• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. KESIMPULAN DAN SARAN

4.4. Pedagogi Museum di Indonesia

4.4.4. Aplikasi dan Adaptasi Pedagogi Barat

Seperti yang sudah dibicarakan di Bab 2, pedagogi Barat kini sudah berkembang menjadi kerangka yang menerapkan beragam sudut pandang dan menitikberatkan fokusnya pada pengunjung. Tidak hanya bersifat dinamis dan multimakna, pedagogi Barat juga menekankan aspek interaksi dan partisipasi pengunjung di dalam penyajian informasinya. Sehingga pengalaman kunjungan museum menjadi pengalaman lengkap yang memaksimalkan berbagai indera dan mendorong kreatifitas berpikir pengunjung.

Dengan melihat pada konteks museum dan karakteristik pembelajaran masyarakat di Indonesia, pedagogi Barat bisa diaplikasikan di museum-museum di Indonesia, dengan mengambil contoh Museum Nasional. Namun aplikasinya tidak bisa sepenuhnya dijalankan mengingat adanya aspek-aspek lokal tertentu di Indonesia yang harus dijadikan pertimbangan.

xci

Dalam pengaplikasiannya juga tidak bisa semerta-merta dilakukan begitu saja, harus dilakukan secara bertahap dan perlahan-lahan. Sehingga adaptasi yang bisa dilakukan dalam mengaplikasikan pedagogi Barat di Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Dalam menyusun narasinya, museum bisa menonjolkan aspek kekinian dalam penyajian kebudayaan materi beserta informasinya.

b. Pedagogi di museum bisa mulai beralih dari yang bersifat didaktik menjadi discovery

learning yang menitikberatkan pada eksplorasi pengunjung terhadap koleksi dan

penyajian. Dengan begitu minat dan keinginan pengunjung yang senang berinteraksi dengan koleksi dan pengunjung lainnya dalam proses belajar mereka bisa terpenuhi. c. Merubah sudut pandang dalam melihat penyajian informasi dari yang didasarkan pada

objek atau koleksi (object-based) menjadi didasarkan pada nilai atau informasi

(value-based atau information-(value-based). Namun mengingat masyarakat Indonesia lebih tertarik

pada objek daripada apa yang diceritakan di dalam label, maka museum bisa merubah cara penyusunan label yang sudah ada dengan lebih inovatif dan lebih menarik agar bisa menangkap perhatian pengunjung.

d. Merubah sudut pandang kolonial terhadap kebudayaan materi dengan sedikit menghilangkan aspek eksotis dan mistis atau menambah konteks lain dalam penyajian di pameran. Hal ini karena masyarakat begitu tertarik dengan metode penyajian yang menonjolkan aspek eksotis dan mistis tersebut.

e. Menghubungkan isi penyajiannya dengan aspek personal masyarakat sebagai pengunjung, sehingga pembelajaran di museum bisa menjadi pengalaman yang berarti bagi pengunjung dan pengunjung akan lebih tertarik dan ingin mengetahui atau belajar lebih dalam.

f. Museum bisa berubah menjadi fasilitator dalam proses belajar pengunjung, bukan lagi sebagai sumber utama pengetahuan atau informasi. Museum juga bisa memfasilitasi pengunjung yang memiliki minat khusus terhadap koleksi atau penyajian tertentu di museum. Namun di sisi lain, masyarakat Indonesia masih membutuhkan figur ahli yang memiliki otoritas dalam memberikan pengetahuan di museum. Mereka melihat figur tersebut sebagai salah satu sumber pengetahuan dalam proses belajar mereka di museum, seperti contohnya kurator, arkeolog, antropolog, dan lain-lain. Maka jika museum ingin

menampilkan suara atau sudut pandang yang berbeda-beda terhadap suatu topik, hendaknya dilakukan secara perlahan-lahan dan bertahap.

g. Tingkat literasi teknologi masyarakat Indonesia masih rendah. Maka penggunaan sarana teknologi bisa diterapkan secara perlahan-lahan atau menggunakan sarana yang tidak begitu rumit dan canggih. Bisa juga dengan merancang konsep penyajian yang interaktif tanpa menggunakan teknologi digital tetapi dapat melibatkan partisipasi pengunjung. h. Bisa diterapkan konsep kegiatan edukasi yang berfokus pada proses belajar interaktif dan

yang dapat memenuhi kebutuhan pembelajaran setiap pengunjung yang berbeda-beda. Sehingga dalam satu pameran dapat menerapkan metode penyajian yang berbeda-beda. i. Masyarakat Indonesia belum siap untuk disajikan tema-tema pameran yang

non-konvensional atau yang membahas tentang isu-isu yang masih dianggap kontroversial. Maka penyajian sebuah tema yang dirasa akan cukup kontroversial atau bersifat politis harus dilakukan dengan perencanaan yang sangat matang. Dibutuhkan konsultasi secara kontinyu dan evaluasi yang harus dilakukan sebelum, ketika dan setelah pameran berlangsung.

j. Tetapi karena penerapan dan adaptasi tentunya akan membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit, maka tidak bisa dilakukan secara langsung dan cepat. Sumber daya disini berupa sumber daya manusia dan sumber daya keuangan. Penerapan juga terbatas karena adanya kontrol dari pemerintah dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Kecuali jika bisa dibuat kebijakan baru atau merubah kebijakan yang sudah ada.

xciii

BAB 5

Kesimpulan dan Saran

5.1. Kesimpulan

Pedagogi di museum melibatkan penciptaan narasi di museum dan bagaimana museum menyampaikan narasinya tersebut kepada pengunjung. Tidak adanya pedagogi di museum mengindikasikan kurangnya respon dan pemahaman museum terhadap perubahan konsep edukasi di luar museum. Banyak museum yang belum begitu memahami proses belajar pengunjungnya. Bentuk edukasi yang didaktik masih diterapkan di banyak museum saat ini. Potensi museum sebagai sumber daya pembelajaran sepanjang hayat masih belum diakui secara luas, dan maka dari itu, pedagogi sebagai dasar museum belum banyak didiskusikan dan diteliti.187

Setelah mengalami begitu banyak perubahan dan perkembangan selama beberapa dekade, pedagogi di museum Barat kini didasarkan pada berbagai cara untuk mengetahui, menginterpretasi dan penciptaan makna. Museum tidak lagi berperan sebagai sumber pengetahuan yang otoriter. Museum lebih berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar pengunjung. Hasil-hasil penelitian terkini juga telah membuktikan bahwa kunjungan museum turut melibatkan konteks personal dan interaksi sosial. Pembelajaran tidak hanya tentang akumulasi pengetahuan kognitif, tetapi juga seluruh pengalaman yang didapat pengunjung di museum. Pedagogi dalam era post-museum dibangun untuk memenuhi kebutuhan dan cara belajar yang berbeda-beda.

187

Dengan konteks dan karakteristiknya tersendiri, museum di negara-negara berkembang berjalan dalam alur yang berbeda dengan museum di negara-negara maju. Museum di negara berkembang seharusnya dapat menciptakan budaya museum sendiri sehingga dapat berfungsi dengan sesuai di tengah-tengah masyarakat. Nilai-nilai museum Barat atau internasional tidak selalu sesuai bagi museum di negara-negara berkembang. Beberapa faktor tertentu harus dipertimbangkan dan adaptasi khusus perlu dilakukan.

Dengan status poskolonialnya, Indonesia adalah sebuah negara yang masih memarjinalisasikan museum. Museum di Indonesia berjalan pada jalurnya sendiri, tanpa mengenali konteks sekitarnya. Warisan kolonialisme masih berakar dalam cara museum memfungsikan dirinya sebagai penerjemah budaya. Museum di Indonesia dilihat sebagai sebuah institusi yang memegang teguh warisan budaya, namun di sisi lain belum memaksimalkan potensinya sebagai sumber daya pembelajaran. Edukasi di museum di Indonesia hanya terbatas dalam mendukung pendidikan formal sekolah. Bahkan di Museum Nasional, sebagai museum terbesar dan salah satu museum tertua di Indonesia, tidak memiliki tujuan atau kerangka edukasi khusus yang seharusnya dapat memandu museum dalam melayani audiensnya. Tanpa pedagogi yang sesuai, Museum Nasional masih mempertahankan sudut pandang kolonial dalam membangun narasinya. Salah satu contoh adalah Galeri Etnografi. Kebudayaan Indonesia di dalam galeri disajikan dan ditampilkan menurut kerangka pengetahuan Barat. Kerangka tersebut kemudian secara tidak sadar tertanam dalam pengelolaan museum sehari-hari.

Kebudayaan materi dari seluruh Indonesia yang dianggap sebagai objek etnografi sebagian besar diperlakukan dalam konteks Barat, dimana Museum Nasional menekankan aspek perbedaannya dan menampilkannya sebagai seni. Tidaklah sesuai untuk menerapkan ‘eksotisasi’ dan penerapan tampilan seni pada objek etnografi di museum sendiri. Kedua pendekatan tersebut ternyata lebih menonjolkan aspek keragaman Indonesia dan mengecualikan aspek kesatuan. Maka jelas bahwa konstruksi etnografi dalam kerangka Barat tidak bisa diterapkan di museum di Indonesia dengan Museum Nasional sebagai contohnya. Lebih jauh lagi, strategi ‘eksotisasi’

xcv

sedang mengalami penilaian ulang dalam era multikultural seperti saat ini, konsep ‘diri’ (‘self’) dan ‘yang lain’ (‘other’) yang mendasari strategi tersebut tidak lagi berarti apa-apa.188

Dengan mempertahankan sudut pandang kolonial dan kurangnya pemahaman terhadap konteks sekitarnya, museum mengecualikan kebudayaan Indonesia modern masa kini. Sebagai salah satu galeri yang menyajikan seluruh kebudayaan Indonesia, Galeri Etnografi setidaknya dapat membahas tentang dinamikan kebudayaan Indonesia dan menyiratkan konsep kesatuan pada keberagaman. Namun sayangnya, galeri ini lebih menonjolkan konsep perbedaan. Sebagai tambahan, Galeri Etnografi juga tidak menampilkan sedikitnya perubahan dan perkembangan yang telah terjadi selama ini dalam kehidupan setiap kelompok etnis dan budaya di Indonesia.

Dengan melihat pedagogi Barat dan mempertimbangkan kondisi museum di Indonesia, nilai-nilai pedagogi Barat bisa diterapkan namun dengan melalui beberapa adaptasi mengingat Indonesia memiliki konteks dan karakteristiknya sendiri. Adaptasi tersebut kemudian bisa dijadikan dasar dalam menciptakan kerangka pedagogi yang sesuai untuk museum di Indonesia secara umum dan Museum Nasional secara khusus. Dalam penciptaan kerangka pedagogi tersebut, museum di Indonesia terlebih dahulu bisa menerapkan konsep idiom lokal189 yang nantinya tidak hanya bisa digunakan dalam konstruksi pedagogi tetapi juga dalam aspek pengelolaan museum lainnya. Idiom lokal ini memiliki ciri-ciri sendiri yang pada dasarnya berfokus pada segala sesuatu yang bersifat lokal. Maka ciri-ciri dari idiom lokal ini adalah:

1. Memperhatikan lingkungan sekitar termasuk masyarakat sekitar dan unsur-unsur lainnya. 2. Memberi konstribusi pada masyarakat lokal yang bisa berarti masyarakat Indonesia,

masyarakat daerah atau bahkan masyarakat sekitar museum. 3. Mengedepankan unsur lokal daerah sekitar.

4. Menggali potensi-potensi lokal dalam pengembangan museum. 5. Menyesuaikan perkembangan museum dengan unsur-unsur lokal.

188

Jan Nederveen Pieterse, Multiculturalism and Museums’, Gerard Corsane, Heritage, Museums and Galleries: An

Introductory Reader, hlm. 163-183. 189

Adaptasi dari konsep yang diciptakan oleh Corinne A. Kratz dan Ivan Karp untuk museum-museum agar lebih berfokus pada konstituen lokal dan memberi kontribusi pada masyarakat lokal. ‘Introduction’ Ivan Karp, et al.,

6. Menggunakan dan memanfaatkan sumber daya lokal.

Maka dengan menggunakan idiom lokal ini bisa dibangun kerangka pedagogi yang bisa diterapkan di museum di Indonesia. Kerangka pedagogi yang sesuai dimulai dari penciptaan narasi terlebih dahulu. Narasi yang diciptakan semestinya dapat menghilangkan kerangka pengetahuan Barat dalam melihat objek dan dalam menyajikan informasi di dalam pameran. Juga diupayakan agar dapat menghilangkan jarak atau gap antara yang melihat kebudayaan yaitu pengunjung dan yang memproduksi kebudayaan yaitu masyarakat di balik kebudayaan materi yang bersangkutan. Dalam setiap tema pameran juga sebaiknya dapat menonjolkan aspek kekinian yang relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini sehingga pengunjung dapat mengaitkan tema yang disajikan dengan konteks sehari-harinya. Dalam merencanakan pameran juga lebih baik menggunakan sudut pandang yang didasari oleh informasi atau nilai-nilai yang terkandung dalam objek sehingga tema yang akan disajikan dapat lebih luas dan menghadirkan tema-tema yang menarik. Dalam kaitannya dengan sudut pandang, narasi di museum bisa didasarkan juga dari sudut pandang yang sama sekali berbeda dan non-konvensional, dan bisa membahas tema-tema yang selama ini tertutup namun dengan cara yang halus. Sebagai tambahan, dalam penyajian yang dibuat relevansinya dengan masyarakat, sebaiknya dapat merepresentasikan seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.

Sedangkan dalam cara penyampaian narasi, beberapa pendekatan yang bisa diterapkan adalah:

1. Penyajian dengan menampilkan berbagai suara, tidak hanya dari kurator atau museum, tetapi juga dari pihak lain seperti mungkin ahli dan nara sumber dan masyarakat umum. Namun harus ditekankan juga jika ingin menggunakan berbagai suara dari berbagai pihak, bahwa yang ditampilkan itu bukan semata-mata pendapat museum tetapi pendapat orang lain yang berkaitan dengan tema yang disajikan dalam pameran.

2. Penyajian bisa dilakukan dengan menerapkan konsep partisipasi pengunjung dan interaksi sosial antar pengunjung tanpa menggunakan teknologi digital yang canggih dan rumit.

xcvii

3. Dalam cara penyampaian melalui berbagai instrumen seperti label atau mungkin video, bisa mencoba mengajak pengunjung untuk berpartisipasi dalam hal mengajukan pendapat, berpikir dan berdiskusi.

4. Memasukkan unsur-unsur yang disukai masyarakat dalam penyajian seperti ukuran yang besar, cerita rakyat dan mitos tapi dalam konteks yang sesuai.

5. Mengurangi kadar eksotis atau mistis. Tetapi karena tetap disukai masyarakat mungkin bisa dilakukan dalam konteks yang sesuai misalnya pada objek-objek seremonial.

Beberapa aspek dalam kerangka pedagogi tersebut mungkin adalah hal baru bagi pengunjung museum dan bahkan bagi pihak museum sendiri. Maka dari itu penerapannya harus dilakukan secara bertahap dan pelan juga dikarenakan beberapa faktor juga. Pertama adalah kurangnya sumber daya manusia dan dana pada saat ini. Kedua, hal tersebut tentunya berkaitan dengan kebijakan dan anggapan pemerintah terhadap museum. Jika memang ada kemungkinan untuk merevisi kebijakan tentang museum, kebudayaan dan pendidikan, atau membuat kebijakan baru, maka kedua sumber daya manusia dan dana tersebut bisa dimaksimalkan. Ketiga adalah kondisi masyarakat Indonesia sendiri. Selama ini mereka terbiasa melihat penyajian di pameran yang bersifat didaktif dan mereka memiliki anggapan datang ke museum untuk diberitahu tentang suatu ilmu. Bisa diperkirakan bahwa mereka mungkin akan terkejut jika disajikan informasi dan pengetahuan melalui pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya merangsang mereka untuk berpikir dan berdiskusi. Masyarakat juga belum terbiasa menggunakan sarana teknologi tinggi, sehingga sebaiknya menggunakan teknologi yang sederhana dulu dan perlahan-lahan bisa menerapkan teknologi yang lebih canggih seiring dengan meningkatnya literasi teknologi mereka. Terakhir adalah bahwa masyarakat di Indonesia belum terbiasa melihat tema-tema yang non-konvensional atau sedikit kontroversial di museum. Maka jika ingin menampilkan tema-tema khusus tertentu tersebut, bisa dilakukan dengan cara yang halus dan tidak begitu terang-terangan.

5.2. Saran

Sebagai tambahan, kesimpulan dari penelitian ini juga bisa menjadi saran bagi Museum Nasional dalam penciptaan pedagoginya yang akan bermuara pada keberhasilan pembelajaran

pengunjung di museum. Museum Nasional bisa melakukan penyesuaian di Galeri Etnografi berdasarkan hasil penelitian dari evaluasi pengalaman pengunjung. Museum Nasional juga bisa membangun ulang narasinya berdasarkan kerangka pedagogi yang sesuai khususnya pada Galeri Etnografi dengan mengikutsertakan dinamika kebudayaan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang ditampilkan di galeri. Narasi di galeri dan bahkan di museum seharusnya bisa lebih menekankan pada aspek identitas nasional daripada keberagaman budaya Indonesia. Hal pertama yang harus dilakukan oleh museum adalah studi pengunjung dan evaluasi pameran terlebih dahulu. Sehingga pihak museum mengetahui profil pengunjungnya dan pendapat serta keinginan mereka terhadap museum dan isinya. Dibutuhkan evaluasi pembelajaran pengunjung dengan metode didaktik yang diterapkan oleh Museum Nasional untuk mengetahui sejauh mana pengunjung memahami dan mendapatkan pengetahuan dari pameran.

Selain Museum Nasional, hasil penelitian ini juga bisa menjadi saran bagi instansi-instansi pemerintah terkait. Terutama dalam hal kebijakan tentang museum, kebudayaan dan pendidikan yang tampaknya belum menempatkan museum sebagai sumber daya pendidikan informal. Diharapkan pemerintah dapat merubah cara pandangnya terhadap museum dan kebudayaan, khususnya pada edukasi di museum. Satu hal yang sangat penting dalam konstruksi pedagogi di museum di Indonesia adalah dengan mengetahui bagaimana masyarakat melihat museum dan bagaimana mereka belajar di museum. Sehingga sangat dibutuhkan studi pengunjung dan evaluasi pembelajaran masyarakat di museum yang diharapkan bisa dilakukan di seluruh museum di Indonesia. Dengan begitu, setelah kita tahu profil mereka dan profil cara belajarnya, tujuan edukasi museum bisa dirancang untuk memenuhi kebutuhan museum. Sehingga museum benar-benar dapat berperan dalam kehidupan masyarakat melalui edukasi.

Sebagai penutup, penelitian ini adalah penelitian awal tentang pedagogi di museum di Indonesia. Seperti yang sudah disebutkan tadi bahwa penelitian tentang aspek pedagogi di museum masih kurang. Diharapkan akan ada penelitian lainnya tentang pedagogi di museum yang dapat merancang kerangka pedagogi secara lebih menyeluruh dan mendalam. Penelitian ini juga bisa membuka penelitian-penelitian lanjutan tentang konsep museum di Indonesia sebagai warisan kolonial Belanda yang bisa dikaji menggunakan pendekatan poskolonial. Sehingga baik

xcix

dalam tataran akademis dan praktis, gambaran utuh tentang karakteristik museum di Indonesia beserta masyarakatnya bisa dibuat.

Daftar Pustaka

Abt, Jeffrey. The Origins of the Public Museum, ed. Sharon MacDonald, A Companion to

Museum Studies. Oxford: Blackwell Publishing, 2006.

Alexander, Edward P. “The American Museum Chooses Education”, Curator vol. 31, no. 1. Walnut Creek: Altamira Press, 1988.

--- and Alexander, Mary. Museums In Motion, 2nd edition. Plymouth: Altamira Press, 2008.

American Association of Museums. America’s Museums: The Belmont Report. Washington DC: American Association of Museums, 1969.

---. Museums for a New Century. Washington DC: American Association of Museums, 1984.

---. Excellence and Equity: Education and the Public

Dimension of Museums. Washington DC: American Association of Museums, 1992.

Anderson, Benedict. Imagined Communities, revised edition. London: Verso, 2006.

Anderson, David. ‘Gradgrind Driving Queen Mab’s Chariot: What Museums Have (and Have Not) Learnt from Adult Education’, eds. Alan Chadwick and Annette Stannertt, Museums and

the Education of Adults. Leicester: National Institute for Adult Continuing Education, 1995.

---. A Common Wealth: Museums and Learning in the United Kingdom. London: Department of National Heritage, 1997.

Appadurai, Arjun and Carol Breckenbridge. ‘Museums Are Good To Think: Heritage on View in India’, ed. Donald Preziosi, Grasping the World: the Idea of the Museum. Hants: Ashgate, 2004.

ci

Aspinall, Edward. “Indonesia: Coping with Fragmentation”, ‘Disintegration or Nation-Building’, ed. Peter Burnell et al, Politics in Developing World, 2nd edition. Oxford: Oxford University Press, 2008.

Bennet, Tony. The Birth of the Museum: History, Theory, Politics. London: Routledge, 1995.

---. Pasts Beyond Memory: Evolution, Museums, Colonialism. London: Routledge, 2004.

Berger, Arthur Asa. Media Analysis Techniques, revised edition. London: Sage Publication, 1991.

Bhabha, Homi. ‘”Caliban Speaks to Prospero”: Cultural Identity and the Crisis of Representation’, ed. Philomena Mariani, Critical Fictions: the Politics of Imaginative Writing. Seattle: Bay Press, 1991.

Black, Graham. The Engaging Museum: Developing Museums for Visitor Involvement. London: Routledge, 2006.

Blaxter, Loraine et al. How to Research, 2nd edition. Buckingham: Open University Press, 2001.

Burnell, Peter and Vicky Randall eds. ‘Introduction’, Politics in the Developing World , 2nd

edition. Oxford: Oxford University Press, 2008.

Cameron, Duncan. ‘The Museum, a Temple or the Forum?’, Curator, vol. 14 no. 1. Walnut Creek: Altamira Press, 1995.

Chambers, Marlene. ‘Real Pearls at the Postmodern Museum Potluck: Constructivism and Inclusiveness’, ed. Bonnie Pitman, Presence of Mind: Museums and the Spirit of Learning. Washington D.C.: American Association of Museums, 1999.

Clarke, Alan and Ruth Dawson, Evaluation Research: An Introduction to Principles, Methods

and Practice. London: Sage Publications, 1999.

Clifford, James. ‘Northwest Coast Museums: Travel Reflections’, eds. Ivan Karp and Steven D Lavine, Exhibiting Cultures: The Poetics and Politics of Museum Display. Washington: Smithsonian Institution Press, 1991.

Concise Oxford English Dictionary, 11th edition. Oxford: Oxford University Press, 2008.

Corsane, Gerard. ‘Introduction’, ed. Gerard Corsane, Heritage, Museums and Galleries: An

Introductory Reader. London: Routledge, 2005.

Crinson, Mark. ‘Nation-Building, Collecting and the Politics of Display: the National Museum, Ghana’, Curator, vol. 13 no. 2 (2001). 5 November 2008.

http://jhc.oxfordjournals.org.ezproxy.lib.le.ac.uk/cgi/reprint/13/2/231,

Denscombe, Martyn. The Good Research Guide: For Small Scale Social Research Projects. Buckingham: Open University Press, 1998.

Denzin, Norman S and Lincoln Yvonne S. ‘Introduction: Entering the Field of Qualitative Research’, eds. Denzin, Norman S. et al., Collecting and Interpreting Qualitative Materials. London: Sage Publications, 1998.

Diamond, Judy. Practical Evaluation Guide: Tools for Museums and Other Informal

ciii

Direktorat Museum. Pedoman Pengelolaan Museum. Jakarta: Direktorat Jendral Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2007.

Falk, John H. and Lynn D Dierking, Learning From Museums. Walnut Creek: Altamira Press, 2000.

Giroux, Henry. Border Crossings: Cultural Workers and the Politics of Education. London: Routledge, 1992.

Gold, Raymond L. ‘Roles In Sociological Field Observations’, eds. George McCall, and J.L Simmons, Issues In Participant Observation: A Text and A Reader. Reading, Massachusetts: Addison-Wesley, 1969.

Golding, Viv. ‘Learning At the Museum Frontiers: Democracy, Identity and Difference’, in ed. Simon J. Knell, et al., Museum Revolutions: How Museums Change and Are Changed. London: Routledge, 2007.

Goode, George Brown.’Relationships and Responsibilities of Museums’, ed. Hugh G. Genoways and Mary Anne Andrei, Museum Origins: Readings in Early Museum History and Philosophy. Walnut Creek: Left Coast Press, 2008.

Hall, Stuart. ‘Cultural Identity and Diaspora’, ed. Jonathan Rutherford, Identity: Community,

Culture and Difference. London: Lawrence and Wishart, 1990.

Hein, George E. Learning in the Museums. New York: Routledge, 1998.

--- and Mary Alexander. Museums: Places of Learning. Washington: American Association of Museums, 1998.

---. ‘Museum Education’, ed. Sharon MacDonald, A Companion to Museum

Studies. Oxford: Blackwell Publishing, 2006.

Hooper-Greenhill, Eilean. Museum and Gallery Education. Leicester: Leicester University Press, 1991.

---. Museums and the Shaping of Knowledge. London: Routledge, 1992.

---. “Museum Learners as Active Post-Modernists: Contextualising Constructivism”, Journal of Education in Museum no. 18. Group for Education in Museums,

Dokumen terkait