• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arsitektur Kerajaan / Istana dan Kota .1 Pengertian

Dalam dokumen Arsitektur Dan Islam di Indonesia (Halaman 51-58)

Istilah “keraton” (bahasa jawa untuk istana) mengacu pada singgasana (ratu- di tingkat raja atau pangeran). Di Jawa, keratonlah yang menentukan citra kerajaan secara geografis, bukan wilayah. Pengaruh kehidupan islam dalam bangunan rumah dan istana banyak terdapat di Indonesia, tetapi unsur tersebut umumnya diterapkan dalam detail atau dekorasi bangunan. Berdasarkan dari apa yang terlihat di Indonesia, peniruan gaya asli perumahan dari negara Arab yang berikilim panas dan udara pasir memang tidak sesuai di Indonesia. karena itu penerapan dekorasi terlihat lebih wajar. Sebagai contoh di rumah tradisional di daerah yang penganutnya taat pada islam, sering terdapat unsur-unsur ke islaman di dalam rumahnya seperti di rumah-rumah tradisional Aceh, Jakarta, Makasar dan daerah-daerah lainnya. Dalam bentuknya yang megah, istana sultan deli menonjolkan gaya “Islam” meskipun bangunan tersebut ciptaan seorang arsitek belanda.

Gambar 2.5.1.1 Istana Maimun Sumber :

(http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/b/b5/Istana_maimoon.jpg)

Di lain tempat, meskipun Masjid Agung Demak dianggap umum sebagai masjid tertua di Indonesia, hal itu tidak berarti bahwa bangunan tertua di kawasan itu dibangun oleh arsitek islam. Walaupun terdapat beberapa bukti patung Kuna Hindu Sivaite pernah dihubungkan dengan bangunan ini, menurut sejarah lisan memaparkan bahwa penguasa Cirebon beralih ke agama Islam pada pertengahan abad ke-15. Istana zaman awal Islam. Istana Kasepuhan secara khusus menarik karena mulai dibangun pada periode pra-Islam akhir dan terus berkembang sepanjang masa peralihan. Gugus tersebut mengandung petunjuk tahapan tata olah yang melaluinya secara bertahap Islam menjadi terpadu dalam arsitektur Indonesia.

Gambar 2.5.1.2 Sumber : Indonesian Heritage hal. 86

2.5.2 Pusat dan Daerah Pinggiran

Pada masa kekuasaan kerajaan Islam Mataram di Jawa Tengah (abad 16 hingga ke – 18), terdapat perbedaan antara dunia “dalam” dan dunia “luar” yang diwakili oleh Istana (Kadang-kadang dikenal dengan istilah dalem yang berarti dalam) serta alam sekitar beserta hutan yang mengelilinginya. Dunia dalam dikenali dengan segala hal yang dianggap beradab, halus, serta sakral, sedangkan dunia luar digambarkan sebagai segala hal yang kasar, liar, serta kekuatan. Sehingga dapat disimpulkan dari segi tata letak, kesucian merujuk di pusat, didalam batas dinding gugus istana.

Gambar 2.5.2 Kota Keraton Surakarta dilihat dari udara Sumber :

Indonesian Heritage hal . 92

Di sebelah Barat alun-alun terdapat mesjid. Di halaman mesjid tersebut terdapat dua buah bangsal terbuka untuk dua buah perlengkapan gamelan. Yang satu disebut “Kyai Sekati” dan yang lain disebut “Nyai Sekati”. Keduanya Gb.3. Keadaan Kraton Surakarta sekarang dengan alun-alun Lor alun-alun Kidul dimainkan bergantian dimainkan hanya pada 3 upacara keagamaan, yaitu: Garebeg Maulud, Garebeg Sawal dan Garebeg Besar. Di seberang mesjid terdapat bangunan yang disebut ‘Pamonggangan” tempat untuk menyimpan gamelan yang lain.

2.5.3 Gunung Suci dan Tata Letak Bersumbu

Di jawa tata letak lingkungan serta kota yang mengelilinginya disusun berdasarkan pemikiran jagad raya. Sebagian besar keratin dan kota-kota terkait terletak di atas tanah dengan paling sedikit sebuah sungai serta cabang aliran sungai. Di Jawa Sumatera, Sumbawa, dan Ternate, dibelakang keratin terdapat gunung yang dianggap suci. Kaitan antara keraton dan gunung di Jawa diibaratkan oleh semua gedung dalam gugus istana dengan berporos pada gunung suci tersebut.

Gambar 2.5.3.1 Keraton Yogyakarta Sumber :

2.5.4 Tata Letak Kota

Menilik sejarah pola arsitektur Kota Keraton di Jawa dahulu, rata-rata mempunyai Alun-Alun dengan poros (axis) yang bagi bangunan-bangunan yang ada disekitarnya dan merupakan satu kesatuan yang memiliki hubungan erat, sehingga membentuk struktur tata ruang pusat kota yang baik dengan perletakan gedung-gedung yang jelas. Alun-alun merupakan titik sentral dari jalan-jalan utama yang menghubungkan bangunan-bangunan penting di sekitarnya.

Masyarakat agraris yang religius di Jawa biasanya membagi ruang menjadi dua jenis, ruang yang homogen atau sakral (disucikan) disatu pihak dan ruang yang inhomogen atau yang tidak teratur (bisa disebut profan) dilain pihak. Di alam sakral segalanya teratur, baik tingkah laku manusia maupun struktur bangunannya. Sedang di ruang yang inhomogen semuanya tidak teratur, karena tidak/belum disucikan (Eliade, 1959:20-65).

Wilayah Kraton selalu dianggap sebagai wilayah yang homogen (Sakral), yang teratur atau harus diatur. Manifestasi dari keinginan inilah yang melahirkan konsepsi ruang dari susunan sebuah Kraton. Adapun hubungan prilaku manusia dengan lingkungan sosial dan

lingkungan binaan yang berlaku atau terjadi selama ini telah berlangsung sejak kawasan alun-alun dibangun hingga sekarang seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi.

Baik di Yogyakarta maupun di Surakarta terdapat dua buah alun-alun yaitu alun-alun Lor dan Kidul. Di masa lalu alun-alun Lor berfungsi menyediakan persyaratan bagi berlangsungnya kekuasaan raja. Alun-alun Kidul berfungsi untuk menyiapkan suatu kondisi yang menunjang kelancaran hubungan kraton dengan universum. Alun-alun Kidul dapat juga melambangkan kesatuan kekuasaan sakral antara raja dan para bangsawan yang tinggal disekitar alun-alun.

Alun-alun Lor Yogyakarta pada masa lalu berbentuk ruang luar segi empat berukuran 300x265 meter. Di tengahnya terdapat dua buah pohon beringin dan di sekelilingnya terdapat 64 pohon beringin yang ditanam dengan jarak sedemikian rupa sehingga harmoni dengan bangunan disekitarnya. Permukaan alun-alun ini ditutupi oleh pasir halus. Dua buah pohon beringin ditengah alun-alun tersebut dikelilingi oleh pagar segi empat. Orang Jawa menyebutnya sebagai ‘Waringin Kurung’. Nama Waringin berasal dari dua suku kata “wri” dan “ngin”. “Wri” berasal dari kata “wruh” yang berarti mengetahui, melihat. “Ngin” berarti memikir, tindakan penjagaan masa depan (Pigeaud, 1940:180). Kedua kata tersebut melambangkan kematangan manusia yang arief bijaksana, karena orang Jawa berangapan bahwa kegiatan bijaksana berasal dari kosmos.

Kesimpulanya alun-alun pada jaman prakolonial bisa berfungsi sebagai (Santoso, 1984):

1. Lambang berdirinya sistim kekuasaan raja terhadap rakyatnya.

2. Tempat semua upacara keagamaan yang penting (adanya hubungan penting antara Kraton-Mesjid dan Alun-Alun).

Dalam dokumen Arsitektur Dan Islam di Indonesia (Halaman 51-58)

Dokumen terkait