• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil penelitian tahap dua digunakan pada penelitian ketiga yang bertujuan untuk aplikasi penggunaan konsentrasi EDS terpilih terhadap buah cabai setelah panen. Cabai hasil sortasi dilakukan pencucian agar daun sirih bersih dari kotoran dan kontaminan lain serta bebas dari pestisida, kemudian dilakukan penirisan. Cabai yang sudah bersih dilakukan perlakuan pemberian EDS yang dijadikan sebagai faktor, yaitu tanpa pemberian daun sirih/kontrol, penyemprotan, perendaman 10 menit, perendaman 15 menit, dan perendaman 20 menit. Kemudian dilakukan penirisan lalu penyimpanan pada suhu ruangan (27 0C ±2). Dilakukan pengamatan mikrobiologi dan mutu fisik cabai sebagai pembuktian dampak penggunaan EDS. Perlakuan masing-masing diulang sebanyak 3 kali ulangan. Diagram alir penelitian ketiga disajikan pada gambar 3.

Analisis Mutu Fisik Cabai (in vivo)

Perkembangan Antraknosa selama Penyimpanan

Pengamatan untuk aplikasi pengujian EDS terhadap cabai dilakukan secara in vivo diamati setiap hari. Populasi cabai sebanyak 50 cabai diamati dengan melihat ada tidaknya spot pada cabai secara cermat dan dihitung setiap hari jumlah cabai yang terserang antraknosa (sampai hari ke-9). Adanya spot menunjukkan bahwa cabai tersebut terserang penyakit antraknosa. Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali ulangan dan dihitung persentase cabai yang terserang antraknosa dengan rumus menurut Bill et al. 2014:

15 Warna

Cabai dianalisis mutu bahan secara destruktif sebelum dan sesudah diberi perlakuan EDS dan semua sample dipastikan seragam. Parameter yang diukur adalah warna, kekerasan dan berat awal sampel. Parameter warna dilakukan dengan menggunakan metode image prosessing yaitu cabai diletakkan pada ruang yang telah diatur pencahayaannya kemudian diambil gambar dengan menggunakan kamera CCD. Hasil gambar ditransformasikan menggunakan

software photoshop untuk mendapatkan nilai L, a, b. Nilai L merupakan atribut nilai yang menunjukkan tingkat kecerahan suatu obyek, dengan kisaran 0-100. Nilai L yang mendekati nol menunjukkan obyek memiliki kecerahan rendah (gelap), nilai L yang mendekati 100 menunjukkan obyek memiliki kecerahan tinggi (terang). Nilai a* menyatakan spektrum warna dari merah ke hijau (nilai +60 – 0 menunjukkan warna merah, nilai 0 – (-60) menunjukkan warna hijau). Nilai b* menunjukkan derajad kekuningan atau kebiruan suatu obyek. Semakin positif nilai b* (+60 – 0) menunjukkan derajat kekuningan yang tinggi dan semakin negatif nilai b* (0 – (-60)) menunjukkan derajat kebiruan yang tinggi (Liyanage 2008). Hasil pengukuran nilai a dan b dikonversi ke dalam satuan kromatis C* dan derajat hue (°hue). Nilai C menunjukkan intensitas suatu warna sedangkan nilai °hue menunjukkan warna dominan dalam campuran beberapa warna. Untuk memperoleh nilai C* dan °hue digunakan rumus menurut Petzold et al.(2014) adalah sebagai berikut:

√ ... (3)

... (4) Tingkat Kekerasan

Parameter kekerasan dianalisis dengan menggunakan Rheometer. Sebelum dilakukan pengukuran, pada alat Rheometer model CR-300DX. Pilih plunger yang sesuai dengan sample lalu pilih beban maksimum dan kecepatan turun benda kemudian letakkan sample pada plunger. Operasikan plunger dengan kecepatan tetap menekan sample hingga patah/rusak/pecah, lalu catat nilai kekerasan (kgf). Berikut ini adalah pengaturan awal untuk penggunaan Rheometer untuk cabai pada penelitian ini :

Jarum penekan = 2.5 mm Mode 20 Max. 10 kg R/H hold = 10.0 mm P/T press = 30 mm/m Susut Bobot

Parameter susut bobot diukur dengan menggunakan timbangan digital, sample yang akan digunakan dipastikan seragam, sample ditimbang dengan menggunakan alat timbangan digital, setiap angka yang didapat akan dicatat (gram) dan akan dihitung susut bobot dari sample ditiap pengamatan selama penyimpanan. Persamaan yang digunakan untuk mengukur susut bobot tersebut adalah sebagai berikut:

... (5) Dimana: a = berat awal cabai (gram)

16

Uji Sensori

Parameter aroma dan warna secara subjektif dianalisis menggunakan uji sensori menggunakan 15 orang panelis. Skala penilaian yang diamati adalah warna cabai keseluruhan, aroma cabai keseluruhan, aroma daun sirih menggunakan metode garis (Stone et al. 1974). Formulir penilaian uji sensori disajikan pada Lampiran 7. Skala penilaian uji sensori dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Skala penilaian uji sensori Skala Penilaian Warna keseluruhan

cabai

Aroma keseluruhan cabai

Aroma daun sirih

0 >x≤ 20 tidak suka tidak suka lemah 20 >x≤ 40 agak tidak suka agak tidak suka agak lemah

40 >x≤ 60 netral netral netral

60 >x≤ 80 agak suka agak suka agak kuat

80 >x≤ 100 suka suka kuat

Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 3 ulangan dan dianalisis menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan di uji lanjut Tukey menggunakan software Minitab16. Huruf yang sama pada hasil uji lanjut menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan

Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yij µ + αi+ βj+ Ɛ ij ... (6) Keterangan:

Yij : Pengamatan pada kombinasi perlakuan ke-i perlakuan ke-j µ : Rataan umum

αi : Pengaruh perlakuan ke-i βj : Pengaruh perlakuan ke-j

17

Isolat

Colletotrichum acutatum

Media PDA Pembiakan 5-7 hari (siap untuk media biakan)

Biakan

Colletotrichum acutatum

Pengamatan Mikrobiologi:

Mengukur diameter pertumbuhan

C. acutatum setiap hari sampai 15 hari Daun Sirih

Pencucian Penirisan

Metode persiapan bahan

- Daun sirih utuh/kontrol - Blanching - Perajangan Perebusan (1 jam) Konsentrasi: 0%, 0,5%, 1%, 1,5%, 2% Media PDA Tempering Infestasi biakan C. acutatum Inkubasi t=3hari

Penentuan metode ekstraksi terbaik

(EDS) Penyaringan

Sterilisasi

Gambar 1 Diagram alir penelitian 1 (uji in vitro) untuk menentukan metode ekstraksi daun sirih terbaik (Chen et al. 2013)

18

Media PDA Tempering Infestasi biakan C. acutatum

Inkubasi (t=3hari) EDS Perajangan Konsentrasi: 0%, 3%, 5%, 10%, 15%, 20% Isolat Colletotrichum acutatum Media PDA Pembiakan 5-7 hari (siap untuk media biakan)

Biakan Colletotrichum acutatum

Pengamatan Mikrobiologi: Mengukur diameter pertumbuhan

C. acutatum setiap hari selama 21 hari

Hasil EDS Perajangan Konsentrasi: 0%, 5%, 6%, 7%, 8%,9%, 10% YA Tidak Penelitian Selanjutnya

Gambar 2 Diagram alir penelitian 2 (uji in vitro) untuk menentukan konsentrasi EDS paling efektif dalam menghambat pertumbuhan C. acutatum

(Chen et al. 2013)

Cabai Merah Segar

Perlakuan EDS (Kontrol, Penyemprotan, Perendaman 10', Perendaman

15', Perendaman 20') Tempering Penyimpanan Suhu Ruang

(270C ±2)

Pengamatan Mutu fisik: - Warna - Aroma - Kekerasan - Susut Bobot t = 3 hari, 6 hari, 9 hari, Konsentrasi

EDS 10%

Pengamatan Mikrobiologi: Menghitung jumlah cabai yang terserang penyakit antraknosa (ada spot pada cabai) Menentukan perlakuan pemberian EDS yang baik dalam menekan susut akibat penyakit antraknosa pada cabai

selama penyimpanan

Menentukan dan membuktikan mutu fisik cabai yang baik setelah diberi

perlakuan EDS

Gambar 3 Diagram alir penelitian 3 (uji in vivo) aplikasi pemberian EDS 10% dalam menekan kejadian penyakit antraknosa pada cabai selama penyimpanan (Bill et al. 2014).

19

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan Metode Ekstraksi

Penelitian pertama bertujuan untuk menentukan metode ekstraksi daun sirih yang baik dalam menghambat pertumbuhan C. acutatum. Hasil analisis sidik ragam penelitian pertama pada Gambar 4 menunjukkan adanya perbedaan nyata antara daun sirih utuh dengan perlakuan perajangan pada hari ke-15.

Gambar 4 Hubungan konsentrasi EDS dan diameter pertumbuhan C. acutatum 3 metode persiapan bahan hari ke-15.

Perlakuan perajangan mampu menekan pertumbuhan C. acutatum dengan diameter paling rendah yaitu sebesar 26,62 mm pada konsentrasi 1%. Hal tersebut diduga karena proses perajangan dapat mempermudah keluarnya senyawa fenol yang terkandung di dalam daun sirih. Hal ini didukung oleh penelitian Sudrajad (2004) yang menyatakan bahwa semakin tipis irisan simplisia, akan menyebabkan minyak atsiri yang terkandung di dalamnya mudah menguap dan akan semakin besar kandungan minyak atsiri yang dihasilkan. Dengan demikian, metode ekstraksi perajangan digunakan pada penelitian selanjutnya karena memiliki diameter pertumbuhan C. acutatum paling rendah. Pada Gambar 4 juga dapat dilihat bahwa dengan konsentrasi tersebut, diameter pertumbuhan C. acutatum

masih tinggi, sehingga perlu dilakukan penelitian tahap kedua untuk mengetahui konsentrasi paling efektif dalam menghambat pertumbuhan C. acutatum.

Kelemahan pada penelitian pertama yaitu tidak dilakukan analisis senyawa fenol yang terkandung dalam EDS, sehingga tidak diketahui pasti berapa banyak kandungan senyawa fenol pada masing-masing perlakuan.

Penentuan Konsentrasi EDS

Penelitian tahap kedua disajikan pada Gambar 5, dapat dilihat bahwa C. acutatum tidak tumbuh pada konsentrasi EDS 10% dan masih tumbuh pada konsentrasi EDS 5%. Untuk mengetahui konsentrasi yang lebih efektif, dilakukan penelitian lanjutan (antara 5% – 10%). Hasil pada tahap lanjutan tersebut dapat dilihat pada Gambar 6, yang menunjukkan bahwa konsentrasi EDS 9% dapat

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 0 0,5 1 1,5 2 Diam eter P er tu m b u h an C . ac u tatu m ( Øm m ) Konsentrasi EDS (%)

Segar Blanching Perajangan

ab ab a ab ab a b ab a ab ab a a a a

20

menghambat pertumbuhan C. acutatum sampai hari ke-8, sedangkan pada konsentrasi EDS 10 % dapat menekan C. acutatum hingga hari ke-21.

Gambar 5 Hubungan konsentrasi EDS dan pertumbuhan C. acutatum hari ke-21.

Gambar 6 Hubungan pertumbuhan C. acutatum per hari pada 7 konsentrasi EDS. Semakin tinggi konsentrasi EDS yang diuji maka semakin rendah diameter pertumbuhan koloni C. acutatum, sehingga dapat dinyatakan bahwa semua konsentrasi EDS memiliki aktivitas fungistatis yang lebih baik terhadap pertumbuhan C. acutatum jika dibandingkan dengan tanpa EDS. Hal ini dapat disebabkan karena EDS mengandung senyawa fenol yang bersifat anticendawan dalam menghambat pertumbuhan C. acutatum. Achmad dan Suryana (2009) menyatakan bahwa adanya penghambatan terhadap cendawan Rhizoctonia sp.

menunjukkan bahwa senyawa anti cendawan yang terdapat dalam EDS diduga mampu merusak jaringan dan mengakibatkan kerusakan struktur hifa cendawan. Mekanisme pengendalian C. acutatum adalah secara fungistatik, dapat dilakukan dengan menghambat proses pembentukan dinding sel, percabangan dan pembentukan spora, kemudian menghambat pembentukan tabung berkecambah dan pertumbuhan miselium, serta mengganggu permeabilitas membran sel cendawan sehingga cendawan kehilangan nutrisi yang penting untuk pertumbuhan (Bangun dan Sarwono 2002).

a a a b b b 0 10 20 30 40 50 60 0 3 5 10 15 20 Diam eter P er tu m b u h an C . a cu ta tu m ( Øm m ) Konsentrasi EDS (%) 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Diam eter p er tu m b u h an C . ac u tatu m m m /h ar i) Hari ke- 0% 5% 6% 7% 8% 9% 10%

21 Hasil analisis sidik ragam pada gambar 7 menunjukkan bahwa diameter pertumbuhan pada perlakuan konsentrasi EDS 9% dan 10% berbeda nyata dengan konsentrasi 0, 5%, 6%, 7%, 8%. Dengan demikian, konsentrasi EDS 10% akan digunakan pada penelitian tahap ketiga karena C. acutatum tidak tumbuh hingga hari ke-21. Tujuan penelitian tahap ketiga adalah untuk mengetahui metode aplikasi pemberian EDS 10% dalam menekan kejadian penyakit antraknosa pada cabai selama penyimpanan. Hasil perbandingan diameter C. acutatum pada masing-masing perlakuan konsentrasi EDS lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 2.

Gambar 7 Hubungan konsentrasi EDS dan pertumbuhan C. acutatum hari ke-21. Aplikasi EDS

Perkembangan antraknosa selama penyimpanan

Penelitian tahap ketiga disajikan pada Gambar 8, dapat dilihat bahwa pemberian EDS 10% pada cabai mampu menekan pertumbuhan C. acutatum

selama penyimpanan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh nyata antara kontrol dengan perlakuan semprot dan perendaman, akan tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan antar perlakuan.

Gambar 8 Hubungan perlakuan cabai dan persentase kejadian antraknosa

hari ke-9. 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 0% 5% 6% 7% 8% 9% 10% Diam eter p er tu m b u h an C . ac u tatu m ( Øm m ) Konsentrasi EDS a a a a a b b 0 10 20 30 40 50 60 70 Tanpa Perlakuan Semprot Perendaman 10 menit Perendaman 15 menit Perendaman 20 menit P er sen tase k ej ad ian an tr ak n o sa (%) Perlakuan cabai a b b ab b

22

Hal tersebut diduga berkaitan dengan ketebalan lapisan lilin pada permukaan buah yang menyebabkan EDS berbasis air tidak meresap ke dalam cabai dan hanya melapisi bagian luar cabai, sehingga perlakuan semprot dan perendaman tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Menurut Syukur et al. (2009), salah satu senyawa kimia yang dapat menghambat serangan patogen seperti C. acutatum adalah senyawa fenolik yang dapat dioksidasi oleh peroksidase. Peningkatan aktivitas enzim peroksidase akan meningkatkan produk toksin bagi patogen yang berpotensi dapat mencegah perkecambahan cendawan (Petkovsek et al. 2013), oleh karena itu dapat menghasilkan tingkat ketahanan lebih tinggi terhadap infeksi patogen. Gambar cabai terserang antraknosa dapat dilihat pada Lampiran 4.

EDS yang diaplikasikan pada media cabai belum menunjukkan penghambatan kejadian penyakit yang efektif dibanding dengan menggunakan media PDA, hal tersebut diduga karena sifat dari penyakit antraknosa yang bersifat laten, sehingga perlu konsentrasi yang lebih tinggi dan bersifat sistemik untuk menghambat serangan patogen penyakit antraknosa. Sama hal nya dengan penelitian Maqbool et al. (2011) menyatakan bahwa minyak esensial dari sereh dan kayu manis memiliki efek terbesar dalam menghambat pertumbuhan C. musae dan C. gloeosporioides penyebab antraknosa secara in vitro. Namun kurang efektif bila diaplikasikan pada pepaya secara in vivo. Hal tersebut diduga karena minyak esensial dapat mengubah kapasitas jaring epidermis buah dalam mempertahankan spora berkecambah. Selain itu, faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban juga diduga menjadi faktor utama belum efektifnya EDS dalam menghambat terjadinya penyebaran penyakit antraknosa dibanding dengan metode in-vitro. Lingkungan penyimpanan cabai pada suhu ruang dapat dilihat pada Lampiran 5

Perubahan susut bobot

Penelitian tahap ketiga dilakukan pengamatan mutu fisik cabai. Tujuan dilakukan pengukuran susut bobot adalah untuk mengetahui susut yang terjadi setelah dilakuakan perlakuan pemberian EDS dengan membandingkan bobot awal sebelum dan sesudah dilakukan perlakuan pemberian EDS pada cabai selama penyimpanan. Hasil analisis susut bobot disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Perubahan susut bobot cabai selama penyimpanan

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 0 3 6 9 Su su t b o b o t (%)

Penyimpanan hari ke-

Tanpa Perlakuan Semprot Perendaman 10' Perendaman 15' Perendaman 20'

23 Setelah dilakukan penyemprotan maupun perendaman, cabai disimpan pada suhu ruang dan dapat bertahan hingga hari ke-9. Semakin lama cabai disimpan maka susut bobot cabai semakin tinggi. Hasil analisis sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 1 yang menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang nyata antara susut bobot cabai sebelum disimpan dengan setelah disimpan hingga hari ke-9, akan tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada setiap perlakuan. Hal tersebut terjadi karena cabai yang licin tidak dapat menyerap EDS dan menyebabkan penambahan bobot ataupun penurunan bobot yang signifikan. Faktor yang mempengaruhi susut bobot cabai yaitu faktor lingkungan salah satunya adalah suhu penyimpanan. Suhu ruang dapat menyebabkan cabai masih melakukan respirasi. Menurut Nurdjannah (2014) menyatakan bahwa perubahan susut bobot pada cabai disebabkan oleh proses respirasi dan transpirasi yang mengakibatkan kehilangan substrat dan air yang ditandai dengan layu sehingga permukaan cabai menjadi mengkerut.

Perubahan tingkat kekerasan

Pengukuran tingkat kekerasan dilakukan sebagai indikasi terjadinya kerusakan cabai atau penurunan mutu cabai, dimana semakin menurun nilai tekannya, mutu cabai sudah semakin menurun. Sebelum dilakukan perlakuan, cabai memiliki tingkat kekerasan rata-rata 0,43 kgf (Lampiran 1). Setelah dilakukan perlakuan pemberian EDS, tingkat kekerasan cabai mengalami penurunan dan yang paling menurun yaitu pada perlakuan semprot, yaitu rata-rata sebesar 0,36 kgf. Hal tersebut terjadi karena adanya tekanan air yang disemprotkan pada cabai, sehingga permukaan cabai menjadi melunak akibat dinding sel yang rusak akibat penyemprotan. Gambar 10 menunjukkan adanya penurunan tingkat kekerasan setelah dilakukan penyimpanan.

Gambar 10 Perubahan kekerasan cabai selama penyimpanan

Penurunan terjadi hingga hari ke-6 akibat terjadinya perubahan komposisi dinding sel dan menyebabkan menurunnya tekanan turgor sel dan kekerasan buah menurun. Akan tetapi tingkat kekerasan pada hari ke-9 mengalami kenaikan dikarenakan cabai mulai mengering dan liat. Hasil analisis sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 1 menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan yang nyata dari setiap perlakuan di setiap hari penyimpanan karena memiliki P-V ≥ 5%. Dapat disimpulkan bahwa umur simpan cabai yang diberi perlakuan EDS 10%

0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0 3 6 9 Kek er asan ( k g f) Hari Ke- Tanpa Perlakuan Semprot Perendaman 10' Perendaman 15' Perendaman 20'

24

adalah enam hari, sedangkan hari selanjutnya cabai mulai kering dan liat, lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 3 bahwa cabai mulai kering pada hari ke-9. Perubahan mutu warna

Warna dapat dijadikan sebagai parameter utama yang digunakan konsumen dalam memilih cabai. Pada penelitian ini dilakukan pengamatan warna secara visual/subjektif dan secara objektif. Pengamatan warna secara objektif yaitu dengan menggunakan metode image prosessing dengan software Adobe Photoshop (derajat warna L, a, b). Menurut Sutrisno et al. (2009) tingkat kecerahan (nilai L) mempunyai nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih), tingkat kehijauan (nilai a*) dimana nilai positif (+) menyatakan warna merah, nilai 0 menyatakan warna abu-abu dan nilai negatif (-) menyatakan warna hijau, serta tingkat kekuningan (nilai b*), dimana nilai positif (+) menyatakan warna kuning, nilai 0 menyatakan warna abu-abu dan nilai negatif (-) menyatakan nilai biru.

Penelitian ini melihat tentang perubahan kualitas warna dari cabai akibat pemberian EDS. Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 1 menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan yang nyata dari setiap perlakuan di setiap hari penyimpanan karena memiliki P-V ≥ 5%. Pada perlakuan kontrol nilai L rata-rata adalah 44,61, sedangkan pada perlakuan semprot dan perendaman 10 menit mengalami penurunan nilai (semprot rata-rata 44,30 dan perendaman 10 menit rata-rata 41,44), dan pada perlakuan perendaman 15 menit dan perendaman 20 menit mengalami kenaikan nilai (perendaman 15 menit rata-rata 47,42 dan perendaman 20 menit rata-rata 45,33). Hal tersebut terjadi karena adanya perlakuan menggunakan EDS yang berwarna hijau pekat selama 15 menit dan 20 menit sehingga warna cabai menjadi lebih gelap. Setelah dilakukan penyimpanan derajat warna L pada cabai mengalami penurunan yang artinya semakin hitam. Perubahan warna L setiap harinya dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Perubahan warna L cabai selama penyimpanan

Nilai a* menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai a* maka cabai semakin merah. Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 1 menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan yang nyata dari setiap perlakuan di setiap hari penyimpanan karena memiliki P-V ≥ 5%. Pada hari ke-0 nilai a* rata-rata pada perlakuan

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 0 3 6 9 Der aj at w ar n a L

Penyimpanan hari ke-

Tanpa Perlakuan Semprot

Perendaman 10 menit Perendaman 15 menit Perendaman 20 menit

25 kontrol adalah 39,92, sedangkan pada perlakuan semprot dan perendaman 10 menit nilai a* rata-rata lebih rendah dibanding kontrol (semprot rata-rata 39,62 dan perendaman 10 menit rata-rata 38,93). Akan tetapi pada perlakuan perendaman 15 menit dan perendaman 20 menit memiliki nilai lebih tinggi dibanding kontrol (perendaman 15 menit rata-rata 41,70 dan perendaman 20 menit rata-rata 41,72). Setelah dilakukan penyimpanan, nilai a* semakin menurun yang artinya warna merah semakin menuju kearah jingga (lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 6). Perubahan warna a* setiap harinya dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Perubahan warna a* cabai selama penyimpanan

Nilai b* merupakan atribut nilai yang menunjukkan derajat kekuningan atau kebiruan suatu komoditas. Perubahan warna b* setiap harinya dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Perubahan warna b* cabai selama penyimpanan

Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 1 menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan yang nyata dari setiap perlakuan disetiap hari penyimpanan karena memiliki P-V ≥ 5%. Pada hari ke-0, nilai b pada perlakuan kontrol berkisar antara 32,46, sedangkan pada perlakuan semprot, perendaman 15 menit dan perendaman 20 menit mengalami kenaikan nilai (semprot rata-rata 33,77,

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 0 3 6 9 Der aj at w ar n a a

Penyimpanan hari ke-

Tanpa Perlakuan Semprot Perendaman 10 menit Perendaman 15 menit Perendaman 20 menit 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 0 3 6 9 Der aj at w ar n a b

Penyimpanan hari ke-

Tanpa Perlakuan Semprot

Perendaman 10 menit Perendaman 15 menit Perendaman 20 menit

26

perendaman 15 menit rata-rata 35,11, perendaman 20 menit rata-rata 35,37), dan pada perlakuan perendaman 10 menit mengalami penurunan nilai yaitu rata-rata 31,60. Setelah dilakukan penyimpanan, nilai b* semakin menurun yang artinya warna kuning semakin menuju kearah biru.

Nilai kromatis (C*) didefinisikan sebagai intensitas warna atau kemurnian dari rona (hue). Pada Gambar 14 disajikan perubahan derajat kromatis (C*) setelah disimpan 9 hari. Nilai kromatis pada cabai setelah disimpan pada suhu ruang memberikan perubahan yang signifikan. Semakin besar nilai kroma maka warna akan semakin jenuh sehingga warna menjadi semakin pudar. Hal tersebut terjadi diduga karena rusaknya dinding sel pada buah.

Gambar 14 Perubahan warna C* cabai selama penyimpanan

Derajat hue didefinisikan sebagai warna itu sendiri yaitu warna cabai. Gambar 15 disajikan perubahan 0hue setelah disimpan 9 hari. Adanya perbedaan nyata (Lampiran 1) antara perlakuan pemberian EDS 10 % secara penyemprotan dengan perlakuan lainnya pada hari ke-0, akan tetapi tidak ada perbedaan signifikan setelah penyimpanan hari ke-9.

Gambar 15 Perubahan warna 0hue cabai selama penyimpanan

Petzold et al. (2014) menyatakan bahwa 0hue dengan nilai 90 menandakan warna merah, nilai 180 merupakan warna kuning, nilai 270 mrupakan warna hijau, dan nilai 360 merupakan warna biru. Dapat diartikan pada Gambar 15

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 0 3 6 9 Der aj at w ar n a C *

Penyimpanan hari ke-

Tanpa Perlakuan Semprot Perendaman 10 menit Perendaman 15 menit Perendaman 20 menit 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00 0 3 6 9 Der aj at w ar n a 0hue

Penyimpanan hari ke-

Tanpa Perlakuan Semprot

Perendaman 10 menit Perendaman 15 menit Perendaman 20 menit

27 bahwa nilai 0hue hingga hari ke-9 semakin menurun, sehingga warna cabai semakin mendekati nol yang artinya warna merah mendekati hitam dan dapat dibuktikan dengan gambar pada Lampiran 3.

Pengujian warna secara subjektif dilakukan dengan menggunakan metode uji sensori dengan 15 panelis. Gambar 16 menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap warna cabai adalah netral, setelah dilakukan penyimpanan menunjukkan tidak adanya perbedaan secara signifikan, yang artinya tigkat kesukaan panelis adalah netral.

Gambar 16 Perubahan uji organoleptik warna cabai selama penyimpanan Kesimpulan yang dapat diambil pada parameter warna secara objektif (Chromameter) menunjukkan bahwa perlakuan pemberian EDS 10% tidak merubah warna cabai secara signifikan selama penyimpanan akan tetapi nilai warna cenderung menurun dan dapat dibuktikan pada gambar cabai di lampiran 3. Hal tersebut terjadi karena permukaan cabai yang licin sehingga dengan pemberian EDS 10% tidak merubah warna cabai. Nilai derajat a* pada Lampiran 1 rata-rata antara 30,02 – 31,62 yang dapat digambarkan pada diagram warna (lampiran 6) yaitu warna merah. Penurunan nilai pada perlakuan perendaman 10 menit terlihat lebih konsisten dibanding perlakuan lainnya. Selain itu, tingkat kesukaan panelis (uji sensori) terhadap warna keseluruhan cabai adalah pada skala netral, dengan demikian warna cabai setelah disimpan 9 hari tidak mengalami perubahan yang signifikan dan dapat diterima oleh konsumen.

Perubahan mutu aroma

Uji Organoleptik juga dilakukan untuk melihat tingkat kesukaan panelis terhadap aroma keseluruhan cabai baik sebelum diberi perlakuan maupun sesudah diberi perlakuan. Hasil sidik ragam (Lampiran 1) menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan, selama disimpan selama 9 hari, panelis masih menunjukkan tingkat kesukaan pada skala suka (Gambar 17). Dengan demikian pemberian EDS 10% tidak merubah aroma keseluruhan cabai secara signifikan hingga hari ke-9 dengan tingkat kesukaan panelis pada skala suka.

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 0 3 6 9 Sk ala p en ilaian w ar n a ca b ai (m m )

Penyimpanan hari ke-

Tanpa Perlakuan Semprot

Perendaman 10 menit Perendaman 15 menit Perendaman 20 menit

28

Gambar 17 Perubahan uji organoleptik aroma keseluruhan cabai selama penyimpanan

Hasil pengamatan Uji sensori pada parameter aroma daun sirih dapat dilihat

Dokumen terkait