• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimization of Drying Process of Sappanwood Simplicia (Sappan Lignum) and Its Application into Beverage Products

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Optimization of Drying Process of Sappanwood Simplicia (Sappan Lignum) and Its Application into Beverage Products"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMASI PROSES PENGERINGAN SIMPLISIA

KAYU SECANG (

Sappan Lignum

) DAN APLIKASINYA

PADA PRODUK MINUMAN

HASRIANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Optimasi Proses Pengeringan Simplisia Kayu Secang (Sappan Lignum) dan Aplikasinya pada Produk Minuman adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2012

Hasriani

(3)

ABSTRACT

HASRIANI. Optimization of Drying Process of Sappanwood Simplicia (Sappan Lignum) and Its Application into Beverage Products. Supervised by RIZAL SYARIEF, SETYO PERTIWI, and BUDI NURTAMA.

Secangs plant (Caesalpinia sappan Linn.) or locally known as sappanwood, have long been used in a favorite beverage such as bir pletok from Betawi. In the progress of their utilization, sappanwood is used as simplicia in the pharmaceutical field. Simplicia is a natural material that presented in the dry form. Utilization of post-harvest handling technologies such as drying is an alternative

technology to create a standard in producing simplicia of sappanwood (Sappan Lignum). The aims of study were to identify the practices of harvest and

post harvest of sappanwood, to optimize the drying process of Sappan Lignum, to identify the availability of brazilin content, and to assess the level of consumer’s acceptance of sappan drink. This study consists of three phases. Phase I was to know the optimum brazilin content in samples from lowland (Takalar Regency) and highland (Gowa Regency) in South Sulawesi with three different cutting types. Phase II was to optimize the drying process by using Design Expert 8.0® with drying variables i.e. temperature (40°-60°C), air velocity (0,78-0,95m/s), and relative humidity (30-60%). The responses were analyzed i.e. dried shrinkage, brazilin content, colors (L and oHue), and drying time. Phase III was to produce sappan drink followed by organoleptic test (hedonic test). The results showed that the stem of plants with a big size is optimum to be harvested. The spines, the outer layer, and cambium of harvested sappanwood are removed to get wood core.

Sappan Lignum from highlands (Lonjo'boko Village, Gowa Regency) have stick form contained the highest brazilin (79,87mg/g). The selected solution for optimum drying process of simplicia were drying temperature (60°C), air velocity (0,78m/s), and relative humidity (30%), with desirability value (0,709). Sappan drink produced from dried Sappan Lignum and fresh sappanwood showed the same acceptance level of the panelists in taste, aroma, and color.

(4)

RINGKASAN

HASRIANI. Optimasi Proses Pengeringan Simplisia Kayu Secang (Sappan Lignum) dan Aplikasinya pada Produk Minuman. Dibimbing oleh

RIZAL SYARIEF, SETYO PERTIWI, dan BUDI NURTAMA.

Biodiversitas masih menjadi sumber utama untuk perkembangan riset di Indonesia, khususnya bagi berbagai spesies tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti bahan pangan, bahan baku industri, maupun obat-obatan. Terdapat sekitar 30.000 jenis tumbuhan di Indonesia dan 7.000 di antaranya berkhasiat sebagai obat. Salah satunya adalah tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) yang jumlahnya cukup banyak dan sering dimanfaatkan masyarakat sebagai minuman berkhasiat. Tanaman secang ditemukan tumbuh liar di alam. Pembudidayaan tanaman secang sampai saat ini masih terbatas.

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan berupa bahan yang dikeringkan. Penanganan pasca panen kayu secang yang dilakukan masyarakat masih tradisional, khususnya pada praktek pengeringannya. Masyarakat mengeringkan kayu secang dalam bentuk gelondongan di tempat terbuka tanpa memperhatikan kebersihan dan stabilitas senyawa aktif di dalamnya. Hal ini kurang mendukung pemanfaatan kayu secang yang cukup potensial dalam bidang industri pangan (functional food) maupun farmakologi. Oleh karena itu diperlukan adanya optimasi pengeringan kayu secang menjadi suatu simplisia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penanganan pascapanen yang tepat dalam pembentukan simplisia kayu secang (Sappan Lignum). Secara

spesifik penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi praktek-praktek pemanenan dan pasca panen kayu secang yang dilaksanakan oleh masyarakat, (2) mengoptimasi proses pengeringan kayu secang untuk mendapatkan simplisia kayu secang (Sappan Lignum) dengan menggunakan piranti lunak

Design Expert 8.0®, (3) mengidentifikasi khasiat (kandungan brazilin) pada

produk kayu secang segar dan simplisia kayu secang (Sappan Lignum), dan (4) mengkaji tingkat penerimaan konsumen pada produk minuman secang celup

yang dihasilkan.

Penelitian telah dilakukan pada bulan Oktober 2011 sampai April 2012. Bertempat di beberapa daerah di Sulawesi Selatan sebagai lokasi pengambilan sampel, Laboratorium Pindah Panas dan Massa dan Laboratorium TPPHP Fateta IPB, serta Pusat Studi Biofarmaka IPB Taman Kencana. Penelitian ini terdiri dari 3 tahap. Tahap I untuk mengetahui kandungan brazilin optimum pada sampel kayu secang dari dataran tinggi dan rendah dengan 3 jenis potongan yang berbeda (stick, serutan, gelondongan). Sampel kayu secang

diambil dari Sulawesi Selatan. Penelitian tahap II akan menggunakan data hasil penelitian tahap I dalam pelaksanaan optimasi proses pengeringan

menggunakan piranti lunak Design Expert 8.0®. Kombinasi variabel pengeringan yang digunakan yaitu suhu pengeringan (40o-60oC), kecepatan aliran udara (0,78-0,95 m/s), dan kelembaban relatif (20-60%). Pengujian simplisia sebagai

(5)

(L dan oHue), dan lama pengeringan. Terakhir, penelitian tahap III yaitu uji penerimaan konsumen terhadap produk secang celup. Produk tersebut kemudian dilanjutkan dengan tahap uji organoleptik (hedonic test) kepada 30 panelis tidak terlatih.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian batang tanaman secang dengan ukuran besar paling optimum untuk dipanen. Inti kayu secang untuk pembuatan simplisia diperoleh dengan terlebih dahulu menghilangkan bagian duri, kulit luar, dan kambium dari kayu secang hasil panen. Kayu secang dari daerah dataran

tinggi (Desa Lonjo’boko, Kecamatan Malino, Kabupaten Gowa) bentuk potongan

stick memiliki kandungan brazilin paling tinggi sebesar 79,87mg/g. Solusi proses pengeringan optimum untuk simplisia kayu secang (Sappan Lignum) adalah dengan komponen suhu pengeringan 60oC, kecepatan aliran udara 0,78m/s, kelembaban relatif (RH) sebesar 30%, dan nilai desirability sebesar 0,709. Produk secang celup yang dihasilkan dari simplisia kayu secang (Sappan Lignum)

maupun dari kayu secang segar hasil pemanenan menunjukkan tingkat penerimaan panelis yang sama yaitu suka terhadap parameter rasa, aroma, dan warna produk.

(6)

® Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atas seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis

(7)

OPTIMASI PROSES PENGERINGAN SIMPLISIA

KAYU SECANG (

Sappan Lignum

) DAN APLIKASINYA

PADA PRODUK MINUMAN

HASRIANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Pascapanen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Optimasi Proses Pengeringan Simplisia Kayu Secang (Sappan Lignum) dan Aplikasinya pada Produk Minuman

Nama : Hasriani NRP : F153100101

Program Studi/Mayor : Teknologi Pasca Panen

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS Ketua

Dr. Ir. Setyo Pertiwi, M.Agr Anggota

Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi/Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Teknologi Pasca Panen

Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(10)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini sebagai syarat dalam menyelesaikan perkuliahan di Magister Sains, Teknologi Pasca Panen, Institut Pertanian Bogor. Tidak lupa shalawat serta salam senantiasa di berikan kepada Nabi Muhammad, SAW, keluarganya, dan umatnya sampai akhir zaman.

Penulis melakukan penelitian tentang Optimasi Proses Pengeringan Simplisia Kayu Secang (Sappan Lignum) dan Aplikasinya pada Produk Minuman. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu (1) menentukan bentuk potongan simplisia dengan kadar brazilin optimum, (2) optimasi proses pengeringan simplisia dengan bentuk potongan yang memiliki kadar brazilin optimum, dan (3) pembuatan produk secang celup.

Selama menjalani studi, penulis banyak sekali mendapatkan bantuan dari berbagai pihak baik berupa dukungan moril dan doa. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Orang tua tercinta, ayahanda Lukman, SP dan ibunda Nurhayati, SP, serta anggota keluarga lainnya yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan dan semangat.

2. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS; Dr. Ir. Setyo Pertiwi, M.Agr; dan Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr selaku komisi pembimbing, atas segala perhatian,

bimbingan, saran, pengertian, serta dukungan moril kepada penulis selama menjalani proses penelitian.

3. Dr. Ir. Leopold O. Nelwan, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

4. Masyarakat Desa Lonjo’boko Kabupaten Gowa dan Desa Ko’mara

Kabupaten Takalar yang telah memberikan apresiasi yang luar biasa terhadap penelitian ini.

(11)

Syahriman Hakim atas keceriaan pembangkit semangat selama penulis melakukan penelitian.

6. Sahabat tercinta, Khadijah Herdayani, Julyanti Mustafa, Deba Supriyanto, Tiara Eka Suardi, Yenny Fiqhiany Hamty, dan Ibu Ratna Siahaan yang telah meluangkan waktu dan tenaga demi kelancaran penelitian.

Kepada semua pihak yang telah membantu baik moril maupun materil yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis tak lupa mengucapkan terima kasih. Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih banyak kekurangan. Kritik,

saran dan masukan sangat penulis harapkan, demi sempurnanya penelitian ini dikemudian hari.

Akhir kata, teriring doa semoga segala bantuan dapat menjadi amal ibadah di mata Allah SWT dan mendapat imbalan yang lebih tinggi. Harapan penulis semoga tesis ini dapat memberikan manfaat, sekecil apapun itu bagi kita semua. Amin.

Bogor, Juli 2012

(12)

RIWAYAT HIDUP

Hasriani, lahir di Makassar pada Hari Kamis, 28 Juli 1988. Penulis dilahirkan sebagai anak tunggal

(13)

DAFTAR ISI

Pembuatan Simplisia Kayu Secang (Sappan Lignum) ... 10

Panen ... 11

Pasca Panen ... 13

Teori Pengeringan Simplisia Kayu Secang (Sappan Lignum) ... 15

Pemutuan Simplisia Kayu Secang (Sappan Lignum) ... 18

Prinsip Kerja Mesin Pengering Berakuisisi ... 22

Cara Pengoperasian Mesin Pengering Berakuisisi ... 24

Metode Penelitian ... 24

Penelitian Tahap I ... 24

Pemanenan Kayu Secang ... 24

Penanganan Pasca Panen Kayu Secang ... 25

Analisis Kadar Brazilin ... 25

Rancangan Percobaan ... 27

Penelitian Tahap II ... 27

Pembuatan Rancangan Proses dan Respon dengan Program Design Expert 8.0® ... 27

Perlakuan Pengeringan ... 28

(14)

Rancangan Percobaan ... 33

Metode Analisis ... 34

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

Analisis Kandungan Brazilin Optimum ... 36

Optimasi Proses Pengeringan ... 41

Rancangan Perlakuan Proses Pengeringan dan Respon ... 41

Pengujian Kadar Air ... 42

Hasil Pengukuran Respon Rancangan Perlakuan Proses Pengeringan ... 44

Analisis Respon dengan Program Design Expert 8.0® ... 46

Analisis Respon Susut Pengeringan ... 46

Analisis Respon Kadar Brazilin ... 49

Analisis Respon Warna ... 53

Analisis Respon L ... 53

Analisis Respon oHue ... 56

Analisis Respon Lama Pengeringan ... 59

Optimasi Rancangan Perlakuan Proses Pengeringan dengan Program Design Expert 8.0® ... 64

Uji Penerimaan Terhadap Produk Secang Celup ... 68

Rasa Seduhan ... 70

Aroma Seduhan ... 72

Warna Seduhan ... 73

KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

Kesimpulan ... 76

Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 78

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Hasil-hasil penelitian dan pengembangan eksplorasi komponen

bioaktif tanaman rempah dan obat ... 7 2 Bagian tanaman, cara pengumpulan, kadar air simplisia ... 12 3 Standar mutu simplisia kayu secang (Sappan Lignum) ... 18 4 Rancangan perlakuan proses pengeringan dari program Design

Expert 8.0® ... 28 5 Hasil analisis sidik ragam pengaruh jenis dataran dan potongan terhadap

kadar brazilin kayu secang ... 40 6 Hasil pengukuran nilai kadar air untuk seluruh rancangan perlakuan

proses pengeringan ... 43 7 Hasil keseluruhan pengukuran dan perhitungan respon total seluruh

rancangan perlakuan proses pengeringan ... 45 8 Hubungan oHue dengan warna simplisia kayu secang (Sappan Lignum)

yang diukur ... 56 9 Komponen dan respon yang dioptimasi, target, batas, dan importance

pada tahapan optimasi rancangan perlakuan proses pengeringan ... 64 10 Hasil uji analisis sidik ragam (ANOVA) parameter rasa seduhan produk

secang celup A dan secang celup B ... 71 11 Hasil uji analisis sidik ragam (ANOVA) parameter aroma seduhan produk

secang celup A dan secang celup B ... 72 12 Hasil uji analisis sidik ragam (ANOVA) parameter warna seduhan produk

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) ... 5

2 Kayu secang ... 6

3 Struktur kimia (a) brazilin dan (b) brazilein ... 9

4 Jalur Polyol ... 10

5 Berbagai bentuk simplisia kayu secang (Sappan Lignum)... 14

6 Diagram alir mesin pengering berakuisisi ... 23

7 Bagian inti kayu secang sebagai bahan baku simplisia ... 25

8 Rancangan diagram alir penelitian tahap I (Analisis kandungan brazilin) ... 26

9 Rancangan diagram alir penelitian tahap II (Optimasi proses pengeringan dengan Design Expert 8.0®) ... 31

10 Rancangan diagram alir penelitian tahap III (Uji penerimaan terhadap produk secang celup) ... 33

11 Perbedaan warna inti kayu secang pada: (a) Desa Ko’mara Kabupaten Takalar dan (b) Desa Lonjo’boko Kabupaten Gowa ... 38

12 Bentuk potongan kayu secang yang digunakan untuk analisis kandungan brazilin optimum: (a) gelondongan, (b) serutan, dan (c) stick ... 38

13 Hasil uji kadar brazilin (mg/g) kayu secang berdasarkan pengaruh jenis dataran dan bentuk potongan ... 39

14 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon susut pengeringan ... 47

15 Grafik contour plot hasil uji respon susut pengeringan ... 48

16 Grafik tiga dimensi hasil uji respon susut pengeringan ... 48

17 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon kadar brazilin ... 51

18 Grafik contour plot hasil uji respon kadar brazilin ... 52

19 Grafik tiga dimensi hasil uji respon kadar brazilin ... 53

20 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon L ... 55

21 Grafik contour plot hasil uji respon L ... 55

22 Grafik tiga dimensi hasil uji respon L ... 56

23 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon oHue ... 58

(17)

Halaman

25 Grafik tiga dimensi hasil uji respon oHue ... 59

26 Grafik kenormalan internally stundentized residuals respon lama pengeringan ... 63

27 Grafik contour plot hasil uji respon lama pengeringan ... 63

28 Grafik tiga dimensi hasil uji respon lama pengeringan ... 64

29 Grafik contour plot dan nilai desirability solusi rancangan perlakuan proses pengeringan optimum ... 67

30 Grafik tiga dimensinilai desirability solusi rancangan perlakuan proses pengeringan optimum ... 68

31 Produk secang celup ... 69

32 Nilai rata-rata hasil uji organoleptik (hedonict test) terhadap parameter rasa, aroma, dan warna seduhan pada produk secang celup A dan B ... 70

33 Mesin pengering berakuisisi tampak depan ... 100

34 Flow controller mesin pengering berakuisisi ... 100

35 Anemometer ... 101

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil uji kadar brazilin kayu secang (mg/g) berdasarkan pengaruh jenis

dataran dan bentuk potongan ... 81

2 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh jenis potongan terhadap kadar brazilin kayu secang ... 81

3 Rekapitulasi data uji kadar air rancangan perlakuan proses pengeringan . 82 4 Rekapitulasi data uji susut pengeringan rancangan perlakuan proses pengeringan ... 83

5 Rekapitulasi data uji warna rancangan perlakuan proses pengeringan .... 85

6 Rekapitulasi data uji kadar brazilin rancangan perlakuan proses pengeringan ... 86

7 Kromatogram KCKT rancangan perlakuan proses pengeringan dengan (a) suhu 60oC, kecepatan aliran udara 0,78m/s, RH 45%, dan (b) standar brazilin kayu secang ... 87

8 ANOVA dan persamaan polinomial respon susut pengeringan ... 88

9 ANOVA dan persamaan polinomial respon kadar brazilin ... 89

10 ANOVA dan persamaan polinomial respon L ... 90

11 ANOVA dan persamaan polinomial respon oHue ... 91

12 ANOVA dan persamaan polinomial respon lama pengeringan ... 92

13 Rekapitulasi data running perlakuan proses pengeringan untuk mendapatkan rancangan optimum ... 93

14 Solusi rancangan perlakuan proses pengeringan optimum yang dihasilkan dalam tahapan optimasi ... 94

15 Simplisia kayu secang (Sappan Lignum) sebagai hasil dari proses pengeringan ... 95

16 Formulir pengujian organoleptik (hedonic test) ... 97

17 Hasil uji organoleptik (hedonic test) produk secang celup dari simplisia kayu secang (secang celup A) dan kayu segar hasil pemanenan (secang celup B)... 98

(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Biodiversitas masih menjadi sumber utama untuk perkembangan riset di Indonesia, khususnya terkait material berbagai spesies tanaman yang dapat dimanfaatkan dalam berbagai keperluan, seperti bahan pangan, bahan baku industri, maupun obat-obatan. Indonesia memiliki kekayaan hayati yang sangat besar, di antaranya adalah tanaman obat dan rempah. Terdapat sekitar 30,000 jenis tumbuhan di Indonesia dan 7,000 di antaranya berkhasiat sebagai obat (Sastroamidjojo, 1997). Salah satunya adalah tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) yang jumlahnya cukup banyak dan sering dimanfaatkan masyarakat sebagai minuman dan dipercaya berkhasiat bagi kesehatan.

Tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) ditemukan tumbuh liar di alam sebagai tanaman pagar, pembatas kebun, atau tumbuh sebagai tanaman sela. Pembudidayaan tanaman secang sampai saat ini masih terbatas mungkin disebabkan karena tumbuh duri pada batangnya, sehingga masyarakat menganggap akan menyulitkan dalam perawatan dan penanganannya.

Menurut data Badan Pusat Statistik (2011), luas lahan yang sementara tidak diusahakan (temporarily unused) untuk daerah luar Pulau Jawa yaitu 47,105 Ha, luar Pulau Jawa yaitu 14,854,793 Ha, sehingga total luas lahan yang sementara tidak diusahakan untuk seluruh Indonesia yaitu 14,901,898 Ha. Khusus di Provinsi Sulawesi Selatan, luas lahan yang sementara tidak diusahakan yaitu

88,870 Ha. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki lahan cukup luas dan potensial yang dapat dimanfaatkan untuk membudidayakan

tanaman secang.

(20)

secang secara turun temurun, menjadikan minuman secang sebagai minuman fungsional yang dapat dikonsumsi sesuai kebutuhan tanpa batasan takaran.

Kelebihan lain minuman secang adalah pada rasanya. Berbeda dengan jamu yang umumnya berasa pahit, secang enak untuk dinikmati di segala cuaca terlebih

saat udara dingin. Minuman secang merupakan minuman kesehatan legendaris yang mengandung antioksidan, anti kanker, memperlancar peredaran darah, obat batuk darah / TBC, malaria, pembersih darah, anti tetanus, dan anti peradangan (Priatni dan Tatik, 2007).

Jumlah kandungan zat berkhasiat dalam tanaman dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu faktor dalam (genetic) dan faktor luar (lingkungan tempat

tumbuh), di samping itu juga dipengaruhi oleh umur pada saat panen dan proses pasca panennya. Sedangkan kebiasaan yang terjadi di tingkat petani/pengumpul bahan simplisia adanya tenggang waktu antara panen sampai proses pengeringan (Sampurno 2000 dalam Jokopriyambodo, 2003).

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang dikeringkan (Materia Medika Indonesia, 1995). Pemanfaatan teknologi pengeringan dapat digunakan untuk menghasilkan suatu standar pembuatan simplisia kayu secang. Praktek pengeringan yang dapat dilakukan untuk memperoleh simplisia kayu secang mengacu pada penelitian yang ada sebelumnya walaupun dengan bahan baku berbeda, yaitu dengan pengeringan secara alami (sun drying), menggunakan oven, blower, ataupun rak pengering. Pengeringan diperlukan sebagai suatu syarat pembentukan simplisia dengan kadar air yang sesuai standar yaitu 8-10%. Dengan interval kadar air tersebut, diharapkan simplisia dapat bebas dari serangan mikroorganisme, komponen metabolit sekundernya masih terjaga dengan baik, dapat diatur dan distandarkan, serta dapat disimpan dalam jangka waktu cukup lama jika ditunjang dengan pengemasan yang baik pula (Sembiring, 2007).

(21)

pemanfaatan kayu secang yang cukup potensial dalam bidang industri pangan (functional food) maupun farmakologi. Oleh karena itu diperlukan adanya optimasi pengeringan kayu secang menjadi suatu simplisia. Proses optimasi adalah suatu pendekatan normatif untuk mengidentifikasikan penyelesaian terbaik dalam pengambilan keputusan suatu permasalahan. Melalui optimasi, permasalahan akan diselesaikan untuk mendapatkan hasil yang terbaik sesuai

dengan balasan yang diberikan (Ma’arif et al. 1989). Keuntungannya adalah

masyarakat mendapatkan kesempatan untuk memanfaatkan tanaman lokal kayu secang dalam bentuk simplisia berdasarkan pengembangan sistem optimizations process pada setiap faktor-faktor perlakuan pengeringan yang terpilih. Selain itu, dapat diperoleh gambaran dan kondisi proses pengeringan optimal dalam menghasilkan simplisia kayu secang (Sappan Lignum) yang memiliki kandungan senyawa aktif maksimum.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penanganan pasca panen yang tepat dalam pembentukan simplisia kayu secang (Sappan Lignum). Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi praktek-praktek pemanenan dan pasca panen kayu secang yang dilaksanakan oleh masyarakat.

2. Mengoptimasi proses pengeringan kayu secang untuk mendapatkan simplisia kayu secang (Sappan Lignum) dengan menggunakan piranti lunak

Design Expert 8.0®.

3. Mengidentifikasi khasiat (kandungan brazilin) pada kayu secang segar dan simplisia kayu secang (Sappan Lignum).

4. Mengkaji tingkat penerimaan konsumen pada produk minuman secang celup yang dihasilkan.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

(22)

2. Bahan informasi bagi masyarakat mengenai simplisia kayu secang (Sappan Lignum) yang mencakup aspek organoleptik dan kandungan kimia.

3. Memberikan sentuhan teknologi untuk mengangkat kearifan lokal dalam kebiasaan mengkonsumsi minuman kayu secang agar lebih memasyarakat.

Ruang Lingkup

Optimasi pengeringan simplisia kayu secang (Sappan Lignum) ini spesifik pada komoditas kayu secang yang ada di wilayah dataran tinggi dan dataran rendah, studi kasus di Kabupaten Gowa (Desa Lonjoboko) dan Kabupaten

Takalar (Desa Ko’mara), Provinsi Sulawesi Selatan. Decision analysis dimulai

(23)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Secang (Caesalpinia sappan L.)

Tanaman secang tersebar hampir di seluruh Indonesia (Gambar 1) dan memiliki nama daerah yang berbeda-beda yaitu Seupeueng (Aceh), Sepang

(Gayo dan Sasak), Sopang (Batak), Lacang (Minangkabau), Secang (Sunda, Jawa Tengah, Madura), Cang (Bali), Supa (Bima), Sepel (Timor), Hape (Sawu),

Kayu Sema (Manado), Dolo (Bare), Sappang (Makassar) dan Sepang (Bugis),

Sepen (Halmahera Selatan), Savala (Halmahera Utara), Sungiang (Ternate) dan

Roro (Tidore) (Anonim, 2011b).

Gambar 1 Tanaman Secang (Caesalpinia sappan L.)

Menurut Tjitrosoepomo (2004), taksonomi tanaman secang adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermathophyta Sub divisi : Angiospermae Class : Dicotyledoneae Sub class : Dialypetalae Ordo : Rosales

Family : Caesalpinaceae Genus : Caesalpinia

(24)

Tumbuhan ini berupa pohon kecil dengan tinggi 5-10 m. Permukaan batang kasar, berduri tersebar. Daun majemuk menyirip, setiap sirip mempunyai 10-20 pasang anak daun yang berhadapan mempunyai daun penumpu. Perbungaan tersusun tandan, bunga berwarna kuning terang. Buah polong warna hitam, berisi 3-4 biji. Banyak tumbuh di pekarangan daerah Jawa, juga dijumpai di pegunungan berbatu pada daerah yang tidak terlalu dingin di Sulawesi Selatan. Di habitat alaminya, sebagian besar pohon kayu secang tumbuh pada tempat-tempat yang berbukit dengan tipe tanah seperti liat dan berbatu-batu, pada daerah dengan ketinggian tempat rendah dan sedang. Pohon ini tidak toleran pada tanah-tanah yang terlalu basah (Anonim, 2011a).

Pohon secang tumbuh pada lokasi-lokasi yang memiliki kisaran curah hujan tahunan 700-4300 mm, rata-rata suhu udara tahunan adalah 24-27,5°C, dan dengan kisaran pH tanah adalah 5-7,5. Tumbuhan ini banyak dijumpai pada dataran rendah hingga ketinggian 1700 m dpl. Kayu secang dapat diperbanyak menggunakan biji. Biasanya tumbuhan ini ditanam di bawah naungan di sekitar tepi hutan. Hingga akhir abad ke 19, kayu secang telah dimanfaatkan sebagai sumber pewarna merah utama. Namun saat ini, pemanfaatannya sebagai bahan pewarna hanya berlangsung untuk skala kecil. Biji tumbuhan ini berfungsi sebagai bahan sedatif, kayu dan batangnya dapat mengobati tuberkolosis, diare, dan disentri, sedangkan daun-daunnya dapat dimanfaatkan untuk mempercepat pematangan buah pepaya dan mangga. Tumbuhan ini memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai tanaman penghijauan. Sedangkan di Sulawesi Selatan kayu secang (Gambar 2) dibuat minuman seperti teh yang berkhasiat menguatkan lambung (Anonim, 2011a).

(25)

Kandungan Kimia Kayu Secang

Penyebaran metabolit sekunder pada tanaman sangat beragam baik dalam berbagai spesies maupun organ, maka pengumpulan bahan simplisia yang tidak teratur akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi kesehatan. Simplisia yang berasal dari bahan liar akan mempunyai variasi yang sangat tinggi dalam hal kandungan zat berkhasiatnya (Jokopriyambodo, 2003). Beberapa hasil penelitian mengenai komponen bioaktif tanaman rempah dan obat, termasuk secang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil-hasil penelitian dan pengembangan eksplorasi komponen bioaktif tanaman rempah dan obat

Jenis Tanaman Bentuk Produk Komponen Aktif Manfaat Kesehatan

Jahe -

* Sumber : Priatni dan Tatik (2007)

(26)

tuberkulosis, desentri, analgetik, penyakit kulit, desinfektan, tonikum dan rematik. Pada umumnya penggunaan kayu secang sebagai obat dengan cara menyeduh, sehingga kemungkinan bahan aktifnya dapat larut dalam air (Sundari et al. 1995).

Hasil penelitian Safitri (2000) dalam Priatni dan Tatik (2007) diketahui bahwa bagian kayu secang memiliki daya peredaman radikal bebas superoksida dan aktivitas antioksidan sebesar 100%. Studi juga mengungkapkan terdapat lima senyawa aktif yaitu saponin, fitosterol, brazilin, tannin, flavonoid dan diantaranya tidak hanya mampu meredam radikal superoksida, tetapi juga memberikan efek peredaman yang sangat berarti terhadap radikal hidroksil yang lebih reaktif dan berbahaya. Zat antioksidan yang terdapat dalam tumbuhan ini bersifat labil bila serbuk kayu secang diseduh dengan air panas, hasil seduhannya lama kelamaan berubah warnanya menjadi semakin merah tua (Haryono, 1985).

Brazilin

Sanusi (1989) telah mengisolasi zat warna merah yang terkandung dalam kayu secang yang dikenal sebagai senyawa golongan brazilin. Brazilin

merupakan senyawa antioksidan yang mempunyai katekol dalam struktur kimianya. Berdasarkan aktivitas antioksidannya, brazilin diharapkan mempunyai

efek melindungi tubuh dari keracunan akibat radikal kimia. Selanjutnya Lim et al. (1997) membuktikan bahwa indeks antioksidatif dari ekstrak kayu

secang lebih tinggi daripada antioksidan komersial. Penelitian lain

mengungkapkan bahwa brazilin diduga mempunyai efek anti-inflamasi (Sukria, 1993 dalam Sundari et al. 1998).

Senyawa brazilin hanya terdapat pada tanaman brazilwood atau

Caesalpinia sp. Brazilin mempunyai aktivitas farmakologis seperti proteksi hati, antikonvulsan, antiinflamasi, antibakteri, antioksidan, antivirus,

ancomplementary, penghambat xantin oksidase, penghambat aldose reduktase, proteksi otak (Zhao et al. 2008 dalam Hangoluan, 2011), dan yang terakhir diteliti adalah sebagai anti jerawat. Senyawa ini merupakan komponen utama dan merupakan senyawa penciri dari kayu secang (Batubara et al. 2010).

Brazilin (C16H14O5) merupakan kristal berwarna kuning, akan tetapi jika

(27)

pada Gambar 3. Brazilin memiliki warna kuning sulfur jika dalam bentuk murni, dapat dikristalkan, larut air, jernih mendekati tidak berwarna dan berasa manis. Asam tidak berpengaruh terhadap larutan brazilin, tetapi alkali dapat membuatnya berwarna merah. Eter dan alkohol menimbulkan warna kuning pucat terhadap larutan brazilin. Brazilin akan cepat membentuk warna merah jika terkena sinar matahari. Terjadinya warna merah ini disebabkan oleh terbentuknya brazilein (C6H12O5) (Kim et al. 1997 dalam Holinesti, 2007).

Gambar 3 Struktur kimia (a) brazilin dan (b) brazilein (Sumber :http://edhisambada.wordpress.com)

Brazilin termasuk ke dalam golongan flavonoid sebagai isoflavonoid. Pengujian terhadap ekstrak kayu secang untuk mengetahui keberadaan senyawa flavonoid dilakukan dengan cara menambahkan etanol 80% dan asam klorida pekat dan ternyata memberikan hasil positif dengan munculnya warna kuning kemerahan yang berarti ekstrak tersebut mengandung senyawa golongan flavonoid (Suhartati, 1983).

Kayu secang telah digunakan sebagai komponen dalam ramuan untuk pencegahan dan perawatan komplikasi diabetes dalam obat tradisional Korea dan Cina. Kandungan brazilin dalam kayu secang diketahui merupakan salah satu inhibitor dari aldose reduktase. Aldosa reduktase merupakan enzim pertama dalam jalur Polyol yang mereduksi D-glukosa menjadi D-Sorbitol dengan konversi NADPH dan NADP+ (Gambar 4). Jalur Polyol ini diduga memiliki peran penting dalam perkembangan komplikasi degeneratif dari diabetes (De La Fuente et al. 2003 dalam Wicaksono et al. 2008).

(28)

Glukosa Sorbitol Fruktosa

Gambar 4 Jalur Polyol

Telah dilaporkan juga bahwa Caesalpin P, sappanchalcone, 3-deoxysappanone, brazilin dan protosappanin yang merupakan konstituen

dari kayu secang, dapat berfungsi sebagai inhibitor aldose reduktase. Senyawa-senyawa yang disebutkan di atas juga dilaporkan mampu memperbaiki

fungsi dari sel beta dari pulau-pulau Langerhans di pankreas yang berfungsi dalam produksi insulin (Li WL et al. 2004 dalam Wicaksono et al. 2008). Selain itu, brazilin yang memberikan warna merah ketika teroksidasi (membentuk brazilein), merupakan salah satu komponen penting dari kayu secang yang berguna untuk memperlancar peredaran darah, dan telah terbukti secara in vitro dapat menginduksi vasorelaksasi (Hu DM et al. 2003 dalam

Wicaksono et al. 2008).

Brazilin memiliki banyak aktivitas, sehingga dapat dijadikan standar dalam kontrol kualitas kayu secang. Untuk memenuhi kontrol kualitas kayu secang berdasarkan senyawa penciri, digunakan brazilin (Hangoluan, 2011).

Pembuatan Simplisia Kayu Secang (Sappan Lignum)

Simplisia sebagai bahan baku obat tradisional sangat berperan dalam

kaitannya dengan mutu suatu produk. Rendahnya kualitas simplisia tanaman obat lebih banyak disebabkan pada saat penanganan pasca panen, proses pengeringan bahan dan kondisi penyimpanan. Simplisia tanaman obat yang telah terkontaminasi bakteri dan kapang dapat terbawa sampai pada produk olahannya yang kemungkinan dapat menyebabkan rusaknya komponen kimia yang berkhasiat dan dapat juga menghasilkan toksin yang sangat membahayakan kesehatan (Chosdu et al. dalam Katno, 1999).

Pada umumnya pembuatan simplisia melalui tahapan seperti berikut: pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian, perajangan, sortasi kering, pengepakan, penyimpanan, dan pemeriksaan mutu. Kadar senyawa aktif dalam

Aldose reduktase Sorbitol dehidrogenase

(29)

suatu simplisia berbeda-beda antara lain tergantung pada: bagian tanaman yang digunakan, umur tanaman atau bagian tanaman pada saat panen, waktu panen, dan lingkungan tempat tumbuh (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985).

Panen

Panen merupakan salah satu rangkaian tahapan dalam proses budidaya tanaman obat. Waktu, cara pemanenan dan penanganan bahan setelah panen merupakan periode kritis yang sangat menentukan kualitas dan kuantitas hasil tanaman. Setiap jenis tanaman memiliki waktu dan cara panen yang berbeda. Begitu juga tanaman yang mengalami stres lingkungan akan memiliki waktu panen yang berbeda meskipun jenis tanamannya sama. Pemanenan kayu dilakukan setelah pada kayu terbentuk senyawa metabolit sekunder secara

maksimal. Umur panen tanaman berbeda-beda tergantung jenis tanaman dan kecepatan pembentukan metabolit sekundernya. Tanaman secang baru dapat dipanen setelah berumur 4 sampai 5 tahun, karena apabila dipanen terlalu

muda kandungan zat aktifnya seperti tanin dan sappan masih relatif sedikit (Sembiring, 2007).

Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentukan senyawa aktif di dalam bagian tanaman yang akan dipanen. Senyawa aktif terbentuk secara maksimal di dalam bagian tanaman pada umur tertentu. Di samping waktu panen yang dikaitkan dengan umur, perlu diperhatikan pula saat panen dalam sehari. Contoh, simplisia yang mengandung minyak atsiri lebih baik dipanen pada pagi hari. Dengan demikian untuk menentukan waktu panen dalam sehari perlu dipertimbangkan stabilitas kimiawi dan fisik senyawa aktif dalam simplisia terhadap panas sinar matahari. Panen dapat dilakukan dengan tangan, menggunakan alat atau menggunakan mesin. Alat atau mesin yang digunakan untuk memetik perlu dipilih yang sesuai. Alat yang terbuat dari logam sebaiknya tidak digunakan bila akan merusak senyawa aktif simplisia seperti fenol, glikosida, dan sebagainya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985).

(30)

Tabel 2 Bagian tanaman, cara pengumpulan, kadar air simplisia

No Bagian Tanaman Cara Pengumpulan Kadar Air Simplisia

1. dikelupas dengan ukuran panjang dan lebar tertentu; untuk kulit batang mengandung minyak atsiri atau golongan senyawa fenol digunakan alat pengelupas bukan logam.

Dari cabang, dipotong-potong dengan panjang tertentu dan diameter cabang tertentu.

Pucuk berbunga; dipetik dengan tangan (mengandung daun muda dan bunga).

Dari bawah permukaan tanah, dipotong-potong dengan ukuran tertentu.

Dicabut, dibersihkan dari akar; dipotong melintang dengan

Tanaman dicabut, bulbus dipisah dari daun dan akar dengan

* Sumber : Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985.

(31)

Pasca Panen

Beberapa proses pasca panen yang dilakukan dalam pembuatan simplisia menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1985) adalah sebagai berikut:

1. Penyortiran Basah

Penyortiran basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya pada simplisia yang terbuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang telah rusak, serta pengotor lainnya harus dibuang. Bahan nabati yang baik memiliki kandungan bahan organik asing tidak lebih dari 2%.

2. Pencucian

Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang melekat pada bahan simplisia menggunakan air bersih. Bahan simplisia yang mengandung zat yang mudah larut di dalam air yang mengalir, pencucian agar dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin. Pada simplisia batang dapat pula dilakukan pengupasan kulit luarnya untuk mengurangi jumlah mikroba awal karena sebagian besar jumlah mikroba. Bahan yang telah dikupas tersebut tidak memerlukan pencucian jika cara pengupasannya dilakukan tepat dan bersih.

3. Perajangan

(32)

Gambar 5 Berbagai bentuk simplisia kayu secang (Sappan Lignum) (Sumber: Materia Medika Indonesia, 1977)

Setelah dicuci, dibersihkan, dan dijemur, simplisia lalu dipotong-potong kecil ukuran 0,25-0,06 cm yang setara dengan ayakan 4/18 (tergantung jenis simplisia). Semakin tipis perajangan maka semakin cepat proses pengeringan kecuali tanaman yang mengandung minyak menguap, perajangan tidak boleh terlalu tipis karena menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat aktif. Sebaliknya bila perajangan terlalu tebal pengeringannya lama dan mudah berjamur (Ritrum Center, 2011).

4. Pengeringan

Pengeringan adalah suatu cara pengawetan atau pengolahan pada bahan dengan cara mengurangi kadar air, sehingga proses pembusukan dapat terhambat. Dengan demikian dapat dihasilkan simplisia terstandar, tidak mudah rusak dan tahan disimpan dalam waktu yang lama. Dalam proses ini, kadar air dan reaksi-reaksi zat aktif dalam bahan akan berkurang, sehingga suhu dan waktu pengeringan perlu diperhatikan. Pada umumnya suhu pengeringan adalah antara 40-600C dan hasil yang baik dari proses pengeringan adalah simplisia yang mengandung kadar air 10%. Di samping menggunakan sinar matahari langsung,

penjemuran juga dapat dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 40-500C. Kelebihan dari alat ini adalah waktu penjemuran lebih singkat yaitu

(33)

5. Penyortiran Kering

Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir pembuatan

simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor-pengotor lain yang

masih ada dan tertinggal pada simplisia kering. Proses ini dilakukan sebelum simplisia dibungkus untuk kemudian disimpan. Seperti halnya pada sortasi awal, sortasi di sini dapat dilakukan dengan atau secara mekanik. Setelah penyortiran, simplisia ditimbang untuk mengetahui rendemen hasil dari proses pasca panen yang dilakukan (Sembiring, 2007).

6. Pengemasan

Selama penyimpanan ada kemungkinan terjadi kerusakan pada simplisia yang dapat mengakibatkan pemunduran mutu, sehingga simplisia bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat yang diperlukan atau yang ditentukan. Oleh karena itu pada penyimpanan simplisia perlu diperhatikan beberapa hal yang dapat mengakibatkan kerusakan simplisia, yaitu cara pengepakan, pembungkusan dan pewadahan, persyaratan gudang simplisia, cara sortasi dan pemeriksaan mutu, serta cara pengawetannya. Untuk dapat disimpan dalam waktu lama, simplisia harus dikeringkan dahulu sampai kering, sehingga kandungan airnya tidak lagi dapat menyebabkan kerusakan yang merugikan.

7. Penyimpanan

Cara menyimpan simplisia dalam wadah yang kurang sesuai memungkinkan simplisia rusak karena dimakan kutu atau ngengat. Biasanya jenis serangga tertentu merusak jenis simplisia tertentu pula. Penyimpanan simplisia dapat dilakukan di ruang biasa (suhu kamar) ataupun di ruang ber AC. Ruang tempat penyimpanan harus bersih, udaranya cukup kering dan berventilasi. Ventilasi harus cukup baik karena hama menyukai udara yang lembab dan panas. Jadi sebelum disimpan pokok utama yang harus diperhatikan adalah cara penanganan yang tepat dan higienis.

Teori Pengeringan Simplisia Kayu Secang (Sappan Lignum)

(34)

merupakan suatu langkah untuk mendapatkan bahan simplisia yang penggunaannya masih ditangguhkan. Pengeringan dapat dilakukan secara alamiah

(sinar matahari dan diangin-anginkan pada ruangan terbuka) dan buatan (dengan oven) (Sutjipto, 1995).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas permukaan bahan. Pada pengeringan bahan simplisia tidak dianjurkan menggunakan alat dari plastik. Selama proses pengeringan bahan simplisia, faktor-faktor tersebut harus diperhatikan sehingga diperoleh simplisia kering yang tidak mudah mengalami kerusakan selama penyimpanan. Suhu pengeringan tergantung kepada bahan simplisia dan cara pengeringannya. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 30oC sampai 90oC, tetapi suhu yang terbaik adalah tidak melebihi 60oC (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985).

Ada beberapa sifat kayu yang diduga mempunyai hubungan erat dengan sifat pengeringannya. Pengeringan kayu terutama dipengaruhi oleh kerapatan, ukuran dan frekuensi jari-jari kayu. Ada kecenderungan yang kuat bahwa kayu yang berat atau berkerapatan tinggi akan mengering lebih lambat dan sehubungan

dengan cacat-cacat pengeringan lebih problematis dibanding dengan kayu yang ringan. Karena itu pada pengeringan kayu yang berat digunakan bagan

pengeringan yang lunak (suhu dan gradient pengeringan yang rendah) (Budiarso, 1997).

(35)

kadar air. Kayu yang terletak di pinggir tumpukan mempunyai kadar air yang lebih rendah daripada kayu yang terletak di tengah tumpukan karena kayu-kayu yang terletak di pinggir tumpukan relatif lebih mudah mengering akibat berhubungan langsung dengan udara luar.

Gradient pengeringan (GP) adalah bilangan yang menyatakan tingkat kekerasan dari suatu proses pengeringan dan merupakan perbandingan antara kadar air kayu saat itu terhadap kadar air keseimbangan yang telah ditentukan pada saat yang sama. Makin besar nilai GP makin keras proses pengeringan. Setiap potong kayu baik dari jenis yang berbeda maupun dari jenis yang sama mempunyai penurunan kadar air yang berbeda, artinya mempunyai kecepatan pengeringan atau kemampuan yang berbeda untuk menyesuaikan dengan kadar air keseimbangan yang diatur pada setiap tahapan proses pengeringan buatan. Ada beberapa faktor menurut Sukaton (1999) yang menyebabkan hal tersebut terjadi yaitu: (1) kayu berasal dari jenis kayu yang berbeda atau dari jenis yang sama dan berasal dari pohon atau bagian batang yang berbeda, mempunyai perbedaan dalam banyak hal seperti kerapatan, kandungan komponen kimia (misalnya kandungan zat ekstraktif) dan struktur anatomi kayunya dan (2) kayu yang dikeringkan kemungkinan mempunyai pola penggergajian yang berbeda.

Perbedaan nilai rataan kadar air akhir dan gradient kadar air juga tampak pada jenis kayu yang sama dengan tebal berbeda. Hal ini karena pada kondisi yang sama, air pada kayu yang tebal memerlukan waktu yang lebih lama untuk bergerak dari dalam ke permukaan kayu daripada kayu yang lebih tipis. Sehingga kayu yang tipis akan cepat menyesuaikan diri dengan kondisi iklim (kadar air keseimbangan), sementara pada saat yang sama kayu yang tebal kadar air rataannya masih jauh di atas kadar keseimbangan (Sukaton, 1999).

(36)

Pemutuan Simplisia Kayu Secang (Sappan Lignum)

Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan pada waktu penerimaan atau pembeliannya dari pengumpul/pedagang simplisia. Simplisia yang diterima harus berupa simplisia murni dan memenuhi persyaratan umum. Agar selalu diperoleh simplisia dengan mutu yang baik, sebaiknya disediakan contoh untuk tiap-tiap simplisia dengan mutu yang pasti dan memenuhi persyaratan yang dapat digunakan sebagai simplisia pembanding. Contoh simplisia pembanding tersebut disimpan secara khusus agar mutunya terjaga, dan tiap jangka waktu tertentu diperiksa kembali mutunya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985).

Dalam perdagangan tidak selalu mungkin untuk memperoleh simplisia tercantum di buku Materia Medika Indonesia Jilid I terbitan Departemen Kesehatan Republik Indonesia terdapat pada Tabel 3.

Tabel 3 Standar mutu simplisia kayu secang (Sappan Lignum)

Parameter Standar

Kadar air Kadar abu

Kadar abu yang tidak larut dalam asam Kadar sari yang larut dalam air

Kadar sari yang larut dalam etanol Bahan organik asing

(37)

memenuhi syarat baku tersebut. Syarat baku yang tertera dalam Materia Medika Indonesia berlaku untuk simplisia yang akan dipergunakan untuk keperluan pengobatan, tetapi tidak berlaku bagi bahan yang dipergunakan untuk keperluan lain yang dijual dengan nama yang sama (Materia Medika Indonesia, 1977).

Response Surface Methods

Optimasi bertujuan meminimumkan usaha yang diperlukan atau biaya operasional dan memaksimumkan hasil yang diinginkan. Jika usaha yang diperlukan atau hasil yang diharapkan dapat dinyatakan sebagai fungsi dari sebuah keputusan, maka optimasi dapat didefinisikan sebagai proses pencapaian kondisi maksimum atau minimum dari fungsi tersebut. Optimasi pada salah satu atau seluruh aspek produk adalah tujuan dalam pengembangan produk. Hasil evaluasi sensori sering digunakan dalam menentukan apakah produk optimum

yang telah dikembangkan adalah benar (Ma’arif et al. 1989).

Design Expert 8.0® merupakan piranti lunak yang menyediakan rancangan percobaan (design of experiment) untuk melakukan optimasi rancangan produk dan proses. Menurut Anonim (2006), program komputer ini memberikan beberapa rancangan statistik yang digunakan di dalam proses optimasi seperti:

a. Factorial design, digunakan untuk mengidentifikasi faktor vital yang mempengaruhi proses dan pembuatan produk di dalam percobaan sehingga dapat memberikan peningkatan.

b. Response surface methods, digunakan untuk menentukan proses yang paling optimal sehingga diperoleh hasil yang paling optimum.

c. Mixture design techniques, digunakan untuk menentukan formula yang optimal di dalam formulasi produk.

d. Combined designs (combine process variables, mixture components, and categorical factors) digunakan untuk penentuan optimasi proses dan formulasi di dalam pembuatan produk.

(38)

ditentuan nilai αout yang menjadi pembatas. Jika komponen dianggap tidak

signifikan berdasarkan nilai αout yang telah ditentukan, maka komponen tersebut

akan dihilangkan dari model.

Reduksi model dapat dilakukan dengan berbagai cara. Tiga tipe reduksi model yang paling mendasar yaitu:

a. Step-wise regression: kombinasi dari forward dan backward regressions. Komponen ditambahkan, dihilangkan, atau diganti dalam setiap langkah reduksi model.

b. Backward elimination: komponen dihilangkan dalam setiap langkah reduksi model.

c. Forward selection: komponen ditambahkan dalam setiap langkah reduksi model.

Metode backward elimination dianggap sebagai pilihan yang terbaik dalam melakukan reduksi model algortima karena semua komponen dalam model akan diberikan kesempatan untuk diikutkan di dalam model. Metode step-wise dan

forward selection dilakukan dengan menggunakan model inti minimal sehingga beberapa komponen tidak pernah diikutkan dalam model.

Secang Celup

(39)

Teh celup ini biasanya dibuat dari pencampuan antara dua komponen yaitu komponen pengisi dan komponen utama. Komponen utama merupakan teh bermutu baik dari jenis peco fanning (daun pucuk ditambah 2 daun di bawahnya) atau orange peco (daun pucuk ditambah satu daun di bawahnya). Mutu bahan utama ini menentukan kekuatan seduhan yaitu warna coklat cerah khas teh,

sedangkan komponen pengisi berasal dari teh bermutu rendah seperti dust (teh hitam yang dihasilkan dari daun teh yang tua dan mengandung hancuran

(40)

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 sampai April 2012 dan tempat pelaksanaan sebagai berikut:

1. Studi Lapangan di Kabupaten Gowa (Desa Lonjo’boko, Kecamatan

Parangloe) dan Kabupaten Takalar (Desa Ko’mara, Kecamatan Polongbangkeng Utara), Sulawesi Selatan.

2. Laboratorium Pindah Panas dan Massa dan Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Bogor.

3. Pusat Studi Biofarmaka, Kampus IPB Taman Kencana.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) yang tumbuh liar dan diperoleh dari Kabupaten Gowa (Desa Lonjo’boko) dan Kabupaten Takalar (Desa Ko’mara), Sulawesi Selatan. Sedangkan, bahan pendukung yang digunakan untuk analisa kimia adalah ethanol, larutan kloroform, aquades, alkohol, asam asetat glasial, asam borat, asam oksalat, dan lain-lain.

Alat utama yang digunakan adalah software program Design Expert 8.0®,

mesin pengering berakuisisi, oven drying, parang, dan HPLC. Sedangkan alat

pendukung yang digunakan adalah sebagai berikut : 1) timbangan digital, 2) desikator, 3) cawan aluminium, 4) seperangkat komputer, 5) refrigerator, 6) desikator, 7) pH meter, 8) cawan porselen, 9) labu ukur, 10) erlenmeyer, 11)

alat destilasi, 12) pipet, 13) spatula, 14) gelas piala, 15) tanur listrik, 16) wadah, 17) kertas saring, dan lain-lain.

Prinsip Kerja Mesin Pengering Berakuisisi

(41)

dapat dikontrol sesuai kebutuhan. Udara panas berasal dari elemen listrik yang berada pada ruang heating unit dan berkapasitas 2000 W. Sedangkan untuk kontrol RH digunakan humidifier yang berupa pembangkit steam dengan cara memanaskan air dalam ruang humidifier. Pemanasan air ini menggunakan heater

listrik dengan kapasitas 2000 W. Udara panas yang basah dari ruang air heater

akan didorong oleh blower ke dalam ruang terkondisi. Kecepatan udara yang masuk dalam ruang terkondisi dapat diatur dengan menarik atau memundurkan tuas pada bagian flow controller.

Gambar 6 Diagram alir mesin pengering berakuisisi

Untuk mencapai dan menjaga kondisi ruangan agar sesuai dengan setpoint, diimplementasikan dua buah subsistem kontrol yang independent yaitu kontrol suhu dan kontrol RH.

Kontrol suhu menggunakan algoritma PID ( proportional-integral-derivative) yang dalam mengambil keputusan aksi kontrol mempertimbangkan:

1. P : selisih antara kondisi aktual dan setpoint (error) 2. I : jumlah dari selisih antara kondisi aktual dan setpoint

3. D : kecepatan perubahan kondisi

Subsistem pengontrol suhu akan mengeluarkan perintah on/off untuk

heater sesuai perhitungan berdasarkan algoritma PID tersebut. Kontrol RH mengunakan algortima PD (proportional-derivative). Subsistem pengontrol RH

Microprosessor

Controller Humidifier

Electrical Fan

Heating Unit

Airflow Regulator

PC Drying

Chamber

(42)

akan mengeluarkan perintah ke steamer untuk on/off sesuai dengan hasil formula PD tersebut. Penimbangan massa bahan dilakukan secara otomatis oleh mesin. Selang waktu penimbangan dapat diatur sesuai kebutuhan. Pada saat penimbangan, blower akan mati sehingga tidak ada udara yang masuk ke ruang pengering. Data hasil penimbangan akan langsung terekam (terakuisisi).

Cara Pengoperasian Mesin Pengering Berakuisisi

1. Nyalakan saklar

2. Masukkan wadah dan zero-kan timbangan

3. Atur suhu, RH, dan selang waktu penimbangan yang diinginkan 4. Nyalakan blower dengan memilih menu CTRH = 1

5. Masukkan wadah dan bahan saat suhu dan RH sesuai dengan pengaturan 6. Mulai pengukuran dengan memilih menu: START

7. Hentikan pengukuran ketika massa bahan sesuai dengan Berat Kering Tanur (BKT) estimasi dengan memilih menu: STOP PERCOBAAN

8. Matikan blower dengan memilih menu: CTRH = 0 9. Matikan saklar

Metode Penelitian

Penelitian ini secara garis besar dibagi menjadi tiga tahap yaitu:

Penelitian Tahap I

Penelitian tahap I ini dilakukan untuk mengetahui kandungan brazilin optimum yang terdapat pada sampel kayu secang dengan 3 jenis potongan berbeda. Sampel diambil dari dataran tinggi (Desa Lonjo’boko, Kabupaten Gowa)

dan dataran rendah (Desa Ko’mara, Kabupaten Takalar). Diagram alir penelitian

tahap I dapat dilihat pada Gambar 8.

Pemanenan Kayu Secang

(43)

Penanganan Pasca Panen Kayu Secang

Langkah selanjutnya adalah menghilangkan duri, kulit luar dan lapisan

cambium (bagian kayu yang berwarna keputih-putihan) sehingga diperoleh bagian kayu secang yang berwarna merah (inti kayu) seperti yang terlihat pada Gambar 7. Dilakukan sortasi basah pada kayu teras yang diperoleh, kemudian dicuci, ditiriskan. Kemudian dirajang menjadi beberapa bentuk yaitu: (1) stick dengan panjang ± 5 cm, (2) gelondongan kayu teras secang, dan (3) serutan. Jika belum digunakan, kayu secang kemudian disimpan di dalam kemasan plastik berlubang pada suhu ruang.

Gambar 7 Bagian inti kayu secang sebagai bahan baku simplisia

Analisis Kadar Brazilin

Penelitian tahap I dilakukan untuk mengetahui kadar brazilin optimum dari setiap perlakuan penanganan pasca panen (perajangan) yang diberikan pada

kayu secang. Bentuk potongan dengan kadar brazilin optimum digunakan pada tahap penelitian selanjutnya yaitu optimasi proses pengeringan dengan

Design Expert 8.0®.

(44)

Gambar 8 Rancangan diagram alir penelitian tahap I (Analisis kandungan brazilin)

Tanaman Secang (Caesalpinia sappan L.)

Pemanenan Kayu Secang Dataran Tinggi (Kabupaten Gowa)

Pemanenan Kayu Secang Dataran Rendah (Kabupaten Takalar)

Mulai

Sampel Kayu Secang

Hilangkan duri, kulit luar, dan kambium

Bagian Teras Kayu Secang

Uji Kadar Brazilin

 Stick (± 5cm)

 Gelondongan

 Serutan

Bahan Baku Simplisia Kayu Secang

Sortasi Basah

Pencucian dan Penirisan

Perajangan

Simpan dalam kemasan plastik pada suhu ruang

hingga digunakan

(45)

Rancangan Percobaan

Penelitian tahap satu menggunakan Rancangan Acak Dua Faktor dengan 3 kali ulangan untuk melihat pengaruh faktor jenis dataran dan potongan terhadap kadar brazilin. Diolah menggunakan ANOVA dan Uji Duncan dengan bantuan program program SPSS V.17. Model linearnya adalah:

� = �+ + + �

Dimana,

� = Respon setiap kelompok yang diamati

� = Rataan umum

= Pengaruh jenis dataran = Pengaruh jenis potongan

� = Pengaruh galat percobaan

Penelitian Tahap II

Penelitian tahap II ini menggunakan hasil dari penelitian tahap I yaitu bentuk perajangan dengan kadar brazilin optimum sebagai running

dalam pelaksanaan optimasi proses pengeringan dengan piranti lunak

Design Expert 8.0®. Diagram alir penelitian tahap II dapat dilihat pada Gambar 9. Tahapan dalam penelitian ini yaitu:

Pembuatan Rancangan Proses dan Respon dengan Program

Design Expert 8.0®

Setelah didapatkan bahan baku simplisia kayu secang yang memiliki kadar brazilin optimum, penelitian dilanjutkan dengan tahapan pembuatan rancangan proses dan respon dengan menggunakan piranti lunak Design Expert 8.0®. Tahap ini diawali dengan penetapan perlakuan-perlakuan pengeringan yang digunakan

sebagai variabel berubah yang akan dimasukkan ke dalam pengaturan rancangan proses karena nilainya yang berubah pada setiap rancangan perlakuan proses

pengeringan. Variabel berubah adalah perlakuan-perlakuan pengeringan terhadap respon yang dihasilkan pada masing-masing rancangan perlakuan proses

pengeringan kayu secang menjadi simplisia kayu secang (Sappan Lignum). Oleh karena itu, nilai variabel berubah akan berbeda-beda pada setiap rancangan

(46)

Penentuan variabel berubah kemudian diikuti dengan penentuan kisaran minimum dan maksimum dari perlakuan pengeringan yaitu suhu pengeringan

(40-600C), kecepatan aliran udara (0,78-0,95m/s), dan kelembaban relatif (30-60%). Batas-batas ini akan menjadi input dalam pengaturan rancangan proses oleh program Design Expert 8.0® untuk mencari rancangan proses dari setiap perlakuan pengeringan sehingga dihasilkan output berupa rancangan perlakuan pengeringan.

Perlakuan Pengeringan

Perlakuan pengeringan dalam pembuatan simplisia kayu secang meliputi suhu pengeringan, kecepatan aliran udara, dan kelembaban relatif. Proses pengeringan dilakukan sampai mencapai kadar air yang diharapkan yaitu 8-10%. Kemudian seluruh rancangan perlakuan proses pengeringan yang dibuat, diukur responnya dengan melakukan analisis kimia dan fisik yang telah ditentukan.

Total rancangan perlakuan proses pengeringan yang dihasilkan oleh program Design Expert 8.0® yang akan diukur variabel responnya yaitu sebanyak lima belas perlakuan (Tabel 4).

(47)

Analisis Kimia dan Fisik

Seluruh rancangan perlakuan proses pengeringan yang telah dibuat kemudian diukur responnya dengan melakukan analisis kimia dan fisik, yang terdiri dari: (1) kadar brazilin, (2) susut pengeringan, (3) warna (L dan oHue), dan (4) lama pengeringan. Hasil pengukuran dan perhitungan dari keseluruhan respon kemudian akan dimasukkan ke dalam program Design Expert 8.0® untuk selanjutnya dianalisis.

Analisis Respon

Setelah dilakukan pengukuran respon dari setiap rancangan perlakuan proses pengeringan, dilakukan input data hasil pengukuran tersebut dalam program Design Expert 8.0®. Hasil input data dari masing-masing respon dari seluruh rancangan selanjutnya akan dianalisis oleh program Design Expert 8.0®. Pada tahapan analisis respon ini, program Design Expert 8.0® memberikan model polinomial yang sesuai dengan hasil pengukuran setiap respon. Respon yang

dianalisis antara lain nilai kadar brazilin, susut pengeringan, uji warna (L dan oHue), dan lama pengeringan.

Program Design Expert 8.0® memberikan empat pilihan model polinomial untuk setiap respon, yaitu mean, linear, quadratic, dan cubic. Terdapat tiga tahap untuk mendapatkan persamaan polinomial, yaitu berdasarkan sequential model sum of squares [Tipe I], lack of fit test, dan model summary statistics. Kemudian

partial sum of squares [Tipe III] akan memilih ordo tertinggi persamaan polinomial dari suatu variabel respon yang dianalisis ragamnya masih memberikan hasil yang berbeda nyata. Lack of fit test akan memilih ordo persamaan polinomial tertinggi yang memberikan hasil tidak berbeda nyata dilihat dari segi penyimpangan responnya. Model summary statistic akan memilih ordo persamaan polinomial yang memberikan nilai “Adjusted R-squared” dan “Prediction R-squared” maksimum.

(48)

sebagai model prediksi karena variabel uji memberikan pengaruh yang signifikan terhadap respon rancangan perlakuan proses pengeringan tersebut.

Selanjutnya, model yang dianggap paling sesuai tersebut akan ditampilkan di dalam sebuah contour plot berupa grafik dua dimensi (2-D) atau tiga dimensi (3-D). Selain itu, program Design Expert 8.0® juga memberikan grafik plot kenormalan residual (normal plot residual) yang mengindikasikan apakah residual (selisih atau perbedaan antara respon aktual dengan yang diprediksikan untuk setiap respon) mengikuti garis kenormalan (garis lurus).

Optimasi Proses

Hasil analisis dari setiap respon kemudian digunakan untuk melakukan optimasi proses dengan program Design Expert 8.0®. Proses optimasi dilakukan untuk mendapat suatu rancangan perlakuan proses pengeringan yang menghasilkan respon optimal sesuai target optimasi yang diinginkan. Nilai target optimasi yang dapat dicapai dikenal dengan istilah nilai desirability yang ditunjukkan dengan nilai 0-1. Semakin tinggi nilai desirability menunjukkan semakin tingginya kesesuaian rancangan perlakuan proses pengeringan yang didapatkan untuk mencapai rancangan optimal dengan variabel respon yang dikehendaki.

(49)

Gambar 9 Rancangan diagram alir penelitian tahap II (Optimasi proses pengeringan dengan Design Expert 8.0®)

Pengeringan

Pembuatan Rancangan Proses dan Penentuan Respon

Mulai

Sortasi Kering Suhu pengeringan

(40-600C)

Kecepatan Aliran Udara (0,78-0,95 m/s)

Kelembaban Relatif (RH) (30-60 %)

15 Perlakuan Proses Pengeringan

Selesai

Tidak

Solusi Proses Optimum

Ya

Analisis Respon

Optimasi Proses Model Signifikan

Lack of fit = tidak

signifikan

Adj&Pred R-Squ = positif

Adeq Precision > 4

Susut Pengeringan

Uji

Kadar Brazilin Uji Warna

Lama Pengeringan

(50)

Penelitian Tahap III

Pembuatan Produk Secang Celup

Produk secang celup dibuat dari simplisia kayu secang (Sappan Lignum). Sebagai pembanding dibuat juga produk secang celup dari kayu segar hasil pemanenan. Pada penelitian ini, tidak digunakan bahan tambahan seperti pada produk-produk secang celup yang ada di pasaran. Hal ini dilakukan karena mengadopsi kearifan lokal masyarakat Sulawesi Selatan yang mengkonsumsi secang murni tanpa bahan tambahan lainnya.

Tahap awal yaitu bahan baku dipotong-potong dan dihaluskan dengan

cutting mill hingga menjadi serbuk. Sampel ditimbang seberat 2 gram untuk kemudian dikemas dengan tea bag. Diagram alir penelitian tahap III dapat dilihat pada Gambar 10.

Uji Kesukaan (Hedonic test)

Produk secang celup yang dihasilkan kemudian dimasukkan pada tahapan uji organoleptik dengan metode uji kesukaan (hedonic test) terhadap 30 panelis tidak terlatih. Para panelis tersebut diberikan formulir pengujian (Lampiran 16), kemudian diminta tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya (ketidaksukaan). Di samping panelis mengemukakan tanggapan senang, suka atau kebalikannya, mereka juga mengemukakan tingkat kesukaannya dalam skala hedonik. Skor penerimaan relatif juga dapat menunjukkan kesukaan, contoh dengan skor tertinggi berarti yang lebih disukai. Hasil yang paling baik diperoleh dari skala yang seimbang, yaitu yang jumlahnya ganjil (Setyaningsih et al. 2010).

Skala uji kesukaan yang digunakan untuk produk secang celup adalah sebagai berikut:

(51)

Rancangan Percobaan

Penelitian tahap tiga menggunakan Rancangan Blok Acak Lengkap. Diolah menggunakan ANOVA dan Uji Duncan dengan bantuan program komputer SPSS V.17.

Gambar 10 Rancangan diagram alir penelitian tahap III (Uji penerimaan terhadap produk secang celup)

Uji Organoleptik (Hedonic test)

Serbuk Dipotong-potong lalu dihaluskan dengan Cutting mill

Ditimbang ± 2 gram

Dikemas dalam tea bag

Pengepresan dengan Alat Pengemas Teh Celup

Secang Celup

Selesai

Bahan Baku Simplisia kayu secang

(Hasil Tahap II) Bahan Baku

Kayu secang segar (Hasil Tahap I)

(52)

Metode Analisis

1. Penetapan Kadar Air dan Berat Kering Tanur

Sampel yang sudah ditimbang berat basahnya (Bb), dipotong dengan ukuran panjang 2 cm dan lebar 2 cm (British Standard, 1957). Kemudian sampel dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 103 ± 2oC selama 72 jam. Setelah dioven, sampel didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang hingga mencapai berat konstan. Pengukuran dilakukan sebanyak 2 kali ulangan pada setiap perlakuan proses pengeringan. Rincian metode kering tanur ini diterangkan di dalam ASTM (American Society for Testing and Materials) D2016. Untuk kadar air dan berat kering tanur (Bkt) dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Ka (% bk) = � −���

��� � 100%

Bkt = � ℎ 1+(% � /100)

2. Penetapan Kadar Brazilin (Batubara et al. 2010)

Sebanyak 10 gram sampel dalam bentuk serbuk diekstrak dengan 50% ethanol (100 ml) selama 12 jam pada suhu ruang. Proses ini diulang sebanyak 3 kali. Ekstrak yang diperoleh kemudian disaring menggunakan kertas saring

Gambar

Tabel 2 Bagian tanaman, cara pengumpulan, kadar air simplisia
Gambar 5  Berbagai bentuk simplisia kayu secang (Sappan Lignum)
Gambar 6  Diagram alir mesin pengering berakuisisi
Gambar 8 Rancangan diagram alir penelitian tahap I
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan adanya kecenderungan bahwa dari ketiga macam zeolit yang digunakan pada proses dehidrasi etanol, zeolit yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode pengeringan (penyangraian dan pengovenan) terhadap kualitas terasi instan udang rebon yang dihasilkan dilihat dari

Asam valerat yang terbentuk pada reaktor anaerob tanpa dan dengan pengendalian pH diduga berasal dari degradasi asam amino (pepton) oleh bakteri penghasil propionat dan

Terdapat kemiripan kandungan isotop karbon dan oksigen pada kayu Jati yang berasal dari Jawa Tengah dengan Jawa Timur, kecuali dari Kendal yang lebih mirip dengan

Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui kandungan total fenol, total antosianin serta penghambatan enzim α-glukosidase oleh ekstrak kasar antosianin dari ubi jalar