• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis arbitrase yang diatur dalam Pasal 615 ayat (1) Rv hanya mengenal satu jenis lembaga arbitrase yaitu hanya mengenal jenis arbitrase ad hoc atau disebut juga dengan “arbitrase volunter”. Arbitrase ad hoc adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Arbitrase ini sifatnya

90

Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori

dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hal. 65. Sebagaimana diatur dalam Pasal 165 HIR

menentukan:

Surat yang diperbuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahliwarisnya serta sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, yaitu tentang segala hal yang tersebut dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar yang diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok dalam akta itu.

temporer atau hanya dibentuk secara insidentil (sementara) untuk setiap sengketa yang terjadi.92

Sedangkan jenis-jenis arbitrase sebagaimana dimuat di dalam New York

Convention 1958, UNCITRAL Arbitration Rules, mengenal dua jenis arbitrase yaitu

arbitrase ad hoc dan arbitrase institusional. Pengertian arbitrase institusional (institutional arbitration) merupakan lembaga atau badan arbitrase yang sifatnya permanen (permanent arbitral body), sengaja didirikan untuk menangani perkara-perkara yang timbul di bidang bisnis/perdagangan.93

92 Tineke Louise Tueguh Longdong, Op. Cit., hal. 70.

93 Gunawan Widjaja, Seri Aspek…Op. cit., hal. 36.

Sehingga berdasarkan jenisnya, arbitrase dibagi dua yaitu arbitrase ad hoc dan arbitrase institusional.

Jika dibedakan dari segi jangkauannya, maka arbitrase yang dikenal ada dua pula yaitu arbitrase nasional dan arbitrase internasional. UUA dan APS tidak dengan tegas membedakan dari segi lembaganya atau institusinya, mana yang disebut sebagai arbitrase nasional dan mana yang disebut sebagai arbitrase internasional. Tetapi, UUA dan APS, membedakan antara arbitrase nasional dan arbitrase internasional adalah dari sisi putusannya.

Untuk membedakan itu, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1 angka 9 UUA dan APS menentukan:

Putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar Wilayah Hukum Negara Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan menurut ketentuan hukum Negara Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 9 UUA dan APS tersebut, maka nyatalah bahwa secara yuridis, terasa sulit untuk membedakan arbitrase nasional dan arbitrase internasional dari sisi lembaganya/institusinya. Jika menggunakan penafsiran argumentum a contrario terhadap Pasal 1 angka 9 UUA dan APS tersebut,94 dapat dirumuskan pengertian Putusan Arbitrase Nasional sebagai putusan

yang dijatuhkan di Wilayah Hukum Republik Indonesia berdasarkan ketentuan hukum Republik Indonesia. Dari rumusan ini, jelas bahwa untuk menentukan apakah putusan arbitrase merupakan Putusan Arbitrase Nasional atau Putusan Arbitrase Internasional digunakan prinsip kewilayahan atau teritorial.95

Sepanjang putusan arbitrase dilakukan di luar Wilayah NKRI, maka putusan tersebut dikategorikan sebagai Putusan Arbitrase Internasional atau Asing. Ciri Putusan Arbitrase Internasional yang didasarkan pada faktor teritorial tidak mensyaratkan perbedaan kewarganegaraan dan perbedaan tata hukum. Prinsip teritorial di atas juga dianut dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi New York 1958, yaitu Pasal 1 Ayat (1) menyebutkan, ”...arbitral awards made in the territory of a state

other than the state where the recognition and enforcement of such awards are sought, and arising out of differences between persons whether physical or legal”.96

94

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Edisi Ke-4, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hal. 165-167.

95 Gatot Sumartono, Op. cit, hal. 69.

96 Ibid.

perbedaan mengenai status kewarganegaraan para pihak dan juga hukum yang digunakan.

Berarti ciri Putusan Arbitrase Internasional didasarkan pada faktor wilayah (territory), sehingga setiap putusan arbitrase yang dijatuhkan di luar wilayah NKRI digolongkan sebagai Putusan Arbitrase Internasional atau Asing.97 Ketentuan pada Pasal 1 ayat (1) Konvensi New York 1958 tidak jauh beda dengan ketentuan pada Pasal 1 angka 9 UUA dan APS tersebut di atas di mana bahwa ciri Putusan Arbitrase Internasional sama-sama didasarkan pada faktor kewilayahan (teritorial).98

Jenis putusan arbitrase di Indonesia dibedakan berdasarkan tempat di mana putusan tersebut di putusakan atau berdasarkan sistem hukum mana putusan tersebut diputuskan. Apakah putusan tersebut merupakan Putusan Arbitrase Nasional atau Putusan Arbitrase Internasional, maka harus dilihat berdasarkan sejarahnya di mana Putusan arbitrase dikategorikan sebagai Putusan Arbitrase Internasional jika diputuskan di luar wilayah negara oleh suatu arbitrase yang diakui secara internasional, hukum yang diberlakukan dalam memutus perkara arbitrase itu berdasarkan konvensi internasional, ketentuannya telah lazim diterima oleh pada umumnya negara-negara. Di samping itu, Pasal 1 ayat (1) Konvesi New York 1958 juga menyatakan bahwa ruang lingkup konvensi berlaku atas putusan-putusan arbitrase yang tidak dianggap sebagai putusan-putusan domestik pada suatu negara tertentu.

97 Cicut Sutiarso, Op. Cit., hal. 164.

putusan itu dibuat dan hukum mana yang digunakan selain di dalam wilayah Indonesia.99

Berpedoman Pasal 1 angka 9 UUA dan APS tersebut, putusan arbitrase yang diputuskan di dalam wilayah NKRI disebut sebagai Putusan Arbitrase Nasional. Sedangkan Putusan Arbitrase Internasional berarti putusan arbitrase yang diputuskan lembaga arbitrase atau arbiter perseorangan atau arbitrase institusional yang berada di luar wilayah NKRI atau putusan tersebut menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.

100

Cara lain untuk menentukan suatu putusan arbitrase dikatakan sebagai Putusan Arbitrase Nasional atau Putusan Arbitrase Internasional, terlebih dahulu diselidiki pengakuan terhadap arbitrase itu secara de pacto dan de jure. Secara de

pacto, arbitrase itu harus diakui oleh sejumlah negera-negara di dunia dan fakta juga

harus menunjukkan bahwa para pelaku bisnis mau memilih arbitrase dimaksud sebagai tempat untuk menyelesaikan sengketa di antara para pihak yang berbeda kewarganegaraannya. Sedangkan pengakuan secara de jure, terhadap arbitrase itu harus dinyatakan di dalam AD-nya sebagai arbitrase internasional dan semua ketentuan hukum dan perundang-undangan yang diberlakukan mengacu kepada konvensi-konvensi internasional bukan perundang-undangan nasional negara terkait.101

99

Ibid.

100 Ibid., hal. 70.

101 J.G Starke diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, Pengantar Hukum

Itulah konsekuensi mengapa UUA dan APS tidak mampu mendefenisikan dari sisi lembaga/institusinya, mana disebut sebagai arbitrase nasional dan mana disebut sebagai arbitrase internasional. UUA dan APS khususnya di Pasal 1 angka 9 hanya mampu mendefenisikan arbitrase nasional dan arbitrase internasiona dari sudut pandang “Putusannya”.

Jadi dari sisi putusannya, sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 9 UUA dan APS, dikatakan sebagai arbitrase internasional adalah arbitrase yang diputuskan atau dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar Wilayah Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika putusan itu dijatuhkan/diputuskan di luar wilayah NKRI, maka arbitrase yang memutus sengketa tersebut dianggap sebagai Arbitrase Internasional. Sebaliknya jika putusan itu dijatuhkan/diputuskan di dalam wilayah NKRI, maka arbitrase yang memutus sengketa tersebut secara mutlak dikatakan sebagai arbirase nasional. Tidak menjadi soal apakah jenisnya arbitrase ad

hoc atau jenis arbitrase institusional, yang penting dilihat dari sisi putusannya.

Jadi norma yang terkandung di dalam Pasal 1 angka 9 UUA dan APS tersebut, dalam penelitian ini disebut sebagai “pengertian arbitrase internasional secara sapu jagat” artinya kendatipun secara de pacto dan de jure, nyata bahwa arbitrase yang telah memutus sengketa tersebut adalah Arbitrase Internasional, namun hukum di Indonesia hanya menganggap arbitrase tersebut merupakan Arbitrase Internasional. Sebaliknya, kendatipun arbitrase yang telah memutus sengketa tersebut adalah Arbitrase Nasional suatu negara tertentu, namun hukum tetap menganggap arbitrase tersebut sebagai Arbitrase Internasional.

Secara yuridis tidak penting dipersoalkan apakah benar arbitrase itu merupakan Arbitrase Internasional atau tidak, tetapi yang penting adalah “Putusannya” dijatuhkan/diputus di luar Wilayah Hukum NKRI, maka semua putusan yang dijatuhkan di luar Wilayah Hukum NKRI dikategorikan atau dianggap sebagai Arbitrase Internasional dan putusannya juga dikategorikan atau dianggap sebagai Putusan Arbitrase Internasional.

Arbitrase Nasional hanya berlaku pada lingkup dalam suatu negara tertentu untuk penyelesaian sengketa. Sedangkan Arbitrase Internasional, lingkupnya berlaku hingga melewati batas-batas negara (lintas batas antar negara-negara). Contoh: BANI akan dikatakan sebagai Arbitrase Nasional jika secara de jure dan de pacto berlaku secara nasional saja. Walaupun secara de jure di dalam Anggaran Dasar BANI ditentukan bahwa BANI sebagai Arbitrase Internasional, tetapi secara de pacto, ternyata tidak satupun para pelaku bisnis dari berbagai negara di dunia mau memilih BANI sebagai forum penyelesaian sengketa, maka BANI dalam kondisi ini, tidak dapat dikatakan sebagai Arbitrase Nasional.

Sebaliknya, secara de pacto, BANI banyak diminati para warga negara asing untuk dipilih sebagi forum penyelesaian sengketa dalam perjanjian-perjanjian internasional, maka BANI tersebut dalam kondisi ini akan dikatakan sebagai Arbitrase Internasional, walaupun AD-nya tidak menentukan demikian. Dari contoh ini, maka dapatlah dilakukan cara menentukan suatu arbitrase dikatakan sebagai Arbitrase Nasional atau Arbitrase Internasional.

Pada satu sisi ada yang berpandangan bahwa BANI yang didirikan tahun 1977 tersebut tidak termasuk sebagai Arbitrase Internasional. Golongan yang mengatakan demikian berpandangan karena dasar hukum BANI tidak diatur secara khusus sebagai lembaga Arbitrase Internasional bahkan jika diperhatikan ketentuan dalam UU AAPS tidak ada ketentuan yang tegas menyatakan BANI sebagai Arbitrase Internasional atau Arbitrase Nasional sama sekali tidak ditegaskan.

Tetapi menurut R. Subekti (penggas didirikannya BANI sekaligus sebagai orang pertama Ketua BANI), BANI adalah Arbitrase Internasional.102 R. Subekti, mengatakan BANI adalah Arbitrase Internasional karena tercantum dalam Pasal 1 Anggaran Dasar BANI dengan tujuan untuk memberikan penyelesaian yang adil dan capat atas sengketa yang timbul dalam perdagangan, industri dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun internasional.103

Alasan BANI masuk dalam kategori Arbitrase Internasional dalam buku karangan Priyatna Abdurrasyid, yang berjudul “Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) Suatu Pengantar”, karena BANI sering ditunjuk oleh ICC untuk menyelesaikan sengketa-sengketa komersil internasional demikian juga arbiter BANI sering didudukkan atau diikutkan sebagai anggota panel arbiter di INTELSAT, ICAO, ICSID, AALCC, IAF, IAA, IISL, dan ICC. Bahkan dalam daftar arbiter BANI tercantum nama-nama para ahli atau arbiter luar negeri yang menduduki tenaga ahli

102 R. Subekti dalam H. Eman Suparman, Op. cit., hal. 102. Lihat juga Cicut Sutiarso, op. Cit., hal. 135. R. Soebekti adalah pemrakarsa atau penggas didirikannya BANI sekaligus sebagai orang pertama Ketua BANI, mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Mantan Ketua Kamar Dagang dan Industri-IKADIN),

bidang teknik, konsultasi, maritim atau perkapalan, asuransi, perbankan, ekonomi internasional, farnchise, lingkungan hidup, penerbangan, dan lain-lain.104

Oleh karena sifatnya internasional maka Arbitrase Internasional harus tunduk pada asas-asas dan kaidah-kaidah hukum internasional, baik antar negara dengan negara maupun antar negara dengan subjek hukum bukan negara.

105

Menurut Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase Internasional didasarkan karena adanya hubungan antar suatu negara dengan negara lain di mana arbitrase itu diadakan dengan lebih dari satu negara yang masing-masing memiliki yurisdiksi sendiri.106

Esensi yang paling penting diketahui dalam memahami Arbitrase Internasional adalah adanya unsur-unsur asing, dengan demikian secara singkat dikatakan sebagai arbitrase internasional, jika:107

1. Para pihak yang bersengketa memiliki kebangsaan yang berbeda, terbukti dan dinyatakan secara tegas di dalam perjanjian yang dibuat.

2. Tempat penyelesaian sengketa melalui arbitrase berada di luar domisili para pihak sesuai dengan kesepakatan bersama.

3. Objek sengketa terletak di luar wilayah negara di mana para pihak memiliki usahnya.

4. Para pihak sepakat bahwa objek sengketa sesuai dengan klausula arbitrase yang memiliki keterkaitan dengan satu negara atau lebih.

Sifat internasional suatu arbitrase menurut Yahya Harahap, jika persoalannya melewati dua negara atau lebih atau berkaitan dengan beberapa orang yang berlainan

104 Ibid.

105

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Alumni, 2003), hal. 4.

106 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif...Op. cit., hal. 123.

kebangsaannya atau karena kebiasaan dianggap sebagai internasional atau menurut hukum dinyatakan internasional.108

Alasan-alasan dikatakan sebagai Arbitrase Internasional didasarkan pada ciri-ciri internasional yaitu karena internasional menurut organisasinya, internasional menurut struktur atau prosedurnya, dan internasional menurut faktanya. Makna internasional menurut organisasinya karena organisasinya dibentuk oleh beberapa negara seperti ICSID yang anggotanya terdiri dari negara-negara berdasarkan

Berdasarkan syarat di atas, dapat dikatakan secara singkat bahwa Arbitrase Internasional didasarkan pada lingkupnya melewati lintas batas antara negara-negara. Tetapi tidak semua tempat penyelesaian sengketa melalui arbitrase berada di luar domisili para pihak dan tidak semua objek sengketa terletak di luar wilayah negara di mana para pihak memiliki usahanya, tetapi sebahagian objek sengketa ada pula yang berada di dalam suatu wilayah negara yang memiliki Arbitrase Internasional.

Contoh Arbitrase Internasional adalah London Court International Arbitration (LCIA) di Inggris, International Chamber of Commerce (ICC) berkedudukan di Paris, Singapore International Arbitrase Centre (SIAC) yang berkedudukan di Singapura, The American Arbitration Association (AAA) berkedudukan di Amerika Serikat, The International Center for the Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Amerika Serikat, dan lain-lain.

108 Ibid., hal. 17.

konvensi yaitu Convention on the Settlement of Investment Disputes between

Nationals of Others States.109

Ciri arbitrase internasional karena struktur atau prosedurnya didasarkan pada pilihan para pihak. Umumnya arbitrase internasional yang dipilih didasarkan pada arbitrase di mana tempat salah satu pihak, ada juga dipilih terlepas dari sistim hukum dari salah satu pihak dan bebas yurisdiksi. Dengan demikian, memilih arbitrase internasional tertentu berarti telah memilih prosedur yang berlaku pada arbitrase internasional tersebut misalnya memilih SIAC berarti para pihak telah sepakat dengan prosedur dan ketentuan yang ada di dalam SIAC tersebut.110

Sedangkan ciri arbitrase internasional menurut faktanya memang benar-benar diakui di dalam Anggaran Dasar pendirian arbitrase itu adalah arbitrase internasional dan didukung pula dengan adanya para pihak (baik negara atau bukan negara) memailih arbitrase tersebut dengan lebih dari satu negara yang memiliki yirisdiksi dan sistim hukum yang berebeda.111

Arbitrase Internasional SIAC adalah arbitrase Internasional yang berkedudukan di Singapura, mengatur sebahagian besar perkaranya berdasarkan peraturan arbitrasenya sendiri dan berdasarkan aturan lainnya yang disetujui oleh para pihak misalnya menggunakan Peraturan Arbitrase UNCITRAL Tahun 1976 (UNCITRAL Arbitration Rules 1976). Terdapat dua bagian hukum yang terpisah mengatur tentang arbitrase di Singapura. Jika forum arbitrase terletak di Singapura,

109 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif...Op. cit., hal. 239.

110 Cicut Sutiarso, Op. Cit., hal. 122.

maka yang berlaku adalah Undang-Undang (Arbitration Act, Cap 10, 2002 Rev

Ed/Arbitration Act) atau Undang-Undang Arbitrase Internasional (International Arbitration Act, Cap 143 A/IAA) yang akan mengatur tentang proses arbitrase.

Sedangkan untuk perjanjian-perjanjian internasional, undang-undang yang berlaku adalah IAA.112

Berdasarkan IAA suatu arbitrase disebut sebagai Arbitrase Internasional, apabila:113

1. Paling sedikit salah satu pihak memiliki tempat usaha di salah satu negara selain Singapura pada saat perjanjian arbitrase ditandatangani, atau

2. Tempat arbitrase yang disetujui berada di luar negara di mana para pihak memiliki tempat usaha, atau

3. Suatu tempat di mana sebahagian besar kewajiban yang timbul dari suatu hubungan komersil akan dilaksanakan atau tempat di mana perihal inti perselisihan yang memiliki keterkaitan terdekat berada di luar negara di mana para pihak mempunyai tempat usaha, atau

4. Para pihak telah setuju secara tegas bahwa perihal inti perjanjian arbitrase menyangkut lebih dari satu negara.

Para pihak yang berperkara di SIAC pada umumnya adalah pihak-pihak yang berbeda negara (cross-border parties). Para pihak yang berperkara di SIAC Singapura bebas memilih prosedur arbitrase. Jika tidak terdapat kesepakatan antar para pihak dalam memilih prosedur, maka mejelis arbiter menentukan prosedur dengan cara yang dianggap layak. Jika SIAC Rules 2013 (mulai berlaku efektif sejak

112 Frans Hendra Winarta, Op. cit., hal. 163.

tanggal 1 April 2013) yang dipilih, maka prosedurnya harus ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:114

1. Pleading (permohonan). Pengajuan permohonan harus dibuat dalam bentuk tertulis oleh para pihak kecuali ditentukan lain oleh majelis arbiter. Pengajuan ini juga wajib disertai dengan dokumen-dokumen pendukung dan bukti-bukti yang ingin digunakan para pihak.

2. Statement of Claim. Pihak penggugat yang mengajukan gugatan dan menyampaikan pernyataan kasus (statement of claim) berbarengan dengan diajukannya permohonan arbitrase (notice of arbitration). Pada saat ini majelis belum terbentuk karena proses arbitrase masih dianggap telah dimulai pada tanggal diterimanya notice of arbitration dari pihak pemohon. Atau pada saat majelis telah terbentuk yang mana waktu pengajuannya akan ditentukan oleh majelis. Isi di dalam statement of claim harus dimuat: pernyataan fakta yang mendukung gugatan, dasar hukum atau dalil yang mendukung gugatan, dan tuntutan bersama dengan jumlah semua gugatan yang dapat dihitung.115 3. Statement of defence. Pihak yang digugat dapat mengajukan dan

menyampaikan pernyataan pembelaan (statement of defence) dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya notice of arbitration berbarengan dengan tanggapan terhadap permohonan arbitrase (response to

114 Ibid., hal. 164-176. Lihat juga di: http://www.siac.org.sg/our-rules/rules/siac-rules-2013, diakses tanggal 1 Desember 2013. Di Situs Resmi Singapore International Arbitrase Centre (SIAC) tentang SIAC Rules 2013. Frans Hendra Winarta pernah sebagai arbiter di SIAC, ibid., hal. 168.

115 Article 3.2 SIAC Rules 2013: The Notice of Arbitration may also include the Statement of

notice of arbitration atau dalam waktu yang ditentukan oleh majelis setelah

diterimanya ctatement of claim setelah majelis arbiter terbentuk. Dalam

statement of defence harus dimuat seluruh pembelaan terhadap statement of claim, termasuk namun tidak terbatas pada fakta dan pendirian hukum yang

digunakan. Selain itu, dalam statement of defence dapat juga menyampaikan gugatan balik (counter claim) yang harus memenuhi mengenai statement of

claim.116

4. Replay (jawaban termohon). Jawaban dimaksud adalah jawaban terhadap

statement of defence dan terhadap counter claim (gugatan balik). Jika counter claim dilakukan, pemohon dalam jangka waktu yang ditentukan oleh majelis

arbiter, harus mengirimkan replay (jawaban) kepada termohon atas statement

of defence dan counter claim dan dinyatakan secara terperinci fakta dan

argumentasi hukum mana di dalam statemen of counter claim yang diakui dan dibantahnya, atas dasar apa termohon membatah gugatan atau argumentasi hukum tersebut.

5. Rejoinder. Dalam hal pengajuan rejoinder (jawaban pemohon) oleh pemohon, hal ini sangat tergantung pada kebijakan dari majelis arbiter apakah dibutuhkan atau tidak.117

116 Article 4.2. SIAC Rules 2013: The Response may also include the Statement of Defence

and a Statement of Counterclaim, as referred to in Rules 17.3 and 17.4.

117 Article 17.6 SIAC Rules 2013: The Tribunal shall decide which further submissions shall

be required from the parties or may be presented by them. The Tribunal shall fix the periods of time for communicating such submissions.

6. Memorandum of Issues. SIAC Rules 2013 sudah tidak mengatur tentang

memorandum of issues ini dengan pertimbangan untuk mempercepat proses

acara arbitrase.

7. Discovery. Pada proses ini masing-masing pemohon dan termohon dapat meminta agar dokumen diperlihatkan. Jika para pihak tidak sepaham dengan dokumen yang diperlihatkan tersebut, maka masing-masing dapat mengajukan penolakan.

8. Factual Witness Statements. Pada pores ini, para pemohon dan termohon dipersilahlan membuat kesaksian secara tertulis dan tersumpah (affidavit) atau bentuk pencatatan lainnya.118 Para pihak juga dipersilahkan untuk melakukan pertukaran kesaksian secara simultan pada waktu yang ditentukan oleh majelis arbiter. Selanjutnya melakukan pertukaran pernyataan bantahan saksi fakta yang akan dilakukan, mengidentifikasi semua saksi fakta, namun majelis arbiter berwenang juga menolak kehadiran saksi fakta tersebut.119 Jika saksi fakta tidak hadir, majelis arbiter dapat menempatkan bobot kesaksian pada kesaksian tertulis jika dianggap perlu, mengabaikannya, atau mengesampingkannya sama sekali.120

118

Article 22.4 SIAC Rules 2013: The Tribunal may direct the testimony of witnesses to be

presented in written form, either as signed statements or sworn affidavits or any other form of recording. Subject to Rule 22.2, any party may request that such a witness should attend for oral examination. If the witness fails to attend, the Tribunal may place such weight on the written testimony as it thinks fit, disregard it or exclude it altogether.

119

Article 22.3 SIAC Rules 2013: Any witness who gives oral evidence may be questioned by

each of the parties, their representatives and the Tribunal in such manner as the Tribunal shall determine.

9. Expert Witness Statement (pernyataan saksi ahli). Setelah terjadi pertukaran pernyataan saksi fakta, maka selanjutnya dilakukan adlaah pertukaran kesaksian saksi ahli yang ditunjuk oleh pemohon dan termohon. Di SIAC para saksi ahli baik dari pemohon dan termohon dipersilahkan untuk bertemu dan

Dokumen terkait