• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fungsi Dan Makna Ornamen Rumah Adat Karo : Kajian Semiotik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Fungsi Dan Makna Ornamen Rumah Adat Karo : Kajian Semiotik"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI SARJANA

FUNGSI DAN MAKNA ORNAMEN RUMAH

ADAT KARO : KAJIAN SEMIOTIK

DIKERJAKAN : O

L E H

NAMA : AFRINA BERLIANA SILALAHI NIM : 030703011

h

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA DAERAH JURUSAN SASTRA BATAK

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN

(2)

FUNGSI DAN MAKNA ORNAMEN RUMAH ADAT KARO : KAJIAN SEMIOTIK

DIKERJAKAN :

DIKETAHUI /DISETUJUI, OLEH :

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Jekmen Sinulingga. M, Hum

NIP. 131837558 NIP . 131785647

Drs. Baharuddin, M. Hum

Departemen Sastra Daerah Ketua,

NIP . 131785647 Drs. Baharuddin, M. Hum

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA DAERAH JURUSAN SASTRA BATAK

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN

(3)

Abstrak

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang terdiri dari

berbagai suku yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Setiap suku

memiliki kebudayaan, tradisi dan adat istiadat yang berbeda dan beraneka

ragam. Hal inilah yang menjadikan kekayaan tradisi bangsa salah satunya

suku Karo.

Suku Karo pada umumnya berdiam di daerah pegunungan seperti

Berastagi dan Kabanjahe. Sebab di daerah tersebutlah banyak dijumpai

orang yang mayoritas Karo dan mengetahui tentang adat istiadat dan

kebudayaan Karo. Salah satunya Ornamen yang terdapat di Rumah Adat

Karo, yang ada di desa Lingga Kabanjahe.

Kebudayaan ialah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil

karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik

(5)

Koenjaraningrat (1974:5) menyatakan rumah adat Karo merupakan

hasil karya masyarakat Karo yang diikat oleh rasa kekeluargaan dan gotong

royong sehingga menghasilkan nilai seni yang tinggi.

Rumah adat Karo tersebut ketahanannya juga bisa mencapai ratusan

tahun dan tahan terhadap gempa. Pembuatan rumah adat tersebut juga tidak

memakai paku sebagai alat bangunan, dikarenakan masyarakat Karo pada

zaman dahulu percaya akan adanya tanah yang baik dan buruk. Sehingga

untuk membuat rumah masyarakat Karo pada zaman dahulu memanggil

guru (dukun) yang bertujuan untuk mengetahui apakah tanah tersebut dapat

didirikan Rumah Adat Karo, Sitepu (1996 : 69).

Selain itu di atas rumah adat Karo diletakkan sepasang tanduk

kerbau, ada yang dua ada yang empat, hal itu dikarenakan masyarakat Karo

pada zaman dahulu percaya bahwa kepala kerbau sebagai lambang

skekuatan yang apabila tanduk kerbau belum dipasang rumah adat Karo

(6)

Penelitian ini merupakan penelitian tentang tanda yang di tinjau dari

segi kebudayaan yang terfokus pada ornamen rumah adat Karo. Ornamen

merupakan suatu unsur yang memperindah bangunan, baik berupa

bangunan hunian biasa, rumah besar berupa bangunan adat ataupun

bangunan istana.

Pada hakikatnya, setiap bangunan di beri tanda hiasan – hiasan

berupa ornamen yang memberikan kesan keagungan serta keindahan pada

bangunan tersebut. Banyak bangunan tradisional berupa peninggalan masa

lalu diberi dan dilengkapi dengan tanda hiasan – hiasan, baik berupa

ornamen atau berupa pahatan – pahatan maupun ukiran ( Situmorang, 1997

: 54 ).

Penggunaan tanda hiasan – hiasan tersebut sering memberi suatu

makna khusus terhadap bangunan sehingga antara bangunan dengan hiasan

menjadi suatu kesatuan utuh dalam perwujudannya sebagai bangunan yang

diagungkan. Konsep penyatuan tanda hiasan pada bangunan merupakan

suatu tradisi yang dilakukan oleh para perancang bangunan pada masa lalu

(7)

Rumah adat Karo merupakan bangunan tradisional yang ditandai

ornamen yang keseluruhan ornamen memiliki hal – hal yang berhubungan

dengan lambang yang bermakna adat istiadat. Dalam pembuatan ornamen

rumah adat Karo akan melewati berbagai proses perencanaan yang matang

dan tidak terlepas dari adat istiadat yang telah ditetapkan sebagai sumber

hukum yang berlaku di tengah – tengah masyarakat, melalui sidang adat

raja, yang kemudian dikirim kepada ahli kesenian (penggerga) yang

mendapat perintah dari pengulu taneh.

Warna sebagai tanda juga mendominasi masyarakat Karo pada

zaman dahulu menurut sembiring (1995 :186) ialah merah, putih dan hitam,

sehingga warna tersebutlah yang dipergunakan untuk mendominasi

ornamen rumah adat Karo. Pemikiran yang melatarbelakangi terhadap

pendominasian warna dalam kehidupan mereka sehari-hari yaitu

kepercayaan yang menjaga mereka bersumber dari telu sedalenan ‘tiga

(8)

Menurut tradisi masyarakat Karo dalam warna merah mengandung

makna terhadap kegairahan untuk hidup. Gairah untuk hidup itu lebih

diidentikkan dengan kekuatan yang mendorong manusia untuk bekerja. Hal

ini dibuktikan pada pakaian adat Karo pada saat akan melakukan

pernikahan. Warna hitam diidentikkan dengan ketidakmampuan manusia

untuk mengetahui dan mengikuti kehendak Tuhan, dapat kita lihat pada

setiap pakaian Karo selalu ada warna hitam saat warga Karo meninggal dan

warna putih diidentikkan dengan kesucian Tuhan, dapat kita lihat disaat

masyarakat Karo akan mengadakan upacara ritual adat Karo mereka

berpakaian putih.

Skripsi tanda ornamen yang dianalisis adalah ornamen yang khusus

pada rumah adat Karo. Karena Rumah Adat Karo merupakan suatu

bangunan monumental yang sangat bernilai tinggi dengan ornamen yang

(9)

De Boer (1920 :1) mengatakan ornamen adalah suatu tanda desain

tradisional yang sangat bernilai tinggi yang berkaitan erat dengan mistik

dan kepercayaan asli kesukuan, dimana ornamen tersebut mempunyai

makna dan kebahagian penghuninya.

Sitepu (1996 : 202) mengatakan seni ukir (Ornamen) adalah tanda

sederhana untuk menolak bala menangkal roh jahat dan berupa

pengobatan. Jadi ornamen yang terdapat di dinding rumah adat Karo pada

zaman dahulu bukan sekedar untuk keindahan saja, akan tetapi setiap

lembar papan yang dihiasi ornamen tersebut mempunyai makna yakni

kekuatan gaib yang menjaga si pemilik rumah dari marabahaya.

Akan tetapi pada saat sekarang ini karena di pengaruhi oleh

kemajuan zaman dan agama, maka ornamen yang terdapat di dinding

rumah adat Karo dianggap sebagai hiasan yang memperindah bangunan.

Sitepu (1996 : 202) mengatakan bahwa dalam perkembangan dari

waktu ke waktu kebiasaan membuat ornamen tersebut tidak lagi dipandang

dari segi kekuatan daya penangkalnya, lukisan itu telah dipandang sebagai

(10)

suatu karya seni. Sehingga pada saat sekarang ini ornamen dalam

masyarakat Karo (ornamen) sudah mengalami kepunahan. Hal ini

disebabkan karena sedikit sekali para ahli yang berniat untuk menggali dan

melestarikan kebudayaan - kebudayaan yang ada di daerah.

Di samping itu untuk mendirikan rumah adat Karo bahannya sangat

sulit didapatkan dan termasuk orang yang mengerti tentang pembuatan

rumah dan ukiran seni Karo pun pada saat ini sudah sangat jarang dapat

ditemui. Hal itu dapat mengakibatkan hilangnya kebudayaan yang ada pada

suatu daerah akibat kurangnya para ahli yang mampu untuk menciptakan

suatu karya seni (ornamen) yang memiliki kekuatan.

Sehingga pada saat sekarang ini ornamen dalam masyarakat Karo

hanya dipandang sebagai suatu yang memiliki keindahan sehingga

dikembangkan sebagai karya seni. Untuk itulah kekayaan budaya seperti

rumah adat Karo sangat perlu di jaga kelestariannya, agar tidak mengalami

kepunahan.

(11)

1.2 Rumusan Masalah

Masalah yang akan di rumuskan pada skripsi ini adalah :

1. Bentuk Ornamen apa sajakah yang terdapat pada Rumah Karo,

2. Apakah Fungsi Ornamen Rumah Karo,

3. Apakah Makna Ornamen Rumah Karo

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bentuk ornamen pada Rumah Karo,

2. Untuk mengetahui fungsi ornamen dalam Rumah Karo,

3. Untuk mengetahui makna ornamen dalam rumah adat Karo.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :

1. Bagi Masyarakat dengan adanya penelitian ini,maka akan tertarik

untuk mengenal ornamen rumah adat Karo lebih dalam lagi,

2. Menginventarisasikan budaya Karo yang mulai hilang karena

perkembangan zaman,

3. Menjadi sumber informasi bagi mahasiswa jurusan Sastra Daerah

(12)

1.5 Anggapan Dasar

Dalam melakukan suatu penelitian sangat perlu membuat suatu

anggapan dasar. Menurut Anwar Syah dalam Yanti (2003: 10) mengatakan

anggapan dasar adalah titik tolak pemikiran haruslah berdasarkan

kebenarannya (tidak perlu dibuktikan lagi). Dari pendapat sarjana di atas

jelaslah bahwa anggapan dasar haruslah berdasarkan kebenaran yang

objektif, maksud kebenaran yang objektif di sini adalah apabila anggapan

dasar tersebut, dapat dibuktikan kebenarannya. karena itu penulis

menganggap bahwa ornamen Rumah Adat Karo merupakan karya sastra

yang memiliki nilai seni yang indah yang memberikan fungsi dan makna

(13)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Kepustakaan Yang Relevan

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang

relevan dengan judul skripsi ini.Adapun buku-buku yang digunakan dalam

memahami dan mendukung penelitian penulis adalah

1. Sitepu dkk (1996:202) yang berjudul Pilar Budaya Karo, dalam buku

ini dipaparkan tentang tahap pembuatan rumah adat Karo, sistem

kemasyarakatan yang ada pada masyarakat Karo, sistem religi

masyarakat Karo, ornamen rumah adat Karo yang rumah adat,

sendok dapur, pakaian tenunan dan lain-lain, buku ini juga

menceritakan tentang asal usul nama Karo, dan asal usul dari satu

kampung.

2. Ginting, buku ini berupa diktat yang di dalam buku ini ada

membahas ragam hias dari buku Sitepu yang membahas tentang arti

(14)

3. Yanti, skripsi (2003) : fungsi dan makna gorga dalam masyarakat

Batak Toba. Skripsi ini membahas tentang ornamen dalam rumah

adat Batak Toba, fungsinya dalam masyarakat Toba, dan makna

yang terdapat pada setiap ornamen yang ada pada masyarakat Batak

Toba. Skripsi ini juga menggunakan Teori yang sama, seperti yang

penulis pergunakan.

2.2.Teori yang Digunakan

Berdasarkan judul penelitian ini maka teori yang digunakan untuk

mendeskripsikan fungsi dan makna ornamen dalam rumah adat batak Karo

adalah teori semiotik. Kata semiotika berasal dari kata Yunani semeion,

yang berarti tanda. Maka semiotika berarti ilmu tanda. Semiotika adalah

cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu

yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang

(15)

Menurut Peirce tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi

seseorang. Sesuatu itu dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan

dan lain-lain. Yang dapat menjadi tanda bukan hanya bahasa, melainkan

berbagai hal yang dapat melingkupi kehidupan disekitar kita. Tanda dapat

berupa bentuk tulisan, karya seni, sastra, lukisan dan patung.

Dan berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon),

index (indeks), dan symbol (simbol).

1. Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya

bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah

hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan;

misalnya, potret dan peta.

2. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah

antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab

akibat, atau tanda yang langsung mengacu kepada kenyataan.Contoh

(16)

3. Simbol adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antar

penanda dan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat arbitrer atau

semena, hubungan bedasarkan konvensi atau (perjanjian) masyarakat.

Simbol yang terdapat pada ornamen yang ada pada rumah adat

Karo, diantaranya tercipta dan diciptakan atas dorongan pengaruh

lingkungan seperti alam, manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan.

Ornamen yang ada pada masyarakat Karo juga diletakkan di tiga tempat

yaitu ayo-ayo rumah adat yang dibentuk dengan menganyam bambu,

dapur-dapur rumah adat Karo yang tehnik pembuatannya diukir dan pada derpih

dengan cara membuat lubang membentuk gambar cicak yang

membermakna kekuatan pada derpih rumah adat.

Ketiga tempat tersebut dianggap sebagai tanda yang menghalangi

masuknya roh-roh jahat yang akan membinasakan orang yang berada di

dalam rumah adat dan yang memberikan perlindungan bagi anggota

keluarga. Ketiga tempat tersebut juga melatar-belakangi dari kekuatan

pencipta, alam, dan penghancur yang merupakan sumber dari Dibata atas,

(17)

Berdasarkan berbagai klasifikasi tersebut, Peirce (2003 : 43) membagi

ikon menjadi empat jenis :

1. Qualisign, yakni kualitas sejauh yang dimiliki tanda. Kata keras

menunjukkan kualitas tanda. Misalnya, suaranya keras yang

menandakan orang itu marah atau ada sesuatu yang diinginkan.

2. Iconic Sinsign, yakni tanda yang memperlihatkan kemiripan. Contoh

:foto, diagram, peta, dan tanda baca.

3. Rhematic Indexical Sinsign, yakni tanda yang berdasarkan pengalaman

langsung, yang secara langsung menarik perhatian karena kehadirannya

disebabkan oleh segala sesuatu. Contoh: pantai yang sering merenggut

nyawa orang yang mandi di situ akan dipasang bendera bergambar

tengkorak yang bermakna berbahaya, dilarang mandi di sini.

4. Dicent Sinsign, yakni tanda yang memberikan informasi tentang

sesuatu. Misalnya, tanda larangan yang terdapat di pintu masuk sebuah

(18)

Tanda yang ditunjukkan dicent sinsign dalam ornamen rumah adat Karo

ditunjukkan pada ornamen yang memiliki mistik yang merupakan

penghalang bagi roh-roh jahat di udara untuk masuk ke dalam rumah adat.

Salah satunya ornamen pengret-ret. Ornamen pengret-ret merupakan pagar

rumah yang menolak segala mahluk jahat untuk masuk ke rumah dan

diletakkan pada derpih rumah adat Karo.

Peirce membagi klasifikasi Indeks menjadi tiga jenis :

1. Iconic Legisign, yakni tanda yang menginformasikan norma atau

hukum. Misalnya, rambu lalu lintas.

2. Rhematic Indexical Legisign, yakni tanda yang mengacu kepada obyek

tertentu, misalnya kata ganti penunjuk. Seseorang bertanya, “Mana

buku itu?” dan dijawab, “Itu!”

3. Dicent Indexical Legisign, yakni tanda yang bermakna informasi dan

menunjuk subyek informasi. Tanda berupa lampu merah yang

berputar-putar di atas mobil ambulans menandakan ada orang sakit atau orang

(19)

Peirce membagi klasifikasi Simbol menjadi tiga jenis :

1. Rhematic Symbol atau Symbolic rheme, yakni tanda yang dihubungkan

dengan objeknya melalui asosiasi nilai umum.Misalnya, kita melihat

gambar harimau.Lantas kita katakan, harimau. Mengapa kita katakan

demikian, karena ada asosiasi antara gambar dengan benda atau hewan

yang kita lihat yang namanya harimau.

2. Dicent Symbol atau proppsition (proposisi) adalah tanda yang langsung

menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak. Kalau

seseorang berkata, “Pergi!” penafsiran kita langsung berasosiasi pada

otak,dan sertamerta kita pergi. Padahal proposisi yang kita kenal hanya

kata. Kata – kata yang kita gunakan yang membentuk kalimat,

semuanya adalah proposisi yang mengandung makna yang berasosiasi

di dalam otak. Otak secara otomatis dan cepat menafsirkan proposisi

itu, dan seseorang segera menetapkan pilihan atau sikap.

3. Argument, yakni tanda yang merupakan kesamaan seseorang terhadap

(20)

Seseorang berkata, “Gelap.” Orang itu berkata gelap sebab ia menilai

ruang itu cocok dikatakan gelap. Dengan demikian argumen merupakan

tanda yang berisi penilaian atau alasan, mengapa seseorang berkata bengitu.

Tentu saja penilaian tersebut berisi kebenaran.

Namun yang paling dekat pengkajiannya pada ornamen adalah Simbol.

Secara etimologis, simbol berasal dari kata yunani “sym-ballein” yang

berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan

suatu ide. (Hartoko dan Rahmanto, 1998 : 133). Ada pula yang

menyebutkan “symbolos,” yang berarti tanda atau ciri yang

memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto, 2000:10).

Semua simbol melibatkan tiga unsur: Simbol itu sendiri, Satu rujukan

atau lebih, dan hubungan antara simbol dengan rujukan. Ketiga hal ini

merupakan dasar bagi semua makna simbolik.

Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan Poerwadarminta disebutkan,

simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana,

dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal, atau mengandung maksud

tertentu. Misalnya, warna putih melambangkan kesuciann, padi lambang

(21)

Dengan demikian, dalam konsep Peirce simbol diartikan sebagai tanda

yang mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan

antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan (petanda)

sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat

pemakainya menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang

diacu dan menafsirkan maknanya.

Mempelajari ornamen tradisional Karo, merupakan satu hal yang

menarik karena diciptakan atas dorongan pengaruh lingkungan seperti alam,

manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan yang mereka dapat dari hasil

buah pikirannya.

Seniman pencipta ornamen baik dahulu maupun sekarang menyadari

bahwa dibalik nilai-nilai keindahan masih terdapat nilai-nilai rohaniah lain

yang mempunyai arti kekuatan batin. Hal ini berhubungan dengan makna

dari ornamen yang akan dibahas pada bab pembahasan. Untuk itulah

penulis memilih teori ini sebagai suatu landasan berpijak dalam meneliti

(22)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode yang bertujuan agar penelitian

tersusun secara sistematis. Metode adalah cara bertindak menurut sistem

atau sistem tertentu (Sudartono,1995 : 41), sedangkan arti kata

“penelitian” dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah kegiatan

pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data yang dilakukan

secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan. Jadi

dapat disimpulkan bahwa metodologi penelitian ialah upaya untuk

menghimpun data yang diperlukan dalam penelitian untuk memperoleh

kebenaran terhadap suatu objek permasalahan.

3.1 Metode Dasar

Metode dasar yang digunakan dalam skipsi ini adalah metode

deskriptif. Metode Deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan

masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan

(23)

pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana

adanya. (Nawawi 1991 : 63). Dalam metode deskriptif, penulis akan

berusaha mengungkapkan dan memaparkan hasil yang sebenarnya sesuai

dengan keadaannya sekarang.

3.2.Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dijadikan daerah penelitian adalah Desa Lingga

Kabupaten Karo Kabanjahe. Penduduk desa ini bermata pencaharian

petani, pedagang, dan pegawai. Penulis memilih lokasi ini karena ditemui

rumah adat disertai dengan ornamen yang menghiasi rumah adat.

3.3.Sumber Data Penelitian

Sumber data penelitian ini diperoleh dari keterangan informan yang

mengerti tentang ornament yang terdapat di dalam rumah adat Karo.

Kemudian penulis juga melakukan penelitian kepustakaan (library

research) yang bertujuan untuk mencari buku-buku yang berhubungan

(24)

Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Alat perekam (tape recorder) yang digunakan untuk mewawancarai

informan sehubungan dengan objek penelitian

2. Kamera, yang digunakan untuk mengambil foto objek

3. Alat tulis dan kertas, yang digunakan untuk mencatat segala hal yang

dianggap penting dan berhubungan dengan objek penelitian.

3.5. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini untuk mengumpulkan data penulis menggunakan

metode sbb:

1. Metode observasi yaitu penulis langsung kelapangan melakukan

pengamatan terhadap objek penelitian.

2. Metode wawancara yaitu melakukan wawancara terhadap informan

yang dianggap dapat memberikan informasi atau data-data tentang

(25)

a. Rekam yaitu merekam informasi atau data yang diberikan informan.

b. Catat yaitu mencatat semua keterangan yang diperoleh dari informasi

informan.

3. Metode kepustakaan (library research) yaitu dengan mencari data dari

buku-buku yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

3.6. Metode Analisis Data

Pada dasarnya analisis adalah kegiatan untuk memanfaatkan data

sehingga dapat diperoleh suatu kebenaran atau ketidak-benaran dari suatu

objek. Penganalisisan data dilakukan dengan mendeskripsikan bentuk,

fungsi dan makna ornamen rumah adat Karo. Data yang diperoleh dari

masyarakat sangat berpengaruh terhadap fungsi dan makna terhadap

nilai-nilai budaya yang ada pada masyarakat Karo pada zaman dahulu sampai

sekarang.

(26)

BAB IV

SISTEM SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT KARO

4.1. Asal Usul Etnis dan Nama Karo

Daerah Sumatera Utara terdiri dari pantai, dataran rendah, dataran

tinggi dan pegunungan. Daerah pantai terletak sepanjang pesisir timur, barat

dan bersambung dengan dataran rendah. Dataran Karo, Toba dan Humbang

merupakan dataran tinggi, sedangkan pegunungan Bukit Barisan yang yang

membujur di tengah–tengah dari utara ke selatan merupakan daerah

pegunungan. Luas daerah Sumatera Utara sekitar 71.680 km2 dan terletak

antara 1 dengan 4 lintang utara dan antara 98 dengan 100 bujur timur.

Penduduk pribumi Sumatera Utara terdiri atass suku Melayu, Toba, Karo,

Simalungun, Pakpak Dairi, Mandailing dan Nias, dengan mata pencaharian

sehari–hari adalah bertani. (Saragih 2007 :42)

Berdasarkan asal usul terjadinya suku Karo belum diketahui secara

pasti. Namun diperkirakan sudah ada sekitar tahun 1250. Karena menurut

beberapa penulis pada waktu itu sudah ada kerajaan Haru (Aru). Kerajaan

(27)

Masa kejayaan kerajaan ini cukup lama. Namun sekitar tahun 1539

kerajan Haru kalah dan hancur total akibat serangan tentara kerajaan Aceh

yang memiliki persenjataan yang cukup kuat. Rakyatnya pergi

menyelamatkan diri ketempat yang dianggapnya aman.

Rakyat yang pergi menyelamatkan diri ada yang ke Singkil, Pak-pak

Dairi, Aceh (Gayo Alas), Asahan, Simalungun, dan dataran tinggi tanah

Karo (Karo Gugung). Sebahagian lagi pergi ke dataran rendah dekat

pengunungan mulai dari bukit Lawang, Bahorok (Buah Orok), Deli Serdang

sampai keperbatasan Sipis-pis Tebing Tinggi sekarang. Mereka yang

menempati tempat yang baru diluar Asahan kemudian disebut orang Karo

sisa perang Haru. Suku Karo yang tinggal di dataran rendah dekat

pengunungan yang luasnya lebih kurang 5.000 km2 kemudian disebut

Batak Karo Dusun.

Disisi lain dari penemuan sejarah, di Labu Tuo yang letaknya

berdekatan dengan kota pelabuhan Baros, ditemukan sebuah batu bertulis

pada tahun 1872, isinya baru dapat dibaca pada tahun 1932 oleh Prof.

(28)

Batu tertulis tersebut ditemukan oleh Kontelitir Deuz. Isinya bahwa

pada tahun 1088 M ada 1.500 orang Tamil dari India Selatan bertempat

tinggal di Baros. Mereka membentuk kesatuan untuk mencegah persaingan

sesama mereka dalam dagang kapur barus dan kemenyan, mereka

membentuk kesatuan dagang di daerah itu.

Penduduk yang terdahulu menempati daerah itu semakin bertambah

dengan adanya pendatang baru. Pendatang baru itu terutama berasal dari

India dengan maksud untuk mencari sumber penghidupan terutama

berdagang disamping menanamkan pengaruhnya. Di luar daerah Baros

mereka menjumpai gading gajah, cula badak, kapur barus, kemenyan dan

emas yang sangat berharga dan digemari pada waktu itu.

Barang-barang ini dibawa dan diperdagangkan di India, Eropa, dan

Tiongkok. Beberapa diantaranya ada juga yang menetap dan

menggabungkan diri dengan golongan pribumi setempat. Mereka tidak

kembali kenegrinya, ada juga akibat sulitnya atau putusnya hubungan

(29)

Di daerah-daerah sekitarnya sering terjadi perpindahan penduduk.

Perpindahan tersebut disebabkan terjadinya huru-hara untuk mencari tempat

pertanian yang lebih baik. Oleh karena terjadinya pergeseran penduduk

tersebut suku Karo tinggalnya berpencar dan sebagian kecil derada di

dataran tinggi Karo.Diperkirakan orang India (Tamil) yang tinggal disekitar

Baros itulah yang sampai di desa Seberaya (Karo) kemudian tinggal

bersama dengan penduduk setempat.

Dari sumber lain diketahui pula bahwa pada tahun 1680 Guru

Pertimpus (Guru Pa Timpus) sudah tinggal di Medan sekarang. Dia

bermarga Sembiring Pelawi datang dari tanah Karo Gugung, bermaksud

untuk membuka ladang diantara sungai Babura dan sungai Deli. Kemudian

Guru Pa Timpus kawin dengan seorang putri panglima Hali yang tinggal di

Sei Sikambing. Panglima Hali sendiri sebenarnya dulu berasal dari suku

Karo, bermarga Tarigan.

Disisi lain masih ada sumber dengan versi yang berbeda. Sumber itu

adalah nenek kandung penulis (Sempa Sitepu) bernama Rayung Karo

(30)

Nama orang si Karo-lah asal mula nama suku Karo, katanya dengan

muka serius memulai penuturanya. Pada zaman dahulu kala ada seorang

maharaja yang sangat kaya, sakti dan berwibawa. Dia tinggal disebuah

negeri bersama permaisuri dan putra-putrinya, yang letaknya jauh

diseberang lautan. Dia mempunyai panglima, ratusan prajurit, puluhan

wanita sebagai dayang-dayang dan puluhan pembantu.

Pada suatu ketika maharaja ingin pergi dari negeri tempat tinggalnya

itu dan ingin mencari tempat lain yang lebuh luas dan tanahnya lebih subur

serta ditempat baru itu dia akan mendirikan sebuah kerajaan. Pada waktu

yang ditentukan berangkatlah maharaja, permaisuri, putra-putrinya,

dayang-dayang, pembantu dan panglima pengawal maharaja ikut bersama berpuluh-

puluh prajurit. Panglima itu bernama si Karo, tubuhnya kekar dan berwajah

tampan. Mereka juga membawa perhiasan miik raja untuk kebutuhan

(31)

Berbulan-bulan mereka berjalan ke arah selatan melewati gunung,

perbukitan dan sungai. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka

berburu dan menangkap ikan sambil berjalanan yang tampa disadari mereka

telah sampai di pulau Pinang.

Setelah agak lama mereka tinggal di semenanjung Malaka yang

bersebarangan dengan pulau Pinang pada pagi hari ketika matahari terbit

maharaja memandang ke selatan yang nampak terlihatnya laut yang

terbentang luas dan pulau yang lebih luas dari pulau Pinang. Maharaja

berniat mengetahui pulau itu perjalanan yang mereka alami sangat sulit

karena angin dan gelombang yang sangat kencang. Perahu yang mereka

tumpangi terkatung-katung dan tidak ada yang dapat mereka lakukan.

Dalam keadaan seperti itu mereka sadar bahwa mereka telah kembali ke

tempat semula. Setelah mereka memperhatikan ternyata pulau itu adalah

bukan tempat mereka semula akan tetapi, pulau berhala sekarang.

Beberapa bulan lamanya mereka tinggal di pulau itu dengan mencari

ikan sebagai makanan mereka sehari-hari. Di pulau itu tidak mereka

(32)

Pada saat itulah si Karo panglima maharaja mempersunting seorang

dari putri dari maharaja yang selama ini sudah jatuh cinta, hal itu di

beritahukan kepada rombongan yang lantas mencari pasangan

masing-masing. Setelah itu rombongan si Karo pergi melanjutkan perjalanan ke

pulau sangat jauh yaitu pulai perca (Sumatera) tempat itu kemudian

diketahui dengan nama pulau Belawan. Dari tempat itu mereka melanjutkan

perjalanan malalui perahu sungai kepedalaman.

Sepanjang perjalanan mereka tidak menjumpai manusia selain

sungai dan pepohonan. Berapa jam lamanya kemudian mereka berjalan kaki

ketempat yang disebut Durin tani. Ditempat itu terdapat gua umang yang

cukup besar. Gua umang itu yang digunakan mereka sebagai rumah

sementara. Lebih kurang satu tahun lamanya mereka tinggal dan

bersembunyi di Gua itu. Si Karo bekas panglima maharaja menganggap

tempat itu tidak sesuai, sehingga dia mengajak rombongan pergi kearah

hulu sunagai menuju pegunungan. Anggota rombongan tidak menjawab

karena keberatan. Si Karo mulai marah dan seorang anggota bertanya

(33)

Mereka tidak mau tua-tua diperjalanan. Persediaan makanan juga sudah

menipis. Mendengar ucapan itu si Karo bertanya siapa yang mau ikut dia,

dan 15 orang mengikut dia. Si-Karo berpesan pada orang yang tinggal agar

suatu waktu kita dapat bertemu kembali atau anak cucu kita oleh karena itu,

kuperintahkan kalian agar semuanya memakai nama Karo sebagai

tambahan namanya, hal ini sebagai tanda pengenal keturunan kita agar tidak

saling baku hantam dan kita satu keturunan yang merasa senasib dan

sepenanggungan.

Setelah itu mereka berangkat dan rombongan yang tinggal di Durin

tani yang menempati daerah dataran rendah Karo yang berdekatan dengan

kota Medan sekarang. Rombongan si Karo yang mengikuti aliran sungai

Lau betimus menuju arah pegunungan. Dua hari lamanya mereka berada

dalam perjalanan melalui beberapa tempat yang kemudian dinamai Buluh

Hawar.

Tempat itu berpariasi berbukit dan dekat sungai. Tempat itu

kemudian disebut dengan desa Si Keben berdekatan dengan Bandar baru.

(34)

kesebuah bukit yang agak tinggi kemudian mengarahkan pandanganya ke

arah utara dan nampak olehnya batas laut dengan daratan dan dia merasa

tempat itu dekat dengan laut.

Akhirnya rombongan si Karo bergerak kembali meneruskan

perjalanan yaitu sebelah kiri gunung Barus sekarang. Dengan susah payah

mereka melintasi hutan rimba yang belum pernah di jamah manusia dan

tanahnya berlapis-lapis dan terlindung dari cahaya matahari. Suara burung

dan suara binatang masih banyak disekitar mereka. Setelah perjalanan

mereka tiba diatas dataran dekat gunung Barus. Mereka terkejut melihat

alam yang begitu indah dengan aneka ragam tumbuhan dan pepohonan

hutan. Keesokan harinya mereka berjalan ke tempat yang mereka pandang

indah. Menjelang tengah hari mereka tiba disana dan berhenti di bawah

pohon (jabi-jabi) sejenis pohon beringing.

Mereka semua berpendapat tempat itu cukup baik dan memberikan

ketenangan pikiran karena udara sejuk yang dekat dengan sungai Lau Biang

(35)

Si Karo mengambil segenggam tanah dan mengamati dan rasa tanah

itu belum sama beratnya dengan tanah negeri asal, maka di putuskan untuk

mencari tempat lain disekitar. Mereka kemudian memutuskan mencari

tempat lain disekitarnya. Dari sebuah bukit mereka melihat suatu dataran

yang agak luas diseberang sungai. Mereka menyuruh anjing

menyebaranginya, setelah kurang dua jam anjing tersebut mengibas-

ibaskan ekornya sebagai suatu tanda ada tempat yang baik ditempati.

Karena dipandu anjing maka tempat itu disebut sungai Lau Biang

yang berarti dapat diseberangi anjing. Tempat itu luas dan tanahnya subur,

si Karo pun mengulangi caranya menilai tanah. Terdapat kesesuaian tanah

di negeri asalnya dengan tanah tersebut

Anggota rombongan bersorak mendengar ucapan si Karo yang

kemudian dahulu dinamakan tempat itu mulawari berseberangan dengan

sungai si Capah yang sekarang dinamakan Seberaya daerah sekitarnya

dinamakan Sukapiring. Mulawari dahulu telah jadi talun karo (peninggalan

(36)

Sehari-hari mereka membuat rumah sederhana dari gubuk,

mengerjakan lahan pertanian dengan tebang bebas. Setelah itu jumlah

mereka bertambah sehingga berpindah ketempat lain diantaranya kuta Bale,

Samura, Seberaya, Sukanalu dan Suka. Demikianlah dan beratus tahun

bahkan ribuan tahun jumlahnya bertambah. Mereka menempati wilayah si

Karo kebarat sampai dengan Aceh dan selatan berbatasan dengan Tapanuli

Utara dan sampai ke Dairi, sedangkan Timur menempati daerah

Simalungun. Jadi pendatang si Karolah yang menjadi asal-usul nama Karo.

Ada juga yang mengatakan kerajaan Sukapiring didataran tinggi

Karo erat hubunganya sejarah putri hijau seorang raja di Deli yang

kerajaannya hancur akibat kerajaan aceh ceritanya ada di seberaya berkaitan

dengan putri hijau di deli tua. Memang ada perbedaan akan tetapi,

persamaan tokoh dan sisa perang yang ditinggalkan berupa pecahan meriam

Putri Hijau yang ada di Seberaya yang kemudian pindah ke Sukanalu yang

saat ini kita jumpai di kawasan Sitepu rumah ukir. Pecahan meriam Putri

Hijau di deli tua diletakkan dalam sebuah bangunan berbentuk rumah adat

(37)

Walaupun sementara ada pendapat suku Karo termasuk Sub Suku

keturunan Toba yang berasal dari gunung Pusuk Buhit hal tersebut menurut

buku yang penulis kurang logis dan tidak rasional. (Sitepu 1996 : 5 – 12)

4.2. Daerah Wilayah Budaya Masyarakat Karo

Suku Karo adalah salah satu sub suku yang berdiam di dataran

tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu dan sebagian daerah Dairi. Wilayah

tersebut merupakan bagian dari kabupaten Karo dengan ibu kota Kabanjahe

di propinsi Sumatera Utara. Menurut (Neuman dalam Saragih 1972:8)

Wilayah Karo adalah suatu wilayah yang luas, yang terlepas dari perbedaan

– perbedaan antar suku, yang menganggap dirinya termasuk ke dalam

Karo, yang berbeda dengan Toba, Pakpak, Simalungun. Seluruh

perpaduan suku – suku Karo diikat oleh suatu dialek yang dapat dimengerti

dimana- mana dan hampir tidak ada perbedaannya antara yang satu dengan

(38)

Secara geografis kabupaten ini berbatasan dengan kabupaten

Langkat dan Deli Serdang di bagian utara, kabupaten Dairi di bagian

selatan, kabupaten Simalungun di bagian timur, dan D.I. Aceh di bagian

barat.

Menurut Parlindungan dalam Saragih (2007-35) membagi wilayah

Karo menjadi dua bahagian yaitu wilayah Karo Gunung, wilayah ini

terletak 1000 meter di permukaan laut yang mencakup di sekitar gunung

Sinabung dan gunung Sibayak dan wilayah Karo Dusun 1000 meter di atas

permukaan laut. Wilayah ini berada diluar dari wilayah Karo Gunung.

Daerah ini boleh jadi mencakup Langkat, Deli Serdang, Simalungun,

Pakpak Dairi sampai tanah Alas.

Berdasarkan perkiraan Neumann dan Parlindungan di atas, wilayah

budaya Karo pada zaman sebelum kedatangan Belanda sangat luas. Namun

setelah kedatangan Belanda (Putro, 1981), Wilayah Karo ini di bagi atas

beberapa daerah. Pembagian ini bermotif kepentingan politik pemerintahan

(39)

1. Pada tahun 1908 (stbl no.604) ditetapkan batas- batas daerah kabupaten

Karo dengan kabupaten Dairi, dengan memasukkan daerah Karo

Baluren, sepanjang sungai Renun kecamatan tanah Pinem dan

kecamatan Lingga, masuk menjadi daerah kabupaten Dairi.

2. Pada tanggal 19 April 1912, dengan besluit Government Bijblad No.

7645, menetapkan batas- batas kabupaten Karo dengan kabupaten

Simalungun sekarang dengan memasukkan Urung Silima Kuta ke

dalam daerah tingkat II kabupaten Simalungun.

3. Pada tanggal 19 April 1912, dengan besluit government no.17, telah

ditetapkan pula batas antara kabupaten Karo sekarang dengan Deli

Hulu, dengan memisahkan seluruh pantai timur dengan kabupaten Karo

sekarang.

1. Karo Bingei, yang terdiri atas kecamatan Selapian dan kecamatan

Bahorok dimasukkan ke Kabupaten Langkat sekarang.

2. Karo Dusun, yang terdiri atas kecamatan Serbanyaman, kecamatan

Sunggal dan kecamatan Delitua dimasukkan ke kabupaten Deli

(40)

Pada masa penjajahan Belanda, pemerintahan jajahan Belanda

membagi daerah Karo menjadi 5 wilayah yang terdiri dari : a. wilayah

Lingga, b. wilayah Sarinembah, c. wilayah Suka, d. wilayah Barusjahe, dan

e. wilayah Kutabuluh. Dan masing-masing mempunyai beberapa desa. Pada

masa Pemerintahan Jepang, wilayah ini tidak mengalami perubahan.

Namun setelah Indonesia merdeka, wilayah ini masuk menjadi bagian

daerah tingkat II kabupaten Karo yang dikepalai oleh seorang Bupati yang

berkedudukan di Kabanjahe.

Hingga sampai sekarang kabupaten Karo terdiri dari 13 kecamatan

mencakup kecamatan Barus Jahe, kecamatan Tiga Panah, kecamatan

Kabanjahe, kecamatan Merek, kecamatan Payung, kecamatan Tigandreket,

kecamatan Kutabuluh, kecamatan Munte, kecamatan Laubaleng, kecamatan

Tiga Binanga, kecamatan Juhar , kecamatan Mardingding , dan kecamatan

Simpang Empat ( lokasi penulis meneliti).

Kabupaten daerah tingkat Karo ini mempunyai relief bergelombang

yang terdiri dari bukit-bukit dan gunung. Puncak tertinggi adalah gunung

(41)

Dairi. Daerah ini juga merupakan daerah vulkanik. Gunung yang aktif

adalah gunung Sinabung dan gunung Sibayak.

Kabupaten dati II Karo ini terletak pada koordinat 2 0 50 ‘ sampai 30

10 ‘ lintang utara dan 97 0 55’ sampai 98 0 38 ‘ bujur timur , dengan

ketinggian 140 m – 1400 m di atas permukaan laut. Luas kabupaten Karo

2.127, 25 Km2 atau 3,01 % dari wilayah Propinsi Sumatera Utara (lihat peta

kabupaten dati II Karo). Curah hujan tahunan berkisar 1000 hingga 4000

mm/tahun. Curah hujan maksimum jatuh pada bulan November dan

minimum pada bulan Juli. Suhu udara berkisar dari 16 0 hinggga 27 0

celsius dengan kelembaban udara rata- rata 82 %.

4.3. Sejarah Terbentuknya Desa Lingga

Asal usul desa Lingga berasal dari daerah Pak-pak. Seorang yang

bermarga Lingga di Pak-pak merantau ke kampung tersebut dan namanya

disebut Sitading Lingga, lama kelamaan nama tersebut berubah menjadi

(42)

Lingga orang Karo berasal dari orang Pak – pak yang merantau ke desa

Lingga. (Hasil wawancara penelitian)

4.4. Letak Geografis dan Sistem Sosial Desa Lingga

Suku Karo pada umumnya mendiami daerah tanah Karo sebagai

daerah pemirantahan Kabupaten Karo, yang meliputi : Kecamatan Brastagi,

Kecamatan Simpang Empat, Kecamatan Kabanjahe, Kecamatan Tiga

Panah, Kecamatan Lau Baleng, Kecamatan Juhar, Kecamatan Kuta Buluh,

Kecamatan Munthe, Kecamatan Mardinding, Kecamatan Merek.

Masyarakat Karo memiliki berbagai nilai budaya, salah satu

diantaranya adalah nilai budaya pada arsitektur tradisional yang ada pada

rumah adat. Hal ini pula yang menjadi penelitian penulis. Penulis

memfokuskan objek penelitian di kecamatan Simpang Empat, dan menitik

beratkan permasalahan pada fungsi ornamen tradisional rumah adat

masyarakat Karo yang ada di desa Lingga kecamatan Simpang Empat

(43)

Desa Lingga merupakan desa pertanian, yang mayoritas

penduduknya bermata pencaharian petani, pedagang, dan pegawai. Luas

desa lingga adalah 2624 Ha.

Sebelah Utara berbatasan dengan desa Surbakti,

Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Kacaribu,

Sebelah Timur berbatasan dengan desa Kaban, dan

Sebelah Barat berbatasan dengan desa Nang belawan.

Jarak desa Lingga dengan Ibukota Kabanjahe lebih kurang 4,5 km.

4.5. Ornamen Rumah Adat Karo

Rumah adat Karo merupakan bangunan tradisional yang ditandai

ornamen yang keseluruhan ornamen memiliki hal – hal yang berhubungan

dengan lambang yang bermakna adat istiadat. Dalam pembuatan ornamen

rumah adat Karo akan melewati berbagai proses perencanaan yang matang

dan tidak terlepas dari adat istiadat yang telah ditetapkan sebagai sumber

hukum yang berlaku di tengah – tengah masyarakat, melalui sidang adat

raja, yang kemudian dikirim kepada ahli kesenian (penggerga) yang

(44)

Setiap lembar papan yang dihiasi ornamen pada masyarakat Karo

ada yang bermakna keindahan, kekeluargaan dan yang mengandung unsur

mistik untuk menjaga pemilik rumah dan sebagai pengerat sistim

kekeluargaan pada masyarakat Karo. Ornamen yang diteliti pada skripsi ini

adalah ornamen yang terdapat pada Rumah adat Karo.

4. 5.1. Ornamen Lumut-lumut Lawit

a. Bentuk

Ornamen Lumut-lumut lawit berbentuk persegi empat sama sisi yang

(45)

Kotak-kotak tersebut terdiri dari empat bagian. Antara bagian yang

pertama, kedua, ketiga dan ke empat memiliki sisi yang sama. Adapun

panjang, lebar dan luas dari masing-masing kotak berukuran sama.

Kotak-kotak pada bagian tengah tersebut berwarna putih, sedangkan sisi yang

menutupi kotak-kotak tersebut berwarna hitam.

Ornamen Lumut-lumut lawit bermotif geometris karena merupakan

gambaran tumbuh-tumbuhan yang ada di alam laut. Adapun ornamen ini

diambil dari gambaran rumput laut dengan lumut-lumut yang bertebaran di

laut pada batu karang. Rumput laut yang licin akan menjaga batu karang

yang merupakan kekuatan untuk menjaga kelangsungan hidupnya di alam

laut dari segala macam gangguan yang di timbulkan oleh alam dan manusia

untuk merusak laut.

Hal tersebutlah yang melatarbelakangi masyarakat Karo membentuk

ornamen Lumut-lumut lawit yang mereka percaya dapat menggelincirkan

(46)

Ornamen ini terbuat dari bambu yang dibelah dan dianyam

sedemikian rupa membentuk segi empat yang diletakkan pada ayo-ayo

depan rumah adat Karo.

Adapun bambu yang dianyam itu diberikan warna hitam dan putih

yang merupakan tiruan dari batu karang dan Lumut yang mana lumut

berwarna hitam sedangkan batu karang berwarna putih.

b.Fungsi

Ornamen Lumut-lumut lawit diatas diletakkan pada ayo-ayo rumah

adat Karo yang berfungsi yakni:

1. Penolakan kepada segala niat jahat

Penolakan berarti menepis segala hal-hal yang tidak baik karena

masyarakat Karo pada zaman dahulu masih percaya akan adanya roh-ro0h

jahat yang hendak mengganggu ketentraman rumah. Roh-roh jahat itu

dikirim melalui bantuan dukun yang gunanya untuk merusak dan

membinasakan orang yang tinggal di rumah, sehingga mereka mempercayai

ornamen Lumut-lumut lawit dapat dijadikan penangkal untuk

(47)

2. Sebagai ventilasi udara

Ornamen Lumut-lumut lawit di letakkan pada ayo-ayo depan rumah

adat Karo memiliki fungsi sebagai ventilasi udara. Ornamen ini akan

memberikan cahaya matahari karena ornamen ini diletakkan pada ayo-ayo

rumah adat yang dibuat dengan cara dianyam sehingga udara segar masuk

melalui ornamen tersebut.

c. Makna

Lumut-lumut lawit dalam masyarakat Karo memiliki makna berupa

keamanan. Ornamen Lumut-lumut lawit akan menjaga keamanan dari

setiap anggota keluarga dari segala niat jahat orang. Niat jahat tersebut

bentuknya tidak terlihat karena dibuat untuk menghancurkan dan

membinasakan orang yang ada dalam rumah adat. Roh-roh jahat tersebut

dikirim dengan bantuan dukun yang berusaha untuk merusak keharmonisan

(48)

Niat jahat orang tersebut akan menjadikan pertengkaran antara satu

keluarga dengan keluarga lainnya yang tinggal di rumah adat. Kekuatan

jahat tersebut juga dapat membinasakan orang yang ada di rumah adat.

Dengan datangnya penyakit yang secara tiba-tiba sehingga sebelum terjadi

hal-hal tersebut harus dicegah.

Ornamen Lumut-lumut lawit di percaya dapat menghancurkan niat

jahat tersebut dan menjaga ketentraman anggota keluarga yang ada dalam

rumah adat. Ornamen Lumut-lumut lawit dipercaya dapat menghalau dan

menggelincirkan segala niat jahat orang tersebut sehingga ketentraman

(49)

4.5.2. Ornamen Bindu Matagah

a. Bentuk

Bentuk ornamen ini berupa garis yang menyilang diagonal dan

membentuk persegi yang melambangkan pesilah simehuli (menyingkirkan

yang tidak baik). Penyingkiran yang tidak baik itu merupakan kekuatan

ornamen Bindu Matagah untuk menjaga lingkungan dan manusia dari

roh-roh alam semesta yang ditimbulkan oleh manusia sendiri ataupun alam

(50)

adalah kayu yang tehnik pembuatannya di ukir dan dibuat garis menyilang

membentuk persegi.

b. Fungsi

Ornamen ini memiliki fungsi sebagai penyingkir yang tidak baik

dalam masyarakat Karo yang memiliki arti apabila seorang tamu hendak

memasuki kampung atau rumah maka ornamen Bindu Matagah akan

dilukiskan di tanah dan tamu tersebut harus memijak ornamen Bindu

Matagah.

Ada anggapan masyarakat bahwa tidak semua orang mempunyai

sifat baik apalagi kalau ada orang asing yang datang ke kampung atau ke

rumah, maka orang tersebut harus memijak ornamen bindu matagah dengan

kaki kanan agar supaya segala niat jahat yang mungkin di bawa orang

tersebut hilang, dan tidak masuk ke rumah atau kampung, sehingga

ketentraman tetap terjaga.

Ornamen ini juga berfungsi untuk menjaga pemilik rumah atau orang

kampung yang sedang berburu kehutan. Apabila penghuni kampung di

(51)

seperti ular, harimau dan hewan-hewan liar yang berusaha mengganggu dan

mengancam jiwa mereka, maka ornament ini dilukiskan ditanah dan

dipijakkan dengan kaki kanan, maka hal-hal buruk tidak akan terjadi.

c. Makna

Makna yang terdapat pada ornamen ini adalah makna kekuatan dan

makna kepercayaan

1. Makna Kekuatan

Ornamen Bindu Matagah mempunyai kekuatan untuk menjaga orang

kampung dari niat jahat orang ketika mereka kedatangan tamu dari luar

desa yang tidak dikenal.

Masyarakat Karo menganggap setiap orang yang tidak dikenal

belum tentu mempunyai niat baik maka ornamen Bindu Matagah akan

memiliki kekuatan untuk menjaga orang kampung dan pemilik rumah dari

segala ancaman dan gangguan yang datangnya terlihat maupun tidak

(52)

Gangguan yang terlihat seperti merusak hubungan persaudaraan

masyarakat yang menghuni kampung dan gangguan yang tidak terlihat

berupa gangguan yang dikirim lewat udara dengan bantuan dukun.

2. Makna kepercayaan

Makna Kepercayaan terlihat dari kepercayaan masyarakat Karo pada

ornamen Bindu Matagah saat kedatangan tamu, tamu tersebut harus

memijak ornamen Bindu Matagah dengan kaki kanan agar niat jahat tidak

masuk ke kampung atau kerumah. Ornamen ini juga dipercaya akan

memperkuat roh orang yang akan berburu kehutan ketika mereka berjumpa

dengan hewan binatang buas di hutan dengan melukisan ornamen ini di

(53)

4.5.3. Ornamen Embun Sikawiten

a. Bentuk

Ornamen ini bermotif alam yang merupakan tiruan dari awan akan

tetapi ornamen ini dibuat menyerupai gambar bunga yang menjalar

membentuk segitiga. Ornamen ini merupakan gambar awan yang beriring

dilangit yang memiliki gumpalan tebal yang ketika lapisan awan atas

bergerak maka bayangan awan dibawahnya akan ikut.

Terjemahan secara bebas ornamen ini adalah awan yang berkaitan

atau rangkaian awan yang beriringan yang berarti rakut sitelu dalam

masyarakat Karo. Lapisan awan atas menunjukkan Kalimbubu dan lapisan

(54)

Bahan dasar ornamen ini adalah kayu yang tehnik pembuatannya di

ukir dan dipahat sesuai gambar awan yang beriringan. Warna dasar

ornamen diambil dari warna bunga yang merah yang berarti kekuatan

kalimbubu dalam acara adat Karo yang menjaga keharmonisan

kekeluargaannya dengan anak berru.

b. Fungsi

Ornamen Embun Sikawiten merupakan gambar alam yang berupa

segitiga yang memiliki bayangan yang berfungsi menunjukkan hubungan

kalimbubu dan anak berru yang posisinya berbeda yaitu kalimbubu di atas

dan anak berru di bawah sesuai dengan gambar awan yang beriringan.

Dalam masyarakat Karo, kalimbubu memegang peranan yang

penting, orang yang sangat dihormati dan disegani. Masyarakat Karo

percaya menghormati kalimbubu akan mendapatkan usaha dan rejeki yang

baik. Oleh karena itu kalimbubu disebut juga Dibata Idah yang maksudnya

(55)

Anak Berru ialah pihak keluarga Laki-laki yang kawin atau

mengambil anak perempuan suatu keluarga dan kalimbubunya ialah pihak

keluarga perempuan yang dikawininya. Dan anak berru harus menghormati

kalimbubunya dan kalimbubu akan memberikan perlindungan kepada anak

berru.

Ornamen ini juga berfungsi untuk menolak segala niat jahat orang

yang berusaha untuk mengganggu ketentraman satu keluarga anak berru

yang memiliki konflik. Posisi kalimbubu sebagai pelindung anak berru akan

terlihat dan kalimbubu akan membuat keputusan yang baik sesuai dengan

warna merah yang berarti pemberi semangat pada ornamen Embun

Sikawiten.

c. Makna

Makna yang terdapat pada ornamen Embun Sikawiten ialah makna

kekeluargaan. Makna kekeluargaan itu terlihat dari hubungan antara

kalimbubu dan anak berru. Ornamen Embun Sikawiten berarti rakut sitellu

(56)

terpisahkan dalam masyarakat Karo. Sebagai contoh perkawinan antara

marga dan sub marga dalam masyarakat Karo.

Perkawinan tersebut menghasilkan keturunan baru disamping ada

keluarga lama, maka terjadilah pertukaran kedudukan dan fungsi pihak

keluarga laki-laki dinamakan anak berru pihak keluarga perempuan. Dan

selanjutnya kelurga pihak perempuan disebut kalimbubu oleh pihak

keluarga laki-laki. Dan hal ini yang menimbulkan kekelurgaan yang di

sebut rakut sitellu.

Rakut artinya suatu ikatan dan sitellu artinya kelengkapan dari tiga

unsur. Selain itu ornamen ini juga mempunyai makna keindahan yang

memberikan kesan indah pada dapur-dapur rumah adat Karo. Unsur mistik

dalam ornament ini tidak ada , akan tetapi ornament ini menunjukkan rakut

(57)

4.5.4. Ornamen Cimba Lau (Tutup Dadu)

a. Bentuk

Ornamen ini bermotif geometris (alam) yang membentuk persegi

panjang dengan garis-garis melintang membentuk tutup stoples pada bagian

dalamnya. Bahan dasar ornamen ini adalah papan (ayo-ayo) yang di ukir

dan dipahat membentuk tutup stoples melintang.

Warna dasar ornamen ini ialah hitam dan putih yang mana ornamen

ini menunjukkan awan hitam yang berarak di langit yang akan segera

menunjukkan datangnya hujan. Ornamen ini terdapat pada bagian atas dan

(58)

Ornamen yang merupakan bentuk awan yang berarak di langit

menunjukkan doa masyarakat Karo kepada sang pencipta yang memberikan

kecerahan pada hidup mereka.

b. Fungsi

Ornamen Cimba Lau (Tutup Dadu) diletakkan pada dapur-dapur

rumah adat Karo yang berfungsi sebagai:

1. Doa masyarakat Karo kepada penciptanya.

Masyarakat Karo pada zaman dahulu percaya pada kekuatan gaib

dan roh-roh halus sebagai suatu bentuk kekuatan yang dapat

membahagiakan dan menghancurkan. Oleh karena itu kepercayaan

animesme merupakan sistem religius yang mereka anut. Kepercayaan

kepada Dibata atas, Dibata tengah dan Dibata Terruh dibagi lagi atas

beberapa bagian seperti kepercayaan akan adanya pembagian sibiak atau

Dewa yang mereka yakini sudah mempunyai peranan masing-masing.

Doa masyarakat Karo pada langit menunjukkan permohonan mereka

pada Dewa hujan agar ketika mereka bertanam diturunkan hujan yang

(59)

2. Ornamen ini berfungsi sebagai hiasan yang memperindah rumah adat

Karo. Ornamen Cimba Lau tidak mengandung unsur mistik akan tetapi

hanya merupakan sebagai keindahan dan doa masyarakat Karo pada

penciptanya.

c. Makna

Makna yang terdapat pada ornamen Cimba Lau ini tidak jauh dari

fungsinya yaitu sebagai makna keindahan dan makna kepercayaan.

1. Makna keindahan

Makna keindahan itu terlihat pada ornamen Cimba Lau yang

memberikan kesan keindahan pada dapur-dapur sepanjang rumah adat

Karo.

2. Makna kepercayaan.

Makna Kepercayaan terlihat pada upacara-upacara ritual masyarakat

Karo seperti dalam meminta hujan akibat terjadinya kekeringan pada suatu

kampung. Kekeringan tersebut akan mengganggu pertumbuhan tanaman

yang akan menguning. Air yang ada di sungaipun sudah mulai surut

(60)

(sibiak udan), agar hujan turun dengan acara ritual yang diadakan di sungai

yang dikenal dengan nama ndilo wari udan.

4.5.5. Ornamen Pengret-ret (Pengerat)

a. Bentuk

Bentuk Ornamen yang terdapat pada gambar ini bila di perhatikan

secara seksama akan hampir mirip dengan rupa hewan yang menyerupai

gambar cecak. Ornamen ini memiliki lambang yang berupa kekuatan.

Ornamen ini dalam masyarakat Karo diartikan sebagai lambang

untuk memperkuat derpih rumah adat Karo. Dalam pembuatan ornamen

(61)

cecak. Ornamen ini juga yang menghubungkan tiap lembar papan dalam

pembuatan rumah adat Karo.

Ornamen pengeret-ret sebagai paku yang mempunyai kekuatan

untuk memperkuat tiap lembar papan yang terdapat pada rumah adat Karo.

Ketahanan rumah adat juga berkisar empat ratus tahun di tempat penulis

mengadakan penelitian. Bahan dasar ornamen ini adalah sejenis tali (ijuk)

yang dibentuk membentuk cecak dan lengket pada derpih rumah adat Karo.

b. Fungsi

Pengret-ret ini dalam masyarakat Karo diletakan pada derpih depan

rumah adat Karo yang berfungsi sebagai

1. Tolak Bala

Tolak bala merupakan penolakan masyarakat Karo terhadap segala

bahaya yang datangnya dari roh-roh jahat di udara yang dapat mengganggu

ketentraman orang yang berada dalam rumah adat.

Didalam rumah adat Karo terdiri dari delapan rumah tangga yang

semuanya diikat oleh rasa kesatuan yang merasa senasib sepenanggugan,

(62)

datangnya dari luar mereka percaya bahwa ornamen pengret-ret akan

menjaga mereka.

2. Pagar Rumah

Ornamen ini merupakan pagar rumah yang berfungsi menjaga

pemilik rumah dari orang yang berusaha untuk mengganggu ketentraman

dari pemilik rumah. Mereka percaya bahwa kekuatan jahat yang ada di

sekitar mereka dapat merusak keharmonisan yang ada dalam rumah adat.

Untuk menghalau kekuatan jahat itu mereka percaya bahwa ornamen

pengeret-ret sebagai penolak kekuatan jahat

pelindung yang melindungi seisi rumah orang tersebut agar terhindar dari

perbuatan jahat orang lain yang memiliki niat yang akan mengganggu

ketentraman orang yang ada dalam rumah adat.

c. Makna

Makna dalam ornamen pengret-ret ini tidak jauh dari fungsinya

yaitu sebagai makna kekuatan dan kepercayaan.

a. Makna kekuatan ini ditunjukkan pada saat pembangunan rumah yang

(63)

mempergunakan pengret-ret sebagai paku yang merupakan tali yang

mengikat setiap lembar papan yang ada dalam rumah adat. Masyarakat

Karo memiliki keyakinan pengret-ret lebih kuat untuk menjaga

ketahanan rumah dari gangguan alam seperti gempa, karena setiap

lembar yang di ikat oleh pengret-ret lebih kuat dan lebih tahan lama.

b. Makna Kepercayaan dimana mereka percaya bahwa ornamen pengret-ret

memberikan perlindungan yang menolak segala niat jahat orang dan

sebagai pagar rumah yang melindungi orang yang ada dalam rumah.

4.5.6. Ornamen Bendi-Bendi

a. Bentuk

Ornamen di atas berbentuk satu garis panjang dengan tiga lubang

(64)

pegangan apabila memasuki rumah adat. Ornamen tersebut dipahat dari

bahan kayu. Adapun bahan kayu yang membentuk ornamen ini disebut

kempawa.

Kempawa memiliki arti kayu yang sudah tua. Kayu yang sudah tua

itu dipahat hingga membentuk setengah lingkaran. Ornamen ini berwarna

hitam dan pada bagian kiri dan kanan pintu rumah adat Karo. Ornamen ini

ditempatkan pada bagian kiri dan kanan pintu rumah adat Karo agar

menjadi pegangan ketika masuk ke rumah. Ornamen tersebut juga sebagai

pegangan ibu-ibu hamil saat proses persalinan.

b. Fungsi

Ornamen Bendi – bendi di atas diletakkan padasebelah kiri dan

kanan pintu rumah adapt Karo yang memiliki fungsi

a. Pegangan ketika akan memasuki rumah

Ornamen Bendi-bendi diletakkan pada pintu sebelah kiri dan kanan

rumah adat Karo disebabkan karena bendi-bendi sebagai pegangan saat

(65)

kita memegang bendi-bendi sebagai pegangan dan penyambut kedatangan

kita untuk masuk dan melangkahkan kaki untuk masuk kerumah.

b. Pegangan ibu-ibu hamil saat melakukan proses persalinan

Ornamen Bendi-bendi juga merupakan pegangan Ibu-ibu hamil saat

proses persalinan. Saat akan melakukan proses persalinan ibu-ibu hamil

akan didudukkan di atas danggulen (pijakan waktu akan memasuki rumah)

dan tangan ibu tersebut akan di ikatkan pada ornamen Bendi-bendi yang

berfungsi sebagai pegangan dan dukun beranak (sibaso) akan memulai

proses persalinan.

c. Makna

Makna yang terdapat pada ornament Bendi-bendi ialah makna

kekuatan dan makna komunikasi.

a. Makna kekuatan

Makna kekuatan ini ditunjukkan pada kekuatan seorang ibu ketika

akan melahirkan anaknya dimana pada saat proses persalinan ibu yang akan

(66)

saat itu dunia kedokteran belum mereka kenal jadi ibu tersebut hanya di

temani sibaso (dukun beranak) dalam proses persalinan.

b. Makna Komunikasi

Ornamen ini bermakna komunikasi yang menunjukkan hubungan

komunikasi antara penghuni rumah dengan lingkungan tempat mereka

tinggal. Bendi-bendi yang berada didekat pintu masuk merupakan

pengalo-alo (penyambut tamu) yang menunjukkan sikap keterbukaan masyarakat

Karo dengan dunia luar. Namun keterbukaan itu ada batasnya sesuai dengan

etika. Apabila tergantung seutas benang pada ornamen Bendi-bendi tamu

tersebut harus masuk melalui pintu yang lain.

4.5.7. Ornamen Bunga Gundur Sitelinen

a. Bentuk

Ornamen ini memiliki bentuk persegi dengan dihiasi kotak-kotak.

(67)

Bunga tersebut merupakan bunga labu yang saling menelan.

Ornamen ini berbentuk kotak-kotak yang merupakan tiruan dari gambar

bunga labu. Yang setiap kotak yang di gambarkan pada ornamen memiliki

sisi, lebar dan luas yang sama.

Ornamen ini dapat kita lihat pada bagian depan (ayo-ayo) rumah

adat Karo, dengan warna dasar hitam dan putih, di katakan ayo-ayo karena

memiliki arti bahwa benda yang dipergunakan dalam pembuatan ornamen

tersebut terbuat dari bambu yang di iris tipis-tipis lalu dianyam membentuk

rupa bunga labu yang saling.

Bentuk yang melatar belakangi pembuatan pada ornamen ini di latar

belakangi oleh masyarakat Karo yang melihat bunga labu yang saling

menelan menunjukkan kelemahan dari bunga yang merupakan sebagai

suatu bentuk perlawanan masyarakat Karo terhadap musuh.

b. Fungsi

Ornamen ini diletakkan pada ayo-ayo rumah adat Karo yang

memiliki fungsi

1. Mengetahui kelemahan lawan

(68)

Bunga tersebut yang melatar belakangi masyarakat Karo untuk melihat

segala kelemahan dari pada lawan yang berusaha untuk mengganggu

ketentraman rumah dan kampung yang ada pada masyarakat Karo.

2. Sebagai ventilasi udara

Ornamen ini diletakkan pada ayo-ayo rumah adapt Karo berfungsi

sebagai ventilasi udara yang memberikan kesegaran pada rumah adat

karena ornament ini di tempatkan di atas bagian depan yang berbentuk

segitiga dari rumah adat Karo.

c. Makna

Ornamen Bunga Gundur Sitelinen merupakan gambaran bunga labu

yang saling menelan. Ornamen ini mempunyai makna sebagai keamanan.

Keamanan yang ditunjukkan pada ornamen Bunga Gundur Sitelinen

dimana ornamen ini sebagai pelindung yang melindungi anggota keluarga

yang ada dalam rumah adat dengan mempelajari setiap kelemahan dari

pada lawan.

(69)

melatarbelakangi pembuatan ornamen ini pada ayo-ayo rumah adat Karo.

Perlindungan tersebut berupa kekuatan dari pada lawan yang ingin merusak

kampung atau anggota keluarga dengan mengetahui maksud jahat orang

tersebut sehingga bisa dibuat penangkal dan kampong atau orang yang

berada dalam rumah adat terlindungi.

4.5.8. Ornamen Ser-ser Sigembel

a. Bentuk

Ornamen ini berbentuk persegi empat sama sisi, yang bahagian

tengahnya membentuk kotak-kotak membentuk persegi panjang yang

(70)

keempat memiliki sisi yang sama dan bagian dalam ornamen membentuk

persegi panjang.

Ornamen ini terdapat pada ayo-ayo depan rumah adat Karo dengan

warna dasar hitam. Ornamen ini dibuat dengan cara dianyam dari bambu

yang diiris tipis dan dibelah membentuk kotak persegi dan persegi panjang

yang menunjukkan pembagian tugas kepala keluarga yang ada di dalam

rumah adat dan kesatuan mereka untuk bermusyawarah dalam mengambil

keputusan.

b. Fungsi

Ornamen ini diletakkan pada Ayo-ayo rumah adat Karo yang

mempunyai fungsi

Sebagai penolak segala bala yang ada pada masyarakat Karo yang

mengganggu ketentraman rumah. Setiap bahaya datangnya tidak

disangka-sangka maka setiap anggota keluarga yang berada dalam rumah adat akan

(71)

Ornamen ini juga memperlihatkan tugas dari masing-masing kepala

keluarga yang ada dalam rumah adat.

Didalam Rumah adat masyarakat Karo terdiri dari delapan keluarga

maka setiap keluarga menempati masing-masing jabu dan dua keluarga

memiliki satu tempat masak.

Kepala keluarga yang ada dalam rumah adat tersebut juga memiliki

fungsi sendiri –sendiri dalam rangkaian pengelolaan kegiatan masyarakat

terkecil dirumah itu. Ada yang berfungsi sebagai kepala dari seluruh

penghuni rumah, petugas keamanan dan penghubung pemberi kabar

informasi, penjaga ketentraman, juru bicara, pemberi nasihat.

Masing-masing cara kerja kepala keluarga sudah ditentukan melalui musyawarah.

Ornamen Ser-ser Sigembel yang diletakkan pada ayo-ayo rumah

adat Karo juga memiliki fungsi sebagai ventilasi udara yang memberikan

(72)

c. Makna

Saat kita melihat ornamen diatas maka terdapat makna

kebijaksanaan dan kepercayaan.

1. Makna Kebijaksanaan

Penghuni rumah adat masyarakat Karo terdiri dari delapan keluarga

yang menempati rumah adat maka dalam urusan untuk ketentraman rumah

perlu diambil suatu keputusan yang tidak merugikan salah satu keluarga

maka diambil suatu kebijaksanaan. Hal ini terlihat jika sekiranya dalam

rumah adat itu terjadi suatu kecurangan ataupun pertengkaran maka

pertama sekali personalannya diselesaikan oleh anggota-anggota keluarga

penghuni rumah dan ada pihak yang membuka persoalan (anak berru) dan

pihak yang tertuduh juga dapat membela dirinya baik oleh dirinya maupun

anak sampai penyelesaian masalah ditemukan.

2. Makna Kepercayaan

Ornamen ini bermakna kepercayaan, karena mereka percaya setiap

bahaya datangnya tidak disangka-sangka maka setiap anggota keluarga

(73)

4.5.9. Ornamen Taruk-taruk

a. Bentuk

Ornamen ini berbentuk gambar bunga yang merupakan tiruan dari

tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan itu merupakan sulur labu yang

menjalar. Tumbuhan Sulur labu yang menjalar menunjukkan kesuburan dan

kemakmuran yang memberikan kebahagian.

Kebahagian itu didapatkan dari hasil pengolahan pertanian yang

akan mendatangkan rejeki yang baik pada masyarakat Karo. Hal inilah yang

melatarbelakangi masyarakat Karo membentuk ornamen Taruk-taruk yang

(74)

Ornamen ini di bentuk dengan teknik tatah dan diberi warna sesuai

dengan gambar Sulur labu yang menjalar.

b. Fungsi

Ornamen Taruk-taruk di atas diletakkan pada dapur-dapur rumah

adat Karo yang berfungsi sebagai hiasan yang memperindah sepanjang

dapur-dapur rumah adat Karo. Keindahan dari sulur labu ditunjukkan pada

pertanian Karo yang sampai pada saat sekarang ini masih dapat terlihat.

Sulur labu yang menjalar menunjukkan kesuburan pertanian Karo yang

pada umumnya masyarakat Karo menyukai pertanian sebagai mata

pencaharian mereka. Pertanian juga memberikan rejeki yang baik pada

masyarakat Karo.

c. Makna

Makna yang terdapat pada ornamen Taruk-taruk ialah makna

(75)

atau orang yang bekerja dilembaga instansi juga akan menyempatkan waktu

kosongnya dengan bertani.

Pertanian yang ada di Karo dengan menanam sayur mayur,

buah-buahan dan padi sebagai tanaman yang mereka anggap mendatangkan

rejeki yang baik.

Penanaman yang dilakukan juga bertukar-tukar menurut musim

tanam masing-masing sehingga mendatangkan rejeki yang baik bagi

mereka. Pada zaman dahulu tanah yang mereka olah adalah tanah adat yang

berdasarkan keturunan. Pelaksanaan pengolahan tanah juga dengan gotong

royong yang disebut dengan aron (kelompok kerja) sehingga pekerjaan juga

cepat selesai.

Akan tetapi pada saat sekarang ini pengolahan tanah tidak

berdasarkan tanah adat lagi, tetapi menurut kemampuan ekonomi yang ada

(76)

4.5.10. Ornamen Pantil Manggis

a. Bentuk

Ornamen ini berbentuk persegi empat yang bagian tengahnya dibagi

atas empat bagian seperti gambar kelopak bunga. Antara kelopak bunga

yang pertama, kedua, ketiga dan ke empat memiliki ukuran yang sama.

Keempat kelopak bunga tersebut berwarna putih dan persegi dan yang

menutupi kelopak tersebut berwarna hitam.

Ornamen ini bermotif tumbuh-tumbuhan berupa bagian bawah buah

manggis. Bagian bawah buah manggis tersebut menunjukkan isi dari pada

(77)

Adapun ornamen ini bermotif tumbuh-tumbuhan karena merupakan

tiruan dari buah manggis dan isi dari buah manggis. Warna hitam persegi

pada ornamen ini menunjukkan kulit dari buah manggis dan putih yang

membentuk kelopak bunga menunjukkan isi dari buah manggis tersebut.

Bahan dasar ornamen ini adalah papan (ayo-ayo) yang tehnik

pembuatannya dengan cara di ukir yang menyerupai bagian bawah buah

manggis dengan warna dasar putih membentuk kelopak bunga yang setiap

bentuknya sama.

b. Fungsi

Ornamen pantil manggis diatas di letakkan pada dapur-dapur rumah

adat Karo yang berfungsi sebagai

1. Hiasan yang memperindah rumah adat Karo. Bunga yang merupakan

bagian bawah buah manggis akan memberikan kesan indah pada

dapur-dapur rumah adat Karo.

2. Ornamen Pantil Manggis juga menunjukkan kemurah hatian masyarakat

Gambar

gambar cecak. Ornamen ini memiliki lambang yang berupa kekuatan.
gambar bintang. Ornamen ini diambil dari gambaran alam berupa gambar

Referensi

Dokumen terkait

Sejauh mana nilai-nilai pedagogis dan nilai estetis yang terkandung pada makna simbol ornamen rumah adat Batak Toba tersebut mampu memberikan konstribusi

Ornamen yang terdapat pintu, tiang penyangga, dan atas atap Vihara Setia Dharma Vihara Sanatha Maitreya, Vihara Setia Dharma, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin berupa ornamen

Apa makna ornamen pintu, atas atap, dan tiang penyangga pada Vihara Setia. Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li

dan Lonto Engal .Penelitian ini bertujuan untuk mengenal lebih dalam ornamen khas Sumbawa yaitu Kemang Satange dan Lonto Engal serta makna yang terkandung pada ornamen

Hasil temuan yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1 dari kajian makna semiotik budaya yang terdapat dalam bangunan Masjid Cheng Hoo Palembang ini yaitu sebagai berikut: i

landek, menganalisis fungsi landek sebagai media komunikasi dan kesinambungan budaya, makna landek dan proses landek ketika menari yang melibatkan sistem kekerabatan

Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerjasama dengan..

Mbaru Niang Utama yaitu Mbaru Gendang sebagai objek utama, dan bagaimana fungsi dan makna ruang pada lantai dasar pada Mbaru Niang yang menjadi batasan