• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini merupakan teori antropologi sastra. Antropologi sastra menjadi salah satu teori atau kajian sastra yang menelaah hubungan antara sastra dan budaya terutama untuk mengamati bagaimana sastra itu digunakan sehari-hari sebagai alat dalam tindakan bermasyarakat. Kajian antropologi sastra adalah menelaah struktur sastra (novel, cerpen, puisi, drama, cerita rakyat) lalu menghubungkannya dengan konsep atau konteks situasi sosial budayanya.

Hadirnya kajian antropologi sastra merupakan salah satu upaya melacak keterhubungan unsur-unsur kebudayaan universal di dalam sebuah karya sastra.

Secara harafiah, sastra merupaklan alat untuk mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan intruksi yang baik, sedangkan kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku. Jadi, sastra dan kebudayaan berbagi wilayah yang sama, aktivitas manusia, tetapi dengan cara yang berbeda, sastra melalui kemampuan imajinasi dan kreativitas (sebagai kemampuan

14

emosionalitas), sedangkan kebudayaan lebih banyak melalui kemampuan akal, sebagai kemampuan intelektualitas. Kebudayaan mengolah alam hasilnya adalah perumahan, pertanian, hutan dan sebagainya. Sedangkan sastra mengolah alam melalui kemampuan tulisan, membangun dunia baru sebagai „dunia dalam kata‟, hasilnya adalah jenis-jenis karya sastra, seperti puisi, novel, drama,cerita-cerita rakyat dan sebagainya (Ratna, 2011:7).

Antropologi sastra memiliki konteks yaitu sastra dan antropologi. Sastra adalah karya yang merefleksikan budaya tertentu. Secara umum antropologi diartikan sebagai suatu pengetahuan atau penelitian terhadap sikap dan perilaku manusia. Antropologi melihat semua aspek budaya manusia dan masyarakat sebagai kelompok variabel yang berinteraksi, sedangkan sastra menjadi identitas suatu bangsa. Sastra merupakan pantulan hidup manusia secara simbolis. Simbol-simbol budaya sastra dapat dikaji melalui cabang antropologi sastra. Sebagai rekaman budaya, sastra layak dipahami lewat antropologi sastra. Sastra adalah warisan budaya yang memuat pola-pola kehidupan masyarakat. Antropologi sastra akan memburu makna sebuah ekspresi budaya dalam sastra. Sastra dipahami sebagai potret budaya yang lahir secara estetis. Oleh karena itu, konteks budaya dalam sastra menjadi ciri khas antropologi sastra (Endaswara, 2013:3) Ciri khas antropologi sastra adalah aspek kebudayaan, khususnya masa lampau. Dikaitkan dengan masa lampau tersebut, antropologi sastra diperlukan dengan pertimbangan kekayaan kebudayaan seperti yang diwariskan oleh nenek moyang. Antropologi sastra lebih banyak dikaitkan dengan keberadaan masa lampau tetapi masa yang dimaksudkan bukan ruang dan waktu, namun isinya

15 (Ratna,2011:359-360).

Walau pun dikaitkan dengan masa lampau, karya sastra dalam konteks kebudayaan memiliki banyak manfaat yang mencerminkan nilai yang dapat membangun karakter bangsa. Antropologi sastra memiliki tugas mengungkapkan nilai sebagai salah satu wujud kebudayan, khususnya kebudayaan tertentu masyarakat tertentu (Ratna, 2011: 41).

Analisis antropologi sastra mengungkap hal-hal, antara lain (1) kebiasaan-kebiasaan masa lampau yang berulang-ulang masih dilakukan dalam sebuah cipta sastra. Kebiasaan leluhur melakukan tradisi seperti mengucap mantra-mantra dan lain-lain, (2) kajian akan mengungkap akar tradisi atau subkultur serta kepercayaan seorang penulis yang terpantul dalam karya sastra. Dalam kaitan tema-tema tradisional yang diwariskan turun temurun akan menjadi perhatian tersendiri, (3) kajian juga dapat diarahkan pada aspek penikmat sastra etnografis, mengapa meeka sangat taat menjalankan pesan-pesan yang ada dalam karya,(4) kajian di arahkan pada unsur-unsur etnografis atau budaya masyarakat yang mengitari karya sastra tersebut,dan (5) kajian juga di arahkan terhadap simbol mitologi dan ola pikir masyarakat (Endaswara, 2013:111).

16 2.3 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka berfungsi untuk memaparkan penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain. Penelitian cerita rakyat Sitagandera dekket Nantampuk Emas sudah pernah diliti oleh Rida Lila Bancin (2018), mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam skripsinya yang berjudul

“cerita rakyat Pakpak turi-turin Sitagandera Dekket Nantampuk Emas: kajian sosiosastra, cerita tersebut memiliki pesan moral bahwa kesabaran akan membuahkan hasil. Dalam cerita tersebut juga terdapat mitos yang membumbui dan menghiasi cerita tersebut sehingga menarik untuk didengarkan.

Penulis juga mengambil referensi buku dari Dr. Hariadi Susilo, M.Si (2018), “Nilai Budaya Dalam Karya Sastra Daerah Kabupaten Karo Sebagai Bacaan Pembentukan Mental Budaya”, yang membahas tentang nilai-nilai budaya masyarakat Karo baik nilai budaya hubungan manusia dengan Tuhan, nilai religius, dengan alam, manusia dengan lingkungan dan lain-lan.

Dari buku dan juga skripsi tersebut, hubungan antara fakta dan mitos memiliki keterkaitan yang tak dapat dipisahkan. Tetapi mengenai cerita rakyat Sitagandera Dekket Nantampuk Emas belum ada peneliti yang secara khusus membahas mengenai nilai budaya yang dianalisis dengan teori antropologi sastra.

Peneltian tentang sastra lisan di kabupaten Simalungun sudah pernah dilakukan oleh Damanik dkk. Dan hasil penelitian mereka telah dibuktikan berjudul Sastra Lisan Simalungun (1986). Penelitian itu mengkhususkan pada sastra lisan Simalungun. Hasil penelitian Damanik dkk menyatakan bahwa jenis sastra lisan yang ditemukan yang berbentuk prosa adalah mite, legenda dan

17

dongeng sedangkan yang berbentuk puisi adalah umpasa (pantun) dan hutinta (teka-teki) yang berhasil di catat berjumlah 38 buah cerita dalam bahasa indonesia dan puisi umpasa (pantuna) dan hunita (teka-teki) yang berhasil dicatat berjumlah enam buah dalam bahasa simalungun yang kemudian cerita-cerita itu di terjemahkan dan ditranskipkan.

Penelitian tentang nilai budaya sudah pernah di lakukan oleh Djamaris dkk. Dan hasil penelitian mereka telah dibukukan berjudul Nilai Budaya dalam Beberapa Karya Sastra Nusantara: Sastra Daerah di Sumatera (1993) dan Nilai dlam beberapa Karya Sastra Nusantara: Sastra Daerah di Kalimantan (1996).

Penelitian ini mengkhususkan meneliti karya sastra dengan menganalisis nilai budaya dalam karya-karya sastra di Nusantara seperti daerah Sumatera dan Kalimantan. Hasil penelitian Djamaris dkk menyatakan bahwa nilai budaya terbagi lima kelompok besar yaitu, (1) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan, (2) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam, (3) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat, (4) Nilai budaya hubungan manusia dengan orang lain dan (5) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Adapun nilai budaya diteliti dengan menggunakan karya-karya sastra daerah Sumatera yaitu dari daerah Sumatera Utara, Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung. Kemudian dari kalimantan yaitu, dari daerah Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan.

Ayuningtias (2015) mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah sukarta dalam tesisnya berjudul “Nilai Budaya pada Novel Gugur Bunga kedaton karya Wahyu H.R: Kajian Antropologi Sastra”

18

mendeskripsikan nilai kebudayaan yang terdapat dalam novel Gugur Bunga Kedaton dengan menggunakan teori yang di paparkan oleh Djamaris. Penelitian ini menggunakan metode heuristik dan hermeneutik. Hasil penelitian menyatakan bahwa dalam novel tersebut terdapat lima nilai budaya yaitu, nilai budaya hubungan manusia dengan tuhan yang terdiri dari nilai ketakwaan, iman kepada takdir, bersyukur, dan keridaan. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan orang lain yang terdiri dari nilai kasih sayang, kesetiaan, dan kebijaksanaan. Nilai budaya hubungan manusia dengan masyarakat yaitu nilai musyawarah, gotong-royong, keselarasan, dan solidaritas, nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam dan nilai manusia yang menakhlukan alam.

Nilai hubungan manusia dengan dirinya sendiri yaitu nilai kemauan keras, menuntut ilmu, menghayati adat dan agama, keberanian, dan kewaspadaan.

19 BAB III

Dokumen terkait