• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepastian Hukum dan Implikasinya Terhadap Pertumbuhan Investasi di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kepastian Hukum dan Implikasinya Terhadap Pertumbuhan Investasi di Indonesia"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

KEPASTIAN HUKUM DAN IMPLIKASINYA

TERHADAP PERTUMBUHAN INVESTASI

DI INDONESIA

Pidato Pengukuhan

Jabatan Guru Besar Tetap

dalam Bidang Ilmu Hukum Investasi pada Fakultas Hukum,

diucapkan di hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara

Gelanggang Mahasiswa, Kampus USU, 20 September 2008

Oleh:

BUDIMAN GINTING

s

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)
(4)

Bismillahirrahmanirrahim

Yang terhormat,

Bapak Ketua dan Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Sumatera

Utara

Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara

Para Pembantu Rektor Universitas Sumatera Utara

Ketua dan Anggota Senat Akademik Universitas Sumatera Utara Ketua dan Anggota Dewan Guru Besar Universitas Sumatera Utara

Para Dekan Fakultas/Pembantu Dekan, Direktur Sekolah Pascasarjana,

Direktur dan Ketua Lembaga di lingkungan Universitas Sumatera Utara

Para Dosen, Mahasiswa, dan Seluruh Keluarga Besar Universitas

Sumatera Utara

Seluruh Teman Sejawat serta para undangan dan hadirin yang saya

muliakan

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua,

Pertama sekali marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, atas nikmat dan karunia yang dilimpahkan kepada kita, sehingga kita dapat hadir mengikuti upacara ini dalam keadaan sehat wal’afiat. Salawat beriring salam kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya, mudah-mudahan kelak kita mendapat syafa’at darinya.

Selanjutnya, atas izin dan rida Allah SWT, serta dengan segala kerendahan hati, perkenankan saya menyampaikan pidato ilmiah pengukuhan saya sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul:

“KEPASTIAN HUKUM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERTUMBUHAN INVESTASI DI INDONESIA”

PENDAHULUAN

Hadirin yang saya muliakan,

(5)

bagi setiap insan manusia selaku anggota masyarakat yang plural dalam interaksinya dengan insan yang lain tanpa membedakan asal usul dari mana dia berada.1 Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum tidak akan terlepas dari fungsi hukum itu sendiri. Fungsi hukum yang terpenting adalah tercapainya keteraturan dalam kehidupan manusia dalam masyarakat. Keteraturan ini yang menyebabkan orang dapat hidup dengan berkepastian, artinya orang dapat mengadakan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat karena ia dapat mengadakan perhitungan atau prediksi tentang apa yang akan terjadi atau apa yang bisa ia harapkan. Dalam dunia usaha, kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin ketenangan dan kepastian berusaha.

Pengaturan tentang kegiatan penanaman modal di Indonesia diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, disebutkan bahwa kegiatan penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas kepastian hukum. Sementara itu yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal.2 Dalam konteks ini yang dimaksud dengan kepastian hukum adalah adanya konsistensi peraturan dan penegakan hukum di Indonesia. Konsistensi peraturan ditunjukkan dengan adanya peraturan yang tidak saling bertentangan antara satu peraturan dengan peraturan yang lain, dan dapat dijadikan pedoman untuk suatu jangka waktu yang cukup, sehingga tidak terkesan setiap pergantian pejabat selalu diikuti pergantian peraturan yang bisa saling bertentangan.

Di Indonesia kegiatan penanaman modal baik dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.3 Penanaman modal asing di Indonesia sudah berlangsung sejak

1 Mochtar Kusumaatmadja dan Arief B. Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu

Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Bandung: Alumni, 2000, hal. 49. Bandingkan dengan Mertokusumo, Soedikno, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1988, hal.57

2 Lihat dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf a UU No. 25 Tahun 2007 tentang

Penanaman Modal. Selain asas kepastian hukum dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2007 diatur pula asas keterbukaan; akuntabilitas; perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara; kebersamaan; efisiensi berkeadilan; berkelanjutan; berwawasan lingkungan; kemandirian; dan keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional

3 Selengkapnya Pasal 3 ayat (2) berbunyi: Tujuan penyelenggaraan penanaman

(6)

sebelum Indonesia merdeka dan berkembang terus-menerus sampai sekarang menjadi bagian penting bagi perkembangan hukum dan pertumbuhan ekonomi. Penanaman modal asing memerlukan hukum dan institusi hukum yang kondusif. Dalam hal ini kepastian hukum merupakan unsur yang sama pentingnya dengan stabilitas politik dan kesempatan ekonomi.4 Sementara itu pertumbuhan investasi sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, adalah bertujuan untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan ekonomi nasional bermaksud mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia. Guna merealisasikannya diperlukan peningkatan penanaman modal atau investasi untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.5

PENTINGNYA INVESTASI ASING BAGI INDONESIA

Hadirin yang saya muliakan,

Idealnya biaya pembangunan nasional diperoleh dari sumber-sumber pembiayaan dalam negeri. Prinsip kemandirian seperti ini penting, terutama untuk mengurangi ketergantungan pada luar negeri. Hal ini pernah dijadikan sebagai landasan konstitusional yang diwujudkan sebagai prinsip dalam menarik investor asing di Indonesia sebagaimana yang dimuat dalam TAP MPRS Nomor XXVIII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Landasan Ekonomi Keuangan dan Pembangunan telah meletakkan asas Mandiri sebagai salah satu pilar fundamental dalam pembangunan nasional. Namun asas tersebut dikatakan tidak menutup kemungkinan untuk memanfaatkan bantuan luar negeri, termasuk investasi asing, sepanjang bantuan tersebut merupakan faktor pelengkap dan tidak menyebabkan ketergantungan kepada pihak asing.

Namun dalam kenyataannya upaya untuk mengolah kekuatan ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil tidak dapat sepenuhnya dilaksanakan dengan kekuatan sendiri. Beberapa kendala seperti rendahnya tingkat tabungan (saving) masyarakat, akumulasi modal yang belum efektif dan efisien, keterampilan (skill), kemampuan manajemen dan teknologi yang belum memadai sering menciptakan gaps antara kebutuhan

potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan h. meningkatkan kesejahteraan masyarakat

4 Suparji dalam: Harian Bisnis Indonesia 7 April 2006

(7)

pembangunan dan sumber daya yang tersedia. Kendala ini umumnya dialami oleh negara-negara berkembang, sehingga mendorong munculnya kebijakan untuk memanfaatkan bantuan-bantuan luar negeri, terutama dalam bentuk kegiatan investasi.

Bagi negara tempat dilakukannya kegiatan investasi (host country)

kehadiran investasi asing tidak saja penting dari segi perolehan devisa atau untuk melengkapi keterbatasan biaya pembangunan, tetapi efek lain yang ditimbulkan oleh kegiatan investasi pada pembangunan ekonomi host country, antara lain penyediaan lapangan kerja, penghematan devisa melalui pengembangan industri substitusi impor, mendorong berkembangnya industri non-migas, pembangunan daerah-daerah tertinggal, alih teknologi, dan peningkatan sumber daya manusia.6 Berdasarkan pertimbangan tersebut saat ini banyak negara yang berlomba-lomba memberikan kemudahan bagi investor asing untuk menarik minat mereka menanamkan modal. Fenomena ketatnya persaingan untuk menarik investasi asing terutama sejak tahun 1990-an ketika sebagian besar negara berkembang melakukan perubahan orientasi kebijakan industri dari yang bercorak industri substitusi impor ke arah kebijakan industri yang lebih berorientasi ekspor untuk menghasilkan devisa.7 Menurut laporan dari

World Investment Report, sejak tahun 1990-an sampai dengan tahun 2001, aliran modal asing ke negara-negara berkembang meningkat sampai lima kali lipat dan mencapai jumlah sebesar US $237 billion. Kecenderungan aliran modal sebagian besar masuk ke wilayah Asia, dan 80% dari aliran modal asing di Asia terkonsentrasi pada negara Republik Rakyat Cina.8

Dengan demikian kehadiran investasi asing memberikan sejumlah manfaat bagi negara tuan rumah (host country). Manfaat secara langsung diperoleh dari pemasukan tambahan devisa yang berasal dari modal yang dibawa dan pajak-pajak yang dibayarkan kepada negara. Manfaat lainnya adalah penyerapan tenaga kerja, pembangunan infrastruktur ekonomi, alih teknologi, percepatan pengembangan sumber daya manusia melalui transfer keahlian, manajemen, dan multiplier effect yang ditimbulkan kegiatan investasi asing bagi kegiatan ekonomi nasional. Kegiatan investasi asing dapat pula mengakibatkan sejumlah dampak negatif, misalnya semakin buruknya distribusi pendapatan karena terjadinya perbedaan tingkat upah antara golongan pekerja, mendorong pola konsumsi mewah

6 Erman Rajagukguk, Hukum Investasi di Indonesia, (Jakarta: Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 20-39

7 United Nations Conference on Trade and Development, World Investment Report;

Promoting Linkage, Geneva and New York, 2001.

(8)

pada masyarakat host country, ketidakseimbangan neraca pembayaran (balance of payment) yang dapat saja terjadi karena impor lebih besar dari ekspor9, oleh karena itulah diperlukan keseimbangan pengaturan.

Melihat kondisi Indonesia setidaknya ada lima alasan mendasar mengapa Indonesia membutuhkan investasi asing saat ini10:

a. Penyediaan lapangan kerja

Sejak terjadinya krisis perbankan pada tahun 1997 yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi, pengangguran di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup besar. Menurut Centre for Labour and Development Studies (CLDS) jumlah pengangguran saat ini sudah pada tingkat mengkhawatirkan karena jumlahnya mencapai 42 juta jiwa pada tahun 2002 dan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi sekitar 3% maka angka pengangguran tahun 2003 akan mencapai 43,6 juta dan pada tahun 2004 mencapai 45,2 juta. Pada tahun 2004 pertumbuhan ekonomi sekitar 3%-4% per tahun11 tidak akan cukup menyerap pengangguran dan tidak cukup untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia, karena dengan angka pertumbuhan ekonomi sebesar itu praktis tidak ada aktivitas ekonomi yang mampu menampung luapan tenaga kerja. Untuk itulah diperlukan investasi.

b. Mengembangkan industri subsitusi impor untuk menghemat devisa

Kehadiran penanaman modal asing dapat dipergunakan untuk membantu mengembangkan industri subsitusi impor dalam rangka menghemat devisa. Berkembangnya industri ini akan mengurangi pengeluaran devisa untuk impor barang-barang jadi.

c. Mendorong berkembangnya industri barang-barang ekspor non-migas untuk mendapatkan devisa. Pascakrisis ekonomi nasional, ekspor non- migas mengalami penurunan, padahal dari ekspor inilah Indonesia bisa memperoleh devisa dengan cepat sehingga bisa dengan cepat melakukan recovery ekonomi. Untuk menutup transaksi berjalan, pemerintah harus memacu nilai ekspor baik migas maupun non-migas. Tercapainya tujuan ini memerlukan investasi asing.

9 David, Schneiderman, Investment Rules and the New Constitualism, (American

Bar Foundation: Law and Social Inquiry, 2000), hal. 759–760

10 Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal: Studi

Kesiapan Indonesia dalam Perjanjian Investasi Multilateral, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2005), hal. 407

11 Asian Development Bank dalam Laporan penelitiannya Tahun 2002 melaporkan

(9)

d. Pembangunan daerah-daerah tertinggal

Investasi asing diharapkan sebagai salah satu sumber pembiayaan dalam pembangunan yang dapat digunakan untuk membangun infrastruktur seperti pelabuhan, listrik, air bersih, jalan, rel kereta api, dan lain-lain.

e. Alih teknologi

Salah satu tujuan mengundang modal asing adalah untuk mewujudkan alih teknologi.12 Alih teknologi adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan sebagai upaya mencapai tingkat kemampuan yang sejajar di bidang teknologi antara berbagai bangsa di dunia.13 Bidang teknologi adalah kelemahan dari negara-negara berkembang dan sangat mempengaruhi proses perubahan dari agraris menuju industrialisasi14, dan untuk maksud tersebut sangat membutuhkan dana yang cukup banyak. Dari investasi ini, diharapkan pula akan jadi mesin pertumbuhan dalam pembangunan dan mendorong laju pertumbuhan ekonomi, memberi kontribusi dalam penyediaan lapangan usaha, Pendapatan Asli Daerah (PAD), ekspor non-migas, mengatasi penggangguran, peningkatan SDM, outsourcing, dan lain-lain.15

BEBERAPA FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KEGIATAN INVESTASI

Hadirin yang saya hormati,

Paling tidak ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan kegiatan investasi di suatu negara. Pertama, Faktor Politik. Salah satu yang menjadi pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya ke suatu negara adalah kondisi politiknya stabil atau tidak. Mengundang investor asing dalam rangka pembangunan ekonomi suatu negara, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan yakni16: pertama, bahwa kesalahan (legitimacy) pemerintah yang sedang berkuasa berada pada tingkat yang tinggi, oleh karena itu kesalahan yang tinggi tersebut patut diduga tidak akan menjamin kontinuitas dari pemerintah yang bersangkutan. Kedua, pemerintah harus dapat menciptakan suatu iklim yang merangsang untuk

12 Budiman Ginting, Hukum Investasi: Perlindungan Pemegang Saham Minoritas

dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2007, hal 207

13 Abdurrachman A., Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, Cet. 2 Pradnya

Paramita, Jakarta, 1992, hal. 340.

14 Sumantoro, Masalah Pengaturan Alih Teknologi, Alumni, Bandung, 1993, hal. 31 15 Harian Sumut Pos, “Sumut Serap Investasi PMDN Rp. 32 T”, 20 Desember 2006. 16 Sondang P. Siagian, Administrasi Pembangunan. Jakarta, Gunung Agung, 1985,

(10)

investor asing. Artinya bahwa kepada investor asing harus diberikan keyakinan bahwa modal yang mereka tanamkan memberikan kepada mereka keuntungan yang wajar sebagaimana halnya apabila modal tersebut ditanam di tempat lain, baik di negara asalnya sendiri maupun di negara lain. Ketiga, pemerintah perlu memberikan jaminan kepada para penanam modal asing tersebut, bahwa dalam hal terjadinya goncangan politik di dalam negeri, maka modal mereka akan dapat dikembalikan kepada pemiliknya dan badan usaha mereka tidak dinasionalisasikan. Keempat, pemerintah harus dapat menunjukkan bahwa pemerintah itu mempunyai kesungguhan dalam memperbaiki administrasi negaranya, agar dalam hubungannya dengan investor asing itu, maka permintaan izin dan hal lain yang menyangkut pembinaan usaha tidak mengalami perubahan-perubahan birokratisme yang negatif, akan tetapi dapat berjalan lancar dan memuaskan. Di sini terlihat yang sering menjadi perhatian investor adalah risiko yang akan dihadapi atas legitimasi dari pemerintah yang sedang berkuasa.

Kedua, Faktor Ekonomi. Faktor ekonomi dan politik dalam investasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, artinya adanya stabilitas politik dapat menggerakkan roda perekonomian.17 Ketiga, Faktor Hukum. Faktor hukum ini berkaitan dengan perlindungan yang diberikan pemerintah bagi kegiatan investasi. Daya tarik investor untuk menanamkan modalnya sangat tergantung pada sistem hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum (legal certainty), keadilan (fairness), dan efisiensi (efficiency).18 Bagi investor asing, hukum dan UU menjadi satu tolok ukur untuk menentukan kondusif tidaknya iklim investasi di suatu negara. Infrastruktur hukum bagi investor menjadi instrumen penting dalam menjamin investasi mereka. Hukum bagi mereka memberikan keamanan, certainty dan predictability atas investasi mereka. Semakin baik kondisi hukum dan UU yang melindungi investasi mereka, semakin

17 Hal ini terlihat juga pandangan yang cukup kritis dari harian umum Kompas,

dalam editorialnya dikemukakan: “Dalam kondisi dunia yang lebih terbuka, kita tidak bisa hanya asyik dengan diri kita sendiri. Kita tidak cukup hanya berteriak-teriak bahwa diri kita ini menarik, padahal kenyataannya tidaklah seperti itu. Semua negara sekarang ini berlomba untuk mempercantik dirinya. Mereka mencoba menawarkan insentif yang lebih baik agar para pengusaha tertarik untuk masuk ke negaranya. Intinya, semua berlomba untuk membuat biaya produktif seefisien mungkin sehingga pengusaha dengan mudah berhitung bahwa usaha keras yang akan merekalakukan bukanlah pekerjaan yang sia-sia. Selengkapnya lihat harian umum Kompas edisi 17 April 2004 dengan Tajuk “Saatnya Untuk Berinvestasi”.

18 Harjono K. Dhaniswara, Hukum Penanaman Modal: Tinjauan terhadap

(11)

dianggap kondusif iklim investasi dari negara tersebut.19 Sementara itu Pancras J. Nagy secara teoretis menyusun tiga syarat yang harus ada pada suatu negara agar menarik bagi investor, yaitu economic opportunity

(peluang-peluang ekonomi), political stability (stabilitas politik), dan legal certainty atau kepastian hukum. Merujuk acuan teoretis atas investasi tersebut dalam pandangan ekonomi, Indonesia secara umum memiliki sejumlah keunggulan alamiah (absolute adventages) dan komparatif (comparative adventages), seperti negeri yang sangat luas dengan diberkahi kelimpahan kekayaan alam dan jumlah penduduk sangat besar yang membentuk pasar dan potensi tenaga kerja yang murah. Kenyataan inilah antara lain yang memberi peluang-peluang ekonomi kepada calon investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Sementara itu selain peluang-peluang ekonomi yang bersumber dari kekayaan alam tenaga kerja yang murah, tentunya keiginan investor untuk datang ke suatu negara sangat dipengaruhi oleh faktor stabilitas politik (political stability). Terjadinya konflik elite politik atau konflik masyarakat akan berpengaruh terhadap iklim investasi. Penanaman modal (asing) akan datang dan mengembangkan usahanya jika negara yang bersangkutan telah terbangun proses stabilitas politik dan proses demokrasi yang konstitusional.

Memburuknya iklim investasi, meningkatnya country risk dan belum mantapnya kondisi sosial politik mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap arus modal. Kondisi semacam inilah yang terjadi dalam perkembangan politik di Indonesia. Akibatnya terjadilah pelarian arus modal yang sempat memuncak dan disebutkan pernah mencapai US $40 Milliar dalam beberapa bulan setelah krisis finansial tahun 1997.20

Pemulihan ekonomi membutuhkan investasi baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Para investor akan datang ke suatu negara, bila dirasakan negara tersebut berada dalam situasi yang kondusif. Untuk mewujudkan sistem hukum yang mampu mendukung iklim investasi diperlukan aturan yang jelas mulai dari izin untuk usaha sampai dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk mengoperasikan perusahaan. Kata kunci untuk mencapai kondisi ini adalah adanya penegakan supremasi hukum (rule of law). Dengan demikian, hukum turut memainkan peran penting dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif. Bagaimana hukum dapat

19 Hikmahanto Juwana, Arah Kebijakan Pembangunan Hukum di Bidang

Perekonomian dan Investasi, dalam: Majalah Hukum Nasional, No. 1 tahun 2007, BPHN, Departemen Hukum dan HAM RI, hal. 71

(12)

berperan dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif? J. D. Nyhart21, mengatakan bahwa hukum harus mengandung prinsip-prinsip predictability,

procedural capability, codification of goals, education, balance, definition and clarity of status, serta accommodation agar hukum tersebut mampu berperan dalam menggerakkan ekonomi. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka peraturan-peraturan investasi selayaknya memenuhi unsur-unsur teoretis yang dikemukakan Nyhart di atas.

Hukum investasi harus memenuhi untuk keterprediksian (predictability). Artinya peraturan perundang-undangan yang dapat ditegakkan secara pasti, akan menjadikan suatu keadaan terprediksi sesuai aturan hukum yang ada. Keadaan yang demikian sangat penting bagi kegiatan investasi, karena dengan kondisi yang terprediksi secara akurat dan pasti orang akan berani melakukan tindakan-tindakan ekonomi dalam investasi. Peraturan yang selalu berubah-ubah, penegakan yang tidak pasti dan multitafsir akan menimbulkan keraguan bagi investor untuk menanamkan modal.

Kemampuan prosedural (procedural capability) dilihat dari kemampuan prosedur yang diciptakan oleh suatu sistem hukum dalam menyelesaikan masalah yang dibawa kepadanya. Misalnya dalam mengatur peradilan tribunal (court of administratif tribunal), penyelesaian sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution), dan penunjukan arbiter konsiliasi (conciliation) serta lembaga-lembaga yang berfungsi sama dalam penyelesaian sengketa. Pada dasarnya investor tidak akan tertarik jika prosedural hukum tidak dapat ditegakkan secara pasti. Di Indonesia keadaan ini sangat memprihatinkan dalam rangka upaya menarik investor. Putusan-putusan badan peradilan yang tidak terprediksi, prosedur penyelesaian sengketa perburuhan yang kurang efektif mengurangi kepercayaan investor.

Selanjutnya yang penting untuk dipahami adalah faktor codification of goals. Harus dipahami bersama oleh seluruh komponen bangsa bahwa hukum dibuat oleh pembuat hukum ditujukan untuk pembangunan negara, untuk kepentingan orang banyak, dan tidak sekedar untuk kepentingan sekelompok orang tertentu. Oleh karena itu agar mempunyai kemampuan secara efektif, harus ada unsur pendidikannya (education) dan selanjutnya disosialisasikan kepada masyarakat. Sosialisasi akan membantu menciptakan suasana yang transparan. Dalam kaitannya, peraturan-peraturan terkait investasi terbuka secara umum dan mudah diakses oleh

21 J. D. Nyhart, The Role of Law in Economic Development, dalam: Erman

Rajagukguk, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Jilid 2, Universitas Indonesia, Jakarta, 1995, hal. 365-367; Bandingkan Juga J. D. Nyhart dalam: Sri Gambir Melati,

(13)

siapa saja yang berkeinginan melakukan kegiatan investasi. Transparansi ini tidak saja mencakup segi prosedural administratif, juga yang terpenting adalah transparansi dan kepastian biaya.

Unsur lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa hukum itu berperan menciptakan keseimbangan (balance), karena hal ini berkaitan dengan inisiatif pembangunan ekonomi. Dalam kaitannya dengan peraturan investasi, maka substansi peraturan investasi harus mampu menciptakan keseimbangan antara kepentingan investor dengan kepentingan masyarakat, negara, keinginan investor, dan tujuan yang ingin dicapai pemerintah host country dan keseimbangan antara kepentingan investor asing dan domestik. Dengan demikian, hukum investasi harus dapat mengakomodasi (accomodation) keseimbangan, definisi dan status yang jelas bagi kepentingan individu-individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Terakhir, hukum itu harus berperan dalam menentukan definisi dan status yang jelas (definition and clarity of status) mengenai segala sesuatu dari orang yang melakukan kegiatan investasi, dalam hal ini dapat berupa ketegasan definisi, pengaturan, dan status terhadap investor asing dan kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, sebenarnya Indonesia merupakan sebuah negara yang cukup potensial dalam menarik minat investor. Akan tetapi mengapa pada kenyataannya kepercayaan investor belum pulih benar terhadap kondisi hukum di negara ini. Selain faktor pilitik, ekonomi, dan hukum, ada beberapa faktor yang tidak kalah penting untuk dipertimbangkan sebelum melakukan kegiatan investasi, antara lain sebagai berikut:

a) Risiko Menanam Modal (Country Risk)

Masalah country risk merupakan faktor yang cukup dominan yang menjadi dasar pertimbangan dalam melakukan kegiatan investasi. Salah satu aspek dari country risk yang sangat diperhatikan oleh calon investor adalah aspek stabilitas politik dan keamanan.22

b) Rentang Birokrasi (Red Tape)

Birokrasi yang terlalu panjang biasanya dapat menciptakan situasi yang kurang kondusif bagi kegiatan penanaman modal sehingga dapat mengurungkan niat investor, karena birokrasi yang panjang berarti ada biaya tambahan yang akan memberatkan para calon investor. Hal ini

22 Business News, Resiko Menanam Modal (Country Risk), Nomor 5559, tanggal 18

(14)

dapat mengakibatkan usaha yang akan dilakukan tidak layak (feasible) dalam melakukan kegiatan investasi.

c) Transparansi dan Kepastian Hukum

Adanya transparansi dalam proses dan tata cara penanaman modal akan menciptakan suatu kepastian hukum serta menjadikan segala sesuatunya menjadi mudah diperkirakan (predictability). Sebaliknya, tidak adanya transparansi dan kepastian hukum akan menjadikan sering berubah-ubah kebijakan, misalnya dalam membuat daftar skala prioritas serta daftar negatif investasi (negative list) di bidang investasi. d) Alih Teknologi

Adanya peraturan kewajiban alih teknologi dari negara tuan rumah (host country) dapat mengurangi minat penanam modal mengingat bagi mereka teknologi yang mereka gunakan merupakan modal yang sangat berharga dalam mengembangkan usahanya. Sumantoro mengatakan ada 4 (empat) hambatan dalam alih teknologi23:

Pertama, hambatan yang timbul dari dari ketidaksempurnaan pasar teknologi;

Kedua, hambatan yang disebabkan oleh kurangnya pengalaman dan keterampilan. Pihak negara penerima teknologi/negara berkembang dalam menyelesaikan perjanjian hukum yang memadai untuk memperoleh teknologi tersebut;

Ketiga, hambatan dari sikap pemerintah baik legislatif maupun administratif di negara maju atau negara berkembang yang mempengaruhi pelaksanaan alih teknologi dan perolehannya bagi pihak penerima teknologi di negara berkembang;

Keempat, berupa hambatan seperti sumber keuangan karena tingginya biaya teknologi bagi negara berkembang, terutama dalam menemukan faktor-faktor yang menentukan harga yang layak.

e) Ketenagakerjaan

Sebagaimana disadari, antara masalah penanaman modal dengan masalah ketenagakerjaan terdapat hubungan timbal balik yang sangat erat. Penanaman Modal di satu pihak memberikan implikasi terciptanya lapangan kerja yang menyerap sejumlah tenaga kerja di berbagai sektor sementara di lain pihak kondisi sumber daya manusia yang tersedia dan situasi ketenagakerjaan yang melingkupinya akan memberikan pengaruh yang besar pula bagi kemungkinan peningkatan atau penurunan penanaman modal.24

23 Sumantoro, op cit, hal. 26-27

24 Business News, Faktor SDM dalam Rangka PMA, Nomor 5568, tanggal 10 Juni

(15)

f) Ketersediaan Infrastruktur

Tersedianya jaringan infrastruktur yang memadai akan sangat berperan dalam menunjang keberhasilan suatu kegiatan penanaman modal, hal itupun menjadi faktor yang penting sebagai pertimbangan bagi para calon investor. Tersedianya jaringan infrastruktur pokok, seperti perhubungan (darat, laut, dan udara), energi, serta sarana telekomunikasi biasanya merupakan faktor yang sangat diperlukan oleh calon investor.

IKLIM INVESTASI DI INDONESIA

Hadirin yang saya muliakan,

Berbagai kalangan menyatakan bahwa iklim investasi di Indonesia dinilai sebagai salah satu yang terburuk di dunia. Juga untuk kesekian kalinya, Bank Dunia memberikan penilaian yang sama. Indonesia bukan menjadi tujuan utama investasi asing. Para pemodal yang sudah mengenal Indonesia pun berusaha menghindari negeri ini. Hasil survei Bank Dunia terhadap 155 negara menunjukkan, iklim investasi di Indonesia tergolong paling buruk di muka bumi. Iklim investasi yang dimaksudkan mencakup stabilitas ekonomi makro, kepastian hukum, sistem perpajakan, regulasi, korupsi, ketersediaan SDM terampil, dan ketersediaan infrastruktur (listrik, jalan, pelabuhan, telekomunikasi, dan sebagainya). Dalam laporan Bank Dunia berjudul “Doing Business in 2006” dijelaskan, untuk memulai bisnis di Indonesia, para pemodal membutuhkan waktu 151 hari. Hanya sedikit lebih cepat dibanding Laos. Waktu yang diperlukan memang sangat panjang karena para pemodal harus melewati 12 prosedur. Sedangkan biaya untuk memulai usaha yang harus dikeluarkan investor mencapai 101,7% dari PDB per kapita. Dari 26 negara yang disurvei, Indonesia hanya lebih baik dari Timor Leste dan Laos.25

Untuk sekadar mendapatkan perizinan di Indonesia, pemodal harus menghabiskan waktu 224 hari. Biaya minimal yang dikeluarkan 364,9% dari PDB per kapita dan modal minimum yang dihabiskan 97,8% dari PDB per kapita. Kondisi ini diperparah oleh korupsi yang merebak di mana-mana, dan di berbagai level. Untuk memperlancar proses perizinan,

25 http://go.worldbank.org/WA3UHNX600, diakses tanggal 19 Agustus 2008;

(16)

pemodal terpaksa menyerahkan sejumlah uang. Tidak jarang, setelah menerima uang, permintaan pemodal tidak segera diselesaikan.26

Regulasi di Indonesia dinilai sangat lemah dan ini nyaris mencakup semua aspek. Sebutlah regulasi di bidang perpajakan, ketenagakerjaan, perizinan, kepemilikan properti, investasi, dan sebagainya. Regulasi yang lemah menyebabkan ketidakpastian hukum dan dalam ketidakpastian hukum pungutan liar dan berbagai tindak korupsi merajalela. Para pengusaha selama ini mengeluhkan tarif pajak yang terlalu tinggi, jenis pajak yang terlampau banyak, pajak berganda (double taxation), dan posisi petugas pajak yang terlampau tinggi. Sistem perpajakan di Indonesia sama sekali tidak mencerminkan kesetaraan antara wajib pajak dengan petugas pajak. Sistem perpajakan di Indonesia terlalu memberatkan pengusaha. Survei Bank Dunia menunjukkan, pengusaha harus membayar pajak sebesar 38,8% dari keuntungan kotor. Selain menguras dana begitu besar, para pengusaha menyisihkan waktu hingga 560 jam per tahun untuk mengurusi pembayaran pajak. Pada awal 1990-an, Indonesia digolongkan dalam satu gerbong dengan Malaysia dan Thailand sebagai negara berkembang yang segera menjadi negara industri baru. Namun, pada awal 2000-an, Indonesia sudah dipindahkan ke gerbong lain bersama Vietnam dan Cina. Kini, Cina dan Vietnam lebih menarik minat pemodal asing ketimbang Indonesia. Tiada solusi lain untuk membuka lapangan pekerjaan selain memperbaiki iklim investasi. Hanya dengan iklim investasi yang kondusif, para pemodal, dalam dan luar negeri, berani menanamkan modalnya.27

Di lain pihak, Bank Dunia memaparkan sejumlah indikator yang menunjukkan bahwa iklim investasi Indonesia adalah yang terjelek di Asia Tenggara, antara Kamboja dan Filipina. Yang paling baik adalah Malaysia dan tentu Singapura. Temuan Bank Dunia lainnya adalah, Indonesia tertinggi dalam biaya mem-PHK karyawan, yang mencapai 145 gaji mingguan, lebih jelek daripada di Vietnam dengan biaya PHK 98 gaji mingguan karyawan.28

Kembali kepada iklim investasi Indonesia, dua urusan sektoral cukup banyak kena sorotan dan ada desakan agar segera ditangani oleh pemerintah. Pertama adalah sektor perpajakan. Yang memberatkan iklim investasi bukan tarifnya (tarif 30% sudah cukup layak karena di Malaysia saja 28%) akan tetapi regulasi dan administrasinya. Urusan pajak menyita

26 Ibid.

(17)

terlalu banyak waktu bagi pengusaha karena rata-rata ia harus menyisihkan 560 jam setahun (angka Bank Dunia). Urusan kedua yang perlu direformasi segera adalah bidang perburuhan, yang biaya PHK-nya terlalu tinggi. Sementara itu menurut Ibu Dato' Kaziah Abd. Kadir, bahwa Malaysia memberikan banyak sekali insentif, artinya pembebasan serta kelonggaran pajak, apakah insentif-insentif demikian yang paling penting?29 Selama Indonesia belum mampu keluar dari permasalahan di atas maka daya saing kita di luar negeri tetap lemah, hal ini dibuktikan hasil beberapa lembaga penelitian Pemeringkat Daya Saing yang layak dicermati:

1) International Institute for Management Development (IMD)

IMD yang berbasis di Lausanne (Swiss) dalam World Competitive Report Year Book 2005, menerbitkan hasil survei yang dilakukan terhadap negara-negara, baik di kawasan Asia Pasifik maupun di 60 negara di seluruh dunia mengenai daya saing investasi masing-masing negara. Parameter kinerja yang digunakan adalah kinerja ekonomi, efisiensi pemerintah, efisiensi bisnis, dan kualitas infrastruktur. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa Indonesia berada di urutan terbawah di kawasan Asia Pasifik, sedangkan di 60 negara yang di survei di seluruh dunia, Indonesia berada pada urutan ke 60.30

2). Political and Economic Risk Consultancy (PERC)

PERC yang berbasis di Hongkong telah melaporkan hasil penelitiannya terhadap sistem hukum di 12 Negara di Asia dari sudut pandang ekspatriasi yang bekerja di negara-negara tersebut pada tahun 2005. Unsur-unsur dari sistem hukum yang diteliti adalah sistem peradilan, kepolisian, korupsi, penegakan hukum kontrak atau perjanjian, penegakan HAKI, keamanan, penyelesaian sengketa, serta aturan nilai tukar. Range (pengukur) nilai yang digunakan adalah 0 untuk yang terbaik dan 10 untuk yang terburuk. Hasil dari penelitian tersebut menempatkan Indonesia berada pada posisi terburuk sistem hukumnya (8,85), diikuti oleh Vietnam (8,40), Cina (8,15), Filipina (8,10), Thailand (7,65) dan India (7,20). Sementara yang terbaik itu adalah Hongkong (1,73), diikuti dengan Singapura (1,75), Jepang (2,73), Korea Selatan (3,96), Taiwan (5,07), dan Malaysia (6,06).

3) Japan Bank for International Cooperation (JBIC)

JBIC melakukan survei pada 401 perusahaan Jepang yang akan berinventasi di luar negara Jepang. Hasil Survei menunjukkan bahwa 327 perusahaan memilih Cina, 127 perusahaan memilih Amerika Serikat, 99 perusahaan memilih Thailand, dan 56 perusahaan memilih

(18)

Indonesia. Dari 10 negara tujuan investasi Jepang, Indonesia berada pada urutan ke-4, padahal pada masa lalu Indonesia pernah menjadi tujuan utama investasi di Indonesia.31

4) World Investment Report 2002

Laporan dari World Investment Report menunjukkan bahwa kinerja investasi asing langsung Indonesia hanya berada di 20 terbawah, hanya di atas Suriname dan Yaman. Sebagai perbandingan, indeks kinerja PMA Indonesia pada tahun 1988-1990 masih berada diurutan 68, sementara setelah krisis antara tahun 1998-2000 Indonesia merosot berada diurutan 138 dari 146 negara.

5) World Bank

World Bank dalam laporannya dengan judul Doing Business in 2004: removing obstacles to growth menyampaikan penelitian terhadap 145 negara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa negara-negara yang paling sulit di dunia untuk menjalankan bisnis antara lain Indonesia, Laos, Kamboja, dan Vietnam. Sementara itu negara-negara yang paling kondusif adalah New Zealand, Australia, Singapura, Hongkong, Thailand, Malaysia, dan Korea Selatan. Dalam laporan tersebut juga dikemukakan aspek hambatan investasi di Indonesia yang meliputi ketidakpastian hukum, isu keamanan, implementasi otonomi daerah yang bermasalah, dan korupsi. Di samping itu, dari sisi perizinan, Indonesia termasuk lama (151 hari) dibandingkan dengan negara-negara lain yang rata-rata hanya membutuhkan 27 hari. Bahkan, Indonesia di bawah Kamboja (94) hari dan hanya berada di bawah Laos (198 hari).

6 AC Nielsen

AC Nielsen melakukan survei terhadap 8.000 pengusaha kawasan di Asia Pasifik dan menyimpulkan bahwa Indonesia adalah negara paling pesimistik di Kawasan Asia Pasifik.

7 UNDP (The United Nations Development Programs)

Pada Tahun 2004, UNDP melakukan pemeringkatan negara-negara berdasarkan atas Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index). Parameter yang digunakan adalah hak-hak dasar pembangunan manusia yang meliputi pangan yang cukup, pelayanan kesehatan dasar, rasa aman, dan terlindungi sebagai warga negara. Dari 175 warga negara yang diteliti, Indonesia berada pada peringkat ke 111. Pada tahun 2003, Indonesia berada pada peringkat 112, sementara pada tahun 2002 berada pada peringkat 110. Di kawasan ASEAN, Indonesia

31 Harian The Jakarta Post, “HK, Singapore Best Judicial Systems, RI the Worst”, 3

(19)

berada pada urutan ke-7 dari 10 negara, hanya di atas Laos, Myanmar, dan Kamboja.

PEMBAHARUAN DAN PENEGAKAN HUKUM

Hadirin yang saya muliakan,

Upaya menarik investor asing untuk berinvestasi di Indonesia perlu segera dilakukan pembaharuan atau perubahan terhadap UU bidang ekonomi dan penegakan hukum. Dalam konteks pembaharuan hukum sebagai sarana mempelancar jalannya investasi guna mendukung perekonomian hendaknya berorientasi kepada jaminan dan kepastian hukum yang sesuai dengan yang diinginkan para investor dan host country. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah penegakan hukum. Penegakan hukum itu sendiri dapat dilihat dari kinerja aparat penegak hukum dalam melakukan penegakan peraturan dan keputusan sesuai dengan peraturan tanpa membedakan subjek hukum.

Penegakan hukum yang baik dapat merangsang investor untuk menanamkan modalnya. Penegakan hukum dapat dilakukan melalui sistem peradilan yang efisien dan efektif. Upaya-upaya peningkatan efisiensi lembaga peradilan di negara maju dan negara berkembang sangat bervariasi. Namun demikian terdapat tiga elemen sebagai kunci keberhasilan upaya peningkatan efisiensi lembaga peradilan, yaitu pertama, peningkatan akuntabilitas hakim. Kedua, penyederhanaan prosedur peradilan, dan ketiga peningkatan anggaran.32

Sementara itu menurut studi yang dilakukan Burg’s33, mengenai pembangunan hukum dalam bidang ekonomi terdapat 5 (lima) unsur yang harus dikembangkan agar tidak menghambat ekonomi, yaitu stabilitas (stability), prediksi (predictability), keadilan (fairness), pendidikan

(education), dan pengembangan kemampuan khusus dari ahli hukum (the special development abilities of the lawyer). Selanjutnya Burg’s mengemukakan supaya sistem ekonomi berfungsi, unsur stabilitas dan unsur prediksi memegang peran penting untuk mengakomodasi dan menghindari kepentingan-kepentingan yang saling bersaing, dan bisa memprediksi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan kegiatan

32 The World Bank, World Development Report 2002 Building Institutions for Market,

New York: Oxford University Pres, 2002, Hal. 124.

33 Leonard J. Theberge, “Law And Economic Development,” Journal of International

(20)

ekonomi suatu negara menuju terciptanya kepastian berusaha. Hal ini sejalan dengan pendapat dari J.D. Nyhart, yang mengemukakan konsep hukum yang baik yang dijadikan sebagai dasar pembangunan bidang ekonomi, yakni mengandung prinsip-prinsip predictability, procedural capability, codification of goals, education, balance, definition and clarity of status serta accomodation, seperti yang telah diutarakan pada bagian sebelumnya.34

Dalam sistem penegakan hukum patut disimak apa yang dikatakan oleh Lawrence M. Friedman yang menegaskan bahwa secara teoretis ada tiga unsur yang berpengaruh terhadap berfungsinya sistem hukum, yakni substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum. Ketiga unsur sistem hukum tersebut harus berjalan secara sinergis agar tujuan hukum dapat tercapai.35 Dalam konteks ini, maka substansi hukum investasi di Indonesia harus memperhatikan sepenuhnya unsur-unsur penting dalam hukum agar berfungsi menunjang kegiatan ekonomi. Kemudian struktur hukum harus menunjang penegakan substansi hukum, termasuk dalam hal ini adalah keberadaan dan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di badan-badan peradilan di Indonesia yang mengalami penurunan. Keseluruhan faktor ini, secara teoretis dapat disebabkan oleh buruknya kultur hukum dari aparatur penegak hukum dan kultur hukum masyarakat yang kurang mendukung. Ketika salah satu unsur atau lebih dari sistem hukum tersebut mengalami gangguan, maka tujuan yang ingin dicapainya pun tidak akan terwujud secara optimal. Kondisi inilah yang terjadi dalam hukum investasi di Indonesia.

Oleh karena itu sangat tepat upaya pemerintah saat ini telah melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 yo. UU No. 11 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, melalui UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Sebagai upaya implementasi dari UU No. 25 Tahun 2007 Presiden RI telah menerbitkan dua Peraturan Presiden yakni Perpres No. 76 dan Perpres No. 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Diterbitkannya peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal maksudnya tak lain guna mendorong pertumbuhan investasi di negeri ini. Perpres No. 76 adalah menyangkut tentang kriteria dan persyaratan penyusunan bidang

34 J. D. Nyhart, loc.cit; Bandingkan juga dengan, Bismar Nasution, Pengaruh

Globalisasi Ekonomi pada Hukum Indonesia, dalam: Majalah Hukum Fakultas Hukum USU Vol. 8 No. 1, Medan 2003, hal

35 Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction, New York: W.W. Norton

(21)

usaha yang tertutup dan terbuka atau lebih dikenal Daftar Negatif Investasi (DNI). Sedangkan Perpres No. 77 adalah mengenai daftar bidang usaha yang bersangkutan. Kedua peraturan ini dibuat tidak lain adalah untuk menjaring investor baik lokal maupun luar negeri. Boleh jadi kita semua masih ingat sejak pergantian Soeharto sebagai Presiden RI, secara makro perekonomian Indonesia mengalami kemerosotan. Pembangunan di segala bidang macet dan terhenti. Pertumbuhan sektor riil tidak berjalan sebagaimana mestinya. Selain itu, sektor perbankan yang seharusnya mem-back up pelaku usaha takut mengucurkan kredit. Akibatnya dunia usaha pun collapse.

Memang dari sisi statistik yang dikeluarkan oleh pemerintah memperlihatkan adanya angka kenaikan di sektor investasi dari tahun ke tahun. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sendiri setiap enam bulan selalu menegaskan adanya kenaikan investasi.

Tapi tentu kita semua sadar bahwa “persetujuan izin investasi” dari BKPM itu belum menjamin adanya kesamaan dengan “realisasi investasi” yang ada di lapangan. Artinya investor boleh saja memohon izin penanaman modal terlebih dahulu, tapi giliran untuk pelaksanaan investasi, bukan sedikit yang melakukan gerakan “wait and see”. Mengapa gejala ini selalu timbul? Itu tak lain karena investor masih meraba-raba akan manfaatnya berinvestasi di Indonesia. Lantas apakah dengan diterbitkannya dua Perpres tadi sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang Penanaman Modal (UUPM) otomatis bisa menarik minat investor ke Indonesia? Perlu diingat bahwa, untuk berinvestasi di Indonesia umumnya investor mempunyai berbagai pertimbangan. Salah satunya adalah faktor keuntungan. Sejauh manakah suatu keuntungan dapat diperoleh dalam suatu investasi yang direncanakan? Katakanlah untuk suatu proyek farmasi – industri obat jadi – bahan baku obat, yang menyangkut hajat hidup orang banyak, sejauh manakah investor asing boleh menanamkan modal, dengan membuka pabrik di Indonesia?

(22)

antara dua pihak. Karena kedua pihak mempunyai kedudukan hukum yang sangat kuat. Tidak jarang dalam suatu RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) dari suatu PT (Perseroan Terbatas) PMA yang didirikan, suatu perseroan tidak dapat mengambil suatu keputusan/kebijakan karena salah satu pihak tidak hadir dalam suatu rapat yang diadakan, sehingga tidak mencapai kuorum untuk diadakannya suatu rapat. Konsekuensinya adalah merugikan suatu perusahaan. Kita bisa saja membenarkan dalih nasionalisme berkaitan pembatasan dari investasi/saham-saham asing dalam suatu perseroan, tapi apakah itu punya dampak positif bagi pertumbuhan sektor riil secara nasional? Bukankah persoalan komposisi saham ini lebih bergantung pada bagaimana kita mengatur dalam suatu perjanjian untuk memproteksi pemegang saham nasional.

Sebutkan saja sebuah contoh bagaimana kita mengatur dalam soal perjanjian franchising. Dalam suatu perjanjian franchising diatur hak dan kewajiban masing-masing pemberi dan penerima franchise. Klausula yang menyangkut transfer of technology, know how, pelatihan-pelatihan

management, selalu diabaikan oleh franchisee. Akibatnya sudah bertahun-tahun jadi penerima franchise tidak menerima ilmu dari franchisor. Melainkan lebih cenderung sebagai pelaksana/pengguna dari franchising.

Konsekuensinya frenshisee selaku pelaku nasional tidak dapat berkembang untuk usaha lain. Karena pengalaman yang diperoleh franchising tidak diperoleh secara maksimal.36

Hadirin yang saya muliakan,

1. Paket Kebijakan Investasi di Indonesia

Sejak awal tahun 1970-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an, Indonesia menikmati pertumbuhan ekonomi tinggi yang didorong oleh peningkatan investasi dan perluasan sektor industri. Sayangnya, krisis keuangan pada tahun 1997-98 ditambah krisis-krisis lain, telah memperlemah sistem keuangan dan tata kelola pemerintahan (governance) yang menyebabkan penurunan investasi dan perlambatan perkembangan sektor swasta. Investasi menurun drastis, menurunkan kegiatan perekonomian secara umum. Pada tahun 2003, Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Dunia (WB), bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi dan Badan Pusat Statistik (BPS) telah melakukan studi tentang Iklim Investasi dan Produktivitas di Indonesia

(23)

(ICS). Hasil studi menunjukkan tingkat investasi sekarang hanya sekitar 16% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh dari kondisi sebelum krisis yang sudah mencapai lebih dari 30%.

Pertumbuhan ekonomi sekitar 3-4% dalam tiga tahun terakhir, sebagian besar didorong oleh kenaikan permintaan dan tidak menciptakan lapangan pekerjaan baru sehingga tingkat pengangguran terus meningkat. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah ini juga tidak mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan menurunkan kemiskinan.

Akibatnya, Indonesia sekarang menghadapi tantangan berat, yaitu bagaimana bisa mencapai lagi pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkesinambungan. Tantangan ini sejalan dengan tekad pemerintah baru untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekitar 7% per tahun. Salah satu kunci untuk mencapai tingkat pertumbuhan tersebut adalah dengan memperbaiki iklim investasi yang dalam beberapa tahun terakhir ini melemah. Hal ini bisa dilihat dari semakin banyak perusahaan industri yang tutup atau memindahkan usaha ke negara lain seperti ke Republik Rakyat Cina (RRC) dan Vietnam.37

Dalam rangka memperbaiki iklim investasi, pemerintah pada 27 Februari 2006 meluncurkan Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi yang dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006. Agar paket tersebut mampu mendorong investasi dan memicu pertumbuhan ekonomi di atas 6% per tahun serta tidak sekadar sebagai daftar jawaban dari keluhan para investor, pemerintah harus segera mengambil tindakan-tindakan konkret. Paling tidak ada empat tindakan-tindakan yang harus segera dilakukan pemerintah, yaitu pertama, menjalankan dengan benar UU Penanaman Modal. Kedua, mereformasi sistem perpajakan. Ketiga, menyederhanakan sistem perizinan, dan keempat, memperbaiki sistem ketenagakerjaan.38 Sementara itu menurut ADB (2003), Iklim investasi adalah semua kebijakan, kelembagaan, dan lingkungan, baik yang sedang berlangsung maupun yang diharapkan terjadi di masa datang, yang bisa mempengaruhi tingkat pengembalian dan risiko suatu investasi. Tiga faktor utama dalam iklim investasi mencakup: pertama, kondisi ekonomi makro termasuk stabilitas ekonomi makro, keterbukaan ekonomi, persaingan pasar, dan stabilitas sosial dan politik. Kedua, tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) termasuk kejelasan dan efektivitas peraturan, perpajakan, sistem hukum, sektor keuangan, fleksibilitas pasar tenaga

37 Asian Development Bank (ADB), 2003.

(24)

kerja dan keberadaan tenaga kerja yang terdidik dan terampil. Ketiga, infrastruktur mencakup antara lain sarana transportasi, telekomunikasi, listrik, dan air.

Sementara itu, perbaikan sistem ketenagakerjaan penting dalam mendukung paket kebijakan investasi karena secara sosial ekonomi, posisi para pekerja sangat dominan dalam proses industrialisasi. Tidak akan ada industrialisasi tanpa ada angkatan kerja yang mendukungnya. Dewasa ini kedudukan dan peranan penting pekerja dalam perkembangan ekonomi Indonesia telah mendapat pengakuan melalui Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, masalah perburuhan mempunyai andil yang cukup signifikan terhadap iklim investasi.

Paling tidak ada empat masalah ketenagakerjaan yang memengaruhi minat investasi. Pertama, kecenderungan peningkatan upah minimum yang tinggi dan besarnya biaya non-UMP. Kenaikan upah ini pada kenyataannya tidak diikuti dengan produktivitas kerja. Hasil penelitian Korean Chamber of Commerce and Industry tentang perbandingan upah dan lingkungan bisnis di sejumlah negara Asia menyatakan daya tarik investasi Indonesia lebih rendah dibandingkan Cina dan Vietnam serta hanya unggul dari Myanmar dan Bangladesh. Kedua, ketidakpastian hubungan industrial antara perusahaan dan tenaga kerja. Undang-undang Ketenagakerjaan dinilai pengusaha Indonesia memberatkan dunia usaha dan tidak menjadi instrumen untuk menggalakkan iklim investasi. Ketiga, semakin maraknya aksi buruh. Keempat, rendahnya daya saing tenaga kerja Indonesia baik dari segi keterampilan, disiplin, maupun etos kerja.39

Revisi UU Ketenagakerjaan sebagai bagian dari paket kebijakan perbaikan iklim invetasi harus dilakukan secara cermat dan jangan sampai kontraproduktif. Berbagai aksi unjuk rasa menolak rencana tersebut tidak boleh berkepanjangan dan secepat mungkin dilakukan tindakan-tindakan nyata. Pemerintah, DPR, pengusaha, dan pekerja harus duduk bersama untuk merumuskan suatu kebijakan yang dapat mendukung kelangsungan dunia usaha dan sekaligus meningkatkan harkat dan martabat pekerja. Akhirnya, selain beberapa tindakan tersebut, pemerintah juga harus mampu menjelaskan dan meyakinkan bahwa investasi sangat diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi guna menciptakan lapangan kerja dan memerangi kemiskinan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini penting dilakukan mengingat sebagian masyarakat kita masih

(25)

“mengharamkan” investasi asing yang berlindung atas nama nasionalisme ekonomi.40

Hadirin yang saya muliakan,

2. Apa saja yang sudah dilakukan pemerintah?

Pemerintah Indonesia menyadari perlunya upaya meningkatkan investasi, yaitu dengan memperbaiki berbagai aspek yang berkaitan dengan iklim investasi. Paling tidak ada lima bidang yang secara perlahan telah dilakukan upaya-upaya perbaikannya. Pertama, Reformasi Undang-Undang Bidang Investasi. Pemerintah telah mensahkan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dengan disahkankannya UU ini diharapkan tidak ada lagi pembedaan perlakuan antara perusahaan asing dan domestik sebagaimana tuntutan masyarakat dunia dalam rangka persetujuan dan penandatanganan prinsip-prinsip GATT dan WTO. Namun disayangkan UU No. 25 Tahun 2007 belum berjalan efektif telah dilakukan gugatan oleh beberapa LSM ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa ketentuan dalam Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 yang mengatur tentang jangka waktu pemberian hak atas tanah berupa hak guna usaha diberikan selama 95 tahun, hak guna bangunan selama 80 tahun, dan hak pakai diberikan selama 70 tahun dengan cara diperpanjang dimuka sekaligus, bertentangan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.

Kedua, Kebijakan Investasi Indonesia. Kebijakan investasi yang ditempuh pemerintah adalah dengan mengeluarkan Inpres No.3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi. Kebijakan ini ditempuh pemerintah adalah untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam menarik PMA lebih nyata lagi jika dibandingkan dengan perkembangan PMA di negara-negara lain. Misalnya dalam kelompok ASEAN, Indonesia salah satu negara yang mengalami arus PMA negatif sejak krisis ekonomi 1998, walaupun nilai negatifnya cenderung mengecil sejak tahun 2000. Hal ini ada kaitannya dengan iklim politik yang semakin baik dibandingkan pada periode 1998-1999, yang memperkecil keraguan calon-calon investor untuk menanam modal mereka di Indonesia. Sebelumnya juga pemerintah sudah menetapkan setidaknya ada tiga pilar perbaikan Investasi adalah: paket kebijakan iklim investasi, penyelesaian beberapa high profile projects untuk memberi effect snow ball, dan menekan cost of financing.41 Ketiga pilar

40 Ibid.

(26)

perbaikan tersebut hendaknya dilaksanakan bukan secara parsial namun bersamaan dan menyeluruh. Oleh karena itu, setiap tindakan dan kebijakan operasional yang dilakukan pemerintah cukup fokus kepada ketiga hal tersebut.

Ada beberapa isu penting yang menjadi fokus kerja pemerintah berkaitan dengan program investasi yang direncanakan ke depan, antara lain: kelembagaan, regulasi, bea cukai, pajak, tenaga kerja, dan UKMK. Selain program, pemerintah juga menurunkannya dalam bentuk poin-poin tindakan yang akan direalisasikan. Dari sekian program tersebut maka ada kurang lebih delapan puluh lima tindakan yang akan diambil untuk mendorong keberhasilan investasi. Beberapa program tersebut antara lain revisi terhadap regulasi yang ada, membuat regulasi kembali, evaluasi terhadap wewenang pemerintah daerah sebagai daerah otonom, koordinasi, serta pengawasan dan pengendalian. Peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengurangan tingkat kemiskinan, peningkatan daya saing dan perekonomian lokal (daerah), lingkungan hidup (sustainable environment), adanya wacana Corporate Sosial Responsibility, dan yang terpenting adalah pembangunan ekonomi nasional dan daerah. Itu artinya UU yang baru diharapkan dapat menyesuaikan dengan peraturan-peraturan yang baru serta mewakili isu-isu penting kontemporer lainnya.

Dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2007, paket kebijakan investasi juga menjadi salah satu substansi penting. Kebijakan tersebut dituangkan dalam Perpres 19 Tahun 2006, langkah-langkah yang akan direncanakan pemerintah dalam kaitannya dengan kebijakan investasi terutama untuk perbaikan iklim investasi adalah:

a. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan penanaman modal;

b. Penyederhanaan prosedur dan peningkatan pelayanan penanaman modal baik di tingkat pusat maupun daerah;

c. Peningkatan promosi investasi terintegrasi baik di dalam maupun di luar negeri;

d. Peningkatan fasilitas terwujudnya kerjasama investasi PMA dan PMDN dengan UKM (match-making);

e. Penanganan pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (penegakan hukum dan kerjasama dengan instansi terkait);

f. Penyusunan rancangan amandemen UU No. 5 Tahun 1999;

(27)

g. Memprakarsai dan mengkoordinasikan pembangunan kawasan industri.42

Selain itu sejumlah kebijakan lain pun telah digulirkan oleh pemerintah dalam hal “cepat tanggap” perbaikan investasi. Dalam hal ini, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut antara lain Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi, dan Keputusan Presiden Nomor 29 tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Melalui Sistem Satu Atap, serta peraturan-peraturan lainnya yang relevan. Namun tetap saja sejumlah permasalahan terjadi dan pada akhirnya menghambat proses perbaikan investasi tersebut, peraturan-peraturan yang dikeluarkan tidak mampu menanggulangi permasalahan-permasalahan itu.

Paket kebijakan tersebut merupakan bagian kecil dari sejumlah peranan pemerintah dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, good will pemerintah dalam segala bidang sangat diperlukan sebab pembangunan sifatnya menyeluruh meskipun dijalankan secara bertahap. Beberapa hal tersebut adalah perubahan terhadap kerangka kelembagaan, perubahan organisasi, pembangunan overhead sosial dan ekonomi (infrastruktur sosial dan ekonomi), pembangunan pertanian untuk menunjang kesediaan pangan dalam negeri, memacu perkembangan industri, kebijaksanaan moneter dan fiskal, dan peningkatan perdagangan luar negeri

Ketiga, Kebijakan Investasi dalam Kaitannya dengan Daerah. Ada sejumlah faktor yang sangat berpengaruh pada baik-tidaknya iklim berinvestasi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut tidak hanya menyangkut stabilitas politik dan sosial, tetapi juga stabilitas ekonomi, kondisi infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi, prasarana jalan, dan pelabuhan), berfungsinya sektor pembiayaan dan pasar tenaga kerja (termasuk isu-isu perburuhan), regulasi dan perpajakan, birokrasi (dalam waktu dan biaya yang diciptakan), masalah good governance termasuk korupsi, konsistensi, dan kepastian dalam kebijakan pemerintah yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keuntungan netto atas biaya risiko jangka panjang dari kegiatan investasi, dan hak milik mulai dari tanah sampai kontrak. Dalam hal ini permasalahan tersebut dilihat dalam konteksnya dengan daerah. Patut diakui bahwa rencana dan pelaksanaan sejumlah kebijakan investasi selama ini belum menunjukkan hasil yang maksimal. Meskipun pemerintah sudah melakukan beberapa tindakan konkret untuk menarik investasi masuk ke Indonesia. Beberapa permasalahan tersebut menyangkut

(28)

kesiapan pemerintah dalam hal ini kualitas SDM, kelembagaan, kemampuan dalam manajemen pembangunan daerah, dan regulasi/deregulasi.

Dalam Laporan WEF (The World Economic Forum) tahun 2005 terlihat ada sejumlah faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya investasi ke dalam negeri. WEF dalam laporannya menyajikan bahwa salah satu indikator penilaian suatu negara dianggap menarik adalah lama hari pelayanan izin. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa dibandingkan dengan sejumlah negara lain Indonesia belum memberikan “pemikat” maksimal. Jumlah prosedur yang harus dilewati sekitar 11-12 prosedur dengan lama hari 151 hari (+ 5 bulan). Selain itu ada beberapa izin yang harus dilengkapi terlebih dahulu, antara lain: izin keselamatan kerja, izin prinsip, izin gangguan, izin lokasi, IMB, dan izin lingkungan hidup.

Namun dalam konteks kaitannya dengan daerah, maka perlu untuk melihat permasalahan tersebut dengan lebih spesifik, walaupun hal ini merupakan bagian dari keseluruhan permasalahan salah satu pemicu mengapa keberadaan daerah menjadi kian penting dalam memecahkan permasalahan ini adalah kualitas dan kecepatan pelayanan daerah terhadap investasi. Selain itu peran penting lainnya juga adalah karena aset dan potensi pembangunan sebenarnya ada dalam wilayah lokal sehingga kepentingan lokal pun tidak bisa diabaikan. Beberapa permasalahan tersebut akan dibahas di bawah ini.

Keempat, Penguatan Kelembagaan Publik Pemerintah Pusat dan Daerah. Ada tiga alasan mengatakan bahwa sebuah kebijakan dikatakan berhasil,

pertama memang kebijakannya efektif baik secara substantif maupun teknis, keduaoperating board’-nya yang bagus, artinya kinerja mereka dilaksanakan secara efisien, efektif, terencana, dan berhasil. Ketiga, kebijakan dan badan pelaksanaannya memang bagus. Dari hal di atas setidaknya minimal ada dua bagian penting dalam menjalankan sebuah kebijakan yaitu kebijakan itu sendiri dan lembaga yang menjalankannya. Penguatan kelembagaan juga harus dilakukan dalam tingkat pemerintah pusat. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat antara lain: pertama, high cost economy yang terjadi di lingkungan pusat; kedua, kepastian hukum; ketiga, penciptaan iklim ekonomi yang kondusif secara makro; keempat, kemampuan promosi pemerintah; kelima, inovasi pelayanan.43 Perbaikan terhadap beberapa permasalahan tersebut

(29)

berkaitan dengan tanggung jawab dan peran lembaga-lembaga teknis terkait di pusat.

Permasalahan-permasalahan tersebut harus secepatnya dibenahi melalui kebijakan yang nyata dan efektif. Kebijakan investasi yang dikeluarkan pemerintah tidak akan berjalan tanpa rentetan kebijakan lainnya yang mendukung. Selain itu penyelesaian permasalahan dalam izin, perdagangan, dan konflik kepentingan antara pemerintah dan investor membutuhkan penyelesaian secepatnya. Kelemahan institusi pengadilan kita dalam mengadili kasus perdagangan perlu dibenahi. Akibat yang terjadi adalah penyelesaian menjadi lambat dan kepastian aturan hukum yang digunakan juga beragam. Sedangkan investasi atau dunia usaha membutuhkan petunjuk yang bisa diprediksi secara tepat dan pasti.

Dunia usaha terutama investasi sangat memerlukan iklim ekonomi yang kondusif. Tentu saja dalam hal ini peran pemerintah pusat sangat penting, sebab secara makro pemerintah bertanggung jawab menjaga agar posisi perekonomian tidak menurun. Kebijakan tersebut dapat dilihat dalam konteks fiskal dan moneter.44 UU 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah tidak memberikan kewenangan tersebut kepada daerah sebab kewenangan itu merupakan kewenangan yang sepenuhnya dipegang pemerintah pusat. Oleh sebab itu, pemerintah patut menjamin bahwa investor tidak akan dirugikan ketika dana dialirkan.

Pengelolaan iklim investasi memerlukan kemampuan manajerial dalam menjaga iklim tetap kondusif. Kemampuan tersebut antara lain: kemampuan dalam menjaga hubungan harmonis dengan pemerintah daerah sebagai bagian dari koordinasi internal; kemampuan “cepat tanggap” terhadap permasalahan yang membutuhkan penyelesaian yang cepat; kemampuan untuk menyelesaikan program realisasi fisik yang didanai dari investasi secara tepat waktu; menjaga agar stabilitas fiskal dan moneter tetap terkendali; dan kemampuan untuk membuat sejumlah terobosan atau inovasi yang efektif menarik investor.

Berdasarkan hal tersebut, salah satu terobosan yang perlu dilakukan adalah dalam bidang pelayanan. Pelayanan dalam hal apapun, terutama yang menyangkut perizinan, fasilitas insentif, dan berbagai kemudahan-kemudahan lain. Salah satu inovasi yang dilakukan adalah konsep pelayanan satu atap. Tujuannya adalah agar pusat dan daerah bisa memberikan pelayanan kepada investor dengan cepat, sehingga rentang

(30)

waktu untuk mengurus perizinan tidak lama dan berbelit-belit. Tetapi kenyataannya, hal tersebut tidak cukup memberikan pengaruh yang signifikan, sebab pungutan liar tetap ada walaupun sistem pelayanannya sudah diubah.

Untuk tingkat pemerintahan daerah paling tidak ada tiga hal yang perlu dibenahi. Pertama, infrastruktur daerah. Salah satu kekurangan besar dalam proses pembangunan ekonomi Indonesia terletak pada minimnya infrastruktur yang mendukung proses tersebut. Infrastruktur tersebut bukan hanya dalam lingkup overhead ekonomi tetapi juga overhead sosial. Oleh karena itu sangat sulit mengharapkan daerah bisa menampung dan mengelola dana investasi yang masuk, karena dari segi fasilitas tidak memungkinkan. Selain itu pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan juga menyerap dana yang besar, sehingga logis bila dana yang dimiliki daerah lebih banyak digunakan untuk menyediakan fasilitas tersebut. Namun tidak semua daerah mengalami hal tersebut. Ada “conditional gap” di setiap daerah dari sisi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Hal ini juga terjadi dalam penyediaan infrastruktur.

Kedua, sinkronisasi regulasi dan “infrastuktur” regulasi. Diberikannya kewenangan dan kebebasan kepada daerah untuk memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi daerahnya mengundang sejumlah permasalahan. Salah satunya adalah tumpang tindih antara peraturan pusat dengan peraturan daerah, terutama dalam bidang ekonomi. Departemen Dalam Negeri serta KPPOD menyatakan bahwa terdapat ratusan Perda yang tidak sinkron dengan peraturan di atasnya. Perda bermasalah tersebut melanggar asas perundang-undangan secara materil. Ketidaksinkronan tersebut menyebabkan sejumlah peraturan pusat tidak mempunyai pengaruh, sebaliknya perda yang diterbitkan oleh daerah dipandang sebagi regulasi tunggal daerah.

(31)

mengetengahkan susunan dari suatu tatanan, dan kultur mengandung nilai

(values), sistem, dan kebiasaan yang dilakukan oleh para pelakunya yang mencerminkan perilaku dari sumberdaya manusianya. Oleh karena itu reformasi kelembagaan birokrasi meliputi reformasi susunan dari suatu tatanan birokrasi pemerintah, serta reformasi tata nilai, tata sistem, dan tata perilaku dari sumber daya manusianya.45

Kelima, Bidang Perpajakan. Menurut Dietrich Lerche (1980), ada empat faktor yang menyebabkan ketidakefisienan pemungutan pajak di Indonesia, yaitu tarif yang terlalu tinggi, lemahnya aparat perpajakan, rendahnya tingkat kepatuhan pajak, dan besarnya bagian wajib pajak (WP) potensial yang tidak terjaring menjadi wajib pajak. Agar reformasi perpajakan mendukung iklim investasi, paling tidak ada empat masalah utama yang harus diatasi. Pertama, memerangi aparat pajak nakal. Salah satu penyebab gagalnya investasi dan hengkangnya investor di Indonesia karena aparat pajak banyak memanipulasi pengusaha (WP). Kedua, dalam perubahan UU Perpajakan harus memasukkan ketentuan hukum untuk aparat hukum yang melakukan pelanggaran. Paling tidak dengan tindakan pencegahan ini aparat pajak di lapangan kalau melakukan pemerasan bisa ditindak secara hukum. Ketiga, mengatasi tumpang tindih kebijakan pusat dan daerah. Keempat, reformasi perpajakan harus mampu mengatasi sejumlah pasal yang dinilai masih krusial, interpretatif, kurang akomodatif, dan masih didominasi oleh pasal-pasal yang cenderung membela kepentingan aparat pajak dibandingkan wajib pajak.

Dalam bidang perpajakan hal menarik untuk ditelusuri adalah upaya pemerintah dalam melakukan amandemen terhadap berbagai peraturan di bidang perpajakan salah satunya adalah UU Pajak Penghasilan (PPh). RUU PPh telah disahkan dalam Sidang Paripurna DPR tanggal 2 September 2008 yang lalu. UU baru ini mulai berlaku 1 Januari 2009. RUU PPh tersebut merupakan perubahan keempat dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000. Perubahan yang dilakukan tersebut diharapkan dapat bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara menuju kesejahteraan dan keadilan bersama.

Paling tidak ada dua hal yang melatarbelakangi dilakukannya perubahan Undang-Undang tentang PPh tersebut. Pertama, peningkatan daya saing

(32)

perekonomian Indonesia. Tarif PPh di dunia saat ini cenderung menurun, hal ini merupakan dampak dari globalisasi ekonomi dunia dan semakin meningkatnya kemajuan teknologi yang memudahkan akses informasi tanpa ada batasan tempat dan waktu. Penurunan tarif PPh di suatu negara akan mempengaruhi negara sekitarnya sehingga dalam menjaga kompetisinya negara lain tersebut juga ikut menurunkan tarif pajaknya. Sebagai gambaran, tarif pajak di negara tetangga kita seperti Malaysia 20% untuk RM 500 ribu pertama dan 27% untuk di atas RM 500 ribu dan Singapura mulai tahun 2008 menjadi 18%. Sedangkan tarif teritinggi PPh Badan Rl dalam UU PPh yang berlaku sekarang 30%. Jauh lebih tinggi dari tarif pajak negara sekitar.46 Dengan perubahan Undang-Undang PPh (UU PPh) tarif PPh Badan menjadi tarif tunggal dan diturunkan menjadi 28% tahun 2009 dan menjadi 25% tahun 2010. Tarif tunggal tersebut dimaksudkan sebagai fasilitas dan kesederhanaan bagi wajib pajak (WP). Tarif tunggal ini pasti menguntungkan sebagian WP Badan namun sekaligus juga dirasakan kurang adil bagi sebagian WP lainnya utamanya WP kecil. Oleh karena itu pemerintah memberikan fasilitas perpajakan bagi WP Badan berskala kecil yaitu UMKM dengan pemberian fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal untuk peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 Miliar.

Selain itu, bagi perusahaan yang masuk bursa (go public) diberikan penurunan tarif sebesar 5% dari tarif normal dengan syarat paling sedikit 40% sahamnya dimiliki oleh masyarakat dan syarat lainnya. Sehingga pada tahun 2009 tarif perusahaan yang masuk bursa (go public) sebesar 23% dan tahun 2010 menjadi 20%. Dengan tarif ini perusahaan yang masuk bursa akan mempunyai daya saing yang lebih tinggi. Dalam rangka membantu cash flow pengusaha orang pribadi (OP) tertentu diberikan penurunan tarif angsuran PPh tahun berjalan menjadi maksimal 0,75% dari peredaran bruto, yang semula besarnya 2%. Dividen yang diterima oleh WP orang pribadi diturunkan menjadi setinggi-tingginya 10% bersifat final, yang semula dikenakan tarif progresif sampai dengan 35%. Pembebasan PPh atas dividen yang diterima WP Badan dalam negeri yang berasal dari penempatan pada WP Badan dalam negeri lainnya dibebaskan dari persyaratan harus menjalankan usaha aktif. Dengan perubahan UU PPh ini persyaratan pembebasan pajak atas dividen menjadi semakin ringan.

Tarif tertinggi PPh orang pribadi diturunkan dari 35% menjadi 30% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 500.000.000.- yang semula batas penghasilan kena pajak tertinggi Rp 200.000.000.-. Lapisan tarifnya yang

(33)

semula 5 lapis dijadikan 4 lapis dengan menghilangkan lapisan tarif 10%. Rentang penghasilan kena pajak diperluas dari yang semula sampai dengan tertingginya Rp 200.000.000.- menjadi Rp 500.000.000.-. Penurunan tarif ini diharapkan akan meningkatan daya saing negara kita untuk menarik minat investasi baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Peningkatan investasi tersebut diharapkan dapat memberikan sumbangsih terhadap perekonomian secara nasional, termasuk memperluas kesempatan kerja. Sedangkan penurunan tarif PPh orang pribadi serta perluasan rentang penghasilan kena pajak tentunya akan berdampak positif kepada WP orang pribadi yaitu bertambahnya daya beli serta lebih memudahkan penghitungannya.

Kedua, prinsip keadilan. Keadilan dalam pengenaan pajak antara lain dilakukan dengan cara mengenakan PPh terhadap semua objek pajak, selain yang dikecualikan dalam UU. Oleh karenanya, dalam perubahan UU PPh ditegaskan beberapa objek pajak yang sebelumnya tidak atau belum tegas dinyatakan dalam UU PPh yang lama menjadi objek pajak, yaitu antara lain; surplus Bank Indonesia dan penghasilan bunga obligasi yang diterima oleh reksadana. Untuk lebih meningkatkan keadilan dilaksanakan pemungutan PPh atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah kepada pembeli misalnya pembelian apartemen dan kondominium sangat mewah, kendaraan sangat mewah, pesawat pribadi dan kapal pesiar. Selain itu, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi WP Orang Pribadi (OP) dinaikkan menjadi Rp 15,84 Juta setahun dengan memperhitungkan tingkat inflasi. Perbandingan besarnya PTKP dengan pendapatan per kapita mencapai 72,9%, angka ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain misalnya Filipina 13,8%, Malaysia 17,78%, dan Cina 5,7%.47

Untuk mendorong WP orang pribadi memiliki NPWP dan membayar pajak sebagai kewajiban kenegaraan maka ditetapkan tarif pemotongan/ pemungutan PPh orang pribadi 20% lebih tinggi dari tarif normal dan 100% bagi PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23. Kewajiban membayar Fiskal Luar Negeri bagi WP orang pribadi yang sudah ber-NPWP dibebaskan sejak tahun 2009. Pada tahun 2011 kewajiban pembayaran Fiskal Luar Negeri dihapuskan.

Referensi

Dokumen terkait

untuk menjawab pertanyaan tentang apakah terdapat pengaruh signifikan antara integritas moral, kemampuan menjalin relasi dan kompetensi sistem informasi secara simultan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deduktif aksiomatik, yaitu de- ngan menurunkan teorema yang telah ada dan pendeteksian pola yang kemu- dian diterapkan dalam

bertempat di SMAN 1 Tambelang yang beralamat di Jl. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, tes, dan studi dokumentasi. Adapun

dari nsiko bisnis d emukan hlbunaan ncaahf ier hadap nilai perusahaan untuk janska panta.g (w3 sniesh, 2003) d maknai bahwa senakjn ti. ggr nsiko

ü Dalam satu periode (dari kiri ke kanan), EI semakin besar karena jari-jari atom semakin kecil sehingga gaya tarik inti terhadap elektron terluar semakin besar/kuat.

Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa struktur modal berpengaruh tidak signifikan terhadap nilai perusahaan, kare- na pada umumnya salah satu yang dilaku- kan oleh

ETIKA BISNIS TERHADAP PERSEPSI ETIS MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS DENGAN PROGRAM STUDI SEBAGAI VARIABEL MODERASI”. 1.2

Data yang diguna pakai dalam menentukan murid-murid yang akan terlibat dengan Program ini ialah berdasarkan analisis Peperiksaan Akhir Tahun 2011 (Tahun 3, dan 4) bagi