• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh lama penyimpanan terhadap kualitas inokulum Trichoderma viride dan Rhizopus oryzae untuk hidrolisis tongkol jagung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh lama penyimpanan terhadap kualitas inokulum Trichoderma viride dan Rhizopus oryzae untuk hidrolisis tongkol jagung"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KUALITAS

INOKULUM

Trichoderma viride

dan

Rhizopus oryzae

UNTUK HIDROLISIS TONGKOL JAGUNG

SKRIPSI

PANGERAN ALEX SEBASTIAN

F34060803

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

2

Pangeran Alex Sebastian. F34060803.

The Effect of Storage Time on the Quality

of

Trichoderma viride

and

Rhizopus oryzae

Inocula for Corncob Hydrolysis. Under

supervisory of

Liesbetini Hartoto

and

Titi Candra Sunarti

. 2011.

ABSTRACT

Production of Trichoderma viride and Rhizopus oryzae inocula prepared from cassava solid waste from tapioca industry enriched with rice bran powder, defatted peanut, and tofu solid waste substrates, were investigated the storage time effects to the spore viabilities. The mixed substrates were formulated to C/N ratio of 5 and then fermented in solid-state cultivation systems for 3 days. Each dried inocula was packed in polyethylene plastics and kept on room temperature (25-30°C) for 8 weeks, and evaluated the qualities weekly for spore viability and moisture content. Each inocula with high viability was applied in the fermentation of the corncob to prove the cellulolytic hydrolysis capability, that fermented in solid-state cultivation system for 9 days. Generally, storage of inocula caused the reduction of spore viability (from 100% to 91,7% for Trichoderma viride; from 100% to 92,24% for Rhizopus oryzae) even the moisture content increased during the storage time (from 7,35% to 9,05% for Trichoderma viride; from 10,49% to 10,18% for Rhizopus oryzae). The results showed that inocula of Trichoderma viride produced from cassava solid waste and rice bran powder; and

Rhizopus oryzae produced from cassava solid waste and rice bran powder could maintain the spore viabilities after 2 months of storage (from 75,01 x 107 to 13,74 x 107 spore/g for Trichoderma viride; from 106,13 x 107 to 24,49 x 107 spore/g for Rhizopus oryzae). After the application of inocula in corncob hydrolysis, it showed that crude fiber was reduced (from 88,64% to 47,08% - 47,48% by using Trichoderma viride; from 88,64% to 45,76% - 47,06% by using Rhizopus oryzae inoculum) as the effect of cellulolytic breakdown to produce oligosaccharides. DP 20,71 to 2,23 – 3,16 by using

Trichoderma viride inocula and DP 20,71 to 2,19 – 2,30 by using Rhizopusoryzae inocula.

(3)

3

Pangeran Alex Sebastian. F34060803

. Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap

Kualitas Inokulum

Trichoderma viride

dan

Rhizopus oryzae

untuk Hidrolisis

Tongkol Jagung

.

Di bawah bimbingan

Liesbetini Hartoto

dan

Titi Candra Sunarti

.

2011.

RINGKASAN

Kapang selulolitik merupakan jenis kapang yang memiliki kemampuan untuk mensintesis enzim selulase yang mampu menghidrolisis bagian selulosa yang terikat kuat dengan ikatan hidrogen. Kapang Trichoderma viride diisolasi dari tanah dan mempunyai enzim selulase lengkap yang dibutuhkan untuk hidrolisis selulosa. Kapang lain yang mempunyai kemampuan selulolitik adalah

Rhizopus oryzae yang mempunyai kemampuan untuk mengubah pati menjadi dekstrosa serta dapat memecah protein dan lemak sehingga biasanya digunakan untuk memproduksi enzim amilase, protease maupun untuk menghasilkan tempe.

Untuk mempermudah pemanfaatan kapang selulolitik di masyarakat perlu dilakukan pembuatan inokulum kapang. Inokulum yang dihasilkan harus memiliki viabilitas spora kapang yang tinggi dan cenderung stabil selama inokulum tersebut disimpan serta memiliki kemampuan hidrolisis yang tinggi terhadap tongkol jagung. Tongkol jagung merupakan salah satu limbah industri pertanian yang merupakan sumber bahan berlignoselulosa, dengan kandungan selulosa 40-60% dan hemiselulosa 20-30% sehingga tongkol jagung mempunyai potensi yang besar dihidrolisis oleh kapang yang mempunyai enzim selulolitik dan dimanfaatkan sebagai bahan pakan.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh inokulum Trichoderma viride dan Rhizopus oryzae yang memiliki viabilitas spora tertinggi dengan berbagai campuran substrat. Selain itu juga untuk mengkaji pengaruh lama penyimpanan terhadap viabilitas inokulum spora dan menguji perubahan kualitas tongkol jagung yang dihidrolisis dengan menggunakan inokulum tersebut.

Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahap produksi inokulum, tahap pengkajian umur simpan inokulum dan tahap aplikasi inokulum untuk hidrolisis tongkol jagung. Tahap produksi inokulum terdiri atas penyiapan dan karakterisasi substrat, penyiapan kultur, dan pembuatan inokulum, sedangkan tahap hidrolisis tongkol jagung terdiri atas penyiapan dan karakterisasi tongkol jagung, hidrolisis tongkol jagung menggunakan inokulum terpilih dan karakterisasi tongkol jagung hasil hidrolisis.

Inokulum kedua jenis kapang selulolitik tersebut diproduksi dengan menggunakan substrat onggok yang dikombinasikan dengan bekatul, bungkil kacang tanah dan ampas tahu untuk menghasilkan substrat yang memiliki perbandingan nisbah C/N=5/1. Berdasarkan hasil analisa diperoleh komposisi kombinasi substrat dengan perbandingan onggok : bekatul = 1,86 : 7,43, onggok : bungkil kacang tanah = 4,02 : 3,50 dan onggok : ampas tahu = 3,61 : 4,71.

(4)

4

Inokulum yang terbaik dari setiap kapang yang diperoleh setiap empat minggu sekali diaplikasikan pada tongkol jagung untuk menentukan kualitas dari inokulum tersebut. Penentuan kualitas inokulum dilakukan dengan menginokulasikan inokulum tersebut ke tongkol jagung dan dikultivasi selama 9 hari pada suhu ruang. Terhadap hasil tongkol jagung yang telah dikultivasi dilakukan analisis yang meliputi uji kadar air, abu, lemak kasar, protein, serat kasar, total gula, dan gula pereduksi.

Hasil analisa ragam menunjukan lama penyimpanan dan perbedaan komposisi substrat inokulum pada setiap jenis kapang berpengaruh nyata terhadap kadar air dan viabilitas spora. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa lama penyimpanan dan perbedaan komposisi substrat menghasilkan kadar air dan viabilitas spora yang berbeda nyata. Kenaikan kadar air pada inokulum yang disimpan mengalami kenaikan yang cukup besar, namun kadar air masih terlalu rendah untuk membuat kapang menjadi aktif. Hal ini mengakibatkan inokulum tersebut masih cukup baik untuk menjaga dormansi spora kapang. Pengujian terhadap viabilitas spora menunjukan terjadinya penurunan, namun penurunan tersebut sangat rendah dan jumlah spora kapang masih berada di atas 106 koloni/g. Hal ini mengakibatkan inokulum kapang masih mengandung cukup spora meskipun telah disimpan selama dua bulan. Pada inokulum Trichoderma viride dan Rhizopus oryzae viabilitas spora tertinggi diperoleh pada inokulum yang menggunakan campuran substrat onggok dan bekatul. Hasil viabilitas yang tertinggi dari setiap inokulum kapang diaplikasikan pada tongkol jagung untuk mengukur kemampuan dari inokulum tersebut untuk menghidrolisis tongkol jagung.

Terhadap tongkol jagung yang telah dikultivasi dilakukan analisa kadar air, abu, protein, lemak, serat, total gula, gula pereduksi dan derajat polimerisasi serta dilakukan uji pembeda dengan tongkol jagung sebelum kultivasi. Hasil analisa ragam menunjukan bahwa inokulum kapang berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar air, abu, protein, lemak, serat, total gula, gula pereduksi, dan derajat pereduksi dari tongkol jagung. Hanya pada inokulum Rhizopus oryzae saja tidak terjadi perubahan yang signifikan terhadap total gula dari tongkol jagung.

Secara umum hasil penelitian menunjukan bahwa inokulum kapang Trichoderma viride dan

(5)

5

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KUALITAS

INOKULUM

Trichoderma viride

dan

Rhizopus oryzae

UNTUK HIDROLISIS TONGKOL JAGUNG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

PANGERAN ALEX SEBASTIAN

F34060803

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

6

Judul Skripsi : Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Inokulum

Trichoderma viride

dan

Rhizopus oryzae

untuk Hidrolisis Tongkol

Jagung

Nama : Pangeran Alex Sebastian

NIM : F34060803

Menyetujui,

Pembimbing I,

Pembimbing II,

(Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, M.S.)

(Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si.)

NIP 19550904 198003.2.001

NIP 19661219 199103.2.001

Mengetahui :

Ketua Departemen,

(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti)

NIP 19621009 198903.2.001

(7)

7

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul

Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Inokulum Trichoderma viride

dan

Rhizopus oryzae untuk Hidrolisis Tongkol Jagung

adalah hasil karya saya

sendiri, dengan arahan dosen pembimbing. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam DAFTAR PUSTAKA di bagian

akhir skripsi ini.

Bogor, 27 Januari 2011

Yang membuat peryataan

(8)

8

BIODATA PENULIS

Pangeran Alex Sebastian lahir di Bandung, 24 September

1989 dari pasangan Jansen Situmorang dan Lisbeth Pakpahan,

sebagai putra pertama dari tiga bersaudara. Penulis

menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SD PIUS Pekalongan

pada tahun 2000, kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTP

PIUS Pekalongan sampai dengan tahun 2003. Pada tahun 2006

penulis menyelesaikan pendidikan di SMAN 2 Pekalongan.

Pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian

Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI IPB). Pada tahun

2007, penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA, IPB.

Selama mengikuti perkuliahaan, penulis aktif dalam berbagai organisasi, antara lain

HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Pertanian), YONM (Youth of

Nation Ministry), dan PMK IPB (Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB). Penulis juga

aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan seperti pengadaan seminar, workshop,

pelayanan ke masyarakat dan kegiatan sosial lainnya. Penulis juga ikut serta menjadi

asisten mata kuliah Praktikum Bioproses, Praktikum Analisis Bahan Produk

Agroindustri (ABPA), Praktikum Penerapan Komputer dan Praktikum Peralatan

Industri. Prestasi yang pernah diraih selama masa perkuliahan adalah penerima

kerjasama dengan pemerintah kota Bogor dalam penerapan Biodiesel bagi kendaraan

Transpakuan Bogor, ikut serta dalam program mahasiswa wirausaha dan program

Kreativitas Mahasiswa dalam Bidang Kewirausahaan IPB.

(9)

9

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang

telah memberikan kasih karunia-Nya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan

baik. Skripsi ini dibuat berdasarkan penelitian dengan judul "Pengaruh Lama

Penyimpanan terhadap Kualitas Inokulum

Trichoderma viride

dan

Rhizopus oryzae

untuk Hidrolisis Tongkol Jagung". Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Maret

sampai dengan bulan November 2010.

Selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini, telah banyak

pihak yang turut membantu dan memberikan dukungan. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1.

Bapak dan Mamak serta kedua orang adik penulis karena berkat doa yang

terus menerus dan dukungan secara moral serta material kepada penulis.

2.

Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, M.S dan Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si. selaku

dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada

penulis.

3.

Prof. Dr. Ani Suryani selaku dosen penguji atas segala perbaikan dan

sarannnya sehingga membuat skripsi ini menjadi lebih baik.

4.

Segenap akademisi di Departemen Teknologi Industri Pertanian FATETA,

IPB dari jajaran Dosen, Staff, dan Laboran yang sudah turut berpartisipasi

dalam memberikan keilmuan dan ketersediaan fasilitas untuk penelitian dan

penyusunan skripsi ini.

5.

Teman-teman seperjuangan penulis dalam melaksanakan penelitian Ando,

Yulia, Cucu, Martin, Sarfat, Siska, Johnbi dan masih banyak lagi yang selama

ini berjuang untuk mencapai gelar Sarjana Teknologi Pertanian.

6.

Teman-teman di TIN 43 atas kebersamaan dan kekompakan dalam meraih

masa depan yang lebih baik.

7.

Teman-teman di Youth of Nation Ministry yang saling berjuang dalam

mencapai visi untuk kemajuan bangsa, terutama kepada Kak Darius, Rona,

Sandro, Zeni, Santoni, Melisa, Lisa, Citra, Nova, Yuli, Fani, Gladis, Seri,

Amer, Ira, Susi, serta kakak-kakak dan adek-adek di YoNM.

(10)

10

Penulis juga menyadari bahwa dalam penelitian dan penulisan skripsi ini

masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun

sangat diharapkan oleh penulis sebagai proses pembelajaraan. Akhirnya penulis

berharap semoga tulisan ini bermanfaat dalam memberikan kontribusi yang nyata

terhadap perkembangan ilmu di bidang Teknologi Industri Pertanian.

Bogor, 27 Januari 2011

(11)

11

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. KAPANG SELULOLITIK ... 3

1. Trichoderma viride ... 3

2. Rhizopus oryzae ... 4

B. PROSES KULTIVASI ... 5

C. SPORA INOKULUM ... 6

D. SUBSTRAT INOKULUM ... 7

1. Ampas Tapioka (Onggok) ... 7

2. Bungkil Kacang Tanah ... 7

3. Ampas Tahu ... 7

4. Bekatul ... 8

E. NISBAH C/N ... 8

F. TONGKOL JAGUNG ... 9

G. PAKAN TERNAK ... 9

H. HIDROLISIS SELULOSA PADA TONGKOL JAGUNG ... 9

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT ... 11

1. Bahan ... 11

2. Alat ... 11

B. METODE PENELITIAN ... 11

1. Produksi Inokulum ... 11

a. Penyiapan dan Karakterisasi Substrat ... 11

b. Penyiapan Kultur... 12

c. Pembuatan Inokulum ... 12

2. Kajian Umur Simpan Inokulum ... 12

3. Aplikasi Inokulum untuk Hidrolisis Tongkol Jagung ... 13

a. Penyiapan dan Karakterisasi Tongkol Jagung ... 13

b. Hidrolisis Tongkol Jagung Menggunakan Inokulum Terpilih ... 13

c. Karakterisasi Tongkol Jagung Hasil Hidrolisis ... 13

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PRODUKSI INOKULUM ... 15

1. Karakteristik Substrat Inokulum ... 15

2. Pembuatan Inokulum ... 16

B. PERUBAHAN KUALITAS INOKULUM SELAMA PENYIMPANAN ... 17

1. Kadar Air ... 17

2. Viabilitas Spora ... 18

C. APLIKASI INOKULUM UNTUK HIDROLISIS TONGKOL JAGUNG ... 21

1. Karakterisasi Tongkol Jagung ... 21

2. Hidrolisis Tongkol Jagung Menggunakan Inokulum Terpilih ... 22

3. Karakterisasi Tongkol Jagung Hasil Kultivasi ... 23

a. Kadar Air ... 23

b. Kadar Abu ... 24

c. Kadar Protein ... 24

(12)

12

e. Kadar Serat Kasar ... 25

f. Total Gula ... 26

g. Gula Pereduksi ... 27

h. Derajat Polimerisasi ... 27

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ... 29

B. SARAN ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30

(13)

13

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Komposisi kimia ampas tapioka, bungkil kacang tanah,

ampas tahu dan bekatul ... 8 Tabel 2.Komponen elemen-elemen yang dibutuhkan oleh mikroba

untuk hidup ... 8 Tabel 3. Karakteristik dan komposisi kimia tongkol jagung ... 9 Tabel 4. Komposisi proksimat substrat inokulum ... 15 Tabel 5.Hasil perhitungan komposisi campuran substrat inokulum dengan

(14)

14

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Bentuk dan komponen-komponen sel Trichoderma viride ... 3 Gambar 2. Bentuk dan komponen-komponen sel Rhizopus oryzae ... 5 Gambar 3. Perubahan kadar air inokulum Rhizopus oryzae dan

Trichoderma viride selama penyimpanan ... 17 Gambar 4. Perubahan viabilitas spora Rhizopus oryzae dan

(15)

15

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Prosedur pengujian ... 35

Lampiran 2. Perhitungan perbandingan komposisi substrat inokulum ... 38

Lampiran 3. Data perubahan parameter penyimpanan inokulum ... 40

Lampiran 4. Hasil Kultivasi inokulum kapang ke dalam tongkol jagung ... 52

Lampiran 5.Data perubahan parameter viabilitas terhadap hidrolisis tongkol jagung (setelah kultivasi tongkol jagung) ... 53

Lampiran 6.Data perubahan kadar air dan viabilitas inokulum selama penyimpanan untuk substrat terpilih (kombinasi onggok+bekatul) ... 62

(16)

16

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Kapang merupakan suatu kelompok mikroba yang sangat bervariasi dan dapat ditemukan pada hampir semua relung ekologi (Gandjar, 2006). Menurut Hawksworth (1991), diperkirakan ada 1.500.000 spesies kapang di dunia dan sampai tahun 1996 hanya 69.000 spesies yang baru diidentifikasi. Menurut Rifai (1995), sebanyak 200.000 spesies kapang diperkirakan ada di Indonesia. Kapang dapat mengakibatkan keracunan bagi manusia yang memakannya, namun kapang juga dapat mempunyai kegunaan yang positif untuk menguraikan unsur-unsur organik yang ada di alam menjadi unsur-unsur yang sederhana. Salah satu kapang yang mempunyai kegunaan yang baik untuk manusia adalah Trichoderma viride dan Rhizopus oryzae. Kedua jenis kapang ini memiliki kemampuan untuk mendegradasi selulosa menjadi glukosa dan gula sederhana lainnya.

Kapang terdapat di alam dalam bentuk isolat murni. Oleh sebab itu agar mudah digunakan maka kapang tersebut perlu diisolasi untuk dijadikan inokulum. Inokulum kapang merupakan bahan dalam bentuk padat maupun cair yang mengandung spora atau konidia yang sengaja ditambahkan pada substrat (Gandjar, 2006). Inokulum dibutuhkan agar spora kapang memiliki umur simpan yang lebih lama serta untuk memudahkan dalam proses inokulasi sehingga germinasi dapat terjadi dengan cepat (Heseltine, 1982).

Parameter yang dapat menentukan umur simpan inokulum kedua jenis kapang ini terletak pada kemampuan spora untuk bertahan hidup pada kondisi yang telah ditentukan. Kapang yang memiliki tingkat viabilitas spora yang tinggi dan penurunan jumlah spora yang mati relatif sedikit menjadikan kapang tersebut menjadi layak secara ekonomis untuk diproduksi dengan skala industri.

Dalam penyimpanan inokulum kapang, perlu diperhatikan kondisi lingkungannya agar kapang dapat tumbuh dengan optimal dan spora dapat bertahan lama. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi umur penyimpanan kapang dibedakan menjadi dua yaitu: faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri dari jumlah C/N media, struktur biologis bahan baku dan kandungan air. Faktor ekstrinsik meliputi pH, suhu inkubasi, kelembaban, potensi terjadinya oksidasi-reduksi, ketersediaan oksigen serta aerasi (Arbianto,1980).

Media yang digunakan untuk pembuatan inokulum kapang adalah media yang mengandung kadar karbon dan nitrogen yang cukup untuk pertumbuhan kapang. Media tersebut dapat berasal dari ampas tapioka (onggok), bekatul, ampas tahu dan bungkil kacang tanah. Setiap jenis media tersebut dapat dikombinasikan sesuai dengan jumlah kadar C/N yang dibutuhkan oleh kapang. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui komposisi dari setiap jenis media tersebut.

Inokulum Trichoderma viride dan Rhizopus oryzae dapat digunakan untuk menghidrolisis komponen lignoselulosa tongkol jagung sedangkan substrat digunakan untuk mengukur kemampuan hidrolisis dari kedua jenis kapang tersebut. Tongkol jagung merupakan limbah dari jagung yang telah dipipil dan biasanya digunakan sebagai bahan tambahan untuk pakan ternak. Tongkol jagung mengandung serat kasar yang terdiri atas selulosa (40-60%), hemiselulosa (20-30%) dan lignin (15-30%) (Irawadi, 1990). Kadar serat yang tinggi mengakibatkan tongkol jagung sulit untuk dicerna oleh ternak, oleh sebab itu perlu dilakukan upaya untuk menurunkan kadar serat dari tongkol jagung tersebut.

Proses untuk mengurangi kadar serat pada tongkol jagung dapat dilakukan dengan cara hidrolisis. Penggunaan bahan kimia untuk menghidrolisis serat yang ada di dalam tongkol jagung sulit diterapkan karena dapat berdampak buruk terhadap lingkungan. Hidrolisis dengan menggunakan enzim hasilnya baik, namun biayanya sangat tinggi. Oleh sebab itu pemanfaatan mikroba merupakan salah satu alternatif yang diharapkan akan menguntungkan melebihi pemanfaatan bahan kimia ataupun enzim. Selulase yang dihasilkan inokulum kapang Trichoderma viride dan Rhizopus oryzae

mampu menghidrolisis tongkol jagung, namun inokulum tersebut masih belum dapat diketahui kualitasnya apabila disimpan dalam jangka waktu tertentu.

(17)

17

penelitian mengenai umur simpan inokulum kedua jenis kapang tersebut, sehingga dihasilkan inokulum kapang terbaik yang dapat menghidrolisis selulosa.

B.

TUJUAN

(18)

18

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

KAPANG SELULOLITIK

1.

Trichoderma viride

Trichodermaviride adalah salah satu jenis kapang tanah yang tersebar luas dan hampir dapat ditemui di lahan-lahan pertanian dan perkebunan. Kapang ini bersifat saprofit pada tanah, kayu, dan juga dapat bersifat parasit pada kapang yang lain (Barnett, 1987). Trichoderma viride

merupakan jenis yang paling banyak dijumpai diantara genusnya dan mempunyai kelimpahan yang tinggi pada tanah dan bahan yang mengalami dekomposisi. Bentuk dan komponen-komponen sel Trichoderma viride dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bentuk dan komponen-komponen sel Trichoderma viride : a.Konidia dan konidiosfor

T.viride perbesaran 512x, b.perbesaran 1000x, c.perbesaran 1600x, d.perbesaran 4400x, e.Klamidiospora perbesaran 1600x (de Hoog, 2000)

Trichoderma viride termasuk dalam genus Trichoderma, famili Monilliaceae, ordo

Monilliales, kelas fungi imperfecti, sub divisi Eumycotina, divisi Mycotina (Frazier dan Westhoff, 1988). Pada skala laboratorium, kultur kapang Trichoderma viride berwarna hijau, hal ini disebabkan oleh adanya kumpulan konidia pada ujung hifa kapang tersebut (Pelczar et al., 1974). Susunan sel kapang Trichoderma viride bersel banyak, berderet dan membentuk benang halus yang disebut dengan hifa. Hifa pada kapang ini berbentuk pipih, bersekat, dan bercabang-cabang membentuk anyaman yang disebut miselium. Miseliumnya dapat tumbuh dengan cepat dan dapat memproduksi berjuta-juta spora, karena sifatnya inilah maka kapang ini memiliki daya kompetitif yang tinggi (Alexopoulus dan Mims, 1979). Dalam pertumbuhannya, bagian permukaan akan terlihat putih bersih, dan bermiselium kusam. Setelah dewasa, miselium memiliki warna hijau kekuningan (Larry, 1977).

Trichodermaviride berkembangbiak secara aseksual dengan membentuk spora di ujung

(19)

19

Dextrose Agar (Widyastuti, 2007). Trichoderma viride dapat tumbuh optimal pada suhu 32-35°C serta pH sekitar 4 (Enari, 1983).

Menurut Wood (1985), Trichoderma viride merupakan jenis kapang yang mampu menghancurkan selulosa tingkat tinggi dan memiliki kemampuan mensintesis beberapa faktor esensial untuk melarutkan bagian selulosa yang terikat kuat dengan ikatan hidrogen. Selulosa yang terikat tersebut diuraikan menjadi glukosa dan gula sederhana dengan menggunakan enzim selulase yang dihasilkan oleh kapang tersebut (Mandels, 1982).

Menurut Volk (2004), keunggulan kapang Trichoderma viride sebagai penghasil enzim selulase dikarenakan kapang ini dapat menghasilkan selulase lengkap yang dibutuhkan untuk menghidrolisis selulosa kristal dan dapat menghasilkan protein yang cukup tinggi. Miselium kapang ini dapat menghasilkan suatu enzim yang bermacam-macam, termasuk enzim selulase dan kitinase. Kapang umumnya memiliki selulase karena habitatnya pada bahan-bahan organik yang mengandung selulosa. Selulase terdiri dari komponen endo-β-1,4-glukanase, ekso-β -1,4-glukanase dan β-1,4 glukosidase (selobiase). Kapang Trichoderma viride menghasilkan ketiga jenis enzim selulase tersebut (Crueger dan Crueger, 1982).

Menurut Gilbert dan Tsao (1983), selulase yang dihasilkan oleh Trichoderma viride

mengandung komponen terbesar berupa selobiase dan β-1,4-glukan-selobiohidrolase dalam jumlah kecil. Semua enzim ini bersifat hidrolitik dan bekerja baik secara berturut-turut atau bersamaan. Selobiohidrolase adalah enzim yang mempunyai afinitas terhadap selulosa tingkat tinggi yang mampu memecah selulosa kristal, sedangkan endoglukanase bekerja pada selulosa amorf (Coughlan, 1989). Selobiohidrolase memecah selulosa melalui pemotongan ikatan hidrogen yang menyebabkan rantai-rantai glukosa mudah untuk dihidrolisis lebih lanjut. Hidrolisis selanjutnya dilakukan oleh β–glukanase dan β–glukosidase, sehingga menghasilkan glukosa.

2.

Rhizopus oryzae

Rhizopus oryzae termasuk jenis kapang kelas phycomycetes. Kapang ini memiliki ciri-ciri, yaitu mempunyai miselium yang tidak bersekat-sekat, warna miselium putih, sedangkan warna sporangiumnya berwarna kehitam-hitaman. Kapang ini biasanya hidup sebagai saprofit dan beberapa hidup secara parasit pada tumbuh-tumbuhan. Kapang ini memiliki bentuk seperti kapas pada awalnya, namun setelah muncul sporangium dan sporanya maka warnanya akan menjadi kehitam-hitaman. Miselium pada kapang ini terbagi atas stolon, yang menghasilkan alat-alat serupa akar (rhizoid) dan sporangiofor. Kapang Rhizopus oryzae mempunyai kemampuan untuk mengubah pati menjadi dekstrosa, serta dapat memecah protein dan lemak yang ada di dalam bahan (Pelczar dan Chan, 1974).

Ciri-ciri dari kapang Rhizopus oryzae adalah (1) miseliumnya aseptat atau senositik, (2) spora aseksual: sporangiospora kadang-kadang dengan konidia, (3) spora seksual: zigospora oospora, (4) habitat alaminya di air, tanah, tumbuhan dan hewan (Pelczar dan Chan, 1974). Bentuk dan komponen-komponen sel Rhizopus oryzae dapat dilihat pada Gambar 2.

(20)

20

Gambar 2. Bentuk dan komponen-komponen sel Rhizopus oryzae : a.Sporangiofor b.Sporangium c.Kolumela d.Sporangiospora e.Khlamidospora (Gandjar et al.,1999)

Menurut Fardiaz (1989), kebutuhan aktivitas air (aw) minimal untuk terjadinya germinasi

spora pada kapang Rhizopus oryzae adalah 0,93 dan aw minimal untuk pertumbuhannya adalah

antara 0,95-0,98. Jika aw media di bawah 0,62 maka akan menyebabkan pertumbuhan kapang

menjadi terhambat.

Kisaran suhu yang sesuai untuk pertumbuhan kapang Rhizopus oryzae adalah sekitar 14 - 44ºC dan suhu optimum 25 - 37ºC (Steinkraus et al., 1960). Menurut Arbianto (1980), kondisi suhu di Indonesia adalah sekitar 30ºC dengan kelembaban 90% sehingga kondisi ini sangat sesuai untuk pertumbuhan R.oryzae. Menurut Mitchell et al. (1988), pH optimum untuk pertumbuhan

R.oryzae adalah sekitar 7 - 7,5. Pada media campuran yang digunakan, pH dari media adalah berkisar antara 5 - 6,5. Hal ini tidak terlalu berpengaruh terhadap pertumbuhan spora dikarenakan kapang tersebut tetap tumbuh meskipun tidak optimal.

Rhizopus oryzae dapat menghasilkan glukoamilase. Enzim glukoamilase mampu

menghidrolisis pati secara sempurna menjadi glukosa. Enzim ini bersifat eksoamilase, yaitu dapat memutuskan rantai pati menjadi molekul-molekul glukosa pada bagian yang tidak mereduksi dari molekul tersebut (Tjokroadikoesoemo, 1986). Menurut Gandjar (2006), Rhizopus

oryzae biasanya digunakan untuk memproduksi enzim amilase, protease maupun untuk

pembuatan tempe.

B.

PROSES KULTIVASI

Kultivasi adalah suatu proses perubahan kimia dalam suatu media kultur organik yang dapat berlangsung karena aksi katalisator-katalisator biokimia, yaitu enzim yang dihasilkan oleh mikroba-mikroba hidup tertentu (Tjokroadikoesoemo, 1986).

(21)

21

gula, nitrogen, fosfat, magnesium, kalium juga dilengkapi dan bahan-bahan pendukung lainnya. Sedangkan kultur yang menggunakan bahan alami biasanya berasal dari corn steep liquor, ekstrak maltosa, ekstrak kentang (Hanson, 2008).

Kultivasi dapat dilakukan dengan menggunakan dua jenis media, yaitu media padat dan media cair. Menurut Chalal (1985), kultivasi media padat adalah proses kultivasi yang substratnya tidak larut dan tidak mengandung air bebas, tetapi cukup mengandung air untuk keperluan hidup mikroba. Sedangkan kultivasi cair adalah proses fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi dalam fase cair. Menurut Rachman (1989), untuk kebanyakan kapang, pertumbuhannya pada permukaan media padat dapat membentuk spora yang lebih banyak dengan viabilitas yang lebih lama dibandingkan dengan kultur cair, sehingga untuk pembuatan inokulum kapang digunakan metode kultivasi dengan menggunakan media padat.

Proses kultivasi yang dipilih adalah kultivasi dengan menggunakan media padat. Kultivasi dengan menggunakan media padat memiliki kelebihan dikarenakan media yang digunakan relatif lebih sederhana, ruangan yang dibutuhkan kecil dibandingkan dengan rendemen yang dihasilkan, kondisi tumbuh mendekati keadaan di alam, inokulasi dapat langsung berupa spora, rendahnya kadar air dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan, pengawasan lebih minim, tenaga yang dibutuhkan lebih sedikit dan peralatannya sederhana. Sedangkan kelemahannya adalah fermentasi ini hanya untuk pertumbuhan kapang dan pengukuran parameter-parameter proses menjadi sukar dikarenakan kurang homogen serta perlu dilakukan pra-perlakuan terhadap substrat yang digunakan (Rachman, 1989).

Faktor-faktor yang perlu ditentukan dalam persiapan fermentasi dengan medium padat, yaitu: sifat substrat, sifat mikroba serta kinetika metabolisme dan enzim. Substrat yang menjadi tempat bertumbuhnya mikroba harus mengandung air, nitrogen, karbon, mineral, vitamin dan bahan-bahan penambah lainnya (Rachman, 1989).

Kultivasi kapang menggunakan media padat membutuhkan waktu dua sampai lima hari (Winarno, 2002), sedangkan menurut Frazier (1992), kultivasi kapang selama tiga hari akan menghasilkan enzim yang paling optimum, sehingga digunakan waktu yang terbaik yaitu selama tiga hari untuk mendapatkan inokulum yang optimal. Pertumbuhan kapang dapat dilihat dari penampakannya yang berserabut seperti kapas yang mula-mula berwarna putih, tetapi jika spora timbul maka akan terbentuk berbagai warna tergantung dari jenis kapang tersebut (Fardiaz, 1992).

Setiap kapang mempunyai kurva pertumbuhan yang berbeda-beda, kurva pertumbuhan ini diperoleh dari menghitung jumlah atau bobot sel kapang. Menurut Gandjar (2006), ada 6 fase pada kurva pertumbuhan, yaitu: fase lag, fase akselerasi, fase eksponensial, fase deselerasi, fase stasioner dan fase kematian dipercepat. Fase yang menghasilkan komposisi spora kapang terbesar adalah pada fase eksponensial. Pada fase ini tingkat kematian kapang sama dengan tingkat pertumbuhannya, selain itu spora kapang juga telah dibentuk secara optimal dikarenakan adanya enzim yang menghambat pertumbuhan kapang sehingga kapang membentuk spora untuk dapat bertahan hidup.

C.

SPORA INOKULUM

Pemanenan spora kapang dapat dilakukan dengan cara membuat inokulum dari kapang tersebut. Menurut Gandjar (2006), inokulum merupakan bahan dalam bentuk padat maupun cair yang mengandung spora atau konidia yang sengaja ditambahkan pada substrat. Substrat inokulum yang berisi spora kapang dapat menghasilkan warna yang berbeda-beda tergantung dari jenis kapang (Fardiaz, 1992).

Spora kapang dapat bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang kering dan dapat tumbuh lagi jika kondisi lingkungan memiliki kadar air yang sesuai. Spora tersebut tinggal dalam keadaan dorman. Spora kapang mempunyai lapisan dinding yang kuat, sehingga membuatnya dapat bertahan pada kondisi kering. Spora kapang hanya mempunyai kandungan air yang rendah dibandingkan dengan hifa kapang sehingga dapat bertahan dalam kondisi kering (Smith dan Onions, 1994). Menurut Ikasari et al. (1999), proses pengeringan inokulum sebaiknya dilakukan pada suhu sekitar 45-50ºC. Hal ini dikarenakan pada suhu tersebut kapang akan menjadi inaktif dan spora tidak mati.

(22)

22

aktifitas total mikroba serta faktor-faktor lingkungan. Faktor lingkungan terdiri dari faktor intrinsik yaitu nisbah C/N media, struktur biologi bahan baku, dan kandungan air, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi pH, kelembaban, potensial oksidasi-reduksi, ketersediaan oksigen serta aerasi.

Kapang membutuhkan karbon, nitrogen, ion organik, faktor tumbuh, energi dan air untuk metabolisme dan pertumbuhan yang diperoleh dari media. Oleh sebab itu, substrat inokulum yang digunakan harus dapat memenuhi kebutuhan minimum pertumbuhan dan kelangsungan hidup dari kapang tersebut (Walker, 1999).

D.

SUBSTRAT INOKULUM

Kapang membutuhkan substrat sebagai media untuk pertumbuhan dikarenakan mengandung bahan-bahan yang dibutuhkan oleh mikroba untuk bertahan hidup (Gandjar, 2006). Substrat merupakan bahan yang akan didegradasi oleh mikroba yang ditambahkan kedalamnya, sehingga mikroba tersebut dapat bertahan hidup di dalam substrat tersebut. Pada skala industri, bahan-bahan baku yang biasa digunakan untuk media pertumbuhan mikroba adalah produk samping hasil pertanian. Media-media yang biasa digunakan untuk fermentasi padat biasanya merupakan limbah-limbah hasil pertanian yang masih mengandung nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan mikroba. Berikut merupakan bahan-bahan yang digunakan sebagai substrat, yaitu:

1.

Ampas Tapioka (Onggok)

Industri tapioka merupakan industri yang sudah cukup besar di Indonesia. Menurut data BPS tahun 2007, industri tapioka di indonesia adalah sekitar 19.802.508 ton pertahun. Industri tapioka menghasilkan limbah padat yang disebut sebagai ampas tapioka. Sebagian besar ampas tapioka (onggok) dimanfaatkan sebagai bahan campuran oncom, bahan baku produksi asam sitrat, bahan bakar gas metan dan bahan pakan ternak. Ampas tapioka cukup potensial digunakan sebagai sumber karbon dalam fermentasi media padat, meskipun masih memerlukan suplementasi nilai gizi seperti nitrogen. Komposisi kimia ampas tapioka disajikan pada Tabel 1.

2.

Bungkil Kacang Tanah

Bungkil kacang tanah merupakan limbah dari pengolahan minyak kacang tanah. Bungkil kacang tanah disukai ternak dan merupakan suplemen protein tumbuhan yang berkualitas baik. Bungkil kacang tanah adalah produk hasil ikutan penggilingan biji kacang tanah setelah diekstraksi minyaknya secara mekanis atau secara kimia menggunakan pelarut (Anonim, 2010). Komposisi kimia bungkil kacang tanah dapat dilihat pada Tabel 1.

3.

Ampas Tahu

(23)

23

4.

Bekatul

Menurut Nursalim dan Razali (2007), bekatul adalah lapisan luar dari beras yang terlepas saat proses penggilingan gabah. Bekatul umumnya berwarna krem atau cokelat muda. Kulit padi terdiri atas hull yang merupakan kulit bagian terluar dan bekatul yang merupakan kulit bagian dalam atau selaput biji. Bekatul terdiri atas beberapa lapisan, yaitu pericarp, seed coat, nucellus dan aleurone. Secara umum, dari hasil proses penggilingan padi menghasilkan bekatul sebanyak 8-12% dari total bobot padi yang digiling, sehingga produksi bekatul halus dari penggilingan padi di Indonesia mencapai 4-6 juta ton per tahun. Komposisi kimia bekatul dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia ampas tapioka, bungkil kacang tanah, ampas tahu dan bekatul

Komponen

Kandungan Ampas

Tapioka (%b.k)

Bungkil Kacang Tanah (%b.b)

Ampas Tahu (%b.k)

Bekatul (%b.b)

Abu 1,88 7* 7,48 1,60

Serat Kasar 17,95 12* 24,91 1,69 Lemak Kasar 0,00 3,5* 5,92 1,09 Protein Kasar 2,21 46** 21,26 8,77 Karbohidrat 64,8 - 59,57 84,36 Keterangan : * = %maksimum, ** = %minimum

Sumber: Lahoni (2003), SNI 01-4228-1996, Lahoni (2003) dan Nursalim (2007)

E.

NISBAH C/N

Kapang memerlukan kandungan karbon dan nitrogen untuk energi dan membantu dalam pertumbuhan sel-sel kapang. Perbandingan kandungan karbon dan nitrogen di dalam media disebut sebagai nisbah C/N. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Walker (1999), bahwa ada beberapa dasar penting untuk mempersiapkan media, yaitu:

1.Komposisi bahan: Kemurnian, perbandingan karbon dan nitrogen, perbedaan variasi tiap bagian, tersedianya nutrisi bagi pertumbuhan mikroba.

2.Pengaruh dari perbedaan pencampuran tiap bahan, pH yang dibutuhkan sebelum dan sesudah sterilisasi, efek sterilisasi pada mineral dan garam.

3.Perubahan pada media sebelum inokulasi, suhu, aerasi, pengadukan dan penggunaan antifoam. Komposisi nisbah C/N media yang optimum untuk pertumbuhan mikroba dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komponen elemen-elemen yang dibutuhkan oleh mikroba untuk hidup

Elemen Bakteri (%b.k) Khamir (%b.k) Jamur (%b.k)

Karbon 50-53 45-50 40-63

Nitrogen 12-15 7,5-11 7-10

Hidrogen 7 7 -

Fosfor 2-3 0,8-2,6 0,4-4,5

Sulfur 0,2-1 0,01-0,24 0,1-0,5

Kalium 1-4,5 1-4 0,2-2,5

Natrium 0,5-1 0,01-0,1 0,02-0,5 Kalsium 0,01-1,1 0,1-0,3 0,1-1,4

Magnesium 0,1-0,5 0,1-0,5 0,1-0,5

Khlorida 0,5 - -

Besi 0,02-0,2 0,01-0,5 0,1-0,2

(24)

24

F.

TONGKOL JAGUNG

Tongkol jagung merupakan limbah dari jagung yang telah dipipil dan biasa digunakan untuk bahan tambahan pakan ternak (Irawadi, 1990). Karakteristik dan komposisi kimia tongkol jagung disajikan pada Tabel 3.

Tongkol jagung biasanya digunakan sebagai sumber hijuan pada pakan ternak ruminansia dikarenakan mengandung serat kasar yang tinggi. Kadar serat pada tongkol jagung terdiri atas lignin, hemiselulosa dan selulosa. Hal inilah yang menyebabkan tongkol jagung merupakan media yang tepat untuk dihidrolisis dengan menggunakan kapang yang menghasilkan enzim selulolitik (Parakkasi, 1999).

Tabel 3. Karakteristik dan komposisi kimia tongkol jagung

Komponen Kandungan (%b.b)

Air 9,4 Abu 1,5

Protein kasar 2,5

Lemak kasar 0,5

Serat kasar 32

Lignin 6 Hemiselulosa 36 Selulosa 41 Sumber : Johnson (1991)

G.

PAKAN TERNAK

Limbah tanaman jagung biasa digunakan sebagai pakan ternak, terutama ternak ruminansia (Pasaribu, 1993). Menurut Prihatman (2000), kandungan protein serta serat kasar yang dapat memenuhi kebutuhan ternak ruminansia masing-masing sebesar 8% dan 15%. Ternak ruminansia memanfaatkan selulosa sebagai sumber energi utama dalam menyokong pertumbuhan, produksi dan reproduksi (Lynd et al., 2002).

Adanya bantuan mikroba rumen untuk meningkatkan kecernaan bahan makanan yang mengandung karbohidrat struktural, kandungan lignin dan silika pada bahan pakan akan mempengaruhi produksi energi metabolisme. Bahan pakan yang mengandung lignin yang tinggi akan lebih sulit dicerna, sehingga lebih banyak energi dari bahan makanan tersebut yang keluar melalui feses (Parakkasi, 1999).

Menurut Tillman et al. (1989), hewan tidak menghasilkan enzim untuk mencerna selulosa dan hemiselulosa, tetapi mikroba yang ada di dalam saluran pencernaan yang menghasilkan enzim selulase dan hemiselulase. Hal inilah yang menyebabkan perlu dilakukannya penambahan kapang selolitik untuk meningkatkan kandungan protein di dalam pakan ternak, serta menghidrolisis serat kasar yang ada di dalam pakan tersebut sehingga mengurangi energi metabolis pada ternak ruminansia untuk mencerna pakan tersebut.

H.

HIDROLISIS SELULOSA PADA TONGKOL JAGUNG

Selulosa merupakan bahan penyusun utama jaringan serat dan dinding sel pada tumbuh-tumbuhan, seperti tongkol jagung. Selulosa terdiri atas sejumlah besar molekul glukosa yang bergandengan melalui gugus 1,4 β-glukosida dari molekul glukosa yang satu dengan gugus hidroksil C4 dari molekul glukosa yang lain. Selulosa berbentuk seperti kristal yang saling bergandengan

(25)

25

sejumlah kapang dan bakteri yang hidup dari substrat hasil-hasil pertanian dapat menghasilkan sejenis selulase yang dapat menghidrolisis selulosa menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana (Tjokroadikoesoemo, 1986).

Hidrolisis selulosa juga dapat dilakukan secara kimia dengan menggunakan asam maupun secara enzimatik. Menurut Gong et al. (1981), hidrolisis bahan-bahan berselulosa akan menghasilkan campuran gula dan xilosa yang merupakan komponen utama. Hidrolisis menggunakan asam dapat dilakukan dengan menggunakan asam kuat. Kelemahan hidrolisis ini adalah kebutuhan bahan kimia dan energi yang tinggi serta limbah hasil hidrolisis ini berbahaya (Clemants et al., 1985).

Hidrolisis secara enzimatis untuk menghidrolisis lignoselulosa dapat dilakukan dengan menggunakan mikroba yang menghasilkan ligninase dan selulase. Hidrolisis enzimatis memiliki keuntungan lebih banyak bila dibandingkan dengan hidrolisis menggunakan asam, antara lain tidak terjadinya degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi proses yang lebih lunak (suhu rendah, dan pH netral), berpotensi menghasilkan hasil yang tinggi dan biaya pemeliharaan relatif rendah (Taherzadeh dan Karimi, 2007).

(26)

26

III.

METODOLOGI

A.

BAHAN DAN ALAT

1.

Bahan

Bahan yang digunakan untuk penelitian ini terdiri atas: media untuk pembuatan inokulum, yaitu: onggok tapioka, bekatul beras, bungkil kacang tanah, dan ampas tahu; isolat kapang, yaitu: kapang Trichoderma viride dan Rhizopus oryzae; media untuk pengujian produktivitas inokulum, yaitu: tongkol jagung. Media untuk pembuatan kultur awal dan pengujian viabilitas spora, yaitu: Potato Dextrose Agar; bahan kimia untuk analisa, yaitu: alkohol 96%, metanol, air destilat, asam sulfat (H2SO4), asam borat (H3BO4), natrium hidroksida (NaOH), fenol

5%, asam dinitrosalisilat (DNS), katalis, Potato Dextrose Agar (PDA), Pb asetat, pelarut heksan, dan bahan-bahan lainnya.

2.

Alat

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas: peralatan yang digunakan untuk proses penyiapan media inokulum, yaitu: pengayak 40 mesh, hammer mills, mixer, dan alat penggiling lainnya; peralatan yang digunakan untuk proses kultivasi dan penyiapan kultur awal, yaitu: besek, inkubator, cawan petri, tabung reaksi, pembakar bunsen, dan autoklaf; peralatan yang digunakan untuk analisa, yaitu: oven, cawan porselen, cawan alumunium, labu erlenmeyer, labu ukur, desikator, tabung Soxhlet, labu didih, sudip, kertas saring, neraca analitik, penjepit,

magnetic stirrer, dan pipet volumetrik.

B.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:

1.

Produksi Inokulum

a. Penyiapan dan Karakterisasi Substrat

Media yang digunakan untuk pembuatan inokulum adalah ampas tapioka (onggok), bekatul, bungkil kacang tanah dan ampas tahu. Media tersebut dikeringkan terlebih dahulu dengan cara dikeringanginkan pada cahaya matahari, sedangkan ampas tahu dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 50°C. Media yang telah kering kemudian dihancurkan dengan menggunakan hammer mills dan blender sampai hancur menjadi tepung, dan disaring dengan menggunakan pengayak 40 mesh.

(27)

27

karbon dihitung dengan menggunakan pendekatan nilai kadar karbohidrat (by difference) dalam bahan, sedangkan nilai kadar nitrogen dihitung dengan menggunakan pendekatan nilai kadar protein dalam bahan.

b. Penyiapan Kultur

Penyegaran kultur dilakukan dengan cara menginokulasikan kapang Rhizopus oryzae dan Trichoderma viride ke media agar miring Potato Dextrose Agar (PDA). Metode inokulasi ini dilakukan dengan menggunakan jarum ose secara aseptis. Kemudian tabung tersebut ditutup dengan kapas dan diinkubasi di dalam inkubator dengan suhu 32°C selama 6 hari.

c. Pembuatan Inokulum

Pembuatan inokulum dilakukan dengan menggunakan wadah plastik yang sudah disterilkan dengan menggunakan alkohol 96%. Setelah kondisi steril, sebanyak 50 g substrat inokulum yang telah disterilkan dimasukkan ke dalam wadah tersebut. Komposisi substrat dapat dilihat pada Lampiran 2. Kemudian ke dalam substrat tersebut diinokulasikan suspensi spora yang sudah disegarkan sebanyak 20% (% v/b, bobot kering) yaitu sebanyak 10 ml suspensi, kemudian diaduk dan ditutup dengan kertas buram.

Substrat tersebut selanjutnya diinkubasikan pada inkubator dengan suhu antara 26-35°C (suhu ruang). Inkubasi dilakukan selama 3 hari dan kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven dengan suhu 50°C selama 1 hari. Setelah kering, inokulum disimpan dalam tempat tertutup yang telah dilapisi plastik. Tempat penyimpanan tersebut mempunyai suhu antara 28-30°C dan kelembaban relatif (Rh) sekitar 60-80%. Setelah itu inokulum kapang tersebut dipanen dan dikeringkan serta disimpan pada kemasan plastik.

2.

Kajian Umur Simpan Inokulum

Inokulum disimpan selama 2 bulan dengan dilakukan pengujian kadar air dan viabilitas spora setiap minggu (prosedur analisa disajikan pada Lampiran 1). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan faktor perlakuan komposisi substrat yang terdiri atas 3 taraf yaitu: onggok dengan bekatul, onggok dengan bungkil kacang tanah dan onggok dengan ampas tahu. Faktor lainnya adalah faktor lama penyimpanan yang terdiri atas 9 taraf, yaitu: minggu ke-0, minggu ke-1, minggu ke-2, minggu ke-3, minggu ke-4, minggu ke-5, minggu ke-6, minggu ke-7, dan minggu ke-8. Uji analisa perubahan kadar air dan viabilitas spora inokulum dapat dilihat pada Lampiran 3. Tiap perlakuan memiliki dua kali ulangan. Model rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut (Mattjik et al., 2000):

Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + εijk

Keterangan:

Yijk = nilai pengamatan

μ = rata-rata sebenarnya

αi = pengaruh faktor α (komposisi substrat) pada taraf ke-i (i: onggok+bekatul, onggok+ampas tahu, onggok+bungkil kacang tanah)

βj = pengaruh faktor β (lama penyimpanan) pada taraf ke-j (j: 1,2,3,4,5,6,7,8) (αβ)ij = pengaruh interaksi faktor α taraf ke-i dengan faktor β taraf ke-j

(28)

28

Data yang dihasilkan dianalisis dengan ANOVA menggunakan Statistic Analysis

Software (SAS) dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%. Apabila didapatkan hasil yang

berpengaruh nyata, maka akan dilakukan uji lanjut Duncan untuk mengetahui perbedaan perlakuan yang ada.

3.

Aplikasi Inokulum untuk Hidrolisis Tongkol Jagung

a. Penyiapan dan Karakterisasi Tongkol Jagung

Tongkol jagung yang telah dikeringkan, harus dipotong kecil-kecil dan digiling dengan hammer mills, kemudian digiling kembali dengan hammer mills yang disaring dengan menggunakan pengayak 40 mesh sehingga dapat menjadi tepung yang lebih halus. Tahap selanjutnya adalah melakukan analisis komponen bahan yang meliputi analisa komponen proksimat (kadar air, abu, protein, lemak, serat kasar, dan karbohidrat (by difference)), total gula dan gula pereduksi. Prosedur analisa dapat dilihat pada Lampiran 1.

b. Hidrolisis Tongkol Jagung Menggunakan Inokulum Terpilih

Dari hasil uji viabilitas didapatkan inokulum dengan viabilitas spora tertinggi dari setiap kapang dan substrat yang digunakan. Inokulum tersebut diinokulasikan ke tongkol jagung untuk diujikan kemampuan inokulum tersebut dalam menghidrolisis tongkol jagung. Substrat tongkol jagung disiapkan sebanyak 100 g dan dicampur dengan air sebanyak 150 ml. Substrat ini kemudian disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit. Sebanyak 100 g tongkol jagung dibagi ke dalam wadah plastik dan diinokulasikan inokulum spora sebanyak 15 g (15% g/g), kemudian dicampurkan secara aseptis. Setelah itu ditutup dengan kertas buram dan diinkubasikan selama 9 hari. Setelah itu tongkol jagung yang telah dihidrolisis dipanen dan dikeringkan. Gambar hasil kultivasi tongkol jagung oleh kedua kapang tersebut dapat dapat dilihat pada Lampiran 4.

c. Karakterisasi Tongkol Jagung Hasil Hidrolisis

Setelah diinkubasi, dilakukan pemanenan kultur dan dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 50°C selama 1 hari. Hasil tongkol jagung yang telah dikultivasi tersebut dianalisis kadar air, abu, protein, lemak, serta kasar, karbohidrat (by difference), total gula dan gula pereduksi. Setiap pengujian digunakan dua perlakuan yaitu tongkol jagung yang dikultivasi dengan inokulum yang disimpan selama 4 minggu dan tongkol jagung yang dikultivasi dengan inokulum yang disimpan selama 8 minggu serta pada setiap perlakuan tersebut dilakukan dua ulangan. Data yang dihasilkan kemudian dianalisis uji pembeda t dengan menggunakan level toleransi α sebesar 5%.

Uji pembeda t adalah uji analisis dengan menunjukan nilai statistik t. Hasil dari nilai statistik t pengamatan dibandingkan dengan nilai statistik tα/2. Apabila nilai statistik t

(29)

29

Berikut merupakan rumus statistik uji pembanding rata-rata populasi 2 sampel dengan nilai statistik t (uji pembeda t) (Iriawan, 2006):

μ1 = Perlakuan 1 (tongkol jagung yang dikultivasi dengan inokulum yang disimpan

selama 4 minggu)

μ2 = Perlakuan 2 (tongkol jagung yang dikultivasi dengan inokulum yang disimpan

selama 8 minggu)

Hipotesis: H0: P (μ1 - μ2) >

α

(0,05)
(30)

30

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

PRODUKSI INOKULUM

1.

Karakteristik Substrat Inokulum

Substrat yang digunakan terdiri dari onggok (ampas tapioka), bekatul, bungkil kacang tanah dan ampas tahu. Substrat tersebut dipilih dikarenakan mudah untuk diperoleh dan merupakan hasil samping dari industri pertanian.

[image:30.612.148.515.376.480.2]

Substrat yang digunakan harus dikecilkan ukurannya sampai sebesar 40 mesh dan digunakan keadaan steril. Hal ini dilakukan agar kapang dapat tumbuh secara merata dan tidak adanya mikroba lain yang tumbuh di dalam inokulum kapang tersebut. Selanjutnya substrat tersebut dianalisis komponen proksimat untuk menentukan jumlah nitrogen dan karbon di dalam media tersebut. Jumlah karbon diambil dengan melakukan pendekatan analisa karbohidrat (by difference). Jumlah nitrogen diambil dengan melakukan pendekatan analisa protein kasar. Nisbah karbon dan protein ini digunakan untuk menentukan perbandingan nilai C/N yang terbaik untuk pembuatan inokulum. Pada Tabel 2, diketahui bahwa media yang sesuai untuk pertumbuhan kapang mengandung karbon sebanyak 40-63% (b.k) dan nitrogen sebanyak 7-10% (b.k). Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa kandungan C/N adalah antara 4-9. Hasil analisa proksimat onggok, bekatul, bungkil kacang tanah dan ampas tahu dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi proksimat substrat inokulum

Komponen Onggok (%b.k)

Bekatul (%b.k)

Bungkil Kacang Tanah (%b.k)

Ampas Tahu (%b.k)

Abu 2,17 12,59 5,17 3,30

Protein 1,94 12,97 26,36 19,77

Lemak 0,33 16,35 23,06 6,10

Serat Kasar 10,18 12,19 0,58 30,02 Karbohidrat

(by difference)

85,39 45,90 44,83 40,81 Rasio C/N 44,04 3,54 1,70 2,06

Berdasarkan analisa proksimat tersebut, diperlukan kombinasi substrat untuk membuat media dengan nisbah C/N = 5 bagi pembuatan inokulum kapang. Hal ini dikarenakan untuk membuat inokulum dibutuhkan kandungan nitrogen yang cukup serta kandungan karbon yang tidak terlalu tinggi. Hal ini diperkuat oleh Peppler (1979), yang menyatakan bahwa untuk pertumbuhan kapang, nitrogen sangat dibutuhkan sebagai stimulan dalam pertumbuhan kapang sehingga dihasilkan spora yang banyak, sedangkan karbon dibutuhkan sebagai sumber energi dengan cara melakukan proses pemecahan karbohidrat yang ada pada bahan sehingga diperoleh energi.

(31)
[image:31.612.145.509.91.192.2]

31

Tabel 5. Hasil perhitungan komposisi campuran substrat inokulum dengan rasio C/N = 5/1

Komponen Onggok+bekatul (%b.k)

Onggok+Bungkil Kacang Tanah (%b.k)

Onggok+Ampas Tahu (%b.k)

Persentase bobot 1,86 : 7,43 4,02 : 3,50 3,61: 4,71

Abu 10,50 3,56 2,81

Protein 10,76 13,31 12,03

Lemak 13,14 10,91 3,60

Serat Kasar 11,78 5,71 21,41 Karbohidrat

(by difference)

53,81 66,51 60,16

2.

Pembuatan Inokulum

Inokulum merupakan bahan dalam bentuk padat maupun cair yang mengandung spora atau konidia yang sengaja ditambahkan pada substrat. Tujuan dibuatnya spora kapang dalam bentuk inokulum adalah untuk mempermudah penggunaan kapang tersebut dan membuat kapang menjadi tahan lama untuk dapat digunakan langsung saat diperlukan.

Produksi inokulum dilakukan dengan menggunakan media yang telah dihitung kombinasinya. Sebelum diinokulasi, media tersebut harus ditambahkan air untuk memberikan kondisi pertumbuhan yang sesuai untuk kapang. Selain itu, substrat juga harus disterilkan untuk menghindari tumbuhnya kapang lain.

Media substrat yang telah siap, dimasukkan ke dalam wadah plastik (baskom) yang telah disterilkan dan dimasukkan ke dalam ruangan steril. Kapang yang telah disegarkan dengan menggunakan media agar miring PDA diinokulasikan ke dalam media dan ditutup dengan menggunakan kertas buram. Kertas buram digunakan karena kapang membutuhkan oksigen untuk melakukan metabolisme dalam pertumbuhannya, namun untuk menghindari kontaminasi maka wadah ditutup dengan menggunakan bahan yang tidak terlalu rapat seperti kertas buram.

Media yang telah diinokulasikan dengan kapang tersebut kemudian diinkubasikan selama tiga hari untuk mendapatkan pertumbuhan kapang pada fase awal stasioner. Fase ini dipilih karena spora kapang berada pada kondisi maksimal. Menurut Gandjar (2006), kapang

Trichoderma viride dan Rhizopus oryzae cenderung mengalami fase stationer setelah diinkubasi selama 3 hari.

Setelah pemanenan inokulum kapang selanjutnya dilakukan pengeringan inokulum tersebut pada suhu 50°C selama satu hari. Suhu pengeringan ini tidak boleh terlalu tinggi dikarenakan dapat mematikan spora kapang. Pengeringan dilakukan agar aktivitas metabolisme kapang menjadi terhenti dikarenakan tidak memiliki kondisi kadar air yang sesuai bagi kapang untuk melakukan metabolisme. Menurut Fardiaz (1989), air sangat mempengaruhi pertumbuhan kapang dikarenakan air berfungsi sebagai reaktan dan struktur organ dari kapang.

(32)

B.

P

p t k t

1

PERUBAH

Pengu pengamatan se terdiri atas pen kapang tersebu terhadap perub

1.

Kadar A

[image:32.612.130.518.341.656.2]

H dan intera kadar air. kadar air b L Menurut B mikoba ya berpengaru Perubahan dilihat pad Gambar 3 1 1 2 Kad ar Air ( % ) 1 1 2 Kad a r Air (% )

HAN KUALI

ujian terhadap elama dua bula ngujian peruba ut. Hasil sidik r bahan paramete

Air

Hasil analisis ra aksi antara jeni

Selanjutnya h berbeda nyata p Lama penyimp Buckle et al., ang menghasilk

uh nyata terh n kadar air pa da Gambar 3.

. Perubahan k penyimpana -5 0 5 0 0 1 Umur S -5 0 5 0 0 1 Umur S

ITAS INOK

kualitas inoku an, sehingga dip ahan kadar air

ragam (Lampi er kualitas inok

agam (Lampira is substrat dan hasil uji lanjut pada semua pe panan mengaki (1985), pening kan air. Berdas hadap peruba ada inokulum

kadar air inokul an

2 3 4

Simpan Inokul

2 3 4

Simpan Inoku

KULUM SE

ulum dilakukan peroleh sembil dan viabilitas ran 3), menunj kulum selama p

an 3) menunju n lama penyim t Duncan terha erlakuan kompo ibatkan kadar gkatan kadar a sarkan data ana ahan paramete

Rhizopus oryz

lum Rhizopus o

5 6 7

lum (Minggu)

5 6 7

ulum (Minggu)

ELAMA PEN

n setiap semin lan titik penguj spora dari keti jukan bahwa je penyimpanan.

ukan bahwa jen mpanan member adap komposis osisi substrat.

air di dalam air dapat terjad alisis ragam m er kadar air

yzae dan Trich

oryzae (a)dan 7 8

)

7 8

)

NYIMPAN

nggu sekali de jian. Pengujian iga jenis substr enis kapang be

nis substrat, lam rikan pengaruh si substrat men bahan cender di karena adan menunjukan bah bahan selama

hoderma viride

Trichoderma v

Bekatul + O Kacang Tan Ampas Tahu Bekatul +On Kacang Tan Ampas Tahu 3

AN

ngan melakuk n yang dilakuk rat dan dua jen erpengaruh nya

ma penyimpan h nyata terhad nunjukan bahw rung bertamba nya metabolism hwa jenis kapan a penyimpana

e tersebut dap

viride (b)selam Onggok

nah + Onggok u + Onggok

nggok nah + Onggok

(33)

33

Berdasarkan data pada Lampiran 3.A dapat diketahui bahwa kadar air awal inokulum

Rhizopus oryzae lebih tinggi bila dibandingkan dengan kadar air awal inokulum Trichoderma viride. Hal ini dikarenakan struktur kapang R.oryzae yang memiliki miselium yang cenderung lebih rapat bila dibandingkan dengan kapang T.viride, sehingga mengakibatkan tingginya kandungan air dalam inokulum (Dwidjoseputro, 1978).

Perubahan kadar air pada inokulum kapang Rhizopus oryzae cenderung lebih stabil bila dibandingkan dengan perubahan kadar air pada inokulum kapang Trichoderma viride. Pada inokulum kapang Rhizopus oryzae yang menggunakan substrat bekatul+onggok terjadi perubahan dari 10,49% menjadi 10,18%, pada inokulum yang menggunakan substrat bungkil kacang tanah+onggok terjadi perubahan dari 16,12% menjadi 17,08% dan pada inokulum ampas tahu+onggok terjadi perubahan dari 12,39% menjadi 12,36%. Pada inokulum kapang

Trichoderma viride yang menggunakan substrat bekatul+onggok terjadi kenaikan dari 7,35% menjadi 9,05%, pada inokulum yang menggunakan substrat bungkil kacang tanah+onggok terjadi kenaikan dari 8,92% menjadi 9,95% dan pada inokulum yang menggunakan substrat ampas tahu+onggok terjadi kenaikan dari 10,20% menjadi 12,51%.

Berdasarkan data peningkatan kadar air tersebut, inokulum kapang Rhizopus oryzae

cenderung lebih stabil bila dibandingkan dengan inokulum kapang Trichoderma viride. Adanya perbedaan dari peningkatan kadar air pada inokulum kedua kapang tersebut ditentukan dari sifat substrat yang digunakan serta jenis dari kapang yang digunakan. Bahan yang bersifat higroskopis, cenderung lebih cepat menyerap uap air bila dibandingkan dengan bahan yang tidak mempunyai sifat higroskopis. Ketiga jenis substrat kombinasi yang digunakan mempunyai sifat higroskopis yang relatif sama, oleh sebab itu perubahan kadar air pada inokulum lebih cenderung ditentukan oleh jenis kapang yang digunakan. Kapang Rhizopus oryzae memiliki miselium yang tidak bersekat-sekat dan cenderung lebih rapat bila dibandingkan dengan kapang Trichoderma viride. Hal inilah yang mengakibatkan uap air yang ada di udara menjadi sulit masuk ke dalam inokulum, sehingga mengakibatkan inokulum kapang Rhizopus oryzae cenderung lebih stabil bila dibandingkan dengan inokulum kapang Trichoderma viride.

Peningkatan kadar air juga dapat diakibatkan oleh adanya penetrasi uap air dari lingkungan yang masuk ke dalam bahan. Kenaikan kadar air yang terjadi tidak terlalu tinggi dikarenakan penyimpanan dilakukan pada tempat yang cenderung kering dan menggunakan kemasan polietilen yang tahan terhadap uap air dari luar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sacharow dan Griffin (1970), plastik kemasan polietilen mempunyai daya proteksi yang baik terhadap uap air akan tetapi kurang baik terhadap gas-gas yang lain seperti oksigen.

Inokulum kering bersifat higroskopis, sehingga mudah menyerap air yang ada di udara. Semakin kecil kadar air inokulum dibandingkan dengan kadar air ruangan penyimpanan, mengakibatkan semakin banyak uap air yang menyerap masuk ke dalam bahan untuk menyeimbangkan kelembaban di dalam bahan dengan kelembaban yang ada di luar kemasan. Adanya perbedaan kelembaban di dalam bahan dengan lingkungan di luar dapat mengakibatkan terjadinya penetrasi uap air ke dalam bahan (Buckle et al.,1985).

2.

Viabilitas Spora

Spora kapang tidak dapat tumbuh di dalam bahan inokulum yang sudah dikeringkan. Hal ini diperkuat oleh Dwidjoseputro (1978), yaitu dalam keadaan nutrisi yang optimum, kapang membiak dengan cepat sekali, namun apabila terjadi kekeringan, dapat mengakibatkan faktor pembatas bagi pertumbuhan kapang. Hal inilah yang mengakibatkan selama penyimpanan spora kapang tidak terjadi kenaikan jumlah spora di dalam inokulum tersebut.

(34)

34

Menurut Gaman dan Sherrington (1981), spora kapang merupakan bentuk germinasi dari kapang yang merupakan alat untuk bereproduksi pada kapang secara aseksual. Spora untuk setiap kapang selulolitik memiliki kemampuan yang berbeda-beda untuk dapat bertahan hidup pada setiap media yang digunakan. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya perbedaan jumlah spora yang dihasilkan pada setiap media.

Perbedaan pertumbuhan spora juga dapat diakibatkan oleh adanya faktor kematangan spora pada saat proses pembuatan inokulum. Menurut Bilgrami dan Verma (1978), spora kapang selama mengalami periode dorman melakukan penyempurnaan proses pematangan. Apabila spora tersebut telah matang maka periode dorman digunakan sebagai periode menjalani istirahat sebelum bergerminasi. Hal inilah yang mengakibatkan spora yang sudah matang akan lebih cepat bergerminasi bila dibandingkan dengan spora yang belum cukup matang. Spora yang belum cukup matang akan melakukan penyempurnaan kematangannya dengan menambah waktu dormannya. Hal inilah yang juga mengakibatkan terjadinya perbedaan jumlah spora yang dihasilkan oleh setiap kapang terhadap media inokulum yang digunakan.

Spora yang telah matang juga memiliki kelebihan bila dibandingkan dengan spora yang belum terlalu matang. Hal ini diperkuat oleh Ilyas (2007), yaitu secara morfologis dan fisiologis spora yang sudah matang akan memiliki ketahanan yang lebih terhadap perubahan kondisi lingkungan. Hal inilah yang mengakibatkan perubahan viabilitas spora bagi spora yang viabilitas awalnya tertinggi akan menjadi lebih dapat bertahan lama apabila dibandingkan dengan yang viabilitas awalnya rendah.

Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 3) menunjukan bahwa jenis kapang berpengaruh nyata terhadap perubahan parameter viabilitas spora pada inokulum selama penyimpanan. Hasil analisis viabilitas spora pada kedua jenis kapang menunjukan terjadinya penurunan jumlah spora. Hal ini dikarenakan adanya perubahan komponen nutrisi di dalam substrat serta adanya kondisi lingkungan yang mempengaruhi inokulum tersebut. Hal ini diperkuat oleh Frazier (1992), spora mikroba dapat berkurang kemampuannya untuk bergerminasi dikarenakan kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Menurut Fardiaz (1989), faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba tersebut terdiri atas perubahan kadar air, oksigen, suhu, pH, menurunnya kandungan nutrien di dalam bahan serta adanya komponen anti mikroba di dalam bahan. Hal ini yang mengakibatkan semakin lama inokulum disimpan, maka akan semakin berkurang jumlah spora yang ada di dalam inokulum tersebut.

Berdasarkan data hasil pengamatan viabilitas spora selama dua bulan untuk kapang

R.oryzae (Lampiran 3B), diketahui bahwa semakin lama penyimpanan inokulum mengakibatkan spora dalam berbagai substrat mengalami penurunan. Data viabilitas spora dapat dilihat pada Gambar 4. Pada substrat bekatul+onggok mengalami penurunan dari 106,13 x 107 menjadi 24,49 x 107 (spora/g bobot kering) atau mengalami penurunan sebesar 7,06%. Pada substrat bungkil kacang tanah+onggok mengalami penurunan dari 21,46 x 107 menjadi 1,21 x 107 (spora/g bobot kering) atau mengalami penurunan sebesar 15,01%. Pada substrat ampas tahu+onggok mengalami penurunan dari 92,45x 107 menjadi 32,00 x 107 (spora/g bobot kering) atau mengalami penurunan sebesar 6,66%.

Berdasarkan data hasil pengamatan viabilitas spora selama dua bulan untuk kapang

T.viride, diketahui bahwa semakin lama penyimpanan inokulum mengakibatkan spora dalam berbagai substrat juga mengalami penurunan. Pada substrat bekatul+onggok mengalami penurunan dari 75,01 x 107 menjadi 13,74 x 107 (spora/g bobot kering) atau mengalami penurunan sebesar 8,3%. Pada substrat bungkil kacang tanah+onggok mengalami penurunan dari 11,53 x 107 menjadi 1,11 x 107 (spora/g bobot kering) atau mengalami penurunan sebesar

12,61%. Pada substrat ampas tahu+onggok mengalami penurunan dari 60,69 x 107 menjadi 12,00 x 107 (spora/g bobot kering) atau mengalami penurunan sebesar 8,01%.

(35)

tanah+ong inokulum

Gambar 4

Ju dikarenaka lemak yan spora mik bahwa mi terlalu ba pembentuk tahu+ongg inokulum K pertumbuh karbohidra kasar yang terhadap k kapang di bekatul+on 1 Ju ml a h S p or a (% ) 1 Juml ah Sp ora (% )

ggok. Hal inil tersebut.

4. Perubahan v penyimpana

umlah spora ya an adanya kan ng tinggi dapat kroba tersebut. inyak diperluk anyak dapat m kan sel mikrob gok menghasi

bungkil kacan Kandungan se han kapang. M at kompleks ya g tinggi di dala kapang dalam b

i dalam substr nggok. 80 85 90 95 00 0 1 Umur 80 85 90 95 00 0 1 U

lah yang mem

viabilitas spora an

ang sangat ren ndungan lemak t menghambat . Hal ini diper kan dalam pem mengakibatkan

ba. Hal ini men lkan sel spor g tanah+onggo erat kasar di Menurut Mayna ang hanya dapa am bahan akan

bentuk karbon. rat ampas tahu

2 3 4

r Simpan Inok

2 3 4

Umur Simpan

mpengaruhi pe

a Rhizopus ory

ndah pada subst k yang tinggi pertumbuhan b rkuat oleh Mc mbuatan medi minyak menu ngakibatkan su ra yang lebih ok.

dalam substr ard dan Loosli at dicerna oleh n dihidrolisis ol . Hal inilah yan u+onggok leb 4 5 6 7

kulum (Minggu

4 5 6 7

n Inokulum (M

erbedaan juml

yzae (a) dan T

trat kombinasi pada substrat bagi mikroba s cNeil dan Harv ia, namun kan

utupi substrat ubstrat inokulu

tinggi bila d rat dapat me i (1956), serat h mikroba, teru

leh kapang unt ng mengakibat bih kecil bila

7 8

u)

7 8

Minggu)

ah spora yang

Trichoderma v

bungkil kacan t tersebut. Ad serta mempeng

vey (2008), y ndungan jumla sehingga dap um bekatul+on dibandingkan emberikan pen kasar mengan utama kapang. K

tuk memberika tkan persentase dibandingkan

Bekatul + O Bungkil Ka Onggok Ampas Tah

(b Bekatul + O Bungkil Ka Onggok Ampas Tah

3

g ada di dala

viride (b) selam

ng tanah+ongg anya kandung garuhi jumlah s

ang mengatak ah minyak yan pat menghamb nggok dan amp dengan substr ngaruh terhad ndung kompon Kandungan ser an sumber ener e kematian spo dengan substr Onggok acang Tanah + hu + Onggok

b) Onggok acang Tanah + hu + Onggok

[image:35.612.130.519.119.471.2]
(36)

36

Berdasarkan data hasil pengamatan viabilitas spora inokulum yang telah disimpan selama dua bulan, diketahui bahwa substrat yang menghasilkan spora terbanyak adalah substrat bekatul+onggok. Hal ini dikarenakan pada media ini mengandung nutrien yang baik untuk mendukung pertumbuhan spora kapang. Hal ini diperkuat oleh Rachman (1989), yaitu media untuk membentuk spora kapang pada media padat yang baik adalah dengan menggunakan media dari biji-bijian seperti barley, bekatul dan jagung. Setyowati (2006) juga mengatakan bahwa bekatul merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba dikarenakan mempunyai kandungan karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin yang cukup banyak, sehingga cocok untuk nutrisi bagi pertumbuhan mikroba. Nursalim dan Razali (2007), juga menambahkan bahwa bekatul memiliki kandungan gizi yang tinggi dikarenakan mengandung mineral yang terdiri atas kalsium (Ca), magnesium (Mg), mangan (Mn), besi (Fe), kalium (K) dan seng (Zn). Hal inilah yang mengakibatkan bekatul menjadi media terbaik untuk menghasilkan inokulum spora kapang

Rhizopus oryzae dan Trichoderma viride.

Berdasarkan data hasil pengamatan viabilitas spora inokulum R.oryzae juga diperoleh bahwa bila dibandingkan antara substrat bekatul+onggok dengan substrat ampas tahu+onggok terdapat perbedaan yang tidak signifikan. Selain itu juga penurunan viabilitas terendah didapatkan pada substrat ampas tahu+onggok. Hal ini dikarenakan substrat ampas tahu+onggok mengandung kadar serat kasar yang tinggi sehingga dapat menjadi media pengisi bagi spora inokulum untuk dapat bertahan hidup.

Jumlah spora yang terdapat di dalam inokulum T.viride dan R.oryzae masih menunjukan hasil yang baik meskipun telah dilakukan penyimpanan selama dua bulan. Hal ini dilihat dari jumlah spora yang masih tinggi dan penurunan viabilitas spora yang tidak terlalu tinggi. Menurut Lindajati (1983) kandungan spora inokulum kapang yang terbaik adalah berkisar antara 107 – 108 spora/g. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan terhadap viabilitas spora T. viride

dan R. oryzae yang berkisar antara 107 -108 spora/g, sehingga dapat dikatakan bahwa inokulum masih dalam keadaan baik untuk digunakan meskipun telah disimpan selama dua bulan.

C.

APLIKASI INOKULUM UNTUK HIDROLISIS TONGKOL JAGUNG

1.

Karakterisasi Tongkol Jagung

[image:36.612.190.464.556.676.2]

Berdasarkan hasil uji proksimat terhadap tongkol jagung yang digunakan sebagai media dalam penelitian ini mengandung komposisi yang disajikan dalam Tabel 6. Menurut Prihatman (2000), kandungan protein serta serat kasar yang dapat memenuhi kebutuhan ternak ruminansia masing-masing sebesar 8 % dan 15%. Jika dilihat dari data hasil uji proksimat tongkol jagung yang diperoleh, maka perlu dilakukan peningkatan kandungan protein dan penurunan kandungan serat kasar di dalam tongkol jagung tersebut sehingga dapat menjadi bahan pakan ternak yang baik untuk ternak ruminansia.

Tabel 6. Komposisi kimia tongkol jagung

Komponen Kandungan (%b.b)

Air 10,71 Abu 1,69 Protein kasar 0,60

Lemak kasar 2,09 Serat kasar 79,15

Karbohidrat (by difference) 5,76

(37)

37

Menurut Prihatman (2000), kandungan protein serta serat kasar yang dapat memenuhi kebutuhan ternak ruminansia masing-masing sebesar 8% dan 15%. Jika dilihat dari data hasil uji proksimat tongkol jagung yang diperoleh, maka perlu dilakukan peningkatan kandungan protein dan penurunan kandungan serat kasar di dalam tongkol jagung tersebut sehingga dapat menjadi bahan pakan ternak yang baik untuk ternak ruminansia.

Komponen protein yang rendah perlu ditingkatkan dengan cara menambahkan inokulum kapang ke dalam tongkol jagung. Hal ini dikarenakan inokulum kapang mengandung komponen protein yang tinggi sebagai komponen pembentuk sel kapang tersebut. Semakin banyak sel kapang yang terbentuk maka akan meningkatkan kandungan protein di dalam bahan tersebut.

Komponen serat yang tinggi dapat mengakibatkan tongkol jagung menjadi sulit dicerna oleh ternak. Komponen serat kasar yang terdapat di dalam tongkol jagung merupakan komponen serat lignoselulosa yang terdiri atas komponen lignin, hemiselulosa dan selulosa dalam struktur yang kompak. Kapang selulotik mempunyai kemampuan untuk menghidrolisis selulosa yang ada di dalam bahan menjadi gula-gula sederhana. Oleh sebab itu, adanya hidrolisis menggunakan kapang selulolitik akan menurunkan kadar serat kasar pada tongkol jagung. Kelemahan dari kultivasi tongkol jagung menggunakan kapang selulolitik adalah adanya kandungan lignin di dalam tongkol jagung yang masih cukup tinggi dikarenakan lignin sulit terhidrolisis oleh kapang selulolitik, sehingga untuk mengoptimalkan hidrolisis tongkol jagung perlu dilakukan pendegradasian kadar lignin di dalam bahan.

2.

Hidrolisis Tongkol Jagung Menggunakan Inokulum Terpilih

Inokulum kapang yang memiliki jumlah spora tertinggi dari setiap media yang digunakan pada kapang T.viride dan R.oryzae merupakan inokulum yang menggunakan substrat kombinasi bekatul+onggok. Hasil analisa kadar air dan viabilitas spora inokulum yang terbaik dapat dilihat pada Lampiran 6. Inokulum yang

Gambar

Gambar 1. Bentuk  dan komponen-komponen sel  Trichoderma viride : a.Konidia dan konidiosfor T.viride perbesaran 512x, b.perbesaran 1000x, c.perbesaran 1600x, d.perbesaran 4400x, e.Klamidiospora perbesaran 1600x (de Hoog,  2000)
Gambar 2. Bentuk dan komponen-komponen sel  Rhizopus oryzae : a.Sporangiofor b.Sporangium c.Kolumela d.Sporangiospora e.Khlamidospora (Gandjar et al.,1999)
Tabel 2. Komponen elemen-elemen yang dibutuhkan oleh mikroba untuk hidup
Tabel 3. Karakteristik dan komposisi kimia tongkol jagung
+7

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahkan rahmat-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Pengaruh Ekstrak Daun Kumis Kucing ( Orthosiphon stamineus .Bth)

P enggunaan Media Teleprometer dalam P embelajaran Membaca Teks Berita (P enelitian Eksperimen Kuasi terhadap Siswa Kelas VIII SMP Negeri 5 Bandung Tahun Ajaran

Penulisan ilmiah ini menjelaskan mengenai perancangan program aplikasi transaksi valuta asing dengan menggunakan bahasa pemrograman Visual Basic 6.0 disertai dengan diagram

[r]

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

Pendekatan kuantitatif adalah metode penelitian yang berdasar falsafah positisve, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan

Permasalahan yang diperbincangkan adalah, (1) apakah akhiran –o dalam BM sub-dialek Talang merupakan sebuah morfem terikat?, (2) apakah terjadi variasi –o itu dalam

Diharapkan dengan adanya studi literatur ini, dapat menghasilkan strategi komunikasi yang tepat untuk diterapkan bagi masyarakat peternak maupun pemerintah daerah Kabupaten