• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asal Usul Etnis dan Nama Karo

SISTEM SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT KARO

4.1. Asal Usul Etnis dan Nama Karo

Daerah Sumatera Utara terdiri dari pantai, dataran rendah, dataran tinggi dan pegunungan. Daerah pantai terletak sepanjang pesisir timur, barat dan bersambung dengan dataran rendah. Dataran Karo, Toba dan Humbang merupakan dataran tinggi, sedangkan pegunungan Bukit Barisan yang yang membujur di tengah–tengah dari utara ke selatan merupakan daerah pegunungan. Luas daerah Sumatera Utara sekitar 71.680 km2 dan terletak antara 1 dengan 4 lintang utara dan antara 98 dengan 100 bujur timur. Penduduk pribumi Sumatera Utara terdiri atass suku Melayu, Toba, Karo, Simalungun, Pakpak Dairi, Mandailing dan Nias, dengan mata pencaharian sehari–hari adalah bertani. (Saragih 2007 :42)

Berdasarkan asal usul terjadinya suku Karo belum diketahui secara pasti. Namun diperkirakan sudah ada sekitar tahun 1250. Karena menurut beberapa penulis pada waktu itu sudah ada kerajaan Haru (Aru). Kerajaan

Masa kejayaan kerajaan ini cukup lama. Namun sekitar tahun 1539 kerajan Haru kalah dan hancur total akibat serangan tentara kerajaan Aceh yang memiliki persenjataan yang cukup kuat. Rakyatnya pergi menyelamatkan diri ketempat yang dianggapnya aman.

Rakyat yang pergi menyelamatkan diri ada yang ke Singkil, Pak-pak Dairi, Aceh (Gayo Alas), Asahan, Simalungun, dan dataran tinggi tanah Karo (Karo Gugung). Sebahagian lagi pergi ke dataran rendah dekat pengunungan mulai dari bukit Lawang, Bahorok (Buah Orok), Deli Serdang sampai keperbatasan Sipis-pis Tebing Tinggi sekarang. Mereka yang menempati tempat yang baru diluar Asahan kemudian disebut orang Karo sisa perang Haru. Suku Karo yang tinggal di dataran rendah dekat pengunungan yang luasnya lebih kurang 5.000 km2 kemudian disebut Batak Karo Dusun.

Disisi lain dari penemuan sejarah, di Labu Tuo yang letaknya berdekatan dengan kota pelabuhan Baros, ditemukan sebuah batu bertulis pada tahun 1872, isinya baru dapat dibaca pada tahun 1932 oleh Prof. Nilakantisastri, Guru besar Purbakala di Madras.

Batu tertulis tersebut ditemukan oleh Kontelitir Deuz. Isinya bahwa pada tahun 1088 M ada 1.500 orang Tamil dari India Selatan bertempat tinggal di Baros. Mereka membentuk kesatuan untuk mencegah persaingan sesama mereka dalam dagang kapur barus dan kemenyan, mereka membentuk kesatuan dagang di daerah itu.

Penduduk yang terdahulu menempati daerah itu semakin bertambah dengan adanya pendatang baru. Pendatang baru itu terutama berasal dari India dengan maksud untuk mencari sumber penghidupan terutama berdagang disamping menanamkan pengaruhnya. Di luar daerah Baros mereka menjumpai gading gajah, cula badak, kapur barus, kemenyan dan emas yang sangat berharga dan digemari pada waktu itu.

Barang-barang ini dibawa dan diperdagangkan di India, Eropa, dan Tiongkok. Beberapa diantaranya ada juga yang menetap dan menggabungkan diri dengan golongan pribumi setempat. Mereka tidak kembali kenegrinya, ada juga akibat sulitnya atau putusnya hubungan karena pemimpinnya tidak datang lagi.

Di daerah-daerah sekitarnya sering terjadi perpindahan penduduk. Perpindahan tersebut disebabkan terjadinya huru-hara untuk mencari tempat pertanian yang lebih baik. Oleh karena terjadinya pergeseran penduduk tersebut suku Karo tinggalnya berpencar dan sebagian kecil derada di dataran tinggi Karo.Diperkirakan orang India (Tamil) yang tinggal disekitar Baros itulah yang sampai di desa Seberaya (Karo) kemudian tinggal bersama dengan penduduk setempat.

Dari sumber lain diketahui pula bahwa pada tahun 1680 Guru Pertimpus (Guru Pa Timpus) sudah tinggal di Medan sekarang. Dia bermarga Sembiring Pelawi datang dari tanah Karo Gugung, bermaksud untuk membuka ladang diantara sungai Babura dan sungai Deli. Kemudian Guru Pa Timpus kawin dengan seorang putri panglima Hali yang tinggal di Sei Sikambing. Panglima Hali sendiri sebenarnya dulu berasal dari suku Karo, bermarga Tarigan.

Disisi lain masih ada sumber dengan versi yang berbeda. Sumber itu adalah nenek kandung penulis (Sempa Sitepu) bernama Rayung Karo Sitepu

Nama orang si Karo-lah asal mula nama suku Karo, katanya dengan muka serius memulai penuturanya. Pada zaman dahulu kala ada seorang maharaja yang sangat kaya, sakti dan berwibawa. Dia tinggal disebuah negeri bersama permaisuri dan putra-putrinya, yang letaknya jauh diseberang lautan. Dia mempunyai panglima, ratusan prajurit, puluhan wanita sebagai dayang-dayang dan puluhan pembantu.

Pada suatu ketika maharaja ingin pergi dari negeri tempat tinggalnya itu dan ingin mencari tempat lain yang lebuh luas dan tanahnya lebih subur serta ditempat baru itu dia akan mendirikan sebuah kerajaan. Pada waktu yang ditentukan berangkatlah maharaja, permaisuri, putra-putrinya, dayang-dayang, pembantu dan panglima pengawal maharaja ikut bersama berpuluh- puluh prajurit. Panglima itu bernama si Karo, tubuhnya kekar dan berwajah tampan. Mereka juga membawa perhiasan miik raja untuk kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan diperjalanan.

Berbulan-bulan mereka berjalan ke arah selatan melewati gunung, perbukitan dan sungai. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka berburu dan menangkap ikan sambil berjalanan yang tampa disadari mereka telah sampai di pulau Pinang.

Setelah agak lama mereka tinggal di semenanjung Malaka yang bersebarangan dengan pulau Pinang pada pagi hari ketika matahari terbit maharaja memandang ke selatan yang nampak terlihatnya laut yang terbentang luas dan pulau yang lebih luas dari pulau Pinang. Maharaja berniat mengetahui pulau itu perjalanan yang mereka alami sangat sulit karena angin dan gelombang yang sangat kencang. Perahu yang mereka tumpangi terkatung-katung dan tidak ada yang dapat mereka lakukan. Dalam keadaan seperti itu mereka sadar bahwa mereka telah kembali ke tempat semula. Setelah mereka memperhatikan ternyata pulau itu adalah bukan tempat mereka semula akan tetapi, pulau berhala sekarang.

Beberapa bulan lamanya mereka tinggal di pulau itu dengan mencari ikan sebagai makanan mereka sehari-hari. Di pulau itu tidak mereka temukan manusia sehingga mereka hidup bebas.

Pada saat itulah si Karo panglima maharaja mempersunting seorang dari putri dari maharaja yang selama ini sudah jatuh cinta, hal itu di beritahukan kepada rombongan yang lantas mencari pasangan masing-masing. Setelah itu rombongan si Karo pergi melanjutkan perjalanan ke pulau sangat jauh yaitu pulai perca (Sumatera) tempat itu kemudian diketahui dengan nama pulau Belawan. Dari tempat itu mereka melanjutkan perjalanan malalui perahu sungai kepedalaman.

Sepanjang perjalanan mereka tidak menjumpai manusia selain sungai dan pepohonan. Berapa jam lamanya kemudian mereka berjalan kaki ketempat yang disebut Durin tani. Ditempat itu terdapat gua umang yang cukup besar. Gua umang itu yang digunakan mereka sebagai rumah sementara. Lebih kurang satu tahun lamanya mereka tinggal dan bersembunyi di Gua itu. Si Karo bekas panglima maharaja menganggap tempat itu tidak sesuai, sehingga dia mengajak rombongan pergi kearah hulu sunagai menuju pegunungan. Anggota rombongan tidak menjawab karena keberatan. Si Karo mulai marah dan seorang anggota bertanya kemana lagi mereka akan pergi karena tempat itu cukup baik bagi mereka.

Mereka tidak mau tua-tua diperjalanan. Persediaan makanan juga sudah menipis. Mendengar ucapan itu si Karo bertanya siapa yang mau ikut dia, dan 15 orang mengikut dia. Si-Karo berpesan pada orang yang tinggal agar suatu waktu kita dapat bertemu kembali atau anak cucu kita oleh karena itu, kuperintahkan kalian agar semuanya memakai nama Karo sebagai tambahan namanya, hal ini sebagai tanda pengenal keturunan kita agar tidak saling baku hantam dan kita satu keturunan yang merasa senasib dan sepenanggungan.

Setelah itu mereka berangkat dan rombongan yang tinggal di Durin tani yang menempati daerah dataran rendah Karo yang berdekatan dengan kota Medan sekarang. Rombongan si Karo yang mengikuti aliran sungai Lau betimus menuju arah pegunungan. Dua hari lamanya mereka berada dalam perjalanan melalui beberapa tempat yang kemudian dinamai Buluh Hawar.

Tempat itu berpariasi berbukit dan dekat sungai. Tempat itu kemudian disebut dengan desa Si Keben berdekatan dengan Bandar baru. Mereka tinggal disitu beberapa bulan yang pada suatu pagi, si Karo pergi

kesebuah bukit yang agak tinggi kemudian mengarahkan pandanganya ke arah utara dan nampak olehnya batas laut dengan daratan dan dia merasa tempat itu dekat dengan laut.

Akhirnya rombongan si Karo bergerak kembali meneruskan perjalanan yaitu sebelah kiri gunung Barus sekarang. Dengan susah payah mereka melintasi hutan rimba yang belum pernah di jamah manusia dan tanahnya berlapis-lapis dan terlindung dari cahaya matahari. Suara burung dan suara binatang masih banyak disekitar mereka. Setelah perjalanan mereka tiba diatas dataran dekat gunung Barus. Mereka terkejut melihat alam yang begitu indah dengan aneka ragam tumbuhan dan pepohonan hutan. Keesokan harinya mereka berjalan ke tempat yang mereka pandang indah. Menjelang tengah hari mereka tiba disana dan berhenti di bawah pohon (jabi-jabi) sejenis pohon beringing.

Mereka semua berpendapat tempat itu cukup baik dan memberikan ketenangan pikiran karena udara sejuk yang dekat dengan sungai Lau Biang sekarang.

Si Karo mengambil segenggam tanah dan mengamati dan rasa tanah itu belum sama beratnya dengan tanah negeri asal, maka di putuskan untuk mencari tempat lain disekitar. Mereka kemudian memutuskan mencari tempat lain disekitarnya. Dari sebuah bukit mereka melihat suatu dataran yang agak luas diseberang sungai. Mereka menyuruh anjing menyebaranginya, setelah kurang dua jam anjing tersebut mengibas- ibaskan ekornya sebagai suatu tanda ada tempat yang baik ditempati.

Karena dipandu anjing maka tempat itu disebut sungai Lau Biang yang berarti dapat diseberangi anjing. Tempat itu luas dan tanahnya subur, si Karo pun mengulangi caranya menilai tanah. Terdapat kesesuaian tanah di negeri asalnya dengan tanah tersebut

Anggota rombongan bersorak mendengar ucapan si Karo yang kemudian dahulu dinamakan tempat itu mulawari berseberangan dengan sungai si Capah yang sekarang dinamakan Seberaya daerah sekitarnya dinamakan Sukapiring. Mulawari dahulu telah jadi talun karo (peninggalan nenek Karo)

Sehari-hari mereka membuat rumah sederhana dari gubuk, mengerjakan lahan pertanian dengan tebang bebas. Setelah itu jumlah mereka bertambah sehingga berpindah ketempat lain diantaranya kuta Bale, Samura, Seberaya, Sukanalu dan Suka. Demikianlah dan beratus tahun bahkan ribuan tahun jumlahnya bertambah. Mereka menempati wilayah si Karo kebarat sampai dengan Aceh dan selatan berbatasan dengan Tapanuli Utara dan sampai ke Dairi, sedangkan Timur menempati daerah Simalungun. Jadi pendatang si Karolah yang menjadi asal-usul nama Karo.

Ada juga yang mengatakan kerajaan Sukapiring didataran tinggi Karo erat hubunganya sejarah putri hijau seorang raja di Deli yang kerajaannya hancur akibat kerajaan aceh ceritanya ada di seberaya berkaitan dengan putri hijau di deli tua. Memang ada perbedaan akan tetapi, persamaan tokoh dan sisa perang yang ditinggalkan berupa pecahan meriam Putri Hijau yang ada di Seberaya yang kemudian pindah ke Sukanalu yang saat ini kita jumpai di kawasan Sitepu rumah ukir. Pecahan meriam Putri Hijau di deli tua diletakkan dalam sebuah bangunan berbentuk rumah adat Karo.

Walaupun sementara ada pendapat suku Karo termasuk Sub Suku keturunan Toba yang berasal dari gunung Pusuk Buhit hal tersebut menurut buku yang penulis kurang logis dan tidak rasional. (Sitepu 1996 : 5 – 12)

Dokumen terkait