• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Karakterisasi Tongkol Jagung

Berdasarkan hasil uji proksimat terhadap tongkol jagung yang digunakan sebagai media dalam penelitian ini mengandung komposisi yang disajikan dalam Tabel 6. Menurut Prihatman (2000), kandungan protein serta serat kasar yang dapat memenuhi kebutuhan ternak ruminansia masing-masing sebesar 8 % dan 15%. Jika dilihat dari data hasil uji proksimat tongkol jagung yang diperoleh, maka perlu dilakukan peningkatan kandungan protein dan penurunan kandungan serat kasar di dalam tongkol jagung tersebut sehingga dapat menjadi bahan pakan ternak yang baik untuk ternak ruminansia.

Tabel 6. Komposisi kimia tongkol jagung

Komponen Kandungan (%b.b) Air 10,71 Abu 1,69 Protein kasar 0,60 Lemak kasar 2,09 Serat kasar 79,15 Karbohidrat (by difference) 5,76 Lignin 9,80 Hemiselulosa 45,90 Selulosa 31,16

37

Menurut Prihatman (2000), kandungan protein serta serat kasar yang dapat memenuhi kebutuhan ternak ruminansia masing-masing sebesar 8% dan 15%. Jika dilihat dari data hasil uji proksimat tongkol jagung yang diperoleh, maka perlu dilakukan peningkatan kandungan protein dan penurunan kandungan serat kasar di dalam tongkol jagung tersebut sehingga dapat menjadi bahan pakan ternak yang baik untuk ternak ruminansia.

Komponen protein yang rendah perlu ditingkatkan dengan cara menambahkan inokulum kapang ke dalam tongkol jagung. Hal ini dikarenakan inokulum kapang mengandung komponen protein yang tinggi sebagai komponen pembentuk sel kapang tersebut. Semakin banyak sel kapang yang terbentuk maka akan meningkatkan kandungan protein di dalam bahan tersebut.

Komponen serat yang tinggi dapat mengakibatkan tongkol jagung menjadi sulit dicerna oleh ternak. Komponen serat kasar yang terdapat di dalam tongkol jagung merupakan komponen serat lignoselulosa yang terdiri atas komponen lignin, hemiselulosa dan selulosa dalam struktur yang kompak. Kapang selulotik mempunyai kemampuan untuk menghidrolisis selulosa yang ada di dalam bahan menjadi gula-gula sederhana. Oleh sebab itu, adanya hidrolisis menggunakan kapang selulolitik akan menurunkan kadar serat kasar pada tongkol jagung. Kelemahan dari kultivasi tongkol jagung menggunakan kapang selulolitik adalah adanya kandungan lignin di dalam tongkol jagung yang masih cukup tinggi dikarenakan lignin sulit terhidrolisis oleh kapang selulolitik, sehingga untuk mengoptimalkan hidrolisis tongkol jagung perlu dilakukan pendegradasian kadar lignin di dalam bahan.

2. Hidrolisis Tongkol Jagung Menggunakan Inokulum Terpilih

Inokulum kapang yang memiliki jumlah spora tertinggi dari setiap media yang digunakan pada kapang T.viride dan R.oryzae merupakan inokulum yang menggunakan substrat kombinasi bekatul+onggok. Hasil analisa kadar air dan viabilitas spora inokulum yang terbaik dapat dilihat pada Lampiran 6. Inokulum yang terbaik kemudian dikultivasikan ke dalam tongkol jagung untuk menghidrolisis tongkol jagung. Kultivasi dilakukan pada minggu keempat dan minggu kedelapan dari lama penyimpanan yang telah dilakukan.

Tongkol jagung yang akan dihidrolisis harus dikeringkan terlebih dahulu agar dapat diberikan perlakuan pengecilan ukuran terhadap tongkol jagung tersebut. Pengecilan ukuran dilakukan untuk menghasilkan luas permukaan yang besar sebagai tempat tumbuhnya kapang selulolitik, serta untuk memotong rantai amorf pada lapisan struktur lignoselulosa pada bahan sehingga mempermudah dalam proses hidrolisis. Hal ini diperkuat oleh Meryandini (2007), hemiselulosa maupun lignin akan mengganggu aktivitas enzim selulase yang hanya spesifik memotong ikatan β-1,4-glikosidik pada selulosa. Oleh sebab itu untuk meningkatkan luas permukaan substrat maka tongkol jagung harus diperkecil ukurannya.

Tongkol jagung yang telah berukuran 40 mesh tersebut ditambahkan dengan air dengan perbandingan tongkol jagung : air adalah 2 : 3. Penambahan air ini dilakukan untuk membuat kadar air di dalam bahan menjadi sekitar 60 - 68% agar kapang dapat tumbuh dengan baik pada media tersebut. Hal ini diperkuat oleh Fardiaz (1989), bahwa jika kadar air bahan yang digunakan untuk kultivasi dibawah 62% maka akan menyebabkan pertumbuhan kapang menjadi terhambat.

Tongkol jagung yang telah mengandung kadar air sekitar 60-68% disterilkan dengan menggunakan autoklaf. Ruangan tempat inokulasi dan inkubator ruang kultivasi perlu disterilkan juga agar tidak terjadi kontaminasi mikroba lain yang dapat mengganggu proses hidrolisis terhadap tongkol jagung. Menurut Riadi (2007), sterilisasi merupakan suatu proses yang bertujuan untuk membunuh mikroba yang mengakibatkan tidak terdapatnya mikroba di dalam bahan maupun area tersebut.

Inokulasi spora ke dalam media tongkol jagung dilakukan dengan menggunakan perbandingan bobot inokulum sebanyak 15% dari bobot tongkol jagung dalam setiap media inokulasi. Hal ini diperkuat oleh Fakhrudin (1995) dalam penelitiannya untuk memproduksi enzim selulosa menggunakan substrat campuran tandan kosong dan sabut kelapa sawit. Perlakuan pengadukan perlu dilakukan setelah spora diinokulasikan ke dalam media tongkol jagung. Pengadukan diperlukan untuk memperbesar kontak antara enzim selulase dan komponen selulosa sehingga dapat meningkatkan aktivitas enzim selulase secara merata (Meryandini, 2007). Kemudian media yang telah berisi spora ditutup dengan menggunakan kertas buram agar oksigen dapat tetap masuk (Arbianto, 1980) dan disimpan di dalam inkubator.

38

Kultivasi dilakukan selama sembilan hari. Hal ini berdasarkan penelitian sebelumnya diketahui bahwa kedua jenis kapang tersebut dapat menurunkan kadar serat tertinggi pada kultivasi yang dilakukan selama sembilan hari. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, selama kultivasi perlu dilakukan penjagaan terhadap kondisi lingkungan sekitarnya. Hal ini dikarenakan menurut Arbianto (1980), faktor lingkungan seperti perubahan kandungan nutrien bahan, kandungan air bahan, pH, kelembaban, ketersediaan oksigen serta aerasi perlu dijaga agar aktivitas hidrolisis yang dilakukan kapang dapat terjadi secara optimal. Suhu yang digunakan selama proses inkubasi adalah suhu ruang, yaitu berkisar antara 25 – 37 ºC. Hal ini dikarenakan suhu optimal untuk kapang Trichoderma viride adalah 32-35°C (Enari, 1983), sedangkan suhu yang optimal untuk kapang Rhizopus oryzae adalah sekitar 25 - 37ºC (Steinkraus et al., 1960).

3. Karakteristik Tongkol Jagung Hasil Kultivasi

Setelah dilakukan kultivasi selama 9 hari, maka dilakukan pemanenan terhadap tongkol jagung tersebut. Pemanenan dilakukan dengan cara pengeringan pada suhu 50°C selama satu hari agar mikroba tidak dapat tumbuh dan spora menjadi dorman. Hasil dari kultivasi itu kemudian dilakukan pengujian terhadap parameter perubahan-perubahan komposisi kimia di dalam tongkol jagung dengan menggunakan analisa proksimat. Hasil analisa parameter perubahan komposisi kimia di dalam tongkol jagung sebelum dan setelah kultivasi dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Karakteristik kimia tongkol jagung hasil kultivasi Komponen

Inokulum Kapang

Rhizopus oryzae Trichoderma viride

Umur Simpan (minggu)

4 8 4 8 Air (%b.b) 7,83a 5,18b 7,85a 5,18b Abu (%b.k) 3,65a 3,98a 3,23a 3,99b Protein (%b.k) 6,43a 6,41a 5,51a 5,31a Lemak (%b.k) 3,96a 3,70a 2,37a 2,21a Serat Kasar (%b.k) 45,76a 47,06a 47,08a 47,48a Total Gula (ppm) 91,4a 100,27a 110,52a 114,69a Gula Pereduksi (ppm) 41,03a 31,77a 50,04a 50,5a Derajat Polimerisasi 2,23a 3,16a 2,19a 2,30a Keterangan:

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berpengaruh nyata pada taraf 5% menurut uji pembeda T. Perbandingan hanya dibandingkan antar sesama jenis inokulum kapang.

a. Kadar Air

Berdasarkan hasil analisis ragam kadar air (Lampiran 5.A dan Tabel 7) menunjukkan bahwa lama penyimpanan setiap jenis kapang berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar air tongkol jagung pada setiap jenis kapang. Kadar air tongkol jagung yang dikultivasi dengan inokulum kapang yang disimpan selama 4 minggu lebih besar bila dibandingkan dengan inokulum kapang yang disimpan selama 8 minggu.

Perbedaan kadar air terjadi akibat proses hidrolisis komponen selulosa substrat oleh enzim selulase yang dihasilkan kapang. Menurut Pelczar et al. (1974), untuk melakukan proses hidrolisis komponen selulosa, kapang membutuhkan air dalam jumlah yang besar. Air tersebut dapat diperoleh dari media tempat tumbuhnya kapang tersebut. Hal inilah yang mengakibatkan kadar air yang dikonsumsi oleh kapang yang disimpan selama 4 minggu lebih besar dibandingkan dengan kapang yang disimpan selama 8 minggu dikarenakan jumlah spora kapang yang semakin berkurang.

39

Pengaruh lain yang mengakibatkan penurunan kadar air tongkol jagung adalah lamanya penyimpanan tongkol jagung tersebut. Semakin lama tongkol jagung disimpan maka dapat mengakibatkan penurunan kadar air di dalam tongkol jagung. Hal ini diperkuat oleh Aprianie (2009), dalam penelitiannya tentang penurunan kadar air pada tongkol jagung didapatkan hasil bahwa apabila tongkol jagung disimpan dalam waktu tertentu akan mengakibatkan penurunan kadar air. Hal ini dikarenakan tongkol jagung tidak bersifat higroskopis, sehingga pada suhu kamar, penguapan akan berlangsung cukup cepat dikarenakan bahan akan mengeluarkan kadar air bebas yang dikandungnya untuk mempertahankan kelembaban dan mencegah kehilangan air yang lebih besar. Hal inilah yang mengakibatkan kadar air tongkol jagung yang telah dikultivasi dengan inokulum yang disimpan selama 8 minggu lebih rendah bila dibandingkan dengan inokulum yang disimpan selama 4 minggu, begitu pula dengan tongkol jagung yang belum dikultivasi.

b. Kadar Abu

Berdasarkan hasil analisis ragam kadar abu (Lampiran 5.B dan Tabel 7) menunjukkan bahwa lama penyimpanan inokulum kapang tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu tongkol jagung pada inokulum kapang Rhizopus oryzae sedangkan pada inokulum kapang Trichoderma viride lama penyimpanan inokulum kapang berpengaruh nyata dengan kadar abu tongkol jagung. Hal ini menandakan adanya penurunan kuantitas spora kapang pada inokulum Rhizopus oryzae tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu tongkol jagung sebaliknya pada inokulum Trichoderma viride adanya penurunan kuantitas spora kapang memberikan pengaruh nyata pada penurunan kadar abu tongkol jagung.

Berdasarkan Lampiran 7 diketahui bahwa kadar abu tongkol jagung pada awal sebelum dikultivasi adalah sebesar 3,18%. Adanya penambahan spora kapang mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar abu pada tongkol jagung. Peningkatan yang terjadi adalah sebesar 0,47% pada inokulum Rhizopus oryzae yang disimpan selama 4 minggu dan sebesar 0,8% pada inokulum Rhizopus oryzae yang disimpan selama 8 minggu. Peningkatan juga terjadi pada inkulum inokulum Trichoderma viride yaitu sebesar 0,05% pada inokulum yang disimpan selama 4 minggu dan sebesar 0,81% pada inokulum yang disimpan selama 8 minggu.

Adanya penambahan inokulum kapang ke dalam tongkol jagung mengakibatkan terjadinya kenaikan kadar abu pada tongkol jagung. Hal ini dikarenakan menurut Cowan dan Talaro (2009), struktur sel mikroba terdiri atas DNA, nukleus, plasmid dan mitokondria, dinding sel serta unsur pembentuk tubuh lainnya. Unsur-unsur tersebut mengandung mineral yang digunakan untuk menyusun setiap komponen sel di dalam tubuh mikroba. Hal inilah yang mengakibatkan di dalam spora kapang terdapat kandungan mineral yang akan meningkatkan kadar abu di dalam tongkol jagung yang telah dikultivasi.

c. Kadar Protein

Hasil analisis ragam kadar protein (Lampiran 5.C dan Tabel 7) menunjukkan bahwa lama penyimpanan inokulum kapang tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein tongkol jagung pada setiap jenis kapang. Hal ini menandakan adanya penurunan jumlah spora kapang tidak mempengaruhi kadar protein tongkol jagung yang dihasilkan.

Berdasarkan Lampiran 7 diketahui bahwa kadar protein tongkol jagung pada awal sebelum dikultivasi adalah sebesar 2,18%. Adanya penambahan spora kapang mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar protein pada tongkol jagung. Peningkatan yang terjadi adalah sebesar 4,25% pada inokulum Rhizopus oryzae yang disimpan selama 4 minggu dan sebesar 4,29% pada inokulum Rhizopus oryzae yang disimpan selama 8 minggu. Peningkatan juga terjadi pada inkulum inokulum Trichoderma viride yaitu sebesar 3,33% pada inokulum yang disimpan selama 4 minggu dan sebesar 3,13% pada inokulum yang disimpan selama 8 minggu.

40

Adanya penambahan substrat bekatul+onggok akan mengakibatkan peningkatan kadar protein pada tongkol jagung menjadi sebesar 2,18% yang dapat dilihat pada Lampiran 7. Selain dikarenakan adanya penambahan substrat bekatul+onggok, kenaikan kadar protein ini juga disebabkan karena adanya peningkatan biomassa kapang. Biomassa kapang mengandung nitrogen sebesar 7 - 10% (Stanbury dan Whitaker, 1984) dan protein sebesar 14 - 44% bobot kering (Griffin, 1981).

Kenaikan kadar protein di dalam tongkol jagung dengan kultivasi menggunakan inokulum kapang Rhizopus oryzae lebih tinggi bila dibandingkan dengan menggunakan inokulum kapang Trichoderma viride. Hal ini dikarenakan menurut Gandjar (2006), setiap kapang memiliki kemampuan untuk menghasilkan enzim protease yang dapat menghidrolisis protein menjadi asam amino yang dibutuhkan oleh kapang untuk pertumbuhan. Kapang yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan enzim protease yang cukup baik adalah kapang

Rhizopus oryzae. Menurut Sumanti (2005), adanya proses perombakan protein pada substrat menjadi asam-asam amino akan meningkatkan komposisi nitrogen terlarut di dalam bahan. Hal inilah yang mengakibatkan kapang Rhizopus oryzae menghasilkan protein yang lebih baik bila dibandingkan dengan kapang Trichoderma viride.

Adanya peningkatan kadar protein pada tongkol jagung akan mendukung kegunaan tongkol jagung sebagai pakan ternak. Menurut Prihatman (2000), kandungan protein yang dapat memenuhi kebutuhan ternak ruminansia adalah sebesar 8 %. Jika dilihat dari kenaikan kadar protein di dalam tongkol jagung yang telah dikultivasi, maka diketahui bahwa tongkol jagung tersebut masih belum layak digunakan sebagai pakan ternak tunggal. Penggunaan tongkol jagung yang telah dikultivasi sebagai pakan ternak perlu ditambahkan dengan sumber protein tambahan, sehingga dapat mencukupi kebutuhan protein pada ternak.

d. Kadar Lemak

Berdasarkan analisis ragam kadar lemak (Lampiran 5.D dan Tabel 7) menunjukkan bahwa lama penyimpanan inokulum kapang tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak tongkol jagung pada setiap jenis kapang. Hal ini menandakan adanya penurunan jumlah spora kapang tidak mempengaruhi kadar lemak tongkol jagung yang dihasilkan.

Berdasarkan Lampiran 7 diketahui bahwa kadar lemak tongkol jagung pada awal sebelum dikultivasi adalah sebesar 3,97%. Adanya penambahan spora kapang mengakibatkan terjadinya penurunan kadar lemak pada tongkol jagung. Penurunan yang terjadi adalah sebesar 0,01% pada inokulum Rhizopus oryzae yang disimpan selama 4 minggu dan sebesar 0,27% pada inokulum Rhizopus oryzae yang disimpan selama 8 minggu. Penurunan juga terjadi pada inkulum inokulum Trichoderma viride yaitu sebesar 1,59% pada inokulum yang disimpan selama 4 minggu dan sebesar 1,75% pada inokulum yang disimpan selama 8 minggu.

Penurunan kadar lemak pada tongkol jagung terjadi dikarenakan kapang dapat menghasilkan lipase, sehingga dapat mendegradasi lemak untuk menjadi sumber karbon (Gandjar, 2006). Menurut Rapp dan Backhaus (1992), kapang melakukan degradasi lemak dengan cara mensekresikan enzim lipase ke bahan untuk mengubah lemak tersebut sebelum dimasukkan ke dalam sel. Proses degradasi lemak tersebut dilakukan dengan cara pemutusan ikatan gliserol pada triasilgliserol menjadi diasilgliserol, monogliserol serta asam lemak dan gliserol (Ratledge dan Tan, 1990). Hal inilah yang mengakibatkan kapang dapat mendegradasi lapisan lemak yang ada di dalam bahan untuk sumber energi meskipun tidak terlalu besar.

e. Kadar Serat Kasar

Berdasarkan analisis ragam kadar serat kasar (Lampiran 5.E dan Tabel 7) menunjukkan bahwa lama penyimpanan inokulum kapang tidak berpengaruh nyata terhadap kadar serat kasar tongkol jagung pada setiap jenis kapang. Hal ini menandakan adanya

41

penurunan jumlah spora kapang tidak mempengaruhi kadar serat kasar tongkol jagung yang dihasilkan.

Berdasarkan Lampiran 7 diketahui bahwa kadar serat kasar tongkol jagung pada awal sebelum dikultivasi adalah sebesar 77,11%. Adanya penambahan spora kapang mengakibatkan terjadinya penurunan kadar serat kasar pada tongkol jagung. Penurunan yang terjadi adalah sebesar 31,35% pada inokulum Rhizopus oryzae yang disimpan selama 4 minggu dan sebesar 30,05% pada inokulum Rhizopus oryzae yang disimpan selama 8 minggu. Penurunan juga terjadi pada inkulum inokulum Trichoderma viride yaitu sebesar 30,03% pada inokulum yang disimpan selama 4 minggu dan sebesar 29,63% pada inokulum yang disimpan selama 8 minggu.

Serat kasar terdiri atas lignin, selulosa dan hemiselulosa yang saling berikatan yang disebut sebagai lignoselulosa. Ikatan yang sangat kompleks ini mengakibatkan kapang selulolitik tidak dapat melakukan hidrolisis terhadap selulosa dan hemiselulosa di dalam bahan dengan sempurna (Orth et al., 1993). Adanya penurunan kadar serat tongkol jagung yang kurang maksimal dikarenakan ada beberapa bagian dalam tongkol jagung yang berikatan dengan lignin sehingga menjadi ikatan lignoselulosa.

Kapang selulolitik dapat menghidrolisis serat di dalam bahan, serat yang dapat dihidrolisis adalah selulosa dan hemiselulosa. Menurut Perez et al. (2002), selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan β-1,4 glukosida dalam rantai lurus. Selulosa dapat dihidrolisis dengan menggunakan enzim selulase. Selulase merupakan enzim yang termasuk dalam kelompok enzim yang terdiri atas endoglukanase, eksoglukanase dan β-glukosidase (Maheshwari, 2005). Endoglukanase merupakan enzim yang dapat menghidrolisis daerah amorf selulosa secara acak. Enzim ini dapat membentuk oligosakarida dengan panjang rantai yang berbeda-beda dan membentuk ujung rantai non-pereduksi (Sinegani dan Emtiazi, 2006). Eksoglukanase merupakan komponen enzim yang produk hidrolisis utamanya adalah selobiosa. Enzim ini memecah selulosa dengan cara menghilangkan ujung akhir gugus selobiosa pada rantai selulosa (Raja dan Shafiq-Ur-Rehman, 2008). β-glukosidase merupakan enzim yang dapat memutuskan unit glukosa secara spesifik dari ujung nonpereduksi dari selo-oligosakarida (Sinegani dan Emtiazi, 2006). Hal inilah yang mengakibatkan selulosa dapat dihidrolisis oleh kapang selulolitik menjadi glukosa dan gula-gula sederhana.

Hemiselulosa tersusun atas ikatan β 1-4 pentosa yang berikatan dengan ikatan hidrogen terhadap selulosa dan ikatan kovalen terhadap lignin (Maheshwari, 2005). Hemiselulosa merupakan polisakarida yang mempunyai tingkat degradasi lebih baik bila dibandingkan selulosa dan lignin (Suparjo, 2008). Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), Hemiselulosa merupakan polimer dari sejumlah sakarida yang berbeda-beda, yaitu: D-xilosa, L-arabinosa, D-galaktosa, D-glukosa, dan D-glukoronat. Berbeda dengan selulosa, hemiselulosa berbentuk amorf. Hal ini mengakibatkan hemiselulosa di dalam bahan lebih mudah dihidrolisis oleh kapang selulolitik. Adanya serat yang dihidrolisis mengakibatkan glukosa dan gula-gula sederhana di dalam bahan bertambah.

Penurunan serat kasar pada tongkol jagung yang dikultivasi dengan kapang

Trichoderma viride serta tongkol jagung yang dikultivasi dengan kapang Rhizopus oryzae

tidak terlalu berbeda dikarenakan kedua jenis kapang tersebut hanya dapat menghidrolisis sebagian dari serat tongkol jagung akibat adanya ikatan lignoselulosa. Hidrolisis yang tidak sempurna ini mengakibatkan terjadinya kesulitan dalam membedakan kemampuan kedua jenis kapang selulotik dalam menghidrolisis serat kasar di dalam tongkol jagung.

f. Total Gula

Berdasarkan analisis ragam total gula (Lampiran 5.F dan Tabel 7) menunjukkan bahwa lama penyimpanan inokulum kapang tidak berpengaruh nyata terhadap total gula tongkol jagung pada setiap jenis kapang. Hal ini menandakan adanya penurunan jumlah spora kapang tidak mempengaruhi total gula tongkol jagung yang dihasilkan.

Total gula di dalam tongkol jagung yang dikultivasi dengan menggunakan inokulum kapang Rhizopus oryzae yang disimpan selama 4 minggu dan 8 minggu mengalami penurunan sebesar 53,6 ppm dan 44,73 ppm, sedangkan kultivasi dengan menggunakan inokulum kapang Trichoderma viride yang disimpan selama 4 minggu dan 8 minggu

42

mengalami penurunan sebesar 34,48 ppm dan 30,31 ppm. Hal ini dikarenakan kapang mengkonsumsi gula yang ada di dalam substrat, sehingga berkurangnya jumlah spora kapang mengakibatkan penurunan total gula dalam tongkol jagung menjadi makin rendah. Hal ini diperkuat oleh Gandjar (2006) yang mengatakan bahwa kapang membutuhkan nutrisi-nutrisi untuk pertumbuhannya, seperti gula, lemak, protein dan zat-zat kimia lainnya yang diambil dari substrat.

Total gula pada tongkol jagung yang dikultivasi dengan kapang Trichoderma viride

lebih besar bila dibandingkan dengan kapang Rhizopus oryzae. Hal ini dikarenakan dalam pengukuran total gula semua gula sederhana, oligosakarida dan turunannya dapat bereaksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat, sehingga hemiselulosa, selulosa dan turunannya ikut bereaksi dengan fenol, sehingga menghasilkan total gula yang lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat dari lebih besarnya kandungan serat kasar tongkol jagung yang dihidrolisis kapang

Trichoderma viride dibandingkan dengan tongkol jagung yang dihidrolisis kapang Rhizopus oryzae.

g. Gula Pereduksi

Berdasarkan analisis ragam gula pereduksi (Lampiran 5.G dan Tabel 7) menunjukkan bahwa lama penyimpanan inokulum kapang tidak berpengaruh nyata terhadap kadar gula pereduksi tongkol jagung pada setiap jenis kapang. Hal ini menandakan adanya penurunan jumlah spora kapang tidak mempengaruhi kadar gula pereduksi tongkol jagung yang dihasilkan.

Kenaikan gula pereduksi pada tongkol jagung yang dikultivasi dengan kapang

Rhizopus oryzae adalah sebesar 34,04 ppm pada inokulum yang disimpan selama empat minggu dan sebesar 24,77 ppm pada inokulum yang disimpan selama delapan minggu. Kenaikan gula pereduksi juga terjadi pada tongkol jagung yang dikultivasi dengan kapang

Trichoderma viride yaitu sebesar 43,04 ppm pada inokulum yang disimpan selama empat minggu dan sebesar 43,5 ppm pada inokulum yang disimpan selama delapan minggu.

Kenaikan kadar gula pereduksi di dalam tongkol jagung yang telah dikultivasi dikarenakan adanya hidrolisis terhadap karbohidrat kompleks yang terdapat di dalam bahan menjadi glukosa dan gula-gula sederhana lainnya. Gula pereduksi terdiri atas gula-gula sederhana seperti monosakarida (glukosa, fuktosa, galaktosa) dan disakarida (laktosa dan maltosa). Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya kenaikan kadar gula pereduksi di dalam tongkol jagung yang telah dikultivasi. Kenaikan gula pereduksi di dalam tongkol jagung yang telah dikultivasi, juga dapat dilihat dari turunnya kadar serat kasar pada tongkol jagung tersebut. Hal ini dikarenakan serat kasar terdiri atas karbohidrat kompleks, sehingga karbohidrat tersebut terhidrolisis menjadi gula-gula sederhana.

Kenaikan gula pereduksi pada tongkol jagung yang dihidrolisis dengan kapang

Trichoderma viride lebih tinggi dibandingkan dengan kapang Rhizopus oryzae. Hal ini dikarenakan kapang Trichoderma viride memiliki kemampuan yang lebih besar dalam menghidrolisis kandungan polisakarida di dalam substrat menjadi gula sederhana. Hal ini diperkuat oleh Mandels (1982) yang mengatakan bahwa Trichoderma viride dapat menghasilkan enzim kompleks selulase yang kemampuan untuk memecah selulosa menjadi glukosa sehingga mudah dicerna oleh ternak.

h. Derajat Polimerisasi

Berdasarkan analisis ragam derajat polimerisasi (Lampiran 5.H dan Tabel 7) menunjukkan bahwa lama penyimpanan inokulum kapang tidak berpengaruh nyata terhadap derajat polimerisasi tongkol jagung pada setiap jenis kapang. Hal ini menandakan adanya penurunan jumlah spora kapang tidak mempengaruhi derajat polimerisasi tongkol jagung yang dihasilkan.

Tongkol jagung yang dikultivasi dengan menggunakan inokulum kapang Rhizopus oryzae terjadi penurunan DP menjadi 2,23 pada inokulum yang disimpan selama empat hari

43

dan sebesar 3,16 pada inokulum yang disimpan selama delapan hari. Penurunan DP juga terjadi pada tongkol jagung yang dikultivasi dengan menggunakan inokulum kapang

Trichoderma viride yaitu menjadi sebesar 2,19 pada inokulum yang disimpan selama empat hari dan sebesar 2,30 pada inokulum yang disimpan selama delapan hari.

Dokumen terkait