1 Prosedur analisis bahan baku dan produk 53
2 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai rendemen ekstrak
kulit dan kayu mahoni 59
3 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kadar tanin ekstrak kulit
dan kayu mahoni 60
4 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai rendemen ekstrak
kulit mahoni pada variasi konsentrasi pelarut metanol 61 5 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai kadar tanin ekstrak
kulit mahoni pada variasi konsentrasi pelarut metanol 62 6 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap
nilai kromasitas bubuk pewarna ekstrak kulit mahoni pada variasi bahan
pengisi 63
7 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai rendemen bubuk pewarna ekstrak kulit mahoni pada variasi jenis bahan pengisi 66 8 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai kadar air bubuk
pewarna ekstrak kulit mahoni pada variasi jenis bahan pengisi 67 9 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai densitas kamba
bubuk pewarnaekstrak kulit mahoni pada variasi jenis bahan pengisi 68 10 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai kelarutan dalam
alkohol bubuk pewarna ekstrak kulit mahoni pada variasi jenis bahan
pengisi 69
11 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap stabilitas warna bubuk
pewarna terhadap suhu dan lama pemanasan 70
12 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap stabilitas warna bubuk
pewarna terhadap oksidator reduktor 72
13 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap stabilitas warna bubuk
pewarna terhadap pH 73
14 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai OHue kain katun dan sutra yang diwarnai dengan pewarna bubuk ekstrak kulit mahoni pada berbagai bahan pengisi dan bahan fiksasi 75 15 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap
nilai ΔE kain katun dan sutra yang diberi perlakuan pencucian dengan
deterjen 78
16 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai ΔE kain katun dan sutra yang diberi perlakuan penjemuran di
ABSTRACT
FEBRINA DELVITASARI. Design Process of Extraction and Natural Dye Powder Production from Swietenia mahagoni and its Application in Textile Dyeing. Supervised by ENDANG GUMBIRA-SA’ID and KHASWAR SYAMSU.
The use of natural dyes in textile dyeing is the best option to avoid the negative impact of the carcinogenic potential contamination from synthetic dyes.
Swietenia mahagoni is one of dye plant that have chemical coumpound as natural dye, such as flavonoid and tannin. Unfortunately, natural dye in Indonesia has not been widely available in the form of ready-made, such as powder form so can not be stored for a long time, the color is less stable and the process takes a long time so it is less practical in its use.
The aim of this study was to extract natural dyes from wood and bark of mahagony based on optimum conditions of extraction process, determine the effect of binder treatment to the characteristics of mahagony extract colouring powder using spray dryer, and application of the natural dye in textile dyeing. The scope of this study includes the characteristics of wood and bark of mahagony, determination of appropriate type of solution (water, ethanol, metanol, ethyl acetate), determination of concentration of solution to dissolve the dye contained in the mahagony, determination of effect of binder treatment (without binder, dextrin 2% w/v, arabic gum 2% w/v) to characteristics of mahagony extracted powder, and application of natural dye powder to cotton and silk fabric with different fixative agents (without a fixative agent, alum, calcium oxide and ferrosulfate) to determine their effects on the colour of fabrics and the colour fastness to washing and sun drying treatment.
The results showed that bark of mahagony and metanol solvent with concentration of 50% gave the best result on total yield and tannin content. Binder treatment had significant effect on the yield, moisture content, bulk dencity, water solubility, alcohol solubility, and colour stability. The mahagony extracted powders had the yield ranges between 3.38 – 10.36%, moisture content ranges between 6.57-7.23%, bulk density ranges between 0.051– 0.118 g/ml, solubility on water ranges between 77.56 – 81.22%, solubility on alcohol ranges between 57.26 – 92.01%, oHue ranges between 50.30 – 52.83 (red) and the best stability was found on the treatment with arabic gum binder. The fixative agents had significant effects on colour of cotton and silk fabric. Calcium oxide gave the highest colour fastness in silk fabric, while alum gave the highest result on colour fastness in cotton fabric toward washing treatment.
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pewarna alami telah banyak digunakan sebagai bahan pewarna makanan maupun nonpangan sejak zaman dahulu. Akan tetapi, penggunaannya semakin menurun seiring perkembangan pewarna sintesis yang berkembang pada pertengahan abad ke-19. Zat warna sintetis lebih baik dibandingkan dengan zat warna alami karena memiliki tingkat stabilitas yang tinggi, pilihan warnanya lebih bervariasi, penggunaannya jauh lebih mudah, hasil pewarnaan lebih cerah, tersedia untuk semua jenis serat dan pada umumnya tahan luntur (Samanta et al.
2009). Akan tetapi, produksi pewarna sintetis tergantung pada ketersediaan sumber minyak bumi (Sivaramakrishnan 2010; Kumar et al. 2011), proses pewarnaan dan penyempurnaannya menggunakan zat kimia yang berbahaya sehingga tidak ramah lingkungan (Sokolowska et al. 1994), dan bersifat toksik yang berbahaya bagi kesehatan seperti menyebabkan kanker dan kerusakan sistem imun (Bhaskar et al. 2006). Oleh karena itu, penggunaan pewarna alami dijadikan alternatif untuk mengatasi permasalahan yang ditimbulkan oleh pewarna sintetis tersebut.
Pewarna alami merupakan pewarna yang ramah bagi lingkungan maupun kesehatan karena kandungan komponen alaminya mempunyai nilai beban pencemaran yang relatif rendah, mudah terdegradasi secara biologis dan tidak beracun (Guinot et al. 2008; Ali et al. 2009) serta nilai tambah utama yaitu dapat diekstraksi dari alam, seperti ekstrak tumbuhan (Mirjailili et al. 2011), ekstrak antropoda dan invertebrata laut, ekstrak alga (Benoit 2005), dan dapat dihasilkan dari bakteri dan fungi. Penggunaan zat warna alami selain mempunyai kelebihan juga mempunyai kekurangan, seperti tidak tahan disimpan dalam waktu lama, warna kurang stabil, proses pembuatan memerlukan waktu yang lama sehingga kurang praktis dalam penggunaannya.
Potensi pemanfaatan pewarna alami sangat besar. Permintaan global untuk pewarna alam tiap tahun adalah sekitar 10.000 ton, yang setara dengan 1% dari kebutuhan atas pewarna sintetis dunia (Sivakumar et al. 2011). Pemanfaatan pewarna paling besar berasal dari industri tekstil, tinta, cat, dan plastik. Selain itu, standar lingkungan yang ketat yang diterapkan di banyak Negara untuk menghindari bahaya kesehatan yang berhubungan dengan pewarna sintetis yang digunakan dalam industri tekstil meningkatkan potensi pewarna alami di masa depan. Negara-negara Uni Eropa telah melarang penggunaan pewarna azo karena dapat terurai menjadi senyawa amina berbahaya yang menyebabkan kanker (UNCTAD 1999). Di Uni Eropa, budidaya bahan tanaman yang digunakan untuk pewarna alam sangat terbatas, terutama disebabkan biaya tenaga kerja yang tinggi dan keadaan iklim. Hal ini mengakibatkan wilayah Asia-Pasifik akan memimpin keuntungan dan meningkatkan pangsa pasar hingga setengah dari permintaan dunia pada tahun 2013 (Freedonia 2009).
Potensi bahan alam Indonesia yang berupa tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam secara tradisional telah digunakan sebagai bahan pewarna alami seperti kunyit, daun pandan, daun suji, buah pinang, pohon nangka, daun jati, sabut kelapa, daun teh, pohon jambal, daun gambir, pohon secang, soga, nila,
2
mengkudu, dan sebagainya. Warna dari tumbuh-tumbuhan tersebut dapat dibangkitkan dengan menggunakan tawas, gula batu, tunjung, kapur tohor, cuka dan sebagainya (Sulasminingsih 2006).
Tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan dasar pewarna alami, banyak ditemui dan mudah tumbuh di Indonesia salah satunya adalah mahoni
(Swietenia mahagoni). Tanaman mahoni lebih banyak di tanam di Jawa yaitu mencapai 39.99 juta pohon atau sekitar 88.36 % dari total populasi pohon di Indonesia, sedangkan sisanya sekitar 5.27 juta pohon (11.64 %) berada di luar Jawa (BPS 2003). Kayu mahoni dikenal baik untuk vinir dekoratif dan kayu lapis. Selain itu, dapat digunakan untuk mebel, panil, perkapalan (kulit, rumah, geladak, lapisan dinding kedap air), balok percetakan, dan barang kerajinan seperti patung, ukiran, barang bubutan, dan sebagainya (Martawijaya et al. 1997). Konsumsi kayu mahoni yang cukup tinggi menyebabkan meningkatnya limbah kayu dan kulit kayu yang masih memiliki daya guna yang cukup tinggi, namun belum dimanfaatkan secara maksimal. Pemanfaatan limbah kulit kayu mahoni selama ini adalah sebagai pewarna alami pada pewarnaan kain. Menurut Tocharman (2008), kulit ekstrak mahoni menghasilkan warna coklat kekuning-kuningan yang tidak mudah luntur. Sulasminingsih (2006) menyatakan bahwa berdasarkan uji awal ekstrak kulit kayu mahoni terbukti dapat mewarnai katun. Proses ekstraksi menggunakan metode perebusan kulit kayu mahoni selama satu jam mulai dihitung pada saat suhu 100oC. Air hasil ekstraksi kemudian digunakan untuk mewarnai katun.
Penelitian yang dilakukan oleh Falah et al. (2008) menunjukkan bahwa serbuk batang mahoni mengandung senyawa bioaktif seperti katekin, epikatekin dan swietemakrofilanin. Menurut Suhesti et al. (2007), serbuk kulit kayu mahoni memiliki kandungan senyawa aktif berupa saponin, terpenoid dan flavonoid. Ningsih (2010) mengemukakan bahwa ekstrak kulit kayu mahoni juga mengandung senyawa tanin dan alkaloid. Flavonoid dan tanin merupakan senyawa yang menghasilkan zat warna pada tanaman mahoni. Teknik pengambilan zat warna alam dari suatu tanaman dilakukan dengan metode ekstraksi. Suheryanto et al. (2007) telah melakukan ekstraksi kulit kayu mahoni menggunakan metode ekstraksi rotavator dengan pelarut air dan menghasilkan perlakuan terbaik pada kondisi ekstraksi dengan perbandingan bahan dan pelarut adalah 1:10 serta suhu ekstraksi 60oC yang menghasilkan rendemen sebesar 2.31 %. Mardisadora (2010) juga melakukan ekstraksi kulit mahoni menggunakan metode rendam air panas pada suhu ekstraksi 100oC selama 4 jam dan menghasilkan nilai rendemen ekstrak air kulit mahoni sebesar 6.44 %. Menurut Harborne (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi adalah tipe persiapan sampel, suhu ekstraksi, kuantitas pelarut, dan tipe pelarut. Senyawa flavonoid dan tanin, diketahui sebagai senyawa penghasil zat warna pada tanaman mahoni, merupakan senyawa polar maka dapat larut dalam pelarut polar seperti metanol (MeOH), etanol (EtOH), butanol (BuOH), aseton, etil asetat, air atau pelarut polar lainnya. Dengan demikian, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai optimasi teknik ekstraksi berdasarkan pengaruh jenis pelarut lain dalam menghasilkan ekstrak zat warna dari tanaman mahoni.
Permasalahan yang ditemui dalam penggunaan pewarna alami adalah tidak tahan disimpan dalam waktu lama, warna kurang stabil serta proses pembuatan memerlukan waktu yang lama sehingga kurang praktis dalam penggunaannya.
3
Pembuatan bubuk pewarna dengan menggunakan alat spray dryer menghasilkan granula produk yang lebih seragam, memudahkan dalam hal penggunaan dan distribusi, serta mampu melindungi warna dengan lebih baik (Patel et al. 2009). Cairan ekstrak yang akan dikeringkan umumnya diberi bahan penstabil untuk menjaga kestabilan warnanya. Dekstrin dan gum arab memiliki fungsi sebagai pembawa bahan aktif seperti bahan flavor dan pewarna yang memiliki sifat mudah larut dalam air serta sebagai bahan pengisi karena dapat meningkatkan berat produk dalam bentuk bubuk (Gaonkar 1995). Penggunaan bahan pengisi dilakukan untuk melindungi suatu zat agar tetap tersimpan dalam keadaan baik dan melepaskan zat tersebut pada kondisi tertentu saat digunakan (Ariandy et al. 2011). Penelitian yang telah dilakukan oleh Purba (2003) menyatakan bahwa penggunaan bahan pengisi gum arab 2% (b/b) menghasilkan intensitas warna dan kelarutan dalam air yang paling tinggi.
Aplikasi pewarna alam mahoni terhadap tekstil perlu dilakukan pengkajian. Menurut Hasanudin (2001), pencelupan dengan zat warna alam terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut: (1) pelarutan zat warna; (2) premordanting; (3) pencelupan; dan (4) pembilasan atau pencucian. Syarat-syarat pencelupan yang baik, adalah: (1) ada keserasian antara serat dengan zat warna; (2) serat dalam keadaan murni; (3) perlu suasana larutan yang sesuai; (4) khususnya zat warna alam, warna perlu dibangkitkan. Bahan pembangkit zat warna yang biasa digunakan adalah tawas, kapur dan ferrosulfat. Prabu (2012) menyatakan bahwa kain katun dan sutra lebih reseptif terhadap mordan. Hal ini disebabkan sifat katun dan sutra yang bersifat amfoter yaitu dapat menyerap asam atau basa secara efektif. Penelitian yang dilakukan oleh Agriawati (2003) mengenai penggunaan gambir pada pencelupan kain kapas menghasilkan penggunaan pewarna 2,5% menghasilkan ketahanan warna terbaik.
Berdasarkan uraian di atas, diperlukan penelitian mengenai rekayasa proses ekstraksi pengambilan zat warna pada kayu dan kulit kayu mahoni menggunakan variasi jenis pelarut (air, metanol, etanol, etil asetat) dan variasi konsentrasinya (25%, 50%, 75%, 100%). Pembuatan bubuk pewarna alami mahoni dilakukan menggunakan spray dryer dengan perlakuan penambahan jenis pengisi (tanpa pengisi, dengan dekstrin 2% b/b, dengan gum arab 2% b/b). Karakterisasi produk yang diamati meliputi total rendemen produk, kadar tanin, kadar air, densitas kamba, kelarutan dalam air, kelarutan dalam alkohol, serta stabilitas bubuk pewarna terhadap perlakuan fisik dan kimia. Produk pewarna bubuk yang dihasilkan diaplikasikan pada pewarnaan tekstil (katun dan sutera) dengan menggunakan beberapa bahan fiksasi (tawas, kapur, ferrosulfat) untuk mengkaji pengaruhnya terhadap warna kain yang dihasilkan serta perubahan warna akibat perlakuan pencucian dengan deterjen dan penjemuran di bawah sinar matahari.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan pewarna bubuk alami ekstrak bagian tanaman mahoni berdasarkan hasil total rendemen dan kadar tanin tertinggi dari proses ekstraksi yang dilakukan, mengkarakterisasi pewarna
4
bubuk yang dihasilkan serta mengaplikasikan pewarna bubuk yang dihasilkan pada pewarnaan tekstil.
Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendapatkan kondisi proses ekstraksi zat pewarna alami dari bagian tanaman mahoni yang menghasilkan zat warna terbaik.
2. Membuktikan bahwa jenis bahan pengisi pada proses pembentukan bubuk pewarna ekstrak bagian tanaman mahoni berpengaruh terhadap karakteristik fisikokimia dan meningkatkan stabilitas warna bubuk pewarna.
3. Membuktikan bahwa jenis bahan pengisi pada pewarna bubuk ekstrak bagian tanaman mahoni dan jenis bahan fiksasi berpengaruh terhadap warna kain (katun dan sutera), serta perubahan warna kain akibat perlakuan pencucian dengan deterjen dan penjemuran di bawah sinar matahari.
Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai proses pembuatan pewarna bubuk alami dari ekstrak mahoni yang menghasilkan sifat terbaik sehingga dapat mempermudah penggunaannya dalam proses pewarnaan kain serta memberikan informasi mengenai karakteristik pewarna bubuk mahoni yang dihasilkan.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi hal-hal berikut:
1. Karakterisasi kayu dan kulit kayu mahoni kering yang digunakan sebagai bahan baku.
2. Penentuan jenis pelarut yang tepat untuk melarutkan zat warna yang terdapat pada tanaman mahoni.
3. Penentuan konsentrasi pelarut terpilih yang tepat untuk melarutkan zat warna yang terdapat pada tanaman mahoni.
4. Pembuatan sediaan bubuk pewarna menggunakan spray drier sekaligus karakterisasi pewarna bubuk yang dihasilkan.
5. Aplikasi bubuk pewarna ekstrak bagian tanaman mahoni pada pewarnaan kain.
Hipotesis
1. Jenis bahan pelarut dan konsentrasi pelarut yang digunakan berpengaruh dalam meningkatkan rendemen dan kadar tanin ekstrak zat warna yang dihasilkan.
2. Penggunaan bahan pengisi memperbaiki sifat fisikokimia serta meningkatkan stabilitas warna bubuk pewarna yang dihasilkan.
3. Jenis bahan pengisi dan jenis bahan fiksasi berpengaruh terhadap warna kain yang dihasilkan serta meningkatkan daya tahan warna terhadap perlakuan pencucian dan penjemuran
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Mahoni (Swietenia mahagoni Jack)
Tanaman mahoni (Swietenia mahagoni Jack) merupakan salah satu tanaman yang dianjurkan untuk pengembangan HTI (Hutan Tanaman Industri). Nama asing dari tanaman ini adalah West Indian Mahogany. Mahoni dalam klasifikasinya termasuk family Maliaceae. Ada dua spesies yang cukup dikenal yaitu S. macrophyla (mahoni daun lebar) dan S. mahagoni (mahoni daun sempit) (Krisnawati 2011).
Menurut Krisnawati (2011), tanaman mahoni (Gambar 1) tersusun dalam sistematika sebagai berikut:
Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Dicotiledone Ordo : Rotales Genus : Swietenia
Sepesies : Swietenia mahagoni
Gambar 1. Tanaman mahoni
Buah tanaman mahoni terlihat muncul diujung-ujung ranting berwarna coklat dan termasuk jenis tanaman pohon tinggi sekitar 10-30 m, percabangannya banyak, daun majemuk menyirip genap, duduk daun tersebar. Helaian anak daun bulat telur, elips memanjang, ujung daun dan pangkal daun runcing panjangnya sekitar 1-3 cm, berbentuk bola dan bulat telur memanjang berwarna coklat panjangnya 8-15 cm dengan lebar 7-10 cm. Mahoni dapat tumbuh dengan baik ditempat yang terbuka dan terkena cahaya matahari secara langsung, baik di dataran rendah maupun dataran tinggi, yaitu dengan ketinggian 1000 m diatas permukaan laut (Joker 2001).
6
Tanaman mahoni lebih banyak di tanam di Jawa yaitu mencapai 39.99 juta pohon atau sekitar 88.36 % dari total populasi pohon di Indonesia, sedangkan sisanya sekitar 5.27 juta pohon (11.64 %) berada di luar Jawa. Tanaman mahoni di Indonesia terkonsentrasi di tiga propinsi, berturut-turut adalah di Jawa Tengah (39.04 %), Jawa Barat (27.56 %) dan Jawa Timur (11.63 %) (BPS 2003). Kayu mahoni dikenal baik untuk vinir dekoratif dan kayu lapis. Selain itu, dapat digunakan untuk mebel, panil, perkapalan (kulit, rumah, geladak, lapisan dinding kedap air), balok percetakan, dan barang kerajinan seperti patung, ukiran, barang bubutan, dan sebagainya (Martawijaya et al. 1997).
Kayu dan kulit kayu memiliki berbagai macam komponen kimia. Salah satunya adalah zat ekstraktif yang mempunyai peranan dalam menentukan perbedaan karakteristik kayu. Zat ekstraktif merupakan kelompok dari berbagai komposisi kimia seperti gum, lemak, resin, gula, minyak, pati, alkaloid dan tanin. Penelitian tentang kandungan senyawa aktif mahoni sudah banyak dilakukan. Pada Tabel 1 diperlihatkan berbagai komponen dalam bagian kayu dan kulit kayu tanaman mahoni.
Tabel 1. Senyawa aktif pada Swietenia sp.
Bagian tanaman Kandungan senyawa aktif Swietenia sp.
Kulit kayu Triterpenoid, limonoid (Mootoo 1999), alkaloid, tanin
(Ningsih 2010) Flavonoid, saponin, terpenoid (Suhesti et al. 2007)
Kayu Katekin, epikatekin, swietemacrophyllanin (Falah et al.
2008)
Ekstraksi Pewarna Alami
Ekstraksi merupakan proses penyarian simplisia nabati atau hewani dengan cara dan pelarut yang sesuai, bebas dari pengaruh cahaya langsung. Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen-komponen aktif. Menurut cara ekstraksi, ada dua cara yaitu cara panas dan dingin. Cara panas yaitu dengan menggunakan bantuan pemanas meliputi perebusan, refluks dan sokletasi. Cara dingin dilakukan tanpa bantuan pemanas meliputi perendaman, maserasi, perkolasi dan perasan atau penekanan. Ragam ekstraksi yang tepat tergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang diisolasi (Harborne 2006). Menurut Nielsen (2003) dalam Nuraini (2007) teknik ekstraksi yang tepat berbeda untuk masing-masing bahan. Hal ini dipengaruhi oleh tekstur kandungan bahan dan jenis senyawa yang ingin didapat.
Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna. Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor. Cairan penyari yang baik harus memenuhi kriteria antara lain murah dan mudah di peroleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki, tidak mempengaruhi zat berkhasiat, serta diperbolehkan oleh peraturan (Harborne 2006).
7
Pengeringan Semprot
Pengeringan semprot didefinisikan sebagai suatu proses perubahan cairan encer menjadi produk kering dalam satu operasi. Cairan dikabutkan menggunakan
rotary wheel atau pressure nozzle dan hasil spray kontak langsung dengan udara panas (Mujumdar dan Devahastin 2010). Menurut Gharsallaoui et al. (2007), pengeringan semprot dapat menghasilkan produk bubuk yang sangat halus dengan ukuran 10-50 µm atau partikel dengan ukuran yang lebih besar, yaitu 2 – 3 mm.
Keunggulan pengering semprot antara lain: (1) penguapan air terjadi pada permukaan yang sangat luas sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan hanya beberapa detik saja; (2) cita rasa, nilai gizi, dan warna dapat dipertahankan; (3) menghasilkan mikrokapsul dengan karakteristik terbaik (Yuliani 2007); (4) properti dan kualitas produk dapat dikontrol lebih efektif; (5) produk yang sensitif terhadap panas dapat dikeringkan pada tekanan atmosfer; (6) produk akhir yang dihasilkan berbentuk bubuk yang stabil sehingga memudahkan dalam penanganan dan transportasi (Purwowidodo 2003). Kelemahan pengering semprot antara lain investasi peralatan di awal cukup mahal dan produk yang bisa diproses hanya berupa bentuk liquid (Yuliani 2007). Mujumdar dan Devahastin (2010) menyatakan bahwa parameter dalam pengering semprot yang berpengaruh terhadap produk yang dihasilkan adalah jenis atomizer, suhu udara masuk, suhu udara keluar, kecepatan alir bahan, desain ruang pengering dan jenis bahan yang dikeringkan.
Gambar 2. Diagram skematik pengeringan dengan pengering semprot (Mujumdar dan Devahastin 2010)
Konstruksi alat pengering semprot secara umum dapat dilihat pada Gambar 2 yang terdiri dari:
a) Pemanas dengan satu atau lebih kipas untuk menghasilkan udara panas dengan suhu dan kecepatan tertentu.
a b
8
b) Atomizer, nozel, atau jet untuk menghasilkan partikel-partikel cairan dengan ukuran tertentu.
c) Chamber atau wadah pengering dimana partikel-partikel cairan kontak dengan udara pengering.
d) Siklon pemisah sebagai alat separasi bubuk dengan udara. Udara yang mengangkut produk kering masuk di bagian atas siklon dengan arah tangensial, bubuk dilemparkan ke permukaan dalam kerucut karena gaya sentrifugal.
Prinsip dalam pengeringan menggunakan spray dryer adalah larutan disemprotkan menuju ke ruang pengering. Bahan yang bias dikeringkan berupa bahan yang larut dalam pelarut organiknya. Cairan diatomisasi menggunakan lubang kecil (nozzle), droplet cairan berukuran kecil yang terdispersi kemudian dikontakkan dengan udara panas. Droplet tersebut mengering secara cepat dan jatuh pada dasar alat pengering. Hasil evaporasi yang cepat mengandung suhu butiran yang rendah sehingga suhu pengeringanan yang tinggi dapat digunakan tanpa mempengaruhi mutu produk. Suhu produk yang rendah dan waktu pengeringan yang sangat singkat memungkinkan pengeringan semprot digunakan untuk produk yang peka terhadap panas (Widodo dan Budiharti 2006).
Bahan Pengisi
Bahan pengisi atau agen pemadat adalah bahan, baik bergizi maupun tidak