• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pinang

Tanaman pinang (Areca catechu Linn) termasuk golongan tanaman palma yang tersebar luas di Afrika Utara, Asia Selatan dan kepulauan Pasifik (Staples dan Bevaqua 2006). Penyebaran tanaman pinang di Indonesia meliputi daerah Nangroe Aceh Darussalam, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan (Miftahorrachman dan Maskromo 2007). Bagian yang memiliki nilai ekonomis yang utama pada tanaman pinang adalah buah khususnya biji. Buah pinang disebut buah batu (buni), keras dan berbentuk bulat telur. Panjang buah antara 3 – 7 cm, diameter biji 1,9 cm, warna kuning kemerahan. Buah terdiri atas tiga lapisan, yaitu lapisan luar (epicarp) yang tipis, lapisan tengah (mesocarp) berupa sabut dan lapisan dalam (endocarp) berupa biji yang di dalamnya terdapat endosperm.

Komponen utama biji pinang adalah air, protein, karbohidrat, lemak, serat, polifenol (flavonol dan tanin), alkaloid dan bahan mineral. Komposisi kimia pada biji pinang muda (hijau) dan biji pinang yang telah masak dapat dilihat pada Tabel 1. Konsentrasi kandungan kimia biji pinang berbeda-beda tergantung pada lokasi geografi tempat tumbuh dan tingkat kematangan buah.

Polifenol (flavonol, tanin) merupakan komponen yang cukup banyak terkandung dalam biji pinang. Polifenol merupakan senyawa yang memberikan rasa sepat pada biji. Menurut Maisuthisakul et al. (2007), biji pinang (kernel) mengandung total fenol sebesar 137,3 ± 0,3 mg GAE/g dengan aktivitas penangkapan radikal DPPH (EC50) sebesar 0,18 µg/µg DPPH sehingga biji pinang memiliki potensi sebagai antioksidan. Menurut Keijiro et al. (1988) dalam Wetwitayaklung et al. (2006), biji pinang mengandung 15% tanin terkondensasi berupa phlobatannin dan katekin. Menurut Raghavan dan Baruah (1958) kadar polifenol pada biji pinang bervariasi tergantung pada wilayah tempat tumbuh, tingkat kematangan dan proses pengolahan. Kadar tanin tertinggi terdapat pada buah yang masih muda dan kadarnya menurun dengan meningkatnya tingkat kematangan buah. Menurut Awang (1987), biji pinang yang disangrai memiliki Tabel 1 Komposisi kimia pada biji pinang muda (hijau) dan biji pinang yang

telah masak (% bobot kering, kecuali air)

Komponen Biji pinang muda Biji pinang masak

Air 69,4 – 74,1 38,9 – 56,7 Karbohidrat 17,3 – 23,0 17,8 – 25,7 Protein 6,7 – 9,4 6,2 – 7,5 Lemak 8,1 – 12,0 9,5 – 15,1 Serat 8,2 – 9,8 11,4 – 15,4 Polifenol 17,2 – 29,8 11,1 – 17,8 Arekolin 0,11 – 0,14 0,12 – 0,24 Abu 1,2 – 2,5 1,1 – 1,5

6

kadar tanin berkisar antara 5 – 41% (rata-rata 21,4 %). Biji pinang yang dikeringkan dengan sinar matahari memiliki kadar tanin 25% sedangkan biji pinang yang direbus memiliki kadar tanin 17%.

Alkaloid yang terdapat pada biji pinang adalah arecoline, arecaidine, guvacine dan guvacoline. Arecoline merupakan alkaloid yang paling utama. Senyawa alkaloid tersebut dapat menyebabkan mual dan muntah, sakit perut, pusing dan gelisah. Tanda-tanda kelebihan dosis adalah banyak keluar air liur, muntah, mengantuk dan serangan (jantung). Untuk mengurangi efek racun tersebut, pemakaian biji pinang sebaiknya yang telah dikeringkan atau lebih baik bila biji pinang kering direbus (Barlina, 2007). Struktur kimia alkaloid pada biji pinang dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur kimia alkaloid pada biji pinang (Mujumdar et al. 1982) Menurut Barlina (2007), biji pinang digunakan sebagai ramuan yang dimakan bersama sirih. Hal tersebut telah menjadi kebiasaan secara turun temurun pada beberapa daerah tertentu di Indonesia, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Nangro Aceh Darusalam dan Sumatera Barat. Biji pinang juga biasa digunakan untuk upacara adat, pengganti rokok, bahan kosmetik, pelangsing, bahan baku obat dan antidepresi.

Menurut Heyne (1987), biji pinang dapat digunakan sebagai bahan pewarna dan penyamak. Biji pinang yang belum terlalu masak dihaluskan dan dicampur dengan alkali dapat menghasilkan warna merah anggur tua. Oleh karena itu, India telah memanfaatkan biji pinang untuk mewarnai kain. Selain itu, biji pinang juga telah dimanfaatkan sebagai bahan penyamak kulit karena biji pinang mengandung tanin. Amerika dan Jerman pernah menggunakan biji pinang sebagai bahan penyamak secara besar-besaran. Standar mutu biji pinang yang akan diekspor secara umum adalah kering, tua, bersih dari kulit, tidak berlubang dan bebas dari jamur. Bentuk biji pinang untuk ekspor dapat berbentuk bulat atau utuh maupun dalam bentuk belahan atau irisan. Persyaratan mutu biji pinang untuk ekspor dapat dilihat pada Tabel 2.

Menurut Staples dan Bevaqua (2006), biji pinang kering dalam bentuk utuh atau irisan merupakan produk komersial dalam perdagangan internasional. Biji pinang tersebut diperoleh dari buah pinang masak maupun masih muda. Buah pinang dikupas kemudian biji dalam bentuk utuh, belah atau irisan dikeringkan. Pengeringan dapat dilakukan dengan penjemuran di bawah matahari, pemanasan dalam oven atau dengan pengasapan. Di lain pihak, terdapat juga yang melakukan biji pinang perebusan sebelum proses pengeringan untuk mengurangi kadar tanin dalam biji.

Pasar ekspor utama biji pinang adalah India dan Pakistan. India dan

Pakistan mengimpor pinang dari Indonesia sebanyak 81.442.946 kg dan 53.297.229 kg atau sekitar 53% dan 35% dari total volume ekspor pinang

Indonesia pada Tahun 2006 (Tabel 3).

Mutu biji pinang dapat dikelompokkan menjadi enam tingkatan,yaitu good whole dried, bad whole dried, good half split, bad half split, dried split dan fresh. Mutu biji pinang berbeda-beda tergantung permintaan negara pengimpor. Negara– negara Timur Tengah banyak meminta mutu good whole dried dan good half dried, karena setelah biji pinang diiris dan dibakar atau digoreng kemudian dikonsumsi sebagai makanan. Korea Selatan banyak meminta mutu bad whole dried karena di negara tersebut biji pinang dihancurkan terlebih dahulu dan digunakan untuk bahan obat (Ditjenbun 2011).

Pewarna Alami

Bahan alami mempunyai warna (dye) karena bahan tersebut: (1) menyerap cahaya pada spektrum cahaya tampak (400-700nm), (2) mempunyai paling sedikit satu kromofor, (3) memiliki sistem yang berkonjugasi, dan (4) dapat mengalami resonansi elektron (Abrahart 1977 dalam IARC 2010).

Berdasarkan kelarutannya dalam air, pewarna dibagi menjadi dua kelas, yaitu dye dan pigmen. Dye dapat larut dalam air dan sedangkan pigmen digunakan Tabel 2 Persyaratan mutu biji pinang untuk ekspor

Karakteristik

Syarat

Pinang Utuh Pinang Iris

Mutu I Mutu II Mutu I Mutu II Kadar air (%)(bobot/bobot),

maksimum 12 12 12 12

Serangga Hidup Tidak ada

Berkapang/berlembaga Hitam (%), maksimum 0 0 0 0 Retak/pecah/luka (%) (bobot/bobot), maksimum 5 5 Tak ada syarat Tak ada syarat

Sumber : Departemen Perdagangan RI (1985)

Tabel 3 Perkembangan volume dan nilai ekspor pinang pada Tahun 2004- 2008

Tahun Volume (ton) Nilai (000 US$)

2004 120.923 43.455

2005 130.241 50.611

2006 153.306 79.017

2007 177.135 94.598

2008 183.972 106.335

8

sebagai bahan tidak larut seperti dispersi. Ikatan pada dye terjadi melalui ikatan ionic, ikatan hydrogen dan gaya van der Walls. Ikatan pigmen pada bahan tekstil melalui ikatan polimer yang mengikatkan pigmen pada permukaan serat (Mussak dan Bechtold 2009).

Warna dapat diperoleh dari tumbuhan, seperti warna biru dari Indigofera spp. dan Haemotoxylum campechianum L., warna kuning dari Crocus sativus L., merah dari Rubia cordifolia L., coklat dari Peltophorum pterocarpum (DC.) Backer ex K. Heyne dan hitam dari Macaranga tanarius (L.) Muell. Arg. (Lemmens dan Soetjipto 1992).

Selain itu, menurut Lemmens dan Soetjipto (1992), pewarna nabati adalah bahan pewarna yang berasal dari tumbuhan. Bahan pewarna tersebut diekstrak dari jaringan tumbuhan melalui proses fermentasi, perebusan atau secara kimia. Warna tersebut dapat terlihat langsung pada bagian tumbuhan yang diekstrak seperti saffron yang diekstrak dari tumbuhan Crocus sativus L. Akan tetapi, ada juga pewarna nabati yang tidak terlihat langsung pada bagian tumbuhannya, seperti indigo dari spesies Indigofera).

Menurut Sequin-Frey (1981), pewarna alami termasuk ke dalam golongan flavonoid, tanin, terpenoid, naftokuinon, antrakuinon dan alkaloid. Flavonoid merupakan penyusun tumbuhan penghasil warna. Warna yang dihasilkan umumnya jingga sampai kuning dan mengandung unit C6-C3-C6.. Tumbuhan

penghasil warna mengandung golongan flavon, flavonol, isoflavon, chalcone dan katekin. Katekin termasuk golongan tanin terkondensasi yang merupakan ester dari gula (biasanya glukosa) dengan satu atau lebih trihidroksibenzena asam karboksilat. Tanin biasa digunakan dengan mengkombinasikannya dengan bahan pewarna lain, digunakan pada perlakuan pendahuluan pada serat dan menghasilkan warna coklat sampai hitam. Flavonoid umumnya merupakan pewarna mordan, kecuali catechin, dapat digunakan sebagai pewarna langsung (Sequin-Frey 1981)

Tanin merupakan golongan fenolat yang banyak tersebar pada tumbuhan. Tanin merupakan polimer dari polifenol yang mempunyai sifat larut dalam air. Tanin terdiri dari tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Kedua jenis tanin tersebut dapat mengikat dan mengendapkan protein, alkaloid, karbohidrat dan logam seperti besi, aluminium, tembaga, vanadium dan kalsium (Gaffney et al., 1986; Porter, 1992; Haslam, 1998 dalam Bechtold dan Mussak, 2009).

Tanin dapat diperoleh dari bagian tanaman seperti daun, buah, batang, akar dan ranting. Jumlah dan jenis tanin yang dihasilkan oleh tanaman tergantung pada jenis tanaman, kultivar, jaringan, tingkat perkembangan dan pertumbuhan dan kondisi lingkungan. Tanin banyak digunakan dalam pewarnaan (dyeing), obat- obatan dan pembuatan tinta (Aung dan Win 2008)

Kompleks logam dapat terbentuk dalam larutan tanin. Tanin dapat membentuk kompleks dengan logam. Kompleks besi tanat yang berwarna biru- hitam merupakan sumber tinta tulis pada beberapa abad yang lalu dan bangsa Mesir kuno menggunakan senyawa kompleks tersebut sebagai pewarna rambut (Slabbert 1992 dalam Bechtold dan Mussak 2009).

Terpenoid atau isoprenoid tersusun atas unit isopentana, isoprena atau unit C5. Contoh pewarna dari golongan ini adalah crocetin dari tanaman saffron, yang

digunakan untuk pangan. Warna timbul dari golongan senyawa ini karena terdapat banyak ikatan rangkap menyebabkan bahan dapat menyerap cahaya tampak.

Naftakuinon dan antrakuinon mengandung struktur aromatik yang menghasilkan pewarna mordan berwana merah yang kuat. Contoh pewarna dari golongan ini adalah alizarin yang diperoleh dari tanaman dan caminic acid (cochineal) yang dari hewan.

Alkaloid umumnya dihasilkan oleh tumbuhan tingkat tinggi dan mengandung atom nitrogen. Contoh pewarna dari golongan ini adalah indigo dan Tyrian purple.

Ekstraksi dan Aplikasi Pewarna Alami

Efisiensi ekstraksi zat warna dari bahan alam baik tumbuhan, hewan maupun mineral tergantung pada jenis bahan pengekstrak (berupa air/pelarut organik atau berupa asam/basa), pH, kondisi ekstraksi seperti suhu, waktu, nisbah antara bahan dengan pelarut dan ukuran partikel substrat. Beberapa penelitian mengenai ekstraksi dan aplikasi pewarna alami dapat dilihat pada Tabel 4.

Perwarna alami dibagi menjadi dua kategori, yaitu substantif dan ajektif. Pewarna substantif atau disebut juga pewarna langsung (direct dye) adalah pewarna yang dapat terikat secara kimiawi pada serat tanpa penambahan bahan kimia atau aditif lain, contohnya indigo dan lichen.

Proses pewarnaan tekstil secara sederhana meliputi proses mordan, pewarnaan, fiksasi dan pengeringan. Proses mordan merupakan proses perlakuan awal pada kain yang akan diwarnai agar lemak, minyak, kanji dan kotoran yang tertinggal pada proses penenunan dapat dihilangkan. Proses mordan dilakukan dengan memanaskan kain dalam larutan tawas sampai mendidih. Proses fiksasi adalah proses mengunci warna pada kain agar zat warna memiliki ketahanan luntur yang baik (Moerdoko 1975). Ada tiga jenis bahan fiksasi yang biasa digunakan, yaitu tunjung atau ferrosulfat (FeSO4), tawas (Al2(SO4)3) dan kapur

tohor (CaCO3) (Kwartiningsih et al. 2009).

Proses mordan dilakukan sebelum proses pewarnaan, yaitu dengan cara merendam serat dalam larutan garam seperti garam dari logam aluminium, krom, tembaga, besi dan timah. Ion logam tersebut akan membentuk kompleks yang kuat antara serat dengan pewarna. Garam logam yang berbeda akan menghasilkan tingkat warna yang berbeda pada pewarna yang sama (Sequin-Frey 1981).

Menurut Djufri (1996), pencelupan (pewarnaan) pada bahan (kain) melibatkan beberapa proses, yaitu dispersi, migrasi, adsorbs, difusi, absorpsi dan fiksasi. Dispersi adalah proses penguraian zat warna dalam larutan celup. Migrasi adalah proses pelarutan zat warna dan bergeraknya larutan zat warna tersebut pada bahan. Proses menempelnya molekul zat warna pada serat disebut adsorbsi. Selanjutnya, zat warna tersebut masuk atau menyerap dari permukaan ke dalam bahan secara bertahap disebut proses difusi. Absorpsi adalah proses penyerapan zat warna dari permukaan serat ke dalam serat. Fiksasi adalah proses terikatnya molekul zat warna ke dalam serat.

10

Tabel 4 Beberapa penelitian mengenai ekstraksi dan aplikasi pewarna alami

Penulis Sumber bahan pewarna Metode ekstraksi Bentuk produk dan aplikasi Holinesti (2007) Kayu secang

- Ekstraksi menggunakan shaker pada suhu ruang selama 12 jam.

- Pelarut yang digunakan adalah etanol absolut yang diasamkan dengan 1% HCl.

- Nisbah antara bahan dengan pelarut 1:5 (b/v). - Ekstrak kental (pigmen brazilein) - Aplikasi pada model pangan (kerupuk) Kwartiningsih et al. (2009) Kulit manggis

Ekstraksi menggunakan dua cara, yaitu sebagai berikut:

a.Soxhlet

Suhu yang digunakan adalah 78oC b.Tangki berpengaduk

- Ekstraksi dilakukan pada suhu optimum 60o – 70oC selama dua jam dengan kecepatan pengadukan 500 rpm.

- Pelarut yang digunakan adalah etanol

- Nisbah antara bahan dengan pelarut 1:10 (b/v) - Bubuk - Aplikasi pada pewarnaan kain Bogoriani (2010) Gambir, serbuk daun sirih dan serbuk biji pinang

- Ekstraksi dengan cara pemanasan selama dua jam

- Pelarut yang digunakan air

- Nisbah antara bahan dengan pelarut 1:10 (b/v) - Larutan - Aplikasi pada pewarnaan kayu Inayat et al. (2010) Ranting walnut, ranting eukaliptus, rimpang kunyit

- Ekstraksi dengan perendaman selama 24 jam dan dilanjutkan dengan perebusan selama 30 menit.

- Pelarut yang digunakan air.

- Nisbah antara bahan dengan pelarut 1:10 (b/v) - Larutan - Aplikasi pada pewarnaan kulit Wulansari et al. (2012) Biji pinang muda

- Ekstraksi dengan perebusan dalam air mendidih selama ± 1menit dan dilanjutkan dengan perendaman dalam air panas tersebut selama ± 30 menit.

- Pengisi yang digunakan adalah maltodekstrin dan dekstrin dengan konsentrasi 5%, 10% dan 15%(b/v).

- Pengeringan filtrat menggunakan

vacuum drier selama ± 7.5 jam.

- Bubuk

- Aplikasi pada jelly

Ikatan kimia zat warna (dye) dengan serat merupakan sesuatu yang kompleks. Ikatannya melibatkan interaksi ikatan langsung (direct bonding), ikatan hidrogen dan hidrofobik. Mordan membantu mengikatkan warna ke serat dengan membentuk jembatan kimia dari warna ke kain sehingga meningkatkan ketahanan luntur. Mordan membentuk senyawa warna yang berikatan dengan serat menjadi tidak larut. Keberadaan gugus fungsional tertentu pada posisi yang sesuai dalam molekul warna dapat berikatan dengan ion logam. Sebagai contoh adalah pembentukan kompleks krom-alizarin. Ion krom dapat berikatan dengan alizarin melalui kovalensi dan valensi koordinat membentuk lake. Krom memiliki valensi tiga, bergabung dengan tiga molekul alizarin (Gambar 2). Serat yang tersusun dari protein seperti wol dan sutera, mengikat warna melalui ikatan hidrogen antara ikatan polipeptida dengan zat warna. Sebagai contoh alizarin berikatan dengan nilon-6 yang juga memiliki ikatan peptida (Vankar 2000).

Menurut Bechtold dan Mussak (2009), terdapat tiga cara proses pemordanan, yaitu pre mordanting, after mordanting dan meta mordanting. Perbedaan ketiga proses tersebut terletak pada waktu dilakukannya proses pemordanan. Pre mordanting adalah proses pemordanan yang dilakukan sebelum proses pewarnaan. After mordanting adalah proses pemordanan yang dilakukan setelah proses pewarnaan. Meta mordanting adalah proses pemordanan dilakukan bersamaan dengan proses pewarnaan dimana larutan mordan dicampur ke dalam larutan pewarna.

Menurut Sunaryati et al. (2000) proses pemordanan yang berbeda memberikan tingkat ketuaan warna yang berbeda pada pencelupan kain sutera. Pencelupan kain sutera tanpa mordan memberikan warna lebih tua daripada pencelupan secara simultan, dan lebih muda daripada pencelupan dengan proses pemordanan akhir. Proses pemordanan tidak memberikan perubahan yang berarti pada hasil pengujian ketahanan luntur warna terhadap gosokan dan pencucian

Gambar 2 Reaksi pembentukan komplek dengan ion krom (Vankar 2000)

Cr O O O O O OH O OH O O OH O OH O OH O Cr+++ + + 3H+ Alizarin

12

serta tidak menunjukkan kenaikan pada ketahanan luntur warna terhadap sinar matahari.

Pewarna alami sudah banyak digunakan pada makanan dan minuman, rambut, kerajinan kain tenun, batik kain, batik kayu dan kerajinan tangan lainnya. Menurut Sutara (2009), pewarnaan benang tenun pada beberapa perusahaan tenun di Kabupaten Gianyar menggunakan pewarna sintetis dan pewarna alami. Proses pewarnaan dengan pewarna alami pada perusahaan tersebut dilakukan dengan memberikan ekstrak tumbuhan pada benang tenun yang telah dimordan. Selain itu, pewarnaan dengan pewarna alami dapat juga dilakukan dengan menggunakan bagian/organ tumbuhan secara langsung (tanpa dalam bentuk ekstrak), dimana benang tenun dicelupkan ke dalam rebusan bagian tumbuhan yang menjadi sumber pewarna.

Bogoriani dan Putra (2009) telah melakukan penelitian pewarnaan permukaan kayu akasia menggunakan campuran zat warna alami. Bahan yang digunakan sebagai perwarna berasal dari campuran gambir (bentuk biskuit), serbuk daun sirih dan serbuk biji pinang tua dengan perbandingan tertentu yang dilarutkan dalam air yang ditambahkan kapur sirih 0,5 gram dalam 100 ml air. Campuran bahan tersebut menghasilkan warna coklat kemerahan pada permukaan kayu akasia. Selain itu, Bogoriani (2010) juga melakukan penelitian penggunaan campuran gambir, sirih dan pinang pada pewarnaan kayu albasia dengan menggunakan mordan KMnO4. Penambahan mordan dan bahan sumber pewarna

dengan jumlah yang bervariasi menghasilkan warna yang bervariasi pula pada kayu, yaitu coklat kemerahan, coklat dan coklat tua.

Pengering Semprot (Spray Drier)

Operasi pemisahan pada pengeringan adalah kegiatan mengubah suatu bahan umpan berbentuk padatan, semipadat atau cairan menjadi produk berbentuk padatan melalui penguapan cairan yang terkandung di dalamnya ke fase uap dengan penambahan panas. Pengeringan dilakukan untuk tujuan tertentu seperti untuk mempermudah penanganan padatan yang dapat mengalir bebas, pengawetan dan penyimpanan, pengurangan biaya transportasi, mendapatkan mutu tertentu dan lain sebagainya (Mujumdar dan Devahastin 2001).

Pengering semprot merupakan pengering untuk bahan berbentuk cair seperti larutan, suspensi atau emulsi menghasilkan produk berbentuk bubuk, butiran atau aglomerat. Menurut Gharsallaoui et al. (2007), pengeringan semprot dapat menghasilkan produk bubuk yang sangat halus dengan ukuran 10-50 µm atau partikel dengan ukuran yang lebih besar, yaitu 2 – 3 mm. Sistem pengeringan tersebut telah digunakan secara komersial untuk pengeringan produk-produk agrokimia, bioteknologi, bahan kimia dasar dan berat, susu, zat pewarna, konsentrat mineral dan bahan farmasi (Mujumdar dan Devahastin 2001).

Tahapan proses pengeringan semprot meliputi atomisasi bahan umpan, kontak antara partikel atomisasi dengan udara pengering, penguapan air dari bahan dan pemisahan bubuk kering dengan aliran udara yang membawanya (Master 1979). Pengering semprot memiliki kelebihan diantaranya produk menjadi kering tanpa bersentuhan dengan permukaan logam panas, suhu produk

rendah meskipun suhu udara pengering yang digunakan cukup tinggi, penguapan air terjadi pada permukaan yang sangat luas sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan hanya beberapa detik saja dan produk akhir yang dihasilkan berbentuk bubuk yang stabil sehingga memudahkan dalam penanganan dan transportasi (Spicer 1974).

Gum Arab

Gum arab atau gum akasia merupakan hasil sekresi dari tanaman jenis akasia. Tanaman ini tersebar luas di daerah tropis dan subtropis. Gum arab merupakan bahan yang memiliki struktur yang kompleks, tetapi secara umum terdiri atas dua fraksi. Fraksi pertama berupa gum (sekitar 70%) yang tersusun atas rantai polisakarida dengan sedikit atau tanpa bahan yang mengandung nitrogen. Fraksi kedua mengandung molekul dengan bobot molekul lebih besar yang mengandung protein (BeMiller dan Whistler 1996).

Gum arab merupakan senyawa kompleks hetero polisakarida yang terdiri atas L-arabinosa, L-rhamnosa, D-galaktosa dan D-asam glkoronat serta mengandung ion kalsium, magnesium dan kalium. Struktur utama molekulnya adalah unit-unit 1,3 D-galaktopiranosa dengan rantai cabang 1,6 galaktopiranosa sebagai pangkal bagi asam glukoronat atau 4,0-metil glukoronat. Unit monosakarida yang menyusun molekul gum arab terdiri dari D-galaktosa (36,8%), L-arabinosa (30,3%), asam glukoronat (13,8%) dan L-rhamnosa (11,4%) (Glicksman 1969). Gum arab memiliki sifat mudah larut dalam air. Gum arab dibandingkan dengan gum yang lain memiliki tingkat kelarutan yang tinggi dan larutannya memiliki viskositas yang rendah. Oleh karena itu, gum arab cocok digunakan sebagai bahan pengisi pada bahan yang dikeringkan menggunakan pengering semprot. Gum arab telah digunakan secara luas untuk kebutuhan industri, yaitu sebagai pengemulsi, pengisi, penstabil terutama pada industri pangan (seperti pada minuman ringan, sirup, permen karet) serta digunakan pada industri tekstil, percetakan, kosmetik dan farmasi (Ali et al. 2009).

Dokumen terkait