• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

B. Antihipertensi

Diuretik adalah golongan obat yang mengurangi volume cairan

ekstraseluler, meningkatkan ekskresi sodium klorida urine, dan meningkatkan

volume urine yang terekskresi oleh ginjal. Diuretik utamanya digunakan untuk

mencegah dan meringankan edema dan ascites. Kondisi ini muncul pada penyakit

jantung, ginjal dan hati (Gennaro, 2000). Diuretik merupakan salah satu strategi

lini pertama dalam penanganan hipertensi

Banyak diuretik bekerja pada spesifik pada protein transport sel epitel

tubulus ginjal. Beberapa diuretik lain bekerja melalui efek osmotik yang

mencegah reabsorpsi air (manitol), menghambat enzim (azetolamide), atau

bekerja dengan menghambat reseptor hormon yang ada di sel epitel ginjal

(antagonis aldosteron) (Katzung et al, 2009).

Diuretik golongan azetolamid bekerja dengan cara menghambat enzim

carbonic anhydrase. Enzim carbonic anhydrase terdapat di beberapa tempat di

nefron, tetapi paling banyak terdapat di membran luminal. Kerja dari enzim ini

adalah membantu reaksi dehidrasi dari H

2

CO

3

. Dengan dihambatnya enzim ini

maka reabsorpsi NaHCO3 juga dihambat sehingga terjadi efek diuresis. Diuretik

golongan ini biasa digunakan dalam terapi glaukoma, pembasaan urin, terapi pada

alkalosis metabolik, dan sebagai adjuvan dalam terapi epilepsi (Katzung et al,

2009).

Diuretik selanjutnya ada golongan diuretik lengkung. Salah satu obat

golongan ini adalah furosemid (Saseen dan MacLaughlin, 2008). Diuretik

lengkung bekerja dengan menghambat reabsorpsi Na

+

/K

+

/2Cl

-

secara selektif

yang terjadi di thick ascending limb (TAL) yang terdapat di lengkung henle. Pada

pemberian secara IV, furosemid cenderung meningkatkan aliran darah ginjal

tanpa disertai kenaikan nilai laju filtrasi glomerulus (Tanu, 2009). Furosemid

biasa digunakan dalam terapi hiperkalemia, gagal ginjal akut, edema refrakter,

serta gagal jantung (Katzung et al, 2009; Tanu, 2009). Selain digunakan untuk

indikasi yang telah disebutkan sebelumnya, furosemid juga memiliki efek

antihipertensi. Furosemid digunakan sebagai antihipertensi pada pasien yang

memiliki nilai klirensi kreatinin <30 ml/menit (Aronow et al, 2011; Saseen dan

MacLaughlin, 2008).

Diuretik tiazid (hidroklorotiazid) bekerja dengan menghambat transpor

NaCl yang terjadi di tubulus distal. Efek farmakodinamik tiazid yang utama

adalah dengan meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air dari dalam tubuh.

Efek natriuresis dan klorouresis dari tiazid disebabkan oleh penghambatan

mekanisme reabsorpsi elektrolit pada hulu tubulus distal (Katzung et al, 2009).

Diuretik golongan Tiazid sering digunakan sebagai terapi lini pertama pada

pasien hipertensi (Aronow et al, 2011; Saseen dan MacLaughlin, 2008). Cara

kerja antihipertensi Tiazid bukan hanya karena efek diuresis yang disebabkannya,

tetapi juga karena efek vasodilatasi langsung terhadap arteriol sehingga dapat

menurunkan tekanan darah (Tanu, 2009). Kegunaan diuretik tiazid utamanya

sebagai antihipertensi, terapi pada pasien gagal jantung, terapi diabetes insipidus

yang bersifat nefrogenik (Katzung et al, 2009; Saseen dan MacLaughlin, 2008;

Aronow et al, 2011).

Diuretik tiazid seperti hidroklorotiazid, klortalidon, dan bendrofluazid

merupakan agen antihipertensi yang sering diberikan sebagai terapi lini pertama

bagi pasien geriatri dengan hipertensi. Diuretik tiazid dipilih sebagai lini pertama

antihipertensi karena dapat dengan cepat menurunkan volume intravaskular,

menurunkan resintensi perifer, menurunkan tekanan darah pada lebih dari 50%

pasien, dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien, serta harganya relatif terjangkau

(Aronow et al, 2011).

Diuretik golongan tiazid, antagonis aldosteron (diuretik hemat kalium)

dan golongan diuretik lengkung dapat digunakan untuk mengatasi edema. Dalam

dosis yang lebih rendah, diuretik tiazid digunakan sebagai antihipertensi.

Sedangkan golongan diuretik lengkung (furosemid), digunakan untuk mengatasi

edema paru yang disebabkan oleh gagal jantung ventrikel kiri dan gagal jantung

kronik. Pada pasien dengan fungsi ginjal yang menurun, furosemid lebih dipilih

karena dikatakan lebih efektif dibanding diuretik tiazid sebagai antihipertensi

(BPOM, 2008; Saseen dan MacLaughlin, 2008; Lacy et al, 2011)

Sebagian besar diuretik menghambat reabsorpsi sodium dan/atau klorida

pada tubulus ginjal. Hasilnya akan menyebabkan natriuresis dan diuresis. Akan

tetapi, mekanisme bagaimana diuretik menghambat reabsorpsi dan tempat aksinya

bervariasi; diuretik dapat bekerja pada tubulus proksimal, lengkung Henle,

tubulus distal, tubulus kolektivus, atau kombinasi dari tempat-tempat tersebut

(Gennaro, 2000).

Diuretik cukup sering diresepkan secara berlebihan. Peresepan yang

berlebihan dapat merugikan pasien, terlebih jika diresepkan berlebihan terhadap

pasien geriatri. Pasien geriatri lebih rentan terhadap efek samping obat

dikarenakan fungsi organnya yang telah mengalami penurunan. Sebaiknya

pemberian diuretik pada pasien geriatri diawali dengan dosis yang rendah terlebih

dahulu. Disamping itu, dosis pemberian diuretik terhadap lansia juga harus

disesuaikan dengan kondisi ginjal pasien (BPOM, 2008; Aronow et al, 2011;

Midlov et al, 2009)

2. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)/Penghambat

Enzim Pengubah Angiotensin

Golongan obat penghambat enzim pengubah angiotensin mencegah

terjadinya perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II. Obat golongan ini juga

akan mencegah degradasi brakinin dan menstimulasi sintesis senyawa vasodilator

lainnya. Contoh obat golongan penghambat enzim pengubah angiotensin yaitu

kaptopril (Saseen dan MacLaughlin, 2008).

Golongan obat penghambat enzim pengubah angiotensin dapat

digunakan sebagai monoterapi atau dalam regimen terapi kombinasi dengan

antihipertensi golongan penghambat beta, penghambat kanal kalsium, atau

diuretik. Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh antihipertensi golongan ini

jarang. Efek samping yang diketahui termasuk ruam, angioedema, proteinuria,

atau leukopenia, terutama pada pasien dengan kenaikan serum kreatinin (Kasper,

et al., 2005).

3. Angiotensin II Receptor Blockers (ARB)/Penghambat Reseptor

Angiotensin II

Golongan obat penghambat reseptor angiotensin II bekerja menahan

langsung reseptor angiotensin tipe 1 yang memperantarai efek angiotensin II,

namun tidak seperti ACEI, antihipertensi golongan ini tidak menginduksi

keluarnya bradikinin sehingga menggurangi efek samping batuk. Contoh

antihipertensi dari golongan penghambat reseptor angiotensin II adalah valsartan

(Saseen dan MacLaughlin, 2008).

4. Beta Blockers/Penghambat Beta

Mekanisme kerja dari antihipertensi golongan penghambat beta belum

begitu jelas dipahami. Penghambat beta diketahui dapat menginhibisi pelepasan

renin dari ginjal. Contoh obat dari golongan ini adalah yaitu atenolol, labetalol,

dan propanolol (Saseen dan MacLaughlin, 2008). Penghambat beta umumnya

efektif pada pasien muda dengan sirkulasi hiperkinetik. Penggunaannya dimulai

dari dosis rendah (contohnya atenolol 25 mg per hari) dan dikontraindikasikan

pada pasien dengan bronkospasme, AV block, bradikardi, dan diabetes tergantung

insulin (Kasper, et al., 2005). Penghambat beta diketahui sangat efektif untuk

mencegah cardiovascular event pada pasien yang sebelumnya telah mengalami

infark miokard dan pada pasien dengan gagal jantung (Mancia et al, 2013).

5. Calcium Channel Blockers (CCB)/Penghambat Kanal Kalsium

Obat golongan penghambat kanal kalsium menyebabkan relaksasi

jantung dan otot polos dengan menghambat saluran kalsium yang sensitif terhadap

tegangan, sehingga mengurangi masuknya ion kalsium ke dalam sel. Relaksasi

otot polos vaskular menyebabkan vasodilatasi dan berhubungan dengan reduksi

tekanan darah. Contoh obatnya adalah verapamil (Saseen dan MacLaughlin,

2008). Veparamil dan diltiazem dapat menyebabkan bradikardi dan AV block,

sehingga kombinasi dengan penghambat beta umumnya dihindari (Kasper, et al.,

2005).

Dokumen terkait