• Tidak ada hasil yang ditemukan

Design Process of Natural Dye Powder Production from Seeds of Areca catechu L. and its Application in Industry

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Design Process of Natural Dye Powder Production from Seeds of Areca catechu L. and its Application in Industry"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

YERNISA

REKAYASA PROSES PEMBUATAN PEWARNA BUBUK

ALAMI DARI BIJI PINANG (Areca catechu L.) DAN

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Rekayasa Proses Pembuatan Pewarna Bubuk Alami dari Biji Pinang (Areca Catechu L.) dan Aplikasinya untuk Industri” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

(4)
(5)

RINGKASAN

YERNISA. F351090041. Rekayasa Proses Pembuatan Pewarna Bubuk Alami dari Biji Pinang (Areca Catechu L.) dan Aplikasinya untuk Industri. Dibimbing oleh ENDANG GUMBIRA-SA’ID dan KHASWAR SYAMSU.

Pewarna alami merupakan bahan pewarna bersumber dari alam yang menjadi alternatif pewarna yang aman dan ramah lingkungan. Pewarna alami di Indonesia belum banyak tersedia dalam bentuk siap pakai, seperti bentuk bubuk. Penggunaan pewarna alami masih dilakukan secara konvensional menyebabkan penggunaan pewarna alami menjadi tidak praktis.

Biji pinang (Areca catechu L.) merupakan salah satu bahan pewarna alami karena mengandung senyawa golongan polifenol. Kadar polifenol dipengaruhi oleh tingkat kematangan buah. Pewarna dari biji pinang dapat dibuat dalam bentuk ekstrak bubuk melalui proses ekstraksi dan pengeringan. Bahan pengisi biasa digunakan untuk menghasilkan produk bubuk yang berfungsi melindungi senyawa aktif target, mengurangi kehilangan senyawa aktif selama proses pengeringan dan meningkatkan rendemen produk. Gum arab merupakan bahan pengisi yang mudah larut dalam air dan merupakan pengkapsul yang dapat melindungi bahan aktif yang akan dikeringkan.

Penelitian ini mengenai rekayasa proses untuk mendapatkan pewarna bubuk alami dari biji pinang melalui proses ekstraksi dan pengeringan menggunakan spray drier. Biji pinang yang digunakan berasal dari buah pinang muda dan buah pinang tua untuk mempelajari pengaruh tingkat ketuaan terhadap karakteristik produk bubuk pewarna yang dihasilkan. Perlakuan penggunaan bahan pengisi (tanpa bahan pengisi dan penggunaan pengisi gum arab 2% b/v) diberikan terhadap filtrat hasil ekstraksi biji pinang yang akan dikeringkan menggunakan spray drier. Karakteristik produk yang diamati adalah rendemen, kadar air, densitas kamba, kelarutan, kadar total fenol, warna, analisis gugus fungsi menggunakan Fourier Transform Infra Red (FTIR) dan analisis toksisitas menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Pewarna bubuk yang dihasilkan diaplikasikan pada pewarnaan tekstil khususnya kain katun dan kain sutera serta pada pewarnaan sabun transparan. Bahan fiksasi yang digunakan pada pewarnaan kain adalah tawas, kapur dan ferosulfat untuk melihat pengaruhnya terhadap warna kain yang dihasilkan serta perubahan warna akibat perlakuan pencucian dengan deterjen dan penjemuran di bawah sinar matahari.

(6)

vi

Biji pinang muda menghasilkan bubuk ekstrak biji pinang dengan rata-rata rendemen, kadar air dan kadar total fenol yang lebih tinggi akan tetapi menghasilkan rata-rata nilai pH yang tidak berbeda nyata dan rata-rata densitas kamba dan kelarutan dalam air yang lebih rendah dibandingkan dengan biji pinang tua. Penggunaan pengisi gum arab menghasilkan bubuk ekstrak biji pinang dengan rata-rata rendemen, kelarutan dalam air yang lebih tinggi dan kadar air yang tidak berbeda nyata akan tetapi menghasilkan rata-rata densitas kamba, nilai pH dan kadar total fenol yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan tanpa penggunaan pengisi. Pewarna bubuk ekstrak biji pinang yang diperoleh pada penelitian ini memiliki rendemen 5,59% - 13,90%, kadar air 5,19% - 7,41%, densitas kamba 0,3720 g/ml – 0,5586 g/ml, kelarutan dalam air 94,10% – 99,25%, pH larutan bubuk 4,98 – 5,31, kadar total fenol 30,50% – 67,07% dan nilai oHue 39,67 – 62,06 pada kisaran warna merah dan merah kuning. Hasil spektrum FTIR menunjukkan adanya gugus fungsi seperti OH, CH, CO serta struktur aromatik pada bubuk ekstrak biji pinang. Hasil analisis toksisitas menggunakan BSLT menunjukkan bahwa pewarna bubuk ekstrak biji pinang memiliki nilai LC50 yang

bervariasi, yaitu 279,53 ppm – 10935,25 ppm.

Bubuk ekstrak biji pinang menghasilkan warna bervariasi dengan penggunaan bahan fiksasi berbeda pada kain katun dan kain sutera. Bahan fiksasi tawas cenderung menghasilkan warna kain mendekati sama dan lebih muda daripada warna kain tanpa fiksasi, yaitu pada kisaran warna merah dan merah kuning. Bahan fiksasi kapur cenderung menghasilkan warna kain lebih tua daripada warna kain tanpa fiksasi, yaitu pada kisaran warna merah. Bahan fiksasi ferosulfat menghasilkan warna kain paling tua (kisaran warna merah dan merah ungu). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang dan jenis bahan fiksasi berpengaruh terhadap perubahan warna kain katun dan kain sutera akibat pencucian dengan deterjen dan penjemuran di bawah sinar matahari. Bahan fiksasi kapur menghasilkan perubahan warna paling rendah pada perlakuan pencucian dengan deterjen baik pada kain katun maupun kain sutera. Bahan fiksasi ferosulfat menghasilkan perubahan warna paling rendah pada perlakuan penjemuran di bawah matahari baik pada katun maupun pada sutera

Semua kombinasi perlakuan jenis minyak dan jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang menghasilkan sabun transparan pada kisaran warna yellow red. Jenis minyak berpengaruh terhadap stabilitas busa dan kekerasan sabun transparan pada semua jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang yang digunakan dimana campuran minyak kelapa dan minyak kelapa sawit (15:5 b/b) menghasilkan sabun transparan dengan stabilitas busa yang lebih tinggi dan kekerasan yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan menggunakan minyak kelapa akan tetapi tidak berbeda nyata pada kadar air dan nilai pH. Jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air, kekerasan dan nilai pH sabun transparan akan tetapi berpengaruh terhadap stabilitas busa sabun transparan. Keberadaan bahan pengisi gum arab pada bubuk ekstrak biji pinang meningkatkan stabilitas busa pada sabun transparan yang menggunakan bahan baku minyak kelapa. Penggunaan gum arab pada bubuk pewarna ekstrak biji pinang dapat menurunkan perubahan warna sabun transparan selama penyimpanan enam bulan. Kata kunci: pewarna alami, Areca catechu L., bubuk, pengering semprot, kain,

(7)

SUMMARY

YERNISA. Design Process of Natural Dye Powder Production from Seeds of Areca catechu L. and its Application in Industry. Supervised by of ENDANG GUMBIRA-SA’ID and KHASWAR SYAMSU.

Natural dyes have become alternative of non toxic, environtmentally friendly colorants, usually agro-renewable source and exhibit better biodegradability. Instant natural dyes, e.g. powder extracts, are still limited. Areca catechu L. is one of dye plant that has been traditionally used on batik and craft dyeing. The phenolic substances, as coloring matter, from areca seeds are varying in degree of maturation. For these reasons, design process of natural dye powder production from areca seeds by spray drying and its application in textile dyeing and transparent soap coloring was studied. The objective of this study was to determine the effect of maturation degree of areca seeds (unripe, ripe) and binder treatment (without a binder, arabic gum 2% w/v) to the characteristics of areca seeds powder extracts, and determine the effect of areca seeds dye powder and fixative agents (without a fixative agent, alum, calcium oxide and ferrosulfate) to the colour of two types of fabric (cotton, silk) and the color changes to washing and sun drying.

The objective of study about application of areca seeds powder extracts in transparent soap was to determine the effect of areca seeds extracted powders and the type of vegetable oil to the characteristics of transparent soap. Areca seeds powder extracts being used in this study were areca seed powder extracts without a binder and areca seed extracted powder with a binder (arabic gum 2% w/w). extracts with higher in yield, moisture content and total phenolic content but had no significant effect on pH and lower in bulk density and solubility than ripe areca seeds. Arabic gum treatment produced powder extracts with higher in yield, and solubility, but had no significant effect on moisture content and lower in bulk density, pH and total phenolic content than the treatment without binder. The areca seeds powder extracts had the yield ranges between 5,59-13,90%, moisture content ranges between 5,19% - 7,41%, bulk density ranges between 0,3720 – 0,5586 g/ml, solubility (on water) ranges between 94,10% – 99,25%, pH ranges between 4,98 – 5,31, total phenolic content ranges between 30,50 – 67,07% and

oHue ranges between 39,67 – 62,06 (red and yellow red). FTIR spectrum showed

presence of functional group of OH, CH, CO and aromatic structure in areca seeds dye powder. The areca seed powder extracts exhibited cytotoxic activity against brine shrimp larvae with LC50 values ranging from 279,53-1093,25 ppm.

(8)

viii

depth of fabric colour is given by ferrosulfate was followed by calcium oxide. Calcium oxide give the little color changes on both cotton and silk fabric in washing treatment, while ferrosulfate give the little color changes on both of them in sun drying.

Transparent soap from all combinations of treatment had colour range yellow red. Mixed of coconut oil and palm oil (15:5 w/w) gave higher foam stability and lower hardness than coconut oil but did not give significant effect on moisture content and pH value. Type of areca seeds extracted powder had no significant difference in moisture content, hardness and pH value but had significant effect on foam stability of transparent soap. The presence of arabic gum in areca seeds extracted powder enhanced foam stability of transparent soap from coconut oil and reduced color change in transparent soap after six months of storage.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

REKAYASA PROSES PEMBUATAN PEWARNA

BUBUK ALAMI DARI BIJI PINANG (Areca catechu L.)

DAN APLIKASINYA UNTUK INDUSTRI

(12)
(13)
(14)

Judul Tesis : Rekayasa Proses Pembuatan Pewarna Bubuk Alami dari Biji Pinang (Areca catechu L.) dan Aplikasinya untuk Industri

Nama : Yernisa NIM : F351090041

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Endang Gumbira-Said, MADev Ketua

Prof Dr Ir Khaswar Syamsu, MScSt Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Teknologi Industri Pertanian

Dr Ir Machfud, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(15)
(16)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini ialah Rekayasa Proses Pembuatan Pewarna Bubuk Alami dari Biji Pinang (Areca Catechu L.) dan Aplikasinya untuk Industri.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Endang Gumbira-Sa’id, MADev dan Bapak Prof Dr Ir Khaswar Syamsu, MScSt selaku pembimbing yang telah memberikan pengetahuan, arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat, serta Ibu Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSc dan Bapak Dr Ir Sapta Rahardja, DEA yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf di Laboratorium dan Bengkel Kerja Teknologi Industri Pertanian IPB yang telah membantu selama penelitian dan rekan-rekan di Program Studi Teknologi Industri Pertanian angkatan 2009. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, suami tercinta Erwin Mandiska Putra, ST dan ananda Muzhaffirah Nurul Lathifah dan Adzra Rizhan Samaira serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

(17)
(18)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xvii

DAFTAR GAMBAR xix

DAFTAR LAMPIRAN xxiii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Pinang 5

Pewarna Alami 7

Ekstraksi dan Aplikasi Pewarna Alami 9

Pengering Semprot (Spray Drier) 12

Gum Arab 13

3 METODE 15

Kerangka Pemikiran Konseptual 15

Bahan 16

Alat 16

Prosedur Analisis Data 16

Rancangan Percobaan 23

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 25

Karakteristik Biji Buah Pinang 25

Pembuatan Pewarna Bubuk Biji Pinang 28

Karakteristik Warna Pewarna Bubuk Ekstrak Biji Pinang 31 Karakteristik Fisikokimia Pewarna Bubuk Ekstrak Biji Pinang 33 Analisis Toksisitas Pewarna Bubuk Ekstrak Biji Pinang dengan

Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) 38

Analisis Gugus Fungsi menggunakan Fourier Transform Infra Red (FTIR) pada Pewarna Bubuk Ekstrak Biji Pinang 39

Aplikasi Pewarna Bubuk Ekstrak Biji Pinang 43

5 SIMPULAN DAN SARAN 59

Simpulan 59

Saran 60

DAFTAR PUSTAKA 61

LAMPIRAN 67

(19)
(20)

DAFTAR TABEL

1 Komposisi kimia pada biji pinang muda (hijau) dan biji pinang yang

telah masak (% bobot kering, kecuali air) 5

2 Persyaratan mutu biji pinang untuk ekspor 7

3 Perkembangan volume dan nilai ekspor pinang pada Tahun 2004-2008 7 4 Beberapa penelitian mengenai ekstraksi dan aplikasi pewarna alami 10 5 Formula sabun transparan (diadaptasi dari Cognis 2003, Hambali et

al. 2005 dan Karo 2011) 21

6 Komposisi kimia buah pinang muda dan buah pinang tua 26 7 Hasil analisis kualitatif senyawa fitokimia serbuk kering biji pinang

muda dan biji pinang tua bubuk 27

8 Karakteristik filtrat hasil ekstraksi biji pinang 29 9 Data kromasitas bubuk pewarna ekstrak biji pinang 31 10 Karakteristik fisik pewarna bubuk ekstrak biji pinang 33 11 Karakteristik kimia pewarna bubuk ekstrak biji pinang 36 12 Perbandingan karakteristik pewarna bubuk alami ekstrak biji pinang

hasil penelitian dan pewarna bubuk alami Acacia catechu 37 13 Tingkat toksisitas pewarna bubuk ekstrak biji pinang 39 14 Pita serapan spektrometer inframerah pewarna bubuk ekstrak biji

pinang muda, pewarna bubuk ekstrak biji pinang tua dan (+)-katekin 41 15 Karakteristik pita serapan spektrum FTIR pada beberapa gugus

fungsi1) 42

16 Karakteristik sabun dasar transparan dengan bahan dasar minyak kelapa dan campuran minyak kelapa dengan minyak kelapa sawit

(15:5 b/b) 51

(21)
(22)

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur kimia alkaloid pada biji pinang (Mujumdar et al. 1982) 6 2 Reaksi pembentukan komplek dengan ion krom (Vankar 2000) 11

3 Diagram alir persiapan bahan baku 17

4 Diagram alir proses pembuatan pewarna bubuk ekstrak biji pinang 18

5 Diagram alir proses persiapan kain 19

6 Diagram alir proses pewarnaan kain 20

7 Diagram alir pembuatan sabun transparan 22

8 Bentuk fisik buah (a) pinang muda (b) pinang tua 25

9 Bagian-bagian buah pinang 25

10 Irisan kering dan serbuk biji buah pinang 26

11 Filtrat hasil ekstraksi 29

12 Alat spray drier yang digunakan untuk pengeringan filtrat hasil

ekstraksi biji pinang 30

13 Bubuk pewarna ekstrak biji pinang dari berbagai kombinasi perlakuan 31 14 Pengaruh tingkat ketuaan dan bahan pengisi terhadap rendemen bubuk

pewarna yang dihasilkan 34

15 Pengaruh tingkat ketuaan dan bentuk sediaan biji pinang serta bahan pengisi terhadap kadar total fenol pewarna bubuk ekstrak biji pinang

dihasilkan 37

16 Spektrogram hasil FTIR 40

17 Struktur (+)-katekin (AIST 2013) 42

18 Kain katun setelah diwarnai dengan berbagai jenis bubuk pewarna ekstrak biji pinang dengan perlakuan fiksasi yang berbeda 44 19 Kain sutera setelah diwarnai dengan berbagai jenis bubuk pewarna

ekstrak biji pinang dengan perlakuan fiksasi yang berbeda 45 20 Nilai L* kain katun dan kain sutera yang diwarnai dengan beberapa

jenis pewarna dari ekstrak bubuk biji pinang dan beberapa jenis bahan

fiksasi 45

21 Nilai a* kain katun dan kain sutera yang diwarnai dengan beberapa jenis pewarna dari ekstrak bubuk biji pinang dan beberapa jenis bahan

fiksasi 46

22 Nilai b* kain katun dan kain sutera yang diwarnai dengan beberapa jenis pewarna dari ekstrak bubuk biji pinang dan beberapa jenis bahan

fiksasi 47

25 Nilai ΔE kain katun dan kain sutera akibat penjemuran di bawah sinar

matahari 50

26 Sabun dasar tranparan yang terbuat dari minyak kelapa (kiri) dan

(23)

xxii

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)

27 Perbandingan warna sabun transparan (minyak kelapa) yang diberi perlakuan pewarna ekstrak biji pinang dalam bentuk sediaan yang

berbeda 52

28 Penampakan visual sabun transparan yang telah diwarnai dengan

pewarna bubuk ekstrak biji pinang 53

29 Nilai L*, nilai a*, nilai b* dan nilai ohue sabun transparan pada perlakuan jenis minyak dan penggunaan bubuk ekstrak biji pinang yang

(24)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Prosedur analisis parameter-parameter percobaan 69 2 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap

kromasitas (nilai L*, a*, b* dan ohue) bubuk ekstrak biji pinang 76 3 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap

rendemen bubuk ekstrak biji pinang 80

4 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap

densitas kamba bubuk ekstrak biji pinang 81

5 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap

kelarutan bubuk ekstrak biji pinang 82

6 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap

kadar air bubuk ekstrak biji pinang 83

7 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap derajat keasaman (pH) larutan dari pewarna bubuk ekstrak biji pinang 84

8 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap

kadar total fenol bubuk ekstrak biji pinang 85

9 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan kromasitas kain katun dan kain sutera yang diwarnai dengan pewarna bubuk ekstrak biji pinang pada berbagai jenis bahan fiksasi 86 10 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap

kromasitas dan nilai ΔE kain katun dan kain sutera yang diberi

perlakuan pencucian dengan deterjen 93

11 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan nilai ΔE kain katun dan kain sutera yang diberi perlakuan penjemuran di

bawah sinar matahari 97

12 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji kontras ortogonal warna (kromasitas) sabun transparan pada berbagai kombinasi perlakuan 101 13 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji kontras ortogonal kadar

air sabun transparan pada berbagai kombinasi perlakuan 104 14 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji kontras ortogonal

kekerasan sabun transparan pada berbagai kombinasi perlakuan 105 15 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji kontras ortogonal nilai

pH sabun transparan pada berbagai kombinasi perlakuan 106 16 Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji kontras ortogonal

(25)
(26)

ABSTRACT

YERNISA. Design Process of Natural Dye Powder Production from Seeds of Areca catechu L. and its Application in Industry. Supervised by of ENDANG GUMBIRA-SA’ID and KHASWAR SYAMSU.

Natural dyes have become alternative of non toxic, environmentally friendly colorants, usually agro-renewable source and exhibit better biodegradability. Instant natural dyes, e.g. powder extracts, are still limited. Areca catechu L. is one of dye plant that has been traditionally used on batik and craft dyeing. The phenolic substances, as coloring matter, from areca seeds are varying in degree of maturation. For these reasons, design process of natural dye powder production from areca seeds by spray drying and its application in textile dyeing and transparent soap coloring was studied. The objective of this study was to determine the effect of maturation degree of areca seeds (unripe, ripe) and binder treatment (without a binder, arabic gum 2% w/v) to the characteristics of areca seeds powder extracts, and determine the effect of areca seeds dye powder and fixative agents (without a fixative agent, alum, calcium oxide and ferrosulfate) to the colour of two types of fabric (cotton, silk) and the color changes to washing and sun drying. The objective of study about application of areca seeds powder extracts in transparent soap was to determine the effect of areca seeds extracted powders and the type of vegetable oil to the characteristics of transparent soap. Areca seeds powder extracts being used in this study were areca seed powder extracts without a binder and areca seed extracted powder with a binder (arabic gum 2% w/w). Two types of vegetable oil for making transparent soap were used in this study namely coconut oil and mixed of coconut oil and palm oil (15:5 w/w). As a control, there were transparent soaps made without addition of areca seeds powders. The results of this study exhibited unripe areca seeds produced powder extracts with higher in yield, moisture content and total phenolic content but had no significant effect on pH and lower in bulk density and solubility than ripe areca seeds. Arabic gum treatment produced powder extracts with higher in yield, and solubility, but had no significant effect on moisture content and lower in bulk density, pH and total phenolic content than the treatment without binder. The areca seeds powder extracts had the yield ranges between 5,59-13,90%, moisture content ranges between 5,19% - 7,41%, bulk density ranges between 0,3720 – 0,5586 g/ml, solubility (on water) ranges between 94,10% – 99,25%, pH ranges between 4,98 – 5,31, total phenolic content ranges between 30,50 – 67,07% and oHue ranges between 39,67 – 62,06 (red and yellow red). FTIR spectrum showed presence of functional group of OH, CH, CO and aromatic structure in areca seeds dye powder. The areca seed powder extracts exhibited cytotoxic activity against brine shrimp larvae with LC50 values ranging from 279,53-1093,25 ppm. The fixative agents

had significant effects on colour of cotton and silk fabric. Alum caused the depth of fabric colour as same as or lower than colored fabric without a fixative agent (color ranges in red and yellow red). The highest depth of fabric colour is given by ferrosulfate was followed by calcium oxide. Calcium oxide give the little color changes on both cotton and silk fabric in washing treatment, while ferrosulfate give the little color changes on both of them in sun drying. Transparent soap from all combinations of treatment had colour range yellow red. Mixed of coconut oil and palm oil (15:5 w/w) gave higher foam stability and lower hardness than coconut oil but did not give significant effect on moisture content and pH value. Type of areca seeds extracted powder had no significant difference in moisture content, hardness and pH value but had significant effect on foam stability of transparent soap. The presence of arabic gum in areca seeds extracted powder enhanced foam stability of transparent soap from coconut oil and reduced color change in transparent soap after six months of storage.

(27)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pewarna merupakan salah satu bahan yang cukup luas penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya pada makanan, tekstil, cat, tinta, lukisan dan sebagainya. Oleh karena itu, kebutuhan bahan pewarna diduga akan terus berkembang.

Pewarna alami merupakan bahan pewarna yang pertama kali digunakan manusia. Akan tetapi, pada perkembangan selanjutnya, penggunaan pewarna alami banyak digantikan oleh pewarna sintetis. Hal ini disebabkan oleh karakteristik pewarna sintesis yang memiliki beberapa kelebihan diantaranya mudah diproduksi, murah, memiliki intensitas warna dan variasi warna dan stabilitas yang lebih baik dibanding pewarna alami.

Pewarna alami berasal dari bahan alam seperti tumbuhan, hewan, mikrooganisme maupun mineral. Oleh karena itu, bahan bakunya tersedia di alam bahkan sebagian besar dapat dibudidayakan. Di lain pihak, pewarna sintetis merupakan pewarna yang disintesis dari bahan kimia yang bahan bakunya tergantung pada sumber daya petrokimia. Beberapa pewarna sintetis mengandung bahan yang bersifat toksik atau karsinogenik dan tidak ramah lingkungan. Limbah industri tekstil yang menggunakan pewarna sintetis ada yang mengandung logam berat dan beberapa pewarna sintetik memberikan efek alergi dan toksik (Hunger 2003).

Negara-negara Uni Eropa telah melarang penggunaan pewarna sintetik khususnya golongan pewarna azo pada produk tekstil dan kulit. Beberapa pewarna dari jenis tersebut dapat menghasilkan senyawa amina aromatik yang beresiko kanker bila kontak dengan kulit. Negara Jerman dan Belanda telah melarang penggunaan zat warna tersebut sejak 1 Agustus 1996 untuk pakaian (clothing), alas kaki (footwear) dan alas kasur/sarung bantal (bedlinen) (UNCTAD 1999).

Pewarna alami menjadi alternatif pilihan pewarna yang aman dan ramah lingkungan. Indonesia dengan kekayaan alamnya yang cukup banyak berpeluang sebagai pemasok pewarna alami. Pewarna dari sumber alami di Indonesia telah digunakan pada pewarnaan makanan maupun produk-produk kerajinan tangan seperti kain batik maupun benang tenun. Pewarna alami di Indonesia belum banyak tersedia dalam bentuk siap pakai, seperti bentuk bubuk. Proses pewarnaan masih dilakukan secara konvensional, yaitu dengan mengambil sari dari bagian tanaman yang telah dihaluskan atau diekstrak dengan cara perebusan. Cara tersebut menyebabkan penggunaan pewarna alami menjadi tidak praktis dan menghasilkan residu atau ampas. Selain itu, penggunaan bahan baku secara langsung dalam pewarnaan, cukup sulit dalam menentukan takaran penggunaan untuk menghasilkan warna yang seragam. Pewarna dalam bentuk bubuk merupakan salah satu alternatif bentuk sediaan produk yang praktis dalam penggunaan, mudah dalam penanganan, penyimpanan, distribusi dan aplikasinya

(28)

2

183.972 ton dengan nilai US$ 106.335.000 (Kementan 2009). Pemanfaatan pinang untuk konsumsi dalam negeri masih sedikit. Selama ini, pinang digunakan sebagai ramuan yang dimakan bersama sirih yang menjadi kebiasaan turun temurun pada beberapa daerah tertentu di Indonesia. Selain itu, pinang digunakan sebagai obat tradisional. Penggunaannya sebagai pewarna telah digunakan bersama gambir menghasilkan warna soga pada batik.

Pinang mengandung senyawa golongan polifenol, yaitu flavonoid dan tanin (Nonaka 1989; Ma et al. 1996; Amudhan et al. 2012). Senyawa tersebut merupakan senyawa yang menghasilkan warna pada biji pinang. Kadar polifenol dipengaruhi oleh tingkat kematangan buah. Menurut Amudhan (2010), polifenol menurun selama proses pemasakan buah pinang. Buah pinang yang baru dipanen memiliki kadar air yang cukup tinggi sehingga buah pinang mudah mengalami kerusakan dan hanya dapat bertahan beberapa hari. Bahan baku sering tidak langsung diolah atau digunakan untuk stok dalam proses produksi. Oleh karena itu, bentuk sediaan buah pinang sebagai bahan baku sangat penting untuk diperhatikan karena berhubungan dengan upaya mempertahankan mutu bahan baku.

Pewarna dapat diperoleh dari biji pinang melalui proses ekstraksi. Ekstrak biji pinang yang berbentuk cair dapat dikeringkan menghasilkan pewarna dalam bentuk bubuk. Spray drier merupakan salah satu metode pengeringan untuk menghasilkan produk bubuk dari dari bahan berbentuk cairan. Proses pengeringan menggunakan spray drier berlangsung sangat cepat, menghasilkan bubuk dengan mutu yang baik dan stabil dan biaya operasi yang relatif rendah (Munin dan Edwards-Levy 2011). Bahan pengisi biasa digunakan untuk menghasilkan produk bubuk yang berfungsi melindungi senyawa aktif target, mengurangi kehilangan senyawa aktif selama proses pengeringan dan meningkatkan rendemen produk. Gum arab merupakan bahan pengisi yang mudah larut dalam air dan merupakan pengkapsul yang dapat melindungi bahan aktif yang akan dikeringkan (Gharsallaoui et al. 2007).

Berdasarkan hal tersebut di atas, pada penelitian ini dilakukan rekayasa proses untuk mendapatkan pewarna bubuk alami dari biji pinang melalui proses ekstraksi dan pengeringan menggunakan spray drier. Biji pinang yang digunakan berasal dari buah pinang muda dan buah pinang tua dengan bentuk sediaan yang berbeda, yaitu berupa irisan segar dan serbuk kering untuk mempelajari pengaruh tingkat ketuaan dan bentuk sediaan biji pinang terhadap karakteristik produk bubuk pewarna yang dihasilkan. Perlakuan penggunaan bahan pengisi (tanpa bahan pengisi dan penggunaan pengisi gum arab 2% b/v) diberikan terhadap filtrat hasil ekstraksi biji pinang yang akan dikeringkan menggunakan spray drier untuk mempelajari pengaruhnya terhadap karakteristik produk yang dihasilkan. Produk pewarna bubuk yang dihasilkan diaplikasikan pada pewarnaan tekstil khususnya kain katun dan kain sutera serta pada pewarnaan sabun transparan.

(29)

beberapa bahan fiksasi, yaitu tawas, kapur dan ferosulfat untuk melihat pengaruhnya terhadap warna kain yang dihasilkan serta perubahan warna akibat perlakuan pencucian dengan deterjen dan penjemuran di bawah sinar matahari.

Ekstrak biji pinang memiliki manfaat untuk kulit (Mahmood et al. 2011). Ekstrak biji pinang memiliki aktivitas antioksidan (Zhang et al. 2009; Meiyanto et al. 2008) dan dapat berfungsi sebagai anti-aging (Lee et al. 2001). Oleh karena itu, ekstrak biji pinang relevan digunakan pada produk kosmestik. Sabun transparan merupakan sabun perawatan dan kecantikan. Karakteristik sabun dipengaruhi oleh jenis asam lemak yang digunakan sebagai bahan baku serta bahan-bahan pendukung yang terlibat pada proses pembuatannya. Aplikasi pewarna bubuk alami ekstrak biji pinang pada sabun transparan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang dan jenis minyak pada pembuatan sabun transparan terhadap karakteristik sabun transparan yang dihasilkan serta perubahan intensitas warna sabun transparan setelah dilakukan penyimpanan.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan pewarna bubuk alami ekstrak dari biji pinang dengan tingkat ketuaan dan bentuk sediaan biji pinang berbeda serta dengan perlakuan penggunaan pengisi tertentu, mengetahui karakteristik pewarna bubuk yang dihasilkan serta mengaplikasikan pewarna bubuk yang dihasilkan pada pewarnaan tekstil dan sabun transparan.

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk:

1) Mengetahui pengaruh tingkat ketuaan dan bentuk sediaan biji pinang serta perlakuan penggunaan pengisi terhadap karakteristik bubuk ekstrak biji pinang. 2) Mengetahui pengaruh jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang dan jenis bahan fiksasi terhadap warna kain (katun dan sutera) serta perubahan warna kain akibat perlakuan pencucian dengan deterjen dan penjemuran di bawah sinar matahari.

3) Mengetahui pengaruh jenis minyak dan jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang terhadap warna dan karakteristik sabun transparan yang dihasilkan serta perubahan intensitas warna sabun transparan setelah dilakukan penyimpanan.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi hal-hal berikut:

1) Karakterisasi biji pinang yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan pewarna alami.

2) Pembuatan pewarna bubuk dari biji pinang menggunakan spray drier sekaligus karakterisasi pewarna bubuk yang dihasilkan.

(30)
(31)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Pinang

Tanaman pinang (Areca catechu Linn) termasuk golongan tanaman palma yang tersebar luas di Afrika Utara, Asia Selatan dan kepulauan Pasifik (Staples dan Bevaqua 2006). Penyebaran tanaman pinang di Indonesia meliputi daerah Nangroe Aceh Darussalam, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan (Miftahorrachman dan Maskromo 2007). Bagian yang memiliki nilai ekonomis yang utama pada tanaman pinang adalah buah khususnya biji. Buah pinang disebut buah batu (buni), keras dan berbentuk bulat telur. Panjang buah antara 3 – 7 cm, diameter biji 1,9 cm, warna kuning kemerahan. Buah terdiri atas tiga lapisan, yaitu lapisan luar (epicarp) yang tipis, lapisan tengah (mesocarp) berupa sabut dan lapisan dalam (endocarp) berupa biji yang di dalamnya terdapat endosperm.

Komponen utama biji pinang adalah air, protein, karbohidrat, lemak, serat, polifenol (flavonol dan tanin), alkaloid dan bahan mineral. Komposisi kimia pada biji pinang muda (hijau) dan biji pinang yang telah masak dapat dilihat pada Tabel 1. Konsentrasi kandungan kimia biji pinang berbeda-beda tergantung pada lokasi geografi tempat tumbuh dan tingkat kematangan buah.

Polifenol (flavonol, tanin) merupakan komponen yang cukup banyak terkandung dalam biji pinang. Polifenol merupakan senyawa yang memberikan rasa sepat pada biji. Menurut Maisuthisakul et al. (2007), biji pinang (kernel) mengandung total fenol sebesar 137,3 ± 0,3 mg GAE/g dengan aktivitas penangkapan radikal DPPH (EC50) sebesar 0,18 µg/µg DPPH sehingga biji pinang memiliki potensi sebagai antioksidan. Menurut Keijiro et al. (1988) dalam Wetwitayaklung et al. (2006), biji pinang mengandung 15% tanin terkondensasi berupa phlobatannin dan katekin. Menurut Raghavan dan Baruah (1958) kadar polifenol pada biji pinang bervariasi tergantung pada wilayah tempat tumbuh, tingkat kematangan dan proses pengolahan. Kadar tanin tertinggi terdapat pada buah yang masih muda dan kadarnya menurun dengan meningkatnya tingkat kematangan buah. Menurut Awang (1987), biji pinang yang disangrai memiliki Tabel 1 Komposisi kimia pada biji pinang muda (hijau) dan biji pinang yang

telah masak (% bobot kering, kecuali air)

Komponen Biji pinang muda Biji pinang masak

Air 69,4 – 74,1 38,9 – 56,7

(32)

6

kadar tanin berkisar antara 5 – 41% (rata-rata 21,4 %). Biji pinang yang dikeringkan dengan sinar matahari memiliki kadar tanin 25% sedangkan biji pinang yang direbus memiliki kadar tanin 17%.

Alkaloid yang terdapat pada biji pinang adalah arecoline, arecaidine, guvacine dan guvacoline. Arecoline merupakan alkaloid yang paling utama. Senyawa alkaloid tersebut dapat menyebabkan mual dan muntah, sakit perut, pusing dan gelisah. Tanda-tanda kelebihan dosis adalah banyak keluar air liur, muntah, mengantuk dan serangan (jantung). Untuk mengurangi efek racun tersebut, pemakaian biji pinang sebaiknya yang telah dikeringkan atau lebih baik bila biji pinang kering direbus (Barlina, 2007). Struktur kimia alkaloid pada biji pinang dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur kimia alkaloid pada biji pinang (Mujumdar et al. 1982) Menurut Barlina (2007), biji pinang digunakan sebagai ramuan yang dimakan bersama sirih. Hal tersebut telah menjadi kebiasaan secara turun temurun pada beberapa daerah tertentu di Indonesia, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Nangro Aceh Darusalam dan Sumatera Barat. Biji pinang juga biasa digunakan untuk upacara adat, pengganti rokok, bahan kosmetik, pelangsing, bahan baku obat dan antidepresi.

Menurut Heyne (1987), biji pinang dapat digunakan sebagai bahan pewarna dan penyamak. Biji pinang yang belum terlalu masak dihaluskan dan dicampur dengan alkali dapat menghasilkan warna merah anggur tua. Oleh karena itu, India telah memanfaatkan biji pinang untuk mewarnai kain. Selain itu, biji pinang juga telah dimanfaatkan sebagai bahan penyamak kulit karena biji pinang mengandung tanin. Amerika dan Jerman pernah menggunakan biji pinang sebagai bahan penyamak secara besar-besaran. Standar mutu biji pinang yang akan diekspor secara umum adalah kering, tua, bersih dari kulit, tidak berlubang dan bebas dari jamur. Bentuk biji pinang untuk ekspor dapat berbentuk bulat atau utuh maupun dalam bentuk belahan atau irisan. Persyaratan mutu biji pinang untuk ekspor dapat dilihat pada Tabel 2.

(33)

Pasar ekspor utama biji pinang adalah India dan Pakistan. India dan

Pakistan mengimpor pinang dari Indonesia sebanyak 81.442.946 kg dan 53.297.229 kg atau sekitar 53% dan 35% dari total volume ekspor pinang

Indonesia pada Tahun 2006 (Tabel 3).

Mutu biji pinang dapat dikelompokkan menjadi enam tingkatan,yaitu good whole dried, bad whole dried, good half split, bad half split, dried split dan fresh. Mutu biji pinang berbeda-beda tergantung permintaan negara pengimpor. Negara– negara Timur Tengah banyak meminta mutu good whole dried dan good half dried, karena setelah biji pinang diiris dan dibakar atau digoreng kemudian dikonsumsi sebagai makanan. Korea Selatan banyak meminta mutu bad whole dried karena di negara tersebut biji pinang dihancurkan terlebih dahulu dan digunakan untuk bahan obat (Ditjenbun 2011).

Pewarna Alami

Bahan alami mempunyai warna (dye) karena bahan tersebut: (1) menyerap cahaya pada spektrum cahaya tampak (400-700nm), (2) mempunyai paling sedikit satu kromofor, (3) memiliki sistem yang berkonjugasi, dan (4) dapat mengalami resonansi elektron (Abrahart 1977 dalam IARC 2010).

Berdasarkan kelarutannya dalam air, pewarna dibagi menjadi dua kelas, yaitu dye dan pigmen. Dye dapat larut dalam air dan sedangkan pigmen digunakan Tabel 2 Persyaratan mutu biji pinang untuk ekspor

Karakteristik

Sumber : Departemen Perdagangan RI (1985)

Tabel 3 Perkembangan volume dan nilai ekspor pinang pada Tahun

(34)

8

sebagai bahan tidak larut seperti dispersi. Ikatan pada dye terjadi melalui ikatan ionic, ikatan hydrogen dan gaya van der Walls. Ikatan pigmen pada bahan tekstil melalui ikatan polimer yang mengikatkan pigmen pada permukaan serat (Mussak dan Bechtold 2009).

Warna dapat diperoleh dari tumbuhan, seperti warna biru dari Indigofera spp. dan Haemotoxylum campechianum L., warna kuning dari Crocus sativus L., merah dari Rubia cordifolia L., coklat dari Peltophorum pterocarpum (DC.) Backer ex K. Heyne dan hitam dari Macaranga tanarius (L.) Muell. Arg. (Lemmens dan Soetjipto 1992).

Selain itu, menurut Lemmens dan Soetjipto (1992), pewarna nabati adalah bahan pewarna yang berasal dari tumbuhan. Bahan pewarna tersebut diekstrak dari jaringan tumbuhan melalui proses fermentasi, perebusan atau secara kimia. Warna tersebut dapat terlihat langsung pada bagian tumbuhan yang diekstrak seperti saffron yang diekstrak dari tumbuhan Crocus sativus L. Akan tetapi, ada juga pewarna nabati yang tidak terlihat langsung pada bagian tumbuhannya, seperti indigo dari spesies Indigofera).

Menurut Sequin-Frey (1981), pewarna alami termasuk ke dalam golongan flavonoid, tanin, terpenoid, naftokuinon, antrakuinon dan alkaloid. Flavonoid merupakan penyusun tumbuhan penghasil warna. Warna yang dihasilkan umumnya jingga sampai kuning dan mengandung unit C6-C3-C6.. Tumbuhan

penghasil warna mengandung golongan flavon, flavonol, isoflavon, chalcone dan katekin. Katekin termasuk golongan tanin terkondensasi yang merupakan ester dari gula (biasanya glukosa) dengan satu atau lebih trihidroksibenzena asam karboksilat. Tanin biasa digunakan dengan mengkombinasikannya dengan bahan pewarna lain, digunakan pada perlakuan pendahuluan pada serat dan menghasilkan warna coklat sampai hitam. Flavonoid umumnya merupakan pewarna mordan, kecuali catechin, dapat digunakan sebagai pewarna langsung (Sequin-Frey 1981)

Tanin merupakan golongan fenolat yang banyak tersebar pada tumbuhan. Tanin merupakan polimer dari polifenol yang mempunyai sifat larut dalam air. Tanin terdiri dari tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Kedua jenis tanin tersebut dapat mengikat dan mengendapkan protein, alkaloid, karbohidrat dan logam seperti besi, aluminium, tembaga, vanadium dan kalsium (Gaffney et al., 1986; Porter, 1992; Haslam, 1998 dalam Bechtold dan Mussak, 2009).

Tanin dapat diperoleh dari bagian tanaman seperti daun, buah, batang, akar dan ranting. Jumlah dan jenis tanin yang dihasilkan oleh tanaman tergantung pada jenis tanaman, kultivar, jaringan, tingkat perkembangan dan pertumbuhan dan kondisi lingkungan. Tanin banyak digunakan dalam pewarnaan (dyeing), obat-obatan dan pembuatan tinta (Aung dan Win 2008)

Kompleks logam dapat terbentuk dalam larutan tanin. Tanin dapat membentuk kompleks dengan logam. Kompleks besi tanat yang berwarna biru-hitam merupakan sumber tinta tulis pada beberapa abad yang lalu dan bangsa Mesir kuno menggunakan senyawa kompleks tersebut sebagai pewarna rambut (Slabbert 1992 dalam Bechtold dan Mussak 2009).

(35)

digunakan untuk pangan. Warna timbul dari golongan senyawa ini karena terdapat banyak ikatan rangkap menyebabkan bahan dapat menyerap cahaya tampak.

Naftakuinon dan antrakuinon mengandung struktur aromatik yang menghasilkan pewarna mordan berwana merah yang kuat. Contoh pewarna dari golongan ini adalah alizarin yang diperoleh dari tanaman dan caminic acid (cochineal) yang dari hewan.

Alkaloid umumnya dihasilkan oleh tumbuhan tingkat tinggi dan mengandung atom nitrogen. Contoh pewarna dari golongan ini adalah indigo dan Tyrian purple.

Ekstraksi dan Aplikasi Pewarna Alami

Efisiensi ekstraksi zat warna dari bahan alam baik tumbuhan, hewan maupun mineral tergantung pada jenis bahan pengekstrak (berupa air/pelarut organik atau berupa asam/basa), pH, kondisi ekstraksi seperti suhu, waktu, nisbah antara bahan dengan pelarut dan ukuran partikel substrat. Beberapa penelitian mengenai ekstraksi dan aplikasi pewarna alami dapat dilihat pada Tabel 4.

Perwarna alami dibagi menjadi dua kategori, yaitu substantif dan ajektif. Pewarna substantif atau disebut juga pewarna langsung (direct dye) adalah pewarna yang dapat terikat secara kimiawi pada serat tanpa penambahan bahan kimia atau aditif lain, contohnya indigo dan lichen.

Proses pewarnaan tekstil secara sederhana meliputi proses mordan, pewarnaan, fiksasi dan pengeringan. Proses mordan merupakan proses perlakuan awal pada kain yang akan diwarnai agar lemak, minyak, kanji dan kotoran yang tertinggal pada proses penenunan dapat dihilangkan. Proses mordan dilakukan dengan memanaskan kain dalam larutan tawas sampai mendidih. Proses fiksasi adalah proses mengunci warna pada kain agar zat warna memiliki ketahanan luntur yang baik (Moerdoko 1975). Ada tiga jenis bahan fiksasi yang biasa digunakan, yaitu tunjung atau ferrosulfat (FeSO4), tawas (Al2(SO4)3) dan kapur

tohor (CaCO3) (Kwartiningsih et al. 2009).

Proses mordan dilakukan sebelum proses pewarnaan, yaitu dengan cara merendam serat dalam larutan garam seperti garam dari logam aluminium, krom, tembaga, besi dan timah. Ion logam tersebut akan membentuk kompleks yang kuat antara serat dengan pewarna. Garam logam yang berbeda akan menghasilkan tingkat warna yang berbeda pada pewarna yang sama (Sequin-Frey 1981).

(36)

10

Tabel 4 Beberapa penelitian mengenai ekstraksi dan aplikasi pewarna alami

Penulis

- Ekstraksi menggunakan shaker pada suhu ruang selama 12 jam.

- Pelarut yang digunakan adalah etanol absolut yang diasamkan dengan 1% HCl.

Ekstraksi menggunakan dua cara, yaitu sebagai berikut: dengan kecepatan pengadukan 500 rpm.

- Ekstraksi dengan cara pemanasan selama dua jam

- Ekstraksi dengan perendaman selama 24 jam dan dilanjutkan

- Ekstraksi dengan perebusan dalam air mendidih selama ± 1menit dan dilanjutkan dengan perendaman dalam air panas tersebut selama ± 30 menit.

- Pengisi yang digunakan adalah maltodekstrin dan dekstrin dengan konsentrasi 5%, 10% dan 15%(b/v).

- Pengeringan filtrat menggunakan

vacuum drier selama ± 7.5 jam.

- Bubuk

(37)

Ikatan kimia zat warna (dye) dengan serat merupakan sesuatu yang kompleks. Ikatannya melibatkan interaksi ikatan langsung (direct bonding), ikatan hidrogen dan hidrofobik. Mordan membantu mengikatkan warna ke serat dengan membentuk jembatan kimia dari warna ke kain sehingga meningkatkan ketahanan luntur. Mordan membentuk senyawa warna yang berikatan dengan serat menjadi tidak larut. Keberadaan gugus fungsional tertentu pada posisi yang sesuai dalam molekul warna dapat berikatan dengan ion logam. Sebagai contoh adalah pembentukan kompleks krom-alizarin. Ion krom dapat berikatan dengan alizarin melalui kovalensi dan valensi koordinat membentuk lake. Krom memiliki valensi tiga, bergabung dengan tiga molekul alizarin (Gambar 2). Serat yang tersusun dari protein seperti wol dan sutera, mengikat warna melalui ikatan hidrogen antara ikatan polipeptida dengan zat warna. Sebagai contoh alizarin berikatan dengan nilon-6 yang juga memiliki ikatan peptida (Vankar 2000).

Menurut Bechtold dan Mussak (2009), terdapat tiga cara proses pemordanan, yaitu pre mordanting, after mordanting dan meta mordanting. Perbedaan ketiga proses tersebut terletak pada waktu dilakukannya proses pemordanan. Pre mordanting adalah proses pemordanan yang dilakukan sebelum proses pewarnaan. After mordanting adalah proses pemordanan yang dilakukan setelah proses pewarnaan. Meta mordanting adalah proses pemordanan dilakukan bersamaan dengan proses pewarnaan dimana larutan mordan dicampur ke dalam larutan pewarna.

Menurut Sunaryati et al. (2000) proses pemordanan yang berbeda memberikan tingkat ketuaan warna yang berbeda pada pencelupan kain sutera. Pencelupan kain sutera tanpa mordan memberikan warna lebih tua daripada pencelupan secara simultan, dan lebih muda daripada pencelupan dengan proses pemordanan akhir. Proses pemordanan tidak memberikan perubahan yang berarti pada hasil pengujian ketahanan luntur warna terhadap gosokan dan pencucian

Gambar 2 Reaksi pembentukan komplek dengan ion krom (Vankar 2000)

(38)

12

serta tidak menunjukkan kenaikan pada ketahanan luntur warna terhadap sinar matahari.

Pewarna alami sudah banyak digunakan pada makanan dan minuman, rambut, kerajinan kain tenun, batik kain, batik kayu dan kerajinan tangan lainnya. Menurut Sutara (2009), pewarnaan benang tenun pada beberapa perusahaan tenun di Kabupaten Gianyar menggunakan pewarna sintetis dan pewarna alami. Proses pewarnaan dengan pewarna alami pada perusahaan tersebut dilakukan dengan memberikan ekstrak tumbuhan pada benang tenun yang telah dimordan. Selain itu, pewarnaan dengan pewarna alami dapat juga dilakukan dengan menggunakan bagian/organ tumbuhan secara langsung (tanpa dalam bentuk ekstrak), dimana benang tenun dicelupkan ke dalam rebusan bagian tumbuhan yang menjadi sumber pewarna.

Bogoriani dan Putra (2009) telah melakukan penelitian pewarnaan permukaan kayu akasia menggunakan campuran zat warna alami. Bahan yang digunakan sebagai perwarna berasal dari campuran gambir (bentuk biskuit), serbuk daun sirih dan serbuk biji pinang tua dengan perbandingan tertentu yang dilarutkan dalam air yang ditambahkan kapur sirih 0,5 gram dalam 100 ml air. Campuran bahan tersebut menghasilkan warna coklat kemerahan pada permukaan kayu akasia. Selain itu, Bogoriani (2010) juga melakukan penelitian penggunaan campuran gambir, sirih dan pinang pada pewarnaan kayu albasia dengan menggunakan mordan KMnO4. Penambahan mordan dan bahan sumber pewarna

dengan jumlah yang bervariasi menghasilkan warna yang bervariasi pula pada kayu, yaitu coklat kemerahan, coklat dan coklat tua.

Pengering Semprot (Spray Drier)

Operasi pemisahan pada pengeringan adalah kegiatan mengubah suatu bahan umpan berbentuk padatan, semipadat atau cairan menjadi produk berbentuk padatan melalui penguapan cairan yang terkandung di dalamnya ke fase uap dengan penambahan panas. Pengeringan dilakukan untuk tujuan tertentu seperti untuk mempermudah penanganan padatan yang dapat mengalir bebas, pengawetan dan penyimpanan, pengurangan biaya transportasi, mendapatkan mutu tertentu dan lain sebagainya (Mujumdar dan Devahastin 2001).

Pengering semprot merupakan pengering untuk bahan berbentuk cair seperti larutan, suspensi atau emulsi menghasilkan produk berbentuk bubuk, butiran atau aglomerat. Menurut Gharsallaoui et al. (2007), pengeringan semprot dapat menghasilkan produk bubuk yang sangat halus dengan ukuran 10-50 µm atau partikel dengan ukuran yang lebih besar, yaitu 2 – 3 mm. Sistem pengeringan tersebut telah digunakan secara komersial untuk pengeringan produk-produk agrokimia, bioteknologi, bahan kimia dasar dan berat, susu, zat pewarna, konsentrat mineral dan bahan farmasi (Mujumdar dan Devahastin 2001).

(39)

rendah meskipun suhu udara pengering yang digunakan cukup tinggi, penguapan air terjadi pada permukaan yang sangat luas sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan hanya beberapa detik saja dan produk akhir yang dihasilkan berbentuk bubuk yang stabil sehingga memudahkan dalam penanganan dan transportasi (Spicer 1974).

Gum Arab

Gum arab atau gum akasia merupakan hasil sekresi dari tanaman jenis akasia. Tanaman ini tersebar luas di daerah tropis dan subtropis. Gum arab merupakan bahan yang memiliki struktur yang kompleks, tetapi secara umum terdiri atas dua fraksi. Fraksi pertama berupa gum (sekitar 70%) yang tersusun atas rantai polisakarida dengan sedikit atau tanpa bahan yang mengandung nitrogen. Fraksi kedua mengandung molekul dengan bobot molekul lebih besar yang mengandung protein (BeMiller dan Whistler 1996).

(40)
(41)

3

METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran Konseptual

Pewarna alami merupakan bahan pewarna yang pertama kali digunakan oleh manusia. Akan tetapi, penggunaan pewarna alami telah berkurang dan didominasi oleh pewarna sintetis. Hal tersebut disebabkan oleh sifat pewarna sintetis yang lebih stabil, cerah, bervariasi, dapat diproduksi dalam skala besar, mudah dalam penanganan dan penggunaan serta aplikasinya cukup luas. Namun demikian, kelemahan pewarna sintetis adalah mengandung gugus fungsi yang bersifat toksik dan dapat menyebabkan kanker serta menghasilkan limbah yang sulit untuk didegradasi. Oleh karena itu, penggunaan pewarna dari bahan alam menjadi alternatif pewarna yang aman dan ramah lingkungan.

Pewarna alami dapat diperoleh dari tumbuhan, hewan, mikroorganisme maupun mineral. Pewarna alami dalam bentuk siap pakai (instan) masih terbatas. Aplikasi pewarna alami dilakukan dengan mengekstrak bahan baku terlebih dahulu baru digunakan pada produk. Cara tersebut menyebabkan penggunaan pewarna alami menjadi tidak praktis.

Pinang (Areca catechu) merupakan tanaman yang dapat menghasilkan warna, khususnya bagian biji buah pinang. Biji pinang mengandung senyawa golongan polifenol (Nonaka 1989; Ma et al. 1996; Amudhan et al. 2012). Senyawa tersebut merupakan senyawa yang menghasilkan warna pada biji pinang. Menurut Amudhan (2010), polifenol menurun selama proses pemasakan buah pinang. Buah pinang muda memiliki kadar polifenol yang lebih tinggi.

Pewarna dapat diperoleh dari biji pinang dengan cara diekstrak kemudian dibuat dalam bentuk bubuk. Senyawa polifenol bersifat larut dalam air. Oleh karena itu, senyawa polifenol yang berperan sebagai pewarna pada pinang dapat diekstrak menggunakan air. Sardsaengjun dan Jutiviboonsuk (2010) melakukan ekstraksi terhadap polifenol dari biji pinang menggunakan pelarut air, kadar polifenol tertinggi diperoleh pada kondisi ekstraksi suhu 80oC selama 45 menit.

Pewarna berbentuk bubuk merupakan salah satu bentuk sediaan pewarna yang digunakan secara komersial. Produk berbentuk bubuk akan memudahkan dalam penanganan, penyimpanan, distribusi dan aplikasinya. Spray drier (pengering semprot) merupakan salah satu alat pengering yang dapat digunakan untuk menghasilkan produk berbentuk bubuk. Bahan pengisi biasa ditambahkan untuk menghasilkan produk bubuk. Penggunaan bahan pengisi dapat berfungsi melindungi senyawa aktif target, mengurangi kehilangan senyawa aktif selama proses pengeringan dan meningkatkan rendemen produk. Salah satu pengisi yang dapat digunakan adalah gum arab. Gum arab mudah larut dalam air dan merupakan enkapsulan yang dapat melindungi bahan aktif yang akan dikeringkan.

(42)

3

METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran Konseptual

Pewarna alami merupakan bahan pewarna yang pertama kali digunakan oleh manusia. Akan tetapi, penggunaan pewarna alami telah berkurang dan didominasi oleh pewarna sintetis. Hal tersebut disebabkan oleh sifat pewarna sintetis yang lebih stabil, cerah, bervariasi, dapat diproduksi dalam skala besar, mudah dalam penanganan dan penggunaan serta aplikasinya cukup luas. Namun demikian, kelemahan pewarna sintetis adalah mengandung gugus fungsi yang bersifat toksik dan dapat menyebabkan kanker serta menghasilkan limbah yang sulit untuk didegradasi. Oleh karena itu, penggunaan pewarna dari bahan alam menjadi alternatif pewarna yang aman dan ramah lingkungan.

Pewarna alami dapat diperoleh dari tumbuhan, hewan, mikroorganisme maupun mineral. Pewarna alami dalam bentuk siap pakai (instan) masih terbatas. Aplikasi pewarna alami dilakukan dengan mengekstrak bahan baku terlebih dahulu baru digunakan pada produk. Cara tersebut menyebabkan penggunaan pewarna alami menjadi tidak praktis.

Pinang (Areca catechu) merupakan tanaman yang dapat menghasilkan warna, khususnya bagian biji buah pinang. Biji pinang mengandung senyawa golongan polifenol (Nonaka 1989; Ma et al. 1996; Amudhan et al. 2012). Senyawa tersebut merupakan senyawa yang menghasilkan warna pada biji pinang. Menurut Amudhan (2010), polifenol menurun selama proses pemasakan buah pinang. Buah pinang muda memiliki kadar polifenol yang lebih tinggi.

Pewarna dapat diperoleh dari biji pinang dengan cara diekstrak kemudian dibuat dalam bentuk bubuk. Senyawa polifenol bersifat larut dalam air. Oleh karena itu, senyawa polifenol yang berperan sebagai pewarna pada pinang dapat diekstrak menggunakan air. Sardsaengjun dan Jutiviboonsuk (2010) melakukan ekstraksi terhadap polifenol dari biji pinang menggunakan pelarut air, kadar polifenol tertinggi diperoleh pada kondisi ekstraksi suhu 80oC selama 45 menit.

Pewarna berbentuk bubuk merupakan salah satu bentuk sediaan pewarna yang digunakan secara komersial. Produk berbentuk bubuk akan memudahkan dalam penanganan, penyimpanan, distribusi dan aplikasinya. Spray drier (pengering semprot) merupakan salah satu alat pengering yang dapat digunakan untuk menghasilkan produk berbentuk bubuk. Bahan pengisi biasa ditambahkan untuk menghasilkan produk bubuk. Penggunaan bahan pengisi dapat berfungsi melindungi senyawa aktif target, mengurangi kehilangan senyawa aktif selama proses pengeringan dan meningkatkan rendemen produk. Salah satu pengisi yang dapat digunakan adalah gum arab. Gum arab mudah larut dalam air dan merupakan enkapsulan yang dapat melindungi bahan aktif yang akan dikeringkan.

(43)

16

digunakan pada pewarnaan kain katun dan kain sutera serta pewarnaan sabun transparan.

Bahan

Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah pinang yang berasal dari Kota Jambi. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah akuades. Bahan yang digunakan pada aplikasi pewarnaan kain adalah kain katun, kain sutera, tawas, CaCO3, kapur tohor dan ferrosulfat. Bahan yang digunakan

pada aplikasi pewarnaan sabun transparan adalah minyak kelapa merk Barco, minyak kelapa sawit merk Bimoli, NaOH, gliserin, etanol teknis 70%, gula, asam sitrat, dietanolamida. Bahan yang kimia yang digunakan pada penelitian ini antara lain n-heksana, asam sulfat (H2SO4) pekat, katalis tembaga (II) sulfat (CuSO4)

dan natrium sulfat (Na2SO4), asam klorida (HCl), indikator mengsel, NaOH 0.02

N, reagen Folin Ciocalteu, larutan Na2CO3 jenuh serta bahan-bahan kimia lainnya

untuk analisis.

Alat

Peralatan yang digunakan adalah pisau, oven, blender, erlenmeyer, hot plate stirrer, penyaring vakum, spray dryer, pH meter merk Beckman, oven, chromameter, spektrofotometer merk Hach, refraktometer ABBE, timbangan analitik, erlenmeyer, gelas ukur serta peralatan gelas lainnya. Pengolahan data menggunakan bantuan software Microsoft Office Excel versi 2007 dan software SAS 9.1.3 Service Pack 4.

Prosedur Analisis Data

Penelitian ini terdiri dari tiga bagian, yaitu persiapan bahan baku, pembuatan pewarna bubuk dari biji pinang menggunakan spray drier dan aplikasi pewarna alami biji pinang pada pewarnaan tekstil dan sabun transparan.

Persiapan Bahan Baku

(44)

Aplikasi pewarna alami dari biji pinang pada kain katun dan kain sutera terdiri dari tiga bagian, yaitu pembuatan larutan pewarna, persiapan kain dan pewarnaan. Larutan pewarna dibuat dengan melarutkan pewarna bubuk ekstrak biji pinang ke dalam dalam air dengan konsentrasi 2,5 g/L mengacu pada hasil penelitian Agriawati (2003).

Kain yang diwarnai harus dipersiapkan terlebih dahulu dengan merendam kain dalam larutan typol (2 g/L) selama 24 jam kemudian kain dicuci, dibilas menggunakan air, diperas dan dikeringanginkan. Selanjutnya, kain dimordan dengan cara memanaskan kain dalam larutan tawas 8 g/L pada suhu 60oC selama 1 jam dan perendaman dalam larutan tawas tersebut dilanjutkan selama 12 jam pada suhu ruang. Kain diangkat dari larutan tawas, dibilas tanpa diperas, dikeringanginkan dan disetrika. Kain tersebut sudah dapat diberi perlakuan pewarnaan. Diagram air persiapan kain sebelum pewarnaan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Diagram alir proses persiapan kain

Perendam an dalam larut an t ypol 2

g/ L selam a 24 jam

Kain siap diw arnai Kain

Pencucian

Penger ingan (kering angin)

Kain kering

Pem bilasan Per endam an Suhu r uang selam a 12 jam Lar ut an t aw as 8 g/ L

Pem anasan

Suhu 60oC selam a 1 jam

Pengeringan

(45)

20

Kain yang akan diwarnai terlebih dahulu dibasahi dengan air. Selanjutnya, kain direndam larutan warna dengan konsentrasi 2,5 g/l vlot 1:30 (1 l larutan pewarna untuk 30 g kain) pada suhu 60oC selama 30 menit. Kain ditiriskan dan dikeringanginkan. Pencelupan dilakukan sebanyak empat kali. Setelah kering, kain direndam dalam larutan fiksasi sesuai perlakuan selama lima menit kemudian dicuci bersih. Kain dikeringkan pada suhu ruang. Pada kain tersebut kemudian dilakukan pengujian terhadap warna. Diagram alir proses pewarnaan kain dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Diagram alir proses pewarnaan kain Dibasahi

dengan air Larut an pewarna

vlot 1:30

Perendaman suhu 60oC, 30 menit

Penirisan Sisa Larutan Pewarna

Kain berwarna Pengeringan (kering angin)

Larutan fiksasi

Fiksasi 5 menit

Penirisan Sisa Larutan Fiksasi

Pengeringan (kering angin) Pencucian

(46)

Kain yang dihasilkan setelah proses pewarnaan kemudian diberi perlakuan pencucian menggunakan larutan deterjen dan perlakuan penjemuran di bawah sinar matahari. Perlakuan pencucian dengan larutan deterjen dilakukan dengan perendaman kain berwarna pada larutan deterjen komersial dengan konsentrasi 0,5% selama 30 menit, kemudian dibilas dua kali dengan air dan dikeringanginkan. Perlakuan penjemuran di bawah sinar matahari dilakukan dengan menjemur kain berwarna di bawah sinar matahari selama 6 jam dari jam 09.00 sampai 15.00. Kain yang diberi kedua perlakuan tersebut dianalisis warnanya (nilai L*, a*, b*, dan oHue ) serta dihitung perubahan warna kain yang dinyatakan dengan nilai ΔE. Prosedur analisis warna dan penghitungan nilai ΔE dapat dilihat pada Lampiran 1.

Aplikasi pada Pewarnaan Sabun Transparan

Pembuatan sabun transparan dilakukan dengan menggunakan formula Cognis (2003), Hambali et al. (2005) dan Karo (2011) yang telah dimodifikasi. Formula sabun transparan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Formula sabun transparan (diadaptasi dari Cognis 2003, Hambali et al. 2005 dan Karo 2011)

Perlakuan yang diujikan pada aplikasi pewarnaan sabun transparan adalah jenis minyak dan jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang. Jenis minyak yang digunakan adalah minyak kelapa (M1) dan campuran minyak kelapa dengan minyak sawit (15:5) (M2). Pewarna yang digunakan pewarna bubuk ekstrak biji pinang dari kombinasi perlakuan hasil penelitian sebelumnya.

(47)

22

pinang digunakan sebagai pewarna sabun transparan dicobakan dalam bentuk bubuk dan dalam bentuk larutan (konsentrasi 0.1% dalam etanol teknis 70%). Pengadukan dilakukan agar warna tercampur dan menyebar secara merata (homogen) dalam sabun. Selanjutnya, sabun yang masih dalam keadaan panas dimasukkan ke dalam cetakan. Setelah dingin, sabun akan mengeras dan dapat dikeluarkan dari cetakannya. Sabun di-aging selama empat minggu sebelum digunakan. Diagram alir pembuatan sabun transparan dapat dilihat pada Gambar 7. Karakteristik sabun transparan yang dianalisis adalah warna (nilai L*, a*, b*,

oHue) menggunakan chromameter, nilai pH, kadar air (SNI 06-3532-1994),

kekerasan dan stabilitas busa (Piyali et al., 1999). Pengamatan dilakukan terhadap perubahan intensitas warna yang terjadi setelah sabun disimpan selama enam bulan yang dinyatakan dengan nilai ΔE.

Asam st earat (Padat )

Pemanasan (T = 60oC)

Asam Stearat (Cair)

NaOH 30% Minyak Nabati Penyabunan

T = 70 – 80oC

Stok Sabun

NaCl Gula pasir

DEA Air Gliserin

Etanol

Pengadukan T = 70 – 80oC

Pendinginan

Sabun Dasar Transparan

Pemanasan (T = 60oC)

Larutan Pewarna (sesuai perlakuan)

Pencetakan

Aging 4 minggu

(48)

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan pada tahap pembuatan pewarna bubuk dari biji pinang adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor. Faktor pertama adalah tingkat kematangan buah pinang dengan dua taraf, yaitu biji pinang muda (A1) dan biji pinang tua (A2). Faktor kedua adalah perlakuan penggunaan bahan pengisi dengan dua taraf, yaitu tanpa bahan pengisi (B1) dan penggunaan bahan pengisi (gum arab 2% b/v) (B2). Setiap kombinasi faktor perlakuan diulang dua kali. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (analysis of varian) dengan uji lanjut Duncan. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut (Gomez dan Gomez 1995):

Yijk = μ + Ai + Bj + (AB)ij + εijk Keterangan :

Yijk = hasil pengamatan faktor tingkat kematangan buah pinang (A) taraf ke-i, faktor faktor penggunaan bahan pengisi (B) taraf ke-j ulangan ke-k

 = rata – rata yang sebenarnya

Ai = pengaruh faktor tingkat kematangan buah pinang taraf ke-i (i = 1, 2) Bj = pengaruh faktor perlakuan penggunaan bahan pengisi taraf ke-j (j =

1, 2)

(AB)ij = pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j εijk = galat satuan percobaan taraf ke-i faktor A, taraf ke-j faktor B, pada

ulangan ke-k (k = 1, 2)

Pengamatan dilakukan terhadap pewarna bubuk ekstrak biji pinang yang dihasilkan. Parameter yang diamati adalah kadar air, rendemen, densitas kamba, pH, kelarutan, warna, Fourier Transform Infra Red (FTIR), kadar total fenol dan analisis toksisitas menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT).

Rancangan percobaan yang digunakan pada tahap aplikasi pewarna bubuk ekstrak biji pinang pada pewarnaan kain adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dua faktor. Faktor pertama adalah jenis pewarna bubuk dari ekstrak biji pinang yang diperoleh dari seluruh kombinasi perlakuan dari penelitian sebelumnya yaitu A1B1 (W1), A1B2 (W2), A2B1 (W3), A2B2 (W4). Faktor kedua adalah jenis bahan fiksasi dengan empat taraf yaitu tanpa bahan fiksasi (F1), tawas (F2), kapur (F3) dan ferrosulfat (F4). Setiap kombinasi faktor perlakuan diulang dua kali. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (analysis of varian) dengan uji lanjut Duncan. Pengamatan dilakukan terhadap kain yang telah diberi perlakuan. Parameter yang diamati adalah analisis warna (nilai L*, nilai a*, nilai b* dan nilai oHue). Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut (Gomez dan Gomez 1995) :

Yijkl = μ + Wi + Fj + (WF)ij + εijk Keterangan :

Yijk = hasil pengamatan faktor jenis pewarna (W) taraf ke-i dan faktor penggunaan bahan fiksasi (F)) taraf ke-j pada ulangan ke-k

 = rata – rata yang sebenarnya

(49)

24

Fj = pengaruh faktor perlakuan penggunaan bahan fiksasi taraf ke-j (k = 1,2, 3, 4)

(WF)ij = pengaruh interaksi faktor W taraf ke-i dan faktor F taraf ke-j εijk = galat satuan percobaan taraf ke-i faktor W, taraf ke-j faktor F pada

ulangan ke-k (k = 1, 2)

Rancangan percobaan yang digunakan pada tahap aplikasi pewarna bubuk ekstrak biji pinang pada pewarnaan sabun transparan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dua faktor. Faktor pertama adalah jenis minyak dengan dua taraf, yaitu minyak kelapa (M1) dan campuran minyak kelapa dengan minyak sawit (15:5 b/b) (M2). Faktor kedua adalah jenis pewarna bubuk ekstrak biji pinang dipilih dari kombinasi perlakuan hasil penelitian A1B1 (P1), A1B2 (P2). Setiap kombinasi faktor perlakuan diulang dua kali. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (analysis of varian) dan uji kontras ortogonal dengan taraf nyata α = 0.05 . Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut (Gomez dan Gomez 1995):

Yijkl = μ + Mi + Pj + (MP)ij + εijk Keterangan :

Yijk = hasil pengamatan faktor jenis minyak (M) taraf ke-I dan faktor jenis pewarna (P) taraf ke-j pada ulangan ke-k

 = rata – rata yang sebenarnya

Mi = pengaruh faktor jenis minyak taraf ke-i (i = 1, 2) Pj = pengaruh faktor jenis pewarna taraf ke-j (j = 1, 2)

(MP)ij = pengaruh interaksi faktor M taraf ke-I dan faktor P taraf ke-j

εijk = galat satuan percobaan taraf ke-i faktor M dan taraf ke-j faktor P, pada ulangan ke-k (k = 1, 2)

Gambar

Tabel 1   Komposisi kimia pada biji pinang muda (hijau) dan biji pinang yang telah masak (% bobot kering, kecuali air)
Tabel 3  Perkembangan volume dan nilai ekspor pinang pada Tahun 2004-2008
Tabel 4  Beberapa penelitian mengenai ekstraksi dan aplikasi pewarna alami
Gambar 2  Reaksi pembentukan komplek dengan ion krom (Vankar 2000)
+7

Referensi

Dokumen terkait