• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arsitektur Dan Islam di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Arsitektur Dan Islam di Indonesia"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebuah konsep karya arsitektur yang lengkap bukan hanya didasarkan pada kalkulasi matematis dari kebutuhan kuantitatif para penggunanya, tetapi sekaligus mengacu pada perkembangan cita kehidupan, tindakan, pola piker, termasuk pemahaman keyakinan keagamaan. Sebuah karya arsitektur barulah menjadi bermakna ketika fungsi-fungsi yang dikandungnya, baik fungsi fisik indrawi maupun fungsi nonfisiknya dapat dikoordinasikan secara terpadu, dan tidak ditangkap secara terpisah-pisah. Dengan demikian, maka semua berkaitan erat antara gagasan-gagasan kehidupan, perilaku masyarakat dan keduduan tampilan benda budaya sekaligus dalam sebuah system telah menjadi jelas posisinya.

Arsitektur Islam pun dapat ditelusuri keadaan suatu masyarakat Muslim, situasi kemasyarakatannya, pemahaman keagamaannya, di saat dan tempat di mana karya arsitektur masjid tersebut berada. Arsitektur islam sebagai benda bentukan dengan sendirinya akan bisa menuntun pada penjelasan tentang pola perilaku, kehendak, keinginan, dan gagasan keagamaan masyarakat Muslim di sekeliling bangunan islam tersebut.

Semakin banyak tampilan elemen bangunan diperhaikan akan semakin banyak diperoleh isyarat darinya. Sedemikian sehingga dapat disusun rangkaian peristiwa demi peristiwa dibaliknya. Di akhir susunan tersebut dapat diperoleh gambaraan utuh kehidupan masyarakat di balik penampilan karya arsitekturnya.

(2)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang di atas, di dapat rumusan masalah sebagai berikut :

1.2.1 Bagaimana proses masuknya Arsitektur Islam ke Indonesia?

1.2.2 Apa saja jenis peninggalan Arsitektur Islam di Indonesia?

1.2.3 Bagaimana karakteristik atau cirri khas Arsitektur Islam di Indonesia?

1.3. Tujuan

1.3.1 Mampu memaparkan bagaimana masuknya Arsitektur islam ke Indonesia

1.3.2 Mengetahui Jenis-jenis peninggalan Arsitektur Islam di Indonesia

1.3.3 Mengetahui Karakter dari Peninggalan Arsitektur Indonesia

1.4. Metode Penulisan

(3)

BAB II

ISI

2.1 Pra Arsitektur Islam di Indonesia

Dapat kita lihat bangunan Indonesia pada zaman dahulu terbuat dari bahan yang tidak tahan lama. Para ahli arsitektur tidak beruntung karena bahan-bahan hayati ini tidak dapat bertahan lama dalam iklim Indonesia. Bangunan-bangunan kuno yang masih bertahan lama yaitu pada bangunan yang terbuat dari bangunan batu. Bangunan batu tertua di Indonesia dibangun pada akhir zaman prasejarah, lebih kurang 2.000 tahun yang lalu. Punden Berundak dari batu dan gentang lahan yang berkaitan untuk upacara dibangun pada lereng pegunungan. Punden Berundak ini digunakan pada periode klasik. Di beberapa wilayah nusantara, punden Berundak ini masih digunakan untuk kegiatan keagamaan.

Pada periode klasik Indonesia dimulai dengan berdirinya candi batu dan batu bata yang menaungi lambang dewa-dewa Hindu dan Budha. Contoh tertua, kerangka tahun awal abad ke-8 dirancang oleh arsitek Indonesia yang sudah terbiasa bekerja dengan bahan permanen. Menggunakan paduan ragam hias dan lambang pribumi dan asing. Mereka mengungkapkan kembali konsep prasejarah Indonesia mengenai hubungan antar manusia, dewa, dan alam semesta. Pemandangan alam, terutama pegunungan, merupakan perpaduan dalam pandangan alam semesta mereka.

Terdapat sedikit contoh bentuk arsitektur periode klasik selain candi. Contoh ini meliputi tempat pemandian dan reruntuhan yang mengundang pertanyaan dari gugus ratu Baka yang mungkin digunakan untuk beberapa maksud, sebagai tempat tinggal para bangsawan, tempat upacara umum dan terakhir tempat kegiatan keagamaan penganut Budha dan Hindu. Sisa bangunan dari Jawa Timur menunjukkan bahwa beberapa wilayah kediaman bangsawan abad ke-14 sebagian dibangun dari bata dan ubin. Sisa arsitektur periode klasik terpusat di Jawa, tetapi beberapa tempat di Sumatera, Bali dan Kalimantan menunjukkan data yang patut dipertimbangkan.

Selama periode klasik di Indonesia lebih kurang 800 tahun lamanya, bidang arsitektur berevolusi sebagai reaksi terhadap perubahan agama, politik, dan kecenderungan umum manusia dalam menginginkan perubahan gaya. Beberapa bangunan periode ini dianggap sebagai bagian dari warisan kebudayaan dunia.

(4)

Arsitektur Indonesia klasik paling awal terdiri atas tempat suci Hindu, dibangun di

Dalam bangunan candi terdahulu ada pula yang menggunakan kayu sebagai penyangga luar, diantaranya dapatlah kita lihat pada arsitektur kayu Indonesia dari salah satu relief Borobudur (serambi pertama, sisi timur, sayap utara, lubang pengatur suhu diatas). Bangunan-bangunan ini memakai struktur penahan beban bagian luar dengan penyangga berbentuk seperti tiang berwujud manusia (canyatid) dalam bentuk satwa liar. Rancangan ini mirip dengan bangunan di India selatan (abad ke 4-9), tetapi saat arsitek Jawa membangun dengan batu, teknik para arsitek setempat mulai menyimpang dari model India. Sementara orang Jawa menggunakan bangunan pendukung dari luar, mereka mengabaikan penggunaan sosok satwa sebagai penyangga dan menggantikannya dengan tiang, tahap ini tampak pada relief-relief. Saat orang Jawa menggunakan batu sebagai bahan bangunan, bangunan penahan berat bagian luar menjadi berlebih, tiang dan penyangga diubah menjadi unsur hiasan dinding luar.

(5)

2.2 Sejarah Arsitektur Islam di Indonesia

2.2.1Proses Masuknya Agama Islam ke Indonesia

Masuknya agama dan budaya Islam ke Indonesia dipengaruhi oleh adanya hubungan perdagangan Asia kuno, yang dilakukan oleh bangsa Cina dan India, yang mendorong pedagang lainnya seperti pedagang dari Arab, Persia, Gujarat untuk ikut serta dalam hubungan perdagangan tersebut. Hal itu menyebabkan kota-kota pelabuhan yang berfungsi sebagai tempat transit ramai dikunjungi orang, sehingga dapat berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan dunia.Dari hubungan perdagangan tersebut, mereka dapat saling mengenal budayayang dibawa oleh masing-masing pedagangyang dapat dilihat dari bahasa, barang dagangan yang dibawa maupun dari corak hidup. Untuk itu banyak pedagang Arab, Persia, dan Gujarat yang menetap dan menikah dengan penduduk setempat, sehingga budaya Islam dan agama Islam dapat dengan mudah disebarkan di berbagai wilayah Indonesia melalui pendekatan budaya.

2.2.2Teori-teori Masuknya Agama Islam ke Indonesia

Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia menurut Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yaitu:

o Teori Gujarat

Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India.Dasar dari teori ini adalah:

Gambar 2.2.2.1 Batu nisan Sultan Samudra Pasai

yaitu Sultan Malik Al-Shaleh pada tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat

o Teori Mekkah

(6)

o Teori Persia

Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dari teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat IslamIndonesia seperti:

Gambar 2.2.2.2 Pengadobsian bentuk persia pada makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik

Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing memiliki kebenaran dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwaIslam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada abad ke – 7 dan mengalami perkembangannya pada abad 13.Sebagai pemegang peranan dalam penyebaranIslam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India).

Ditengah perbedaan penafsiran proses masuk dan berkembangannya agama Islam di Nusantara. Para ahli sepakat bahwa golongan pembawa agama Islam di Nusantara adalah kaum pedagang, guru pengajaran, serta Golongan lain yang juga disebut sebagai Tasawuf

(kaum sufi). Mereka diperkirakan masuk ke Nusantara pada abad ke-13.

Selain golongan pembawa tentu terdapat pula golongan penerima agama Islam. Diantaranya adalah :

 Para adipati pesisir yang langsung berhubungan denagn pedagang muslim,

 Raja dan bangsawan yang ikut mempercepat perkembangan Islam,

 Para pedagang muslim yang terlibat langsung dengan pedagang Islam dari luar,

 Para wali songo,

 Rakyat yang di Islamkan Wali songo.

2.2.3Perkembangan Islam di Nusantara

(7)

lahirlah kebudayaan baru yang merupakan akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam. Akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam itu juga mencakup unsur kebudayaan Hindu-Budha.

Fisik Bangunan pada makam Islam sering kita jumpai bangunan kijing atau jirat (bangunan makam yang terbuat dari tembok batu bata) yang kadang-kadang disertai bangunan rumah (cungkup) di atasnya. Dalam ajaran Islam tidak ada aturan tentang adanya kijing atau cungkup. Adanya bangunan tersebut merupakan ciri bangunan candi dalam ajaran Hindu-Budha.Tidak berbeda dengan candi, makam Islam, terutama makam para raja, biasanya dibuat dengan megah dan lengkap dengan keluarga dan para pengiringnya.Setiap keluarga dipisahkan oleh tembok dengan gapura (pintu gerbang) sebagai penghubungnya.Gapura itu belanggam seni zaman pra-Islam, misalnya ada yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi.

Gambar 2.2.3.1 Makam sendang duwur (Tuban) terdapat arsitektur kebudayaan setempat berupa kori agung

(8)

Tata Upacara Pemakaman. Pada tata cara upacara pemakaman terlihat jelas dalam bentuk upacara dan selamatan sesudah acara pemakaman. Tradisi memasukkan jenazah dalam peti merupakan unsur tradisi zaman purba (kebudayaan megalithikum yang mengenal kubur batu) yang hidup terus menerus sampai sekarang.Demikian pula, tradisi penaburan bunga di makam dan upacara selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, dan seribu hari untuk memperingati orang yang telah meninggal merupakan unsur Islam dan juga unsur agama Hindu-Budha.Dan hingga saat ini tetap dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Islam.

Penempatan Makam. Dalam penempatan makampun terjadi akulturasi antara kebudayaan lokal, Hindu-Budha dan Islam.Misalnya, makam terletak di tempat yang lebih tinggi dan dekat dengan masjid.Contohnya, makam raja-raja Mataram yang terletak di bukit Imogiri dan makam para wali yang berdekatan dengan masjid.Dalam agama Hindu-Budha makam dalam candi.

a. Bidang Pemerintahan

Ciri-ciri kerajaan yang bercorak Islam antara lain

 Raja bergelar Sunan atau Sultan yang berperan ssebagai kepala pemerintahan dan pemimpin agama.

 Menggunakan ajaran Islam berupa Al Qur'an dan Hadits sebagai dasar pemerintahan.

 Menggunakan sistem dinasti yaitu secara turun-temurun.

 Kerajaan berfungsi sebagai pusat pemerintahan, ekonomi, dan pengembangan agama.

b. Bidang Sosial

Dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu :

 Raja dan Bangsawan

 Pemuka Agama

 Wong Cilik (Kawula)

c. Bidang Ekonomi

Kota-kota pelabuhan di Indonesia yang berfungsi sebagai tempat transit atau peristirahatan dapat berkembang menjadi pusat perdagangan internasional serta mulai dikenal adanya perdagangan dengan menggunakan alat tukar uang.

d. Bidang Budaya

 Seni arsitektur berupa masjid, makam, menara, keraton, dan nisan.

 Bahasa dan tulisan Arab.

 Pakaian berjilbab dan baju koko.

 Tulisan dari bahasa Arab.

 Upacara-upacara keagamaan.

(9)

e. Seni Bangunan

 Masjid

Memiliki ciri-ciri yaitu,

 Atap yang berupa segitiga bertumpang yang berjumlah 3 atau 5 yang padapuncaknya dilengkapi dengan mustoko.

 Menara yang merupakan kesatuan bangunan masjid Islam yang menjadi tambahan. Menara ini berfungsi sebagai tempat adzan.

 Letak masjid selalu berdekatan dengan alun-alun dan istana.

 Memiliki denah berbentuk bujur sangkar ditambah dengan lantai yang berbentuk punden berundak dan dilengkapi serambi di depan maupun di samping.

Contoh masjid yang merupakan hasil akulturasi budaya Islam dengan Indonesia adalah:

Gambar 2.2.3.3 Masjid Agung Cirebon  Makam Malikul Saleh.

 Cungkup makam Putri Suwari di Leran.

 Makam Syekh Maulana Malik Ibrahim.

f. Aksara dan Seni Rupa

 Seni Kaligrafi

Penulisan huruf Arab dalam seni kaligrafi dipadukan dengan seni Jawa sehingga huruf Arab dipadukan dengan huruf Jawa Kuno. Seni Kaligrafi digunakan sebagai hiasan pada nisan makam, dinding rumah, pintu, keramik, ukiran Jepara.

 Seni Sastra

(10)

2.3 Arsitektur Masjid dan Menara

2.3.1Pengertian Masjid

Secara etimologi, “masjid” berarti tempat sujud atau tempat orang bersembah yang menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh Islam. Sedangkan menurut sebuah hadis Islam sendiri,masjid adalah setiap jengkal tanah di atas permukaan bumi ini. Hal tersebut seperti yang dijelaskan dalam hukum atau syariat Islam bahwa Allah SWT sebagai Tuhan dari umat beragama Islam ada dimana-mana, dan untuk menyembahnya dengan melakukan sholat yang juga dapat dilakukan dimana-mana, atau tidak terikat oleh suatu tempat (Soekmono, 1973).Sedangkan menurut Abdul Rochim dalam Martapa (2003) masjid sebagai tempat beribadah kaum muslimin yaitu tempat bersujud dalam sholat untuk melaksanakan perintah Allah SWT sesuai dengan ajaran Agama Islam. Karena Allah diyakini sebagai pemilik jagad ini, maka untuk menyembahnya dapat dilakukan dimana saja. Dapat disimpulkan bahwa seluruh jagad ini adalah masjid. Frick juga menambahkan penjelasan mengenai batasan visual dari masjid, yaitu masjid sudah dapat diwujudkan dengan ruang yang dibentuk oleh empat batu penjuru atau empat tongkat yang ditancapkan di tanah terbuka.

Dari dua penjelasan di atas mengenai definisi tentang masjid dapat ditarik kesimpulan bahwapengertian masjid adalah semua tempat yang ada di muka bumi ini yang yang tidak terbatas dapat digunakan oleh orang muslim untuk melaksanakan sholat atau sembahyang sesuai dengan syarat dan rukun yang sudah ditetapkan oleh Islam. Karena pada masa lalu orang Islam saat melakukan sembahyang, dan terutama dilaksanakan secara bersama-sama atau berjamaah selalu menyediakan tempat tersendiri yang berupa sebuah tanah lapang yang diberi batas-batas tertentu atau pagar. Pada perkembangannya, masjid tidak lagi berupa sebuah tanah lapang yang diberi batasan tertentu saja. Melainkan umat muslim sudah memberikan batasan tertentu yang lebih pasti dengan bentuk berupa bangunan fisik. Maka dari itu tidak heran bila di masing-masing wilayah memiliki bentuk masjid yang beraneka ragam. Hal ini menunjukkan fleksibelitas dan sifat adaptif dari masjid yang dapatmenyesuaikan diri dengan lokasi tertentu.

(11)

bangunan yang juga lebih besar bentuknya.Sedangkan mushola, langgar atau surau bentuknya lebih kecil dari masjid. Pada bangunan ini tidak dilengkapi dengan mimbar pada mihrab-nya, karena hanya berfungsi untuk melaksanakan sholat berjamaah yang jama’ahnya biasanya tidak begitu banyak atau dibangun hanya untuk melaksanakan ibadah berjamaah pada masyarakat satu gang atau RT saja mengingat jarak ke masjid desabiasanya lumayan jauh. Namun juga tidak menutup kemungkinan bila yang terjadi adalah sebaliknya,yaitu Langgar atau surau yang pada perkembangannya beralih fungsi menjadi masjid karena juga disebabkan oleh kepentingan masyarakat dalam kepentingan beribadah pada bangunan tersebutdengan tambahan-tambahan pada bagian tertentu(Poesponegoro, 1984:287). Akan tetapi, antara masjid dan mushola, langgar atau surau memiliki persamaan dalam bentuk dansusunan bangunan yang berupa bujur sangkar dengan sebuah serambi di depannya.

2.3.2Fungsi Masjid

Fungsi masjid yang sebenarnya adalah untuk tempat pusat ibadah dan kebudayaan Islam, Ibadah dalam Islam antara lain :

Hubungan manusia dengan Tuhan : shalat, I’tikaf, dan lain-lain

Hubungan manusia dengan manusia : zakat, nikah, dan lain-lain

Hubungan manusia dengan dirinya : mencari ilmu, mengaji, dan lain-lain

Hubungan dengan alam : memelihara, memanfaatkan dan tidak merusak alam.

2.3.3Elemen-elemen Masjid

Menurut Prof. Robert Hillenbrand, seorang pakar falsafah kesenian Islam, satu-satunya unsure terpokok dalam membangun masjid, yang paling utama adalah penyediaan ruang terbuka berorientasi kea rah kiblat dengan dikelilingi oleh pembatas. Adapun isi di dalam ruangan tersebut dapat berbeda antara satu masjid dengan yang lainnya. Namun, kunci utamanya adalah adanya elemen batas paling luar masjid, yang menjadi penegas batas daerah haram dengan suci (Hillenbrand, 1994).

Wujud fisik bangunan merupakan pengungkapan nilai-nilai atau budaya dari masyarakat pelakunya. Sehingga organisasi ruang bisa saja berbeda namun secara umum masjid terdiri dari mihrab, ruang shalat, ruang wudlu serta serambi. Adapun elemen tambahan yang terkait dengan keberadaan masjid yaitu menara, cungkup (makam) serta gudang. Secara fisik bagian-bagian dalam suatu masjid dapat digolongkan menjadi :

a. Mihrab

(12)

Gambar 2.3.3.1 Masjid Raya Tanjung Pauh Hilir b. Mimbar

Pada umumnya mimbar terletak di sebelah kanan mihrab, berupa sebuah panggung dengan peninggian. Digunakan untuk khatib memberikan ceramah atau khotbah yang biasanya dilakukan pada hari Jum’at.

Gambar 2.3.3.2 Mimbar di Masjid Wonogiri

c. Ruang Shalat

Ruang shalat merupakan sebuah ruangan untuk melakukan kegiatan ritual keagamaan. Secara fisik ruang ini berbeda di beberapa Negara missal di Timur Tengah ruangan ini terdiri dari ruang tertutup dan ruang terbuka namun untuk Indonesia kebanyakan ruang ini terdiri dari ruang tertutup hal ini lebih dikarenakan pengeruh iklim dan cuaca.

d. Dikka

(13)

Gambar 2.3.3.3 Bentuk Dikka

e. Kolam

Kolam digunakan untuk melakukan ritual sebelum shalat yaitu berwudlu. Biasanya terletak di bagian depan dari suatu masjid, namun dalam perkembangannya hal ini banyak berubah digantikan dengan ruangan khusus untuk berwudlu.

Gambar 2.3.3.4 Kolam Wudlu peninggalan masjid Agung Demak

f. Pintu Gerbang

(14)

Gambar 2.3.3.5 Pintu Gerbang Masjid Raya Medan 2.3.4Aturan dan Etiket

a. Kebersihan

Masjid merupakan tempat yang suci,maka jamaah yang datang ke masjid harus dalam keadaan yang suci pula. Sebelum masuk masjid, jamaah harus berwudhu di tempat wudhu yang telah disediakan. Selain itu, jamaah tidak boleh masuk ke masjid dengan menggunakan sepatu atau sandal yang tidak bersih.

Gambar 2.3.3.6 Melepas alas kaki di areal Suci (Masjid)

b. Konsentrasi

Masjid sebagai tempat untuk beribadah tidak boleh diganggu ketenangannya. Pembicaraan dengan suara yang keras disekitar masjid yang dapat mengganggu jamaah di masjid dilarang. Selain itu, orang tidak boleh berjalan di depan jamaah yang sedang salat.

c. Pemisahan Gender

(15)

jemaah wanita di samping jamaah pria. Pada beberapa masjid di Asia Tenggara dan Asia Selatan, jamaah perempuan dipisahkan dengan sebuah hijab/korden pembatasatau dibedakan lantainya. Sedangkan di Masjidil Haram, jamaah perempuan dan anak-anak diberi tempat khusus untuk beribadah.

Gambar 2.3.3.7 Pembatas yang digunakan dalam memisahkan jamaah pria dan wanita

2.3.5Tampilan dan Dekorasi Masjid

Dekorasi merupakan bagian dari seni seperti pada arsitektur, terkait langsung pada jaman dan budaya suatu masyarakat. Dalam hal hiasan pada masjid tidak lepas dari hokum Islam tertuang dalam hadits dan Al-Quran khususnya yang berkaitan dengan seni. Sebagai contoh :

a. Corak Geometris Intricate

Yang dimaksud bentuk geometris adalah garis, bidang, lengkung, segitiga, hingga segi banyak dan lain-lain ada dalam ilmu ukur, bagian-bagiannya termasuk sudut dan luasannya dapat diukur. Dalam bangunan untuk ibadah islam, prinsip geometris diterapkan secara fleksibel, fungsinya lebih banyak sebagai hiasan bidang, kubah, pelengkung, dan system pelengkung muqarnas. Muqarnas adalah system proyeksi, pengulangan dan penggandaan suatu bentuk ceruk, untuk dekorasi bagian-bagian peralihan dalam arsitektur. Hiasan

(16)

Gambar 2.3.5.1 Pola Geometris

Selain itu pola geometris dua dimensional sangat disukai. Hiasan dua dimensional ini dibentuk oleh garis-garis atau bidang-bidang datar warna-warni dari bermacam bahan menjadi pola seperti bintang, rumit dan ramai oleh karena itu sering disebut intricate. Pengulangan secara terus menerus dari pola dekorasi geometris, menjadi ukiran dasar menyatu dengan ukuran-ukuran bagian masjid lainnya termasuk struktur dan konstruksi.

b. Kaligrafi

Kaligrafi menjadi elemen yang oleh banyak orang dianggap menyatu dan harus ada dalam sebuah masjid. Kaligrafi (calligraphy) adalah seni menulis huruf bagian dari seni, jadi terkait langsung dengan keindahan, dan kesenangan. Kaligrafi pada umumnya dan ditulis kalimat atau kata dikutif dari Al-Quran keindahan bukan dari bentuknya saja, namun juga dari makna dan isinya.

Gambar 2.3.5.2 Contoh kaligrafi pada mihrab masjid

Sejalan dengan sejarah dan perkembangan Islam telah lama beradad-abad maka seni kaligrafi Arab berkembang pula menurut tempat dan jaman. Dikenal beberapa aliran kaligrafi arab, antara lain : Mashq, Kufic persegi (Square Kufic), Kufic Timur, Thuluth, Naskhi, Muhaqqaq, Rihani, dan Taliq

(17)

pada tarikan garis vertical ke atas, berkembang sejak akhir abad X. Thuluth, sepenuhnyaberkembang pada abad IX. Naskhi, ciri dari kaligrafi yang relative paling mudah ditulis dan dibaca, sehingga paling sering dipakai untuk menulis Al-Quran setelah dirancang ulang pada abad X. Muhaqqaq, model tulisan sama popular dengan model Naskhi. Rihani, merupakan bentuk kombinasi dari Thuluth dan Naskhi. Taliq tulisan “menggantung” dikembangkan oleh para penulis kaligrafi Persia pada abad IX. Variannya disebut Nostaliq, diperkenalkan pada abad XV dan menjadikan bentuk paling umum dalam tulisan dokumen-dokumen Persia.

c. Ornamen Floral (Arabesque)

Selain hiasan geometris dan kaligrafi, banyak pula masjid dihias dengan corak floral (tumbuh-tumbuhan) baik diabstraksikan total sebagian ataupun dalam bentuk nyata menjadi pola lengkunga-lengkung, dari tanaman batang, bunga, daun dan buah. Hiasan floral biasanya menggunakan satu pola kemudian diulang dan dilipat gandakan, menerus menjadi bidang, garis maupun bingkai dari pintu, jendela, kolom, balok, lantai, plafon, kubah luar maupun dalam, bidang dan lain-lain. Sama dengan pola dekorasi geometris dan kaligrafi, bentuk floral dibuat dengan relief, mozaik juga dengan cara dilukis dengan bahan warna.

Gambar 2.3.5.3 Ukiran Floral pada mimbar masjidNr Sulaiman Banyumas

2.3.6Ciri Khas Masjid di Indonesia

(18)

dengan wilayah lainnya. Ciri pembeda tersebut, untuk daerah di sekitar Timur Tengah memang terasa kecil. Namun, tetap menjadi petunjuk adanya corak kedaerahan. Hal ini menandai keberadaan unsure local selalu tetap dihargai dalam tampilan arsitektur Islam. Beberapa ciri khas masjid di Indonesia adalah sebagai berikut :

a.

Atap

Atap adalah salah satu elemen terpenting masjid di Jawa. Bentuk atap tajug yang kerap disebut sebagai “konstruksi atap berbentuk pyramid memusat yang bertingkat-tingkat” bahkan dapat dikatakan sebagai salah satu karakteristik masjid tradisional. Bangunan masjid tradisional Jawa kebanyakan menggunakan struktur atap tajug, yang secara inheren memiliki ruang pusat diantara empat saka guru (empat kolom utama) ruang terpusat dan ruang yang berada di belakangnya biasanya memiliki nilai yang lebih tinggi namun untuk bangunan masjid, penggunaan ruang sehari-hari telah mengalahkan makna simbolis aslinya. Filosofi atap tajug diasosiasikan sebagai jamaah yang betumpuk-tumpuk memadati masjid untuk beribadah kepada Allah.

Gambar 2.3.6.1 Perspektif Masjid Cipanti Tempo dulu

(19)

Sehingga pada perkembangannya kubah menjadi simbol arsitektur Islam paling modern yang seakan-akan wajib dipergunakan dalam masjid-masjid baru di Asia Tenggara. Masjid pertama di Nusantara yang menggunakan atap berupa kubah adalah Masjid Riau yang dibangun pada tahun 1803 pada saat direnovasi oleh Raja Abdul Rohman (1833-1843). Sedangkan menurut Pijper dalam Akbar (2010) menduga masjid di Jawa yang menggunakan kubah pertama kali berada di Tuban, yang peletakanbatu pertamanya dilakukan pada tahun 1894 Masehi. Penggunaan atap kubah ini sebenarnya sangat menghilangkan gaya arsitektur kuno Indonesia.

b.

Masqura

Maksura adalah ruang khusus tempat shalat raja atau sultan pada sebuah masjid. Ruang ini biasanya merupakan kelengkapan dari masjid kerajaan, terletak di ruang utama. Keberadaan maksura antara lain dimaksudkan untuk menjaga keamanan penguasa apabila berkenan hadir untuk melakukan shalat.

Maksura terdapat di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, maksura berbentuk seperti sangkar pesergi yang terbuat dari kayu jati berukuran 270x220x210 dengan lantai setinggi 20 cm dari lantai ruangan utama. Pada sebelah kiri di sisi luar Maksura terdapat tempat tombak berjumlah 2 buah yang berfungsi untuk meletakkan tombak para pengawal Sri Sultan. Di Masjid Agung Kraton Surakarta, ruang tersebut diberi atap limas. Baik di Yogyakarta maupun Surakarta, maksura terletak di dalam ruang utama, berada di sudut kiri depan, atau di sebelah kiri mihrab. Selain di kedua masjid tersebut, maksura juga terdapat di Masjid Puro Pakualaman, Yogyakarta dan Masjid Nur Sulaiman, Banyumas.

Gambar 2.3.6.2 Maksura pada Masjid gedhe Kauman Yogyakarta

c.

Bedug

(20)

sebuah bedug biasa dibunyikan untuk pemberitahuan mengenai waktu shalat atau sembahyang.

Bedug sebenarnya berasal dari India dan Cina. Berdasarkan legenda Cheng Ho dari Cina, ketika Laksamana Cheng Ho datang ke Semarang, mereka disambut baik oleh Raja Jawa pada masa itu. Kemudian, ketika Cheng Ho hendak pergi, dan hendak memberikan hadiah, raja dari Semarang mengatakan bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan suara bedug dari masjid. Sejak itulah, bedug kemudian menjadi bagian dari masjid, seperti di negara Cina, Korea dan Jepang, yang memposisikan bedug di kuil-kuil sebagai alat komunikasi ritual keagamaan.

Gambar 2.3.6.3 Bedug di MAsjid Istiqlal, Jakarta

2.3.7Menara Masjid

(21)

a. Menara Kudus

Gambar 2.3.7.1 Menara pada masjid Kudus

Masjid yang terletak di Kota Kudus, Jawa Tengah, ini dibangun pada 956 H/1549 M. Masjid ini terkenal dengan menaranya yang unik, yang merupakan bagian dari kompleks makam Sunan Kudus. Menara ini pada dasarnya meniru bangunan candi zaman Majapahit yang terdiri dari kaki dan tubuh bangunan yang berjenjang beserta pelipit-pelipit mendatar sebagai batas.

Bagian dinding menara terbuat dari material batu bata. Sementara bagian atas menara berbentuk atap tumbang dengan konstruksi kayu. Hiasan bidang, meskipun sudah disamarkan, masih tampak seperti bekas-bekas hiasan pada bangunan candi.

b. Masjid Istiqlal Jakarta

Gambar 2.3.7.2 Menara pada masjid Istiqlal

(22)

Menara ini memiliki ketinggian 66,66 meter dengan diameter lima meter. Ketinggian menara ini sebagai simbol dari jumlah ayat yang terdapat dalam Alquran. Sementara di atas tempat muazin mengumandangkan azan adalah puncak menara yang terbuat dari baja tahan karat seberat 28 ton dengan tinggi 30 meter.

c. Masjid Agung Banten

Gambar 2.3.7.3 Menara pada masjid Agung Banten

Masjid ini termasuk salah satu yang tertua di Jawa. Masjid yang dibangun oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570) terletak di sisi alun-alun dan di sebelah utara keraton. Menara Masjid Agung Banten berbentuk mercusuar dengan gaya Eropa yang tampak kurang serasi dengan bangunan masjidnya.

Awalnya, sebelum difungsikan sebagai menara masjid, menara ini digunakan sebagai menara rambu dan pengintai untuk Pelabuhan Banten yang kerap menjadi sasaran serangan oleh kekuatan-kekuatan Eropa sebagai rival Belanda. Menara ini dibangun oleh seorang arsitek Belanda, Hendrik Lucasz Cardeel, yang bekerja di kota pelabuhan itu pada abad ke-17M.

2.3.8Contoh-contoh Masjid

(23)

Gamabar 2.3.8.1 Masjid Beuracan / masjid Guci Keuramat Pidie Jaya

Masjid beuracan terletak di desa kecil di daratan Aceh Raya yang terletak di Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie jaya, yaitu di sisi jalan poros Sigli-Medan. Dimana masjid tersebut merupakan salah satu masjid kuno di Indonesia berusia 390 tahun yang dibangun oleh Teungku Salim seorang mubaligh asal Madinah di zaman Sultan Iskandar Muda. Masjid-masjid kuno di Sumatra pada umumnya juga memiliki ciri khas yang sama.

(24)

Gamabar 2.3.8.3 Masjid Indrapoeri di Aceh pada tahun 1880

Gamabar 2.3.8.4 Masjid Jambi tahun 1900-1939

Gamabar 2.3.8.5 Masjid Van Samalanga tahun 1880-1910

(25)

 Atapnya berbentuk tumpang yaitu atap yang bersusun semakin ke atas semakin kecil dari tingkatan paling atas berbentuk limas. Jumlah atapnya ganjil 1, 3 atau 5. Dan biasanya ditambah dengan kemuncak untuk memberi tekanan akan keruncingannya yang disebut dengan Mustaka.

 Tidak dilengkapi dengan menara, seperti lazimnya bangunan masjid yang ada di luar Indonesia atau yang ada sekarang, tetapi dilengkapi dengan kentongan atau bedug untuk menyerukan adzan atau panggilan sholat. Bedug dan kentongan merupakan budaya asli Indonesia.

 Letak masjid biasanya dekat dengan istana yaitu sebelah barat alun-alun atau bahkan didirikan di tempat-tempat keramat yaitu di atas bukit atau dekat dengan makam.

Pada bangunan masjid di Jawa memiliki lebih banyak variasi dibandingkan dengan bangunan masjid di daerah-daerah lain di Indonesia. Ini dikarenakan perkembangan budaya di Pulau Jawa sangatlah cepat karena banyaknya para pendatang ataupun saudagar yang singgah di daratan Jawa tersebut. Beberapa contoh masjid di Jawa adalah sebagai berikut :

a. Masjid Saka Tunggal Baitussalam

Masjid ini dibangun pada tahun 1288 Masehi, sebagaimana tertulis di prasasti yang terpahat di saka masjid. Masjid ini juga lebih tua dari kerajaan majapahit yang berdiri tahun 1294 Masehi, disinyalir masjid ini berdiri pada masa kerajaan Singasari. Masjid Saka Tunggal menjadi satu-satunya masjid di pulau Jawa yang dibangun jauh sebelum era Wali Sembilan (Wali Songo) yang hidup sekitar abad 15-16 Masehi. Jika dihitung mundur, masjid ini diperkirakan berdiri 2 abad sebelum era wali songo.

Gamabar 2.3.8.6 Gerbang menuju Masjid Saka Tunggal Baitussalam

(26)

masjid tersebut. Salah satu keunikan Saka Tunggal adalah empat helai sayap dari kayu di tengah saka. Empat sayap yang menempel di saka tersebut melambangkan ”papat kiblat lima pancer”, atau empat mata angin dan satu pusat. Papat kiblat lima pancer berarti manusia sebagai pancer dikelilingi empat mata angin yang melambangkan api, angin, air, dan bumi. Saka tunggal itu perlambang bahwa orang hidup ini seperti alif, harus lurus. Jangan bengkok, jangan nakal, jangan berbohong. Kalau bengkok, maka bukan lagi manusia.

Gamabar 2.3.8.7 Interior Masjid Saka Tunggal pasca renovasi. Masih mempertahankan arsitektur asli dengan penambahan tiang bantu

Empat mata angin itu berarti bahwa hidup manusia harus seimbang. Jangan terlalu banyak air bila tak ingin tenggelam, jangan banyak angin bila tak mau masuk angin, jangan terlalu bermain api bila tak mau terbakar, dan jangan terlalu memuja bumi bila tak ingin jatuh. ”Hidup itu harus seimbang,”

(27)

Gamabar 2.3.8.8 Ornamen masjid di ruang utama

Keaslian yang masih terpelihara adalah ornamen di ruang utama, khususnya di mimbar khotbah dan imaman. Ada dua ukiran di kayu yang bergambar nyala sinar matahari yang mirip lempeng mandala. Gambar seperti ini banyak ditemukan pada bangunan-bangunan kuno era Singasari dan Majapahit.

Kekhasan yang lain adalah atap dari ijuk kelapa berwarna hitam. Atap seperti ini mengingatkan atap bangunan pura zaman Majapahit atau tempat ibadah umat Hindu di Bali. Tempat wudu pun juga masih bernuansa zaman awal didirikan meskipun dindingnya sudah diganti dengan tembok.

(28)

b. Masjid Sultan Suriansyah

Gamabar 2.3.8.9 Masjid Sultan Suriansyah

Masjid Sultan Suriansyah atau Masjid Kuin adalah sebuah masjid bersejarah yang merupakan masjid tertua di Kalimantan Selatan. Masjid ini dibangun di masa pemerintahan Sultan Suriansyah (1526-1550), raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam . Masjid Kuin merupakan salah satu dari tiga masjid tertua yang ada di kota Banjarmasin pada masa Mufti Jamaluddin (Mufti Banjarmasin), masjid yang lainnya adalah Masjid Besar (Masjid Jami) dan Masjid Basirih. Masjid ini terletak di Kelurahan Kuin Utara, Banjarmasin Utara, Banjarmasin, kawasan yang dikenal sebagai Banjar Lama merupakan situs ibukota Kesultanan Banjar yang pertama kali. Masjid ini letaknya berdekatan dengan komplek makam Sultan Suriansyah dan di seberangnya terdapat sungai kuin.

(29)

Gamabar 2.3.8.10 Atap bagian mihrab yang terletak di samping atap bangunan induk

Kekunoan masjid ini dapat dilihat pada 2 buah inskripsi yang tertulis pada bidang berbentuk segi delapan berukuran 50 cm x 50 cm yakni pada dua daun pintu Lawang Agung. Pada daun pintu sebelah kanan terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi: " Ba'da hijratun Nabi Shalallahu 'alahihi wassalam sunnah 1159 pada Tahun Wawu ngaran Sultan Tamjidillah Kerajaan dalam Negeri Banjar dalam tanah tinggalan Yang mulia." Sedangkan pada daun pintu sebelah kiri terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi: "Kiai Damang Astungkara mendirikan wakaf Lawang Agung Masjid di Nagri Banjar Darussalam pada hari Isnain pada sapuluh hari bulan Sya'ban tatkala itu (tidak terbaca)" . Kedua inskripsi ini menunjukkan pada hari Senin tanghgal 10 Sya'ban 1159 telah berlangsung pembuatan Lawang Agung (renovasi masjid) oleh Kiai Demang Astungkara pada masa pemerintahan Sultan Tamjidillah I (1734-1759).

Pada mimbar yang terbuat dari kayu ulin terdapat pelengkung mimbar dengan kaligrafi berbunyi "Allah Muhammadarasulullah". Pada bagian kanan atas terdapat tulisan "Krono Legi : Hijrah 1296 bulan Rajab hari Selasa tanggal 17", sedang pada bagian kiri terdapat tulisan : "Allah subhanu wal hamdi al-Haj Muhammad Ali al-Najri".

(30)

Pola ruang pada Masjid Sultan Suriansyah merupakan pola ruang dari arsitektur Masjid Agung Demak yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama Islam ke daerah ini oleh Khatib Dayan. Arsitektur mesjid Agung Demak sendiri dipengaruhi oleh arsitektur Jawa Kuno pada masa kerajaan Hindu. Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu yang dipenuhi oleh masjid tersebut.

Tiga aspek tersebut yaitu sebagai berikut :

 Atap meru, ruang keramat (cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella.

 Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap yang bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang vertikalitas dan orientasi kekuasaan ke atas.

 Bangunan yang dianggap paling suci dan penting memiliki tingkat atap paling banyak dan paling tinggi.

Ciri atap meru tampak pada Masjid Sultan Suriansyah yang memiliki atap bertingkat sebagai bangunan terpenting di daerah tersebut. Bentuk atap yang besar dan dominan, memberikan kesan ruang dibawahnya merupakan ruang suci (keramat) yang biasa disebut cella. Tiang guru adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella (ruang keramat). Ruang cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan ruang mihrab, yang berarti secara kosmologi cella lebih penting dari mihrab.

c. Masjid Agung Demak

Gamabar 2.3.8.12 Tampak depan Masjid Agung Demak

Mesjid Agung Demak berlokasi di desa Kauman, Demak, Jawa Tengah. Di tempat ini juga terdapat sebuah museum, yang berisi berbagai hal mengenai riwayat berdirinya Masjid Agung Demak. Masjid Agung Demak terletak kurang lebih 26 km dari kota Semarang dipercaya berasal dari kerajaan Majapahit

(31)

masa kerajaan Hindu. Hal ini dapat dilihat dengan adanya atap meru, ruang keramat dan tiang guru yang melingkupi ruang cella. Ini merupakan ciri khas dari bangunan-bangunan suci pada masa kerajaan Jawa kuno.

Gamabar 2.3.8.13 Interior bangunan masjid agung demak

Struktur bangunan masjid mempunyai nilai historis seni bangun arsitektur tradisional khas Indonesia. Wujudnya megah, anggun, indah, karismatik, mempesona dan berwibawa. Kini Masjid Agung Demak difungsikan sebagai tempat peribadatan dan ziarah.

Penampilan atap limas piramida masjid ini menunjukkan Aqidah Islamiyah yang terdiri dari tiga bagian yaitu Iman, Islam dan Ihsan.

Di Masjid ini juga terdapat “Pintu Bledeg”, bertuliskan “Condro Sengkolo”, yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.

d. Masjid Menara Kudus

(32)

berbagai menara masjid di seluruh dunia.Keberadaannya yang tanpa padanan karena bentuk arsitekturalnya yang sangat khas untuk sebuah menara masjid itulah yang menjadikannya begitu mempesona. Dengan demikian bisa disebut menara masjid ini mendekati kualitas local genius.

Gamabar 2.3.8.14 Bangunan masjid Kudus denan menara berbentuk candi bercorak Hindu Majapahit

Gamabar 2.3.8.15 Menara Masjid Kudus merupakan bangunan menara masjid paling unik di Kota Kudus karena bercorak Candi Hindu Majapahit

(33)

menunjukkan hubungannya dengan kesenian Hindu Jawa. Karena bangunan Menara Kudus itu terdiri dari 3 bagian :

 Kaki ,

 Badan dan

 Puncak bangunan. Dihiasi pula dengan seni hias, atau artefix ( hiasan yang menyerupai bukit kecil ).

Kaki dan badan menara dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen. Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat soko guru yang menopang dua tumpuk atap tajuk.

Pada bagian puncak atap tajuk terdapat semacam mustoko (kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada elemen arsitektur Jawa-Hindu.

Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen, namun konon dengan dengan digosok-gosok hingga lengket serta secara khusus adanya selasar yang biasa disebut pradaksinapatta pada kaki menara yang sering ditemukan pada bangunan candi. Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat soko guru yang menopang dua tumpuk atap tajuk. Sedangkan di bagian puncak atap tajuk terdapat semacam mustoko (kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada elemen arsitektur Jawa-Hindu.

Arsitektural Masjid Menara Kudus ini terdiri dari 5 buah pintu sebelah kanan, dan 5 buah pintu sebelah kiri. Jendelanya semuanya ada 4 buah. Pintu besar terdiri dari 5 buah, dan tiang besar di dalam masjid yang berasal dari kayu jati ada 8 buah. Namun masjid ini tidak sesuai aslinya, lebih besar dari semula karena pada tahun 1918 – an telah direnovasi. Di dalamnya terdapat kolam masjid, kolam yang berbentuk “padasan” tersebut merupakan peninggalan jaman purba dan dijadikan sebagai tempat wudhu.

Di dalam masjid terdapat 2 buah bendera, yang terletak di kanan dan kiri tempat khatib membaca khutbah. Di serambi depan masjid terdapat sebuah pintu gapura, yang biasa disebut oleh penduduk sebagai “Lawang kembar“.

(34)

e. Masjid Agung Banten

Gamabar 2.3.8.16 Masjid Agung Banten di tahun 1880-an (litografi berdasarkan lukisan oleh Josias Cornelis Rappard)

Masjid Agung Banten termasuk masjid tua yang penuh nilai sejarah. Setiap harinya masjid ini ramai dikunjungi para peziarah yang datang tak hanya dari Banten dan Jawa Barat, tapi juga dari berbagai daerah di pulau Jawa.

Gamabar 2.3.8.17 Morfologi Masjid Agung Demak

Masjid Agung Banten terletak di kompleks bangunan masjid di Desa Banten Lama, sekitar 10 km sebelah utara Kota Serang. Masjid ini dibangun pertama kali oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sultan pertama Kasultanan Demak. Ia adalah putra pertama Sunan Gunung Jati.

(35)

Tjek Nan Tjut. Dua buah serambi yang dibangun kemudian menjadi pelengkap di sisi utara dan selatan bangunan utama.

Di masjid ini juga terdapat komplek makam sultan-sultan banten serta keluarganya. Yaitu makam Sultan Maulana Hasanuddin dan istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nasir Abdul Qohhar. Sementara di sisi utara serambi selatan terdapat makam Sultan Maulana Muhammad dan Sultan Zainul Abidin, dan lainnya.

Gamabar 2.3.8.18 Interior masjid Demak

(36)

2.4 Arsitektur Makam

2.4.1 Pengertian Makam

Pemakaman Islam ortodoks menekankan kesederhanaandan kesamaan bagi semua orang di depan Tuhan. Bangunan makam dan pemakaman yang rumit dengan jelas dilarang dalam Al Qur’an. Namun, pada kenyataannya larangan mengembangkan bentuk pemakaman terkadang dilanggar umat muslim.

(37)
(38)

umum disebut sebagai bentuk jada. Jenis ini dipakai oleh orang-orang di sepanjang Sumatra, dekat kepulauan Riau dan Semenanjung Malaka pada abad ke-15 dan 17.

Salah satu bukti tertua yang menunjukkan sebagian besar orang Jawa beralih ke Islam terdiri atas sejumlah makam di desa Tralaya yang bagian ibukota kemaharajaan Majapahit yang menguasai Indonesia pada abad ke-14 dan ke-15. Makam tersebut memiliki kerangka yang diilhami kalamakara, salah satu hiasan klasik Jawa. Salah satu sisi batu berhiaskan ayat-ayat Al Qur’an, sisi lain dihias dengan berbagai hiasan gubahan gambaran sinar matahari dari masa Majapahit. Batu nisan ini tidak bernama sama sekali namun dapat ditemukan tulisan tanggal yang didasarkan pada perhitungan penganggalan Jawa dan tahun Saka Jawa.

Wali Sanga dianggap sangat berjasa mengubah masyarakat Jawa ke Islam. Angka Sembilan menurut adat Jawa memang dianggap memiliki kekuatan hal-hal yang gaib. Beberapa tempat ziarah yang dianggap penting antara lain meliputi makam Wali Sanga.. Kebiasaan berziarah umum dilakukan di Indonesia. Namun masyarakat Islam ortodoks menolak anggapan manusia hidup dapat berkomunikasi dengan mereka yang meniggal, atau berdoa kepada yang sudah meninggal dapat memperoleh manfaat, tetapi tetap mengizinkan manusia mengunjungi makam demi menghormati nilai-nilai yang dianut mereka yang dikubur. Bentuk dari pemakaman mengikuti bangunan abad ke 14 dan ke 15 masa pra-Islam. Tata letak dan tampilan arsitektural memiliki persamaan dengan yang ada di pura-pura masyarakat Bali.

2.4.2 Karakteristik Arsitektur Makam

Pada makam pada umumnya memiliki batu nisan. Disamping kebesaran nama orang yang dikebumikan pada makan tersebut, biasanya batu nisannya pun memiliki nilai budaya tinggi. Pada makam orang-orang penting atau terhormat didirikan sebuah rumah yang disebut cungkup atau kubah dalam bentuk yang sangat indah dan megah. Misalnya, makam Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan sunan-sunan besar yang lain.

Wujud akulturasi Hindu dan Islam pada bangunan makam memiliki cirri-ciri sebagai berikut :

 Makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau tempat-tempat yang keramat

 Makamnya terbuat dari bangunan batu yang disebut dengan Jirat atau Kijing, nisannya juga terbuat dari batu

 Di atas jirat biasanya didirikan rumah tersendiri yang disebut denga cngkup atau kubba

(39)

kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi bentar (tidak beratap dan tidak berpintu)

 Di dekat makam biasanya dibangun masjid, maka disebut masjid makam dan biasanya makam tersebut adalah makam para wali atau raja. Contohnya masjid makam Sendang Duwur di Tuban

2.4.3 Contoh-contoh Arsitektur Makam di Indonesia

a. Makam Wali Songo

Makam Maulana Malik Ibrahim

Maulana Malik Ibrahim merupakan penyebar agaman Iaslam di tanah Jawa, dan merupakan wali tertua dari kesembilan wali yang mengiggal pada tahun 1419. Makam beliau berlokasi di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

Bangunan dari makam Maulana Malik Ibrahim mempunyai kekhasan tersendiri, hal ini terlihat dari bahan batu nisan dan gaya tulisan Arab. Batu Nisan dari marmer dengan gaya Gujarat.

Gambar 2.4.3.1 Bangunan makam Maulana Malik Ibrahim Makam Sunan Gunung Jati

(40)

Gambar 2.4.3.2 Salah satu gapura di dalam kompleks makam Sunan Gunung Jati bergaya jawa

Gambar 2.4.3.3 Balemangu Majapahit dengan beberapa undakan di kompleks makam Sunan Gunung Jati

(41)

Gambar 2.4.3.5 Keramik Cina terlihat bertebaran di tembok pendopo, undakan dan sebagian dinding

Gambar 2.4.3.6 Dinding tinggi bercat putih yang permukaannya nyaris berhiaskan keramik Cina asli dengan hiasan batu beraneka warna

(42)

Gambar 2.4.3.8 Tempat peziarah berkumpul untuk berzikir dan memanjatkan doa

Gambar 2.4.3.9 Playonan, atau bangunan pelepasan bagi keluarga Sunan Gunung jati yang meninggal dunia

Gambar 2.4.3.10 Sebuah hiolo berukir naga, di tengah batu nisan jasad keturunan Cina yang dimakamkan di kompleks Makam Sunan Gunung Jati

(43)

disebut sebagai berikut : pintu gapura, pintu krapyak, pintu pasujudan, pintu ratnakomala, pintu jinem, pintu rararoga, pintu kaca, pintu bacem, dan pintu kesembilan bernama pintu teratai. Peziarah hanya boleh memasuki sampai pintu ke lima saja. Sebab pintu ke enam sampai ke Sembilan hanya diperuntukkan bagi keturunan Sunan Gunung Jati sendiri.

Gambar 2.4.3.11 Salah satu pintu di Makam Sunan Gunung Jati yang disebut Pintu Krapyak

b. Makam Imogiri

Makam raja-raja di Imogiri dibangun pada perempat pertama abad ke-17. Kompleks makam raja-raja tersebut terdiri atas modul-modul halaman makam yang disusun menyamping, masing-masing modul memiliki tiga halaman yang diatur segaris ke belakang. Pada ruang terastas dimakamkam para raja, istri, dan juga keluarga terdekat. Halaman kedua yang berada di tengah merupakan ekstensi dari halaman persiapan bagi peziarah. Satu pintu gerbang mebghubungkan satu halaman dengan halaman lain, juga menghubungkan halaman terbawah dengan kompleks makam secara keseluruhan. Makam raja berada di ruang atau halaman tertinggi merupakan konsep yang umum pada pemakaman lama di Jawa. Hal ini merupakan bagian dari pernghormatan kepada tokoh-tokoh penting.

57

(44)

Keterangan :

A : Sultanagungan (1645) B : Pakubuwanan (1719)

C : Kasuwargan Yogyakarta (1792) D : Besiyaran (1822)

E : Saptarengga (1931)

F : Kasuwargan Surakarta (1788) G : Kapingsangan (1849)

H : Girimulya (1939)

(45)

Gambar 2.4.3.13 Untuk mencapai makam,harus meniti anak tangga sebanyak 345 buah

Gambar 2.4.3.14 Masjid dalam komplek makam Imogiridi bagian depan

(46)

Merupakan gerbang masuk ke komplek makam, bentuknya menyerupai gapura di Bali, di

samping masing-masing tangga menuju ke gapura terdapat pendopo tempat para peziarah menantikan saat gerbang besar dibuka.

Gambar 2.4.3.16 Gerbang Besar bergaya zaman peralihan Hindu Jawa yang terdapat didalam Gapura Supit Urang

Gambar 2.4.3.17 Gerbang Komplek Makam Raja-raja Surakarta

(47)

c. Makam Raja-Raja Gowa

Kompleks Makam Ketangka

Kompleks ini terletak di sebelah utara bukit Ternate, merupakan area pemakaman raja-raja Gowa dari masa yang lebih kemudian, dan raja-raja-raja-raja yang dimakamkan di kompleks makam Termalate dan Bonto Biraeng. Pada kompleks ini terdapat bangunan makam kubah dan jirat biasa.

Jirat dan nisannya dominan terbuat dari ukiran kayu. Jirat kayu diukir, dengan pahatan hiasan untaian flora, menggunakan warna menyolok, merah dan terutama kuningan keemasan. Pada bagian kepala dan kaki jirat terdapat semacam gunungan yang dilengkapi dengan kaligrafi ayat-ayat suci Al-Qur’an dan identitas yang dimakamkan. Ragam hias beberapa kubah, memperlihatkan adanya pengaruh anasir Barat terutama terlihat pada pintu masuk.

Gambar 2.4.3.19 Corak seni dan kaligrafi nisan-nisan pada Kompleks Makam Katangka

(48)

Gambar 2.4.3.20 Arsitektur Kubah Makam kompleks Makam Ketangka, Kabupaten Gowa Makam Syekh Yusuf

Kompleks makam ini terletak pada dataran rendah Lakiung di sebelah barat Masjid Ketangka. Di dalam kompleks ini terdapat 4 buah cungkup dan sejumlah makam biasa. Makam Syekh Yusuf terdapat di dalam cungkup terbesar, bentuk bujur sangkar Pintu masuk terletak di sisi selatan. Puncak cungkup berhias keramik. Makam ini merupakan makam kedua.

(49)

Makam Raja-raja Tallo di Ujung Tanah

Makam raja-raja Tallo adalah kompleks makam kuno yang dipakai sejak abad XVII sampai dengan abad XIX Masehi. Letaknya di RK 4 Lingkungan Tallo, Kecamatan Tallo, Kota Madya Ujungpandang. Berdasarkan basil penggalian yang dilakukan oleh Suaka Peninggalan sejarah dan Purbakala (1976-1982) ditemukan gejala bahwa komplek makam berstruktur tumpang tindih. Sejumlah makam terletak di atas pondasi bangunan, dan kadang-kadang ditemukan pondasi di atas bangunan makam.

Kompleks makam raja-raja ini sebagian ditempatkan di dalam bangunan kubah, jirat semu dan sebagian tanpa bangunan pelindung : Jirat semu dibuat dan balok-balok ham pasir. Bangunan kubah. Bangunan kubah berasal dari kurun waktu yang kemudian dibuat dari batu bata. Penempatan balok pasir itu semula tanpa mempergunakan perekat. Perekat digunakan Proyek Pemugaran. Bentuk bangunan jirat dan kubah pada kompleks ini kurang lebih serupa dengan bangunan jirat dan kubah dari kompleks makam Tamalate, Aru Pallaka, dan Katangka.

(50)

(padas), persegi disustin dari bawah ke atas. Bangunan makam mirip konstruksi candi yang terdiri atas tiga bagian, yaitu kaki, tubuh dan atap. Di bangian atap ditancapkan dua buah nisan. Umumnya bangunan makam seperti ini di dalam rongga makam yang berbentuk setengah lingkaran memanjang, masih terdapat nisan (Hadimoljono, 1977). Tipe makam ini misalnya Makam Sultan Mudseffuar. Selain itu, tipe susun timbun juga ada yang dibuat tidak berongga. Bentuknya hanya seperti kotak besar. Di atas kotak besar empat papan batu berukir dan ditancapkan dua buah nisan. Makam dengan teknik susun timbun juga ada yang dibuat dari batu merah.

Kedua, tipe bangunan kayu. Makam dirancang menurut konstruksi bangunan kayu. Empat buah papan batu yang lebar dipasang untuk membentuk sebuah kotak batu persegi empat panjang. Pada dinding utara dan selatan, di bagian atas makam dibuat runcingan tempat di bagian tengahnya. Keempat papan batu dipotong empat lapisan yang membentuk kaki makam. Di tengahnya ditancapkan satu atau dua buah nisan (Hadimoljono, 1977)

Ketiga, Tipe Sederhana. Untuk tipe ini, konstruksi di bentuk dengan dua lapis batu yang dibuat secara berundak. Kemudian di bangian atas makam ditancapkan satu dua buah nisan.

(51)

2.5 Arsitektur Kerajaan / Istana dan Kota

2.5.1 Pengertian

Istilah “keraton” (bahasa jawa untuk istana) mengacu pada singgasana (ratu- di tingkat raja atau pangeran). Di Jawa, keratonlah yang menentukan citra kerajaan secara geografis, bukan wilayah. Pengaruh kehidupan islam dalam bangunan rumah dan istana banyak terdapat di Indonesia, tetapi unsur tersebut umumnya diterapkan dalam detail atau dekorasi bangunan.

Berdasarkan dari apa yang terlihat di Indonesia, peniruan gaya asli perumahan dari negara Arab yang berikilim panas dan udara pasir memang tidak sesuai di Indonesia. karena itu penerapan dekorasi terlihat lebih wajar. Sebagai contoh di rumah tradisional di daerah yang penganutnya taat pada islam, sering terdapat unsur-unsur ke islaman di dalam rumahnya seperti di rumah-rumah tradisional Aceh, Jakarta, Makasar dan daerah-daerah lainnya. Dalam bentuknya yang megah, istana sultan deli menonjolkan gaya “Islam” meskipun bangunan tersebut ciptaan seorang arsitek belanda.

Gambar 2.5.1.1 Istana Maimun Sumber :

(http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/b/b5/Istana_maimoon.jpg)

(52)

Gambar 2.5.1.2 Sumber : Indonesian Heritage hal. 86

2.5.2 Pusat dan Daerah Pinggiran

(53)

Gambar 2.5.2 Kota Keraton Surakarta dilihat dari udara Sumber :

Indonesian Heritage hal . 92

(54)
(55)

2.5.3 Gunung Suci dan Tata Letak Bersumbu

Di jawa tata letak lingkungan serta kota yang mengelilinginya disusun berdasarkan pemikiran jagad raya. Sebagian besar keratin dan kota-kota terkait terletak di atas tanah dengan paling sedikit sebuah sungai serta cabang aliran sungai. Di Jawa Sumatera, Sumbawa, dan Ternate, dibelakang keratin terdapat gunung yang dianggap suci. Kaitan antara keraton dan gunung di Jawa diibaratkan oleh semua gedung dalam gugus istana dengan berporos pada gunung suci tersebut.

Gambar 2.5.3.1 Keraton Yogyakarta Sumber :

(56)

2.5.4 Tata Letak Kota

Menilik sejarah pola arsitektur Kota Keraton di Jawa dahulu, rata-rata mempunyai Alun-Alun dengan poros (axis) yang bagi bangunan-bangunan yang ada disekitarnya dan merupakan satu kesatuan yang memiliki hubungan erat, sehingga membentuk struktur tata ruang pusat kota yang baik dengan perletakan gedung-gedung yang jelas. Alun-alun merupakan titik sentral dari jalan-jalan utama yang menghubungkan bangunan-bangunan penting di sekitarnya.

Masyarakat agraris yang religius di Jawa biasanya membagi ruang menjadi dua jenis, ruang yang homogen atau sakral (disucikan) disatu pihak dan ruang yang inhomogen atau yang tidak teratur (bisa disebut profan) dilain pihak. Di alam sakral segalanya teratur, baik tingkah laku manusia maupun struktur bangunannya. Sedang di ruang yang inhomogen semuanya tidak teratur, karena tidak/belum disucikan (Eliade, 1959:20-65).

(57)

lingkungan binaan yang berlaku atau terjadi selama ini telah berlangsung sejak kawasan alun-alun dibangun hingga sekarang seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi.

Baik di Yogyakarta maupun di Surakarta terdapat dua buah alun-alun yaitu alun-alun Lor dan Kidul. Di masa lalu alun-alun Lor berfungsi menyediakan persyaratan bagi berlangsungnya kekuasaan raja. Alun-alun Kidul berfungsi untuk menyiapkan suatu kondisi yang menunjang kelancaran hubungan kraton dengan universum. Alun-alun Kidul dapat juga melambangkan kesatuan kekuasaan sakral antara raja dan para bangsawan yang tinggal disekitar alun-alun.

Alun-alun Lor Yogyakarta pada masa lalu berbentuk ruang luar segi empat berukuran 300x265 meter. Di tengahnya terdapat dua buah pohon beringin dan di sekelilingnya terdapat 64 pohon beringin yang ditanam dengan jarak sedemikian rupa sehingga harmoni dengan bangunan disekitarnya. Permukaan alun-alun ini ditutupi oleh pasir halus. Dua buah pohon beringin ditengah alun-alun tersebut dikelilingi oleh pagar segi empat. Orang Jawa menyebutnya sebagai ‘Waringin Kurung’. Nama Waringin berasal dari dua suku kata “wri” dan “ngin”. “Wri” berasal dari kata “wruh” yang berarti mengetahui, melihat. “Ngin” berarti memikir, tindakan penjagaan masa depan (Pigeaud, 1940:180). Kedua kata tersebut melambangkan kematangan manusia yang arief bijaksana, karena orang Jawa berangapan bahwa kegiatan bijaksana berasal dari kosmos.

Kesimpulanya alun-alun pada jaman prakolonial bisa berfungsi sebagai (Santoso, 1984):

1. Lambang berdirinya sistim kekuasaan raja terhadap rakyatnya.

2. Tempat semua upacara keagamaan yang penting (adanya hubungan penting antara Kraton-Mesjid dan Alun-Alun).

(58)

2.6. Arsitektur Bangunan Rumah Tinggal

Bangunan Rumah Tinggal Islam tidak hanya mengacu pada elemen-elemen dekoratif seperti berupa gambar, foto, lukisan mekah atau ikon islam lainnya. Islam sendiri memiliki desain arsitektur sendiri yang sesuai dengan Al Quran dan Hadist Rasulullah SAW.

Bangunan arsitektur tersebut harus sesuai dengan nilai-nilai Islam, antara lain :

a. Bangunan yang didiirikan tidak mengandung unsure syirik dalam pembuatannya, desain rumah dan ornament di dalamnya (termasuk didalamnya penggunaan patung). Oleh karena itu, hiasan dan ornament interior dalam desain rumah Islami banyak menggunakan motif tumbuhan, kaligrafi dan geometri.

b. Menggunakan stuktur metematika dalam Al Qur’an yang menghubungkan intelektual dan spiritual Islam yang menggunakan symbol-simbol numeric dari huruf dan kata. Oleh karena itu, desain rumah Islami dan seni arsitektur Islam berkembang dalam konsep geometri, astronomi dan metafisik.

c. Konsep desain rumah yang berbasis gemetri murni sehingga bangunan memiliki “badan” yang didesain dengan konsep geometri. Adapun jiwanya dapat didesain dengan

memodifikasi pencahayaan, ventilasi, landskap, warna, tekstur, dan interior dan eksterior.

d. Mengaplikasikan konsep surge di bumi yang diterjemahkan dalam konsep taman di rumah

(59)

BAB III

PENUTUP

3.1

Kesimpulan

Pada bangunan masjid di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa dan Pulau Sumatra, memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan bangunan masjid di Negara lainnya, bahkan di Negara asal Islam yaitu Arab. Bentuk masjid di Jawa dan Sumatra memiliki atap yang bersusun lima, dan setelah abad 17 menjadi bersusun 5. Diperkirakan bentuk atap seperti ini mengadopsi dari bentuk pagoda dari Cina. Bangunan menara yang pada umumnya terdapat pada bangunan masjid, digunakan sebagai tempat adzan (panggilan sholat) pada hanya sedikit ditemukan di masjid-masjid Jawa dan Sumatra, karena mereka menggunakan bedug untuk memanggil jama’ah. Bangunan makam di Indonesia pada umumnya terletak di atas bukit atau tempat-tempat yang keramat. Jika di dekat makam didirikan masjid, biasanya makam tersebut merupakan makam para wali atau raja. Dan makam khususnya di Jawa biasanya didirkan tembok atau gapura yang menghubungkan antara makam dengan makam atau kelompok-kelompok makam.

(60)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rochym, 1983,Sejarah Arsitektur Islam. Bandung: Angkasa

Adityo, Dimas Haryo 2011. “Perubahan Fungsi dan Konstruksi Bangunan di Kompleks Dalem Mangkubumen”. Skripsi, Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

Amin, M. Darori. 2000 Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media.

Azymardi, Azra, dkk. 1997 Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar baru.

Drs. Atang Abd. Hakim, M. A, 2000,Metodologi Studi Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya Seyyed Hossein Nasr, 1994,

Fanami, Achmad. 2009. Arsitektur Masjid. Yogyakarta: Bentang

M. Abdul.2007. Islam Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Press. Abdul Jamil dkk. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media

Prihani, Laurensia 2009. Hiasan pada Rumah Tradisional Jawa: Studi Kasus di Kawasan Jeron Beteng, Yogyakarta. Skripsi, Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

Sutrisno, Budiono Hadi, Sejarah Walisongo. 2009. Yogyakarta: Graha Pustaka. Karim,

Vitra Widinanda. 2009. "Menara-menara mesjid kuno di Pulau Jawa abad ke 16-19 M (tinjauan arsitektural dan ragam hias). Skripsi Arkeologi: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Gambar

Gambar 2.2.3.2 Makam sunan kudus
Gambar 2.3.3.2 Mimbar di Masjid Wonogiri
Gambar 2.3.3.3 Bentuk Dikka
Gambar 2.3.3.7 Pembatas yang digunakan dalam memisahkan jamaah pria dan wanita
+7

Referensi

Dokumen terkait

a) Modul merupakan salah satu bentuk bahan ajar yang di kemas secara utuh dan sistematis, di desain untuk membantu peserta didik menguasai tujuan belajar yang

Dari hasil pengujian pengaruh bukaan guide vane terhadap kinerja turbin Cross- flow diperoleh efisiensi turbin yaitu sebagai berikut..

Mencermati besarnya risiko yang dapat terjadi, dalam menjalankan misi perdamaian dunia, setiap personel baik militer maupun sipil selalu dibekali dengan SOP yang

Tesis yang berjudul “Geguritan Kasmaran Analisis Teks dan Konteks” ini disusun guna memenuhi persyaratan mengikuti ujian akhir untuk meraih gelar master pada

Tujuan dari penelitian pada Light Rail Transit (LRT) Palembang - Sumsel ini ialah Memberikan solusi informasi yang baik, tepat waktu, dan sesuai kebutuhan pada Light

Dibandingkan dengan penelitian Setiawati (2013) berupa pemberian pakan berkadar protein 35,66% pada patin yang mendapatkan pertumbuhan berat mutlak patin sebesar

Kualitas layanan yang mampu melebihi ekspektasi dari konsumen dapat menarik minat berbelanja konsumen dan kepercayaan konsumen terhadap Online Shop merupakan kunci

Pada tahun 2021, pemerintah melalui Puslapdik Kemendikbud kembali akan menyalurkan bantuan untuk melanjutkan pendidikan tinggi kepada 200 ribu mahasiswa penerima KIP Kuliah