• Tidak ada hasil yang ditemukan

Apa saja yang sudah dilakukan pemerintah?

Pemerintah Indonesia menyadari perlunya upaya meningkatkan investasi, yaitu dengan memperbaiki berbagai aspek yang berkaitan dengan iklim investasi. Paling tidak ada lima bidang yang secara perlahan telah dilakukan upaya-upaya perbaikannya. Pertama, Reformasi Undang-Undang Bidang Investasi. Pemerintah telah mensahkan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dengan disahkankannya UU ini diharapkan tidak ada lagi pembedaan perlakuan antara perusahaan asing dan domestik sebagaimana tuntutan masyarakat dunia dalam rangka persetujuan dan penandatanganan prinsip-prinsip GATT dan WTO. Namun disayangkan UU No. 25 Tahun 2007 belum berjalan efektif telah dilakukan gugatan oleh beberapa LSM ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa ketentuan dalam Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 yang mengatur tentang jangka waktu pemberian hak atas tanah berupa hak guna usaha diberikan selama 95 tahun, hak guna bangunan selama 80 tahun, dan hak pakai diberikan selama 70 tahun dengan cara diperpanjang dimuka sekaligus, bertentangan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.

Kedua, Kebijakan Investasi Indonesia. Kebijakan investasi yang ditempuh pemerintah adalah dengan mengeluarkan Inpres No.3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi. Kebijakan ini ditempuh pemerintah adalah untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam menarik PMA lebih nyata lagi jika dibandingkan dengan perkembangan PMA di negara-negara lain. Misalnya dalam kelompok ASEAN, Indonesia salah satu negara yang mengalami arus PMA negatif sejak krisis ekonomi 1998, walaupun nilai negatifnya cenderung mengecil sejak tahun 2000. Hal ini ada kaitannya dengan iklim politik yang semakin baik dibandingkan pada periode 1998-1999, yang memperkecil keraguan calon-calon investor untuk menanam modal mereka di Indonesia. Sebelumnya juga pemerintah sudah menetapkan setidaknya ada tiga pilar perbaikan Investasi adalah: paket kebijakan iklim investasi, penyelesaian beberapa high profile projects untuk memberi effect snow ball, dan menekan cost of financing.41 Ketiga pilar

40 Ibid.

perbaikan tersebut hendaknya dilaksanakan bukan secara parsial namun bersamaan dan menyeluruh. Oleh karena itu, setiap tindakan dan kebijakan operasional yang dilakukan pemerintah cukup fokus kepada ketiga hal tersebut.

Ada beberapa isu penting yang menjadi fokus kerja pemerintah berkaitan dengan program investasi yang direncanakan ke depan, antara lain: kelembagaan, regulasi, bea cukai, pajak, tenaga kerja, dan UKMK. Selain program, pemerintah juga menurunkannya dalam bentuk poin-poin tindakan yang akan direalisasikan. Dari sekian program tersebut maka ada kurang lebih delapan puluh lima tindakan yang akan diambil untuk mendorong keberhasilan investasi. Beberapa program tersebut antara lain revisi terhadap regulasi yang ada, membuat regulasi kembali, evaluasi terhadap wewenang pemerintah daerah sebagai daerah otonom, koordinasi, serta pengawasan dan pengendalian. Peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengurangan tingkat kemiskinan, peningkatan daya saing dan perekonomian lokal (daerah), lingkungan hidup (sustainable environment), adanya wacana Corporate Sosial Responsibility, dan yang terpenting adalah pembangunan ekonomi nasional dan daerah. Itu artinya UU yang baru diharapkan dapat menyesuaikan dengan peraturan-peraturan yang baru serta mewakili isu-isu penting kontemporer lainnya.

Dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2007, paket kebijakan investasi juga menjadi salah satu substansi penting. Kebijakan tersebut dituangkan dalam Perpres 19 Tahun 2006, langkah-langkah yang akan direncanakan pemerintah dalam kaitannya dengan kebijakan investasi terutama untuk perbaikan iklim investasi adalah:

a. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan penanaman modal;

b. Penyederhanaan prosedur dan peningkatan pelayanan penanaman modal baik di tingkat pusat maupun daerah;

c. Peningkatan promosi investasi terintegrasi baik di dalam maupun di luar negeri;

d. Peningkatan fasilitas terwujudnya kerjasama investasi PMA dan PMDN dengan UKM (match-making);

e. Penanganan pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (penegakan hukum dan kerjasama dengan instansi terkait);

f. Penyusunan rancangan amandemen UU No. 5 Tahun 1999;

g. Memprakarsai dan mengkoordinasikan pembangunan kawasan industri.42

Selain itu sejumlah kebijakan lain pun telah digulirkan oleh pemerintah dalam hal “cepat tanggap” perbaikan investasi. Dalam hal ini, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut antara lain Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi, dan Keputusan Presiden Nomor 29 tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Melalui Sistem Satu Atap, serta peraturan-peraturan lainnya yang relevan. Namun tetap saja sejumlah permasalahan terjadi dan pada akhirnya menghambat proses perbaikan investasi tersebut, peraturan-peraturan yang dikeluarkan tidak mampu menanggulangi permasalahan-permasalahan itu.

Paket kebijakan tersebut merupakan bagian kecil dari sejumlah peranan pemerintah dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, good will pemerintah dalam segala bidang sangat diperlukan sebab pembangunan sifatnya menyeluruh meskipun dijalankan secara bertahap. Beberapa hal tersebut adalah perubahan terhadap kerangka kelembagaan, perubahan organisasi, pembangunan overhead sosial dan ekonomi (infrastruktur sosial dan ekonomi), pembangunan pertanian untuk menunjang kesediaan pangan dalam negeri, memacu perkembangan industri, kebijaksanaan moneter dan fiskal, dan peningkatan perdagangan luar negeri

Ketiga, Kebijakan Investasi dalam Kaitannya dengan Daerah. Ada sejumlah faktor yang sangat berpengaruh pada baik-tidaknya iklim berinvestasi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut tidak hanya menyangkut stabilitas politik dan sosial, tetapi juga stabilitas ekonomi, kondisi infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi, prasarana jalan, dan pelabuhan), berfungsinya sektor pembiayaan dan pasar tenaga kerja (termasuk isu-isu perburuhan), regulasi dan perpajakan, birokrasi (dalam waktu dan biaya yang diciptakan), masalah good governance termasuk korupsi, konsistensi, dan kepastian dalam kebijakan pemerintah yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keuntungan netto atas biaya risiko jangka panjang dari kegiatan investasi, dan hak milik mulai dari tanah sampai kontrak. Dalam hal ini permasalahan tersebut dilihat dalam konteksnya dengan daerah. Patut diakui bahwa rencana dan pelaksanaan sejumlah kebijakan investasi selama ini belum menunjukkan hasil yang maksimal. Meskipun pemerintah sudah melakukan beberapa tindakan konkret untuk menarik investasi masuk ke Indonesia. Beberapa permasalahan tersebut menyangkut

kesiapan pemerintah dalam hal ini kualitas SDM, kelembagaan, kemampuan dalam manajemen pembangunan daerah, dan regulasi/deregulasi.

Dalam Laporan WEF (The World Economic Forum) tahun 2005 terlihat ada sejumlah faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya investasi ke dalam negeri. WEF dalam laporannya menyajikan bahwa salah satu indikator penilaian suatu negara dianggap menarik adalah lama hari pelayanan izin. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa dibandingkan dengan sejumlah negara lain Indonesia belum memberikan “pemikat” maksimal. Jumlah prosedur yang harus dilewati sekitar 11-12 prosedur dengan lama hari 151 hari (+ 5 bulan). Selain itu ada beberapa izin yang harus dilengkapi terlebih dahulu, antara lain: izin keselamatan kerja, izin prinsip, izin gangguan, izin lokasi, IMB, dan izin lingkungan hidup.

Namun dalam konteks kaitannya dengan daerah, maka perlu untuk melihat permasalahan tersebut dengan lebih spesifik, walaupun hal ini merupakan bagian dari keseluruhan permasalahan salah satu pemicu mengapa keberadaan daerah menjadi kian penting dalam memecahkan permasalahan ini adalah kualitas dan kecepatan pelayanan daerah terhadap investasi. Selain itu peran penting lainnya juga adalah karena aset dan potensi pembangunan sebenarnya ada dalam wilayah lokal sehingga kepentingan lokal pun tidak bisa diabaikan. Beberapa permasalahan tersebut akan dibahas di bawah ini.

Keempat, Penguatan Kelembagaan Publik Pemerintah Pusat dan Daerah. Ada tiga alasan mengatakan bahwa sebuah kebijakan dikatakan berhasil,

pertama memang kebijakannya efektif baik secara substantif maupun teknis, keduaoperating board’-nya yang bagus, artinya kinerja mereka dilaksanakan secara efisien, efektif, terencana, dan berhasil. Ketiga, kebijakan dan badan pelaksanaannya memang bagus. Dari hal di atas setidaknya minimal ada dua bagian penting dalam menjalankan sebuah kebijakan yaitu kebijakan itu sendiri dan lembaga yang menjalankannya. Penguatan kelembagaan juga harus dilakukan dalam tingkat pemerintah pusat. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat antara lain: pertama, high cost economy yang terjadi di lingkungan pusat; kedua, kepastian hukum; ketiga, penciptaan iklim ekonomi yang kondusif secara makro; keempat, kemampuan promosi pemerintah; kelima, inovasi pelayanan.43 Perbaikan terhadap beberapa permasalahan tersebut

berkaitan dengan tanggung jawab dan peran lembaga-lembaga teknis terkait di pusat.

Permasalahan-permasalahan tersebut harus secepatnya dibenahi melalui kebijakan yang nyata dan efektif. Kebijakan investasi yang dikeluarkan pemerintah tidak akan berjalan tanpa rentetan kebijakan lainnya yang mendukung. Selain itu penyelesaian permasalahan dalam izin, perdagangan, dan konflik kepentingan antara pemerintah dan investor membutuhkan penyelesaian secepatnya. Kelemahan institusi pengadilan kita dalam mengadili kasus perdagangan perlu dibenahi. Akibat yang terjadi adalah penyelesaian menjadi lambat dan kepastian aturan hukum yang digunakan juga beragam. Sedangkan investasi atau dunia usaha membutuhkan petunjuk yang bisa diprediksi secara tepat dan pasti.

Dunia usaha terutama investasi sangat memerlukan iklim ekonomi yang kondusif. Tentu saja dalam hal ini peran pemerintah pusat sangat penting, sebab secara makro pemerintah bertanggung jawab menjaga agar posisi perekonomian tidak menurun. Kebijakan tersebut dapat dilihat dalam konteks fiskal dan moneter.44 UU 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah tidak memberikan kewenangan tersebut kepada daerah sebab kewenangan itu merupakan kewenangan yang sepenuhnya dipegang pemerintah pusat. Oleh sebab itu, pemerintah patut menjamin bahwa investor tidak akan dirugikan ketika dana dialirkan.

Pengelolaan iklim investasi memerlukan kemampuan manajerial dalam menjaga iklim tetap kondusif. Kemampuan tersebut antara lain: kemampuan dalam menjaga hubungan harmonis dengan pemerintah daerah sebagai bagian dari koordinasi internal; kemampuan “cepat tanggap” terhadap permasalahan yang membutuhkan penyelesaian yang cepat; kemampuan untuk menyelesaikan program realisasi fisik yang didanai dari investasi secara tepat waktu; menjaga agar stabilitas fiskal dan moneter tetap terkendali; dan kemampuan untuk membuat sejumlah terobosan atau inovasi yang efektif menarik investor.

Berdasarkan hal tersebut, salah satu terobosan yang perlu dilakukan adalah dalam bidang pelayanan. Pelayanan dalam hal apapun, terutama yang menyangkut perizinan, fasilitas insentif, dan berbagai kemudahan-kemudahan lain. Salah satu inovasi yang dilakukan adalah konsep pelayanan satu atap. Tujuannya adalah agar pusat dan daerah bisa memberikan pelayanan kepada investor dengan cepat, sehingga rentang

waktu untuk mengurus perizinan tidak lama dan berbelit-belit. Tetapi kenyataannya, hal tersebut tidak cukup memberikan pengaruh yang signifikan, sebab pungutan liar tetap ada walaupun sistem pelayanannya sudah diubah.

Untuk tingkat pemerintahan daerah paling tidak ada tiga hal yang perlu dibenahi. Pertama, infrastruktur daerah. Salah satu kekurangan besar dalam proses pembangunan ekonomi Indonesia terletak pada minimnya infrastruktur yang mendukung proses tersebut. Infrastruktur tersebut bukan hanya dalam lingkup overhead ekonomi tetapi juga overhead sosial. Oleh karena itu sangat sulit mengharapkan daerah bisa menampung dan mengelola dana investasi yang masuk, karena dari segi fasilitas tidak memungkinkan. Selain itu pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan juga menyerap dana yang besar, sehingga logis bila dana yang dimiliki daerah lebih banyak digunakan untuk menyediakan fasilitas tersebut. Namun tidak semua daerah mengalami hal tersebut. Ada “conditional gap” di setiap daerah dari sisi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Hal ini juga terjadi dalam penyediaan infrastruktur.

Kedua, sinkronisasi regulasi dan “infrastuktur” regulasi. Diberikannya kewenangan dan kebebasan kepada daerah untuk memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi daerahnya mengundang sejumlah permasalahan. Salah satunya adalah tumpang tindih antara peraturan pusat dengan peraturan daerah, terutama dalam bidang ekonomi. Departemen Dalam Negeri serta KPPOD menyatakan bahwa terdapat ratusan Perda yang tidak sinkron dengan peraturan di atasnya. Perda bermasalah tersebut melanggar asas perundang-undangan secara materil. Ketidaksinkronan tersebut menyebabkan sejumlah peraturan pusat tidak mempunyai pengaruh, sebaliknya perda yang diterbitkan oleh daerah dipandang sebagi regulasi tunggal daerah.

Ketiga, reformasi birokrasi di daerah. Permasalahan penting lainnya menyangkut pelaksanaan kebijakan investasi adalah peran dan fungsi birokrasi daerah. Birokrasi mempunyai pengaruh yang kuat dalam menentukan iklim dan budaya wilayah kerjanya. Hal tersebut tentu saja sangat bersentuhan dengan segala aspek baik internal maupun eksternal. Dalam lingkungan eksternal masyarakat dan pelaku usaha merupakan pihak yang merasakan langsung tingkah laku dan kebijakan birokrasi. Sebab bangunan lembaga birokrasi terdiri dari SDM, wewenang dan tanggung jawab, serta struktur dan budaya kerja tersendiri. Hal ini seperti yang diungkapkan Miftah Toha bahwa lembaga birokrasi merupakan suatu bentuk dan tatanan yang mengandung struktur dan kultur. Struktur

mengetengahkan susunan dari suatu tatanan, dan kultur mengandung nilai

(values), sistem, dan kebiasaan yang dilakukan oleh para pelakunya yang mencerminkan perilaku dari sumberdaya manusianya. Oleh karena itu reformasi kelembagaan birokrasi meliputi reformasi susunan dari suatu tatanan birokrasi pemerintah, serta reformasi tata nilai, tata sistem, dan tata perilaku dari sumber daya manusianya.45

Kelima, Bidang Perpajakan. Menurut Dietrich Lerche (1980), ada empat faktor yang menyebabkan ketidakefisienan pemungutan pajak di Indonesia, yaitu tarif yang terlalu tinggi, lemahnya aparat perpajakan, rendahnya tingkat kepatuhan pajak, dan besarnya bagian wajib pajak (WP) potensial yang tidak terjaring menjadi wajib pajak. Agar reformasi perpajakan mendukung iklim investasi, paling tidak ada empat masalah utama yang harus diatasi. Pertama, memerangi aparat pajak nakal. Salah satu penyebab gagalnya investasi dan hengkangnya investor di Indonesia karena aparat pajak banyak memanipulasi pengusaha (WP). Kedua, dalam perubahan UU Perpajakan harus memasukkan ketentuan hukum untuk aparat hukum yang melakukan pelanggaran. Paling tidak dengan tindakan pencegahan ini aparat pajak di lapangan kalau melakukan pemerasan bisa ditindak secara hukum. Ketiga, mengatasi tumpang tindih kebijakan pusat dan daerah. Keempat, reformasi perpajakan harus mampu mengatasi sejumlah pasal yang dinilai masih krusial, interpretatif, kurang akomodatif, dan masih didominasi oleh pasal-pasal yang cenderung membela kepentingan aparat pajak dibandingkan wajib pajak.

Dalam bidang perpajakan hal menarik untuk ditelusuri adalah upaya pemerintah dalam melakukan amandemen terhadap berbagai peraturan di bidang perpajakan salah satunya adalah UU Pajak Penghasilan (PPh). RUU PPh telah disahkan dalam Sidang Paripurna DPR tanggal 2 September 2008 yang lalu. UU baru ini mulai berlaku 1 Januari 2009. RUU PPh tersebut merupakan perubahan keempat dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000. Perubahan yang dilakukan tersebut diharapkan dapat bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara menuju kesejahteraan dan keadilan bersama.

Paling tidak ada dua hal yang melatarbelakangi dilakukannya perubahan Undang-Undang tentang PPh tersebut. Pertama, peningkatan daya saing

perekonomian Indonesia. Tarif PPh di dunia saat ini cenderung menurun, hal ini merupakan dampak dari globalisasi ekonomi dunia dan semakin meningkatnya kemajuan teknologi yang memudahkan akses informasi tanpa ada batasan tempat dan waktu. Penurunan tarif PPh di suatu negara akan mempengaruhi negara sekitarnya sehingga dalam menjaga kompetisinya negara lain tersebut juga ikut menurunkan tarif pajaknya. Sebagai gambaran, tarif pajak di negara tetangga kita seperti Malaysia 20% untuk RM 500 ribu pertama dan 27% untuk di atas RM 500 ribu dan Singapura mulai tahun 2008 menjadi 18%. Sedangkan tarif teritinggi PPh Badan Rl dalam UU PPh yang berlaku sekarang 30%. Jauh lebih tinggi dari tarif pajak negara sekitar.46 Dengan perubahan Undang-Undang PPh (UU PPh) tarif PPh Badan menjadi tarif tunggal dan diturunkan menjadi 28% tahun 2009 dan menjadi 25% tahun 2010. Tarif tunggal tersebut dimaksudkan sebagai fasilitas dan kesederhanaan bagi wajib pajak (WP). Tarif tunggal ini pasti menguntungkan sebagian WP Badan namun sekaligus juga dirasakan kurang adil bagi sebagian WP lainnya utamanya WP kecil. Oleh karena itu pemerintah memberikan fasilitas perpajakan bagi WP Badan berskala kecil yaitu UMKM dengan pemberian fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal untuk peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 Miliar.

Selain itu, bagi perusahaan yang masuk bursa (go public) diberikan penurunan tarif sebesar 5% dari tarif normal dengan syarat paling sedikit 40% sahamnya dimiliki oleh masyarakat dan syarat lainnya. Sehingga pada tahun 2009 tarif perusahaan yang masuk bursa (go public) sebesar 23% dan tahun 2010 menjadi 20%. Dengan tarif ini perusahaan yang masuk bursa akan mempunyai daya saing yang lebih tinggi. Dalam rangka membantu cash flow pengusaha orang pribadi (OP) tertentu diberikan penurunan tarif angsuran PPh tahun berjalan menjadi maksimal 0,75% dari peredaran bruto, yang semula besarnya 2%. Dividen yang diterima oleh WP orang pribadi diturunkan menjadi setinggi-tingginya 10% bersifat final, yang semula dikenakan tarif progresif sampai dengan 35%. Pembebasan PPh atas dividen yang diterima WP Badan dalam negeri yang berasal dari penempatan pada WP Badan dalam negeri lainnya dibebaskan dari persyaratan harus menjalankan usaha aktif. Dengan perubahan UU PPh ini persyaratan pembebasan pajak atas dividen menjadi semakin ringan.

Tarif tertinggi PPh orang pribadi diturunkan dari 35% menjadi 30% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 500.000.000.- yang semula batas penghasilan kena pajak tertinggi Rp 200.000.000.-. Lapisan tarifnya yang

semula 5 lapis dijadikan 4 lapis dengan menghilangkan lapisan tarif 10%. Rentang penghasilan kena pajak diperluas dari yang semula sampai dengan tertingginya Rp 200.000.000.- menjadi Rp 500.000.000.-. Penurunan tarif ini diharapkan akan meningkatan daya saing negara kita untuk menarik minat investasi baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Peningkatan investasi tersebut diharapkan dapat memberikan sumbangsih terhadap perekonomian secara nasional, termasuk memperluas kesempatan kerja. Sedangkan penurunan tarif PPh orang pribadi serta perluasan rentang penghasilan kena pajak tentunya akan berdampak positif kepada WP orang pribadi yaitu bertambahnya daya beli serta lebih memudahkan penghitungannya.

Kedua, prinsip keadilan. Keadilan dalam pengenaan pajak antara lain dilakukan dengan cara mengenakan PPh terhadap semua objek pajak, selain yang dikecualikan dalam UU. Oleh karenanya, dalam perubahan UU PPh ditegaskan beberapa objek pajak yang sebelumnya tidak atau belum tegas dinyatakan dalam UU PPh yang lama menjadi objek pajak, yaitu antara lain; surplus Bank Indonesia dan penghasilan bunga obligasi yang diterima oleh reksadana. Untuk lebih meningkatkan keadilan dilaksanakan pemungutan PPh atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah kepada pembeli misalnya pembelian apartemen dan kondominium sangat mewah, kendaraan sangat mewah, pesawat pribadi dan kapal pesiar. Selain itu, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi WP Orang Pribadi (OP) dinaikkan menjadi Rp 15,84 Juta setahun dengan memperhitungkan tingkat inflasi. Perbandingan besarnya PTKP dengan pendapatan per kapita mencapai 72,9%, angka ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain misalnya Filipina 13,8%, Malaysia 17,78%, dan Cina 5,7%.47

Untuk mendorong WP orang pribadi memiliki NPWP dan membayar pajak sebagai kewajiban kenegaraan maka ditetapkan tarif pemotongan/ pemungutan PPh orang pribadi 20% lebih tinggi dari tarif normal dan 100% bagi PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23. Kewajiban membayar Fiskal Luar Negeri bagi WP orang pribadi yang sudah ber-NPWP dibebaskan sejak tahun 2009. Pada tahun 2011 kewajiban pembayaran Fiskal Luar Negeri dihapuskan.

PENUTUP

Hadirin yang saya muliakan,

Sebagai kesimpulan, perkenankanlah saya memberi beberapa catatan penutup. Sebagaimana dipahami bahwa sistem penegakan hukum yang baik terkait kepada tiga pilar utama yakni substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum, membawa pengaruh kepada tercapainya kepastian hukum. Dengan terciptanya kepastian hukum secara signifikan meningkatkan pertumbuhan investasi di satu sisi dan akan memacu pertumbuhan ekonomi makro secara keseluruhan. Sehingga antara kepastian hukum dengan pertumbuhan investasi ibarat dua sisi mata uang yang antara satu dengan yang lain tidak dapat diabaikan apalagi dipisahkan akan kehilangan makna.

Rekomendasi dari statement di atas bahwa realisasi peraturan pelaksana undang-undang penanaman modal agar segera diwujudkan, demikian juga paket kebijakan iklim investasi agar segera dilaksanakan pemerintah guna mewujudkan good governance dan terciptanya kepastian hukum demi ketenangan dan kepastian berusaha bagi setiap investor di Indonesia.

Dokumen terkait