• Tidak ada hasil yang ditemukan

Design Process of Extraction and Natural Dye Powder Production from Swietenia mahagoni and its Application in Textile Dyeing

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Design Process of Extraction and Natural Dye Powder Production from Swietenia mahagoni and its Application in Textile Dyeing"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

REKAYASA PROSES EKSTRAKSI DAN PEMBUATAN

PEWARNA BUBUK ALAMI DARI MAHONI (

Swietenia mahagoni

)

DAN APLIKASINYA UNTUK PEWARNAAN TEKSTIL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Rekayasa Proses Ekstraksi dan Pembuatan Pewarna Bubuk Alami dari Mahoni (Swietenia mahagoni) dan Aplikasinya untuk Pewarnaan Tekstil adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Febrina Delvitasari

(4)
(5)

RINGKASAN

FEBRINA DELVITASARI. F351090081. Rekayasa Proses Ekstraksi dan Pembuatan Pewarna Bubuk Alami dari Mahoni (Swietenia mahagoni) dan Aplikasinya untuk Pewarnaan Tekstil. Dibimbing oleh ENDANG GUMBIRA-SA’ID dan KHASWAR SYAMSU.

Penggunaan pewarna alami merupakan alternatif untuk menghindari permasalahan yang ditimbulkan oleh pewarna sintetik. Mahoni merupakan salah satu tanaman penghasil zat warna. Kandungan senyawa aktif yang dimiliki kayu dan kulit kayu tanaman mahoni antara lain flavonoid dan tanin yang merupakan senyawa penghasil zat warna pada tanaman mahoni. Permasalahan yang ditemui dalam penggunaan pewarna alami adalah tidak tahan disimpan dalam waktu lama, warna kurang stabil serta proses pembuatan memerlukan waktu yang lama sehingga kurang praktis dalam penggunaannya sehingga dibutuhkan suatu bentuk sediaan bubuk pewarna siap pakai.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengekstrak zat warna alami dari kayu dan kulit kayu mahoni berdasarkan kondisi proses ekstraksi terbaik, menentukan karakterisasi bubuk pewarna alami dari mahoni yang dikeringkan menggunakan metode spray drying, dan mengaplikasikan pewarna alam yang diperoleh dalam pewarnaan tekstil. Ruang lingkup penelitian ini meliputi karakterisasi bahan baku berupa kayu dan kulit kayu mahoni, menentukan jenis pelarut (air, etanol, metanol, etil asetat) dan konsentrasi pelarut terbaik untuk mendapatkan zat warna dari mahoni, dan menentukan pengaruh jenis bahan pengisi (tanpa bahan pengisi, pengisi dekstrin 2% w/v, gum arab 2% w/v) terhadap karakteristik bubuk pewarna alami yang dihasilkan. Produk pewarna bubuk yang dihasilkan diaplikasikan pada pewarnaan tekstil (katun dan sutera) dengan menggunakan beberapa bahan fiksasi (tawas, kapur, ferosulfat) untuk mengkaji pengaruhnya terhadap warna kain yang dihasilkan serta perubahan warna akibat perlakuan pencucian dengan deterjen dan penjemuran di bawah sinar matahari.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa kulit kayu mahoni dan penggunaan pelarut metanol 50% menghasilkan total rendemen dan kadar tanin tertinggi. Perlakuan penggunaan bahan pengisi menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap total rendemen, kadar air, densitas kamba, kelarutan dalam air dan alkohol, dan stabilitas warna. Bubuk ekstrak mohoni menghasilkan rendemen dengan kisaran antara 3.58-10.36%, kadar air 6.57-7.23%, densitas kamba 0.051-0.118 g/ml, kelarutan dalam air 77.56-81.22%, kelarutan dalam alkohol 57.26-92.01%, oHue 50.30-52.83 (merah), dan stabilitas warna terbaik diperoleh pada perlakuan bahan pengisi gum arab. Pewarna bubuk ekstrak mahoni dengan berbagai jenis bahan pengisi dan jenis bahan fiksasi menghasilkan warna merah kuning sampai merah ungu pada aplikasi pewarnaan pada kain. Perlakuan yang memberikan rata-rata perubahan warna paling rendah pada pengujian pencucian dengan deterjen pada kain sutra adalah perlakuan bubuk pewarna dengan bahan pengisi gum arab dan bahan fiksasi kapur. Perlakuan yang memberikan rata-rata perubahan warna paling rendah pada kain katun adalah perlakuan bubuk pewarna dengan bahan pengisi gum arab dan bahan fiksasi tawas.

(6)
(7)

SUMMARY

FEBRINA DELVITASARI. F351090081. Design Process of Extraction and Natural Dye Powder Production from Swietenia mahagoni and its Application in Textile Dyeing. Supervised by ENDANG GUMBIRA-SA’ID and KHASWAR SYAMSU.

The use of natural dyes in textile dyeing is the best option to avoid the negative impact of the carcinogenic potential contamination from synthetic dyes.

Swietenia mahagoni is one of dye plant that have chemical coumpound as natural dye, such as flavonoid and tannin. Unfortunately, natural dye in Indonesia has not been widely available in the form of ready-made, such as powder form so can not be stored for a long time, the color is less stable and the process takes a long time so it is less practical in its use.

The aim of this study was to extract natural dyes from wood and bark of mahagony based on optimum conditions of extraction process, determine the effect of binder treatment to the characteristics of mahagony extract colouring powder using spray dryer, and application of the natural dye in textile dyeing. The scope of this study includes the characteristics of wood and bark of mahagony, determination of appropriate type of solution (water, ethanol, metanol, ethyl acetate), determination of concentration of solution to dissolve the dye contained in the mahagony, determination of effect of binder treatment (without binder, dextrin 2% w/v, arabic gum 2% w/v) to characteristics of mahagony extracted powder, and application of natural dye powder to cotton and silk fabric with different fixative agents (without a fixative agent, alum, calcium oxide and ferrosulfate) to determine their effects on the colour of fabrics and the colour fastness to washing and sun drying treatment.

The results showed that bark of mahagony and metanol solvent with concentration of 50% gave the best result on total yield and tannin content. Binder treatment had significant effect on the yield, moisture content, bulk dencity, water solubility, alcohol solubility, and colour stability. The mahagony extracted powders had the yield ranges between 3.38 – 10.36%, moisture content ranges between 6.57-7.23%, bulk density ranges between 0.051– 0.118 g/ml, solubility on water ranges between 77.56 – 81.22%, solubility on alcohol ranges between 57.26 – 92.01%, oHue ranges between 50.30 – 52.83 (red) and the best stability was found on the treatment with arabic gum binder. The fixative agents had significant effects on colour of cotton and silk fabric. Calcium oxide gave the highest colour fastness in silk fabric, while alum gave the highest result on colour fastness in cotton fabric toward washing treatment.

(8)
(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

REKAYASA PROSES EKSTRAKSI DAN PEMBUATAN

PEWARNA BUBUK ALAMI DARI MAHONI (

Swietenia mahagoni

)

DAN APLIKASINYA UNTUK PEWARNAAN TEKSTIL

FEBRINA DELVITASARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)
(14)

Judul Tesis : Rekayasa Proses Ekstraksi dan Pembuatan Pewarna Bubuk Alami dari Mahoni (Swietenia mahagoni) dan Aplikasinya untuk Pewarnaan Tekstil

Nama : Febrina Delvitasari NIM : F351090081

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Endang Gumbira-Sa’id, MADev Ketua

Prof Dr Ir Khaswar Syamsu, MScSt Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Teknologi Industri Pertanian

Dr Ir Machfud, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(15)
(16)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2011 ini ialah pewarna alami, dengan judul Rekayasa Proses Ekstraksi dan Pembuatan Pewarna Bubuk Alami dari Mahoni (Swietenia mahagoni) dan Aplikasinya untuk Pewarnaan Tekstil.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Endang Gumbira-Sa’id, MA.Dev dan Prof Dr Ir Khaswar Syamsu, MScSt selaku pembimbing yang telah memberikan pengetahuan, arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat; staf di di Laboratorium Teknologi Industri Pertanian IPB yang telah membantu selama penelitian serta rekan-rekan di Program Studi Teknologi Industri Pertanian angkatan 2009. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya .

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan guna menyempurnakan tulisan ini. Akhir kata penulis, mengucapkan banyak terima kasih dan semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

(17)
(18)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xix

DAFTAR GAMBAR xxi

DAFTAR LAMPIRAN xxiii

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

Hipotesis 4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Mahoni (Swietenia mahagoni Jack) 5

Ekstraksi Pewarna Alami 6

Bahan Pengisi 8

Pewarnaan Kain 10

3 METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu 12

Bahan dan Alat 12

Tata Laksana Penelitian 12

Prosedur Analisis Data 18

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakterisasi Kayu dan Kulit Kayu Mahoni 20

Penentuan Jenis Pelarut untuk Ekstraksi Zat Warna 22 Penentuan Konsentrasi Pelarut Terpilih dengan Pelarut Metanol-Air 24 Karakteristik Fisikokimia Bubuk Pewarna Ekstrak Kulit Kayu

Mahoni 26

Stabilitas Warna Pewarna Bubuk terhadap Pengaruh Fisik dan Kimia 33 Aplikasi Pewarna Bubuk Ekstrak Kulit Mahoni pada Pewarnaan

Kain 39

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 45

Saran 45

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(19)
(20)

DAFTAR TABEL

1 Senyawa aktif pada Swietenia sp. 6

2 Komposisi kimia kayu dan kulit kayu tanaman mahoni 20 3 Hasil analisis kualitatif senyawa fitokimia kayu dan kulit kayu

tanaman mahoni 21

4 Nilai rendemen dan kadar tanin ekstrak kering kayu dan kulit kayu

mahoni dengan variasi jenis pelarut 23

5 Nilai rendemen dan kadar tanin ekstrak kering kulit kayu mahoni

dengan variasi konsentrasi metanol 25

6 Data kromasitas bubuk pewarna ekstrak kulit kayu mahoni 27 7 Rata-rata kadar air bahan yang dikeringkan menggunakan spray dryer

serta kondisi operasinya 30

(21)
(22)

DAFTAR GAMBAR

1 Tanaman mahoni 5

2 Diagram skematik pengeringan dengan pengering semprot 7

3 Struktur kimia dekstrin 9

4 Struktur kimia gum arab 10

5 Struktur serat selulosa 11

6 Mekanisme reaksi tanin dengan serat selulosa 11 7 Diagram alir penentuan jenis pelarut untuk ekstraksi zat warna 13 8 Diagram alir penentuan konsentrasi optimum untuk ekstraksi

zat warna 14

9 Diagram alir pembuatan pewarna bubuk dari ekstrak mahoni 15

10 Diagram alir proses pewarnaan kain 17

11 Serbuk kayu mahoni (a), serbuk kulit kayu mahoni (b) 20 12 Bubuk pewarna ekstrak kulit kayu mahoni dengan perlakuan

penambahan bahan pengisi 27

13 Rendemen bubuk pewarna kulit mahoni terhadap variasi jenis

pengisi 29

14 Kadar air bubuk pewarna kulit mahoni terhadap variasi jenis

pengisi 30

15 Densitas kamba bubuk pewarna kulit mahoni terhadap variasi jenis

pengisi 31

16 Kelarutan dalam air bubuk pewarna kulit mahoni terhadap variasi

jenis pengisi 32

17 Kelarutan dalam alkohol bubuk pewarna kulit mahoni terhadap

variasi jenis pengisi 33

18 Stabilitas warna bubuk pewarna ekstrak kulit mahoni terhadap jenis

pengisi dan suhu pemanasan 34

19 Stabilitas warna bubuk pewarna ekstrak kulit mahoni terhadap suhu

dan lama pemanasan 34

20 Stabilitas warna ekstrak kulit mahoni terhadap penambahan

oksidator reduktor pada perlakuan penambahan pengisi 35 21 Stabilitas warna ekstrak kulit mahoni terhadap perubahan pH pada

perlakuan jenis bahan pengisi 37

22 Perubahan warna pH ekstrak kulit mahoni pada berbagai variasi pH

setelah penyimpanan 12 jam 38

23 Stabilitas warna ekstrak kulit mahoni terhadap perubahan pH pada

waktu penyimpanan 39

24 Aplikasi bubuk pewarna mahoni pada kain katun 41 25 Aplikasi bubuk pewarna mahoni pada kain sutra 42 26 Nilai ΔE kain katun dan kain sutera akibat pencucian menggunakan

deterjen 43

27 Nilai ΔE kain katun dan kain sutera akibat penjemuran

(23)
(24)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Prosedur analisis bahan baku dan produk 53

2 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai rendemen ekstrak

kulit dan kayu mahoni 59

3 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kadar tanin ekstrak kulit

dan kayu mahoni 60

4 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai rendemen ekstrak

kulit mahoni pada variasi konsentrasi pelarut metanol 61 5 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai kadar tanin ekstrak

kulit mahoni pada variasi konsentrasi pelarut metanol 62 6 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap

nilai kromasitas bubuk pewarna ekstrak kulit mahoni pada variasi bahan

pengisi 63

7 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai rendemen bubuk pewarna ekstrak kulit mahoni pada variasi jenis bahan pengisi 66 8 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai kadar air bubuk

pewarna ekstrak kulit mahoni pada variasi jenis bahan pengisi 67 9 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai densitas kamba

bubuk pewarnaekstrak kulit mahoni pada variasi jenis bahan pengisi 68 10 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai kelarutan dalam

alkohol bubuk pewarna ekstrak kulit mahoni pada variasi jenis bahan

pengisi 69

11 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap stabilitas warna bubuk

pewarna terhadap suhu dan lama pemanasan 70

12 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap stabilitas warna bubuk

pewarna terhadap oksidator reduktor 72

13 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap stabilitas warna bubuk

pewarna terhadap pH 73

14 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai OHue kain katun dan sutra yang diwarnai dengan pewarna bubuk ekstrak kulit mahoni pada berbagai bahan pengisi dan bahan fiksasi 75 15 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap

nilai ΔE kain katun dan sutra yang diberi perlakuan pencucian dengan

deterjen 78

16 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai ΔE kain katun dan sutra yang diberi perlakuan penjemuran di

(25)

ABSTRACT

FEBRINA DELVITASARI. Design Process of Extraction and Natural Dye Powder Production from Swietenia mahagoni and its Application in Textile Dyeing. Supervised by ENDANG GUMBIRA-SA’ID and KHASWAR SYAMSU.

The use of natural dyes in textile dyeing is the best option to avoid the negative impact of the carcinogenic potential contamination from synthetic dyes.

Swietenia mahagoni is one of dye plant that have chemical coumpound as natural dye, such as flavonoid and tannin. Unfortunately, natural dye in Indonesia has not been widely available in the form of ready-made, such as powder form so can not be stored for a long time, the color is less stable and the process takes a long time so it is less practical in its use.

The aim of this study was to extract natural dyes from wood and bark of mahagony based on optimum conditions of extraction process, determine the effect of binder treatment to the characteristics of mahagony extract colouring powder using spray dryer, and application of the natural dye in textile dyeing. The scope of this study includes the characteristics of wood and bark of mahagony, determination of appropriate type of solution (water, ethanol, metanol, ethyl acetate), determination of concentration of solution to dissolve the dye contained in the mahagony, determination of effect of binder treatment (without binder, dextrin 2% w/v, arabic gum 2% w/v) to characteristics of mahagony extracted powder, and application of natural dye powder to cotton and silk fabric with different fixative agents (without a fixative agent, alum, calcium oxide and ferrosulfate) to determine their effects on the colour of fabrics and the colour fastness to washing and sun drying treatment.

The results showed that bark of mahagony and metanol solvent with concentration of 50% gave the best result on total yield and tannin content. Binder treatment had significant effect on the yield, moisture content, bulk dencity, water solubility, alcohol solubility, and colour stability. The mahagony extracted powders had the yield ranges between 3.38 – 10.36%, moisture content ranges between 6.57-7.23%, bulk density ranges between 0.051– 0.118 g/ml, solubility on water ranges between 77.56 – 81.22%, solubility on alcohol ranges between 57.26 – 92.01%, oHue ranges between 50.30 – 52.83 (red) and the best stability was found on the treatment with arabic gum binder. The fixative agents had significant effects on colour of cotton and silk fabric. Calcium oxide gave the highest colour fastness in silk fabric, while alum gave the highest result on colour fastness in cotton fabric toward washing treatment.

(26)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pewarna alami telah banyak digunakan sebagai bahan pewarna makanan maupun nonpangan sejak zaman dahulu. Akan tetapi, penggunaannya semakin menurun seiring perkembangan pewarna sintesis yang berkembang pada pertengahan abad ke-19. Zat warna sintetis lebih baik dibandingkan dengan zat warna alami karena memiliki tingkat stabilitas yang tinggi, pilihan warnanya lebih bervariasi, penggunaannya jauh lebih mudah, hasil pewarnaan lebih cerah, tersedia untuk semua jenis serat dan pada umumnya tahan luntur (Samanta et al.

2009). Akan tetapi, produksi pewarna sintetis tergantung pada ketersediaan sumber minyak bumi (Sivaramakrishnan 2010; Kumar et al. 2011), proses pewarnaan dan penyempurnaannya menggunakan zat kimia yang berbahaya sehingga tidak ramah lingkungan (Sokolowska et al. 1994), dan bersifat toksik yang berbahaya bagi kesehatan seperti menyebabkan kanker dan kerusakan sistem imun (Bhaskar et al. 2006). Oleh karena itu, penggunaan pewarna alami dijadikan alternatif untuk mengatasi permasalahan yang ditimbulkan oleh pewarna sintetis tersebut.

Pewarna alami merupakan pewarna yang ramah bagi lingkungan maupun kesehatan karena kandungan komponen alaminya mempunyai nilai beban pencemaran yang relatif rendah, mudah terdegradasi secara biologis dan tidak beracun (Guinot et al. 2008; Ali et al. 2009) serta nilai tambah utama yaitu dapat diekstraksi dari alam, seperti ekstrak tumbuhan (Mirjailili et al. 2011), ekstrak antropoda dan invertebrata laut, ekstrak alga (Benoit 2005), dan dapat dihasilkan dari bakteri dan fungi. Penggunaan zat warna alami selain mempunyai kelebihan juga mempunyai kekurangan, seperti tidak tahan disimpan dalam waktu lama, warna kurang stabil, proses pembuatan memerlukan waktu yang lama sehingga kurang praktis dalam penggunaannya.

Potensi pemanfaatan pewarna alami sangat besar. Permintaan global untuk pewarna alam tiap tahun adalah sekitar 10.000 ton, yang setara dengan 1% dari kebutuhan atas pewarna sintetis dunia (Sivakumar et al. 2011). Pemanfaatan pewarna paling besar berasal dari industri tekstil, tinta, cat, dan plastik. Selain itu, standar lingkungan yang ketat yang diterapkan di banyak Negara untuk menghindari bahaya kesehatan yang berhubungan dengan pewarna sintetis yang digunakan dalam industri tekstil meningkatkan potensi pewarna alami di masa depan. Negara-negara Uni Eropa telah melarang penggunaan pewarna azo karena dapat terurai menjadi senyawa amina berbahaya yang menyebabkan kanker (UNCTAD 1999). Di Uni Eropa, budidaya bahan tanaman yang digunakan untuk pewarna alam sangat terbatas, terutama disebabkan biaya tenaga kerja yang tinggi dan keadaan iklim. Hal ini mengakibatkan wilayah Asia-Pasifik akan memimpin keuntungan dan meningkatkan pangsa pasar hingga setengah dari permintaan dunia pada tahun 2013 (Freedonia 2009).

(27)

2

mengkudu, dan sebagainya. Warna dari tumbuh-tumbuhan tersebut dapat dibangkitkan dengan menggunakan tawas, gula batu, tunjung, kapur tohor, cuka dan sebagainya (Sulasminingsih 2006).

Tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan dasar pewarna alami, banyak ditemui dan mudah tumbuh di Indonesia salah satunya adalah mahoni

(Swietenia mahagoni). Tanaman mahoni lebih banyak di tanam di Jawa yaitu mencapai 39.99 juta pohon atau sekitar 88.36 % dari total populasi pohon di Indonesia, sedangkan sisanya sekitar 5.27 juta pohon (11.64 %) berada di luar Jawa (BPS 2003). Kayu mahoni dikenal baik untuk vinir dekoratif dan kayu lapis. Selain itu, dapat digunakan untuk mebel, panil, perkapalan (kulit, rumah, geladak, lapisan dinding kedap air), balok percetakan, dan barang kerajinan seperti patung, ukiran, barang bubutan, dan sebagainya (Martawijaya et al. 1997). Konsumsi kayu mahoni yang cukup tinggi menyebabkan meningkatnya limbah kayu dan kulit kayu yang masih memiliki daya guna yang cukup tinggi, namun belum dimanfaatkan secara maksimal. Pemanfaatan limbah kulit kayu mahoni selama ini adalah sebagai pewarna alami pada pewarnaan kain. Menurut Tocharman (2008), kulit ekstrak mahoni menghasilkan warna coklat kekuning-kuningan yang tidak mudah luntur. Sulasminingsih (2006) menyatakan bahwa berdasarkan uji awal ekstrak kulit kayu mahoni terbukti dapat mewarnai katun. Proses ekstraksi menggunakan metode perebusan kulit kayu mahoni selama satu jam mulai dihitung pada saat suhu 100oC. Air hasil ekstraksi kemudian digunakan untuk mewarnai katun.

Penelitian yang dilakukan oleh Falah et al. (2008) menunjukkan bahwa serbuk batang mahoni mengandung senyawa bioaktif seperti katekin, epikatekin dan swietemakrofilanin. Menurut Suhesti et al. (2007), serbuk kulit kayu mahoni memiliki kandungan senyawa aktif berupa saponin, terpenoid dan flavonoid. Ningsih (2010) mengemukakan bahwa ekstrak kulit kayu mahoni juga mengandung senyawa tanin dan alkaloid. Flavonoid dan tanin merupakan senyawa yang menghasilkan zat warna pada tanaman mahoni. Teknik pengambilan zat warna alam dari suatu tanaman dilakukan dengan metode ekstraksi. Suheryanto et al. (2007) telah melakukan ekstraksi kulit kayu mahoni menggunakan metode ekstraksi rotavator dengan pelarut air dan menghasilkan perlakuan terbaik pada kondisi ekstraksi dengan perbandingan bahan dan pelarut adalah 1:10 serta suhu ekstraksi 60oC yang menghasilkan rendemen sebesar 2.31 %. Mardisadora (2010) juga melakukan ekstraksi kulit mahoni menggunakan metode rendam air panas pada suhu ekstraksi 100oC selama 4 jam dan menghasilkan nilai rendemen ekstrak air kulit mahoni sebesar 6.44 %. Menurut Harborne (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi adalah tipe persiapan sampel, suhu ekstraksi, kuantitas pelarut, dan tipe pelarut. Senyawa flavonoid dan tanin, diketahui sebagai senyawa penghasil zat warna pada tanaman mahoni, merupakan senyawa polar maka dapat larut dalam pelarut polar seperti metanol (MeOH), etanol (EtOH), butanol (BuOH), aseton, etil asetat, air atau pelarut polar lainnya. Dengan demikian, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai optimasi teknik ekstraksi berdasarkan pengaruh jenis pelarut lain dalam menghasilkan ekstrak zat warna dari tanaman mahoni.

(28)

3

Pembuatan bubuk pewarna dengan menggunakan alat spray dryer menghasilkan granula produk yang lebih seragam, memudahkan dalam hal penggunaan dan distribusi, serta mampu melindungi warna dengan lebih baik (Patel et al. 2009). Cairan ekstrak yang akan dikeringkan umumnya diberi bahan penstabil untuk menjaga kestabilan warnanya. Dekstrin dan gum arab memiliki fungsi sebagai pembawa bahan aktif seperti bahan flavor dan pewarna yang memiliki sifat mudah larut dalam air serta sebagai bahan pengisi karena dapat meningkatkan berat produk dalam bentuk bubuk (Gaonkar 1995). Penggunaan bahan pengisi dilakukan untuk melindungi suatu zat agar tetap tersimpan dalam keadaan baik dan melepaskan zat tersebut pada kondisi tertentu saat digunakan (Ariandy et al. 2011). Penelitian yang telah dilakukan oleh Purba (2003) menyatakan bahwa penggunaan bahan pengisi gum arab 2% (b/b) menghasilkan intensitas warna dan kelarutan dalam air yang paling tinggi.

Aplikasi pewarna alam mahoni terhadap tekstil perlu dilakukan pengkajian. Menurut Hasanudin (2001), pencelupan dengan zat warna alam terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut: (1) pelarutan zat warna; (2) premordanting; (3) pencelupan; dan (4) pembilasan atau pencucian. Syarat-syarat pencelupan yang baik, adalah: (1) ada keserasian antara serat dengan zat warna; (2) serat dalam keadaan murni; (3) perlu suasana larutan yang sesuai; (4) khususnya zat warna alam, warna perlu dibangkitkan. Bahan pembangkit zat warna yang biasa digunakan adalah tawas, kapur dan ferrosulfat. Prabu (2012) menyatakan bahwa kain katun dan sutra lebih reseptif terhadap mordan. Hal ini disebabkan sifat katun dan sutra yang bersifat amfoter yaitu dapat menyerap asam atau basa secara efektif. Penelitian yang dilakukan oleh Agriawati (2003) mengenai penggunaan gambir pada pencelupan kain kapas menghasilkan penggunaan pewarna 2,5% menghasilkan ketahanan warna terbaik.

Berdasarkan uraian di atas, diperlukan penelitian mengenai rekayasa proses ekstraksi pengambilan zat warna pada kayu dan kulit kayu mahoni menggunakan variasi jenis pelarut (air, metanol, etanol, etil asetat) dan variasi konsentrasinya (25%, 50%, 75%, 100%). Pembuatan bubuk pewarna alami mahoni dilakukan menggunakan spray dryer dengan perlakuan penambahan jenis pengisi (tanpa pengisi, dengan dekstrin 2% b/b, dengan gum arab 2% b/b). Karakterisasi produk yang diamati meliputi total rendemen produk, kadar tanin, kadar air, densitas kamba, kelarutan dalam air, kelarutan dalam alkohol, serta stabilitas bubuk pewarna terhadap perlakuan fisik dan kimia. Produk pewarna bubuk yang dihasilkan diaplikasikan pada pewarnaan tekstil (katun dan sutera) dengan menggunakan beberapa bahan fiksasi (tawas, kapur, ferrosulfat) untuk mengkaji pengaruhnya terhadap warna kain yang dihasilkan serta perubahan warna akibat perlakuan pencucian dengan deterjen dan penjemuran di bawah sinar matahari.

Tujuan Penelitian

(29)

4

bubuk yang dihasilkan serta mengaplikasikan pewarna bubuk yang dihasilkan pada pewarnaan tekstil.

Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendapatkan kondisi proses ekstraksi zat pewarna alami dari bagian tanaman mahoni yang menghasilkan zat warna terbaik.

2. Membuktikan bahwa jenis bahan pengisi pada proses pembentukan bubuk pewarna ekstrak bagian tanaman mahoni berpengaruh terhadap karakteristik fisikokimia dan meningkatkan stabilitas warna bubuk pewarna.

3. Membuktikan bahwa jenis bahan pengisi pada pewarna bubuk ekstrak bagian tanaman mahoni dan jenis bahan fiksasi berpengaruh terhadap warna kain (katun dan sutera), serta perubahan warna kain akibat perlakuan pencucian dengan deterjen dan penjemuran di bawah sinar matahari.

Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai proses pembuatan pewarna bubuk alami dari ekstrak mahoni yang menghasilkan sifat terbaik sehingga dapat mempermudah penggunaannya dalam proses pewarnaan kain serta memberikan informasi mengenai karakteristik pewarna bubuk mahoni yang dihasilkan.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi hal-hal berikut:

1. Karakterisasi kayu dan kulit kayu mahoni kering yang digunakan sebagai bahan baku.

2. Penentuan jenis pelarut yang tepat untuk melarutkan zat warna yang terdapat pada tanaman mahoni.

3. Penentuan konsentrasi pelarut terpilih yang tepat untuk melarutkan zat warna yang terdapat pada tanaman mahoni.

4. Pembuatan sediaan bubuk pewarna menggunakan spray drier sekaligus karakterisasi pewarna bubuk yang dihasilkan.

5. Aplikasi bubuk pewarna ekstrak bagian tanaman mahoni pada pewarnaan kain.

Hipotesis

1. Jenis bahan pelarut dan konsentrasi pelarut yang digunakan berpengaruh dalam meningkatkan rendemen dan kadar tanin ekstrak zat warna yang dihasilkan.

2. Penggunaan bahan pengisi memperbaiki sifat fisikokimia serta meningkatkan stabilitas warna bubuk pewarna yang dihasilkan.

(30)

5

2

TINJAUAN PUSTAKA

Mahoni (Swietenia mahagoni Jack)

Tanaman mahoni (Swietenia mahagoni Jack) merupakan salah satu tanaman yang dianjurkan untuk pengembangan HTI (Hutan Tanaman Industri). Nama asing dari tanaman ini adalah West Indian Mahogany. Mahoni dalam klasifikasinya termasuk family Maliaceae. Ada dua spesies yang cukup dikenal yaitu S. macrophyla (mahoni daun lebar) dan S. mahagoni (mahoni daun sempit) (Krisnawati 2011).

Menurut Krisnawati (2011), tanaman mahoni (Gambar 1) tersusun dalam sistematika sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Dicotiledone Ordo : Rotales Genus : Swietenia

Sepesies : Swietenia mahagoni

Gambar 1. Tanaman mahoni

(31)

6

Tanaman mahoni lebih banyak di tanam di Jawa yaitu mencapai 39.99 juta pohon atau sekitar 88.36 % dari total populasi pohon di Indonesia, sedangkan sisanya sekitar 5.27 juta pohon (11.64 %) berada di luar Jawa. Tanaman mahoni di Indonesia terkonsentrasi di tiga propinsi, berturut-turut adalah di Jawa Tengah (39.04 %), Jawa Barat (27.56 %) dan Jawa Timur (11.63 %) (BPS 2003). Kayu mahoni dikenal baik untuk vinir dekoratif dan kayu lapis. Selain itu, dapat digunakan untuk mebel, panil, perkapalan (kulit, rumah, geladak, lapisan dinding kedap air), balok percetakan, dan barang kerajinan seperti patung, ukiran, barang bubutan, dan sebagainya (Martawijaya et al. 1997).

Kayu dan kulit kayu memiliki berbagai macam komponen kimia. Salah satunya adalah zat ekstraktif yang mempunyai peranan dalam menentukan perbedaan karakteristik kayu. Zat ekstraktif merupakan kelompok dari berbagai komposisi kimia seperti gum, lemak, resin, gula, minyak, pati, alkaloid dan tanin. Penelitian tentang kandungan senyawa aktif mahoni sudah banyak dilakukan. Pada Tabel 1 diperlihatkan berbagai komponen dalam bagian kayu dan kulit kayu tanaman mahoni.

Tabel 1. Senyawa aktif pada Swietenia sp.

Bagian tanaman Kandungan senyawa aktif Swietenia sp.

Kulit kayu Triterpenoid, limonoid (Mootoo 1999), alkaloid, tanin

(Ningsih 2010) Flavonoid, saponin, terpenoid (Suhesti et al. 2007)

Kayu Katekin, epikatekin, swietemacrophyllanin (Falah et al.

2008)

Ekstraksi Pewarna Alami

Ekstraksi merupakan proses penyarian simplisia nabati atau hewani dengan cara dan pelarut yang sesuai, bebas dari pengaruh cahaya langsung. Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen-komponen aktif. Menurut cara ekstraksi, ada dua cara yaitu cara panas dan dingin. Cara panas yaitu dengan menggunakan bantuan pemanas meliputi perebusan, refluks dan sokletasi. Cara dingin dilakukan tanpa bantuan pemanas meliputi perendaman, maserasi, perkolasi dan perasan atau penekanan. Ragam ekstraksi yang tepat tergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang diisolasi (Harborne 2006). Menurut Nielsen (2003) dalam Nuraini (2007) teknik ekstraksi yang tepat berbeda untuk masing-masing bahan. Hal ini dipengaruhi oleh tekstur kandungan bahan dan jenis senyawa yang ingin didapat.

(32)

7

Pengeringan Semprot

Pengeringan semprot didefinisikan sebagai suatu proses perubahan cairan encer menjadi produk kering dalam satu operasi. Cairan dikabutkan menggunakan

rotary wheel atau pressure nozzle dan hasil spray kontak langsung dengan udara panas (Mujumdar dan Devahastin 2010). Menurut Gharsallaoui et al. (2007), pengeringan semprot dapat menghasilkan produk bubuk yang sangat halus dengan ukuran 10-50 µm atau partikel dengan ukuran yang lebih besar, yaitu 2 – 3 mm.

Keunggulan pengering semprot antara lain: (1) penguapan air terjadi pada permukaan yang sangat luas sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan hanya beberapa detik saja; (2) cita rasa, nilai gizi, dan warna dapat dipertahankan; (3) menghasilkan mikrokapsul dengan karakteristik terbaik (Yuliani 2007); (4) properti dan kualitas produk dapat dikontrol lebih efektif; (5) produk yang sensitif terhadap panas dapat dikeringkan pada tekanan atmosfer; (6) produk akhir yang dihasilkan berbentuk bubuk yang stabil sehingga memudahkan dalam penanganan dan transportasi (Purwowidodo 2003). Kelemahan pengering semprot antara lain investasi peralatan di awal cukup mahal dan produk yang bisa diproses hanya berupa bentuk liquid (Yuliani 2007). Mujumdar dan Devahastin (2010) menyatakan bahwa parameter dalam pengering semprot yang berpengaruh terhadap produk yang dihasilkan adalah jenis atomizer, suhu udara masuk, suhu udara keluar, kecepatan alir bahan, desain ruang pengering dan jenis bahan yang dikeringkan.

Gambar 2. Diagram skematik pengeringan dengan pengering semprot (Mujumdar dan Devahastin 2010)

Konstruksi alat pengering semprot secara umum dapat dilihat pada Gambar 2 yang terdiri dari:

a) Pemanas dengan satu atau lebih kipas untuk menghasilkan udara panas dengan suhu dan kecepatan tertentu.

a b

(33)

8

b) Atomizer, nozel, atau jet untuk menghasilkan partikel-partikel cairan dengan ukuran tertentu.

c) Chamber atau wadah pengering dimana partikel-partikel cairan kontak dengan udara pengering.

d) Siklon pemisah sebagai alat separasi bubuk dengan udara. Udara yang mengangkut produk kering masuk di bagian atas siklon dengan arah tangensial, bubuk dilemparkan ke permukaan dalam kerucut karena gaya sentrifugal.

Prinsip dalam pengeringan menggunakan spray dryer adalah larutan disemprotkan menuju ke ruang pengering. Bahan yang bias dikeringkan berupa bahan yang larut dalam pelarut organiknya. Cairan diatomisasi menggunakan lubang kecil (nozzle), droplet cairan berukuran kecil yang terdispersi kemudian dikontakkan dengan udara panas. Droplet tersebut mengering secara cepat dan jatuh pada dasar alat pengering. Hasil evaporasi yang cepat mengandung suhu butiran yang rendah sehingga suhu pengeringanan yang tinggi dapat digunakan tanpa mempengaruhi mutu produk. Suhu produk yang rendah dan waktu pengeringan yang sangat singkat memungkinkan pengeringan semprot digunakan untuk produk yang peka terhadap panas (Widodo dan Budiharti 2006).

Bahan Pengisi

Bahan pengisi atau agen pemadat adalah bahan, baik bergizi maupun tidak bergizi, yang digunakan untuk meningkatkan kepadatan dari produk pangan. Master (1979) menyatakan bahwa bahan pengisi adalah bahan yang ditambahkan untuk memperbesar volume dan meningkatkan jumlah total padatan. Kandungan total padatan berpengaruh terhadap lama proses pengeringan semprot dan rendemen.

Dekstrin

Dekstrin merupakan oligosakarida yang dihasilkan dari hidrolisis pati secara tidak sempurna, akibat rantai panjang pati mengalami pemutusan dan terjadi perubahan sifat pati yang tidak larut dalam air panas atau dingin, dengan viskositas yang relatif rendah. Sifat tersebut akan mempermudah penggunaan dekstrin bila dipakai dalam konsentrasi yang cukup tinggi (Anwar et al. 2004).

Menurut Winarno dan Rahayu (1994), dekstrin merupakan hasil dari hidrolisis pati, sehingga dihasilkan zat dengan berat molekul yang lebih kecil dan labih larut dalam air. Pada pembentukan dekstrin terjadi transglukosidasi yaitu perubahan ikatan alpha 1,4-glukosidik menjadi ikatan alpha 1,6-glukosidik. Perubahan ini menyebabkan dekstrin tidak kental, lebih cepat terdispersi dan lebih stabil daripada pati. Dekstrinisasi adalah proses untuk mendapatkan dekstrin dan merupakan cara tertua untuk memodifikasi pati. Molekul-molekul pati yang lebih besar dan tidak dapat larut dalam air dingin, dihidrolisis menjadi fraksi yang lebih kecil. Dalam hal ini ukuran molekul sampai tingkat dimana molekul tersebut dapat larut dalam air dingin. Proses dekstrinisasi sering disebut juga

(34)

9

D-glukosa pati selama pyroconversions sangat kompleks. Struktur kimia dekstrin dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur kimia dekstrin (Winarno dan Rahayu 1994)

Gum Arab

Gum arab atau gum akasia merupakan hasil sekresi dari tanaman jenis akasia. Tanaman ini tersebar luas di daerah tropis dan subtropis. Gum arab merupakan bahan yang memiliki struktur yang kompleks, tetapi secara umum terdiri atas dua fraksi. Fraksi pertama berupa gum (sekitar 70 %) yang tersusun atas rantai polisakarida dengan sedikit atau tanpa bahan yang mengandung nitrogen. Fraksi kedua mengandung molekul dengan bobot molekul lebih besar yang mengandung protein (Burdock 1997).

(35)

10

Gambar 4. Struktur kimia gum arab (Glicksman dan Schachat 1959) Gum arab memiliki sifat mudah larut dalam air. Gum arab dibandingkan dengan gum yang lain memiliki tingkat kelarutan yang tinggi dan larutannya memiliki viskositas yang rendah. Oleh karena itu, gum arab cocok digunakan sebagai bahan pengisi pada bahan yang dikeringkan menggunakan pengering semprot. Gum arab telah digunakan secara luas untuk kebutuhan industri, yaitu sebagai pengemulsi, pengisi, penstabil terutama pada industri pangan (seperti pada minuman ringan, sirup, permen karet) serta digunakan pada industri tekstil, percetakan, kosmetik dan farmasi (Ali et al.2009).

Pewarnaan Kain

Zat warna adalah bahan pewarna yang mudah larut dalam air, atau dilarutkan dalam air serta mempunyai daya tarik terhadap serat. Zat warna dipilih menurut jenis bahan yang akan dicelup, ketahanan, dan warna yang diinginkan. Selain itu, zat warna dapat dipakai untuk pencelupan jika memenuhi syarat-syarat pokok berikut: (1) mudah larut dalam zat pelarutnya (pada umumnya air); (2) mudah masuk ke dalam bahan; dan (3) stabil berada di dalam bahan (Sugiarto dan Shigeru 2003).

Rasyid (1976) menyimpulkan bahwa dalam pencelupan terjadi 3 tahap, yaitu : (1) difusi, yaitu tahap di mana zat warna berada dalam larutan dan mendekati permukaan serat; (b) adsorpsi, yaitu tahap menempelnya molekul zat warna pada permukaan serat; (c) penetrasi, yaitu tahap masuknya zat warna ke dalam serat. Pencelupan dapat memberikan hasil yang baik karena adanya gaya ikat antara zat warna dengan serat lebih besar daripada gaya yang bekerja antara zat warna dengan air.

(36)

11

pencelupan; dan (4) pembilasan atau pencucian. Syarat-syarat pencelupan yang baik, adalah: (1) ada keserasian antara serat dengan zat warna; (2) serat dalam keadaan murni; (3) perlu suasana larutan yang sesuai; (4) khususnya zat warna alam, warna perlu dibangkitkan.

Serat katun atau selulosa yang tersusun dari polimer lurus dari glukosa, letak glukosa berselang seling, dalam rendaman air mengembang cukup besar sehingga pori-pori dapat dimasuki zat warna, dan mempunyai banyak gugus OH dimana O bersifat elektro-negatif kuat dan H bersifat elektro-positif lemah, sehingga serat katun dalam rendaman air bermuatan karena dipol-momen yang kuat dari OH (bukan ionisasi dari OH). Gambaran sederhana dari struktur serat katun dapat dilihat pada Gambar 5 (Suheryanto 2010).

Gambar 5. Struktur serat selulosa (Suheryanto 2010)

Tanin salah satu unsur yang terkandung dalam ekstrak zat warna alami mempunyai susunan kimia yang sangat kompleks, yaitu sebagai phenol poyhidrik yang kompleks dengan ukuran dan bentuk molekul yang memungkinkan larut dalam air. Pengerjaan iring dengan larutan kapur merupakan penambahan garam-garam klorida atau oksalat dari basa-basa organik, yang dapat meningkatkan afinitas zat warna terhadap selulosa/serat/kain katun sehingga pengerjaan iring dengan larutan kapur pada kain batik katun akan menambah absorbsi zat warna alam ke dalam kain katun (Suheryanto 2010). Secara sederhana dapat digambarkan mekanisme reaksi tanin dengan serat selulosa seperti pada Gambar 6.

Tanin Serat selulosa berwarna

(37)

12

3

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Bengkel Kerja Agroindustri Leuwikopo, Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Suberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB. Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2011 hingga bulan Desember 2012.

Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan adalah kayu dan kulit kayu mahoni yang diperoleh dari lingkungan Institut Pertanian Bogor. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah akuades, etanol, metanol, dan etil asetat sebagai pelarut serta dekstrin dan gum arab sebagai bahan pengisi. Bahan untuk aplikasi pewarnaan tekstil adalah kain katun, kain sutera, tawas (Al2(SO4)3· 17H2O), kapur (CaO)dan

ferrosulfat (FeSO4) serta bahan-bahan kimia lainnya untuk analisis.

Peralatan utama yang digunakan adalah hammer mill, timbangan analitik,

shaker incubator (Brunswick G25), penyaring vakum, oven, rotary evaporator,

spray dryer, spektrofotometer (Shimadzu UV160U), chromameter (Minolta CR-310) serta peralatan gelas lainnya. Pengolahan data menggunakan bantuan

softwareMicrosoft Office Excel versi 2007 dan software SAS 9.1.3 Service Pack

4.

Tata Laksana Penelitian

Persiapan Bahan Baku

Pada bahan baku kayu dan kulit kayu mahoni dilakukan proses pengeringan menggunakan oven pada suhu 50oC selama 24 jam, kemudian dilakukan pengecilan ukuran (40-60 mesh) menggunakan hammer mill. Bahan baku dikarakterisasi mengenai analisis proksimat (AOAC 1995) serta analisis kualitatif komponen fitokimia (Harborne 2006). Prosedur analisis bahan baku dan produk secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1.

Penentuan Jenis Pelarut untuk Ekstraksi Zat Warna

(38)

13

oven pada suhu 50oC selama 48 jam. Rendemen dan kadar tanin ekstrak yang dihasilkan kemudian dianalisis. Prosedur analisis secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1. Ekstrak yang memberikan rendemen dan kadar tanin tertinggi kemudian digunakan untuk penelitian selanjutnya. Diagram alir penentuan jenis pelarut untuk ekstraksi zat warna dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Diagram alir penentuan jenis pelarut untuk ekstraksi zat warna

Ekstrak kering Pengeringan oven

(50oC, 48 jam) Ekstrak cair Ampas

Pengeringan (50oC, 48 jam)

Pengecilan ukuran (40-60 mesh)

Bubuk bahan baku (A1= kayu, A2= kulit kayu

Ekstraksi (60oC, 60 menit)

Penyaringan Pencampuran (pelarut:bahan baku=10:1) Pelarut

(B1= air, B2= etanol, B3 = metanol, B4= etil asetat)

Bahan baku (kayu, kulit kayu)

Pemekatan (rotary evaporator)

Pencacahan

Analisis:

- Rendemen

- Kadar tanin

(39)

14

Penentuan Konsentrasi Pelarut untuk Ekstraksi Zat Warna pada Pelarut Terpilih

Faktor perlakuan yang diuji adalah konsentrasi dari pelarut terpilih (25% (C1), 50% (C2), 75% (C3), 100% (C4)). Proses ekstraksi menggunakan metode yang sama dengan proses ekstraksi pada tahap penentuan jenis pelarut untuk ekstraksi zat warna. Ekstrak yang dihasilkan kemudian dianalisis rendemen dan kadar taninnya. Prosedur analisis secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1. Ekstrak yang memberikan rendemen dan kadar tanin tertinggi kemudian digunakan untuk penelitian selanjutnya. Diagram alir penentuan konsentrasi optimum untuk ekstraksi zat warna dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Diagram alir penentuan konsentrasi optimum untuk ekstraksi zat warna

Ekstrak kering Pengeringan oven

(50oC, 48 jam) Ekstrak cair Ampas

Bubuk bahan baku terpilih

Ekstraksi (60oC, 60 menit)

Penyaringan Pencampuran (pelarut:bahan baku=10:1) Pelarut terpilih

(C1= 25%, C2= 50%, C3 = 75%, C4= 100%)

Pemekatan (rotary evaporator)

Analisis:

- Rendemen

(40)

15

Pembuatan Pewarna Bubuk Ekstrak Mahoni

Faktor perlakuan yang diuji adalah jenis bahan pengisi (tanpa penambahan pengisi (D1), dengan penambahan dekstrin (2% b/b) (D2), dan dengan penambahan gum arab (2% b/b) (D3)). Pembuatan bubuk pewarna dilakukan dengan menambahkan bahan pengisi sebanyak 2% (b/b) ke dalam ekstrak yang dihasilkan berdasarkan kondisi optimum pada penelitian sebelumnya. Filtrat dikeringkan menggunakan spray drier pada suhu umpan (inlet) ±130oC dan suhu pemisahan (outlet) ±80oC (Gumbira-Sa’id et al. 2009). Bubuk pewarna yang dihasilkan kemudian disimpan dalam wadah yang tertutup rapat. Analisis bubuk pewarna meliputi rendemen, kadar air, densitas kamba, kelarutan dalam air, kelarutan dalam alkohol (AOAC 1995), warna (Hutching 1999) serta stabilitas warna terhadap perlakuan fisik dan kimia (Jenie et al. 1997; Sari et al. 2005). Diagram alir pembuatan pewarna bubuk dari ekstrak mahoni dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Diagram alir pembuatan pewarna bubuk dari ekstrak mahoni

Aplikasi Pewarna Bubuk Mahoni pada Pewarnaan Tekstil

Proses pewarnaan tekstil pada penelitian ini mengacu pada Agriawati (2003). Aplikasi pewarna bubuk pada pewarnaan tekstil dilakukan terhadap kain katun dan kain sutera. Perlakuan yang diuji adalah jenis bahan pengisi pada bubuk pewarna (dengan tanpa pengisi (D1), dengan penambahan dekstrin (2% b/b) (D2), dengan penambahan gum arab (2% b/b) (D3)), jenis kain (katun (E1), sutra (E2))

Bubuk pewarna ekstrak mahoni

Ekstrak cair mahoni Perlakuan terpilih

Pengeringan menggunakan spray dryer (suhu inlet 130oC, outlet 80oC)

Pencampuran Bahan pengisi

(D=tanpa pengisi, D2= pengisi dekstrin 2% b/b, D3=pengisi gum arab 2% b/b)

Analisis:

- Rendemen

- Kadar air - Densitas kamba - Kelarutan dalam

air

- Kelarutan dalam alkohol

(41)

16

dan jenis bahan fiksasi (tanpa bahan fiksasi (F1), tawas (F2), kapur (F3) dan ferrosulfat (F4)).

Proses pewarnaan kain meliputi proses persiapan kain dan proses pencelupan kain dalam larutan pewarna. Kain dipersiapkan terlebih dahulu dengan merendam kain dalam larutan typol (2 g/L) selama 24 jam, kemudian kain dicuci, dibilas, diperas dan dikeringanginkan. Selanjutnya, kain dipanaskan dalam larutan tawas 8 g/L pada suhu 60oC selama satu jam dan perendaman dalam larutan tawas dilanjutkan selama 12 jam pada suhu ruang. Kain ditiriskan, dibilas tanpa diperas, dikeringanginkan dan disetrika. Kain tersebut sudah dapat diberi perlakuan pewarnaan. Pencelupan kain dilakukan dengan merendam kain dalam larutan pewarna (2.5 g/L) dengan perbandingan 1:30 (1 liter larutan pewarna untuk 30 g kain) pada suhu 60oC selama 30 menit (Agriawati 2003). Kain ditiriskan dan dikeringanginkan. Pencelupan dilakukan sebanyak empat kali. Setelah kering, kain direndam dalam larutan fiksasi (50 g/L) sesuai perlakuan selama lima menit kemudian dicuci bersih. Kain dikeringkan pada suhu ruang. Kain tersebut dianalisis terhadap warna yang dinyatakan dengan nilai oHue. Diagram alir proses pewarnaan kain dapat dilihat pada Gambar 10.

Kain yang telah diwarnai diuji ketahanan luntur warnanya pada perlakuan pencucian dengan deterjen dan penjemuran di bawah sinar matahari. Perlakuan pencucian dengan larutan deterjen dilakukan dengan perendaman kain berwarna pada larutan deterjen komersial dengan konsentrasi 0.5% selama 30 menit, kemudian dibilas dua kali dengan air dan dikeringanginkan. Perlakuan penjemuran di bawah sinar matahari dilakukan dengan menjemur kain berwarna di bawah sinar matahari selama 6 jam dari jam 09.00 sampai 15.00. Kain yang diberi kedua perlakuan tersebut dianalisis warnanya (nilai L*, a*, b*, dan oHue )

(42)

17

Gambar 10. Diagram alir proses pewarnaan kain

(43)

18

Prosedur Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan pada tahap penentuan jenis pelarut untuk ekstraksi zat warna adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor. Faktor pertama adalah jenis bahan baku dengan dua taraf, yaitu kayu mahoni (A1) dan kulit kayu mahoni (A2). Faktor kedua adalah jenis pelarut dengan empat taraf, yaitu air (B1), metanol (B2), etanol (B3), dan etil asetat (B4). Setiap kombinasi faktor perlakuan diulang dua kali. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (analysis of varian) dan uji lanjut Duncan dengan taraf nyata α = 0.05. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut (Gomez dan Gomez 1995):

Yijkl = μ + Ai + Bj + (AB)ij + εijk Keterangan :

Yijk = hasil pengamatan faktor jenis bahan baku (A) taraf ke-i dan faktor jenis pelarut (B) taraf ke-j pada ulangan ke-k

 = rata – rata yang sebenarnya

Ai = pengaruh faktor jenis bahan baku taraf ke-i (i = 1, 2) Bj = pengaruh faktor jenis pelarut taraf ke-j (j = 1, 2, 3, 4)

(AB)ij = pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j

εijk = galat satuan percobaan taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B, pada ulangan ke-k (l = 1, 2)

Rancangan percobaan yang digunakan pada tahap penentuan konsentrasi optimum untuk ekstraksi zat warna adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) nonfaktorial. Faktor yang digunakan adalah variasi konsentrasi pelarut dengan empat taraf, yaitu konsentrasi pelarut 25% (C1), 50% (C2), 75% (C3), 100% (C4). Setiap perlakuan diulang dua kali. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (analysis of varian) dan uji lanjut Duncan dengan taraf nyata α = 0.05. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut (Gomez dan

(44)

19

kontras ortogonal dengan taraf nyata α = 0.05. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut (Gomez dan Gomez 1995):

Yij = μ + Di + εij Keterangan :

Yij = hasil pengamatan faktor jenis bahan pengisi (D) taraf ke-i pada ulangan ke-j

 = rata – rata yang sebenarnya

Di = pengaruh faktor jenis bahan pengisi taraf ke-i (i = 1, 2, 3)

εij = galat satuan percobaan taraf ke-i faktor D pada ulangan ke-j (l = 1, 2)

Rancangan percobaan yang digunakan pada tahap aplikasi pewarna bubuk mahoni pada pewarnaan tekstil adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) tiga faktor. Faktor pertama adalah jenis bahan pengisi dengan tiga taraf, yaitu tanpa penambahan pengisi (D1), dengan penambahan dekstrin (D2), dengan penambahan gum arab (D3). Faktor kedua adalah jenis kain dengan dua taraf, yaitu kain katun (F1) dan kain sutra (F2). Faktor ketiga adalah jenis bahan fiksasi dengan tiga taraf, yaitu tanpa bahan fiksasi (G1), tawas (G2), kapur (G3), ferrosulfat (G4). Setiap kombinasi faktor perlakuan diulang dua kali. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (analysis of varian) dengan uji lanjut Duncan dengan taraf nyata α = 0.05. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut (Gomez dan Gomez 1995):

Yijkl = μ + Di + Ej + Fk + (DEF)ijk + εijkl Keterangan :

Yijk = hasil pengamatan faktor bahan pengisi (D) taraf ke-i, faktor jenis kain (E) taraf ke-j dan faktor penggunaan bahan fiksasi (F) taraf ke-k pada ulangan ke-l

 = rata – rata yang sebenarnya

Di = pengaruh faktor jenis bahan pengisi ke-i (i = 1, 2,3) Ej = pengaruh faktor jenis kain taraf ke-j (j = 1, 2)

Fk = pengaruh faktor perlakuan penggunaan bahan fiksasi taraf ke-k (k = 1,2, 3, 4)

(DEF)ijk = pengaruh interaksi faktor D taraf ke-i, faktor E taraf ke-j dan faktor F taraf ke-k

(45)

20

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakterisasi Kayu dan Kulit Kayu Mahoni

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah kayu dan kulit kayu tanaman mahoni. Perlakuan awal pada bahan baku adalah proses pengeringan dan proses pengecilan ukuran. Kayu dan kulit kayu tanaman mahoni yang digunakan terlebih dahulu dibersihkan dari kotoran, selanjutnya dilakukan proses pencacahan untuk mempercepat proses pengeringan. Proses pengeringan dilakukan untuk mengurangi air dalam bahan sehingga diperoleh kadar air 7-10% menggunakan oven pada suhu 50oC selama 48 jam. Tujuan dari proses pengeringan ini adalah untuk mempermudah proses pengecilan pada tahap selanjutnya. Proses pengecilan ukuran dilakukan menggunakan hammer mill hingga diperoleh serbuk dengan ukuran 40-60 mesh. Serbuk kayu dan kulit kayu tanaman mahoni yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 11.

(a) (b)

Gambar 11. Serbuk kayu mahoni (a), serbuk kulit kayu mahoni (b)

Karakteristik bahan baku berupa kayu dan kulit kayu tanaman mahoni ditetapkan melalui analisis proksimat dan uji fitokimia. Analisis proksimat terdiri atas analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat dan kadar karbohidrat (by difference). Komposisi kimia kayu dan kulit kayu tanaman mahoni yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi kimia kayu dan kulit kayu tanaman mahoni

Komponen Kandungan

Kayu Mahoni Kulit Kayu Mahoni

Air (% bk) 5.14 7.09

Abu (% bk) 5.50 7.01

Protein (% bk) 1.01 4.03

Lemak (% bk) 1.48 1.50

Serat Kasar (% bk) 67.13 33.82

Karbohidrat (by difference) (%) 19.74 46.55

(46)

21

Berdasarkan hasil pengujian proksimat pada kedua bahan baku, diketahui bahwa rata-rata kadar komponen kimia pada kulit kayu mahoni lebih tinggi dibandingkan dengan kayu mahoni, kecuali kadar serat kasar. Hal ini dikarenakan jaringan kayu tersusun dari bahan polimer dalam bentuk fraksi polisakarida (selulosa dan hemiselulosa) dan lignin (Fengel & Wegener 1995).

Kandungan air dalam kayu mahoni adalah 5.14% dan pada kulit kayu mahoni adalah 7.09%. Sampel yang baik untuk disimpan dalam jangka panjang adalah sampel yang memiliki kadar air kurang dari 10%. Oleh karena itu, serbuk kayu mahoni dan kulit kayu mahoni dapat disimpan dalam jangka waktu panjang. Penentuan kadar air berguna untuk menyatakan kandungan zat dalam tumbuhan sebagai persen bobot kering dan sebagai faktor koreksi suatu sampel jika penelitian dilakukan pada sampel yang memiliki lingkungan agrobiofosik yang berbeda. Selain itu, penentuan kadar air juga berfungsi untuk memperkirakan jumlah bahan yang dibutuhkan jika ingin mengekstraksi bahan langsung dalam keadaan basah dan sebagai koreksi rendemen (Harjadi 1993).

Skrining fitokimia merupakan analisis kualitatif terhadap senyawa-senyawa metabolit sekunder. Fitokimia yang terdapat dalam tanaman antara lain alkaloid, triterpernoid, saponin, steroid, glikosida, fenolik, flavonoid dan tanin (Harborne 2006). Berdasarkan hasil analisis fitokimia yang dapat dilihat pada Tabel 3, terlihat kayu mahoni dan kulit kayu mahoni mengandung alkaloid, triterpernoid, saponin, glikosida, fenolik, flavonoid dan tanin.

Tabel 3. Hasil analisis kualitatif senyawa fitokimia kayu dan kulit kayu tanaman mahoni

Kandungan alkaloid pada kayu mahoni teridentifikasi lebih kuat dibandingkan pada kulit kayu mahoni. Menurut Harborne (2006), alkaloid adalah sebuah golongan senyawa basa bernitrogen yang kebanyakan heterosiklik dan terdapat di tumbuhan. Rasa pahit atau getir yang dirasakan lidah dapat disebabkan oleh alkaloid. Alkaloid bersifat basa yang tergantung pada pasangan elektron pada nitrogen. Kebasaan alkaloid menyebabkan senyawa tersebut sangat mudah mengalami dekomposisi terutama oleh panas dan sinar dengan bantuan oksigen.

(47)

22

dibagi menjadi empat golongan senyawa, yaitu triterpena sebenarnya, steroid, saponin dan glikosida jantung. Berdasarkan Tabel 3, kayu dan kulit kayu tanaman mahoni mengandung saponin dan glikosida yang teridentifikasi kuat tetapi tidak mengandung steroid. Saponin adalah suatu glikosida yang umumnya ada pada tanaman dan dalam larutan air membentuk busa yang stabil sehingga menyulitkan dalam proses penyaringan.

Kandungan fenolik, baik pada kayu mahoni maupun kulit kayu mahoni, teridentifikasi positif kuat sekali. Menurut Harborne (2006), fenolik memiliki spektrum luas dengan sifat kelarutan pada suatu pelarut yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh gugus hidroksil yang dimiliki pada senyawa tersebut berbeda jumlah dan posisinya. Dengan demikian, ekstraksi menggunakan berbagai pelarut akan menghasilkan komponen fenolik yang berbeda pula.

Kandungan tanin dan flavonoid pada kulit kayu mahoni lebih tinggi dibandingkan dengan kayu mahoni. Menurut Harborne (2006), tanin adalah senyawa fenolik kompleks yang memiliki berat molekul 500-3000. Tanin dibagi menjadi dua kelompok atas dasar tipe struktur dan aktivitasnya terhadap senyawa hidrolitik terutama asam, yaitu tanin terkondensasi (condensed tannin) dan tanin yang dapat dihidrolisis (hyrolyzable tannin). Flavonoid adalah bagian dari senyawa fenolik yang terdapat pada pigmen tumbuh-tumbuhan. Berdasarkan penelitian Falah et al. (2008), tiga senyawa flavonoid telah diisolasi dari ekstrak aseton kulit kayu mahoni, yaitu katekin, epikatekin, dan senyawa baru turunan dari katekin yang diberi nama trivial swietemacrophyllanin. Ketiga senyawa tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi.

Penentuan Jenis Pelarut untuk Ekstraksi Zat Warna

(48)

23

Tabel 4. Nilai rendemen dan kadar tanin ekstrak kering kayu dan kulit kayu mahoni dengan variasi jenis pelarut

Perlakuan Rendemen (%) Kadar Tanin (mg/g)

A1B1 8.57±0.099b 0.06±0.002d

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α = 0.05

A1 = Kulit B1 = Air B3 = Etanol

A2 = Kayu B2 = Metanol B4 = Etil asetat

Rata-rata rendemen ekstrak kering kayu dan kulit kayu tanaman mahoni dengan variasi jenis pelarut berkisar antara 1.14% sampai dengan 10.56%. Berdasarkan hasil analisis ragam (α=0.05) menunjukkan bahwa jenis bahan baku, jenis pelarut dan interaksi antar keduanya memberikan pengaruh nyata (p<0.05) terhadap rendemen ekstrak kering kayu dan kulit kayu mahoni. Hasil analisis ragam rendemen ekstrak kering kulit dan kayu mahoni selengkapnya disajikan pada Lampiran 2A. Hasil uji Duncan (α=0.05) menunjukkan bahwa rata-rata total rendemen ekstrak kering kulit mahoni berbeda nyata dan memiliki hasil lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak kering kayu mahoni. Rata-rata total rendemen ekstrak kering menggunakan pelarut etanol tidak berbeda nyata dengan rendemen ekstrak kering menggunakan pelarut metanol, tetapi berbeda nyata dan memiliki hasil lebih tinggi dibandingkan dengan rendemen ekstrak kering menggunakan pelarut air dan etil asetat dengan nilai rendemen terendah dihasilkan oleh rendemen ekstrak kering menggunakan pelarut etil asetat. Hasil uji Duncan rendemen ekstrak kering kulit dan kayu mahoni selengkapnya disajikan pada Lampiran 2B.

Adanya perpindahan zat warna dari kayu ke pelarut maka akan terjadi peningkatan rendemen dari ekstrak kering yang dihasilkan. Perbedaan nilai rendemen ekstrak kering antara kayu dan kulit kayu mahoni disebabkan karena perbedaan komposisi kimia dan kandungan fitokimia pada masing-masing bahan baku. Jenis pelarut etanol dan metanol tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai rendemen yang dihasilkan disebabkan nilai polaritas kedua pelarut tersebut hampir sama. Momen dipole dari etanol adalah 1.69 Debye, sedangkan momen dipole pada metanol adalah 1.70 Debye (Markom et al. 2007). Menurut Oxtoby (2001), polaritas molekul dari pelarut ditentukan oleh momen dipolenya. Pada penelitian ini, etil asetat merupakan pelarut dengan rata-rata total rendemen terendah. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan besar polaritas zat warna kayu dan kulit kayu mahoni lebih mendekati pada polaritas etanol dan metanol daripada polaritas air dan etil asetat.

(49)

24

rotavator dengan pelarut air dan menghasilkan perlakuan terbaik pada kondisi ekstraksi dengan perbandingan bahan dan pelarut adalah 1:10 serta suhu ekstraksi 60oC yang menghasilkan rendemen sebesar 2.31%. Mardisadora (2010) juga melakukan ekstraksi kulit mahoni menggunakan metode rendam air panas pada suhu ekstraksi 100oC selama 4 jam dan menghasilkan nilai rendemen ekstrak air kulit mahoni sebesar 6.44%.

Rata-rata kadar tanin ekstrak kering kayu dan kulit kayu tanaman mahoni pada variasi jenis pelarut berkisar antara 0.064 mg/g sampai dengan 1.448 mg/g. Berdasarkan hasil analisis ragam (α=0.05) menunjukkan bahwa jenis bahan baku, jenis pelarut dan interaksi antara keduanya memberikan pengaruh nyata (p<0.05) terhadap nilai kadar tanin ekstrak kering kayu dan kulit kayu mahoni. Hasil analisis ragam nilai kadar tanin hasil ekstraksi kayu dan kulit kayu mahoni selengkapnya disajikan pada Lampiran 3A. Hasil uji Duncan (α=0,05) menunjukkan bahwa rata-rata kadar tanin ekstrak kering kulit mahoni berbeda nyata dan memiliki hasil lebih tinggi dibandingkan dengan kadar tanin ekstrak kering kayu mahoni. Rata-rata kadar tanin ekstrak kering menggunakan pelarut etanol tidak berbeda nyata dengan kadar tanin ekstrak kering menggunakan pelarut metanol, tetapi berbeda nyata dan memiliki hasil lebih tinggi dibandingkan dengan kadar tanin ekstrak kering menggunakan pelarut air dan etil asetat dengan nilai kadar tanin terendah dihasilkan oleh kadar tanin ekstrak kering menggunakan pelarut etil asetat. Hasil uji Duncan kadar tanin ekstrak kering kayu dan kulit kayu mahoni selengkapnya disajikan pada Lampiran 3B.

Rata-rata nilai kadar tanin pada kulit mahoni lebih tinggi 15.3% dibandingkan dengan kadar tanin pada kayu mahoni. Menurut Heldt (2005), tanin merupakan senyawa fenol yang banyak terdapat pada kulit kayu tumbuhan berkayu. Rata-rata total kadar tanin yang diekstraksi menggunakan pelarut etanol dan metanol tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan perlakuan ekstraksi menggunakan pelarut air dan etil asetat. Hal ini disebabkan karena tanin adalah senyawa cenderung polar sehingga kurang terekstrak pada pelarut nonpolar.

Berdasarkan pembahasan di atas, maka disimpulkan untuk penelitian selanjutnya lebih difokuskan pada bahan baku kulit kayu tanaman mahoni karena terdapat perbedaan yang sangat nyata bahwa kulit kayu mahoni menghasilkan nilai yang lebih tinggi pada nilai total rendemen dan nilai kadar tanin. Akan tetapi, dalam penentuan jenis pelarut terpilih untuk digunakan pada penelitian tahap selanjutnya, terdapat dua jenis pelarut yang tidak berbeda nyata dalam hasil analisis nilai total rendemen dan nilai kadar tanin yaitu metanol dan etanol. Pemilihan di antara kedua jenis pelarut tersebut didasarkan pada faktor ekonomi, yakni telah diketahui bahwa harga metanol lebih murah dibandingkan dengan harga etanol sehingga dapat meminimalkan biaya produksi. Oleh karena itu, pelarut metanol dipilih sebagai pelarut untuk penelitian tahap selanjutnya.

Penentuan Konsentrasi untuk Ekstraksi Zat Warna dengan Pelarut Metanol-Air

(50)

25

mebel dan lain-lain. Oleh sebab itu, dibuat variasi komposisi antara metanol dan air. Selain itu, kombinasi metanol-air diantaranya merupakan sistem pelarut yang direkomendasikan pada isolasi flavonoid (Harborne 2006). Nilai rendemen ekstrak kering kulit kayu mahoni hasil ekstraksi dengan variasi konsentrasi metanol dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai rendemen dan kadar tanin ekstrak kering kulit kayu mahoni dengan variasi konsentrasi metanol

Perlakuan Rendemen (%) Kadar Tanin (mg/g)

C1 8.95±0.137b 1.40±0.015c

C2 11.62±0.021a 3.32±0.019a

C3 11.72±0.154a 3.38±0.017a

C4 9.92±0.738b 1.90±0.136b

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α = 0.05 C1 = Metanol 25% C3 = Metanol 75%

C2 = Metanol 50% C4 = Metanol 100%

Rata-rata total rendemen ekstrak kering kulit kayu mahoni pada variasi konsentrasi metanol berkisar antara 8.95% sampai dengan 11.72%. Berdasarkan hasil analisis ragam (α=0.05) menunjukkan bahwa konsentrasi metanol menghasilkan perbedaan yang nyata terhadap rata-rata total rendemen ekstrak kering kulit kayu mahoni. Hasil analisis ragam nilai total rendemen ekstrak kering kulit kayu mahoni terhadap variasi konsentrasi metanol selengkapnya disajikan pada Lampiran 4A. Hasil uji Duncan (α=0,05) menunjukkan bahwa rata-rata nilai rendemen ekstrak kering kulit kayu mahoni tertinggi dihasilkan pada konsentrasi metanol 75% yang nilainya tidak berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi metanol 50%, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi metanol 25% dan 100%. Hasil uji Duncan total rendemen ekstrak kering kulit kayu mahoni selengkapnya disajikan pada Lampiran 4B.

Tingginya total rendemen ekstrak kering kulit kayu mahoni pada konsentrasi 50% dan 75% dibandingkan dua perlakuan lainnya disebabkan karena komponen utama kulit kayu mahoni yang diekstrak berupa polifenol yang memiliki gugus polar dan nonpolar. Sifat polar pada polifenol didapat dari gugus hidroksilnya, sedangkan sifat nonpolar didapat dari gugus fenol yang terdapat pada polifenol (Harborne 2006). Gugus polar akan terlarut dalam pelarut yang polar, yaitu berupa air yang terdapat pada pelarut organik dengan konsentrasi rendah, sedangkan gugus nonpolar akan ikut terekstrak oleh pelarut organik yang memiliki sifat semi polar.

Gambar

Gambar 2. Diagram skematik pengeringan dengan pengering semprot                              (Mujumdar dan Devahastin 2010)
Gambar 3. Struktur kimia dekstrin (Winarno dan Rahayu 1994)
Gambar 4. Struktur kimia gum arab (Glicksman dan Schachat 1959)
Gambar 6. Mekanisme reaksi tanin dengan serat selulosa (Suheryanto 2010)
+7

Referensi

Dokumen terkait