• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencarian obat antikanker baru memainkan peranan yang sangat penting tidak hanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan obat, tetapi juga oleh banyak organisasi pemerintahan. Tingkat kematian yang disebabkan oleh kanker cenderung meningkat diperkirakan dari sekitar 9 juta kematian pada tahun 2015 menjadi sekitar 11,4 juta

kematian pada tahun 2030. Oleh karena itu, obat-obatan kanker baru yang lebih efektif sangat diperlukan (Saiz-Urra, 2009). Penggunaan obat anti kanker dimulai tahun 1946 dengan ditemukannya mustar nitrogen untuk mengobati leukimia. Jenis pengobatan kanker salah satunya dengan memberikan obat–obat pembunuh sel kanker/sitostatika (kemoterapi). Tujuan utama kemoterapi kanker adalah merusak secara selektif sel tumor yang berbahaya tanpa mengganggu sel normal.

Obat antikanker dapat digolongkan menjadi beberapa jenis. Untuk lebih jelas tentang penggolongan obat antikanker dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Obat antikanker dan penggolongannya (Mulyadi, 1997)

Golongan Sub golongan Obat

1. Senyawa pengalkil

Mustar nitrogen Mekloroetamin, Siklofostamid, Melfalan, Klorambusil, Mustarurasil.

Etilenimin Trietilenmelamin (TEM),

Trietilentiofosforamid (Tio-TEPA). Ester asam sulfonat Busulfan, Mileran, Dimetilmileran. Epoksid Diepoksibutan, Epodil, Eponate. 2. Anti Sejenis purin 6-Merkaptopurin, 6-Tioguanin.

metabolit Sejenis pirimidin Sitaribin, 5-Fluorourasil, 6-Azauridin. Sejenis folat Metotraksat.

Antagonis asam amino

Alanin, Selenilalanin, Fenilselenilalanin. Antagonis vitamin Isoriboflavin, Deoksipiridoksin.

3. Antibiotik Daktinomisin, Mitomisin,Daunorubisin, Daksorubisin, Mitramisin, Bleomisin. 4. Hormon Estrogen Dietilstilbestrol, Etinilestradiol.

Antiestrogen Tamoksifen.

Androgen Testosteron propionat, Fluoksimesteron. Progestin Hidroksi progesteron kaproat.

Adrenokertikosteroid Prednison. 5.

Macam-macam

Hidroksiurea, Prokarbazin,

L-Asparaginase, Vinkristin, Vinblastin. Ditinjau dari siklus sel obat antikanker dapat dikelompokkan menjadi dua jenis. Pertama obat yang kerjanya memperlihatkan toksisitas selektif terhadap sel yang sedang berproliferasi. Kelompok ini disebut kelompok cell cycle-specific (CCS).

Kelompok obat CCS adalah vinkristin, vinblastin, sitarabin, fluorourasil, azositidin, bleomisin, merkaptopurin, tioguanin, hidroksiurea dan metotreksat. Kelompok kedua adalah kelompok cell cycle-nonspecific (CCNS). Kelompok obat CCNS adalah mekloroetamin, siklofosfamid, melfalan, busulfan, tiotepa, karmustin, lomustin, semustin, mitomisin, daktomisin, deoksorubisin, daunorubisin.

Dan Tabel 2.4 berikut merupakan beberapa merk obat antikanker yang sudah dijual dipasaran secara komersil beserta fungsinya (National Cancer Institute, 2003).

Tabel 2.4 Beberapa obat antikanker yang dijual secara komersial (NCI, 2003)

No Obat Merk obat Fungsi

1 Asparaginase Erwinia Chrysanthemi

Erwinaze LMA

2 Chlorambucil Ambochlorin, Amboclorin, Leukeran, dan Linfolizin

LLK

3 Clofarabine Clofarex, dan Clolar LLA

4 Cytarabine Cytosar-U, dan Tarabine PFS LLA, LMA, dan LMK

5 Cyclophosphamide Clafen, Cytoxan, Neosar, dan Chlorambucil Clafen

LLA, LMA, dan LLA, LMK 6 Daunorubicin

Hydrochloride

Cerubidine, dan Rubidomycin LLA, dan LMA 7 Doxorubicin

Hydrochloride

Adriamycin PFS, dan Adriamycin RDF,

LLA, dan LMA 8 Methotrexate Abitrexate , Folex, Folex PFS,

Mexate, dan Mexate-AQ

LLA 9 Vincristine Sulfate Vincasar PFS, dan Vincasar

PFS

LLA, dan LMA 10 Ponatinib

Hydrochloride

Iclusig LMK

Untuk menentukan suatu bahan alami atau sintetis yang dapat digunakan sebagai antikanker, terdapat beberapa istilah yang harus diperhatikan yaitu berdasarkan efek biologi dari suatu senyawa terhadap sel yang dicobakan yaitu sitotoksik, anti tumor, dan anti kanker (Suffness dan Pezzuto, 1991; Bulan, 2002).

 Sitotoksik adalah toksik terhadap sel dalam jaringan. Sifat ini dapat dibedakan menjadi sitostatik dan sitosidal. Sitotoksik yaitu menghentikan pertumbuhan sel yang sering sekali reversible dan sitosidal yaitu pembunuhan terhadap sel.

 Antitumor yaitu efektif terhadap suatu model sistem tumor secara in vivo.

 Antikanker yaitu efektif dalam suatu percobaan terhadap suatu penyakit pada manusia.

Sedangkan untuk menetapkan suatu senyawa bersifat antikanker dilakukan beberapa tahap penelitian yaitu uji sifat farmakologi dan aktivitas terhadap berbagai sel (penapisan awal) adalah untuk menentukan tosisitas suatu senyawa. Uji toksikologi pra klinis dan farmakologi pada hewan percobaan untuk menentukan sifat anti tumor suatu senyawa, dan uji coba klinik pada manusia untuk menetapkan suatu senyawa sebagai obat antikanker.

Penentuan sifat toksisitas suatu senyawa dilakukan dengan uji sifat farmakologi dan aktivitasnya terhadap berbagai sel secara in vitro atau in vivo. Sel–

sel yang digunakan antara lain sel P388 (sel limfositis yang berasal dari kanker pada tikus), lini sel L1210 (sel yang diisolasi dari limfa tikus), sel hela (sel yang berasal dari kanker leher rahim manusia), sel KB (nasopharynx carsinoma), sel sarcoma 180 A, sel walker 256 (Itokawa dan Takeya, 1993; Bulan, 2002).

Bagaimanapun juga, berbagai macam lini sel leukimia lebih sering digunakan untuk mengelusidasi mekanisme apoptosis. Hal ini terjadi karena obat-obatan antikanker maupun reagen sitotoksik lebih efektif terhadap kanker leukemia daripada penyakit kanker lainnya. Contoh lini sel leukemia lainnya yang sering digunakan adalah lini sel promyelocytic HL-60 serta lini sel Jurkat T (Zhang dkk, 2008).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Eagle dan Foley (1958) sel kanker yang dibiakkan dalam kultur jaringan secara in vitro dapat digunakan sebagai alat penapisan awal untuk mendeteksi sifat anti tumor suatu zat. Toplin pada tahun 1959 menyusun prosedur kultur jaringan untuk program penapisan zat anti kanker secara besar–besaran dan dengan prosedur tersebut telah berhasil menguji aktivitas senyawa

anti tumor sebanyak 17.000 jenis senyawa hasil fermentasi. Sel yang digunakan dalam kultur jaringan tersebut adalah sel hela.

Hasil pengujian yang diperoleh dibandingkan dengan pengujian secara in vivo

pada tikus yang telah diinokulasi dengan tumor. Ada korelasi sebesar 70% antara aktivitas anti tumor pada kultur jaringan dengan aktivitas pada tikus yang diinokulasi dengan tumor. Namun ada beberapa pengecualian yaitu ada zat yang sangat aktif pada kultur jaringan tetapi tidak aktif pada tikus percobaan dan sebaliknya ada zat yang aktif pada tikus percobaan tetapi tidak aktif pada kultur jaringan dengan tingkat konsentrasi yang sama. Maka dari kedua sistem tersebut dapat disimpulkan bahwa in vitro dan in vivo bersifat saling melengkapi.

Sejak tahun 1955–1975 lembaga kanker nasional Amerika (NCI, National Cancer Institute) menggunakan lini sel L1210 untuk penapisan awal zat anti kanker, zat–zat yang aktif terhadap lini sel L1210 kemudian di uji secara in vivo pada tikus yang diinokulasi dengan tumor. Program penapisan yang dilakukan NCI berhasil menguji aktivitas 40.000 senyawa. Senyawa yang menunjukkan aktivitas terhadap lini sel L1210 diuji lebih lanjut terhadap suatu panel uji sel tumor tikus sebelum dilakukan uji klinik. Selanjutnya NCI menggunakan suatu desain dalam penapisan awal untuk mendeteksi aktivitas suatu zat anti tumor berdasarkan model seleksi dari beberapa tumor padat pada tikus.

Hasil seleksi yang dilakukan menghasilkan sel P388 digunakan sebagai uji penapisan awal, karena sel ini sangat sensitif terhadap bermacam golongan senyawa dan banyak sekali senyawa–senyawa yang menunjukkan aktivitas terhadap sel P388. setelah diketahui bahwa suatu zat aktif pada penapisan awal maka diuji lebih lanjut terhadap sel kanker yang lebih spesifik yaitu suatu panel uji sel tumor tikus baik secara invitro maupun secara in vivo dan selanjutnya di uji lagi dengan sel xenograft tumor manusia. Sel tumor tikus yang biasa digunakan untuk panel uji tersebut adalah lini sel L1210, sel Melanoma B16, sel tumor payudara CDFI, sel kanker paru–paru, dan sel tumor usus. Sedangkan sel xenograft tumor manusia digunakan sel tumor usus

besar CX-1, sel tumor paru–paru LX-1, sel tumor payudara MX-1 (Suffnes dan Pezzuto, 1991).

Penentuan dapat atau tidaknya suatu zat dikembangkan sebagai obat anti kanker didasarkan pada sifat toksisitasnya. NCI telah menetapkan kriteria aktivitas berdasarkan nilai Inhibisy Concentartion 50 (IC50) yaitu konsentrasi yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan sel sebesar 50%. Suatu zat disebut bersifat sitotoksik bila aktivitas terhadap sel uji mempunyai nilai IC50 < 20 g/mL untuk suatu ekstrak, dan nilai IC50 < 4 g/mL untuk senyawa murni (Suffnes dan Pezzuto, 1991).

Selain IC50 untuk menentukan sifat sitotoksik suatu zat digunakan juga ukuran lain yaitu ED50 yaitu dosis yang efektif untuk menghambat pertumbuhan sel sebesar 50%. Setelah lolos dari uji penapisan awal selanjutnya dilakukan uji toksikologi pra klinis dan farmakologis melalui pengujian secara in vivo dengan beberapa sistem tumor hewan yang dapat di transplantasikan dan telah ditentukan sifat–sifatnya pada hewan percobaan.

Kriteria yang ditetapkan pada hewan percobaan adalah berdasarkan nilai LD50

(mg/Kg) yaitu dosis yang dapat menyebabkan kematian hewan percobaan sebesar 50%. Senyawa yang memberikan harapan yaitu senyawa yang tidak mempunyai toksisitas berlebihan dilanjutkan ke uji coba klinik fase I yaitu penelitian jaringan tempat efek toksik dan farmakologinya pada pasien kanker stadium lanjut. Konsentrasi awal yang dianggap aman untuk digunakan pada manusia adalah konsentrasi dengan nilai LD10 pada hewan percobaan. Seterusnya dilakukan uji coba klinik fase II untuk menentukan jenis tumor tempat zat ini bermanfaat dan selanjutnya dilakukan uji coba klinik fase III untuk membandingkan zat tersebut dengan terapi standar terbaik. Untuk zat yang telah dinyatakan memenuhi standar tersebut diberi izin oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk digunakan sebagai obat. Obat anti kanker yang ideal akan membasmi sel kanker tanpa merugikan jaringan normal (Salmon dan Sartorelli, 1989).

Dokumen terkait