• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kandungan Brazilin

Identifikasi tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) di Sulawesi Selatan, dilakukan pada beberapa daerah yang berada pada dataran rendah dan dataran

tinggi, yaitu Desa Ko’Mara, Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten

Takalar yang mewakili daerah dataran rendah. Desa Pencong, Kecamatan Biringbulu, Kabupaten Gowa, serta Desa Lonjo’boko, Kecamatan Malino,

Kabupaten Gowa yang mewakili daerah dataran tinggi. Tanaman secang yang ditemukan pada daerah tersebut seluruhnya tumbuh liar. Identifikasi juga dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah (BALITTRO)

Cimanggu, Bogor. Tanaman secang yang terdapat di BALITTRO adalah hasil pembudidayaan dari polong tanaman secang. Namun, tanaman secang tersebut hanya merupakan tanaman koleksi dengan umur tanaman kurang lebih 7 tahun. Sedangkan untuk keperluan penelitian dalam lingkup BALITTRO menggunakan tanaman secang yang juga tumbuh liar pada beberapa daerah di Jawa Barat.

Tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) yang ditemui pada beberapa daerah tersebut, menunjukkan keragaman dari segi habitat (lokasi tumbuh), umur tanaman, maupun pemanfaatannya oleh masyarakat sekitar. Beberapa masyarakat menggunakan bagian kayu tanaman secang sebagai pagar rumah, pembatas kebun, maupun sebagai campuran pada air minum yang mereka konsumsi setiap hari.

Tanaman secang merupakan tanaman yang tumbuh bercabang-cabang dalam satu rumpun. Masyarakat memanen bagian batang dari tanaman secang yang berukuran cukup besar karena memiliki bagian inti kayu yang berwarna merah lebih optimal. Pemanenan dilakukan menggunakan parang. Pemanenan

pada salah satu bagian batang tanaman secang tidak mematikan keseluruhan tanaman. Kayu secang yang diperoleh dihilangkan durinya terlebih dahulu,

kemudian kulit luar dan kambiumnya hingga diperoleh bagian inti kayu secang. Sortasi basah, pencucian dan penirisan, serta perajangan dilakukan ketika kayu secang hasil panen tersebut akan digunakan sebagai bahan campuran air minum.

Pada penelitian tahap satu, dipilih dua daerah yang dianggap mewakili perbedaan habitat tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) yaitu Desa Ko’Mara

dan Desa Lonjo’boko. Perbedaan habitat yang dimaksudkan yaitu tanaman secang

pada Desa Ko’Mara ditemukan tumbuh pada daerah hutan jati yang kering dan

suhu cukup panas. Tanaman secang pada daerah tersebut oleh masyarakat sekitar diperkirakan berumur puluhan tahun. Bagian inti kayu secang yang diperoleh pun memiliki proporsi yang tidak terlalu besar (± 50%) dan menghasilkan banyak sampah pasca panen (sampah kulit dan kambium). Sedangkan tanaman secang pada Desa Lonjo’boko ditemukan tumbuh pada sekitar daerah aliran sungai yang kondisinya lembab dan bersuhu dingin. Warna inti kayu secangnya pun lebih

merah dibandingkan di Desa Ko’Mara. Proporsi inti kayunya cukup besar

(± 75%) untuk keseluruhan batang yang dipanen dengan sedikit sampah pasca panen. Tanaman secang pada daerah tersebut diperkirakan berumur kurang lebih

7 tahun. Perbedaan kayu secang pada kedua daerah tersebut dapat dilihat pada Gambar 11.

Perbedaan besarnya proporsi inti kayu secang yang diperoleh pada dua lokasi pengambilan sampel disebabkan oleh perbedaan agroekologi dan ketersediaan unsur hara. Tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) pada daerah dataran tinggi (Desa Lonjo’boko) mendapatkan suplai makanan yang lebih baik karena tumbuh di daerah aliran sungai sehingga bagian inti kayunya pun lebih optimal. Berbeda pada tanaman secang yang tumbuh di Desa Ko’mara yang

pertumbuhannya tidak disuplai dengan ketersediaan air yang cukup. Penelitian Sugiarso (1998) tentang pengaruh lingkungan terhadap produksi simplisia asal tapak liman (Elephantopus scaber L.) pada tiga daerah di Pulau Jawa menunjukkan bahwa hasil simplisia tertinggi (78,95gram/tanaman) atau 2,526kg/Ha diperoleh pada perlakuan penanaman pada 700 m dpl di daerah Gedangan pada musim kemarau, dengan pemeliharaannya yang baik dan air pengairan yang cukup.

(a) (b)

Gambar 11 Perbedaan warna inti kayu secang pada: (a) Desa Ko’Mara

Kabupaten Takalar dan (b) Desa Lonjo’boko Kabupaten Gowa

Setelah penentuan lokasi pengambilan kayu secang, selanjutnya dilakukan identifikasi bentuk potongan yang digunakan oleh masyarakat. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa untuk diperdagangkan di pasar tradisional, kayu secang umumnya dalam bentuk gelondongan dengan panjang ± 5 cm maupun setengah gelondongan. Sedangkan sebagai bahan tambahan untuk air minum digunakan dalam bentuk stick dengan panjang ± 5 cm. Kayu secang yang umumnya diperdagangkan di Pulau Jawa berbentuk serutan, dan hal tersebut juga menjadi salah satu dasar penentuan bentuk potongan yang akan digunakan untuk tahapan selanjutnya. Berbagai bentuk potongan tersebut yang kemudian dianalisis untuk mengetahui bentuk potongan seperti apa yang memiliki kandungan brazilin optimum. Tiga bentuk potongan yang dianalisis kandungan brazilinnya dari masing-masing daerah pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 12.

(a) (b) (c)

Gambar 12 Bentuk potongan kayu secang yang digunakan untuk analisis kandungan brazilin optimum: (a) gelondongan, (b) serutan, dan (c) stick

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Gelondongan Stick Serutan

78,28 79,88 66,26 28,07 52,53 7,9 K ad ar b r az il in ( m g/ g) Dataran Tinggi Dataran Rendah Hasil analisa kandungan brazilin pada berbagai bentuk potongan kayu

secang dari dua daerah pengambilan sampel berada pada kisaran 7,90-79,87mg/g (berdasarkan basis kering ekstrak) (Gambar 13). Kadar brazilin

tertinggi terdapat pada perlakuan bentuk potongan stick untuk daerah dataran tinggi (79,87mg/g), sedangkan kadar brazilin terendah pada perlakuan bentuk potongan serutan untuk daerah dataran rendah (7,90mg/g).

Gambar 13 Hasil uji kadar brazilin kayu secang (mg/g) berdasarkan pengaruh jenis dataran dan bentuk potongan

Pada penelitian ini sampel kayu secang yang digunakan memberikan nilai kadar brazilin yang lebih bervariasi. Pada daerah dataran tinggi, kisaran nilai rata-rata kadar brazilin dari sampel kayu secang yaitu 66,26-79,88mg/g dengan perincian 66,26mg/g pada bentuk potongan serutan, 78,28mg/g pada potongan gelondongan, dan 79,88 mg/g pada bentuk potongan stick. Pada daerah dataran rendah, kisaran nilai rata-rata kadar brazilin dari sampel kayu secang yaitu 7,90-28,07mg/g dengan perincian 7,90mg/g pada bentuk potongan serutan, 28,07mg/g pada bentuk potongan gelondongan, dan 52,53mg/g pada bentuk potongan stick.

Hasil penelitian pada tahap analisis kandungan brazilin ini memperkaya hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Batubara et al. (2010) yang tidak memberikan rincian secara spesifik khususnya mengenai lokasi pertumbuhan tanaman secang yang diambil sebagai sampel analisis. Penelitian tersebut telah berhasil mengekstraksi kayu secang yang diambil dari berbagai

lokasi di Pulau Jawa (Karanganyar, Semarang, Yogyakarta, Cianjur, dan Bogor) dengan kombinasi pelarut etanol antara 5,71-9,94% (berdasarkan basis kering). Kadar brazilin yang dihasilkan untuk seluruh daerah pengambilan sampel tersebut berada pada kisaran 5,81-24,85mg/g. Konsentrasi ekstrak dan kadar brazilin tertinggi ditemukan di daerah Semarang. Variasi tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan tempat tumbuh kayu secang.

Rendahnya kadar brazilin pada bentuk potongan serutan diduga disebabkan besarnya luas permukaan bahan yang kontak dengan udara, sehingga memudahkan brazilin teroksidasi. Penyerutan kayu secang yang dilakukan langsung di lokasi pemanenan, dapat memicu percepatan kehilangan senyawa brazilin. Sedangkan dengan jenis potongan stick dan gelondongan, luas permukaan bahan yang akan teroksidasi lebih sedikit, sehingga kandungan brazilinnya pun cukup tinggi. Kadar brazilin yang lebih kecil pada jenis potongan gelondongan dibandingkan dengan potongan stick diduga juga disebabkan karena waktu pemotongan gelondongan, dilakukan terlebih dahulu. Hal ini akan menyebabkan total senyawa brazilin yang teroksidasi kemungkinan akan jauh lebih besar. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1985) menyatakan bahwa senyawa aktif terbentuk secara maksimal di dalam bagian tanaman pada umur tertentu. Di samping waktu panen yang dikaitkan dengan umur, perlu diperhatikan pula saat panen dalam sehari. Dengan demikian untuk menentukan waktu panen dalam sehari perlu dipertimbangkan stabilitas kimiawi dan fisik senyawa aktif dalam simplisia terhadap panas sinar matahari.

Tabel 5 Hasil analisis sidik ragam pengaruh jenis dataran dan potongan terhadap kadar brazilin kayu secang

Sumber keragaman Jumlah kuadrat db Kuadrat tengah F hitung

Model 60749,838a 4 15187,460 264,376 Dataran 9235,764 1 9235,764 160,772** Potongan 2553,568 2 1276,784 22,226* Error 804,250 14 57,446 Total 61554,088 18 Keterangan : db = derajat bebas

* = berpengaruh sangat nyata ** = tidak berpengaruh sangat nyata

Hasil analisis sidik ragam pada Tabel 5 menunjukkan bahwa variabel jenis dataran tidak berpengaruh nyata untuk kadar brazilin kayu secang. Sedangkan untuk variabel jenis potongan, menunjukkan hasil yang berpengaruh sangat nyata pada taraf 1% terhadap kadar brazilin. Nilai Adjusted R-squared sebesar 0,983 (98,3%) menunjukkan data-data aktual pengaruh hasil uji brazilin mencakup dalam model sebesar 98,3%. Hasil ini kemudian dilanjutkan kepada taraf uji lanjut menggunakan metode Duncan. Pada Lampiran 2 dapat dilihat bahwa pengaruh potongan terbaik untuk kadar brazilin diperoleh pada potongan stick.

Dataran tinggi dengan potongan stick dipilih sebagai model perlakuan yang akan diterapkan untuk rancangan perlakuan proses pengeringan dengan

Design Expert 8.0®. Dataran tinggi dipilih untuk mewakili daerah pengambilan sampel karena memiliki nilai mean terbesar dibandingkan dataran rendah, walaupun hasil analisis sidik ragamnya menunjukkan nilai yang tidak signifikan.

Optimasi Proses Pengeringan Rancangan Perlakuan Proses Pengeringan dan Respon

Piranti lunak Design Expert 8.0® sebagai alat utama pada penelitian ini digunakan untuk memperoleh kombinasi optimal dari proporsi relatif masing-masing variabel pengeringan yang digunakan (suhu, kecepatan aliran udara, dan RH) terhadap keseluruhan perlakuan proses pengeringan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Response Surface Methods dengan metode

Box-Benhken. Penggunaan Box-Benhken bertujuan untuk mengetahui pengaruh perubahan kombinasi komponen dalam memperoleh respon tertentu hingga

didapatkan suatu rancangan perlakuan proses pengeringan yang optimal.

Design Expert 8.0® merupakan piranti lunak (software) yang menyediakan rancangan percobaan (design of experiment) untuk melakukan optimasi terhadap rancangan produk dan proses (Anonim, 2006).

Penetapan faktor-faktor pengeringan beserta kisarannya didasarkan pada hasil studi beberapa literatur yang berkaitan dengan proses pengeringan simplisia. Sembiring (2007) mengatakan bahwa pada umumnya suhu pengeringan adalah antara 40-600C dan hasil yang baik dari proses pengeringan adalah simplisia yang mengandung kadar air 10%. Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama proses

pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas permukaan bahan. Faktor-faktor tersebut harus diperhatikan sehingga diperoleh simplisia kering yang tidak mudah mengalami kerusakan

selama penyimpanan. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 30oC sampai 90oC, tetapi suhu yang terbaik adalah tidak melebihi 60oC (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985). Chrysanty (2009) melakukan

penelitian mengenai karateristik pengeringan lapisan tipis dan mutu simplisia temu putih dengan menggunakan alat pengering berakuisisi. Penelitian tersebut menggunakan kisaran kelembaban relatif (RH) yaitu 20-60%. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kombinasi RH yang sesuai untuk pengeringan simplisia

temu putih adalah RH 20-40% pada kecepatan aliran udara yang tinggi (0,78-0,95m/s).

Pengujian Kadar Air

Kadar air suatu bahan merupakan total keseluruhan kadar air yang ada di dalam bahan pangan seperti air bebas, air terikat secara fisik dan kimiawi. Air dalam bahan pangan biasanya terdapat dalam jaringan, sedangkan air terikat terdapat dalam sel. Kadar air bebas sangat mudah dalam penguapannya dan mudah terabsorbsi kembali ke bahan apabila kondisi lingkungan sekitarnya lembab (Syarief dan Irawati, 1988).

Pengujian kadar air pada kayu secang hasil dari proses pengeringan, dilakukan untuk memastikan apakah kadar air telah mencapai interval nilai yang ditargetkan yaitu 8-10% (Tabel 6). Dengan nilai kadar air tersebut diharapkan akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme merugikan, dan memudahkan penyimpanan. Selain itu, pengeringan hingga kadar air yang tidak terlalu rendah akan menghindarkan simplisia kayu secang dari kerusakan akibat pengeringan seperti perubahan warna (staining), cacat bentuk (warping), tegangan sisa di permukaan (case hardening), pecah dalam (honeycombing), pecah (checking), dan

Tabel 6 Hasil pengukuran nilai kadar air untuk seluruh perlakuan proses pengeringan

Rancangan perlakuan proses

pengeringan

Perlakuan proses pengeringan

Kadar Air (%) Suhu (oC) Kecepatan Aliran Udara (m/s) RH (%) 1 50 0,86 45 9,669 2 50 0,86 45 9,213 3 50 0,86 45 9,339 4 40 0,86 30 8,506 5 40 0,86 60 9,089 6 40 0,78 45 8,147 7 40 0,95 45 9,542 8 50 0,95 60 9,491 9 50 0,78 60 9,070 10 50 0,78 30 9,077 11 50 0,95 30 9,840 12 60 0,86 30 8,751 13 60 0,86 60 9,221 14 60 0,95 45 9,265 15 60 0,78 45 8,955

Penurunan kadar air kayu secang menunjukkan tiga tahap penurunan, yaitu tahap penurunan kadar air cepat pada awal pengeringan, tahap penurunan kadar air lambat, dan tahap penurunan kadar air sangat lambat pada akhir pengeringan. Penurunan kadar air cepat diawal disebabkan karena pada awal pengeringan massa air pada permukaan bahan masih dalam jumlah besar. Udara pengering yang dihembuskan akan meliputi permukaan bahan dan akan menaikkan tekanan uap air, terutama pada daerah permukaan. Pada saat proses ini terjadi, perpindahan massa dari bahan ke udara dalam bentuk uap air berlangsung dalam jumlah yang besar sampai tekanan uap air pada permukaan akan menurun. Setelah massa air pada permukaan berkurang maka terjadi perpindahan air secara difusi dari dalam bahan ke permukaan. Selama proses tersebut, terjadi penurunan kadar air secara lambat. Pada akhirnya setelah air bahan berkurang, tekanan uap air bahan akan menurun sampai terjadi keseimbangan dengan udara sekitarnya dan tidak ada perpindahan air (Chrysanty, 2009).

Suhu merupakan salah satu faktor penting pada pelaksanaan pengeringan kayu secang. Suhu yang sesuai akan memberikan pengaruh terhadap pencapaian produk akhir yang diinginkan yaitu simplisia kayu secang (Sappan Lignum) dengan kadar air 8-10%. Demikian juga dengan kecepatan

aliran udara yang berkaitan dengan kemampuan menyebarkan panas ke seluruh permukaan bahan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sucipto (2009) bahwa panas, merupakan energi yang diperlukan oleh molekul air untuk melepaskan diri dari ikatan antara molekul pada air bebas dalam rongga sel atau melepaskan diri dari ikatan dengan tangan hidroksil pada air terikat. Pada suhu tinggi, udara cenderung menghisap kelembaban atau uap air dibandingkan dengan udara bersuhu rendah. Sirkulasi udara, berfungsi sebagai pengantar panas ke kayu yang digunakan untuk menguapkan air dari dalam kayu dan memindahkan uap air dari permukaan kayu ke udara sekitar.

Simplisia kayu secang (Sappan Lignum) yang dihasilkan dari kayu secang yang dikeringkan, diduga memiliki sifat yang higroskopis yakni memiliki kemampuan dalam menyerap molekul air dari lingkungannya. Hal ini

diindikasikan dengan simplisia yang terasa cukup lembab ketika dipegang pada saat dikeluarkan dari kemasan plastik. Sifat higroskopis ini diduga akan

mempengaruhi nilai kadar air dari simplisia kayu secang ketika pengukuran.

Hasil Pengukuran Respon Rancangan Perlakuan Proses Pengeringan

Rancangan perlakuan proses pengeringan yang dihasilkan dilanjutkan pada tahap pelaksanaan proses pengeringan. Selanjutnya dilakukan pengukuran dan perhitungan untuk setiap respon yang telah ditetapkan yaitu susut pengeringan, kadar brazilin, warna (L dan oHue), dan lama pengeringan. Hasil pengukuran dan perhitungan respon dari setiap rancangan perlakuan proses pengeringan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Hasil keseluruhan pengukuran dan perhitungan respon total seluruh rancangan perlakuan proses pengeringan Rancangan

perlakuan proses pengeringan

Perlakuan proses pengeringan Respon total seluruh rancangan perlakuan proses pengeringan Susut

Pengeringan (%)

Kadar Brazilin (mg/g)

Warna Lama Pengeringan (Menit) Suhu (oC) Kecepatan Aliran Udara (m/s) RH (%) L o Hue 1 50 0,86 45 4,6862 0,84 34,74 37,04 1260 2 50 0,86 45 4,6668 0,90 34,52 34,87 810 3 50 0,86 45 4,7646 0,87 32,82 34,07 810 4 40 0,86 30 4,5465 0,93 35,85 40,08 560 5 40 0,86 60 3,2443 1,84 30,92 36,96 1120 6 40 0,78 45 4,3529 3,60 35,47 37,52 1230 7 40 0,95 45 4,4936 1,31 33,71 38,43 360 8 50 0,95 60 4,6767 0,80 37,01 41,85 1140 9 50 0,78 60 5,5148 1,06 31,96 33,95 1700 10 50 0,78 30 4,4631 1,20 33,29 37,32 1340 11 50 0,95 30 5,1349 1,72 34,66 36,18 470 12 60 0,86 30 4,5804 3,61 32,93 37,77 1170 13 60 0,86 60 3,5392 2,16 33,74 35,47 1390 14 60 0,95 45 4,4028 1,25 35,90 36,36 1660 15 60 0,78 45 4,7250 5,29 34,40 36,49 620

Analisis Respon dengan Program Design Expert8.0®

Analisis Respon Susut Pengeringan

Hasil uji respon susut pengeringan berkisar antara 3,2443% sampai 5,5148%. Nilai susut pengeringan terendah yaitu 3,2443% diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 5 dengan suhu 40oC, kecepatan aliran udara 0,86m/s, dan kelembaban relatif (RH) 60%. Sedangkan nilai susut pengeringan tertinggi yaitu 5,5148% diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 9 dengan suhu 50oC, kecepatan aliran udara 0,78m/s, dan kelembaban relatif (RH) 60%. Nilai rata-rata (mean) dari respon susut pengeringan adalah 4,52% dengan nilai standar deviasi sebesar 0,55%.

Susut pengeringan bertujuan untuk melihat seberapa besar senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Selain itu, susut pengeringan dapat dijadikan dasar dalam penetapan kualitas simplisia akibat pertumbuhan mikroorganisme yang merugikan. Susut pengeringan ditetapkan untuk menjaga kualitas simplisa

karena berkaitan dengan kemungkinan pertumbuhan kapang atau jamur serta zat yang mudah menguap pada simplisia (Soetarno dan Soediro, 1997).

Variasi nilai susut pengeringan pada masing-masing rancangan perlakuan diduga disebabkan oleh adanya ketidakseragaman proses pengeringan. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan suhu, kecepatan aliran udara, dan kelembaban relatif (RH) yang berbeda-beda untuk setiap rancangan perlakuan proses pengeringan. Ketidakseragaman faktor-faktor proses pengeringan tersebut diduga mengakibatkan senyawa volatil yang hilang pada saat proses pengeringan juga lebih variatif, salah satunya senyawa brazilin.

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan program Design Expert 8.0®, tidak diperoleh model yang menyatakan hubungan antara susut

pengeringan dengan faktor-faktor perlakuan. Model yang dihasilkan hanya dibuat berdasarkan nilai mean nya.

Model polinomial yang direkomendasikan oleh program Design Expert 8.0®

adalah quadratic, tetapi model ini menunjukkan nilai predicted R-Squared negatif, sehingga perlu dilakukan reduksi model. Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan nilai lack of fit F-value sebesar 129,83 dengan nilai p “Prob>F”

Design-Expert® Software SusutPengeringan Color points by value of SusutPengeringan: 5.5148 3.2443 N o rm a l % P ro b a b il it y

Normal Plot of Residuals

-3.00 -2.00 -1.00 0.00 1.00 2.00 1 5 10 20 30 50 70 80 90 95 99

terhadap pure error dimana variasi dalam replikasi nilai mean nya lebih kecil dari variasi design points nilai yang diprediksikan. Nilai lack of fit yang signifikan disebabkan oleh replikasi yang baik dan variasinya kecil, modelnya tidak memprediksikan dengan baik, atau kombinasi keduanya. Selain itu, akan muncul kemungkinan bahwa model yang dihasilkan tidak dapat memberikan prediksi yang baik dalam kondisi tertentu.

Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk respon susut pengeringan juga menunjukkan nilai predicted R-squared negatif yaitu -0,1480. Nilai tersebut menandakan bahwa overall mean memberikan prediksi lebih baik bagi respon susut pengeringan.

Grafik kenormalan internally stundentized residual pada Gambar 14 menunjukkan data-data untuk respon susut pengeringan yang menyebar normal. Hal ini diperlihatkan dari titik-titik yang berada dekat disepanjang garis kenormalan. Data-data yang menyebar normal tersebut menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon susut pengeringan.

Gambar 14 Grafik kenormalan internally stundentizedresiduals respon susut pengeringan

Grafik contour plot pada Gambar 15 menggambarkan kombinasi antara komponen yang tidak saling mempengaruhi terhadap nilai respon susut pengeringan. Hal ini diidentikkan dengan warna yang terlihat sama pada seluruh area grafik contour plot. Kesamaan warna tersebut menunjukkan nilai respon

Design-Expert® Software Factor Coding: Actual SusutPengeringan Design Points 5.5148 3.2443 X1 = B: Kecepatan X2 = C: RH Actual Factor A: Suhu = 50 0.78 0.82 0.86 0.91 0.95 30 38 45 53 60 SusutPengeringan B: Kecepatan C : R H 3 Design-Expert® Software Factor Coding: Actual SusutPengeringan

Design points above predicted value Design points below predicted value 5.5148 3.2443 X1 = B: Kecepatan X2 = C: RH Actual Factor A: Suhu = 50 30 38 45 53 60 0.78 0.82 0.86 0.91 0.95 3.0000 3.5000 4.0000 4.5000 5.0000 5.5000 6.0000 S u s u tP e n g e ri n g a n B: Kecepatan C: RH

terukur sama tingginya pada semua kombinasi antar komponen rancangan perlakuan proses pengeringan yang diukur.

Grafik tiga dimensi (3-D) pada Gambar 16 merupakan bentuk permukaan dari interaksi antara komponen rancangan perlakuan proses

pengeringan terhadap respon susut pengeringan. Grafik memperlihatkan nilai respon yang datar pada setiap kombinasi antara komponen yang diukur. Hal ini juga disebabkan model polinomial yang dihasilkan (mean) memberikan nilai respon susut pengeringan yang dianggap tidak berbeda nyata pada setiap kombinasi antara komponen rancangan perlakuan.

Gambar 15 Grafik contour plot hasil uji respon susut pengeringan

Analisis Respon Kadar Brazilin

Brazilin sering digunakan sebagai senyawa penciri pada kayu secang. Brazilin memiliki banyak aktivitas sehingga dapat dijadikan standar dalam kontrol kualitas kayu secang. Kontrol kualitas bahan alami dilakukan untuk mengevaluasi kualitas dan keaslian tanaman obat sehingga mencegah adanya pencampuran obat dari tanaman lain (Soares dan Scarmino. 2008 dalam Hangoluan, 2011).

Pengukuran kadar brazilin menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography) dengan detektor ultraviolet-tampak (UV-VIS) yang dipantau dengan panjang gelombang 280 nm. Brazilin dihitung menggunakan kurva kalibrasi standar eksternal dengan memplot daerah puncak terhadap perbedaan konsentrasi brazilin (kisaran 25-125 µg/mL) (Batubara et al. 2010). Brazilin termasuk ke dalam golongan flavonoid sebagai isoflavonoid. Pengujian terhadap ekstrak kayu secang untuk mengetahui keberadaan senyawa flavonoid dilakukan dengan cara menambahkan etanol 80% dan asam klorida pekat. Hasil positif ditunjukkan dengan munculnya warna kuning kemerahan yang berarti ekstak tersebut mengandung senyawa golongan flavonoid (Suhartati, 1983).

Hasil uji respon kadar brazilin berkisar antara 0,80mg/g sampai 5,29mg/g. Nilai kadar brazilin terendah yaitu 0,80mg/g diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 8 dengan suhu 50oC, kecepatan aliran udara 0,95m/s, dan kelembaban relatif (RH) 60%. Sedangkan nilai kadar brazilin tertinggi yaitu 5,29mg/g diperoleh dari rancangan perlakuan proses pengeringan ke 15 dengan suhu 60oC, kecepatan aliran udara 0,78m/s, dan kelembaban relatif (RH) 45%. Nilai rata-rata (mean) dari respon kadar brazilin adalah 1,82533mg/g dengan nilai standar deviasi sebesar 0,93mg/g.

Hubungan antara kadar brazilin dengan faktor-faktor perlakuan pengeringan membentuk model polinomial yang melibatkan suhu dan kecepatan aliran udara (Persamaan 2). Model polinomialnya adalah reduced quadratic model.

Kadar brazilin = - (1,38516)A – (8,92647)B + (0,014430)A2………….……… (2)

Keterangan: A = suhu

Model polinomial yang direkomendasikan oleh program Design Expert 8.0®

adalah quadratic, tetapi model ini menunjukkan nilai predicted R-Squared negatif, sehingga perlu dilakukan reduksi model menggunakan backward elimination.

Reduksi model dilakukan untuk menghilangkan komponen A (suhu), komponen C (RH), interaksi komponen AB (suhu dan kecepatan aliran udara), interaksi

komponen AC (suhu dan RH), interaksi komponen BC (kecepatan aliran udara dan RH), komponen B2 (interaksi antar kecepatan aliran udara), dan komponen C2 (interaksi antar RH) karena dianggap tidak signifikan

(tidak memenuhi αout = 0,1000).

Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model yang telah direduksi (reduced quadratic model) signifikan dengan nilai p “prob>F” lebih

kecil dari 0,05 (<0,0001). Selain itu, hasil ANOVA juga menunjukkan bahwa komponen B (kecepatan aliran udara), dan komponen A2 (interaksi antar suhu), memberikan pengaruh yang nyata (signifikan) terhadap respon kadar brazilin.

Lack of fit F-value sebesar 1181,07 dengan nilai p “Prob>F” lebih kecil dari 0,05 (0,0008) menunjukkan lack of fit yang signifikan relatif terhadap pure error.

Nilai adjusted R-squared dan predicted R-squared secara berturut-turut untuk respon kadar brazilin adalah 0,5055 dan 0,1685 yang menunjukkan bahwa data-data aktual dan data-data yang diprediksikan untuk respon kadar brazilin mencakup dalam model sebesar 50,55% dan 16,85%. Nilai adequate precision

untuk respon kadar brazilin adalah lebih besar dari 4 (7,349) yang menunjukkan besarnya sinyal terhadap noise ratio. Nilai tersebut menandakan bahwa model dapat digunakan sebagai pedoman untuk design space.

Persamaan (2) menunjukkan bahwa respon kadar brazilin akan meningkat

Dokumen terkait