• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARAH PENGEMBANGAN DAN KEBIJAKAN SISTEM PEMBAYARAN

BAB IV ARAH PENGEMBANGAN DAN KEBIJAKAN

SISTEM PEMBAYARAN

Rencana Pengembangan RTGS Generasi II

Transaksi pembayaran melalui sistem BI RTGS trendnya selalu meningkat tiap tahunnya. Setiap hari transaksi yang diselesaikan bisa mencapai Rp170 triliun, sudah jauh meningkat jika dibanding dua tahun sebelumnya yang hanya sekitar Rp80 triliun. Demikian halnya dengan volume yang ditransaksikannya, saat ini mencapai sekitar 40 ribu transaksi. Selain itu trend kondisi perekonomian yang selalu tumbuh diperkirakan akan berimplikasi pada peningkatan kebutuhan likuiditas peserta RTGS maupun kinerja sistemnya.

Di sisi lain, perkembangan pasar global yang semakin terintegrasi akan meningkatkan dinamika pasar keuangan, seperti financial deepening dan cross border settlement. Kondisi ini tentunya akan membutuhkan likuiditas yang lebih tinggi bagi peserta yang terlibat didalamnya.

Tak ayal lagi dengan kondisi lingkungan yang berubah tersebut, pengembangan sistem RTGS merupakan suatu keniscayaan. Oleh karenanya mulai

tahun depan akan dimulai kegiatan inisiatif pengembangan RTGS generasi II. Paling tidak ada lima tujuan utama pengembangan ini. Pertama adalah untuk meningkatkan efisiensi penggunaan likuiditas. Seperti telah disebutkan sebelumnya kemungkinan tingginya likuiditas tersebut akan diakomodir pada sistem baru yang nantinya akan menerapkan fasilitas penghemat likuiditas, sehingga akan mengoptimalkan settlement dana dengan risiko yang memadai.

Tujuan lain adalah untuk menambahkan fitur yang dapat mengakomodasi transaksi antarmata uang dan pengembangan produk-produk keuangan. Efisiensi yang tercipta adalah berkurangnya waktu settlement khususnya untuk jenis-jenis transaksi cross border karena mengurangi alur proses secara signifikan. Kalau saat ini harus melalui mekanisme bank koresponden baik untuk pengirim maupun penerima, belum lagi adanya zona perbedaan waktu yang semua itu tentunya berdampak pada waktu settlement dana dan potensi resiko herstat atau tidak terselesainya transaksi karena adanya perbedaan waktu tadi.

BANK INDONESIA | Laporan Perkembangan Sistem Pembayaran 2007 BAB IV ARAH PENGEMBANGAN DAN KEBIJAKAN SISTEM PEMBAYARAN

62

Selanjutnya adalah peningkatan efisiensi teknis dan kehandalan sistem. Ini terkait dengan umur ekonomis teknologi RTGS yang sudah digunakan sejak tahun 2000. Dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat dan semakin efisien, menuntut pula pengkinian infrastruktur RTGS dengan teknologi terbaru yang mampu memproses transaksi dalam jumlah besar dengan tingkat kemananan dan kehandalan yang lebih tinggi lagi.

Sistem RTGS generasi II nantinya juga akan didukung sistem informasi yang diharapkan dapat menjadi bagian penting untuk mendukung stabilitas sistem keuangan. Sistem informasi ini akan menjadi alat utama untuk memantau aktivitas transaksi pembayaran peserta RTGS dan dilengkapi pula dengan indikator-indikator deteksi dini terhadap potensi risiko yang dialami peserta. Selain itu modul informasi ini nantinya akan mendukung pelaksanaan tugas BI lain terutama untuk pengelolaan moneter dan pengawasan bank.

Terakhir adalah untuk

mengakomodasi kebutuhan interkoneksi dengan sistem RTGS maupun sistem pembayaran lain. Kedepan standar message yang digunakan akan disesuaikan dengan format yang secara umum sehingga interkoneksi menjadi lebih mudah. Pengembangan RTGS II ini diharapkan dapat selesai pada tahun 2011. Pada tahap awal akan dilakukan penyusunan kebutuhan bisnis, grand desain pengembangan RTGS II,

kemudian dilanjutkan pada tahapan pengembangan.

Pengembangan Infrastruktur Payment Versus Payment (PVP) untuk

Penyelesaian Domestic Interbank Foreign Exchange Trading

Bersamaan dengan rencana pengembangan RTGS II, secara paralel akan dikembangkan pula infrastruktur PVP pada sistem BI-RTGS. Nantinya seluruh desain sistem dan proses bisnis insfrastruktur ini akan disesuaikan dengan platform RTGS II.

Pengembangan PVP ini

dilatarbelakangi adanya kebutuhan transaksi antarnegara yang kian berkembang. Tak dapat dipungkiri sebagai salah satu negara di Kawasan Asia Tenggara yang terus berkembang, Indonesia telah lama memiliki perekonomian yang terbuka. Kondisi ini memungkinkan para pelaku ekonomi melakukan aktifitas perdagangan antar negara baik yang dilakukan untuk tujuan ekspor impor barang dan jasa maupun perdagangan valas. Berbagai aktivitas ini seharusnya didukung oleh suatu infrastruktur sistem pembayaran yang dapat mengakomodir penyelesaian berbagai transaksi pembayaran antarnegara (cross border) dengan menggunakan berbagai jenis valas (multi currency). Namun demikian hingga saat ini berbagai penyelenggaraan sistem pembayaran besar seperti Kliring dan RTGS belum dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Mekanisme yang ada untuk menyelesaikan transaksi perdagangan rupiah/valas masih dilakukan secara terpisah,

BANK INDONESIA | Laporan Perkembangan Sistem Pembayaran 2007 BAB IV ARAH PENGEMBANGAN DAN KEBIJAKAN SISTEM PEMBAYARAN

63

untuk rupiahnya diselesaikan melakui BI-RTGS sementara untuk valasnya dilakukan melalui bank koresponden di luar negeri.

Mekanisme ini memiliki kelemahan yaitu tidak menyediakan koneksi yang memungkinkan proses matching antara transaksi rupiah dengan valasnya. Selain itu penyelesaian transaksi juga tidak dapat bersifat paralel karena seringkali terjadi perbedaan zona waktu antara bank domestik dengan bank korespondennya di luar negeri. Yang lebih menyulitkan, pengendalian risiko dalam transaksi multi currency dan cross border juga berhadapan dengan perbedaan hukum antar negara, pergerakan kurs valas dan perbedaan mekanisme penyelesaian akhir.

Bila dicermati, transaksi valas ini memiliki exposure risiko yang cukup besar karena aktifitas hariannya yang tercatat mencapai USD3 miliar. Nilai tersebut mencapai + 20% dari total rata-rata transaksi harian RTGS. Sehingga apabila tidak dimitigasi dengan baik, risiko sistemik pada aktifivitas transaksi ini akan berdampak cukup besar pada kestabilan sistem keuangan. Untuk itu BI merasa perlu menjajaki kemungkinan mengembangkan sebuah infrastruktur penyelesaian transaksi yang memadai bagi aktifitas perdagangan rupiah/valas.

Payment Versus Payment (PVP) merupakan jawaban atas kebutuhan tersebut. Berbagai kajian telah cukup lama dilakukan untuk memastikan rencana

pengembangan PVP di Indonesia, sehingga dapat dikatakan sebagai salah satu kebijakan BI yang bersifat multiyears yang dimulai sejak tahun 2004. Berbagai kajian dilakukan mulai dari menganalisa ada tidaknya kebutuhan infrastruktur PVP oleh perbankan sampai dengan penentuan alternatif mekanisme PVP yang paling sesuai dengan penyelenggaraan SP di Indonesia. Kajian-kajian ini mutlak diperlukan agar mekanisme PVP yang dikembangkan dan diimplementasikan nantinya dapat sesuai dengan harapan. Selain itu juga diperoleh berbagai dukungan untuk mengembangkan PVP dari para pelaku transaksi multi currency dan cross border yang sebagian besar merupakan bank devisa. Bahkan beberapa pelaku juga mengusulkan untuk mengembangkan infrastruktur penyelesaian/kliring interbank bagi perdagangan valas.

Manfaat dikembangkannya infrastruktur PVP ini, dari sisi perbankan selain mengurangi dan memitigasi exposure settlement resiko valas juga akan meningkatkan efisiensi berupa pengurangan waktu penyelesaian, pengelolaan likuiditas dan operasional. Manfaat lainnya adalah tersedia berbagai informasi seperti aggregate exposure dalam penyelenggaraan PVP, yang berguna sebagai market guidance, misalnya informasi real time perdagangan di pasar modal. Bagi Bank Indonesia sebagai regulator diperoleh manfaat berupa informasi dalam memonitoring transaksi devisa secara online. Dalam cakupan yang lebih luas yaitu bagi pasar keuangan dan perekonomian bangsa,

BANK INDONESIA | Laporan Perkembangan Sistem Pembayaran 2007 BAB IV ARAH PENGEMBANGAN DAN KEBIJAKAN SISTEM PEMBAYARAN

64

PVP akan berpotensi memperbaiki domestic market liquidity.

Pada tahap awal, pengembangan PVP difokuskan pada penentuan bentuk model PVP yang akan digunakan di Indonesia. Untuk itu telah dilakukan pembahasan dengan bank yang selama ini menjadi penyelenggara perdagangan valas untuk memberikan masukan mengenai model PVP yang paling sesuai untuk Indonesia. Selain itu untuk lebih memantapkan penentuan bentuk PVP, Bank Indonesia juga telah mengundang berbagai narasumber dari HKMA (Hong Kong Monetary Authority ) dan salah satu bank asing untuk menjelaskan model mengenai model PVP dan sharing pengalaman terhadap penyelenggaraan PVP.

Enhancement BIG-eB

Disisi pengembangan aplikasi untuk efisiensi pelayanan jasa pembayaran khususnya dalam penatausahaan rekening Pemerintah, Bank Indonesia akan melanjutkan pengembangan BIG-eB. Setelah berjalan selama setahun, manfaat keberadaan aplikasi BIG-eB telah dirasakan baik oleh Bank Indonesia mapun Pemerintah. Bagi Bank Indonesia informasi mutasi rekening Pemerintah yang tersedia secara real time sangat bermanfaat untuk melihat kondisi likuiditas perekonomian, sehingga dapat mendukung pelaksanaan kebijakan moneternya. Bagi Pemerintah, BIG-eB sangat membantu pengelolaan manajemen kasnya. Tidak hanya itu, dengan adanya BIG-eB

koordinasi kebijakan fiscal dan moneter dapat lebih ditingkatkan.

Berbagai manfaat yang telah dirasakan mendorong Bank Indonesia dan pemerintah untuk terus melakukan enhancement atas BIG-eB. Aplikasi BIG-eB yang pada tahap awal hanya berfungsi sebagai modul informasi, direncanakan akan dikembangkan dengan menambahkan berbagai fitur sehingga dapat digunakan untuk memproses transaksi Pemerintah. Sebelum dikembangkan ke tahap itu, pada tahun mendatang akan dikembangkan modul informasi sejenis namun untuk jenis transaksi valas. Apabila enhancement seluruh modul dalam BIG-eB ini dapat diselesaikan, diharapkan kedepan dapat semakin mengoptimalkan efisiensi pengelolaan manajemen keuangan Pemerintah.

Rencana Implementasi Pola Pengaturan BI-RTGS Mengacu pada CP-SIPS

Sebagai salah satu upaya agar penyelenggaraan sistem pembayaran di Indonesia comply terhadap standar internasional, Bank Indonesia akan menyesuaikan pola pengaturan BI-RTGS saat ini dengan sepuluh prinsip yang ada pada CP-SIPS. Setelah dilakukan kajian mendalam, diperoleh kesimpulan bahwa secara parsial sebenarnya beberapa hal penerapan BI RTGS di Indonesia telah sesuai dengan CP SIPS. Hanya saja ada hal krusial lain yang perlu ditegaskan kembali dalam ketentuan BI RTGS. Misalnya upaya untuk lebih menegaskan pemisahan antara fungsi Bank Indonesia

BANK INDONESIA | Laporan Perkembangan Sistem Pembayaran 2007 BAB IV ARAH PENGEMBANGAN DAN KEBIJAKAN SISTEM PEMBAYARAN

65

sebagai pengatur dan pengawas sistem pembayaran (payment system overseer) dan sebagai penyelenggara (operator).

Kemudian penyesuaian sifat hubungan hukum antara Bank Indonesia (sebagai penyelenggara Sistem BI-RTGS) dengan Bank dan lembaga lainnya (sebagai peserta Sistem BI-RTGS) menjadi lebih bersifat keperdataan, khususnya mengenai sanksi. Guest

Bank fasilitas terminal

transaksi RTGS oleh Bank Indonesia yang dapat digunakan bagi peserta yang sistemnya mengalami gangguan.

Hal spesifik lainnya adalah adanya perubahan konsep kepesertaan tidak langsung. Berbagai aturan dalam ketentuan baru tersebut nantinya akan sepenuhnya mengadopsi prinsip CP-SIPS tersebut. Adapun secara umum Pokok-pokok yang pemenuhan CPSIPS pada ketentuan tersebut paling tidak memuat beberapa hal sebagai berikut :

CP Pemenuhan CP

1. Materi tentang CP SIPS dengan maksud untuk memudahkan proses assesment yang terkait dengan landasan hukum dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan BI-RTGS seperti misalnya perlunya legal opinion dari lembaga independen atas penyelenggaraan BI-RTGS.

2. Kewajiban penyelenggara untukmenyusun

ketentuan dan prosedur yang memberikan kejelasan kepada Peserta mengenai risiko finansial

yang dihadapi Peserta sehubungan dengan keikutsertaannya dalam Sistem BI-RTGS.

3 Penjabaran lebih lanjut mengenai aspek pengelolaan risiko seperti adanya gridlock

resolution, sistem antrian (queue management), troughput guidelines (graduated payment schedule).

4 Mengatur mengenai jaminan (assurance) bahwa disain sistem BI-RTGS dapat mendukung prinsip

finality dan irrevocability transfer dana yang

telah dilakukan melalui sistem BI-RTGS dan penyelesaian akhir yang dilakukan secara real-time sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan (window time).

6 Menegaskan mengenai sumber dana untuk

melakukan penyelesaian akhir dengan menggunakan dana milik peserta yang berada pada rekening yang bersangkutan di Bank Indonesia, termasuk dana yang bersumber dari Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI).

7 Mempertegas kewajiban penyelenggara untuk

menyediakan sistem yang aman dan handal

meskipun kewajiban untuk ini selama ini telah dilakukan, seperti pemenuhan uji coba sistem, security audit dan penerapan BCP.

8 Materi pengaturan ini dimaksudkan untuk memberikan transparansi terkait dengan efisiensi

penyelenggaraan BI-RTGS seperti pricing policy(perlu tidaknya subsidi), biaya transaksi BI-RTGS, dan mekanisme pembebanan biaya.

9 Mengatur kewajiban penyelenggara untruk menjamin bahwa kriteria kepesertaan bersifat

obyektif dan dipublikasikan.

10 Mengatur kewajiban penyelenggara untuk memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance).

Implementasi SRO Sistem Pembayaran Untuk mendorong terciptanya industri sistem pembayaran ritel yang sehat, Bank Indonesia memfasilitasi terbentuknya terbentuknya Self Regulating Organization (SRO) Sistem Pembayaran. SRO nantinya akan berperan sebagai mitra Bank Indonesia dalam mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Organisasi ini diarahkan untuk menjadi sebuah institusi yang independen

BANK INDONESIA | Laporan Perkembangan Sistem Pembayaran 2007 BAB IV ARAH PENGEMBANGAN DAN KEBIJAKAN SISTEM PEMBAYARAN

66

dan bertindak profesional merepresentasikan seluruh pelaku dalam industri sistem pembayaran. SRO juga dikondisikan untuk memiliki peran dan kewenangan dalam scope tertentu, terutama membuat berbagai aturan main yang nantinya wajib dipatuhi oleh seluruh pelaku dalam industri. Selain itu SRO diharapkan mampu mewadahi setiap perubahan dan dinamika perkembangan sistem pembayaran.

Rencana pembentukan SRO sistem pembayaran merupakan salah satu kebijakan Bank Indonesia untuk meningkatkan peran stakeholders dalam mengembangkan sistem pembayaran yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Keberadaan SRO nantinya diharapkan dapat mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia, sehingga sebagai regulator Bank Indonesia dapat lebih fokus pada pengaturan dan kebijakan yang bersifat makro, sementara pengaturan yang bersifat mikro dan teknis diserahkan kepada SRO.

Cikal bakal lembaga SRO sistem pembayaran sendiri saat ini sebenarnya telah ada yaitu Forum Kerjasama Sistem Pembayaran Nasional (FKSPN) dan berbagai asosiasi di bidang sistem pembayaran. Pembentukan SRO seyogyanya hanya menguatkan peran dan memperluas keanggotaan berbagai forum dan asosiasi tersebut. Namun demikian berbagai aspek SRO masih perlu dikaji terlebih dahulu, agar sesuai dengan kondisi sistem pembayaran di Indonesia. Untuk itu Bank Indonesia tengah melakukan kajian terhadap model-model SRO

yang sudah ada saat ini. Kegiatan kajian dilakukan melalui studi literatur dan perolehan informasi dari website yang relevan. Aspek-aspek yang dikaji antara lain mengenai bentuk dan mekanisme penerapan SRO. Selain itu dilakukan pula benchmarking terhadap bentuk dan penerapan SRO sistem pembayaran di negara lain (Australia). Nantinya dari hasil studi ini akan dilakukan analisa terhadap aspek teknis, bisnis dan operasional serta hukum. Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kebijakan pembentukan SRO sistem pembayaran.

Sebagai salah satu bahan pendukung kajian, dilakukan pula analisa dan pemantauan terhadap operasional SRO Kartu Kredit yang telah terbentuk terlebih dahulu. Untuk itu SRO kartu kredit akan diminta secara rutin melaporkan progress kegiatannya, diantaranya berbagai aktivitas dalam task force.

Kajian Pengembangan Direct debit Salah satu bentuk instrumen pembayaran ritel lain yang akan dikembangkan adalah Direct debit . Latar belakang wacana pengembangan direct debit ini berasal dari kebutuhan masyarakat akan mekanisme pembayaran yang lebih ekonomis untuk pembayaran berbagai jenis tagihan rutin, seperti telepon, listrik, air dan sebagainya. Dulu masyarakat rela berantri-antri di loket untuk membayar berbagai jenis tagihan tersebut tiap bulannya. Seiring dengan semakin banyaknya kebutuhan,

BANK INDONESIA | Laporan Perkembangan Sistem Pembayaran 2007 BAB IV ARAH PENGEMBANGAN DAN KEBIJAKAN SISTEM PEMBAYARAN

67

jumlah tagihan pun semakin banyak. Hal ini tentunya mengharuskan orang untuk mengalokasikan waktu tiap bulan guna mengantri di loket-loket tagihan tersebut. Bagi orang yang sangat sibuk bisa saja menyuruh orang lain untuk melakukan hal ini, namun tetap saja ada opportunity cost yang muncul.

Berawal dari kebutuhan tersebut bank yang teknologi informasinya sudah maju, mulai memberikan jasa pembayaran tagihan ini. Masyarakat mulai dimanjakan dengan fitur yang terdapat di ATM. Bisa juga membayar melalui bank untuk dikliringkan ke rekening perusahaan penagih (transfer kredit). Yang paling mudah adalah menggunakan standing instruction atau perintah membayar dengan mendebet rekening, sehingga masyarakat sudah tidak pusing-pusing datang ke loket atau ATM secara rutin lagi. Yang terakhir ini sangat mirip dengan konsep direct debit . Hanya saja masyarakat maupun perusahaan penagih harus memiliki rekening pada bank yang sama. Hal ini tentu saja masih memunculkan inefisiensi karena nasabah masih dituntut untuk memelihara banyak rekening atau justru sebaliknya perusahaan penagih yang harus mau membuka rekening di beberapa bank.

Permasalahan diatas dapat dihilangkan apabila ada satu mekanisme lembaga yang mampu mewadahi seluruh jaringan bank. Sehingga pada tahun 2007, Bank Indonesia mulai mengkaji kemungkinan

pengembangan direct debit dengan memanfaatkan jaringan kliring SKNBI. Setelah dilakukan kajian secara mendalam dan memperoleh masukan dari berbagai pihak, nampaknya secara teknologi pengembangan direct debit sangat mungkin dilakukan. Rencananya tahapan pengembangan tersebut akan dimulai pada awal tahun 2008.

Ada beberapa manfaat yang diperoleh oleh masyarakat. Mereka akan semakin mudah melakukan jenis pembayaran yang bersifat rutin tadi tanpa mengantri di ATM dan loket-loket pembayaran atau menambah jumlah rekening banknya. Selain itu tidak lagi dibebani untuk mengingat-ingat jumlah tagihan yang banyak sehingga berpotensi dikenai denda jika terlambat membayar. Secara finansialpun akan lebih murah jika kita menghitung opportunity cost mengantri di loket atau di ATM bahkan masih lebih murah apabila harus memelihara lebih dari satu rekening.

Lain halnya bagi perusahaan penagih, segala permasalahan yang sudah disebutkan diatas otomatis akan hilang dan akan semakin efisien dalam melakukan penagihan ke konsumennya. Dari perspektif manajemen keuangan, mereka akan lebih mudah dalam memprediksi arus kas karena adanya kepastian pendapatan sehingga lebih mudah mengoptimalkan pendapatannya. Selain itu pilihan untuk memelihara sejumlah rekening penampungan tagihan di berbagai bank juga

BANK INDONESIA | Laporan Perkembangan Sistem Pembayaran 2007 BAB IV ARAH PENGEMBANGAN DAN KEBIJAKAN SISTEM PEMBAYARAN

68

tidak perlu dilakukan, sehingga pengelolaan kas juga dapat lebih mudah dilakukan

Di sisi bank, selain masalah efisiensi dalam manajemen likuiditas dan operasional bank, hal ini juga menjadi potensi untuk memperluas cakupan dan meningkatkan pelayanan bank kepada nasabahnya. Potensi pendapatan berbasis fee akan semakin besar dan beragam. Harapannya dengan pengembangan ini efisiensi sistem pembayaran secara nasional akan semakin baik, yang ujung-ujungnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Rencana Interoperabilitas dan Konvergensi Industri APMK

Pengembangan berbagai sistem maupun tren transaksi APMK perlu digawangi oleh Bank Indonesia sebagai otoritas sistem pembayaran agar setiap upaya perkembangan yang dilakukan sejalan dengan koridor efisiensi sistem dan perlindungan konsumen. Oleh karenanya dalam satu tahun kedepan, BI akan melakukan fasilitasi dan katalisasi untuk mewujudkan interoperabilitas dan konvergensi industry APMK. Kegiatan ini mempertemukan berbagai kepentingan pelaku/penyelenggara APMK agar diperoleh komitmen bersama untuk menjalankan hal tersebut.

Untuk melancarkan fasilitasi ini BI menggandeng bank anggota Komunikasi Sistem Pembayaran Nasional Sub APMK dan beberapa perusahaan switching APMK.

Sebagai langkah awal dimulainya kegiatan, pada awal tahun 2008 akan diselenggarakan event kick off meeting yang dilanjutkan dengan forum diskusi secara intensif untuk memecahkan berbagai isu-isu terkait efisiensi dan mekanisme interoperabilitas antar penyelenggara APMK.

Melalui pembahasan, diskusi serta bantuan beberapa tenaga ahli, pada pertengahan tahun 2008 rencananya akan diimplementasikan Standar Teknis Kartu Debet dan ATM. Standar ini mutlak diperlukan untuk mewujudkan interoperabilitas antara penyelenggara kartu debet dan kartu ATM. Untuk itu seluruh bank penyelenggara kartu debet dan ATM akan diwajibkan menerapkan standar tersebut secara bertahap.

Selain standar kartu debet dan ATM, akan diterbitkan pula standar teknis kartu prabayar (e-money). Standar ini selain dibutuhkan untuk mengantisipasi perkembangan e-money di masa datang yang teknologinya cenderung beragam juga menjadi sarana efisiensi sistem pembayaran secara nasional karena setiap operator akan diwajibkan untuk mengikuti standar spesifikasi teknis yang ditentukan agar dapat interoperable. Standar teknis kartu prabayar juga bertujuan untuk memagari aspek keamanan e-money agar menjadi salah satu alternatif instrumen pembayaran yang dipercaya masyarakat.

Adanya kecenderungan minat operator jasa telekomunikasi untuk ikut

BANK INDONESIA | Laporan Perkembangan Sistem Pembayaran 2007 BAB IV ARAH PENGEMBANGAN DAN KEBIJAKAN SISTEM PEMBAYARAN

69

menerbitkan e-money juga mendorong industri untuk menentukan standar teknis e-money yang diterbitkan oleh mereka. Hal ini menjadi tantangan mengingat interoperabilitas dari kacamata pelaku operator telekomunikasi tidaklah menarik karena fasilitas e-money yang diterbitkan mereka cenderung lebih kompetitif. Untuk itu BI perlu berupaya menyadarkan betapa pentingnya interoperabilitas dari sudut pandang efisiensi sistem pembayaran secara nasional dan dari sudut pandang bisnis.

Interoperabilitas nantinya tidak hanya dibatasi antar operator e-money namun juga dengan operator kartu ATM dan kartu debet, karena kemungkinannya operator e-money juga merupakan operator kartu ATM dan kartu debet. Untuk itu standar teknis e-money harus terkoneksi dengan standar kartu ATM dan kartu debet atau aplikasi kartu debet dan ATM harus mampu menjalankan aplikasi kartu prabayar. Sehingga nantinya operator kartu ATM atau kartu debet yang akan mengembangkan e-money tidak perlu menggunakan dua kartu yang berbeda, cukup satu kartu dengan berbagai fungsi yaitu sebagai kartu ATM, debet dan e-money. Satu issue lain yang mengemuka dalam pembahasan standarisasi teknis e-money adalah kebutuhan sebuah lembaga kliring yang akan bertindak sebagai pihak yang melakukan perhitungan tagih menagih kewajiban antar penerbit e-money. Hal ini perlu segera diputuskan karena syarat utama terciptanya interoperabilitas adalah apabila

telah tersedia lembaga kliring antar penerbit e-money.

Pemenuhan standar teknis juga perlu mempertimbangkan aspek operasional terutama keputusan mengenai pihak yang menjadi pemegang Key Management dan