan

interaksi sosial. Interaksi ini dapat berjalan dengan baik apabila seseorang sebagai

anggota masyarakat menyadari posisi/statusnya, peran serta fungsinya serta mampu

(29)

berjalan dengan baik dan harmonis antara lain ditandai dengan adanya kepekaan dan

kepedulian para pelaku sosial serta solidaritas pada kalangan anggota masyarakat

bersangkutan. Disamping itu, masing-masing anggota masyarakat menyadari dengan baik

atas perannya sesuai statusnya, baik yang bersifat “given” maupun “achieve” dan berkaitan langsung dengan kesadaran kewajiban-kewajiban dan hak-haknya (syah dan

tidak syah) (Popenoe, 1989). Masyarakat manusia sebagai sistem sosial, setiap

anggota nya mempunyai fungsi tertentu yang menyebabkan masyarakat tersebut “exist”, dinamik dan hidup. Fungsi setiap orang yang berada di dalam sistem sosial terkait dengan

orang lain karena kebutuhannya yang bersifat biologikal, psikologikal/emosional dan

sosiolo gikal.

Dalam kelompok masyarakat sebagai sistem sosial, untuk mengelola dan

mengatur posisi/status, peran serta fungsi anggota kelompok, masyarakat ini memerlukan

pemimpin untuk menggerakan dalam mencapai tujuannya.

Dalam masyarakat terdapat banyak kelompok formal dan non formal. Kelompok

nonformal, mempunyai struktur yang nonformal pula. Bahkan kadang-kadang kelompok

tersebut tidak jelas nama dan pemimpinnya. Gaya kepemimpinan kelompok nonformal

ditentukan oleh situasi kelompok. Situasi berubah, gaya kepemimpinan juga berubah.

Kepemimpinan kelompok nonformal tidak statis, tetapi fleksibel yang mengalir seperti air

mengikuti situasi permukaan yang dihadapi.

Ciri-ciri dasar kelompok non formal yaitu keanggotaan dalam kelompok bersifat

sukarela (masuk dan keluar kelompok tanpa larangan, tanpa harus mendaftarkan diri dan

melewati prosedur), tanpa ada aturan-aturan yang mengikat.

Fungsi kelompok adalah menerima atau menolak kepemimpinan seseorang

meskipun secara tidak formal. Pemimpin dalam kelompok non formal ini harus mampu

mencari hikmah dari ekspresi kelompoknya.

Kepemimpinan berdasarkan defisinisinya terdapat lima pola pendefinisian (1)

pemimpin didefinisikan sebagai seorang yang menjadi fokus dalam tingkah laku

kelompok, (2) pemimpin adalah orang yang memiliki kemampuan memimpin kelompok

untuk mencapai tujuan, (3) pemimpin sebagai orang yang mampu mendemonstrasikan

pengaruhnya atas sintalitas kelompok, dan (5) pemimpin adalah seorang yang berusaha atau terikat dengan perilaku kepemimpinan (Yusuf, 1982). Lima pola pendefinisian

tersebut menunjukkan bahwa pemimpin merupakan anggota kelompok yang lebih

(30)

Pemimpin dari kelompok formal disebut dengan pemimpin formal, sedangkan

pemimpin dari kelompok non formal sebagaimana dijelaskan di atas, disebut pemimpin

non formal.

Kartono (1993) mengemukakan pemimpin formal adalah orang yang ditunjuk

organisasi/lembaga sebagai pemimpin, berdasarkan keputusan dan pengangkatan resmi

untuk memangku suatu jabatan dalam suatu struktur organisasi dengan segala hak dan

kewajiban berkaitan dengannya untuk mencapai tujuan organisasi. Ciri-ciri pemimpin

formal adalah : (1) berstatus sebagai pemimpin formal selama jabatan tertentu, atas dasar

legalitas formal oleh penunjukkan pihak yang berwenang, (2) sebelum pengangkatannya,

pemimpin harus memenuhi beberapa persyaratan formal terlebih dahulu, (3) diberi

dukungan oleh organisasi formal untuk menjalankan tugas kewajibannya sehingga selalu

memiliki atasan, (4) mendapatkan balas jasa materiil dan non materiil tertentu, serta

penghasilan sampingan lainnya, (5) bisa mencapai promosi atau kenaikan pangkat formal,

(6) apabila melakukan kesalahan akan mendapatkan sangsi atau hukuman, (7) selama

menjabat kepemimpinan diberi kekuasaan dan wewenang.

Pemimpin non formal adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk

mempengaruhi pengikut yang menyangkut penggunaan kekuasaan dan diterimanya

pemimpin oleh para pengikut. Kemampuan mempengaruhi berkaitan dengan pemuasan

kebutuhan para pengikut (Gibson, dkk 1993). Mereka adalah seorang pribadi yang

memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya dalam bidang tertentu, sehingga ia mampu

mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktifitas demi pencapaian satu

atau beberapa tujuan (Kartono, 1993). Seora ng pemimpin harus dapat memprakarsai

tingkah laku sosial anggotanya dengan cara mengatur, mengorganisasikan dan mengontrol

usaha anggotanya, baik melalui prestise, kekuasaan maupun posisi.

Pemimpin yang merupakan figur sentral dalam kelompok, harus bergerak lebih

awal, berjalan di depan, mengambil langkah pertama, berbuat paling dulu atau

mempelopori, mengarahkan pikiran-pendapat-tindakan orang lain, membimbing,

menuntun, menggerakkan pengikut melalui pengaruhnya. Kemampuan mempengaruhi

dapat bersumber dari kharisma, kelebihan dalam kepribadian, kelebihan pengetahuan dan

kemampuan dalam hal-hal tertentu, kepemilikan berbagai sumber yang secara langsung

berhubungan dengan atau diperlukan oleh kelompok.

Pada kelompok sosial alamiah seperti keluarga, marga, suku dan sejenisnya, yang

banyak terdapat di daerah pedesaan, hubungan atasan bawahan yang dapat memberi

(31)

peranan. Berdasarkan sejumlah ciri tertentu, struktur kekuasaan dalam kelompok seperti

ini, berkembang secara alamiah dan selanjutnya dilanggengkan melalui tradisi.

Pada umumnya pemimpin formal mempunyai masa jabatan terbatas atau dalam

suatu jangka waktu tertentu, sedangkan pemimpin non formal tidak menduduki suatu

tempat tertentu dalam struktur kemasyarakatan, tidak mempunyai nama jabatan serta tidak

dibebani tugas dan tanggungjawab yang jelas (Mangunhardjana, 1995). Kalaupun

pemimpin non formal dibebani tugas hanya karena ia memiliki kualifikasi tertentu, seperti

bidang agama, adat dan sebagainya. Pemimpin non formal adalah orang yang tidak

mendapatkan pengangkatan formal, namun karena memiliki kualitas unggul, maka dapat

mencapai kedudukan sebagai orang yang mampu mempengaruhi kondisi dan perilaku

suatu kelompok atau masyarakat (Soekanto, 1987). Pemimpin nonformal selalu menjadi

tempat bertanya atau meminta nasehat bagi anggota masyarakat yang dalam urusan

tertentu memiliki kemampuan untuk mempengaruhi masyarakat (Rogers dan Soemaker,

1986).

Selanjutnya menurut Slamet (2005), sifat pemimpin dalam kelompok nonformal

antara lain (1) Empati (empathy), (2) Anggota kelompok/bukan orang luar; dapat diterima oleh kelompok, dan dia adalah milik kelompok, (3) Bijaksana (considerate); artinya perlu pertimbangan, misalnya dalam membuat keputusan, banyak hal-hal yang perlu

dipertimbangkan. Pemimpin tidak melukai orang, menyakiti orang dalam pengambilan

keputusan, (4) Lincah (surgency); berfikir tidak terpaku pada sesuatu, banyak hal yang dilakukan, dan banyak ide. Penggembira, semangat, suka berkomunikasi, dinamis, dan

ringan kaki (mudah diajak), (4) Beremosi stabil; tidak emosional dan bertemperamen

tenang, dapat diperkirakan dan punya suatu pola perilaku, (5) Berkeinginan memimpin;

karena bersifat sukarela maka seyogyanya memang orang itu memiliki keinginan untuk

memimpin atau menjadi pemimpin, (6) Kompeten (competence), misalnya berbicara jelas, mudah dimengerti. Kemampuan mengendalikan orang dan kemampuan lain yang

berkaitan dengan tugas, tujuan, keperluan kelompok, (7) Cerdas (intelligence); mampu berfikir, banyak akal (8) Konsisten dalam segala hal, mempunyai prinsip yang dapat

dipertanggungjawabkan, (9) Percaya diri (self-confidence); berfikir mantap, tidak mudah berubah. (10) Mampu berbagi kepemimpinan (Capacity for sharing leadership), tidak cenderung otoriter, misalnya hal-hal yang diputuskan berasal dari banyak orang, mampu

membagi tugas dan membangun kepercayaan.

Pemimpin nonformal yang mampu mempengaruhi penduduk karena

(32)

pemimpin seperti ini menguasai salah satu atau lebih dari bidang adat, agama dan

“pemerintahan” desa (khusus bagi pewaris leluhur yang mendirikan desa), disebut

pemimpin non formal tradisional. Kemampuan dan penguasaan dalam bidang-bidang

tersebut perlu dimiliki pemimpin masyarakat di lingkungan tertentu. Otoritas dari

pemimpin non formal tradisional didasarkan pada kewenangan tradisional.

Selain pemimpin nonformal tradisional, juga terdapat pemimpin non formal

kontemporer (modern) yaitu pemimpin yang muncul belakangan yang kewenangan

kepemimpinannya lebih mendasarkan pada pemilikan kualifikasi yang berhubungan erat

dengan kehidupan masa kini, seperti ilmu pengetahuan dan ketrampilan berusaha,

sehingga penghasilan mereka relatif lebih baik. Pemimpin modern lebih berorientasi masa

depan jika dibandingkan dengan pemimpin non formal tradisional yang lebih berorientasi

masa lalu sampai masa kini. Kemajuan atau perkembangan ilmu pengetahuan serta

teknologi, telah membuka kesempatan bagi orang desa untuk meningkatkan kegiatan

ekonomi, pendidikan dan mobilitas yang tidak hanya terbatas antara desa dengan kota,

akan tetapi juga desa dengan kota besar. Peningkatan keadaan ekonomi dan pendidikan

serta luasnya jangkauan perjalanan dan pengalaman seseorang, memungkinkan mereka

memiliki aset ekonomi serta informasi yang lebih banyak dari warga desa yang lain,

bahkan mungkin melebihi dari pemimpin nonformal tradisional. Karena itu mereka

menjadi tempat bertanya atau meminta saran dari warga, sehingga pada gilirannya mereka

mampu mempengaruhi, mengajak serta mengarahkan warga melakukan pembaruan.

Orang yang tergolong pemimpin non formal kontemporer (modern) antara lain

guru, tokoh pemuda, cendekia desa, pegawai/pensiunan, pedagang, pengusaha dan petani

yang berhasil, pengurus perkumpulan atau lembaga kemasyarakatan dan sebagainya, yang

secara nyata mampu menampilkan fungsi dan peran kepemimpinan.

Faktor-faktor yang penting untuk mengikat anggota-anggota kelompok non formal

adalah terciptanya hubungan yang baik. Oleh karena itu pemimpin harus mampu

menciptakan hubungan yang baik. Hubungan anggota-pemimpin sangat penting.

Beberapa hal penting yang terkait dengan hubungan anggota/pengikut dengan pemimpin

adalah sebagai berikut :

1. Kebutuhan kepuasan individu-individu harus dipadukan dengan tujuan-tujuan

kelompok (kalau tujuan kelompok lebih kuat, anggota harus berkorban). Tujuan

kelompok harus dapat dipadukan dengan tujuan individu.

2. Antisipasi terhadap kepuasan sangat penting. Pemimpin harus pandai-pand ai

(33)

3. Motivasi anggota harus tinggi. Motivasi tergantung hubungannya dengan kelompok.

Apabila hubungan baik maka menciptakan suasana demokratis, terbuka, santai dan

bebas.

4. Kematangan anggota harus merupakan prasyarat. Jika tidak ada kematangan mental

maka kehidupan kelompok dapat menjadi negatif. Ciri-ciri kematangan anggota

adalah selalu sadar : untuk menjadi anggota kelompok, apa yang diharapkan dari

kelompok, dan apa yang tidak sepantasnya untuk kelompok.

5. Tekad mencapai tujuan harus baik. Pemimpin harus mampu mendorong dan

memotivasi anggota.

Spesifikasi kelompok nonformal yang lebih berhasil, dicirikan sebagai berikut :

1. Pembagian peranan/tugas tidak ketat. Ada tetapi saling mengisi, tidak terpaku pada

orang tertentu.

2. Cara kerja kelompok adalah nonformal. Artinya tidak terikat pada suatu cara

tertentu, yang penting tujuan tercapai.

3. Kelompok harus dijaga tetap kecil. Artinya sampai berapa orang masih bisa dijaga.

4. Kesukarelaan harus dipertahankan, misalnya dalam hal pembagian tugas, tidak mau

ikut/boleh menjadi anggota.

Banyak hasil penelitian menunjukkan betapa tidak baiknya jika pemimpin non

formal tidak diikutsertakan dalam pembangunan desa, dan pembangunan desa mengalami

hambatan-hambatan dan bahkan diruntuhkan, jika pemimpin non formal yang mempunyai

kharisma tidak diikutsertakan (Nasruddin, 1994; Muchtar, 1998; Ginting, 1999; Hanafi,

2002).

Peneliti-peneliti terdahulu telah mengamati bahwa kondisi ini dapat semakin

memburuk mengingat terjadinya perubahan-perubahan di pedesaan sebagai akibat

kemajuan. Pemimpin non formal dalam kaitannya dengan pembangunan desa masih

mempunyai tanggungjawab moril serta komitmen yang kuat terhadap kemajuan desanya.

Jika dihubungkan dengan usaha pelestarian hutan, pemimpin nonformal adalah

orang-orang yang mempunyai otoritas tertentu sehingga mereka mampu mempengaruhi

pengikut. Melalui pembinaan yang intensif, pemimpin nonformal dapat membangkitkan

minat dan kemauan pengikut untuk melaksanakan apa yang dianjurkan, khususnya dala m

(34)

Penyuluhan

Menurut Van den Ban dan Hawkins (1998), bahwa penyuluhan (extension) dalam bahasa Belanda berasal dari kata voorlichting yang artinya memberi penerangan untuk menolong seseorang menemukan ja lannya. Bahasa Inggris dan Jerman mengistilahkan

sebagai pemberian saran atau beratung yang berarti seorang pakar dapat memberikan petunjuk kepada seseorang tetapi seseorang tersebut yang berhak untuk menentukan

pilihannya. Indonesia mengikuti cara Belanda dengan menggunakan kata penyuluhan dan

Malaysia yang dipengaruhi bahasa Inggris menggunakan kata perkembangan. Beberapa

sebutan tersebut, masih ada kesamaan persepsi tentang penyuluhan dan salah satunya

adalah penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi

informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat

sehingga bisa membuat keputusan yang benar. Menurut Mardikanto (1992) bahwa

penyuluhan dapat dipahami sebagai sebuah proses.

Menurut Asngari (2004), bahwa penyuluhan pertanian adalah untuk merubah

perilaku (pengetahuan, ketrampilan dan sikap mental) petani sehingga petani tahu, mau

dan mampu memanfaatkan dan menerapkan teknologi baru atau ide baru. Wujudnya

adalah mereka bertani lebih baik, berusahatani lebih baik untuk meningkatkan

pendapatannya dan selanjutnya diharapkan mereka hidup lebih baik, hidup lebih sejahtera

menuju masyarakat makmur. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa penyuluhan adalah

merupakan usaha membangunkan sehingga terjadi perubahan perilaku menuju hidup lebih

baik (sejahtera).

Menurut Mardikanto (1992), penyuluh pertanian adalah sistem pendidikan di luar

sekolah (non formal) yang diberikan kepada petani dan keluarganya dengan maksud agar

mereka mampu, sanggup dan berswadaya memperbaiki atau meningkatkan kesejahteraan

keluarganya sendiri atau bila dimungkinkan mampu meningkatkan kesejahteraan

masyarakat di sekelilingnya. Sedang Mardikanto (1992) menyatakan bahwa penyuluhan

pertanian merupakan sistem pendidikan non formal yang tidak sekedar memberikan

penerangan atau penjelasan, namun berupaya mengubah perilaku sasarannya agar

memiliki pengetahuan pertanian dan berusahatani yang luas, memiliki sikap progresif

untuk melakukan perubahan dan inovatif terhadap suatu informasi baru, serta terampil

melaksanakan berbagai kegiatan. Selanjutnya menurut Van den Ban dan Hawkins (1998),

(35)

secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa

membuat keputusan yang benar.

Dengan demikian penyuluhan pertanian mengandung pengertian sebagai sistem

pendidikan orang dewasa di luar sekolah untuk petani dan keluarganya dengan tujuan

mengubah perilaku (pengetahuan, sikap dan ketrampilan), sehingga usaha taninya lebih

baik, dan pada akhirnya membawa kehidupan dan masyarakat yang lebih baik dengan

falsafah “help people to help themselves” (membantu orang agar orang tersebut dapat menolong dirinya sendiri)

Penyuluhan merupakan perubahan yang terencana. Dalam proses perubahan

tersebut tentunya terdapat hal-hal yang mendorong perubahan dan yang menghambat

perubahan. Lippit dkk (1953) mengemukakan bahwa penyuluhan merupakan perubahan

terencana.

Soekanto (1982) menyatakan faktor-faktor pendorong adanya proses perubahan

dalam rangka penyuluhan adalah : (1) kontak dengan kebudayaan lain, (2) sistem

pendidikan yang maju, (3) sikap menghargai hasil karya seseorang dan adanya keinginan

untuk maju, (4) toleransi terhadap perbuatan-perbuatan menyimpang, (5) sistem

lapisan-lapisan masyarakat yang terbuka, (6) penduduk yang heterogen, dan (7) ketidakpuasan

masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu. Sedang faktor-faktor penghambat

perubahan (Soekanto, 1982) adalah : (1) kurangnya hubungan dengan masyarakat lain, (2)

perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat, (3) sikap masyarakat yang

tradisionalistis, (4) adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat

sekali, (5) rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan, dan (6)

prasangka terhadap hal-hal yang baru/asing.

Faktor-faktor penghambat dapat terjadi pada awal perjalanan perubahan, dapat

juga terjadi sebelum atau setelah perubahan. Perubahan berencana dapat terjadi karena

adanya agen pembaharu yang berperan membawa gagasan baru atau sebagai penggerak

perubahan. Agen pembaharuan dapat memberikan advokasi atau mempromosikan

perubahan dengan menunjukan adanya kebutuhan nyata yang akan menjadikan adanya

kebutuhan perubahan. Sasaran perubahan adalah individu, kelompok, organisasi atau

dapat pula masyarakat.

Kartasapoetra (1994) metode penyuluhan adalah cara pendekatan dalam

penyuluhan yaitu perorangan, kelompok dan massal. Dari metode yang digunakan akan

menentukan keefektifan penyampaian inovasi penyuluhan. Penyuluhan yang dilakukan

(36)

kesadaran (menaruh perhatian dan mengetahui materi penyuluhan), akan tetapi belum

memahami secara mendalam. Penyuluhan yang dilakukan dengan metode pendekatan

kelompok mulai menarik para petani ke tahapan minat, tahapan

menilai/mempertimbangkan, bahkan mencobanya. Sedangkan penyuluhan yang dilakukan

dengan metode pendekatan perorangan akan menyampaikan petani ke tahap penerapan, ia

mulai menerapkan teknologi baru yang diajarkan dan dikembangkan.

Materi penyuluhan adalah ilmu dan teknologi yang disampaikan dalam

penyuluhan. Ilmu bersifat pengetahuan dan teknologi bersifat praktis, yang menjalankan

apa yang terkandung dalam ilmu tersebut (Kartasapoetra, 1994). Materi penyuluhan harus

sesuai dengan kebutuhan sasaran, sehingga petani akan tertarik dan terangsang untuk

mempraktekannya yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan usaha perbaikan produksi,

pendapatan dan tingkat kehidupannya. Agar materi dapat diterima, dimanfaatkan dan

diaplikasikan oleh petani, selain harus sesuai dengan kebutuhannya maka harus dengan :

(1) sesuai tingkat kemampuan petani, (2) mengena dengan perasaan, tidak bertentangan

dengan tata adat, kepercayaan dan pola pertanian yang biasa dilakukan, (3) memberi

keuntungan ekonomis, (4) mengesankan petani untuk melakukan perubahan berpikir, cara

kerja dan cara hidup, (5) praktis dan dapat dilaksanakan, (6) menggairahkan petani,

sehingga petani terbujuk untuk memperhatikan, menerima, mencoba dan menerapkan.

Peran seorang penyuluh sangat menentukan efektifitas kegiatan penyuluhan.

Menurut Boyle (1981) bahwa peran penyuluh adalah sebagai analisator, aktivator,

fasilitator dan motivator. Kemampuan penyuluh adalah ketrampilan penyuluh dalam

menjalankan tugas-tugasnya.

Dengan demikian, keberhasilan suatu penyuluhan sangat dipengaruhi oleh metode,

teknik dan materi penyuluhan yang digunakan serta peran penyuluhnya.

Kelembagaan

Kelembagaan adalah suatu sistem yang mengatur hubungan orang dengan orang

terhadap sesuatu. Terdapat dua jenis pengertian kelembagaan yaitu kelembagaan sebagai

peraturan dan kelembagaan sebagai organisasi (Nort, 1976).

Lebih lanjut Soekanto (1982) menyatakan bahwa kelembagaan adalah kumpulan

norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada kebutuhan pokok dalam kehidupan

(37)

interdependensi antar manusia terhadap sesuatu, kondisi atau situasi melalui hak

pemilikan, batas wilayah kewenangan dan aturan yang mewakili (Pakpahan, 1989).

Dari uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa kelembagaan adalah kumpulan

adat istiadat, aturan yang ditetapkan dan telah disetujui oleh individu maupun masyarakat.

Tujuan kelembagaan adalah untuk mengurangi derajat ketidakpastian, karena hak

seseorang mendapat pengakuan dari orang lain.

Kelembagaan masyarakat mempunyai peran yang menonjol dalam mengatur

hubungan antara organisasi. Agar kelembagaan dapat melaksanakan fungsinya, maka

diperlukan reinforcement dalam bentuk sangsi atau insentif yang memberikan rangsangan kepada masyarakat untuk berperilaku sebagaimana diharapkan. Sistem kelembagaan

dicirikan oleh : hak pemilikan, batas wilayah kewenangan dan aturan yang mewakili.

Suhaeri (1994) menyatakan bahwa secara keseluruhan bahwa perilaku masyarakat

yang melakukan interaksi dengan kawasan hutan dilandasi oleh kelembagaan formal

maupun non formal. Kelembagaan non formal berupa adat istiadat yang tumbuh dan

berkembang di kalangan masyarakat tersebut, sedangkan kelembagaan formal adalah

pedoman/peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah berkaitan dengan pengelolaan

kawasan hutan.

Pengelolaan Hutan secara Lestari

Hutan adalah salah satu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran

rakyat, keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara

lestari dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional serta

bertanggungjawab. Pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia,

harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya serta

tata nilai masyarakat berdasarkan norma hukum nasional.

Undang-undang RI Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, menyebutkan bahwa

penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan,

kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat

yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan :

1. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran proporsional.

2. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung

dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan

ekonomi yang seimbang dan lestari.

(38)

4. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan

masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga

mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan perubahan

eksternal

5. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Menurut MacKinnon, dkk. (1993), pengelolaan adalah pelaksanaan sesungguhnya

dari kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan kawasan dilindungi. Hal ini tidaklah

terjadi secara spontan, melainkan perlu dirancang secara sadar dan dilaksanakan agar

memberi manfaat untuk mencapai tujuan penetapan kawasan. Arief (2001) menyatakan

bahwa pengelolaan merupakan suatu usaha yang di dalamnya meliputi beberapa aspek,

seperti perencanaan, organisasi pelaksanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi yang

setiap fungsi saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan.

Munggoro (2001) mendefisikan pengelolaan sumberdaya hutan sebagai

serangkaian tujuan, kegiatan dan hasil yang bertumpu pada usaha mempertahankan atau

meningkatkan integritas ekosistem buatan dan kesejahteraan rakyat baik sekarang

maupun di masa datang. Sedangkan Manan (1997) menyatakan bahwa pengelolaan atau

manajemen hutan adalah penetapan metode bisnis dan prinsip -prinsip teknis kehutanan

dalam pengurusan suatu hutan. Seni, ketrampilan dan pengetahuan kehutanan akan

mencapai arti sepenuhnya bila diterapkan sec ara terpadu dalam mengelola suatu hutan.

Pengelolaan hutan merupakan inti dari kehutanan. Lebih lanjut, Manan (1997)

menyatakan bahwa pengelolaan hutan lestari adalah bentuk pengelolaan hutan yang

memiliki sifat hasil yang lestari, yang ditunjukkan oleh : (1) terjaminnya keberlangsungan

fungsi produksi sumberdaya hutan berupa kayu dan non kayu, (2) terjaminnya

keberlangsungan fungsi ekologis hutan, dan (3) terjaminnya fungsi sosial ekonomi budaya

bagi masyarakat lokal. Adapun pelestarian pemanfaatan dapat diartikan sebagai

mengkonsumsi bunga sedangkan modal tetap utuh. Dalam kaitannya dengan sumberdaya

hutan, berarti hasil kayu, hasil non kayu atau hasil hutan ikutan dan kegunaan lainnya,

misalnya pengatur tata air, habitat satwa liar, rekreasi di alam terbuka, sumber plasma

nutfah, penghasil obat-obatan dan perlindungan lingkungan lainnya. Secara sederhana,

dijabarkan agar pemanenan sama dengan riap (pertumbuhan hasil produksi).

Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) telah menyusun standar sertifikasi pengelolaan

hutan lestari bersama masyarakat (PHBML) yang dituangkan dalam standar LEI 5000-3.

(39)

kelestarian fungsi produksi, dengan dimensi kriteria kelestarian meliputi kelestarian

fungsi produksi, fungsi ekologi dan fungsi sosial, yang secara rinci sebagai berikut :

1. Kelestarian Fungsi Produksi :

a. Kelestarian sumberdaya

§ Lokasi PHBM sesuai dengan peruntukan lahan

§ Status dan batas lahan jelas

§ Perubahan luas penutupan lahan

§ Manajemen pemeliharaan hutan

§ Sistem silvikultur sesuai daya dukung hutan

b. Kelestarian hasil

§ Penataan areal pengelolaan hutan

§ Kepastian adanya potensi produksi untuk dipanen lestari

§ Pengaturan hasil

§ Efisiensi pemanfaatan hutan

§ Keabsyahan lacak balak dalam hutan

§ Prasarana pengelolaan hutan

§ Pengaturan manfaat hasil

c. Kelestarian usaha

§ Kesehatan usaha

§ Kemampuan akses pasar

§ Sistem Informasi Manajemen (SIM)

§ Tersedia tenaga trampil

§ Investasi dan reinvestasi untuk pengelolaan hutan

§ Kontribusi terhadap peningkatan kondisi sosial dan ekonomi setempat

2. Kelestarian fungsi ekologi

a. Stabilitas ekosistem

§ Tersedianya aturan kelola produksi yang meminimisasi gangguan terhadap

integrasi lingkungan

§ Proporsi luas kawasan dilindungi yang sudah tertata baik terhadap keseluruhan kawasan yang seharusnya dilindungi dan sudah ditata batas di lapangan

§ Dampak kegiatan kelola produksi terhadap ekosistem (tanah, air, struktur dan

komposisi hutan) dan intensitasnya terdokumentasi

§ Adanya rencana kelola lingkungan dan efektifitas kegiatan

(

Gambar

Gambar 3.  Kawasan Hutan dengan Berbagai Pihak yang Berkepentingan (shared holder)
Gambar 4.   Kerangka Berpikir Partisipasi Masyarakat Sekitar Hutan dalam Pelestarian Hutan
Gambar 5. Desa Lokasi Penelitian Partisipasi Anggota Masyarakat Sekitar Hutan dalam Pelestarian Hutan
Gambar 6. Peta Situasi Wilayah Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hipotesis pertama yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Penempatan pada Bank Indonesia berpengaruh terhadap Profitabilitas Bank Panin Dubai Syariah Periode

Kebijakan dalam hal program acara yang diberikan oleh Kompas TV di Jakarta terkait Kompas Jatim tersebut merupakan kebijakan dari induk jaringan untuk tetap menayangkan

Banyuasin Tahun Anggaran 2014, berdasarkan Berita Acara Hasil Pengadaan Langsung Nomor.. 10.04/PP.I/Disbun-01/2014 Tanggal 23 Mei 2014 dan Surat Penetapan Penyedia

Seven aspects of bias are excessive optimism, representativeness, overconfidence, herding effect, availability, confirmation, and framing in making life insurance purchasing

Tindakan yang diambil oleh Satuan Binmas Polres Salatiga untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya aksi tawuran di wilayah hukum Polres Salatiga. Kepolisian merupakan sebuah

Implementasi Pembelajaran Dengan Menggunakan Media Komputer Dalam Mengembangkan Kreativitas Anak TK.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

a) Tahap pertama kami melakukan diskusi bersama pegawai laboratorium pekerjaan sosial BBPKS Yogyakarta mulai pukul 08.00 – 09.30 WIB. Selanjutnya dari hasil diskusi,

Seperti yang dijelaskan sebelum ini, penggunaan khabar ma‘rifat itu berlaku dan digunakan dalam ayat atau ungkapan apabila mubtada’nya juga adalah dalam bentuk ma‘rifat