• Tidak ada hasil yang ditemukan

selain Indonesia adalah Birma, Kamboja, India, Malaysia, Myanmar, dan Thailand. Jenis ini tumbuh tersebar atau kadang-kadang berkelompok di hutan hujan primer yang lembab, terutama pada tanah subur. Pohon ini berbunga kecil, kuning muda sampai putih. Bunga-bunga tersebut tumbuh berkelompok atau tunggal pada ranting baru. Buahnya berukuran sedang, bulat, dan berbulu panjang seperti rambutan, berwarna hijau muda (Lembaga Biologi Nasional Indonesia –

LIPI 1977).

Jenis ini termasuk keluarga Elaeocarpaceae. Pohonnya dapat mencapai 30 m dengan diameter 120 cm. Diameter bebas cabang tidak berdaun mencapai 40 cm. Batangnya lurus, tidak berbanir, dengan kulit yang licin dan berwarna abu-abu tua. Tajuknya lebat sekali, bulat, dan daunnya gugur selama ± dua hari yang diikuti oleh pertumbuhan daun muda, kemudian berbunga di ujung-ujung ranting. Daunnya tunggal, tersusun dalam bentuk spiral dan kadang-kadang agak berhadapan, berbentuk bulat telur sampai jorong, ujungnya melancip, tidak berbulu, permukaan atasnya mengkilap bertangkai panjang (Lembaga Biologi Nasional – LIPI 1977). Tangkai daun berukuran 2-2.5 cm, ramping, bengkak di ujung. Helai daun berbentuk elips berukuran 12-14 cm × 5-6 cm, tipis, vena lateral berjumlah 5 atau 6 per sisi, tepi daun bergigi. Bunga soliter, sepal berjumlah 4, kelopak 4, berwarna kekuningan. Benang sari berukuran 5-7 mm. Ovarium bulat telur (Backer & van Den Brink 1965). Termasuk pohon lapis pertama atau kanopi (van Steenis 2006).

Jamuju (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub.)

D. imbricatus yang memiliki nama padanan Podocarpus imbricatus Blume, termasuk ke dalam famili Podocarpaceae yang merupakan kelompok tanaman berdaun jarum atau konifer. Jamuju, nama umum, juga dikenal dengan nama lokal: ampinur bunga (Karo), medang cemara (Melayu), ambun (Minangkabau), ki jamuju, ki mades, kiputri, kicemara (Sunda), aru, taji, tekit, camara ukung, cemara rante, cemara waris (Jawa), cemara binek (Madura), kaju (Sumbawa), kaju angin, camba-camba (Banten) (Heyne 1987), embun (Sumatera, Sulawesi), cemba-cemba (Sulawesi), igem (Filipina), sha-mo-pin (Burma), podo churcher atap (Malaysia), thong nang (Vietnam). Sebaran tumbuh meliputi selatan China, Indochina, Burma, Thailand, Malaysia, hingga Vanuatu dan Fiji. Di Indonesia jenis ini tersebar di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Aceh, dan Jawa Barat. Merupakan tanaman dataran tinggi, yaitu pada ketinggian 750 – 2500 dpl. Tinggi pohon jamuju rata-rata 50 m, termasuk pohon mencuat (van Steenis 2006) dengan diameter mencapai 100-200 cm. Termasuk tanaman moderat-lambat, walaupun pertumbuhannya lebih cepat di daerah yang disinari matahari penuh. Jamuju berdaun majemuk berbentuk lancip membentuk apiculus yang halus. Daun dewasa jamuju menyebar, lurus, seperti skala, rebah pada 1 sampai 4 sisi, berukuran 1.0-1.8 mm x 0.4-1.0 mm. Daun involucralnya menyebar dan membuka pada reseptakel pada saat muda. Jamuju termasuk tanaman yang selalu hijau, tidak menggugurkan daunnya pada musim kemarau, memiliki kanopi yang lebat berbentuk piramid hingga oval (Backer & van Den Brink 1963).

Jamuju memiliki pepagan keras, permukaan kasar berlentisel disana-sini, pada pohon tua mengelupas dalam bentuk lempengan tebal kecil-kecil memanjang vertikal menggelendong. Hidup di hutan campuran basah atau di hutan cemara. Penyebaran jenis D. imbricatus di Taman Nasional Gede Pangrango mengelompok, karena jenis ini banyak ditemukan pada ketinggian 1400 sampai 2045 m dpl. D. imbricatus di Taman Nasional Gede Pangrango tumbuh pada ketinggian tempat 1400 sampai 2045 m dpl dan kelerengan 3 sampai 40 % dengan suhu 15 sampai 25 oC dengan kelembaban 73 sampai 100%. Jenis tanah yang cocok untuk jenis D. imbricatus adalah jenis tanah regosol dan andosol dengan

kemasaman tanah yang termasuk kategori asam sampai sangat asam (Bramasto 2008).

Ki Sireum (Syzygium lineatum (Bl.) Merr. & Perry)

Pohon ini masuk ke dalam keluarga Myrtacea. S. lineatum memiliki nama lokal kayu udang Sumatera), ki sireum (Sunda, Jawa), nagasari rangkang (Jawa), phung kha, kelat puteh, daeng sok phlueak, khwat (Thailand), lagi-lagi (Philipina), kelat lapis (Malaysia). Nama sinonim jenis ini di antaranya adalah S. longiflorum.

Habitusnya pohon. Cabangnya berwarna coklat kehitaman ketika kering, berbentuk silinder tetapi biasanya sedikit runcing di kedua ujungnya, membulat pada bagian melintang, permukaannya halus; cabang tua putih keabu-abuan. Tangkai daun berukuran 1-1.2 cm; daun elips berukuran 6-8 x 2.5-3.5 cm, kasar, abaksial (bagian bawah daun) sedikit berwarna saat kering, adaksial (bagian atas daun) berwarna coklat tua dan mengkilap saat kering. Abaksial memiliki kelenjar banyak, adaksial berkelenjar kecil, tulang daun sekunder padat, terpisah dengan jarak 1 mm, dengan sudut 75o dari tulang daun bagian tengah. Tulang daun intramarginal kurang dari 1 mm dari batas pinggir, bagian dasar lebar dan tumpul. Puncak daun melancip dengan titik puncak 1-1.5 cm. Berbunga banyak dengan ukuran 8-10 cm, bercabang tiga, kuncup bunga berukuran 6-7 mm. Kelopak bunga berbentuk lobus semiorbital pendek. Kelopak bunga terpisah berukuran 3 mm. Benang sari berukuran 5-7 mm (Backer & van Den Brink 1965).

Lame (Alstonia scholaris (L) R. Br.)

Lame merupakan anggota famili Apocynaceae, memiliki nama daerah kayu gabus, kayu skola, pulai, lame, pule (Indonesia); chattin (Bengal); lettok (Burma); birrba, black board tree, dita bark, milk wood, milkwood pine, milky pine, white cheesewood (Inggris); dalipoen, dita (Filipina); chatian (India); pulai, pule, rite (Indonesia); pule (Jawa); pulai, pulai linlin (Malaysia); chataun, chhatiwan (Nepal); sattaban, teenpet, teenpethasaban (Thailand); chatiyan wood, pulai, shaitan wood, white cheese wood (nama dagang); caay mof cua, caay suwxa (Vietnam). Habitus A. scholaris adalah pohon besar, dengan tinggi sekitar 40 m. Lame memiliki lateks susu yang mengalir cepat ketika dipotong. Batang berwarna

abu-abu gabus agak ke abu-abu-putih kulit. Daun berkarang di aksila atas dengan jumlah 4-8 daun. Tangkai daun tangkai berukuran 1-1.5 cm, elips atau lanset, gundul atau berbulu jarang, meruncing ke arah dasar, dengan ukuran daun 11.5-23 x 4-7.5 cm. Permukaan atas hijau tua, bagian bawah hijau-putih dengan 25-40 pasang urat lateral pada setiap sisi pelepah berjarak 2-6 mm terpisah. Ujung daun bulat atau meruncing ke arah dasar. Bunga majemuk, malai terminal, hingga 120 cm; berukuran 7-10 mm berwarna putih, krem atau hijau; tabung berbulu; lobus jarang atau padat puber, 1,5-4 mm, margin kiri tumpang tindih; sangat wangi. Buah terjumbai, dengan dua lobus, folikelnya pecah, coklat atau hijau, kering atau berkayu, berbentuk gelendong lonjong, berukuran 15-32 cm, 4-6 mm, biji cokelat, berukuran 4-5 mm x 0.9 -1.2 mm, dengan seberkas rambut 7-13 mm pada setiap akhir.

Lame ditemukan pada ketinggian 0-900 m, dengan suhu tahunan rata-rata 12-32 oC dan curah hujan tahunan rata-rata 1200-1400 mm. Jenis ini baik hidup pada jenis tanah bermacam-macam, termasuk aluvial. Lateksnya bisa dibuat permen karet berkualitas baik. Kayunya direkomendasikan sebagai spesies kayu bakar untuk daerah Patana, Sri Lanka. Kulit kayu menghasilkan serat, dan kayu dianggap sebagai cocok untuk produksi pulp dan kertas. Bunga A. scholaris menghasilkan minyak esensial. Kedokteran aborigin Australia menggunakan kulit kayu untuk pengobatan sakit perut dan demam, lateks untuk neuralgia dan sakit gigi. Di India, kulit kayu digunakan untuk mengobati keluhan usus (worldagroforestrycentre.org; Backer & van Den Brink 1965).

Manglid (Manglietia glauca Bl.)

Manglid masuk ke dalam keluarga Magnoliaceae. Nama botaninya adalah Manglietia glauca, dengan nama sinonim Magnolia blumei (worldagroforestrycentre.org; Backer & van Den Brink 1963). Jenis ini memiliki nama daerah: manglid (Sunda); baros, cempaka bulus (Jawa); antuang, madang limpaung, sitibai (Minangkabau); cempaka. Manglid berupa pohon, dengan tinggi mencapai 25 – 40 m dengan bebas cabang 25 m dan diameter mencapai 150 cm, tersebar di ketinggian 1000 – 1500 m dpl. Hidupnya berkelompok dan di tempat yang lembab. Tajuk membulat, lebat, percabangannya berbentuk garpu

yang dimulai jauh dari atas tanah (Heyne 1987). Daun tunggal bentuk elips memanjang atau elips melebar, kebanyakan bulat telur memanjang, ukuran 13-18 cm, panjang kadang sampai 25 cm. Ujung dan pangkal daun runcing, tangkai daun panjang. Tidak berbulu, abaksial daun berwarna abu-abu kebiruan, bagian adaksial hijau muda agak mengkilap, tersusun spiral.

Bunga terminal, soliter, besar, tangkai panjang 2.5 - 4 cm, berwarna kuning muda, harum, kelopak 9-13 tersusun dalam 3 lingkaran, benang sari banyak dan tersusun spiral, tangkai benang sari panjang atau pendek. Ovary ada 4 atau lebih pada masing-masing karpel. Penyerbukan dibantu oleh lebah madu dan berbunga sepanjang tahun. Buah majemuk, berbentuk kerucut (kegelvormig) panjang 6-8 cm, pada permukaan berwarna hijau dengan titik-titik putih, kemudian menjadi coklat hitam. Biji 2-6 banyaknya, kadang sampai 12, berwarna merah (http://www.dephut.go.id).

Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.)

S. wallichii termasuk famili Theaceae, tinggi pohonnya dapat mencapai 40 m, termasuk pohon lapis kedua/kanopi (van Steenis 2006), dengan panjang batang bebas cabang sampai 25 m dan diameter sampai 250 cm. Tidak berbanir, kulit luar berwarna merah muda, merah tua sampai hitam, beralur dangkal dan mengelupas. Kulit hidup tebalnya sampai 15 mm berwarna merah dan di dalamnya terdapat miang gatal. Tajuknya bulat sampai lonjong, lebat, hijau tua, mengkilat, dengan daun muda berwarna merah jambu. Daunnya tunggal, tebal, bagian abaksial hijau kebiru-biruan, berbentuk jorong. Bunganya putih, tunggal, terdapat pada ketiak daun dan berkelompok pada ujung ranting. Buahnya agak bulat, berwarna putih perak seperti sutra saat muda, coklat dan pecah bila sudah tua (Sastrapradja et al. 1977).

Puspa tumbuh pada tanah kering dan tidak memiliki keadaan tekstur dan kesuburan tanah, sehingga baik untuk reboisasi padang alang-alang, belukar dan tanah kritis. Jenis ini memerlukan iklim basah sampai agak kering, hidup pada dataran rendah sampai di dataran pegunungan dengan ketinggian 1000 m dpl (Martawijaya et al. 1989). Puspa dapat tumbuh pada kisaran iklim, habitat dan tanah yang luas. Kebutuhan akan cahaya tergolong sedang, sering berkelompok

dan terdapat pada dataran rendah sampai hutan dataran tinggi, akan tetapi terutama terdapat pada hutan yang terganggu dan hutan sekunder. Adapun persebaran alami Puspa yaitu Brunei, India, China, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Nepal, Papua, Philipina, Thailand dan Vietnam (Agroforestry Data Base 2007).

Rasamala (Altingia excelsa Noronha)

Rasamala dikelompokkan ke dalam famili Hamamelidaceae, memiliki nama daerah rasamala, mala, tulasan, atau mandung. Jenis ini menyebar mulai dari Himalaya menuju wilayah lembab di Myanmar hingga Semenanjung Malaysia, ke Sumatera dan Jawa. Di Jawa, jenis ini hanya tumbuh di wilayah barat dengan ketinggian 500-1500 m dpl, di hutan bukit dan pegunungan lembab. Di Sumatera, A. excelsa tersebar di Bukit Barisan. Tumbuh alami terutama pada tapak lembab dengan curah hujan lebih 100 mm per bulan dan tanah vulkanik. Jenis ini digunakan untuk penanaman terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ditanam pada jarak rapat, karena pohon muda cenderung bercabang jika mendapat banyak sinar matahari.

Pohon selalu hijau, tinggi dapat mencapai 40-60 m dengan tinggi bebas cabang 20-35 m, diameter hingga 80-150 cm. Kulit kayu halus, abu-abu, dan kayunya merah. Pohon yang masih muda bertajuk rapat dan berbentuk piramid, kemudian berangsur menjadi bulat setelah tua. Letak daun bergiliran, bentuknya lonjong, panjangnya 6 - 12 cm, dan lebarnya 2.5-5.5 cm, dengan tepi daun bergerigi halus. Bunga berkelamin satu. Bunga jantan dan betina terpisah pada pohon yang sama. Malai betina terdiri dari 14-18 bunga, berkumpul menyerupai kepala. A. excelsa tumbuh alami terutama di bukit campuran yang lembab dan hutan pegunungan. Jenis ini sering ditemukan hidup berkelompok dengan spesies Podocarpus, Quercus dan Castanopsis. Ditemukan pada ketinggian 500-1500 m, dengan rata-rata curah hujan tahunan lebih 100 mm. Rasamala baik hidup di tanah vulkanik atau kadang-kadang pada tanah di atasnya terdapat batuan sedimen (http://www.worldagroforestry.org).

Saninten (Castanopsis argentea (Bl.) A.DC.)

Saninten masuk ke dalam famili Fagaceae. Ia memiliki nama daerah kandik kurus, paning-paning, rasak, selasik (Sumatera), berangan, saninten, sarangan, dan wrakas (Jawa). Daerah penyebaran meliputi Sumatera Barat, Jawa, Papua, Myanmar, dan Malaysia (Heyne 1987). Habitus pohon bertajuk lebar dengan ketinggian 15-35 m, diameter 0.5-1 m, dengan panjang batang bebas cabang sampai 25 m, tidak berbanir (http://www.d-forin.com). Daun pohon saninten berbentuk lancip memanjang (lanset) dengan ukuran panjang 7-12 cm, lebar 2-3.5 cm, bagian terlebar di tengah, permukaan daun licin berlilin, dan bagian bawahnya berwarna abu-abu keperakan ditutupi bulu-bulu menyerupai bintang atau sisik yang lebat. Jika dibanding dengan daun jenis lain, C. Argentea lebih terlihat keperakan (Backer & van Den Brink 1965). Tumbuhan ini berdaun tunggal dengan kedudukan berseling dan tersusun seperti spiral dan daun penumpu mudah luruh. Ahli botani van Steenis (1972) menyatakan bahwa daun penumpu (stipula) ditutupi bulu yang lebat, panjang daun berkisar antara 10-15 mm dan lebar 2-3 cm. Salah satu ciri khas organ vegetatifnya, yaitu bila daun dilipat maka akan terlihat garis lilin berwarna putih memanjang pada bagian daun di sebelah atas. Kulit batang pohon berwarna hitam, kasar, dan pecah-pecah dengan permukaan batang tidak rata, terdapat alur-alur memanjang pada batang yang tak lain adalah garis empulur yang menonjol keluar. Hal ini merupakan salah satu ciri khas organ vegetatif famili Fagaceae. Kayu terasnya berwarna coklat kelabu sampai merah muda, kayu gubal/bagian tengah berwarna putih, kuning muda, dan kadang-kadang kemerah-merahan dengan ketebalan 5-6 cm (Prawira 1990).

Pohon saninten berbunga pada Agustus-Oktober dan berbuah pada November-Februari. Bunga jantan tersusun dalam untaian berbentuk bulir sepanjang 15-25 cm, bunga betina tumbuh menyendiri dengan panjang 5-15 cm, diameter 2-4 mm, dan bunga berwarna kuning keputihan. Buahnya bertangkai seperti buah rambutan, berkelompok di mana kulit buah ditutupi oleh duri yang tumbuh berkelompok, ramping, tajam, dan berkayu. Buah berbentuk bulat telur dengan duri mencuat pada empat sisi yang berisi tiga biji berbentuk tipis dan

cekung. Biji biasanya dimanfaatkan sebagai bahan makanan dengan cara direbus atau dibakar (van Steenis 1972).

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Area restorasi terletak di Resort Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) (06o46’.241” LS; 106o50’.447”BT) pada ketinggian 620 -709 m dpl, berdekatan dengan Pusat Pendidikan Konservasi Alam (PPKA) Bodogol (Gambar 4).

Gambar 4 Lokasi restorasi Resort Bodogol TNGGP (tanda panah menunjukkan lokasi) (Balai TNGGP)

Bagian dari wilayah ini merupakan lahan pertanian aktif dan sisanya merupakan lahan pertanian yang telah ditinggalkan. Lahan pertanian di wilayah ini merupakan milik TNGGP. Menurut sejarahnya, lahan ini dulunya milik Perum Perhutani Unit III, perusahaan publik yang bertugas mengelola produksi kayu, dari tahun 1978-2003. Tiga spesies kayu utama yang ditanam monokultur di wilayah ini adalah Altingia excelsa, Agathis damara, dan Pinus merkusii. Setelah penebangan pada tahun 2003, wilayah yang terbuka dimanfaatkan oleh petani

lokal sampai sekarang, dan wilayah ini menjadi bagian dari TNGGP. Para petani menanam tanaman tahunan seperti jagung, singkong, cabai, kacang panjang, dan lain-lainnya. Sementara, lahan yang ditinggalkan didominasi oleh tanaman liar. Karakteristik lahan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tahun 2009 UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas menanam sekitar 2400 benih dari 8 jenis tanaman yang secara alami dapat ditemukan di hutan TNGGP. Penanaman dilaksanakan di lahan seluas 4 ha secara acak. Kedelapan spesies pohon tersebut adalah Altingia excelsa, Alstonia scholaris, Castanopsis argentea, Dacrycarpus imbricatus, Manglietia glauca, Syzygium lineatum, Schima wallichii, dan Sloanea sigun. Sampel tanaman sebanyak 240 pohon (30 pohon untuk setiap jenis) diberi label dan dimonitor pertumbuhannya (Rahman et al. 2011).

Tabel 2 Karakteristik lahan restorasi

Parameter Wilayah Restorasi Hutan Alami TNGGP pH tanah (0-10 cm) 5.27 5.10 (10-20 cm) 4.75 4.76 Bahan organik (%) (0-10 cm) 6.73 9.86 (10-20 cm) 6.48 10.2 Bulk density (g/cm3) (0-10 cm) 0.66 0.56 (10-20 cm) 0.67 0.72 Pasir (%) 9.11 Debu (%) 49.69 Liat (%) 41.20 Kemiringan lahan (o) 48-60 Suhu udara (oC)

Intensitas cahaya rata-rata (lux) Jam 09.00-11.00

23.3-33.0 32 000

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan Juli 2011. Pengambilan sampel dilakukan di kawasan restorasi resort Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Lahan restorasi seluas 4 ha merupakan lahan eks-Perum Perhutani yang ditanami dengan pohon-pohon jenis asli (Lampiran 1). Penanaman pohon dilakukan oleh UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas-LIPI. Analisis kandungan klorofil total dengan spektrofotometer dilakukan di Laboratorium Fisiologi Biologi FMIPA IPB. Analisis karbohidrat dan Mg dilakukan di Laboratorium Balai Besar Biologi dan Genetika Pertanian (BB Biogen) Bogor. Analisis C dan N daun dilakukan di Laboratorium Ekologi Tumbuhan LIPI Cibinong. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB.

Sampel Daun

Tanaman restorasi berusia 2 tahun (setelah penanaman) pada saat diteliti. Tanaman yang dipilih sebagai sampel adalah tanaman yang sehat, daun telah membuka sempurna, terkena sinar matahari penuh, dan merupakan daun ketiga dari pangkal ranting. Pengambilan sampel daun dilakukan pada saat matahari bersinar cerah, dari jam 09.00-11.00. Sampel daun, yang akan dianalisis di laboratorium, dibungkus dengan alumunium foil atau dengan amplop kertas, dimasukkan ke dalam plastik, dan disimpan dalam cool box yang berisi dry ice kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis.

Delapan jenis tanaman (Lampiran 2) sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Beleketebe (Sloanea sigun), Jamuju (Dacrycarpus imbricatus), Ki sireum (Syzygium lineatum), Lame (Alstonia scholaris), Manglid (Manglietia glauca), Puspa (Schima wallichii), Rasamala (Altingia excelsa), dan Saninten (Castanopsis argentea).

Variabel Penelitian Kandungan Klorofil

Analisis kandungan klorofil dengan spektrofotometer mengikuti metode yang biasa dilakukan di Laboratorium Biokimia BB-Biogen. Metode ini lebih praktis, aseton yang digunakan juga lebih sedikit, dan tingkat ketelitiannya diduga lebih tinggi (Lampiran 3).

Daun segar sebanyak ± 0.1 g dipotong-potong kecil, dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian direndam dalam 20 ml aseton 80%. Sampel diinkubasi dalam ruang gelap selama 2 x 24 jam. Klorofil yang sudah larut dalam aseton diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 645 nm (untuk klorofil a), 652 nm (untuk klorofil total), dan 663 nm (untuk klorofil b). Kandungan klorofil diperoleh setelah memasukkan nilai absorbansi ke dalam persamaan (Yoshida et al. 1976):

Klorofil a = (20,2 x 645A x (1/BS) x (20/1000)) mg/g berat segar Klorofil b = (8,02 x 663A x (1/BS) x (20/1000)) mg/g berat segar

Klorofil total = ((652 A x 1000)/34.5) x (1/BS) x (20/1000)) mg/g berat segar (A = nilai absorbansi, BS = berat segar)

Analisa klorofil dilakukan untuk 10 pohon pada masing-masing jenis.

Kandungan Karbohidrat

Metode analisis karbohidrat yang digunakan (Lampiran 4) adalah metode Somogyi Nelson. Sampel daun sebanyak 5 lembar dari usia termuda sampai tertua (yang mewakili) diambil dari 3 pohon (3 x 5 daun) untuk masing-masing jenis. Daun dioven selama 2 hari pada suhu 70 oC. Sampel kemudian digiling sampai halus, diayak dan diaduk sampai merata menjadi sampel komposit. Sebanyak 0.2 gram tepung daun komposit dimasukkan dalam wadah gelas, kemudian ditambah dengan 20 ml HCl 0.7 N dan dihidrolisis selama 2.5 jam dalam penangas air. Hasil hidrolisis disaring dengan kertas saring ke dalam labu ukur 100 ml lalu dinetralkan dengan NaOH 1 N setelah diberi fenol merah. Larutan akan berubah menjadi merah muda setelah dititrasi. Selanjutnya ditambahkan 5 ml ZnSO4 5% dan 5 ml Ba(OH)2 0.3 N dengan tujuan untuk mengendapkan protein dari sampel.

Sehingga gugus CHO yang terbentuk benar-benar hanya karbohidrat. Setelah itu ditambahkan akuades sampai tanda tera 100 ml. Setelah disaring dengan kertas saring, larutan supernatan yang sudah jernih diambil dengan pipet sebanyak 1 ml, kemudian dimasukkan ke dalam tabung kimia. Larutan standar dibuat 0, 5, 10, 15, 20, 25 mg kemudian ditambahkan pereaksi Cu sebanyak 2 ml dan dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit lalu didinginkan. Setelah itu ditambahkan pereaksi Nelson dan 20 ml air pada masing-masing deret standar, dikocok dan dibiarkan selama 20 menit, kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 500 nm. Kandungan karbohidrat didapat berdasarkan rumus (Yoshida et al. 1976):

A x 100 x 20 x 100%

% Karbohidrat = S 0.2 1 1 000 000

Keterangan:

S = Rata nilai absorbansi standar A = Rata nilai absorbansi sampel

Kemampuan Tanaman Menyerap CO2

Untuk menghitung nilai daya serap gas CO2, tetapan yang digunakan sebesar 1.467 dikalikan dengan hasil analisis karbohidrat. Tetapan tersebut diperoleh dari pembagian nilai 264/180 (Dahlan 2007). Angka tersebut didapat dari persamaan fotosintesis sebagai berikut:

6 mol CO2 + 12 mol H2O 1 mol C6H12O6 + 6 mol O2 + 6 mol H2O 264 mol 108 mol 180 mol 192 mol 108 mol

Bobot atom C, H, dan O, bertutut-turut adalah 12.01, 1.008, dan 16.00.

Jumlah daun dihitung langsung dengan penghitungan tangan (hand counter). Diambil 3 pohon untuk masing-masing jenis, kemudian dirata-rata. Luas daun diukur dengan cara memindai daun dengan menggunakan Leaf Area Meter Portable LI-3000C (Lampiran 5). Daun yang dipindai adalah daun tertua sampai

yang termuda (yang mewakili), 3 pohon untuk masing-masing jenis. Luas total daun per pohon didapat dengan mengalikan jumlah daun per pohon dengan luas daun per pohon. Luas daun per pohon digunakan untuk menduga kemampuan masing-masing jenis pohon untuk menyerap CO2.

Kadar Air

Berat daun segar ditimbang dengan neraca digital. Berat kering diperoleh setelah sampel daun dikeringkan dengan oven selama kurang lebih 2 hari (sampai beratnya stabil). Kadar air diperoleh dari hasil pengurangan berat basah dengan berat kering dibagi berat basah.

Variabel Penunjang

Selain variabel-variabel di atas, juga dilakukan analisis kandungan C, N, C/N. Daun dikeringovenkan selama 2x24 jam pada suhu 50 oC, kemudian dihaluskan dan disaring sampai menjadi komposit. Bubuk komposit dianalisis dengan alat yang disebut CN analyzer (Lampiran 5).

Analisis Mg daun dilakukan dengan metode AAS. Sebanyak 1 mg sampel komposit dimasukkan ke dalam labu kjedhal, ditambahkan ke dalamnya larutan asam campur (HNO3 : HClO4 : H2SO4 = 5 : 2 : 1). Campuran tersebut didestruksi pada penangas listrik hingga larutan jernih, didinginkan, dan disaring ke dalam labu ukur 100 ml, kemudian diukur dengan Automatic Absorption Spectrophotometer (AAS). Nilai yang dihasilkan dimasukkan ke dalam persamaan:

Pembacaan sampel x FP x 100% % Mg = Rata-rata 1 ppm standar 1 000 000

Keterangan: FP (faktor pengenceran)

Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan analisis sidik ragam (anova), jika antar parameter berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Duncan's Multiple Range Test (DMRT). Analisis Komponen Utama (AKU) atau Principal Component Analysis

(PCA) dilakukan untuk melihat parameter yang paling berperan dalam proses fotosintesis pada setiap jenis tanaman.

Diagram Alir Rencana Penelitian

Untuk menjelaskan secara ringkas metode penelitian yang dilakukan, maka dibuat diagram alir penelitian seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5.

Survei lokasi penelitian Mulai penelitian Pengambilan data di lapang Pengambilan sampel daun Analisis karbohidrat Analisis klorofil Analisis di lab Pengukuran kadar air Pengukuran tinggi tanaman (parameter pendukung) Penghitungan jumlah daun (parameter

pendukung) Pengukuran luas/berat daun

Perhitungan serapan CO2 daun tanaman Analisis data (PCA) Pembahasan Analisis parameter pendukung (C,N, Mg)

Gambar 5 Diagram alir penelitian Pemilihan Jenis Tanaman Restorasi berdasarkan Beberapa Parameter Fotosintesis

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Kandungan Karbohidrat, Kandungan Klorofil Total, Kemampuan Tanaman Menyerap CO2, dan Kadar Air Daun

Kandungan karbohidrat, kandungan klorofil total, kemampuan tanaman menyerap CO2, dan kadar air daun pada setiap jenis tanaman disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil pengukuran kandungan karbohidrat, kandungan klorofil total, kemampuan tanaman menyerap CO2, dan kadar air daun pada 8 jenis tanaman Spesies Karbohidrat (%) Klorofil total (mg/g) CO2 (mg/cm2) Kadar air (%)

S. sigun 15.27 abc 2.94 d 6.78 58.17 abc

D. imbricatus 22.11 d 1.34 a 11.99 54.43 ab S. lineatum 19.33 cd 2.14 bc 6.29 53.88 a A. scholaris 10.35 a 2.56 cd 5.90 65.29 cd

Dokumen terkait