• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANTARA CIN TA DAN BENCI

Dalam dokumen 1. Naga Dari Selatan (Halaman 164-200)

Tengah Ki Cee-tiong men-duga2 adakah yang maju ke luitay itu sinona genit Yan-chiu tadi dan belum lagi dia mendongak mengawasinya, atau dari samping kedengaran suara mengguntur dari Tio Jiang: „Keledai gundul, jangan menghina suciku!" Dia terus melesat kemuka. Dari caranya meloncat itu, terang seperti orang menyerbu dengan kalap.

Suasana menjadi tegang. Kiranya yang pertama melesat kemuka tadi adalah Bek Lian. Gadis yang beradat tinggi itu tanpa dapat dicegah sang ayah, telah maju dengan menghunus pedangnya. Tubuh yang langsing gemulai dari sinona cantik itu ketika tiba diatas panggung bagaikan sebatang pohon liu yang bergoyang gontai. Orang mengira kalau sinona itu tak dapat berdiri dengan jejak. Tapi bagi seorang akhli tentu cukup mengetahui bahwa sinona itu sedang menggunakan jurus ilmu mengentengi tubuh yang disebut „hong pay lian hwa", angin menggoyang bunga terate. Orangnya berparas cantik, tubuhnya langsing gemulai, maka gerak lambaiannya yang sedemikian luwes indah itu, mengaburkan pandangan orang kalau ia itu seorang bidadari yang turun dari kahyangan. Hal mana telah membuat seluruh penonton menjadi ter-longong2 kesima! Malah ada sementara orang persilatan yang tergolong kaum pelesiran, sudah serentak mau tampil melayaninya.

„Lian suci," kata Tio Jiang yang ketika itu sudah berdiri dimuka Bek Lian, „kau bukan tandingannya hweeshio itu. Lekas turun, biarkan aku yang menghadapinya!"

Oleh karena tadi Yan-chiu telah memperoleh kemenangan atas salah seorang hweeshio itu, sudah tentu Bek Lian tak percaya nasehat suteenya itu. Dengan mendongkol dia ancam suteenya: „Sutee, kau mau menyingkir tidak?"

Biasanya Tio Jiang selalu menurut segala perintah sucinya, tapi kali ini demi untuk keselamatan sucinya itu, dia membandel, serunya: „Suci, kau turunlah!"

Karena tak pandai bicara, jadi beberapa kali dia hanya mengulangi permintaannya „suci, kau turunlah" itu saja. Suasana ketika itu menjadi gemuruh. Belum pernah terjadi dalam sejarah perkelahian diluitay, bahwa ada dua orang yang ribut mulut menyuruh turun kawannya. Bermula para penonton itu terpikat akan kecantikan Bek Lian, tapi kini mereka menjadi gaduh tak keruan. Ada yang bersorak2 dan ada pula yang tertawa keras. Tio Jiang sih tak peduli akan sorak teriakan orang itu, asal dia bisa mencegah sucinya. Tapi Bek Lian yang beradat tinggi itu. asking malunya menjadi murka. Dengan banting kaki, dia mengancam: „Sutee, kalau kau masih tetap membandel,mungkin aku lupa dirimu itu siapa!"

Sampai disini, Tio Jiang kewalahan. Dengan menghela napas, dia segera loncat turun kebawah. Namun tanpa menghiraukan tertawaan orang, dia berdiri dipinggir luitay situ. Selama kedua saudara seperguruan itu ribut mulut, To Ceng dan To Bu se-olah2 tak mau mendengarinya. Baru setelah Tio Jiang menyingkir turun, To Ceng segera maju selangkah hendak bicara. Tapi se-konyong2 dari bawah luitay terdengar orang berseru: „Tianglo, tahan, biarkan aku yang melayani nona itu!"

Berbareng dengan seruannya, orangpun sudah melayang keatas. Begitu menginjak papan luitay, orang itu segera mengawasi sinona tanpa terkesiap. Orang itu rambutnya kelimis, mukanya bedakan. Sekali lihat tahulah Bek Lian kalau orang itu tentu bangsa tukang „petik bunga" (suka cemarkan kehormatan gadis/wanita baik2). Dalam kebatinan, Bek Lian sudah benci bangsa begitu, apalagi ia tak tahu akan tata kesopanan persilatan, begitu gerakan

pedang ia sudah terus akan menyerang. Orang itu buru2 rangkapkan kedua tangannya memberi hormat seraya mengucapkan rangkaian kata2 yang halus: „Siapakah nama nona yang mulia?"

„Apa peduli denganmu? Naik kepanggung bertanding, mengapa tanyakan nama orang?" Bek Lian delikkan matanya.

“Nona sungguh pemarah, aku yang rendah ini adalah Hun-ouw-tiap Lim Ciong, hendak mohon pengajaran nona."

Hun-ouw-tiap atau Kupu2 Berbedak Lim Ciong memang bangsa tukang „petik bunga", tapi kepandaiannya biasa saja. Melihat orang itu, To Ceng dan To Bu kerutkan keningnya. Tapi karena orang sudah mendahuluinya, Merekapun tak dapat berbuat apa2, lalu loncat turun kebawah.

„Sudah tak ada yang merintangi lagi, kita boleh mulai!" kata Hun-ouw-tiap.

Kata2 itu kurang ajar sekali, maka meluaplah kemarahan Bek Lian. Ia menyerangkan pedangnya dengan jurus „Tio ik thian hay", pentang sayap mengisi laut, salah satu jurus dari ilmupedang To-hay-kiam-hwat. Ilmu pedang itu Bek Lian hanya pelajari sampai 4 jurus saja. Tapi karena sejak kecil ia sudah belajar silat, jadi mempunyai dasar yang bagus sekali. Walaupun hanya 4, tapi dapat dipelajari dengan sempurna. Sari keindahannya pun dapat difahaminya dengan jelas.

„Nona, kau yang mulai dulu?" Lim Ciong tertawa lepas tanpa membalas.

Kemarahan Bek Lian makin menjadi. Serangan yang partama belum selesai, ia sudah susuli lagi dengan dua buah

lainnya yakni dari jurus „Boan thian kok hay" dan ‘ching wi thian hay". Untuk serangan pertama tadi, Lim Cong sudah setengah mati menghindarinya. Demi nampak serangan kedua datang, dengan sibuknya dia segera gunakan jurus „thiat pan kio" (jembatan gantung besi), tubuhnya diayunkan membalik kebelakang untuk menghindari. Tapi tanpa tarik pulang pedangnya, Bek Lian segera balikkan pedangnya untuk melancarkan serangannya yang ketiga itu.

Sesaat itu Lim Ciong rasakan hawa angin pedang yang dingin sekali, buru2 dia hendak tarik senjata poan-koan-pit yang terselip dipunggungnya, tapi sudah terlambat. Tangannya kiri terasa nyeri, sakitnya sampai menusuk keulu hati, lengannya kiri itu ternyata telah dibabat kutung oleh Bek Lian. Seketika itu, pandangan Hun-ouw-tiap menjadi gelap, tapi Bek Lian masih tak puas. Memburu maju, ia terus akan membacok lagi, tapi „tring" se-konyong2 sebuah thiat-lian-cu (senjata rahasia macam biji terate) telah menghantam batang pedangnya hingga tangan Bek Lian serasa kesemutan dan hampir2 melepaskan pedangnya. Terpaksa ia loncat mundur. Tapi berbareng saat itu, kedengaran pula suara mengaung. To Ceng hweshio dengan berduduk diatas damparnya, tampak melayang keatas panggung. Dan begitu tiba dipanggung, dia terus menghantam kearah Bek Lian. Bek Lian ter-sipu2 menangkis dengan pedangnya. Tapi sementara itu tangan kiri To Ceng sudah mencekal Lim Ciong, lalu dilemparkan kebawah.

Karena sebelah lengannya sudah terkutung, begitu dilempar kebawah, darahnya muncrat kesana sini memenuhi lantai panggung itu. Dibawah luitay, To Bu sudah siap menyambutinya, diserahkan pada kawan2 Lim Ciong untuk diobati.

Kini kita balik mengikuti keadaan diatas luitay. To Ceng segera mendapatkan bahwa ilmu pedang sinona itu cukup lihaynya, sehingga ilmu pukulan thiat-sat-ciangnya tak dapat berbuat apa2 Maka tertawalah dia mengejek: „Entah dimanakah orang2 Thian Te Hui, mengapa mengajukan barisan wanita? Ha, ha, lucu benar !"

Tapi dalam tertawanya mengejek itu, wajah To Ceng tak berobah, tetap pucat seperti mayat. Sewaktu menangkis pukulannya tadi Bek Lian sudah merasa hweshio itu „keras" sekali, maka diam2 dia merasa heran mengapa tadi Yan-chiu bisa menangkan sute sihweshio itu. Tapi sembari berpikir begitu, ia balas menusuk dada lawan.

To Ceng masih tetap duduk diatas damparnya. Begitu ujung pedang menusuk, dia tak berani berayal. Secepatnya berbangkit, dia congkelkan ujung kakinya kedampar, dan melayanglah dampar itu seperti terbang kearah Bek Lian.

Bek Lian anggap, walaupun menggunakan Iwekang tapi karena itu hanya sebuah dampar, maka tak perlu ditakuti. Maka diapun tak mau menyingkir, melainkan siap gunakan jurus „Ho Pek kuan hay", pikirnya, tentu dapat membelah dampar itu kemudian hendak dilemparkan kebawah luitay. Tapi mana ia tahu akan kelihayan dampar itu yang dapat digunakan sebagai suatu senjata rahasia yang ampuh.

Sepintas panjang, dampar itu merupakan sebuah tikar duduk yang biasa saja. Tapi sebenarnya benda itu terbuat daripada bulu suri kera gin-lok-kauw (kera bulu hijau perak) keluaran istimewa dari gunung Cap-ban-tay-san (gunung seribu). Lemas dan ulatnya bukan kepalang, dapat bertahan segala macam bacokan senjata. Tapi karena To Kong memandang remeh pada Yan-chiu, dia sudah tak gunakan damparnya. Kalau dia gunakan dampar itu, walaupun lawan dibantu oleh tokoh lihay, namun tak semudah itu Yan-chiu mendapat kemenangan. Biasanya apabila ketiga

hweshio itu maju dalam pertempuran, mereka tentu dudiilc bersila diatas damparnya. Baru kalau menghadapi lawan kuat, mereka akan berbangkit dan menendang dampar itu kearah lawan. Sembilan (9) dari sepuluh (10) bagian, lawan pasti celaka.

Jurus itu dinamai „siu-Ii-kian-gun" atau dunia didalam lengan baju.

Sebagai anak yang masih hijau, sudah tentu Bek Lian tak mengetahui hal itu. Begitu pedangnya menyentuh dampar dan baru saja ia hendak memapaskan kemuka, atau ia telah terbentur dengan sebuah tenaga dahsyat hingga lengannya serasa kesemutan. Dalam gugupnya ia hendak cekal kencang2, agar pedangnya jangan sampai terlepas, tapi pada lain saat „krak" terdengar logam meretak dan pedangnya itu telah patah dibentur dampar To Ceng hweshio.

Tak terkira terkejutnya Bek Lian, sedang pada waktu itu dampar menjadi miring melayang disampingnya. Samberan anginnya saja telah membuat Bek Lian sempoyongan dan To Ceng melesat maju. Tangannya kiri menyawut dampar, tangannya kanan menghantam dada Bek Lian. Dalam gugupnya, Bek Lian menangkis sembari loncat kesamping.

Dengan tertawa ter-kekeh2 To Ceng mengejar. Dalam dua jurus saja, Bek Lian sudah keripuhan sekali bertahan. Kiau To dan Yan-chiu yang mengawasi dibawah luitay, sama kucurkan keringat dingin. Sebaliknya wajah Ceng Bo tetap keras. Benar dia teramat kasihnya kepada sang puteri ini, tapi sebagai orang persilatan yang tahu diri, tak mati dia maju menolong. Karena dengan berbuat begitu, dia pasti akan ditertawai orang. Kiau To yang akan turun tanganpun dicegah oleh Ceng Bo Siangjin.

Dengan hanya bersenjata pedang kutung, gerakan Bek Lian menjadi kaku. Apalagi memang kepandaiannyapun masih dibawah To Ceng. Satu2nya jalan, ia hanya andalkan ilmunya mengentengi tubuh berlincahan kian-kemari. Jadi ia hanya bertempur untuk menghindari diri. Sebaliknya To Ceng makin garang. Tangan kiri dampar, tangan kanan melancarkan pukulan lwekang thiat-sat-ciang. Lewat beberapa jurus lagi, rangsekan To Ceng makin menghebat, sehingga kalangan untuk menghindarkan diri dari Bek Lian, makin lama makin sempit. Dari satu tombak, makin menciut sampai dua tiga meter saja. Dapat dipastikan, dalam beberapa jurus lagi To Ceng pasti berhasil. Bek Lian kalau tidak binasa terkena thiat-sat-ciang tentu akan terluka berat terhantam dampar.

Diantara orang2 yang cemas menyaksikan keadaan sinona itu, adalah Tio Jiang yang paling gelisah sendiri. Tadi sewaktu pedang sucinya itu kutung, sebenarnya ia hendak maju. dan ketika Bek Lian dalam bahaya itu, dia sudah dekat dipinggiran luitay. Dari situ kalau mau dia bisa loncat keatas. Dengan 7 jurus ilmu pedang To-hay-kiamhwat yang baru dipelajarinya itu. Walaupun belum tentu bisa menang, dengan kekuatan dua orang, rasanya dapatlah mereka bisa mundur dengan selamat. Tapi demi teringat akan kata2 pedas dari Bek Lian tadi. dia agak bersangsi. Jangan2 kalau dia maju membantu, nanti didamprat lagi oleh sang suci.

Berapa saat lagi, kembali terdengar To Ceng tertawa dingin. Dampar di-putar2 sehlngga menerbitkan deru angin yang dahsyat. Bek Lian tampak agak sempoyongan. Maka buru2 ia mundur 3 tindak kesamping. Tapi To Ceng tetap membayangi. Tangannya kanan diangkat keatas, jarinya dibuka, sehingga nampak telapakannya yang ke-hitam2an warnanya, lalu diayunkan menampar kepala Bek Lian.

Hendak Bek Lian menyingkir, tapi terhadang oleh dampar yang ber-putar2 itu. Dengan begitu, jalan untuk menghindar, sudah tertutup. Kini Bek Lian sadar, bahwa ajalnya tak dapat dielakkan lagi. Dengan menarik napas panjang, dia meramkan mata menunggu ajal.

Adalah dalam saat2 yang berbahaya itu, tiba2 Bek Lian rasakan ada serangkum angin menderu, kedahsyatannya lain dengan sihweeshio. Cepat Bek Lian buka matanya dan samar2 dilihatnya ada sesosok bayangan menghadang dihadapannya, malah dengan ulurkan sepasang tangannya orang itu telah memeluknya erat2. Begitu mundur selangkah, To Ceng segera menghantam. Dengan ter-putus2 orang itu merintih: „Lian suci…… aku naik…… kemari lagi…… jangan kau sesali……!"

Berbareng dengan ucapannya, orang itupun roboh. Tapi oleh karena tangannya masih memeluk erat2 maka Bek Lian terbawa jatuh juga. Sewaktu diamatinya, ternyata orang yang membuang jiwa untuknya itu, bukan lain adalah suteenya sendiri. Napas Tio Jiang sudah lemah, matanya meram melek, rupanya dia terluka berat. Mau tak mau Bek Lian berterima kasih atas pengorbanan itu. Juga Ceng Bo yang mengetahui hal itu, tergerak hatinya. Dalam peraturan luitay, apabila sudah diketahui menang kalahnya, orang boleh maju menolong yang terluka. Maka dengan bersuit, Ceng Bo apungkan diri keatas panggung.

Suitan itu mempunyai daya seperti mampu membelah batu, lengking kumandangnya amat tajam. Orang2 persilatan yang berada disitu, sama terperanjat. Juga To Ceng terkesiap. Teringat dia pada 20 tahun yang lalu didunia persilatan ada seorang tokoh kenamaan bergelar „Hay-te-kau" (naga dari dasar laut) pada setiap kali bertempur tentu lebih dahulu mengeluarkan suitan yang panjang begitu. Mungkinkah tokoh itu muncul pula pada

saat itu? Karena menduga begitu, To Ceng mundur selangkah untuk bersiap. Tapi begitu naik dipanggung, Ceng Bo tak hiraukan sihweeshio, melainkan menghampiri kepada Tio jiang untuk memberi pertolongan dengan menutup jalan darahnya.

Melihat ayahnya datang, dengan muka ke-merah2an Bek Lian meronta dari pelukan Tio Jiang. Setelah berdiri, ia tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Ceng Bo angkat tubuh Tio Jiang seraya membentak pada Bek Lian: „Mengapa tak lekas turun!"

Dengan ke-malu2an Bek Lian segera turun dari luitay. Setelah mengangguk sedikit pada To Ceng, Ceng Bo siangjin segera angkat Tio Jiang kebelakang luitay orang Thian Tee Hui. Tio Jiang diletakkan diatas pembaringan, lalu dibuka bajunya. Ternyata pada pundak Tio Jiang, terdapat sebuah bekas telapak tangan yang berwarna hitam. Bekas2 kelima jari nampak dengan jelas, melekuk kedalam daging. Sedang kulit disekelilingnya berwarna semu biru, kalau dipijat dengan tangan, turut melesak kedalam tak bisa membal balik lagi. Tahulah Ceng Bo bahwa thiat-sat-ciang berbeda dengan thiat-sat-ciang biasa. Bukan saja disertai dengan lweekang yang kuatpun tangannya itu mengandung racun yang dapat disalurkan begitu menyentuh tubuh musuh. Kalau tadi Ceng Bo tak lekas menutup jalan darah supaya racun itu tak menjalar, walaupun mendapat pertolongan obat dewa sekalipun, tetap Tio Jiang takkan dapat tertolong jiwanya.

Tampak luka muridnya begitu parah, kening Ceng Bo Kelihatan mengerut dalam. Yan-chiu menjerit dengan suara tertahan seraya memandang kearah Bek Lian, siapa kelihatan tundukkan kepalanya. Kiau To mengambil sebuah kotak emas, begitu tutupnya dibuka, lalu menyiarkan bau yang amat harum sekali. Dari dalam peti

diambilnya sebutir pil sebesar kuku jari, terus menghampiri kesamping Tio Jiang. Mulut pemuda itu terkancing rapat, Ceng Bo segera mencangarnya dan Kiau To lalu memasukkan sekaligus 4 butir pil.

„Bek-heng, pil ini adalah buatan guruku Tay Siang tamsu. Meskipun entah bisa memunahkan racun itu atau tidak, tapi melindungi jantung orang," kata Kiau To.

Ceng Bo siangjin mengiakan, lalu duduk bersila. Tak lama kemudian, dia berbangkit lagi, lalu me-raba2 punggung Tio Jiang. Sewaktu menderita luka itu, pikiran Tio Jiang tak sadar lagi, mulutnya serasa manis, sementara punggungnya seperti ditusuki oleh puluhan jarum kecil. Benar tidak sakit, tapi rasanya gatal dan kaku sekali. Hendak dia merangkak bangun, tapi tangannya serasa tak bertenaga lagi. Tapi setelah minum pil tadi, hatinya menjadi tenang pikirannya jernih lagi. Ketika gurunya meng-urut2 punggungnya untuk menyalurkan lwekang, tak putus2nya Tio Jiang mengaduh kesakitan. Matanyapun kini dibuka. Begitu kelihatan Bek Lian tundukkan kepala sambil memain ujung baju,

Tio Jiang segera berusaha keras untuk berseru: „Lian Suci……kau….. tak apa2 bukan?"

„Lian suci tak kena apa, usah kau kuatir!" Yan-chiu cepat2 menyanggapi. Dengan ucapannya itu, ia seperti sesalkan sang suci yang telah menyebabkan sampai sukonya itu mendapat luka begitu parah.

Tatkala Bek Lian memperhatikan sekeliling situ, rasanya orang2pun sama mempersalahkannya. Sampai ayahnya yang biasanya begitu memanjakannya itu, kini asyik menumplak seluruh perhatiannya kepada Tio Jiang serta sedikitpun tak menghiraukannya lagi. Diam2 dalam hati

sigadis jelita yang beradat tinggi itu mengambul: „Kalau begini, lebih baik aku mati saja!"

Kalau tadi ia merasa berterima kasih pada Tio Jiang, sebaliknya kini ia merasa gusar padanya. Sampai sekian saat Ceng Bo siangjin meng-urut2 punggung Tio Jiang. Serta dilihatnya diluitay sana To Ceng sudah turun, berkatalah Ceng Bo: „Ki-heng, rasanya hari ini baik luitay itu ditutup!"

Karena haripun sudah sore, Ki Ce-tiongpun setuju. Dia segera maju kegelanggang luitay untuk mengumumkannya. Jadi dalam pertempuran hari itu. Thian Te Hui menang dua kali, kalah sekali.

---oo0dw0oo---

Tak berapa lama kemudian, malampun tiba. Orang2 yang menyaksikan keramaian luitay itu sudah sama bubar. Juga setelah diberi pengobatan dengan saluran lwekang tadi, Tio Jiang dapat tidur pulas. Ceng Bo siangjin, Ki Ce-tiong, Kiau To, Bek Lian dan Yan-chiu menunggu didekat situ. Setelah sampai sekian saat tak terjadi suatu apa, berkatalah Ceng Bo: „Ki-heng, biar Yan-chiu kutinggal disini. Aku hendak membawa Bek Lian masuk kekota untuk menyirapi kabar! Kurasa tentu ada udang dibalik batu, mengapa mereka sengaja membuka luitay guna memikat agar orang2 Thian Te Hui dan kaum persilatan sama mengumpul jadi aatu diluar kota sini. Mengapa keempat bajak Itu tak muncul disini? Apakah bukannya mengatur siasat untuk memasukkan tentara Ceng kedalam kota? Kalau benar begitu, sungguh kita telah terjebak mentah2 !"

“Kalau begitu, sebaiknya Bek-heng lekas2 kesana saja!" seru Ki Cee-tiong dengan terperanjat. Ceng Bo siangjin

segera ajak puterinya tinggalkan tempat itu. Keadaan mereka dalam perjalanan nanti kita ikuti lagi, sekarang mari kita ikuti terus keadaan diruangan belakang luitay situ.

Dengan tekunnya Yan-chiu tetap menjaga disamping sukonya yang tengah tidur pulas itu. Walaupun usia muda belia, hatinya sudah ditumpahkan kepada sang suko, satu2nya orang yang paling akrab dengan ia. Tengah dia melamun yang tidak2, tiba2 kedengaran Tio Jiang mengerang-erang (sambat). Ter-sipu ia menengok tapi ternyata Tio Jiang masih tidur dengan nyenyaknya. Ditanyakan pada Kiau To, bagaimana keadaan luka sukonya itu. Sebenarnya tak tahu Kiau To bagaimana harus menyahutnya, tapi karena ditanya begitu, se-konyong2 dia teringat akan sesuatu, katanya pada Ki Cee-tiong: „Toako, adakah kau pernah mendengar bahwa ketiga hweeshio Ci Hun Si itu mempunyai obat istimewa pemunah racun thiat-sat-ciang?"

„Obat semacam itu tentunya ada, tapi entah apa disini," sahut Ki Cee-tiong seraya menghela napas panjang karena teringat akan dirinya yang sudah punah ilmunya silat itu. Apabila tak begitu nasibnya, dengan kepandaiannya silat yang dimiliki sebelumnya itu, dengan mudah dia tentu dapat mencuri obat tersebut.

“Siao Chiu, bagaimana kau dapat menangkan hweeshio To Kong?" tanya Kiau To.

Waktu Yan-chiu menuturkan apa yang telah dialaminya, Ki Cee-tiong dan Kiau To terkejut bukan kepalang, katanya: „Coba kau keluarkan gelang itu!"

Begitu menyambuti dari tangan sinona, Ki Cee-tiong segera periksa gelang itu kedekat lampu dan tiba2 berseri girang: „Hai, siapa lagi kalau bukan dianya!"

Yan-chiu tak mengerti maksud orang, tanyanya dengan membeliakkan mata: „Ki susiok, siapa yang kau maksudkan itu?"

Sebaliknya dari menyahut, Ki Cee-tiong mengerling kepada Kiau To, ujarnya: „Ilmu kepandaian orang ini, sudah mencapai ketingkat yang sukar dijajaki dalamnya. Tapi audah ber-tahun2 dia tak muncul dalam dunia persilatan, mengapa hari ini bisa datang kemari? Siao Chiu, turut katamu tadi, asal kau perhatikan betul2 ajaran orang aneh itu, kau bakal menjadi tokoh yang jarang terdapat tandingannya ?"

“Ki susiok, hampir setengah harian kau mengoceh tadi, tapi belum menerangkan siapakah adanya orang itu," Yan-chiu tak dapat menahan kesabarannya lagi.

“Semasa aku masih muda, dia sudah terkenal dalam dunia persilatan. Tapi tiada seorangpun yang mengetahui namanya. Yang dapat diketahui, ialah orang itu dalam

Dalam dokumen 1. Naga Dari Selatan (Halaman 164-200)

Dokumen terkait