• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTEMPURAN DIATAS LUITAY LUITAY

Dalam dokumen 1. Naga Dari Selatan (Halaman 127-164)

„Mengapa disana ?" tanya pula Ceng Bo siangjin dengan heran.

Rupanya kedua orang itu adalah golongan orang2 kasar, dengan menggebrak meja mereka berseru: „Bukankah kau ini hendak memungut derma? Kesanalah, tanggung dalam satu bulan kau takkan kelaparan?"

Merasa bahwa didalam kata2 orang itu terselip sesuatu hal, apalagi mereka dalam keadaan mabuk mengoceh tak keruan, Ceng Bo tak mau cari urusan. Tanpa banyak bicara dia terus keluar dari situ untuk menuju kegunung Gwat-siu-san.

Belum lagi tiba digunung tersebut, Ceng Bo sudah melihat disepanjang jalan banyak orang2 yang berjalan, malah dikedua tepi jalan banyak didirikan warung2 darurat serta penjual2 sama menjajakan dasarannya. Dengan rasa heran, Ceng Bo siangjin lanjutkan perjalanannya. Tapi makin dekat kegunung itu makin ramai pula orang. Lagi maju sedikit, segera dia tampak ada dua buah luitay (panggung untuk bertempur) yang besar. Di-tengah2 dari salah satu panggung luitay itu, digantungi sebuah lencana besar, berbentuk bulan, sebelah atas hitam dan sebelah bawahnya putih. Sementara yang sebuah, tiada ada pertandaan apa2. Disekeliling luitay itu didirikan panggung penonton yang penuh sesak dengan manusia.

Melihat lencana hitam putih itu, tahulah Ceng Bo siangjin bahwa Thian Tee Hui tengah membuka luitay ditempat itu. Diam2 dia mengeluh. Suasana negara begini suram, mengapa main dirikan luitay mencari permusuhan? Orang2 sama ber-bondong2 kesitu, kota Kwiciu kosong, kalau se-waktu2 pasukan Ceng menyerang, bukankah celaka? Ceng Bo siangjin ambil putusan untuk menemui Ki Cee-tiong dan Kiau To, tapi karena orang2 disekitar luitay itu penuh sesak ber-jubel2, sukarlah dia mendapatkannya. Malah ketiga anak muridnya, Tio Jiang, Bek Lien dan Yan-chiu, pun tak kelihatan batang hidungnya.

Satu2nya jalan untuk menemui pemimpin2 Thian Tee Hui itu ialah loncat keatas luitay, tapi Ceng Bo tak mau berbuat begitu. Dia cukup tahu, memang2 orang2 yang berjejal itu sebagian besar adalah penonton biasa, tapi tentu tidak sedikit jumlahnya tokoh2 persilatan yang turut hadir juga. Dia membiluk, singgah pada sebuah warung dan memesan minuman.

Belum berapa lama dia duduk, dari arah belakang terdengar ada dua orang tengah ber-cakap2. „Toako, kali ini bakal ada pertunjukkan yang bagus benar2. Sejak beberapa tahun ini, dikalangan persilatan sepi dengan keramaian macam begini," kata salah seorang. Sementara kawannya dengan menghirup tehnya kedengaran berkata dengan suara sember: „Benar, Thian Tee Hui itu sudah mempunyai nama dikalangan persilatan!" Orang yang pertama terdengar berkata pula: „Ya, aku merasa heran mengapa Thian Tee Hui sampai terlibat permusuhan dengan Hay-siang su-kee (4 keluarga dari Laut selatan)?"

„Akupun baru lusa datang dari Go-ciu. Konon kabarnya ji-ah-ko (pemimpin kedua) Thian Tee Hui telah membinasakan salah seorang dari bajak Laut itu, yaitu si Ti Gong hweeshio!" sahut kawannya. „Astaga, dua tahun

yang lalu aku pernah berjumpa dengan Ti Gong hweeshio, kepandaiannya sih tak seberapa. Mungkin karena peraturan perguruannya yang menetapkan 'dendam harus dibalas', maka kali ini kalau tiada suhunya tentu susiok (paman guru) yang mempelopori pertandingan luitay ini!" kata yang seorang pula.

Mendengar itu, Ceng Bo siangjin terkesiap. Heran dia, mengapa Kiau To tertuduh membunuh Ti Gong? Dia yakin disitu tentu terselip sesuatu yang tak beres. Maka dia Ianjutkan mendengari lagi. Kata salah seorang dari orang itu pula: „Benar, tokoh yang angker macam Sam Tay tianglo dari gereja Ci Hun Si digunung Lam-kun-san itu, mana mau menerima hinaan begitu? Karena anak muridnya terbinasa, dia tentu mencari balas pada Thian Tee Hui, dan mengirim surat tantangan. Karena Thian-Te-Hui pun sedang jaya, sudah tentu terima juga tantangan itu. Menurut berita2 yang kudengar sampai siang ini, orang2 dari kedua fihak semua sudah hadir disini!"

Ceng Bo siangjin makin mengeluh. Yang dimaksud dengan Sam Tay tianglo (tiga serangkai imam) gereja Ci Hun Si itu ialah: To Kong, To Ceng dan To Bu. Meskipun dia sendiri belum pernah bertemu muka, namun nama ketiga hweeshio besar itu sangatlah terkenal didunia persilatan. Kalau kali ini mereka berserekat dengan keempat bajak dari Laut Selatan itu, urusan tentu makin besar. Ang-hwat cinjin (suhu dari The Go) dari Ang-hun-kiong di Ko-to-san, tentu akan keluar kandang juga. Sekali bertempur, mungkin setengah bulan atau bisa juga setengah tahun belum habis. Dengan begitu bukankah akan membikin kapiran urusan besar? Kini tentara Ceng sudah berada ditapal batas, rakyat hanya mengharap akan usaha Thian Tee Hui, dengan berserekat pada seluruh tokoh persilatan,

untuk melawannya. Adakah Ki Cee-Tiong dan Kiau To, kedua pemimpin Thian Tee Hui itu tak menginsyafi hal itu?

Selagi dia me-nimang2 dalam pikirannya, tiba2 dari tengah2 kedua luitay itu, terdengar bunyi genderang ber-talu2, dibunyikan 3 kali. Ceng Bo mendongak kemuka dan dapatkan matahari sudah hampir ditengah, jadi luitay segera akan dimulaikan. Sesaat itu hiruk pikuk suara orang menjadi sirap hening. Pada lain saat dari belakang luitay tampak muncul 3 orang paderi yang bertubuh kurus2. Yang dua orang memanggul sebuah bok-pay (papan) sekira 3 kaki panjangnya. Yang seorang tidak membawa apa2. Begitu keluar kedua paderi yang membawa bokpay tadi segera lontarkan bokpaynya keatas udara. Dengan lurus dan tepat, bokpay itu melayang kearah tiang penglari yang paling tinggi dari luitay itu. Ketika hampir dekat dengan penglari, tiba2 paderi yang tak membawa apa2 tadi tampak gerakkan tangannya keatas dan tik, tik, dua buah benda, hitam kecil panjang melayang menyusup kedalam bok-pay yang segera menempel lekat pada tiang penglari.

Kiranya yang dilepaskan itu adalah dua buah paku, untuk memaku bok-pay itu.

GAMBAR 14

Mendadak paderi ketiga itu ayun tangannya, dan„tak-tak" dua kali, dua papan kecil yang kedua kawannya telah terpaku diatas penglari.

Demonstrasi kepandaian yang ditunjukkan ketiga paderi itu, sungguh menakjubkan. Benar papan bok-pay itu dilontarkan oleh dua orang, tapi kalau kepandaian sipelontar itu tak tinggi, pasti tak nanti dapat melayang begitu necis dan tepat sekali. Lebih2 kepandaian melemparkan paku dari sihweeshio yang bertangan kosong tadi. Maka tak heranlah kalau para penonton baik didalam bangsal maupun yang dibawah luitay, sama bersorak sorai dengan gemuruh sekali. Ceng Bo siangjin mendongak mengawasi kearah bok-pay itu dan dapatkan pada papan itu ada 3 buah gambar roda. Seketika tahulah Ceng Bo, bahwa ketiga hweeshio itu adalah 3 paderi pemuka dari Ci Hun Si, To Kong, To Ceng dan To Bu.

Setelah mengunjuk demonstrasi, ketiga hweeshio itu segera meleset naik keatas luitay. Begitu menghadap kemuka, para penonton melihat wajah mereka itu pucat lesi bagaikan mayat hidup. Mereka tampak duduk bersila diatas luitay. Tapi baru ketiganya duduk tenang, dari arah timur terdengar gemuruh suara penonton. Kiranya para penonton itu tengah menyambut dengan hangat atas kedatangan kedua pemimpin Thian Tee Hui, Ki Cee-tiong dan Kiau To, siapa terus loncat keatas luitay.

Tegas dilihat oleh Ceng Bo, sewaktu melompat itu Kiau To pakai tangannya kiri memimpin tangan kanan Ki Ceetiong untuk diangkat keatas. Diam2 Ceng Bo siangjin itu kerutkan keningnya. Dari tempat duduknya situ dengan luitay walaupun hanya terpisah 4 atau 5 tombak jauhnya,

namun dipagari oleh lautan manusia. Dia dapat enjot tubuhnya kesana, tapi tak mau dia buru2 unjukkan diri. Tapi kalau berdiam diri saja, tentu takkan dilihat oleh Kiau To. Tiba2 dia mendapat akal bagus. Dengan sebuah jarinya dia tekan pecah cawan teh dan sentikkan pecahan cawan itu kearah Kiau To. Sudah tentu pecahan cangkir itu menerbitkan suara angin melengking.

Saat itu Ki Cee-tiong dan Kiau To hendak membuka mulut, tapi begitu tampak ada sinar putih melayang keatas luitay. Kiau To mengira kalau sebuah senjata rahasia, maka dengan sebatnya dia melangkah kehadapan tao-ah-ko untuk melindunginya. Tapi begitu dia dapat menyambuti benda putih itu, ternyata adalah sebuah pecahan cawan. Dengan keheranan, dia sapukan pandangan matanya kesekeliling penjuru. Buru2 Ceng Bo siangjin lambai2kan tangannya, hal mana dapat dilihat juga oleh Kiau To. Segera pemimpin kedua Thian Tee Hui berpaling kebelakang luitay serta mengucapkan sesuatu. Saat itu segera tampak Bek Lian dan Yan-chiu muncul dari belakang lui-tay. Dengan gunakan gerak „yan cu sam jo cui" (burung walet 3 kali menyentuh air) kedua gadis itu loncat turun.

Kedua gadis dari Lo-hou-san itu sememangnya berparas cantik. Lebih2 Bek Lian yang laksana seorang bidadari itu. Maka kali ini hiruk pikuk makin bergemuruh lagi. Melihat kedua anak muridnya itu unjukkan kepandaian, Ceng Bo siangjin menghela napas. Namun kenyataan memang begitu. Malah itu waktu Bek Lian sudah berseru memanggil „Tia" (ayah) dan Yan-chiu berseru „Suhu" kepadanya. Dasarnya genit lincah, tanpa menghiraukan sekalian orang lagi, Yan-chiu terus ceriwis menuturkan pengalamannya pada sang suhu.

„Suhu, wah ramai sekali," kata siceriwis itu dengan lincahnya, "baru kita bertiga datang di Thian Tee Hui,

entah bagaimana ada orang mengantar surat yang menuduh bahwa Kiau susiok telah membunuh Ti Gong sihweeshio gemuk itu ah jangan2 sibongkok yang melakukannya. Eh, surat itu menantang pibu (adu silat) pada Kiau susiok, yang sudah tentu terpaksa menerimanya. Suhu, kebenaran kau sudah tiba, apa nanti akan turut naik kelui-tay?"

Biasanya Yan-chiu takut dan menghormat pada suhunya. Tapi karena pertama kali turun gunung, ia sudah menghadapi peristiwa begitu, maka saking girangnya, dia bicara dengan cerocos sekali. Apalagi ketika nampak suhunya datang kesitu itu, menurut anggapannya, tentu akan turun tangan juga. Tapi diluar dugaan sinona genit, dengan perdengarkan dengusan hidung, Ceng Bo berbangkit mengangkat bahu. Demi tampak suhunya tak senang, Yan-chiu seperti ditapuk setan, cap kelakep tak berani bercuit lagi. Tapi dasarnya dara nakal, ia segera unjuk muka-setan kepada sang suci Bek Lian, sehingga dua orang yang ber-cakap2 dibelakang Ceng Bo tadi tertawa ter-bahak2 saking gelinya. Tapi Yan-chiu segera deliki mata kepada kedua orang itu.

„Mana Jiang-ji?" tanya Ceng Bo.

„Dia berada dibelakang lui-tay," sahut Yan-chiu.

Masih Ceng Bo hendak bertanya lagi, tapi ketika itu dilihatnya Kiau To sudah tegak berdiri ditengah luitay, seraya berseru dengan nyaring: „Para enghiong dan hoohan sekalian, para saudara2 Thian Tee Hui, disini Kiau To, ji-ah-ko dari Thian Tee Hui. Sam Tay tianglo dari Ci Hun Si berkeras menuduh bahwa salah seorang muridnya yang bernama Ti Gong hweshio telah dibinasakan oleh orang Thian Te Hui. Bukannya mempersalahkan muridnya sendiri yang tak punya guna sehingga sampai dibunuh orang, sebaliknya menimpahkan kesalahan itu pada Thian

Tee Hui serta menantang di luitay. Saudara2 sekalian, apakah Thian Te Hui itu mandah dihina orang?"

„Tidak, tidak!" terdengar tereakan bergemuruh dari sebelah timur. Rupanya mereka itu adalah rombongan orang2 Thian Tee Hui. Kiau To rangkap tangan memberi hormat seraya lanjutkan kata2nya lagi: „Karena Thian Tee Hui tak boleh diperhina orang, dan karena Ci Hun Si sam tianglo itu tetap berkeras dengan tuduhannya, maka terpaksa diadakan luitay ini. Kalau bahasa mulut tak dapat diterima, maka kepelanlah yang memutuskan. Para sahabat persilatan sekalian, barang siapa yang hendak berminat membantu kedua fihak silahkan naik kemari untuk mengeluarkan kepandaian masing2. Mati atau hidup itu tergantung dari kepandaian kita sendiri!"

Bermula Ceng Bo siangjin mengira kalau urusan masih bisa diselesaikan dengan damai. Tapi serta didengarnya Kiau To mengucapkan begitu, terang sudah jalan buntu. Diam2 siangjin itu menarik napas dalam2 lagi. Dia pun lalu memberi isyarat tangan kepada Bek Lian dan Yan-chiu, suruh mereka jangan mengajak bicara lagi. Dia tampak duduk lagi, untuk mencari pikiran. Jalan satu2nya ialah tunggu setelah pertempuran bubar, dia hendak meminta agar kedua pemimpin Tian Tee Hui bubarkan saja luitay itu, jangan cari setori pada orang lain.

---oo0-dwkz-TAH-0oo---

Tepat disaat dia mendapat pikiran itu, disebelah luitay yang satunya sana, salah seorang hweeshio yang yang duduk di-tengah2 segera tampil kemuka. Dan setelah memberi hormat pada para penonton, dia berseru suara tajam: „Memang kepandaian dari murid pinceng (hweeshio membahasai dirinya) kurang tinggi, itu benar. Tapi

menggunal kesempatan sebagus ini, pin-ceng hendak memohon pelajaran yang sakti dari para enghiong hoohan (orang gagah) Thian Tee Hui!"

Dari ucapan itu, terang dia tetap menghendaki pertempuran. Tapi baru tantangan itu disampaikan, dari bawah luitay sudah terdengar seorang berseru keras megyambutinya: „To Kong tianglo, potong ayam mengapa memakai pisau pemotong sapi, biarlah kami ketiga saudara ini menjadi pelopor pihak barisanmu, yang tampil pertama kali!" Berbareng dengan seruan itu, loncatlah 3 orang lelaki bermuka brewok, keatas luitay.

Sekali lihat, Yan-chiu segera mengenali mereka itu sebagai ketiga saudara Chi, yakni Chi Beng, Chi Kwi dan Sim. Saking senang bakal menyaksikan pertempuran, Yan chiu seperti me-nari2. Namun karena suhunya berada disebelah situ, tak berani ia unjuk tingkah. Diam2 ia kutik2 Bek Lian serta membisikinya: „Suci, lebih baik kebelakang luitay saja, supaya bisa nonton dengan jelas!"

„Huh, untuk menghadapi bangsa begitu masa kami layak maju ke luitay!" Bek Lian tertawa, tapi cepat ayahnya mendenguskan hidung sambil tertawa dingin, Ketiganya segera bangkit untuk mengawasi kesekeliling penjuru. Kiranya sekalian penonton tampak curahkan perhatian kearah luitay. Sam Tay tianglo sudah turun dari luitay dan kini ketiga saudara Chi yang menggantikan naik. Babak pertama dari pertempuran diluitay itu, Ceng Bo siangjinpun tak mau menghiraukan lagi. Sementara Bek Than dan Yan-chiu sudah menyusup masuk diantar penonton yang ber-jubal2 itu, untuk menuju kebelakang luitay. Begitu tiba disana, kedengaran Kiau To berkata-kata: „Mengapa untuk babak pertama mereka menyuruh ketiga saudara Chi yang maju? Aneh juga!"

„Entah apa maksud mereka itu!" sahut Ki Ce-tiong. Justeru dia berkata begitu, Bek Lian dan Yan-chiu muncul, maka buru2 toa-ah-ko itu bertanya: „Apa Bek-heng belum datang?"

„Entah apa sebabnya, kelihatannya suhu tak senang hati!" jawab Yan-chiu.

„Sudah tentu karena adanya luitay ini. Akupun kuatir juga, jangan2 membikin kapiran urusan besar. Tapi karena orang mencari urusan, apa kita tinggal diam saja?"

„Looji, mengapa kau begitu ngotot. Sebaiknya lekas tunjuk siapa yang harus tampil kedepan. Ketiga bajak dari keluarga Chi itu, tak boleh dipandang ringan. Masakan dalam babak pertama, mereka buru2 hendak menang angin," kata Ki Ce-tiong.

Dalam kedua pemimpin Thian Te Hui itu berunding, memang ada sementara anggauta2 Thian Te Hui berpangkat thau-bak yang tawarkan diri untuk maju kegelanggang luitay, namun mata Kiau To tertuju kearah Tio Jiang yang sejak tadi berdiam diri saja itu. Waktu Bek Lian masuk kesitu, Tio Jiang memaku (terus menerus memandang) sang suci saja, maka dia sampai tak mengetahui akan isyarat Kiau To itu. Adalah Yan-chiu yang tahu akan isyarat itu, terus mengutik sukonya, hingga Tio Jiang gelagapan. Sewaktu dia mendongak mengawasi kemuka, dilihatnya ada seseorang yang memakai sepasang sepatu jo-eh (sepatu rumput), mengenakan sehelai baju (pada hal itu waktu adalah bulan sebelas yang hawanya dingin) tengah setindak demi setindak menyeret kakinya menghampiri kearah ketiga saudara Chi sana. Sambil jalan beringsut-ingsut itu, mulutnya berseru: „Hai, adakah kalian bertiga ini orang she Chi?"

Ketiga saudara Chi itu terkesiap. Dengan perlahan diamat-amati orang yang berpakaian mesum itu, tapi mereka tak mengenalnya. „Benar, apakah loheng ini hendak membantu fihak Thian Te Hui?" sahut mereka serempak.

Sembari beringsut jalan menghampirl kedekat, orang itu menyahut: „Apa itu sih Thian Te Hui, Jin Kau Hui (perkumpulan orang anjing)? Locu (membahasai dirinya sendiri) tak kenal semua. Yang kuketahui dilaut selatan ada 3 ekor belut she Chi, ganas tak kenal kasihan. Justeru kebenaran hari ini aku sempat, hendak kutangkapnya !"

Sekalian orang yang mendengar keterangan itu, sama terperanjat kaget. Terang luitay itu diperuntukkan pertandingan antara Thian Te Hui melawan Sam-tianglo dari Ci Hun Si. Ketiga saudara Chi itu adalah salah seorang Empat Sekawan bajak Laut Selatan. Kalau mereka berkelahi untuk fihak Sam-tianglo (tiga paderi besar) itu dapat dimengerti. Tapi masa tahu2 muncul orang lain yang hendak mencari ketiga saudara Chi itu! Perawakan orang itu sedang. Cara berjalannya yang diseret setindak demi setindak itu sih tak mengherankan, tapi yang mengherankan adalah caranya membawakan kata2nya yang begitu tajam itu. Selagi orang masih men-duga2, orang aneh itu sudah tiba dimuka luitay, lalu berseru kearah samping luitay: „Ambilkan tangga, supaya locu bisa naik keatas !"

Ketiga saudara Chi itu tertawa mengejek: „Loheng tokh hendak pi-bu, mengapa keatas luitay saja tak mampu?"

Sembari memanjat ketangga, orang itu menyahut: „Locu hanya pandai menangkap belut, baik dimana saja, didarat maupun dilaut. Tapi memang locu tak bisa main loncat !"

Setelah berada diatas papan luitay, orang itu menuding kepada ketiga saudara Chi, serunya: „Bagaimana, kamu bertiga maju serempak atau satu per satu?"

„Kami bertiga saudara ini, selama maju berbareng. Kalau kau jeri, lekas enyah sana!" sahut Chi Kwi.

Orang itu memutar tubuh, menghadap kearah penonton dia beraeru nyaring: „Para enghiong hohan dari seluruh penjuru, dengarlah! Mereka bertiga hendak mengerubuti aku seorang, kalau mereka mampus rasanyapun sudah cukup pantas!"

,,Jangan jual omongan tak berguna! Siapa namamu?" bentak ketiga saudara Chi itu.

„Aku orang she „Si!"

„Si" artinya „ya". Sudah tentu ketiga saudara itu melengak seraya menegas: „She Si?"

„Tidak salah," sahut orang itu dengan tertawa, „namaku yang lengkap ialah Si Li Tia (ialah ayah-mu)!"

Baru kini ketiga saudara itu sadar bahwa orang berniat mem-per-olok2kan. Cepat mereka berjajar rapi, lalu siap menghunus golok kui-thau-to (kepala setan) masing2. Melihat itu, Ki Ce-tiong berkata kepada Kiau To: „Loji, ilmu golok dari persaudaraan Chi itu memang dimainkan oleh bertiga orang. Dan itu merupakan suatu ilmu permainan yang sukar dilayani. Kukira lebih baik kau panggil orang itu, agar publik tak menyangka kalau Thian Te Hui tiada mempunyai orangI"

Dipikir omongan toa-ah-konya itu memang tepat, maka berbangkitlah Kiau To terus berseru keras2: „Sahabat, harap berhenti dulu!" lalu lolos jwan-pian (ruyung lemas semacam cambuk) dipinggangnya. Begitu dikebutkan sehingga lempang seperti sebatang pit (pena Tiongkok), dia

terus melesat ketengah luitay. Selagi masih melayang diatas udara itu, piannya dimainkan dengan gencar sekali sehingga menderu merupakan sebuah lingkaran sinar, atau mirip dengan sekuntum bunga yang tengahnya berisi bayangan orang. Cara pemimpin kedua dari Thian Te Hui itu naik keatas luitay, memang indah dan istimewa sekali.

Ketiga saudara Chi itu telah bertindak menurut rencana yang telah ditetapkan. Rencana itu menghendaki agar pertempuran luitay itu bisa berlangsung sampai beberapa hari lamanya, agar mereka dapat melaksanakan rencana itu lebih ianjut. Mengapa dalam babak pertama ketiga saudara itu yang maju, adalah karena pada pikiran mereka, masakan dalam hari pertama fihak musuh akan mengeluarkan jago2nya yang lihay. Dengan begitu, tentu mereka bertiga akan dapat merebut kemenangan. Pemimpin kedua dari Thian Te Hui, Kiau To itu, wataknya berangasan. Menghadapi setiap persoalan, tak mau dia berbanyak pikir untuk menelitinya. Lain halnya dengan Ki Cee-tiong yang cermat teliti. Nampak ketiga saudara Chi yang pertama turun kegelanggang, dia menduga, tentu ada sebabnya, maka disuruhnya Kiau To lah yang menghadapinya. Loncatan Kiau To ketengah luitay itu tepat jatuh di-tengah2 ketiga saudara Chi dan siorang kurus tadi. Per-tama2 Kiau To memberi hormat kepada orang itu seraya berkata: „Sahabat, aku yang rendah atas nama Thian Te Hui haturkan terima kasih atas bantuanmu. Hanya saja kali ini adalah menyangkut urusan Thian Tee Hui, apabila sahabat memang sungguh berhasrat membantu, sukalah kiranya pada nanti giliran yang kedua saja."

Ucapan Kiau To Itu disusun dalam bahasa tata

Dalam dokumen 1. Naga Dari Selatan (Halaman 127-164)

Dokumen terkait