• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi di Bidang Kehutanan dengan Arc GIS

Dalam dokumen PENGANTAR ANALISIS SPASIAL DENGAN ArcGIS (Halaman 91-128)

APLIKASI DI BIDANG KEHUTANAN

DENGAN ARC GIS

Penggunaan Arc GIS sangat membantu pekerjaan. Beberapa contoh yang telah diaplikasikan oleh penulis, diantaranya :

1. Penggunaan Arc GIS dalam menentukan Indeks restorasi landscape hutan tropis terdegradasi DAS Batang Toru Sumatera Utara

Tulisan ini merupakan bagian dari desertasi penulis yang didukung oleh PhD Grant SEAMEO-BIOTROP 2013 dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas Beasiswa Program Doktor di Institut Pertanian Bogor, sebagai berikut:

Pendahuluan

Degradasi hutan dan deforestasi berdampak pada kerusakan landscape hutan. Kerusakan landscape hutan tropis di Indonesia menyebabkan lahan terdegradasi. Degradasi lahan ini memunculkan lahan-lahan kritis. Pada tahun 2010, lahan kritis Indonesia meningkat menjadi 81.664.294,90 ha, lebih besar dibanding tahun 2006 sebesar 77.806.880,78 ha. Sebagian lahan kritis tersebut, seluas 2.753.596,70 ha berada di Sumatera Utara (Kementerian Kehutanan, 2010). DAS Batang Toru di Sumatera Utara memiliki lahan kritis seluas 13.000 ha pada tahun 2005, dan bertambah menjadi 17.000 ha pada tahun 2009. Kondisi ini menurunkan fungsi ekosistem hutan.

Peningkatan dan pengembalian fungsi ekosistem hutan dapat melalui rehabilitasi dan restorasi hutan. Restorasi hutan dapat dilaksanakan dengan pendekatan restorasi landscape hutan yaitu kegiatan restorasi hutan untuk mendapatkan keseimbangan fungsi konservasi dan kebutuhan masyarakat (McCraken et al.

2007), integritas fungsi ekologis dan peningkatan kesejahteraan manusia (Mansourian et al. 2005) di area yang terdeforestasi dan

landscape terdegradasi. Rehabilitasi hutan dan lahan yang telah dilakukan belum sepenuhnya berhasil dalam konteks fungsionalitas eksosistem hutan. Karena umumnya restorasi hanya sebagai persyaratan dalam kegiatan reklamasi pertambangan, sehingga pelaksanaannya hanya tapak per tapak (Ruiz et a.l 2005). Beberapa

penelitian mengukur keberhasilan restorasi (reklamasi tambang) berdasarkan indikator-indikator ekologis tapak restorasi. Puspaningsih (2009) menemukan kanopi indeks untuk menentukan keberhasilan restorasi. Pendekatan kesuburan tanah dapat digunakan untuk mengetahui indikator keberhasilan restorasi (Rohyani, 2012). Pada skala lebih luas diperlukan perubahan perencanaan dari restorasi tapak per tapak menjadi berbasis landscape (Lamb 2005). Restorasi diawali dari area dengan fragmentasi yang sangat merusak dan jumlah penduduk besar (Bright et al. 2011). Komponen penting dalam restorasi landscape

adalah identifikasi tapak potensial untuk restorasi dan aspeks restorasi dalam konteks spasial dan temporal. Penentuan prioritas tapak restorasi menjadi penting untuk menjamin keberhasilan restorasi serta efisiensi dan kesinambungan proyek restorasi. Oleh karena itu diperlukan suatu nilai yang menyatakan tingkat prioritas tapak yang harus direstorasi terlebih dahulu. Penelitian ini mendesain indeks restorasi yang menyatakan nilai yang dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu tapak hutan perlu direstorasi atau tidak dan dari mana restorasi harus dimulai dalam sebuah ekosistem hutan.

Metode

Bahan dan alat

Data-data yang digunakan dalam penelitian adalah citra satelit landsat tahun 1989, 2001 dan 2013 path/raw 128/059, peta unit lahan, peta kontur, data vegetasi, data sifat fisik dan kimia tanah, dan bentuk erosi di lapangan. Kegiatan survey lapangan menggunakan GPS, haga, phi band, bor tanah, dan ring tanah. Sedangkan alat yang digunakan untuk menganalisis data adalah ENVI 4.5 untuk interpretasi citra satelit, arc gis untuk analisis spasial, fragstat untuk membangkitkan metrik landscape, TAL (Texture AutoLookup) untuk menentukan tekstur tanah, serta excel dan SPSS untuk analisis statistik.

Pengumpulan data lapangan

Pada kegiatan pengambilan data lapangan, setiap titik pengamatan dibuat plot contoh berbentuk segi empat dengan ukuran 50 m x 50 m terbagi ke dalam 4 kuadran ukuran 25 m x 25 m. Data vegetasi dikumpulkan dari plot contoh adalah pohon (plot 25 m x 25 m), tiang (plot 10 m x 10 m), pancang (5 m x 5 m) dan semai (plot 2 x 2 m). Pengambilan sampel tanah untuk pengukuran bobot isi (bulk density) dilakukan di 54 plot contoh (kedalaman 10 –

20 cm) dan untuk pengukuran sifat kimia dan fisika tanah dilakukan pada 70 plot contoh (kedalaman 10-40 cm).

Analisis faktor indeks

a. Kerusakan hutan

Tingkat degradasi hutan ditentukan menggunakan nilai NDVI dan MSAVI. Persamaan regresi linear disusun dengan peubah bebas NDVI dan MSAVI dan peubah tak bebasnya kerapatan pohon (Wen et al. 2010.). Selanjutnya dugaan kerapatan

tegakan dikelaskan dan dikonversi menjadi indeks degradasi landscape hutan menggunakan persamaan [9] (Jaya et al.

2007). Skor total dihitung menggunakan persamaan [1]. Bobot ditentukan berdasarkan koefisien regresi hubungan antara kerapatan vegetasi dan variabel bebas.

  n i i i f w W 1 . ; [1] Keterangan :

W = skor total faktor , fi = bobot sub factor ke i, dan wi = skor

sub faktor ke i b. Fragmentasi hutan

Peta tutupan lahan dianalisis menggunakan Fragstat 3.3 menghasilkan metrik landscape. Metric landscape yang digunakan adalah area, number of patch, patch density, proximity dan contiguity (McGargical 1995; Fahrig 2003; Li et al. 2009; Sing et al. 2010). Masing-masing metrik landscape

diberi skor berdasarkan skala Likert (Tabel 1). Skor fragmentasi merupakan penjumlahan masing-masing skor metriks landscape (sub faktor fragmentasi) menggunakan persamaan [1]. Bobot ditentukan menggunakan analisis PCA

Adapun masing-masing metrik landscape dirumuskan sebagai berikut : a.       10000 1 ij a AREA , [2] aij = area (m2) patch ij b. *

10000

 

100 A N PD , [3]

N = jumlah patch hutan, dan A = luas landscape hutan.

c. 1 1 1               

V a c CONTIG IJ z r ijr [4]

CIJ = nilai contiguity pixel r dalam patch ke ij;

V = jumlah nilai dalam piksel 3 x 3,

aij = area patch iji dalam sejumlah sel tertentu

d.

n g ijg ijg

b

a

PROX

1 2 [5]

aijs = area (m2) patchijs dalam lingkungan sekitar (m)

patch ij

hijs = jarak (m) antara patchijs dan patch ijs, berdasarkan

pada jarak tepian ke tepian patch, dihitung dari pusat sel ke pusat sel lainnya

c. Konektivity hutan

Konektivity ditentukan berdasarkan nilai metrik landscape. Metrik landscape yang digunakan adalah connectan dan radius of gyration (McGargical 1995, 1999, 2002; Fahrig 2003; Li et al. 2009; Sing et al.2010). Skor konektivity merupakan

penjumlahan skor metrik landscape (sub faktor konektivity) menggunakan persamaan [1], sedangkan bobot ditentukan melalui analiis PCA.

Adapun masing-masing metrik dirumuskan sebagai berikut : a.

(100)

2

1

_

i i n k j ijk

n

n

c

class

connect

[6]

cijk = gabungan antara patch j dan k (0 = tidak

tergabung/unjoined, 1 = tergabung/ joined) yang bersesuaian tipenya (i), berdasarkan pada ambang jarak yang diberikan

ni = jumlah patch dalam landscape yang bersesuian tipe

patch nya b.

  z r ijr z h GYRATE 1 [7]

hijr = jarak (m) antara selijr [terletak dalam patch ij] dan

pusat patch ij (rata-rata), berbasis jarak pusat sel ke

pusat sel

z = jumlah sel dalam patch ij

c. Degradasi lahan

Degradasi lahan ditentukan berdasarkan indikator tipe erosi yang terjadi dan karakteristik kimia dan fisika tanah (Riwandi dan Handayaningsih 2011; Puslit Tanah 2005). Masing-masing indikator diberi skor menggunakan skala Likert (Tabel 7.1). Total skor indeks degradasi lahan ditentukan menggunakan persamaan [1], sedangkan bobot ditentukan menggunakan analisis PCA.

Tabel 7.1 Kelas dan skor setiap faktor penyusun indeks

Sub faktor Kode Kelas Skor Sub faktor Kode Kelas Skor Connectan CONN <20 20 – 40 40 – 60 60 – 80 >80 5 4 3 2 1 Patch density PD < 205 205 –245 245- 285 285-325 >325 1 2 3 4 5 Radius of gyration GYRATE <200 200-400 400-600 600 – 800 >800 1 2 3 4 5 Proximity Proximity <554 555-1233 1234-2551 2551-3270 >3270 5 4 3 2 1 Area CA < 314 314- 628 628-943 943– 1258 > 1258 1 2 3 4 5 Contiguity Contig <0.2 0.2-0.4 0.4-0.6 0.6-0.8 >0.8 5 4 3 2 1 Klas tektur tanaha Debu liat Sangat tinggi 5 Kepadatan isic > 1,9 Sangat tinggi 5 Pasir

berdebu Tinggi 4 1,6 - 1,9 Tinggi 4

Liat

berpasir Sedang 3 1,3 - 1,6 Sedang 3

Liat

berdebu Rendah 2 1,0-1,3 Rendah 2

Lempung Sangat rendah 1 <1 Sangat rendah 1 C organikb <1 Sangat

tinggi 5 Tipe erosid

Gully besar, longsor

Sangat

tinggi 5

1,00 – 2,00 Tinggi 4 Gully Tinggi 4

2,01 – 3,00 Sedang 3 Rill Sedang 3

3,01 – 5,00 Rendah 2 Sheet Rendah 2 >5,00

Sangat

rendah 1 No

Sangat

rendah 1

Keterangan (remark) : a Bierman 2007dalam Riwandi et al. (2011), b Balitbang

Tanah , (2005), c Handreck & Black (1984); Hunt & Gikes

(1992) d Riwandi & Handayani (2012), dimodifikasi

Rescaling skor

Skor masing-masing indeks faktor distandarkan nilainya menggunakan persamaan [8] Jaya et al 2007. Hal ini dilakukan karena skala data yang digunakan berbeda-beda antara faktor.

𝐼𝑛𝑑_𝑓𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟= 𝑠𝑐𝑜𝑟𝑒𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 −𝑠𝑐𝑜𝑟𝑒𝑚𝑖𝑛

𝑠𝑐𝑜𝑟𝑒𝑡𝑜𝑡 −𝑚𝑎𝑥 −𝑠𝑐𝑜𝑟𝑒𝑡𝑜𝑡 −𝑚𝑖𝑛 𝑖𝑛𝑑_𝑓𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟𝑚𝑎𝑥 −

Notes :

Ind_faktor = nilai indeks faktor Scoretotal = skor total sebagai input

Scoretot- min = total skor minimum

Scoretot-max = total skor maksimum

Ind_FLC max = indeks faktor maksimum

Ind_FLC min = indeks faktor minimum Regresi indeks faktor

Indeks faktor merupakan hasil rescaling skor total faktor. Selanjutnya dilakukan analisis regresi dengan peubah tak bebas indeks faktor dan peubah bebasnya adalah variabel indeks. Persamaan regresi y = a + b x, dimana y adalah indeks faktor dan x adalah peubah tak bebas (variabel indeks faktor).

Model indeks restorasi

Indeks restorasi (z) dibangun menggunakan 4 indeks faktor yang diformulasikan sebagai berikut :

z = f (y1, y2, y3, y4),

dimana :

z = indeks restorasi, y1 = indeks kerusakan hutan, y2 = indeks

fragmentasi, y3 = indeks konektivity, dan y4 = indeks degradasi

lahan

Analisis PCA dilakukan untuk menentukan bobot yang digunakan menyusun persamaan indeks restorasi. Beberapa model persamaan disusun berdasarkan eigent value. Validasi model menggunakan uji

beda nilai tengah (Z-mean test). Selanjutnya model diuji akurasinya

menggunakan Overall acuracy.

Hasil dan pembahasan

Indeks degradasi hutan

Degradasi hutan dinyatakan dengan indeks degradasi hutan. Kerapatan vegetasi merupakan indikator tingkat degradasi hutan. Degradasi hutan ditentukan menggunakan indeks vegetasi (Wen et al. 2010), karena adanya korelasi antara kerapatan pohon dengan

NDVI dan MSAVI. Indeks degradasi hutan diperoleh dari skor kerapatan pohon, yang dikonversi menjadi indeks degradasi menggunakan persamaan 1. Total skor kerapatan pohon

dirumuskan w1 = 0.740 f1 + 0.260 f2. Sedangkan indeks degradasi

hutan dirumuskan y2 = 0.938 - 0.600 x1 + 0.049 x2, dimana x1 adalah

nilai NDVI dan x2 adalah nilai MSAVI. Jumlah atau kerapatan pohon

sangat penting dalam konteks penyediaan habitat bagi hidupan liar, karena mempengaruhi kepadatan species (David et al. 2004).

Kerapatan tegakan dan luas bidang dasar di daerah penelitian relatif kecil jika dibandingkan dengan hutan di dataran rendah Sumatra yang mencapai 200 ind/ha (Whitten et al. 1987). Hutan

mengalami kerusakan, yang diindikasikan juga oleh nilai law frequency menunjukkan ekosistem hutan terganggu.

Indeks fragmentasi

Perbandingan nilai metrik landscape menunjukkan fragmentasi cenderung meningkat dari tahun 1989 ke tahun 2013. Sub DAS Sarula mengalami peningkatan fragmentasi signifikan dibandingkan dengan sub DAS lainnya. Peningkatkan fragmentasi diindikasikan oleh peningkatan jumlah patch serta penurunan

contiguity dan proximity (Gambar 7.1). Penurunan proximity dan

contiguity menunjukkan adanya peningkatan keterisolasian patch hutan. Faktor aktifitas manusia mempengaruhi fragmentasi landscape hutan (Gaspari dan Gran 2009). Adanya aksesibilitas berupa jalan menarik manusia membuka hutan untuk pertanian dan pemukiman sehingga menaikan fragmentasi (Simone 2010). Hutan yang tersisa umumnya mengelompok di bukit dan pegunungan (Zhang et al. 2010). Lokasi hutan yang sulit diakses dan

berada pada kelerengan tinggi menyebabkan potensi gangguannya kecil (Cabral et al. 2007).

Tingkat fragmentasi landscape hutan dinyatakan dengan indeks fragmentasi. Indeks fragmentasi hutan ditentukan berdasarkan skor area (f3), path density (f3), proximity (f5) dan

contiguity (f6). Skor total fragmentasi dirumuskan w2 = 0,283 f3 +

0,272 f4 + 0,222 f5 dan 0,248 f6, sedangkan indeks fragmentasi

dirumuskan y2 = 0,999 + 1,983 10-5 x3 + 0,004 x4 - 1.111 10-5 x5 -

0,675 x6; dimana area (x3), path density (x4), proximity (x5) dan

contiguity (x6). .

Gambar 7.1 Patch density hutan (a), contiguity index (b), dan

proximity index (c) masing-masing sub DAS di Batang Toru

Indeks konektivity

Metrik landscape hutan menunjukkan konektivity cenderung menurun dari tahun 1989 ke tahun 2013. Sub DAS Sarula mengalami penurunan konektivity lebih cepat dibandingkan dengan sub DAS lainny (Gambar 7.2). Penurunan konektivity antara patch hutan menghambat pergerakan spesies. Kondisi ini mengancam kelestarian spesies karena konektivitas sangat penting dalam konservasi spesies (Van Looy et al. 2013). Indeks

konektivitas tinggi memungkinkan pergerakan dan penyebaran species (Rouger et al. 2006).

Tingkat konektivity landscape hutan dinyatakan menggunakan indeks konektivity. Indeks konektivity landscape hutan dapat menggunakan skor radius of gyration (f6), dan

connectan (f7). Skor total indeks konektvity dirumuskan w3 = 0,5 f6

+ 0,5 f7, sedangkan indeks konektivity nya adalah y3 = -0,009 +

3,059 10-5 x7 + 0,286 x6; dimana x6 adalah radius ofgyration dan x7

adalah connectan.

Gambar 7.2Nilai metriks landscape radius of gyration (a) dan connectan (b) selama 1989 – 2013 a. b. c. d. (b) (c) e. f.

Indeks degradasi lahan

Tingkat degradasi lahan dinyatakan dalam indeks degradasi lahan. Indeks degradasi lahan ditentukan menggunakan skor Corganik (f8), skor tekstur tanah (f9), dan type erosi (f11). Skor

indeks degradasi lahan dirumuskan w4 = 0.37 f8 + 0.24 f9 dan 0.39

f11. Indeks degradasi lahan merupakan hasil rescaling skor total

degradasi lahan. Kerusakan hutan dan konversi hutan memunculkan lahan-lahan terdegradasi. Degradasi lahan ini dicirikan oleh kandungan organik rendah, bobot isi tinggi, dan tekstur cenderung kasar serta indikator adanya lapangan erosi. Tipe tutupan lahan hutan dan kebun campuran relatif lebih rendah tingkat degradasi lahannya. Degradasi lahan tertinggi berada di tipe tutupan pertanian lahan kering campur semak (Gambar 7.3-a). Gambar 7.3-b menunjukkan indeks degradasi lahan di landscape hutan, dimana indeks paling tinggi dimiliki oleh unit lahan hill, serta fans dan lahar. Indeks terendah degradasi lahan di landscape hutan

berada di unit lahan mountain dan alluvial.

Gambar 7.3 Indeks degradasi lahan berdasarkan tipe tutupan lahan (a) dan indeks degradasi lahan hutan pada berbagai unit lahan

Indeks restorasi

Indeks restorasi didesain menggunakan 4 indeks faktor. Contoh acak dipilih untuk menyusun persamaan indeks restorasi. Untuk mengetahui kolinearitas antar faktor indeks maka contoh yang dipilih secara random dianalisis kolinearitasnya. Uji VIF (varian inflation factor) menunjukkan bahwa indeks fragmentasi

(y2) dan indeks konektivity (y3) memiliki kolinearitas. Uji VIF tanpa

melibatkan salah satu dari y2 dan y3 menunjukkan tidak ada

kolinearitas antar variabel. Berdasarkan kondisi ini, model indeks restorasi dibangun oleh variable y1, y2, dan y4 serta y1 y3 y4.

Persamaan indeks restorasi yang dihasilkan adalah :

eq1 : z1 = 0,156 y1 + 0,462 y2 + 0,382 y4 eq2 : z2 = 0,199 y1 + 0,394 y3 + 0,408 y4 eq3 : z3= 0,547 y2 + 0,543 y4 eq4 : z4= 0,491 y3 + 0,509 y4 eq5 : z5= y2 eq6 : z6= y4

Persamaan di atas divalidasi menggunakan uji beda nilai tengah (uji Z ). Uji Z menguji hipotesis nol (Ho : δ = 0), tidak ada perbedaan nilai tengah antara model dan populasi, dan (H1 : δ ≠ 0) yang menyatakan ada perbedaan nilai tengah model dan populasi. Hasil uji Z menunjukkan semua persamaan diterima sebagai persamaan indeks restorasi landscape hutan karena nilai Zhitung

lebih kecil dibandingkan dengan nilai Z kritisnya (Tabel 7.2). Persamaan indeks restorasi terdiri atas persamaan yang menggunakan 3 indeks faktor (2 persamaan), 2 indeks faktor (2 persamaan) dan 1 indeks faktor (2 persamaan).

Tabel 7.2 Hasil uji beda nilai tengah persamaan indeks restorasi

Model Z hit Ztabel Keputusan

z1= 0,156 y1 + 0,462 y2 + 0,382 y4 -0,105 1,960 Terima Ho z2= 0,199 y1 + 0,394 y3 + 0,408 y4 -0,070 1,960 Terima Ho z3= 0,547 y2 + 0,543 y4 -0,132 1,960 Terima Ho z4= 0,491 y3 + 0,509 y4 0,219 1,960 Terima Ho z5= y2 -0,072 1,960 Terima Ho z6= y4 0,488 1,960 Terima Ho

Berdasarkan model indeks restorasi dibuat kelas indeks restorasi yaitu 5 kelas dan 3 kelas. Untuk menentukan persamaan yang lebih baik, dilakukan uji akurasi. Confusion matrix antara indeks restorasi model dan data yang tidak digunakan untuk membangun model, menunjukkan eq1 (z1) memiliki akurasi

tertinggi, sedangkan eq5(z5) memiliki akurasi terendah (Tabel 7.3)

pada 5 kelas indeks restorasi.

Tabel 7.3 Akurasi persamaan indeks restorasi yang dikelompokkan ke dalam 5 kelas dan 3 kelas

Model Akurasi 5 kelas 3 kelas z1 = 0,156 y1 + 0,462 y2 + 0,382 y4 20,46 56,06 Z2 = 0,199 y1 + 0,394 y3 + 0,408 y4 46,86 51,17 Z3= 0,547 y2 + 0,543 y4 21,36 56,57 z4= 0,491 y3 + 0,509 y4 21,37 56,32 z5= y2 44,95 54,10 z6= y4 48,62 53,11

Persamaan indeks restorasi yang memiliki akurasi paling besar dipilih sebagai persamaan yang digunakan untuk membuat peta indeks restorasi landscape hutan tropis terdegradasi di DAS Batang Toru (Gambar 7.4). Eq. z3 dan eq. z4 disusun oleh 2 faktor

yang masing-masing adalah indeks fragmentasi dan indeks degradasi lahan serta indeks konektivity dan indeks degradasi lahan. Peta indeks restorasi menunjukkan sebagian besar landscape hutan yang tersisa termasuk kategori indeks restorasi sedang. Sementara itu, penutupan lahan lainnya memiliki indeks restorasi lebih tinggi.

Gambar 7.4. Peta indeks restorasi landscape hutan berdasarkan eq3

(a) dan eq4 (b)

Gambar 7.5 menunjukkan bahwa landscape hutan yang memiliki tingkat fragmentasi tinggi memiliki indeks restorasi relatif tinggi. Sebagaimana ditujukkan Gambar 7.5-b, fragmentasi landscape hutan sub DAS Sarula yang lebih rendah dibandingkan dengan sub DAS Puli, sehingga sub DAS Puli memiliki indeks restorasi yang lebih tinggi (Gambar 7.5 -a). Sebagian hutan di sub DAS Batang Toru Hilir termasuk ke dalam indeks restorasi tinggi (Gambar 7.5 -e) karena fragmentasi tinggi (Gambar 7.5 -f), dan sebagian termasuk indeks restorasi rendah (Gambar 7.5 -e) karena indeks fragmentasinya rendah (Gambar 7.5- f).

Gambar 7.5 Peta indeks restorasi dan peta fragmentasi landscape hutan

Indeks fragmentasi dan indeks konektivity memiliki kolinearitas artinya bisa saling menggantikan. Fragmentasi dan konektivity merupakan indikator penting dalam fungsionalitas ekosistem hutan. Kehilangan konektivitas alami dari sebuah ekosistem merupakan ancaman terbesar dalam penyebaran

(a) (b) (c) (d) (e) (f) Sarula Puli Sarula Bt Toru Hillir

hidupan liar dan kemampuan hidup serta konservasi keanekaragaman hayati pada umumnya. Menurut Saura (2006) kondisi ini memerlukan perhatian lebih serius terutama pada peningkatan konektivitas dalam perencanaan landscape dan

konservasi habitat. Pemeliharaan dan restorasi konektivitas

landscape sangat diperlukan (Saura 2011), karena konektivitas

landscape dapat memfasilitasi pergerakan organisme, pertukaran genetik dan aliran material ekologi yang lain (Crook dan Sanjayan 2006. Kebutuhan akan habitat bagi hidupan liar endemik merupakan kunci utama dalam konservasi keanekaragaman hayati dan stabilitas serta integritas ekosistem alami (Taylor et al. 1993;

Collinge 1998). Oleh karena itu, konektivitas menjadi pertimbangan dalam perencanaan konservasi dan analisis perubahan lanskap. Konektivity dan fragmentasi menjadi indeks yang relatif penting, sehingga pertimbangan peningkatan konektivity dan penurunan fragmentasi menjadi prioritas dalam restorasi landscape hutan. Secara ekologi, konektivity menjadi faktor penting dalam aliran dan siklus materi ekosistem hutan. Di sub DAS Puli, sebagian besar landscape hutan termasuk ke dalam area indeks restorasi sedang. Indeks restorasi ini menunjukkan sub DAS Puli menjadi prioritas restorasi landscape hutan Batang Toru. Melalui restorasi landscape hutan sub DAS Puli, akan mendapatkan keseluruhan kondisi DAS Batang Toru karena lokasinya berada di bagian atas DAS.

Kesimpulan

Fragmentasi landscape hutan dari tahun 1989 2013 cenderung meningkat. Fragmentasi hutan menurunkan sumberdaya biologi yang ditunjukkan luas bidang dasar, kerapatan, dan indeks diversitas rendah. Kerusakan hutan telah menurunkan konektivity landscape hutan selama 1989 sampai 2013. Konektivity dan fragmentasi memiliki pengaruh lebih besar dalam penentuan indeks restorasi Indeks restorasi landscape hutan DAS Batang Toru dikelompokan ke dalam 5 kelas yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Sub DAS Puli memiliki indeks restorasi relatif tinggi sehinga menjadi prioritas dalam proyek restorasi.

2. Penggunaan Arc GIS untuk Pemetaan biomassa Eucalyptus hybrid

Tulisan ini merupakan bagian dari Laporan Akhir Hibah Bersaing Program Desentralisasi Adaptasi Dan Mitigasi Terhadap Pemanasan Global Pada Hutan Tanaman Industri Eucalyptus Di Sumatera Utara yang dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, Sesuai dengan Surat Penugasan Dalam Rangka Pelaksanaan Penelitian Program Hibah Bersaing Nomor : 1607/UN5.1.R/KEU/2012, tanggal 21 Februari 2012, sebagai berikut:

Pendahuluan

Sebagai upaya meminimumkan dampak dari perubahan iklim ini, diperlukan usaha menstabilkan konsentarasi C02 di atmosfir. Berkaitan dengan kemampuan hutan menyerap CO2 dari

udara dan kemudian menyimpannya dalam tegakan hutan sebagai bahan organik dalam bentuk biomassa tanaman, maka potensi hutan dalam penyerapan karbon dapat diduga melalui perhitungan biomassa tanaman, karena setengah biomassa terdiri atas carbon. Dalam rangka pemanfaatan fungsi hutan sebagai penyerap karbon melalui sebuah kerangka carbon trade sangat diperlukan upaya

mengkuantifikasi berapa besar karbon yang dapat diserap dan disimpan (C-stock) oleh hutan. Indonesia memiliki HTI dengan luasan yang cukup luas, sehingga hutan eucalyptus di Indonesia memiliki potensi simpanan biomassa yang besar pula. Oleh sebab itu, penelitian pendugaan biomassa eucalyptus melalui distribusi spasial ini perlu dilakukan untuk menyediakan salah satu data dalam mendukung besarnya potensi biomassa hutan Indonesia, khususnya hutan tanaman E. Hibrida.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan di Hutan Tanaman Industri padasalah satu HTIdiSumut sektor Aek Nauli, Medan Dan Laboratorium Manajemen Hutan Terpadu Program Studi Kehutanan USU. Pada penelitian ini, hanya diteliti untuk dua estate saja yaitu estate A dan estate B sebagai estate terluas pada HTI sektor Aek Nauli ini. Estate A memiliki 208 kompartemen sedangkan estate B memiliki 291 kompartemen. Kegiatan penelitian tahun kedua difokuskan pada

perolehan peta untuk mengetahui distribusi spasial simpanan biomassa dan karbon di atas tanah tegakan E. hibrida.

A. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian tahun kedua adalah :

Global Positioning System (GPS), Kamera, perangkat keras

(hardware) yang digunakan adalah berupa seperangkat personal computer (PC), perangkat lunak (software) yang digunakan yaitu

ArcView GIS 3, Pita ukur diameter, Hypsometer, dan Kompas .

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan Eucalyptus hybrid, Peta kawasan Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari (TPL) Tbk sektor Aek Nauli, Peta Administrasi Kabupaten Simalungun Sumatera Utara dan Model Alometrik

Carbon Stock tegakan Eucalyptus hybrid hasil penelitian tahun

pertama.

B. Pembuatan Peta Potensi Biomassa

B.1 Penentuan sample kompartemen dan Ground Check Titik Koordinat

Banyaknya sampel yang diteliti dengan menggunakan Intensitas Sampling 10% dan dengan metode Purposive sampling

(sampling bertujuan) berdasarkan banyaknya kompartemen pada estate A dan B wilayah penelitian. Metode purposive sampling

dilakukan dengan memproporsikan jumlah kompartemen yang akan dijadikan sampel pada estate A dan estate B dimana jumlah kompartemen pada masing-masing estate berbeda. Pengambilan titik koordinat untuk ground check dilakukan terhadap kompartemen pohon Eucalyptus yang telah dipilih dengan penentuan sampel di atas. Ground check dimaksudkan untuk

mengetahui apakah koordinat kompartemen sesuai dengan keberadaan kompartemen tersebut di lapangan.

B.2 Perhitungan Nilai Biomassa

Perhitungan nilai biomassa dilakukan pada setiap kompartemen. Jenis ekaliptus yang ada di setiap kompartemen berbeda sehingga untuk menduga biomassanya juga dengan menggunakan model allometrik yang berbeda sesuai jenis (jika ada

allometrik spesifik) namun jika tidak ada maka digunakan rumus allometrik umum. Model allometrik E. hibrida yang digunakan

adalah Y = 1351,09x0,87 exp (0,094x) (Latifah, 2011). b. 3. Pemetaan potensi Biomassa

Distribusi spasila potensi biomassa dilakukan dengan pemetaan potensi biomassa tegakan Eucalyptus hybrid. berdasarkan

model-model pendugaan simpanan karbon (Latifah, 2011). Dengan model allometrik dari Eucalyptus biomassa tersebut maka akan diperoleh data sebaran potensi biomasa berdasarkan kompartemen..

Data nilai potensi biomassa tersebut selanjutnya dimasukkan dalam peta kawasan hutan tanaman industri, sehingga hasil akhir yang diperoleh berupa peta potensi biomasaa tegakan Eucalyptus

hybrid..

Potensi simpanan biomassa,

Peranan Hutan sebagai penyerap karbon mulai menjadi sorotan pada saat bumi dihadapkan pada persoalan efek rumah kaca, berupa kecenderungan peningkatan suhu udara atau biasa disebut sebagai pemanasan global. Penyebab terjadinya pemanasan global ini adalah adanya peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer dimana peningkatan ini menyebabkan kesetimbangan radiasi berubah dan suhu bumi menjadi lebih panas.

Eucalyptus spp. merupakan salah satu jenis unggulan yang

dikembangkan dalam hutan tanaman industri sebagai bahan baku pulp di Sumatera Utara. Bahkan dari hasil analisis kayu menyebutkan bahwasanya bahan pulp terbaik berasal dari eucalyptus karena kadar selulosa yang dikandung tinggi dan daya tahan sobek cukup baik. Spesies yang diusahakan terutama adalah

E. grandis, .E. urophylla, E. Saligna, E. Pellita, E. hibrida. Rata-rata

daurnya 6-8 tahun, sedangkan riapnya 20 m3/ha/tahun, tahan

terhadap hama penyakit, tahan terhadap kebakaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa E. hibrida menghasilkan riap

tertinggi sebesar 289 m3/ha, sedangkan riap terendah dihasilkan

Dalam dokumen PENGANTAR ANALISIS SPASIAL DENGAN ArcGIS (Halaman 91-128)

Dokumen terkait