• Tidak ada hasil yang ditemukan

Antibiotik Amoksisilin dan Senyawa-Senyawa Metabolisme Sekunder yang Diduga Mempunyai Aktivitas Antibakteri

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

4. Antibiotik Amoksisilin dan Senyawa-Senyawa Metabolisme Sekunder yang Diduga Mempunyai Aktivitas Antibakteri

Antibiotik merupakan sekelompok senyawa, baik alami maupun sintetik yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi (Ritschel, 1976). Menurut Heyne (1987), senyawa yang mengandung turunan hidrokarbon teroksigenasi merupakan antibiotik alami yang memiliki efek antibakteri. Penelitian Inouye et al., (2001) menunjukkan bahwa senyawa terpen alkohol seperti geraniol, mentol, terpinen-4-ol dan linalol memiliki daya antibakteri yang kuat. Aktivitas antibakteri dari terpen keton seperti kamfor dan menton menunjukkan aktivitas yang sama dengan aktivitas antibakteri terpen eter (1,8-sineol) sedangkan terpen hidrokarbon seperti D-limonen dan α-pinen memiliki aktivitas antibakteri yang rendah.

Berbagai jenis antibiotik sintetik telah dikembangkan untuk melawan infeksi bakteri. Masing-masing golongan antibiotik sintetik mempunyai target penghambatan yang berbeda. Antibiotik yang dapat mempengaruhi dinding sel adalah penisilin, monobaktam, karbapenem, vankomisin, sefalosporin, isoniazid dan basitrasin. Antibiotik sintetik yang dapat menghambat sintesis protein bakteri adalah kloramfenikol, tetrasiklin, aminoglikosida, dan makrolida. Antibiotik yang

commit to user

dapat menghambat fungsi membran sel adalah nistatin, dan polimiksin sedangkan antibiotik yang dapat menghambat sintesis asam nukleat diantaranya quinolon dan rifampin (Pratiwi, 2008).

Amoksisilin merupakan salah satu antibiotik sintetik turunan penisilin yang memiliki spektrum luas dimana aktif terhadap bakteri gram positif maupun gram negatif. Stuktur kimia amoksisilin ditunjukkan pada gambar 6.

Gambar 6. Struktur kimia amoksisilin

Amoksisilin merupakan antibiotik yang tahan terhadap asam tetapi tidak tahan terhadap penisilinase. Beberapa keuntungan penggunaan amoksisilin dibanding ampisilin adalah absorpsi obat dalam saluran cerna lebih sempurna, sehingga kadar amoksisilin dalam darah lebih tinggi. Amoksisilin sering digunakan untuk pengobatan infeksi saluran pernafasan, saluran empedu, meningitis dan infeksi karena Salmonella sp, seperti demam tipoid. Efek terhadap Bacillus dysentery lebih rendah dibanding ampisilin karena lebih banyak obat yang diabsorpsi oleh saluran cerna (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Difusi amoksisilin ke jaringan-jaringan dan cairan-cairan tubuh lebih baik. Amoksisilin dapat pula menyebabkan gangguan-gangguan usus dan kulit tetapi lebih jarang daripada ampisilin (Tjay dan Rahardja, 2002).

Amoksisilin dan ampisilin merupakan antibiotik turunan penisilin yang mempunyai aktivitas dan spektrum penghambatan yang sama, yaitu dapat menghambat kerja enzim transpeptidase dengan cara mengikat enzim melalui ikatan kovalen sehingga mencegah pembentukan dinding sel bakteri (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

Senyawa-senyawa metabolisme sekunder yang mempunyai aktivitas antibakteri, antara lain:

1. Flavonoid

HO

HN

O N

S NH2

H

COOH O

commit to user

Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan di alam (Kristanti, 2008). Dalam tumbuhan flavonoid pada umumnya merupakan pigmen-pigmen yang tersebar luas dalam bentuk senyawa glikon dan aglikon. Flavonoid-flavonoid yang terdapat di alam antara lain adalah flavon, isoflavon, antosianin, leuko-antosianin, dan kalkon (Rusdi, 1988).

Sifat fisika dan kimia senyawa flavonoid antara lain adalah larut dalam air, sedangkan dalam bentuk glisida yang termetilasi larut dalam eter. Sebagai glikosida maupun aglikon, senyawa flavonoid tidak dapat larut dalam petroleum eter. Dari tumbuhan, glikosida dapat ditarik dengan pelarut organik yang bersifat polar (Rusdi, 1988).

Flavonoid memiliki kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon dan digambarkan sebagai deretan senyawa C6-C3-C6. Artinya kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C6 yang dihubungkan dengan rantai alifatik tiga-karbon. Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur, yaitu 1,3-diarilpropan atau neoflavonoid, 1,2-diarilpropan atau isoflavon, dan 1,1-diarilpropan atau neoflavonoid. Contoh golongan senyawa flavonoid dapat dilihat pada Gambar 7.

O

Gambar 7. Senyawa–senyawa golongan flavonoid (Kristanti, 2008) Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, dan biru, serta sebagian zat warna kuning yang terdapat dalam tanaman. Sebagai pigmen bunga, flavonoid jelas berperan dalam menarik serangga untuk membantu proses penyerbukan. Beberapa kemungkinan fungsi flavonoid yang lain bagi tumbuhan adalah sebagai zat pengatur tumbuh, pengatur proses fotosintesis, sebagai zat antimikroba, antivirus, dan antiinsektisida. Beberapa flavonoid sengaja dihasilkan

commit to user

jaringan tumbuhan sebagai respon terhadap infeksi atau luka yang kemudian berfungsi menghambat fungi penyerangnya. Telah banyak flavonoid yang diketahui memberikan efek samping fisiologi tertentu. Oleh karena itu, tumbuhan yang mengandung flavonoid banyak dipakai dalam pengobatan tradisional (Kristanti, 2008).

2. Saponin

Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah. Dalam larutan yang sangat encer, saponin sangat beracun untuk ikan, dan tumbuhan yang mengandung saponin telah digunakan sebagai racun ikan selama beratus-ratus tahun. Beberapa saponin juga bekerja sebagai antimikroba (Padmawinata, 1995). Contoh senyawa saponin yang dapat bertindak sebagai antibakteri adalah smilagenin. Adapun strukturnya dapat dilihat pada Gambar 8.

O O

OH

Gambar 8. Struktur smilagenin

Saponin dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu glikosida triterpenoid dan glikosida struktur steroid tertentu yang mempunyai rantai samping spiroketal.

Kedua jenis saponin ini larut dalam air dan etanol tetapi tidak larut dalam eter.

Contoh senyawa yang termasuk saponin adalah asam glisiretat. Adapun strukturnya dapat dilihat pada Gambar 9.

Saponin mempunyai bagian utama berupa turunan triterpen dengan sedikit steroid. Residu gula dihubungkan oleh satu gugus –OH biasanya C3-OH dari aglikon (monodesmoside saponin) dan jarang dengan dua gugus OH atau satu gugus –OH dan gugus karboksil (bis-desmiside saponin) (Wagner, 1983).

commit to user

HO

COOH

O

Gambar 9. Struktur asam glisiretat (Padmawinata, 1995) 3. Terpenoid

Terpenoid adalah kelompok senyawa metabolit sekunder yang terbesar dilihat dari jumlah senyawa maupun variasi kerangka dasar strukturnya.

Terpenoid ditemukan berlimpah dalam tanaman tingkat tinggi, meskipun demikian, dari penelitian diketahui bahwa jamur, organisme laut, dan serangga juga menghasilkan terpenoid. Selain dalam bentuk bebasnya, terpenoid di dalam juga dijumpai dalam bentuk glikosida, glikosil ester, dan iridoid. Terpenoid juga merupakan komponen utama penyusun minyak atsiri (Kristanti, 2008).

Terpenoid adalah senyawa yang mengandung karbon dan hidrogen, atau karbon, hidrogen dan oksigen yang tidak bersifat aromatis. Terpenoid merupakan senyawa-senyawa yang mudah menguap terdiri dari 10 atom C dan penyusun minyak atsiri (Achmad, 1986).

Senyawa terpenoid tersusun atas karbon-karbon dengan jumlah kelipatan atom lima. Diketahui juga bahwa sebagian besar terpenoid mempunyai kerangka karbon yang dibangun oleh dua atau lebih unit C5 yang disebut unit isoprene (Kristanti, 2008). Senyawa terpenoid terdiri atas beberapa unit isoprene, mempunyai struktur siklik dengan satu atau lebih gugus fungsional berupa gugus hidroksil dan gugus karbonil (Rusdi, 1988). Klasifikasi terpenoid dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi Terpenoid

Kelompok Terpenoid Jumlah atom C

Monoterpen Seskuiterpen

Diterpen

10 15 20

commit to user Triterpen

Tetraterpen Politerpen

30 40

>40

(Kristanti, 2008) Secara kimia terpenoid larut dalam lemak dan terdapat di dalam sitoplasma sel tumbuhan. Biasanya terpenoid diekstrasi dari jaringan tumbuhan dengan memakai eter atau kloroform, dan dapat dipisahkan secara kromatografi pada silika gel atau alumina menggunakan pelarut eter atau kloroform (Harborne, 1996). Kebanyakan peneliti berpendapat bahwa fungsi terpenoid rendah dalam tumbuhan, lebih bersifat ekologi daripada fisiologi. Banyak senyawa ini yang menghambat pertumbuhan tumbuhan pesaingnya dan dapat bekerja sebagai insektisida atau berdaya racun terhadap hewan tinggi (Robinson, 1991). Penelitian Gunawan (2007) terpenoid yang diisolasi dari herba meniran (Phyllanthus niruri Linn), yaitu jenis phytadiene dan 1,2-seco cladiellan menunjukkan penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri S. aureus dan E.coli. Struktur kimia phytadiene dan 1, 2-seco cladiellan dapat dilihat pada Gambar 10.

(i)

O

O

OH OCH3

(ii)

Gambar 10. Struktur senyawa (i) phytadiene dan (ii) 1, 2-seco-cladiellan (Gunawan, 2007)

4. Alkaloid

Alkaloid dari tanaman kebanyakan amina tersier dan yang lainnya terdiri dari nitrogen primer, sekunder, dan quartener (Poither, 2000). Semua alkaloid mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa dan sebagian besar atom nitrogen ini merupakan cincin aromatik (Achmad, 1986).

Berdasarkan penyusun asam aminonya alkaloid dibedakan menjadi alkaloid asiklis yang berasal dari asam amino ornitrin dan lisin. Alkaloid aromatis

commit to user

jenis fenilalanin berasal dari fenilalanin, tirosin dan 3,4-dihidroksifenilalanin.

Alkaloid jenis indol yang berasal dari triptofan (Achmad, 1986). Contoh senyawa alkaloid berdasarkan penyusun asam aminonya dapat dilihat pada Gambar 11.

N

Gambar 11. Golongan Senyawa Alkaloid Berdasarkan Penyusun Asam Aminonya (Achmad, 1986)

Gambar 12. Senyawa-Senyawa Alkaloid yang Bersifat Antibakteri (Cowan, 1999) 5. Senyawa fenolat

Senyawa-senyawa golongan fenol yang terdapat dalam tumbuhan dapat merupakan senyawa monohidroksi atau polihidroksi fenolat. Terikat sebagai senyawa glikosida dimana terikat dengan protein, alkaloid atau terdapat sebagai senyawa terpenoida. Senyawa ini pada proses ekstraksi akan dapat ditemukan dalam fraksi air ataupun dalam fraksi pelarut-pelarut polar lainnya.

Jika murni, senyawa fenol berupa zat padat tak berwarna tetapi biasanya teroksidasi dan berwarna gelap jika terkena udara. Kelarutan dalam air bertambah jika gugus hidroksil makin banyak, tetapi kelarutan dalam pelarut organik yang

commit to user

polar umumnya tinggi. Fenol yang kelarutannya dalam air kecil mudah larut dalam natrium hidroksida encer, tetapi dalam suasana basa laju oksidasi sangat meningkat, sehingga pada setiap perlakuan penggunaan basa kuat dihindari (Padmawinata, 1995).

Senyawa fenolat mempunyai aktivitas antiinflamasi, karena senyawa ini menghambat sintesis prostaglandin (Padmawinata, 1995). Tingkatan gugus fungsi hidroksil pada golongan fenol berhubungan dengan toksisitas pada mikroorganisme, dengan bukti bahwa bertambahnya hidroksilasi menghasilkan penambahan toksisitas. Semakin tinggi fenol teroksidasi semakin kuat menghambat pertumbuhan organisme. Mekanisme yang berhubungan dengan toksisitas fenol terhadap mikroorganisme adalah penghambatan enzim oleh senyawa teroksidasi kemungkinan lewat reaksi dengan gugus sulfihidril atau dengan interaksi yang tidak spesifik oleh protein (Cowan, 1999). Contoh struktur senyawa fenol dapat dilihat pada Gambar 13.

COOH OH H

COOH

Asam Benzoat Asam Salisilat

Gambar 13. Senyawa-senyawa golongan fenol (Padmawinata, 1995) 5. Uji Aktivitas Antibakteri

Uji aktivitas antimikroba merupakan uji kepekaan antibiotik atau bahan antimikroba pathogen (Lay, 1994). Menurut Bailey and Scott (1966) dan Lay (1994) metode yang digunakan untuk uji aktivitas antimikroba secara in vitro ada dua macam yaitu metode difusi agar dan metode dilusi:

a. Metode difusi

Metode ini dibagi menjadi tiga yaitu metode perforasi, metode gores silang dan metode cakram kertas.

1) Metode perforasi

Bakteri uji yang umurnya 18 – 24 jam disuspensikan ke dalam media agar pada suhu sekitar 45 oC. Suspensi bakteri dimasukkan ke dalam cawan petri, kemudian dicampur dengan 15 mL media agar steril. Campuran tersebut

commit to user

dihomogenkan dengan cara gerakan memutar. Setelah agar membeku, dibuat lubang dengan menggunakan perforator berdiameter 6 mm, tiap lubang diisi dengan 20 µL sampel ekstrak yang sebelumnya telah dilarutkan dalam larutan DMSO dengan konsentrasi 10%, kemudian cawan diinkubasi pada suhu 37oC selama 18 – 24 jam. Aktivitas antijamur dapat dilihat daerah bening yang mengelilingi lubang perforasi.

2) Metode Gores Silang

Zat yang akan diuji diserapkan ke dalam kertas saring (empat persegi panjang) dengan cara meneteskan pada kertas saring kosong larutan antibakteri sejumlah volume tertentu dengan kadar tertentu pula. Kertas saring tersebut diletakkan dipermukaan agar padat, kemudian digores dengan suspensi bakteri 90%T pada agar mengenai / melalui kertas saringnya, diinkubasikan selama 18 – 24 jam pada suhu 37oC. Aktivitas antibakteri dapat dilihat dari daerah bening yang tidak ditumbuhi bakteri dekat kertas saring.

3) Metode Cakram Kertas

Zat yang akan diuji diserapkan ke dalam cakram kertas dengan cara meneteskan pada cakram kertas kosong larutan antibakteri sejumlah volume tertentu dengan kadar tertentu pula. Cakram kertas diletakkan di atas permukaan agar padat yang telah dituangkan bakteri sebelumnya. Cawan petri diinkubasi pada suhu 30°C selama 2 hari sampai 4 hari. Aktivitas antibakteri dapat dilihat dari daerah hambat di sekeliling cakram kertas.

b. Metode dilusi

Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth dilution) dan dilusi padat (solid dilution).

1) Metode dilusi cair

Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran agen antibakteri pada medium cair yang ditambahkan dengan bakteri uji. Larutan uji agen antibakteri pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan bakteri uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa

commit to user

penambahan bakteri uji ataupun agen antibakteri, dan diinkubasi selama 18-24 jam.

2) Metode dilusi padat

Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media padat (solid). Keuntungan metode ini adalah suatu konsentrasi agen antibakteri yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa bakteri uji (Pratiwi, 2008).

6. Ekstraksi

Ekstraksi adalah pemisahan berdasarkan perbedaan distribusi zat terlarut diantara dua pelarut yang saling bercampur. Pada umumnya zat terlarut yang diekstrak tidak larut atau larut sedikit dalam suatu pelarut tetapi mudah larut dalam pelarut yang lain. Metode ekstraksi yang tepat ditentukan oleh tekstur kandungan air bahan-bahan yang akan di ekstrak dan senyawa-senyawa yang akan diisolasi (Padmawinata dan Soediro, 1996).

Ekstraksi pada dasarnya dibagi menjadi dua bagian yaitu ekstraksi cair-cair dan ekstraksi padat-cair-cair. Ekstraksi cair-cair-cair-cair biasanya digunakan untuk memisahkan senyawa yang terkandung dalam bahan alam cair. Pada ekstraksi cair-cair dikenal hukum distribusi yang dikemukakan oleh Nerst, bahwa jika suatu zat dimasukkan kedalam pelarut A dan B dengan perbandingan yang tetap.

Hukum distribusi tersebut berlaku jika pada temperatur dan tekanan tetap, serta tidak terjadi interaksi kimia antara zat tersebut dengan pelarut selain proses pelarutan.

Kd = C

A

C

B

Kd = Koefisien distribusi

CA = Koefisien zat terlarut dalam pelarut A CB = Koefisien zat terlarut dalam pelarut B

Ekstraksi padat-cair biasanya digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa hasil alam padat dengan menggunakan pelarut tertentu sesuai dengan senyawa yang dipisahkan. Pemisahan pelarut berdasarkan kaidah ”like dissolved like”, yang berarti suatu senyawa polar akan larut dalam pelarut polar dan juga

commit to user

sebaliknya, senyawa non polar akan larut dalam pelarut non polar (Sastrohamidjojo, 1991). Ekstraksi padat- cair yang paling sederhana adalah maserasi (perendaman), dimana bahan padat dicampur beberapa kali dengan pelarut segar. Hasil maksimal akan diperoleh jika dilakukan pengocokan karena kesetimbangan terjadi lebih cepat. Semakin besar perbandingan pelarut dengan bahan yang diekstraksi, hasil diperoleh akan semakin banyak (Noerono, 1994).

Pemisahan berulang dengan sampel berupa padatan biasanya digunakan ekstraksi soxhlet. Pada ekstraksi soxhlet bahan yang akan diekstrak dijadikan serbuk untuk memperluas permukaan dan diletakkan dalam pembungkus yang berpori (kertas saring). Pembungkus tersebut dimasukkan ke dalam alat soxhlet, sedangkan pada bagian atas alat ini dihubungkan dengan kondensor atau pendingin. Pelarut dan batu didih dimasukkan dalam labu dan diekstrak dengan temperatur dan waktu yang diinginkan (Saptorahardjo, 1990).

Pelarut-pelarut yang digunakan untuk ekstrak harus memenuhi persyaratan antara lain :

1. Inert atau tidak dapat bereaksi dengan komponen-komponen yang akan diisolasi.

2. Selektif yaitu hanya mengisolasi atau melarutkan zat-zat yang diinginkan.

3. Mempunyai titik didih rendah, sehingga mudah diuapkan pada temperatur yang rendah.

Ekstraksi biasanya dimulai dengan menggunakan pelarut organik secara berurutan dengan kepolaran semakin meningkat. Digunakan pelarut n-heksana, petroleum eter untuk mengambil senyawa yang kepolarannya rendah. Selanjutnya digunakan pelarut yang lebih polar seperti kloroform, butanol, etanol dan metanol.

Ekstraksi berikutnya menggunakan air untuk mengambil senyawa yang lebih polar seperti asam amino dan karbohidrat (Padmawinata dan Soediro, 1996).

Dokumen terkait