• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klorofil total (mg/g) CO2 (mg/cm2) Kadar air (%)

S. sigun 15.27 abc 2.94 d 6.78 58.17 abc

D. imbricatus 22.11 d 1.34 a 11.99 54.43 ab S. lineatum 19.33 cd 2.14 bc 6.29 53.88 a A. scholaris 10.35 a 2.56 cd 5.90 65.29 cd M. glauca 17.20 bc 2.39 cd 7.06 69.06 d S. wallichii 13.65 ab 1.65 ab 5.23 64.40 cd A. excelsa 13.55 ab 1.78 ab 7.87 69.51 d C. argentea 12.74 ab 2.35 c 5.27 61.50 bc

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.

Daun D. imbricatus memiliki kandungan karbohidrat tertinggi, yaitu 22.11%. Persentase karbohidrat terbanyak kedua dimiliki S. lineatum (19.33%), tetapi tidak berbeda nyata dengan kandungan karbohidrat D. imbricatus. Kandungan karbohidrat terendah dimiliki oleh A. scholaris (10.35%) dan tidak berbeda nyata dengan C. argentea, A. excelsa, S. wallichii, dan S. sigun.

Rata-rata kandungan klorofil total tertinggi dimiliki oleh S. sigun. Nilai ini tidak berbeda nyata dengan nilai rata-rata pada A. scholaris dan M. glauca, sedangkan kandungan klorofil total A. sholaris dan M. glauca tidak berbeda nyata dengan C. argentea. Kandungan klorofil total terendah dimiliki oleh D. imbricatus.

Tanaman M. glauca mampu menyerap CO2 sebesar 0.71 kg pada usia tanam 2 tahun (tertinggi di antara jenis lainnya), namun tidak berbeda nyata dengan A.

excelsa, S. lineatum, dan S. sigun. Kemampuan tanaman dalam menyerap CO2 per satuan luas (mg/cm2) tidak berbeda nyata pada semua jenis tanaman.

A. excelsa memiliki kadar air tertinggi (69.51%), tetapi tidak berbeda nyata dengan M. glauca. Kadar air terendah dimiliki S. lineatum (53.88%), walaupun tidak berbeda nyata dengan D. imbricatus dan S. sigun.

Hasil pengukuran kandungan karbohidrat dan serapan CO2 per pohon disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Kandungan karbohidrat dan dugaan CO2 yang diserap (per pohon)

Spesies KH per pohon (kg) CO2 per pohon (kg)

S. sigun 0.25 abc 0.37 abc

D. imbricatus 0.04 a 0.06 a

S. lineatum 0.33 abc 0.49 abc

A. scholaris 0.08 a 0.12 a

M. glauca 0.48 c 0.71 c

S. wallichii 0.04 a 0.07 a

A. excelsa 0.45 bc 0.65 bc

C. argentea 0.18 ab 0.27 ab

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.

Dilihat dari kandungan karbohidrat per pohon, M. glauca memiliki nilai terbesar (0.48 kg), tetapi tidak berbeda nyata dengan A. excelsa, S. lineatum, dan S. sigun.

Tanaman M. glauca mampu menyerap CO2 sebesar 0.71 kg pada usia tanam 2 tahun (tertinggi di antara jenis lainnya), namun tidak berbeda nyata dengan A. excelsa, S. lineatum, dan S. sigun. Kemampuan tanaman dalam menyerap CO2 per satuan luas (mg/cm2) tidak berbeda nyata pada semua jenis tanaman.

Kandungan klorofil a dan b, serta nisbah klorofil a/b pada setiap jenis tanaman dapat dilihat pada Tabel 5. Nilai klorofil a pada setiap jenis pohon lebih tinggi daripada nilai klorofil b. Nisbah klorofil a/b pada setiap jenis pohon tidak berbeda nyata, hanya saja nisbah klorofil a/b berbeda nyata untuk S. lineatum dan M. glauca.

Tabel 5 Kandungan klorofil a, b, dan nisbah klorofil a/b pada 8 jenis tanaman

Spesies Klorofil a (mg/g) Klorofil b (mg/g) Nisbah klorofil a/b S. sigun 1.47 d 1.36 d 1.07 ab D. imbricatus 0.66 a 0.62 a 1.06 ab S. lineatum 1.09 bc 0.99 bc 1.09 b A. scholaris 1.27 cd 1.21 cd 1.06 ab M. glauca 1.15 bc 1.12 c 0.94 a S. wallichii 0.80 a 0.80 ab 1.00 ab A. excelsa 0.87 ab 0.84 ab 1.05 ab C. argentea 1.21 cd 1.14 cd 1.05 ab

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.

Nilai kisaran kandungan klorofil total dapat dilihat pada Tabel 6. A. scholaris memiliki nilai kisaran yg berdekatan dengan M. glauca. Rentang kisaran nilai S. sigun paling besar dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya.

Tabel 6 Nilai kisaran kandungan klorofil total 8 jenis tanaman

Spesies Nilai kisaran klorofil total (mg/g)

S. sigun 1.51-4.27 D. imbricatus 0.73-1.85 S. lineatum 1.47-2.98 A. scholaris 1.86-3.73 M. glauca 1.84-3.12 S. wallichii 1.23-2.17 A. excelsa 1.33-2.19 C. argentea 1.83-2.90

Berat, Jumlah, dan Luas Daun

Rata-rata berat, jumlah, dan luas daun untuk masing-masing jenis tanaman disajikan dalam Tabel 7. Daun yang bobot per helainya paling perat adalah A. scholaris (1.78 g), tetapi tidak berbeda nyata dengan daun jenis tanaman lainnya, kecuali D. imbricatus. D. imbricatus memiliki ukuran daun teringan, yaitu 0.11 g. Tanaman yang memiliki jumlah daun terbanyak adalah S. lineatum (4057 lembar). M. glauca memiliki daun terluas, yaitu 65.07 cm2, walau tidak berbeda nyata dengan C. argentea dan S. sigun. Ukuran daun D. imbricatus adalah yang paling kecil (3.67 cm2). A. excelsa memiliki kadar air tertinggi (69.51%), tidak berbeda

nyata dengan M. glauca. Kadar air terendah dimiliki S. lineatum (53.88%), walau tidak berbeda nyata dengan D. imbricatus dan S. sigun.

Tabel 7 Berat, jumlah, dan luas daun 8 jenis tanaman

Spesies Berat daun (g) Jumlah daun Luas daun (cm2)

S. sigun 1.62 b 891 ab 53.01 de D. imbricatus 0.11 a 1612 c 3.67 a S. lineatum 0.45 ab 4057 e 20.01 b A. scholaris 1.78 b 404 a 42.78 cd M. glauca 1.75 b 1743 c 65.07 e S. wallichii 0.92 ab 376 a 37.83 c A. excelsa 1.23 ab 2671 d 34.02 c C. argentea 1.42 ab 1041 b 54.32 de

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.

Analisis Komponen Utama

Hasil analisis komponen utama terhadap parameter-parameter fotosintesis yang diteliti menunjukkan bahwa dua komponen utama dapat menerangkan keragaman total data parameter internal fotosintesis sebesar 83.7%. Keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor pada komponen utama I (KU I) sebesar 67.5%, sedangkan keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor pada komponen utama II (KU II) sebesar 16.2% (Tabel 8).

Tabel 8 Matriks nilai ciri korelasi beberapa parameter fotosintesis

Komponen Utama Nilai ciri Keragaman Akumulasi keragaman

1 4.051 0.675 0.675

2 0.971 0.162 0.837

Hasil analisis komponen utama untuk menjelaskan interaksi parameter internal fotosintesis menggunakan biplot menunjukkan bahwa dari beberapa parameter internal fotosintesis yang dianalisis, CO2 merupakan parameter yang paling menentukan pembentukan karbohidrat karena memiliki sudut terkecil dan merupakan sudut lancip (Gambar 6), atau dengan kata lain terdapat korelasi positif antara parameter karbohidrat dengan CO2. Parameter-parameter lainnya,

yaitu kandungan klorofil total, berat dan luas daun, serta kadar air, memiliki korelasi negatif dengan karbohidrat.

2 1 0 -1 -2 -3 -4 -5 1,5 1,0 0,5 0,0 -0,5 -1,0 -1,5 KU I (67.5 % ) K U I I (1 6 .2 % )

Berat per daun

Klo Tot Rata2 luas per daun CO2

KH

Kair

Gambar 6 Biplot interaksi 8 spesies tanaman dengan beberapa parameter fotosintesis (Bl=beleketebe, Jm=jamuju, Ks=ki sireum, Lm=lame, Mg=manglid, Ps=puspa, Rs=rasamala, Sn=saninten)

Data koefisien korelasi karbohidrat, klorofil total, CO2, dan kadar air daun disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Koefisien korelasi karbohidrat, klorofil total, CO2, dan kadar air daun

Parameter Klorofil Total CO2 Kadar Air

Karbohidrat -0.432 0.723 -0.629

Klorofil Total -0.548 0.101

CO2 -0.334

Hasil analisis komponen utama dengan biplot juga dapat menjelaskan bahwa setiap parameter yang dianalisis memberikan pengaruh yang berbeda pada setiap jenis tanaman (Tabel 10).

Tabel 10 Karakteristis beberapa parameter fotosintesis pada setiap jenis tanaman Parameter fotosintesis Spesies

Kandungan karbohidrat Kandungan klorofil total

D. imbricatus, S. lineatum

S. sigun, A. scholaris, M. glauca, C. Argentea

CO2 D. imbricatus, S. lineatum

Kadar air A. excelsa, M. glauca, A. scholaris, S. wallichii Rs Ps Lm Mg Sn Bl Ks Jm

. .

Lm

Kandungan C, N, C/N, dan Mg

Kandungan C dan N, C/N rasio, serta kandungan Mg daun dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Kandungan C dan N, C/N rasio, serta kandungan Mg daun 8 jenis tanaman Spesies C (%) N (%) C/N Kandungan Mg (%) S. sigun 43.31 ab 2.41 b 18.17 a 0.26 D. imbricatus 45.06 bc 1.46 a 31.20 c 0.34 S. lineatum 47.83 d 1.96 ab 24.46 b 0.16 A. scholaris 46.21 cd 1.92 ab 24.32 b 0.77 M. glauca 44.11 abc 2.93 c 15.05 a 0.70 S. wallichii 45.99 cd 1.74 a 26.46 bc 0.44 A. excelsa 42.14 a 1.56 a 27.28 bc 0.53 C. argentea 46.53 cd 1.87 a 24.91 b 0.60

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.

S. lineatum memiliki kandungan C tertinggi (47.83%), namun tidak berbeda nyata dengan C. argentea, A. scholaris, dan S. wallichii, sedangkan kandungan C terendah dimiliki oleh A. excelsa (42.14%), namun tidak berbeda nyata dengan S. sigun dan M. glauca. Daun yang memiliki kandungan N tertinggi adalah M. glauca, yakni sebesar 2.93%. Tanaman yang memiliki rasio C/N daun tertinggi adalah D. imbricatus, sedangkan nilai terendah dimiliki oleh M. glauca (15.05%) dan S. sigun (18.17%).

Kandungan Mg tertinggi dimiliki oleh A. scholaris (0.77%) disusul oleh M. glauca (0.70%), sedangkan kadar Mg terendah dimiliki oleh S. lineatum (0.16%).

Analisis Sifat Kimia Tanah

Data nilai sifat kimia tanah dan kualitasnya disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Nilai sifat kimia tanah

Unsur yang dinilai Nilai Kriteria

C (%) 1.50 Rendah N (%) 0.12 Rendah C/N 13.00 Sedang pH (H2O) 5.10 Rendah pH (KCl) 4.53 Sedang K 0.17 Rendah sekali Na 0.36 Sedang Ca 3.02 Rendah Mg 1.43 Sedang

Keterangan: Kriteria mengacu ke Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999)

Pembahasan

Hasil analisis komponen utama untuk menjelaskan interaksi parameter internal fotosintesis menunjukkan bahwa korelasi positif hanya terdapat antara karbohidrat dan CO2. Parameter lain, yaitu kandungan klorofil total dan kadar air, memiliki korelasi negatif dengan karbohidrat. Korelasi positif mengandung pengertian bahwa apabila CO2 meningkat, maka karbohidrat akan meningkat.

Setiap tanaman memiliki karakteristik berbeda. Pemilihan jenis tanaman restorasi dapat mempertimbangkan parameter yang lebih diutamakan. Hasil analisis komponen utama menunjukkan bahwa, jika parameter CO2 menjadi pertimbangan utama, maka D. imbricatus dan S. lineatum merupakan jenis yang paling sesuai dibandingkan dengan 6 jenis tanaman lainnya. Tanaman yang lebih besar kemampuan menyerap CO2 akan sangat berguna dalam usaha mitigasi iklim. Tanaman yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi diharapkan akan lebih cepat pertumbuhannya. Karakteristik kandungan klorofil tinggi dimiliki oleh S. sigun. A. scholaris, M. glauca, dan C. argentea. Kandungan klorofil yang tinggi pada daun menandakan tanaman tersebut akan efektif dalam menyerap sinar matahari. Jenis-jenis ini akan baik digunakan untuk usaha restorasi di daerah yang intensitas cahaya mataharinya beragam. A. excelsa, M. glauca, A. scholaris, dan

S. wallichii memiliki karakteristik dalam kadar air, sehingga tanaman ini diduga dapat digunakan dalam usaha konservasi air dan baik jika ditanam di daerah yang curah hujannya tinggi.

D. imbricatus memiliki kandungan karbohidrat tertinggi. Diduga karena tanaman ini merupakan kelompok tanaman berdaun jarum (conifer), yang memiliki ukuran daun terkecil dibanding dengan 7 jenis tanaman lainnya (luas 3.67 cm2), sehingga proses evapotranspirasinya kecil dan akumulasi fotosintatnya besar. Dengan kata lain, CO2 yang diserap per pohon paling kecil nilainya, tetapi CO2 yang diserap per satuan luas, paling tinggi. Karakterstik tersebut juga berlaku untuk S. lineatum yang juga memiliki daun yang berukuran kecil (luas rata-rata 20.01 cm2).

Besaran nilai produk fotosintesis bersih (NPP) dapat didekati dengan cara mengukur karbohidrat, biomassa, dan serasah (Landsberg & Gower 1997). Setelah CO2 diserap oleh daun, maka akan diubah menjadi karbohidrat yang kemudian akan diikuti oleh beberapa proses, seperti respirasi gelap, pembangunan dan pemeliharaan sel, sebelum akhirnya terakumulasi menjadi biomassa hidup dari tumbuhan (Kramer & Kozlowski 1979).

Tinggi rendahnya karbohidrat pada sampel disebabkan oleh distribusi hasil fotosintesis. Nilai karbohidrat yang rendah menandakan bahwa karbohidrat lebih banyak disimpan di dalam organ lain daripada di daun. Jumlah daun per tanaman yang sedikit, memberikan kesempatan pada daun yang ada untuk menjadi source, karena daun berkesempatan menerima cahaya dan menghasilkan fotosintat yang digunakan oleh organ lain. Tanaman dengan jumlah daun banyak, kebanyakan daun ternaungi, sehingga lebih banyak daun yang menjadi sink. Akibatnya, di dalam populasi terlihat korelasi negatif antara hasil dengan jumlah daun. Penelitian Rostini et al. (2003) menunjukkan bahwa hasil asimilasi yang tinggi pada tanaman kedelai akan didistribusikan lebih banyak ke organ reproduksi dibandingkan organ vegetatif.

Tingginya karbohidrat yang dihasilkan oleh suatu tumbuhan menentukan kemampuan tumbuhan dalam menyerap CO2 yang digunakan oleh tumbuhan tersebut untuk melakukan proses fotosintesis. Karbohidrat didapat dengan mengubah CO2 menjadi (CH2O)n. Karbohidrat diperoleh dengan cara memfiksasi

CO2 bebas yang terdapat di udara. CO2 yang didapat akan dibawa ke dalam siklus Calvin-Benson. Siklus Calvin-Benson atau reaksi gelap, adalah suatu siklus yang tidak memerlukan cahaya matahari, seperti pada reaksi terang, dalam prosesnya. Di dalam siklus Calvin-Benson karbondioksida akan diikat oleh enzim rubisco dan selanjutnya akan membentuk sukrosa. Sukrosa-sukrosa yang terbentuk ini akan diikat menjadi satu sehingga akan diperoleh pati yang nantinya digunakan dalam proses respirasi untuk menghasilkan energi ataupun disimpan sebagai cadangan makanan.

Semakin banyak tumbuhan menghasilkan pati, karbondioksida yang difiksasi juga semakin banyak. Dengan banyaknya CO2 yang diserap maka emisi CO2 akan makin berkurang, peningkatan suhu akibat efek gas rumah kaca dapat diatasi sehingga pemanasan global dapat dikurangi. Dengan demikian, kelangsungan hidup seluruh makhluk hidup dapat terjaga dengan baik.

Hasil analisis komponen utama menunjukkan bahwa kandungan karbohidrat daun dan kemampuan tanaman menyerap CO2 memiliki korelasi negatif dengan kandungan klorofil total. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan mengenai korelasi negatif ini. Tanaman C-3 cenderung mencapai puncak laju fotosintesis pada intensitas cahaya dan suhu moderat, dan akan terganggu oleh suhu tinggi dan intensitas cahaya penuh. Setiap proses fisiologis tumbuhan akan bekerja pada besaran toleransi tertentu. Untuk suhu, sedikitnya ada batas minimum untuk memulai kegiatan dan kegiatan akan berjalan cepat pada suhu optimum dan akan berhenti pada titik maksimum. Ketiga titik tersebut dikenal sebagai Suhu Kardinal (Odum 1996). Semua jenis tanaman yang diteliti merupakan tanaman C-3. Diduga korelasi negatif berkaitan dengan konsep kejenuhan. Sinar matahari yang ditangkap klorofil sebagai pusat reaksi sudah melebihi titik jenuh, sehingga walaupun kandungan klorofil total daun tinggi, foton yang ditangkap tidak dapat menghasilkan energi NADPH dan ATP yang berguna untuk mereduksi CO2 pada reaksi gelap.

Tanaman, dalam proses fotosintesis, tidak dapat memanfaatkan semua pancaran radiasi matahari yang sampai pada permukaan bumi, tetapi hanya radiasi yang terletak pada batas panjang gelombang 400 - 700 nm. Bagian radiasi inilah yang disebut radiasi nampak (visible radiation) atau cahaya yang juga dikenal

dengan istilah Radiasi Aktif Fotosintesis (PAR = photosynthetically active radiation). Cahaya yang paling efektif dimanfaatkan oleh tanaman hijau adalah biru dan merah. Diduga pada saat dilakukan pengukuran, tanaman tidak mendapat cahaya yang efektif untuk fotosintesis. Dari segi ekologi, bagi kehidupan organisme yang penting radiasi adalah kualitas sinar (panjang gelombang dan warna) dan intensitas cahaya (lama penyinaran), karena laju fotosintesa akan bervariasi sesuai dengan perbedaan panjang gelombang yang ada.

Luas daun berpengaruh terhadap kandungan klorofil total. Menurut Gardner et al. (1985) permukaan daun yang luas dan datar memungkinkan daun menangkap cahaya secara maksimal per satuan volume dan meminimalkan jarak yang harus ditempuh oleh CO2 dari permukaan daun ke kloroplas. Semakin besar luas daun dan semakin tinggi intensitas cahaya matahari, maka cahaya yang mampu diserap oleh daun tinggi dan laju fotosintesis akan terjadi secara maksimum.

Peringkat kandungan klorofil total berturut-turut adalah S. sigun, A. scholaris, M. glauca, C. argentea, S. lineatum, A. excelsa, S. wallichii, dan D. imbricatus. Jika dilihat dari hasil analisis statistiknya, nilai kandungan klorofil kedelapan jenis tersebut tidak berbeda nyata antara satu spesies dengan spesies tertentu lainnya. Kandungan klorofil S. sigun tidak berbeda nyata dengan A. scholaris dan M. glauca. Kandungan klorofil A. scholaris dan M. glauca juga tidak berbeda nyata dengan C. argentea, sedangkan kandungan klorofil A. argentea tidak berbeda nyata dengan S. lineatum. S. lineatum memiliki nilai kandungan klorofil yang tidak berbeda nyata dengan A. excelsa dan S. wallichi. A. excelsa dan S. wallichi memiliki total klorofil yang tidak berbeda nyata dengan D. imbricatus.

Adanya perbedaan hasil pengukuran dapat disebabkan karena kandungan klorofil total yang dikandung dalam daun mengalami degadrasi. Walaupun penanganan sampel dari lapangan ke laboratorium telah diusahakan sebaik mungkin, terkadang ditemukan perubahan pada warna daun. Jika klorofil terkena asam, maka Mg akan tergeser oleh 2H dan kemudian merupakan suatu per senyawaan yang disebut feofitin, berwarna coklat (Dwidjoseputro 1986). Daun S. lineatum cepat berubah menjadi kecoklatan jika kadar airnya berkurang. Klorofil

juga sensitif terhadap paparan cahaya. Hasil lebih baik diperoleh bila mengekstraksi jaringan segar dan pengukuran klorofil segera dilakukan, walaupun ekstrak dapat disimpan dalam aseton pada suhu -20 sampai -30 oC tanpa kehilangan nilai yang berarti (Harborne 1987).

Perbedaan kandungan klorofil pada jenis tanaman yang berbeda, yang tumbuh pada lingkungan sama, menunjukkan adanya perbedaan respon fisiologi yang berbeda. Hasil penelitian Suharja & Sutarno (2009) pada dua varietas cabai yang diberi kandungan pupuk berbeda adalah tidak sama. Rendahnya kandungan nutrien serperti N dan Mg akan mempengaruhi pembentukan klorofil. Nitrogen berkaitan erat dengan sintesis klorofil, juga protein dan enzim. Enzim Rubisco berperan sebagai katalis dalam fiksasi CO2 (Salisbury & Ross 1995).

Daun dengan kandungan klorofil tinggi tidak selalu menghasilkan serapan CO2 tinggi karena masih banyak faktor lain yang menentukan laju serapan CO2. Banyak faktor yang harus diperhatikan dalam pengukuran laju serapan CO2 tanaman agar dicapai interpretasi nilai laju fotosintesis yang benar. Faktor yang perlu diperhatikan antara lain adalah metode yang digunakan, kondisi lingkungan tumbuh dan mikroklimat pada saat pengukuran, ukuran atau umur tanaman yang diukur, umur daun (daun muda/daun tua), serta akurasi alat yang digunakan. Tanaman yang tumbuh atau diukur pada kondisi alam in situ biasanya memiliki laju serapan CO2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh pada kondisi lingkungan terkontrol seperti rumah kaca. Untuk itu, dalam penelitian harus disertakan spesifikasi kondisi pertumbuhan tanaman dan lingkungan pada saat pengukuran serta metode dan instumen yang digunakan (Hidayati et al. 2011).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa klorofil a memiliki hubungan positif dengan klorofil b dan total klorofil, dan secara positif berhubungan dengan berat segar daun. Hasil ini sama dengan hasil penelitian Suharja & Sutarno (2009). Hal ini dapat dipahami karena klorofil a merupakan prekursor klorofil b, sementara klorofil a dan b merupakan komposisi total klorofil daun dan juga bagian dari berat segar tanaman.

Nisbah klorofil a/b pada semua jenis tanaman tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan, seperti cahaya matahari yang diperoleh

daun sampel relatif sama. Peningkatan klorofil b dapat terjadi karena daun bagian bawah menerima cahaya yang lebih sedikit dan adanya konversi klorofil a menjadi klorofil b (Folly & Engel 1999).

Hasil analisa C-organik daun menunjukkan persentase karbon tertinggi dimiliki oleh S. lineatum, walau tidak berbeda nyata dengan C. argentea, A. scholaris, dan S. wallichii, tetapi cukup menggambarkan adanya kesamaan dengan dengan hasil analisa karbohidrat. S. lineatum memiliki nilai tertinggi kedua setelah D. imbricatus. Nilai ini juga tidak berbeda nyata.

Tanaman yang memiliki N-organik tertinggi adalah M. glauca, diikuti S. sigun, kemudian A. scholaris. Nilai ini sejalan dengan kandungan klorofil total ketiga tanaman tersebut. Penelitian kandungan nitrogen pernah dilakukan oleh Suharno et al. (2007) terhadap tanaman A. excelsa. A. excelsa memiliki persentase nitrogen daun sebesar 1.33%. Tipe emergen pada saat daun masih muda memiliki nilai nitrogen yang lebih rendah dibandingkan tipe underlayer (di bawah naungan). Pernyataan ini sesuai dengan hasil penelitian, bahwa A. excelsa memiliki kandungan nitrogen yang lebih rendah dibandingkan tanaman S. wallichii atau S. sigun, yang termasuk tipe kanopi.

Hasil analisis Mg menunjukkan, bahwa tanaman yang memiliki kandungan klorofil tinggi, pada umumnya memiliki kandungan Mg yang juga tinggi. Magnesium dan nitrogen merupakan unsur pembentuk molekul klorofil, dapat dilihat dari rumus kimianya, yaitu C55H72O5N4Mg untuk klorofil a dan C55H70O6N4Mg untuk klorofil b (Harborne 1987).

Kandungan klorofil dan karbohidrat yang berkorelasi negatif, tidak berarti menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya jumlah klorofil, karbohidrat yang terbentuk akan menurun. Hal ini bisa disebabkan karena tumbuhan-tumbuhan tertentu tidak menyimpan banyak pati di dalam daunnya, tetapi menyimpannya dalam organ lain, seperti buah, batang, atau akar. Klorofil dan karbohidrat memiliki hubungan erat dalam proses fotosintesis, klorofil yang berperan dalam fotolisis air akan menyediakan energi bagi tumbuhan untuk melakukan proses fotosintesis, sehingga tanpa adanya klorofil tidak mungkin bagi tumbuhan dapat membuat makanannya sendiri.

Pohon dengan laju pertumbuhan cepat memiliki asimilasi CO2 relatif lebih tinggi pada tanaman beriklim tropis (Hidayati et al. 2009). Hasil monitoring Tim KRC menunjukkan bahwa di antara kedelapan jenis tanaman restorasi, D. imbricatus dan S. lineatum memiliki keragaan terbaik. D. imbricatus memiliki laju pertumbuhan tertinggi dan S. lineatum memiliki tingkat ketahanan hidup yang paling tinggi (Rahman et al. 2011). Hal ini sesuai dengan hasil dalam penelitian ini, bahwa D. imbricatus memiliki kemampuan menyerap CO2 tertinggi diikuti oleh S. lineatum, walaupun tidak berbeda nyata dengan jenis lainnya. Kedua jenis tanaman ini juga memiliki kandungan karbohidrat daun tertinggi. Tumbuhan yang sedang tumbuh memiliki laju fotosintesis dan laju translokasi fotosintat yang tinggi (Lakitan 2010).

Proses fotosintesis juga membutuhkan air. Jika tumbuhan kekurangan air, maka translokasi air dari akar ke daun berkurang. Untuk mengurangi kehilangan air, terlebih pada kondisi kelembaban udara sangat rendah, maka bukaan stomata akan mengecil bahkan menutup. Dengan demikian masuknya gas CO2 ke dalam daun lewat stomata akan berkurang. Kemampuan fotosintesis akan meningkat dengan bertambahnya umur dan luasan daun (Salisbury & Ross 1995; Taiz & Zeiger 2003; Lakitan 2010).

Karena komponen utama tanaman hijau adalah air, maka berat basah, berat kering dan kandungan air akan mempunyai asosiasi yang kuat. Banyak faktor yang mempengaruhi asosiasi tersebut seperti jenis spesies, umur, dan kondisi pertumbuhan tanaman. Dengan demikian kandungan air dalam kanopi daun merupakan faktor penting dalam deteksi potensi kebakaran hutan (Chuvieco et al. 2002), atau peningkatan kandungan air tanah (Yilmaz et al. 2008). Pengaruh kekurangan air pada tanaman padi akan menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi lebih pendek, jumlah anakan berkurang, luas daun lebih kecil, pengisian bulir padi berkurang, dan akhirnya akan mengurangi produksi padi (Yoshida 1981).

Hasil pengukuran kadar air pada penelitian ini menunjukkan bahwa A. excelsa dan M. glauca memiliki kadar air yang paling tinggi. Dapat diasumsikan bahwa kedua jenis tanaman ini memiliki kemampuan lebih tinggi dalam kapasitas menyerap air dan menyimpan air di daun dibandingkan dengan kelima jenis

tanaman lainnya. Air masuk ke dalam tumbuhan melalui akar pada pembuluh angkut xilem menuju daun. Elektron dihasilkan dari pemecahan molekul air dengan produksi oksigen berkesinambungan ditranspor melalui rantai transpor elektron yang tertanam dalam membran tilakoid. NADPH dan ATP yang dihasilkan dari proses ini digunakan dalam reaksi gelap fotosintesis untuk menghasilkan karbohidrat (Lambers et al. 2008). Kadar air S. lineatum dan D. imbricatus adalah yang paling rendah. Dapat dijelaskan bahwa dalam kondisi lingkungan yang sama, kapasitas transpor air juga sama, sehingga air yang tersimpan di daun lebih sedikit (Lambers et al. 2008).

Kondisi lingkungan tumbuh yang dapat berakibat pada penurunan fotosintesis atau serapan CO2 termasuk intensitas cahaya yang kurang, suhu dan

Dokumen terkait