SKRIPSI SARJANA
FUNGSI DAN MAKNA ORNAMEN RUMAH
ADAT KARO : KAJIAN SEMIOTIK
DIKERJAKAN : O
L E H
NAMA : AFRINA BERLIANA SILALAHI NIM : 030703011
h
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA DAERAH JURUSAN SASTRA BATAK
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN
FUNGSI DAN MAKNA ORNAMEN RUMAH ADAT KARO : KAJIAN SEMIOTIK
DIKERJAKAN :
DIKETAHUI /DISETUJUI, OLEH :
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. Jekmen Sinulingga. M, Hum
NIP. 131837558 NIP . 131785647
Drs. Baharuddin, M. Hum
Departemen Sastra Daerah Ketua,
NIP . 131785647 Drs. Baharuddin, M. Hum
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA DAERAH JURUSAN SASTRA BATAK
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN
Abstrak
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang terdiri dari
berbagai suku yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Setiap suku
memiliki kebudayaan, tradisi dan adat istiadat yang berbeda dan beraneka
ragam. Hal inilah yang menjadikan kekayaan tradisi bangsa salah satunya
suku Karo.
Suku Karo pada umumnya berdiam di daerah pegunungan seperti
Berastagi dan Kabanjahe. Sebab di daerah tersebutlah banyak dijumpai
orang yang mayoritas Karo dan mengetahui tentang adat istiadat dan
kebudayaan Karo. Salah satunya Ornamen yang terdapat di Rumah Adat
Karo, yang ada di desa Lingga Kabanjahe.
Kebudayaan ialah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
Koenjaraningrat (1974:5) menyatakan rumah adat Karo merupakan
hasil karya masyarakat Karo yang diikat oleh rasa kekeluargaan dan gotong
royong sehingga menghasilkan nilai seni yang tinggi.
Rumah adat Karo tersebut ketahanannya juga bisa mencapai ratusan
tahun dan tahan terhadap gempa. Pembuatan rumah adat tersebut juga tidak
memakai paku sebagai alat bangunan, dikarenakan masyarakat Karo pada
zaman dahulu percaya akan adanya tanah yang baik dan buruk. Sehingga
untuk membuat rumah masyarakat Karo pada zaman dahulu memanggil
guru (dukun) yang bertujuan untuk mengetahui apakah tanah tersebut dapat
didirikan Rumah Adat Karo, Sitepu (1996 : 69).
Selain itu di atas rumah adat Karo diletakkan sepasang tanduk
kerbau, ada yang dua ada yang empat, hal itu dikarenakan masyarakat Karo
pada zaman dahulu percaya bahwa kepala kerbau sebagai lambang
skekuatan yang apabila tanduk kerbau belum dipasang rumah adat Karo
Penelitian ini merupakan penelitian tentang tanda yang di tinjau dari
segi kebudayaan yang terfokus pada ornamen rumah adat Karo. Ornamen
merupakan suatu unsur yang memperindah bangunan, baik berupa
bangunan hunian biasa, rumah besar berupa bangunan adat ataupun
bangunan istana.
Pada hakikatnya, setiap bangunan di beri tanda hiasan – hiasan
berupa ornamen yang memberikan kesan keagungan serta keindahan pada
bangunan tersebut. Banyak bangunan tradisional berupa peninggalan masa
lalu diberi dan dilengkapi dengan tanda hiasan – hiasan, baik berupa
ornamen atau berupa pahatan – pahatan maupun ukiran ( Situmorang, 1997
: 54 ).
Penggunaan tanda hiasan – hiasan tersebut sering memberi suatu
makna khusus terhadap bangunan sehingga antara bangunan dengan hiasan
menjadi suatu kesatuan utuh dalam perwujudannya sebagai bangunan yang
diagungkan. Konsep penyatuan tanda hiasan pada bangunan merupakan
suatu tradisi yang dilakukan oleh para perancang bangunan pada masa lalu
Rumah adat Karo merupakan bangunan tradisional yang ditandai
ornamen yang keseluruhan ornamen memiliki hal – hal yang berhubungan
dengan lambang yang bermakna adat istiadat. Dalam pembuatan ornamen
rumah adat Karo akan melewati berbagai proses perencanaan yang matang
dan tidak terlepas dari adat istiadat yang telah ditetapkan sebagai sumber
hukum yang berlaku di tengah – tengah masyarakat, melalui sidang adat
raja, yang kemudian dikirim kepada ahli kesenian (penggerga) yang
mendapat perintah dari pengulu taneh.
Warna sebagai tanda juga mendominasi masyarakat Karo pada
zaman dahulu menurut sembiring (1995 :186) ialah merah, putih dan hitam,
sehingga warna tersebutlah yang dipergunakan untuk mendominasi
ornamen rumah adat Karo. Pemikiran yang melatarbelakangi terhadap
pendominasian warna dalam kehidupan mereka sehari-hari yaitu
kepercayaan yang menjaga mereka bersumber dari telu sedalenan ‘tiga
Menurut tradisi masyarakat Karo dalam warna merah mengandung
makna terhadap kegairahan untuk hidup. Gairah untuk hidup itu lebih
diidentikkan dengan kekuatan yang mendorong manusia untuk bekerja. Hal
ini dibuktikan pada pakaian adat Karo pada saat akan melakukan
pernikahan. Warna hitam diidentikkan dengan ketidakmampuan manusia
untuk mengetahui dan mengikuti kehendak Tuhan, dapat kita lihat pada
setiap pakaian Karo selalu ada warna hitam saat warga Karo meninggal dan
warna putih diidentikkan dengan kesucian Tuhan, dapat kita lihat disaat
masyarakat Karo akan mengadakan upacara ritual adat Karo mereka
berpakaian putih.
Skripsi tanda ornamen yang dianalisis adalah ornamen yang khusus
pada rumah adat Karo. Karena Rumah Adat Karo merupakan suatu
bangunan monumental yang sangat bernilai tinggi dengan ornamen yang
De Boer (1920 :1) mengatakan ornamen adalah suatu tanda desain
tradisional yang sangat bernilai tinggi yang berkaitan erat dengan mistik
dan kepercayaan asli kesukuan, dimana ornamen tersebut mempunyai
makna dan kebahagian penghuninya.
Sitepu (1996 : 202) mengatakan seni ukir (Ornamen) adalah tanda
sederhana untuk menolak bala menangkal roh jahat dan berupa
pengobatan. Jadi ornamen yang terdapat di dinding rumah adat Karo pada
zaman dahulu bukan sekedar untuk keindahan saja, akan tetapi setiap
lembar papan yang dihiasi ornamen tersebut mempunyai makna yakni
kekuatan gaib yang menjaga si pemilik rumah dari marabahaya.
Akan tetapi pada saat sekarang ini karena di pengaruhi oleh
kemajuan zaman dan agama, maka ornamen yang terdapat di dinding
rumah adat Karo dianggap sebagai hiasan yang memperindah bangunan.
Sitepu (1996 : 202) mengatakan bahwa dalam perkembangan dari
waktu ke waktu kebiasaan membuat ornamen tersebut tidak lagi dipandang
dari segi kekuatan daya penangkalnya, lukisan itu telah dipandang sebagai
suatu karya seni. Sehingga pada saat sekarang ini ornamen dalam
masyarakat Karo (ornamen) sudah mengalami kepunahan. Hal ini
disebabkan karena sedikit sekali para ahli yang berniat untuk menggali dan
melestarikan kebudayaan - kebudayaan yang ada di daerah.
Di samping itu untuk mendirikan rumah adat Karo bahannya sangat
sulit didapatkan dan termasuk orang yang mengerti tentang pembuatan
rumah dan ukiran seni Karo pun pada saat ini sudah sangat jarang dapat
ditemui. Hal itu dapat mengakibatkan hilangnya kebudayaan yang ada pada
suatu daerah akibat kurangnya para ahli yang mampu untuk menciptakan
suatu karya seni (ornamen) yang memiliki kekuatan.
Sehingga pada saat sekarang ini ornamen dalam masyarakat Karo
hanya dipandang sebagai suatu yang memiliki keindahan sehingga
dikembangkan sebagai karya seni. Untuk itulah kekayaan budaya seperti
rumah adat Karo sangat perlu di jaga kelestariannya, agar tidak mengalami
kepunahan.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang akan di rumuskan pada skripsi ini adalah :
1. Bentuk Ornamen apa sajakah yang terdapat pada Rumah Karo,
2. Apakah Fungsi Ornamen Rumah Karo,
3. Apakah Makna Ornamen Rumah Karo
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bentuk ornamen pada Rumah Karo,
2. Untuk mengetahui fungsi ornamen dalam Rumah Karo,
3. Untuk mengetahui makna ornamen dalam rumah adat Karo.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :
1. Bagi Masyarakat dengan adanya penelitian ini,maka akan tertarik
untuk mengenal ornamen rumah adat Karo lebih dalam lagi,
2. Menginventarisasikan budaya Karo yang mulai hilang karena
perkembangan zaman,
3. Menjadi sumber informasi bagi mahasiswa jurusan Sastra Daerah
1.5 Anggapan Dasar
Dalam melakukan suatu penelitian sangat perlu membuat suatu
anggapan dasar. Menurut Anwar Syah dalam Yanti (2003: 10) mengatakan
anggapan dasar adalah titik tolak pemikiran haruslah berdasarkan
kebenarannya (tidak perlu dibuktikan lagi). Dari pendapat sarjana di atas
jelaslah bahwa anggapan dasar haruslah berdasarkan kebenaran yang
objektif, maksud kebenaran yang objektif di sini adalah apabila anggapan
dasar tersebut, dapat dibuktikan kebenarannya. karena itu penulis
menganggap bahwa ornamen Rumah Adat Karo merupakan karya sastra
yang memiliki nilai seni yang indah yang memberikan fungsi dan makna
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Kepustakaan Yang Relevan
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang
relevan dengan judul skripsi ini.Adapun buku-buku yang digunakan dalam
memahami dan mendukung penelitian penulis adalah
1. Sitepu dkk (1996:202) yang berjudul Pilar Budaya Karo, dalam buku
ini dipaparkan tentang tahap pembuatan rumah adat Karo, sistem
kemasyarakatan yang ada pada masyarakat Karo, sistem religi
masyarakat Karo, ornamen rumah adat Karo yang rumah adat,
sendok dapur, pakaian tenunan dan lain-lain, buku ini juga
menceritakan tentang asal usul nama Karo, dan asal usul dari satu
kampung.
2. Ginting, buku ini berupa diktat yang di dalam buku ini ada
membahas ragam hias dari buku Sitepu yang membahas tentang arti
3. Yanti, skripsi (2003) : fungsi dan makna gorga dalam masyarakat
Batak Toba. Skripsi ini membahas tentang ornamen dalam rumah
adat Batak Toba, fungsinya dalam masyarakat Toba, dan makna
yang terdapat pada setiap ornamen yang ada pada masyarakat Batak
Toba. Skripsi ini juga menggunakan Teori yang sama, seperti yang
penulis pergunakan.
2.2.Teori yang Digunakan
Berdasarkan judul penelitian ini maka teori yang digunakan untuk
mendeskripsikan fungsi dan makna ornamen dalam rumah adat batak Karo
adalah teori semiotik. Kata semiotika berasal dari kata Yunani semeion,
yang berarti tanda. Maka semiotika berarti ilmu tanda. Semiotika adalah
cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang
Menurut Peirce tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi
seseorang. Sesuatu itu dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan
dan lain-lain. Yang dapat menjadi tanda bukan hanya bahasa, melainkan
berbagai hal yang dapat melingkupi kehidupan disekitar kita. Tanda dapat
berupa bentuk tulisan, karya seni, sastra, lukisan dan patung.
Dan berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon),
index (indeks), dan symbol (simbol).
1. Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya
bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah
hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan;
misalnya, potret dan peta.
2. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah
antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab
akibat, atau tanda yang langsung mengacu kepada kenyataan.Contoh
3. Simbol adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antar
penanda dan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat arbitrer atau
semena, hubungan bedasarkan konvensi atau (perjanjian) masyarakat.
Simbol yang terdapat pada ornamen yang ada pada rumah adat
Karo, diantaranya tercipta dan diciptakan atas dorongan pengaruh
lingkungan seperti alam, manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Ornamen yang ada pada masyarakat Karo juga diletakkan di tiga tempat
yaitu ayo-ayo rumah adat yang dibentuk dengan menganyam bambu,
dapur-dapur rumah adat Karo yang tehnik pembuatannya diukir dan pada derpih
dengan cara membuat lubang membentuk gambar cicak yang
membermakna kekuatan pada derpih rumah adat.
Ketiga tempat tersebut dianggap sebagai tanda yang menghalangi
masuknya roh-roh jahat yang akan membinasakan orang yang berada di
dalam rumah adat dan yang memberikan perlindungan bagi anggota
keluarga. Ketiga tempat tersebut juga melatar-belakangi dari kekuatan
pencipta, alam, dan penghancur yang merupakan sumber dari Dibata atas,
Berdasarkan berbagai klasifikasi tersebut, Peirce (2003 : 43) membagi
ikon menjadi empat jenis :
1. Qualisign, yakni kualitas sejauh yang dimiliki tanda. Kata keras
menunjukkan kualitas tanda. Misalnya, suaranya keras yang
menandakan orang itu marah atau ada sesuatu yang diinginkan.
2. Iconic Sinsign, yakni tanda yang memperlihatkan kemiripan. Contoh
:foto, diagram, peta, dan tanda baca.
3. Rhematic Indexical Sinsign, yakni tanda yang berdasarkan pengalaman
langsung, yang secara langsung menarik perhatian karena kehadirannya
disebabkan oleh segala sesuatu. Contoh: pantai yang sering merenggut
nyawa orang yang mandi di situ akan dipasang bendera bergambar
tengkorak yang bermakna berbahaya, dilarang mandi di sini.
4. Dicent Sinsign, yakni tanda yang memberikan informasi tentang
sesuatu. Misalnya, tanda larangan yang terdapat di pintu masuk sebuah
Tanda yang ditunjukkan dicent sinsign dalam ornamen rumah adat Karo
ditunjukkan pada ornamen yang memiliki mistik yang merupakan
penghalang bagi roh-roh jahat di udara untuk masuk ke dalam rumah adat.
Salah satunya ornamen pengret-ret. Ornamen pengret-ret merupakan pagar
rumah yang menolak segala mahluk jahat untuk masuk ke rumah dan
diletakkan pada derpih rumah adat Karo.
Peirce membagi klasifikasi Indeks menjadi tiga jenis :
1. Iconic Legisign, yakni tanda yang menginformasikan norma atau
hukum. Misalnya, rambu lalu lintas.
2. Rhematic Indexical Legisign, yakni tanda yang mengacu kepada obyek
tertentu, misalnya kata ganti penunjuk. Seseorang bertanya, “Mana
buku itu?” dan dijawab, “Itu!”
3. Dicent Indexical Legisign, yakni tanda yang bermakna informasi dan
menunjuk subyek informasi. Tanda berupa lampu merah yang
berputar-putar di atas mobil ambulans menandakan ada orang sakit atau orang
Peirce membagi klasifikasi Simbol menjadi tiga jenis :
1. Rhematic Symbol atau Symbolic rheme, yakni tanda yang dihubungkan
dengan objeknya melalui asosiasi nilai umum.Misalnya, kita melihat
gambar harimau.Lantas kita katakan, harimau. Mengapa kita katakan
demikian, karena ada asosiasi antara gambar dengan benda atau hewan
yang kita lihat yang namanya harimau.
2. Dicent Symbol atau proppsition (proposisi) adalah tanda yang langsung
menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak. Kalau
seseorang berkata, “Pergi!” penafsiran kita langsung berasosiasi pada
otak,dan sertamerta kita pergi. Padahal proposisi yang kita kenal hanya
kata. Kata – kata yang kita gunakan yang membentuk kalimat,
semuanya adalah proposisi yang mengandung makna yang berasosiasi
di dalam otak. Otak secara otomatis dan cepat menafsirkan proposisi
itu, dan seseorang segera menetapkan pilihan atau sikap.
3. Argument, yakni tanda yang merupakan kesamaan seseorang terhadap
Seseorang berkata, “Gelap.” Orang itu berkata gelap sebab ia menilai
ruang itu cocok dikatakan gelap. Dengan demikian argumen merupakan
tanda yang berisi penilaian atau alasan, mengapa seseorang berkata bengitu.
Tentu saja penilaian tersebut berisi kebenaran.
Namun yang paling dekat pengkajiannya pada ornamen adalah Simbol.
Secara etimologis, simbol berasal dari kata yunani “sym-ballein” yang
berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan
suatu ide. (Hartoko dan Rahmanto, 1998 : 133). Ada pula yang
menyebutkan “symbolos,” yang berarti tanda atau ciri yang
memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto, 2000:10).
Semua simbol melibatkan tiga unsur: Simbol itu sendiri, Satu rujukan
atau lebih, dan hubungan antara simbol dengan rujukan. Ketiga hal ini
merupakan dasar bagi semua makna simbolik.
Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan Poerwadarminta disebutkan,
simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana,
dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal, atau mengandung maksud
tertentu. Misalnya, warna putih melambangkan kesuciann, padi lambang
Dengan demikian, dalam konsep Peirce simbol diartikan sebagai tanda
yang mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan
antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan (petanda)
sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat
pemakainya menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang
diacu dan menafsirkan maknanya.
Mempelajari ornamen tradisional Karo, merupakan satu hal yang
menarik karena diciptakan atas dorongan pengaruh lingkungan seperti alam,
manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan yang mereka dapat dari hasil
buah pikirannya.
Seniman pencipta ornamen baik dahulu maupun sekarang menyadari
bahwa dibalik nilai-nilai keindahan masih terdapat nilai-nilai rohaniah lain
yang mempunyai arti kekuatan batin. Hal ini berhubungan dengan makna
dari ornamen yang akan dibahas pada bab pembahasan. Untuk itulah
penulis memilih teori ini sebagai suatu landasan berpijak dalam meneliti
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode yang bertujuan agar penelitian
tersusun secara sistematis. Metode adalah cara bertindak menurut sistem
atau sistem tertentu (Sudartono,1995 : 41), sedangkan arti kata
“penelitian” dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah kegiatan
pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data yang dilakukan
secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan. Jadi
dapat disimpulkan bahwa metodologi penelitian ialah upaya untuk
menghimpun data yang diperlukan dalam penelitian untuk memperoleh
kebenaran terhadap suatu objek permasalahan.
3.1 Metode Dasar
Metode dasar yang digunakan dalam skipsi ini adalah metode
deskriptif. Metode Deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan
masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan
pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana
adanya. (Nawawi 1991 : 63). Dalam metode deskriptif, penulis akan
berusaha mengungkapkan dan memaparkan hasil yang sebenarnya sesuai
dengan keadaannya sekarang.
3.2.Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dijadikan daerah penelitian adalah Desa Lingga
Kabupaten Karo Kabanjahe. Penduduk desa ini bermata pencaharian
petani, pedagang, dan pegawai. Penulis memilih lokasi ini karena ditemui
rumah adat disertai dengan ornamen yang menghiasi rumah adat.
3.3.Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian ini diperoleh dari keterangan informan yang
mengerti tentang ornament yang terdapat di dalam rumah adat Karo.
Kemudian penulis juga melakukan penelitian kepustakaan (library
research) yang bertujuan untuk mencari buku-buku yang berhubungan
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Alat perekam (tape recorder) yang digunakan untuk mewawancarai
informan sehubungan dengan objek penelitian
2. Kamera, yang digunakan untuk mengambil foto objek
3. Alat tulis dan kertas, yang digunakan untuk mencatat segala hal yang
dianggap penting dan berhubungan dengan objek penelitian.
3.5. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini untuk mengumpulkan data penulis menggunakan
metode sbb:
1. Metode observasi yaitu penulis langsung kelapangan melakukan
pengamatan terhadap objek penelitian.
2. Metode wawancara yaitu melakukan wawancara terhadap informan
yang dianggap dapat memberikan informasi atau data-data tentang
a. Rekam yaitu merekam informasi atau data yang diberikan informan.
b. Catat yaitu mencatat semua keterangan yang diperoleh dari informasi
informan.
3. Metode kepustakaan (library research) yaitu dengan mencari data dari
buku-buku yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.
3.6. Metode Analisis Data
Pada dasarnya analisis adalah kegiatan untuk memanfaatkan data
sehingga dapat diperoleh suatu kebenaran atau ketidak-benaran dari suatu
objek. Penganalisisan data dilakukan dengan mendeskripsikan bentuk,
fungsi dan makna ornamen rumah adat Karo. Data yang diperoleh dari
masyarakat sangat berpengaruh terhadap fungsi dan makna terhadap
nilai-nilai budaya yang ada pada masyarakat Karo pada zaman dahulu sampai
sekarang.
BAB IV
SISTEM SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT KARO
4.1. Asal Usul Etnis dan Nama Karo
Daerah Sumatera Utara terdiri dari pantai, dataran rendah, dataran
tinggi dan pegunungan. Daerah pantai terletak sepanjang pesisir timur, barat
dan bersambung dengan dataran rendah. Dataran Karo, Toba dan Humbang
merupakan dataran tinggi, sedangkan pegunungan Bukit Barisan yang yang
membujur di tengah–tengah dari utara ke selatan merupakan daerah
pegunungan. Luas daerah Sumatera Utara sekitar 71.680 km2 dan terletak
antara 1 dengan 4 lintang utara dan antara 98 dengan 100 bujur timur.
Penduduk pribumi Sumatera Utara terdiri atass suku Melayu, Toba, Karo,
Simalungun, Pakpak Dairi, Mandailing dan Nias, dengan mata pencaharian
sehari–hari adalah bertani. (Saragih 2007 :42)
Berdasarkan asal usul terjadinya suku Karo belum diketahui secara
pasti. Namun diperkirakan sudah ada sekitar tahun 1250. Karena menurut
beberapa penulis pada waktu itu sudah ada kerajaan Haru (Aru). Kerajaan
Masa kejayaan kerajaan ini cukup lama. Namun sekitar tahun 1539
kerajan Haru kalah dan hancur total akibat serangan tentara kerajaan Aceh
yang memiliki persenjataan yang cukup kuat. Rakyatnya pergi
menyelamatkan diri ketempat yang dianggapnya aman.
Rakyat yang pergi menyelamatkan diri ada yang ke Singkil, Pak-pak
Dairi, Aceh (Gayo Alas), Asahan, Simalungun, dan dataran tinggi tanah
Karo (Karo Gugung). Sebahagian lagi pergi ke dataran rendah dekat
pengunungan mulai dari bukit Lawang, Bahorok (Buah Orok), Deli Serdang
sampai keperbatasan Sipis-pis Tebing Tinggi sekarang. Mereka yang
menempati tempat yang baru diluar Asahan kemudian disebut orang Karo
sisa perang Haru. Suku Karo yang tinggal di dataran rendah dekat
pengunungan yang luasnya lebih kurang 5.000 km2 kemudian disebut
Batak Karo Dusun.
Disisi lain dari penemuan sejarah, di Labu Tuo yang letaknya
berdekatan dengan kota pelabuhan Baros, ditemukan sebuah batu bertulis
pada tahun 1872, isinya baru dapat dibaca pada tahun 1932 oleh Prof.
Batu tertulis tersebut ditemukan oleh Kontelitir Deuz. Isinya bahwa
pada tahun 1088 M ada 1.500 orang Tamil dari India Selatan bertempat
tinggal di Baros. Mereka membentuk kesatuan untuk mencegah persaingan
sesama mereka dalam dagang kapur barus dan kemenyan, mereka
membentuk kesatuan dagang di daerah itu.
Penduduk yang terdahulu menempati daerah itu semakin bertambah
dengan adanya pendatang baru. Pendatang baru itu terutama berasal dari
India dengan maksud untuk mencari sumber penghidupan terutama
berdagang disamping menanamkan pengaruhnya. Di luar daerah Baros
mereka menjumpai gading gajah, cula badak, kapur barus, kemenyan dan
emas yang sangat berharga dan digemari pada waktu itu.
Barang-barang ini dibawa dan diperdagangkan di India, Eropa, dan
Tiongkok. Beberapa diantaranya ada juga yang menetap dan
menggabungkan diri dengan golongan pribumi setempat. Mereka tidak
kembali kenegrinya, ada juga akibat sulitnya atau putusnya hubungan
Di daerah-daerah sekitarnya sering terjadi perpindahan penduduk.
Perpindahan tersebut disebabkan terjadinya huru-hara untuk mencari tempat
pertanian yang lebih baik. Oleh karena terjadinya pergeseran penduduk
tersebut suku Karo tinggalnya berpencar dan sebagian kecil derada di
dataran tinggi Karo.Diperkirakan orang India (Tamil) yang tinggal disekitar
Baros itulah yang sampai di desa Seberaya (Karo) kemudian tinggal
bersama dengan penduduk setempat.
Dari sumber lain diketahui pula bahwa pada tahun 1680 Guru
Pertimpus (Guru Pa Timpus) sudah tinggal di Medan sekarang. Dia
bermarga Sembiring Pelawi datang dari tanah Karo Gugung, bermaksud
untuk membuka ladang diantara sungai Babura dan sungai Deli. Kemudian
Guru Pa Timpus kawin dengan seorang putri panglima Hali yang tinggal di
Sei Sikambing. Panglima Hali sendiri sebenarnya dulu berasal dari suku
Karo, bermarga Tarigan.
Disisi lain masih ada sumber dengan versi yang berbeda. Sumber itu
adalah nenek kandung penulis (Sempa Sitepu) bernama Rayung Karo
Nama orang si Karo-lah asal mula nama suku Karo, katanya dengan
muka serius memulai penuturanya. Pada zaman dahulu kala ada seorang
maharaja yang sangat kaya, sakti dan berwibawa. Dia tinggal disebuah
negeri bersama permaisuri dan putra-putrinya, yang letaknya jauh
diseberang lautan. Dia mempunyai panglima, ratusan prajurit, puluhan
wanita sebagai dayang-dayang dan puluhan pembantu.
Pada suatu ketika maharaja ingin pergi dari negeri tempat tinggalnya
itu dan ingin mencari tempat lain yang lebuh luas dan tanahnya lebih subur
serta ditempat baru itu dia akan mendirikan sebuah kerajaan. Pada waktu
yang ditentukan berangkatlah maharaja, permaisuri, putra-putrinya,
dayang-dayang, pembantu dan panglima pengawal maharaja ikut bersama berpuluh-
puluh prajurit. Panglima itu bernama si Karo, tubuhnya kekar dan berwajah
tampan. Mereka juga membawa perhiasan miik raja untuk kebutuhan
Berbulan-bulan mereka berjalan ke arah selatan melewati gunung,
perbukitan dan sungai. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka
berburu dan menangkap ikan sambil berjalanan yang tampa disadari mereka
telah sampai di pulau Pinang.
Setelah agak lama mereka tinggal di semenanjung Malaka yang
bersebarangan dengan pulau Pinang pada pagi hari ketika matahari terbit
maharaja memandang ke selatan yang nampak terlihatnya laut yang
terbentang luas dan pulau yang lebih luas dari pulau Pinang. Maharaja
berniat mengetahui pulau itu perjalanan yang mereka alami sangat sulit
karena angin dan gelombang yang sangat kencang. Perahu yang mereka
tumpangi terkatung-katung dan tidak ada yang dapat mereka lakukan.
Dalam keadaan seperti itu mereka sadar bahwa mereka telah kembali ke
tempat semula. Setelah mereka memperhatikan ternyata pulau itu adalah
bukan tempat mereka semula akan tetapi, pulau berhala sekarang.
Beberapa bulan lamanya mereka tinggal di pulau itu dengan mencari
ikan sebagai makanan mereka sehari-hari. Di pulau itu tidak mereka
Pada saat itulah si Karo panglima maharaja mempersunting seorang
dari putri dari maharaja yang selama ini sudah jatuh cinta, hal itu di
beritahukan kepada rombongan yang lantas mencari pasangan
masing-masing. Setelah itu rombongan si Karo pergi melanjutkan perjalanan ke
pulau sangat jauh yaitu pulai perca (Sumatera) tempat itu kemudian
diketahui dengan nama pulau Belawan. Dari tempat itu mereka melanjutkan
perjalanan malalui perahu sungai kepedalaman.
Sepanjang perjalanan mereka tidak menjumpai manusia selain
sungai dan pepohonan. Berapa jam lamanya kemudian mereka berjalan kaki
ketempat yang disebut Durin tani. Ditempat itu terdapat gua umang yang
cukup besar. Gua umang itu yang digunakan mereka sebagai rumah
sementara. Lebih kurang satu tahun lamanya mereka tinggal dan
bersembunyi di Gua itu. Si Karo bekas panglima maharaja menganggap
tempat itu tidak sesuai, sehingga dia mengajak rombongan pergi kearah
hulu sunagai menuju pegunungan. Anggota rombongan tidak menjawab
karena keberatan. Si Karo mulai marah dan seorang anggota bertanya
Mereka tidak mau tua-tua diperjalanan. Persediaan makanan juga sudah
menipis. Mendengar ucapan itu si Karo bertanya siapa yang mau ikut dia,
dan 15 orang mengikut dia. Si-Karo berpesan pada orang yang tinggal agar
suatu waktu kita dapat bertemu kembali atau anak cucu kita oleh karena itu,
kuperintahkan kalian agar semuanya memakai nama Karo sebagai
tambahan namanya, hal ini sebagai tanda pengenal keturunan kita agar tidak
saling baku hantam dan kita satu keturunan yang merasa senasib dan
sepenanggungan.
Setelah itu mereka berangkat dan rombongan yang tinggal di Durin
tani yang menempati daerah dataran rendah Karo yang berdekatan dengan
kota Medan sekarang. Rombongan si Karo yang mengikuti aliran sungai
Lau betimus menuju arah pegunungan. Dua hari lamanya mereka berada
dalam perjalanan melalui beberapa tempat yang kemudian dinamai Buluh
Hawar.
Tempat itu berpariasi berbukit dan dekat sungai. Tempat itu
kemudian disebut dengan desa Si Keben berdekatan dengan Bandar baru.
kesebuah bukit yang agak tinggi kemudian mengarahkan pandanganya ke
arah utara dan nampak olehnya batas laut dengan daratan dan dia merasa
tempat itu dekat dengan laut.
Akhirnya rombongan si Karo bergerak kembali meneruskan
perjalanan yaitu sebelah kiri gunung Barus sekarang. Dengan susah payah
mereka melintasi hutan rimba yang belum pernah di jamah manusia dan
tanahnya berlapis-lapis dan terlindung dari cahaya matahari. Suara burung
dan suara binatang masih banyak disekitar mereka. Setelah perjalanan
mereka tiba diatas dataran dekat gunung Barus. Mereka terkejut melihat
alam yang begitu indah dengan aneka ragam tumbuhan dan pepohonan
hutan. Keesokan harinya mereka berjalan ke tempat yang mereka pandang
indah. Menjelang tengah hari mereka tiba disana dan berhenti di bawah
pohon (jabi-jabi) sejenis pohon beringing.
Mereka semua berpendapat tempat itu cukup baik dan memberikan
ketenangan pikiran karena udara sejuk yang dekat dengan sungai Lau Biang
Si Karo mengambil segenggam tanah dan mengamati dan rasa tanah
itu belum sama beratnya dengan tanah negeri asal, maka di putuskan untuk
mencari tempat lain disekitar. Mereka kemudian memutuskan mencari
tempat lain disekitarnya. Dari sebuah bukit mereka melihat suatu dataran
yang agak luas diseberang sungai. Mereka menyuruh anjing
menyebaranginya, setelah kurang dua jam anjing tersebut mengibas-
ibaskan ekornya sebagai suatu tanda ada tempat yang baik ditempati.
Karena dipandu anjing maka tempat itu disebut sungai Lau Biang
yang berarti dapat diseberangi anjing. Tempat itu luas dan tanahnya subur,
si Karo pun mengulangi caranya menilai tanah. Terdapat kesesuaian tanah
di negeri asalnya dengan tanah tersebut
Anggota rombongan bersorak mendengar ucapan si Karo yang
kemudian dahulu dinamakan tempat itu mulawari berseberangan dengan
sungai si Capah yang sekarang dinamakan Seberaya daerah sekitarnya
dinamakan Sukapiring. Mulawari dahulu telah jadi talun karo (peninggalan
Sehari-hari mereka membuat rumah sederhana dari gubuk,
mengerjakan lahan pertanian dengan tebang bebas. Setelah itu jumlah
mereka bertambah sehingga berpindah ketempat lain diantaranya kuta Bale,
Samura, Seberaya, Sukanalu dan Suka. Demikianlah dan beratus tahun
bahkan ribuan tahun jumlahnya bertambah. Mereka menempati wilayah si
Karo kebarat sampai dengan Aceh dan selatan berbatasan dengan Tapanuli
Utara dan sampai ke Dairi, sedangkan Timur menempati daerah
Simalungun. Jadi pendatang si Karolah yang menjadi asal-usul nama Karo.
Ada juga yang mengatakan kerajaan Sukapiring didataran tinggi
Karo erat hubunganya sejarah putri hijau seorang raja di Deli yang
kerajaannya hancur akibat kerajaan aceh ceritanya ada di seberaya berkaitan
dengan putri hijau di deli tua. Memang ada perbedaan akan tetapi,
persamaan tokoh dan sisa perang yang ditinggalkan berupa pecahan meriam
Putri Hijau yang ada di Seberaya yang kemudian pindah ke Sukanalu yang
saat ini kita jumpai di kawasan Sitepu rumah ukir. Pecahan meriam Putri
Hijau di deli tua diletakkan dalam sebuah bangunan berbentuk rumah adat
Walaupun sementara ada pendapat suku Karo termasuk Sub Suku
keturunan Toba yang berasal dari gunung Pusuk Buhit hal tersebut menurut
buku yang penulis kurang logis dan tidak rasional. (Sitepu 1996 : 5 – 12)
4.2. Daerah Wilayah Budaya Masyarakat Karo
Suku Karo adalah salah satu sub suku yang berdiam di dataran
tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu dan sebagian daerah Dairi. Wilayah
tersebut merupakan bagian dari kabupaten Karo dengan ibu kota Kabanjahe
di propinsi Sumatera Utara. Menurut (Neuman dalam Saragih 1972:8)
Wilayah Karo adalah suatu wilayah yang luas, yang terlepas dari perbedaan
– perbedaan antar suku, yang menganggap dirinya termasuk ke dalam
Karo, yang berbeda dengan Toba, Pakpak, Simalungun. Seluruh
perpaduan suku – suku Karo diikat oleh suatu dialek yang dapat dimengerti
dimana- mana dan hampir tidak ada perbedaannya antara yang satu dengan
Secara geografis kabupaten ini berbatasan dengan kabupaten
Langkat dan Deli Serdang di bagian utara, kabupaten Dairi di bagian
selatan, kabupaten Simalungun di bagian timur, dan D.I. Aceh di bagian
barat.
Menurut Parlindungan dalam Saragih (2007-35) membagi wilayah
Karo menjadi dua bahagian yaitu wilayah Karo Gunung, wilayah ini
terletak 1000 meter di permukaan laut yang mencakup di sekitar gunung
Sinabung dan gunung Sibayak dan wilayah Karo Dusun 1000 meter di atas
permukaan laut. Wilayah ini berada diluar dari wilayah Karo Gunung.
Daerah ini boleh jadi mencakup Langkat, Deli Serdang, Simalungun,
Pakpak Dairi sampai tanah Alas.
Berdasarkan perkiraan Neumann dan Parlindungan di atas, wilayah
budaya Karo pada zaman sebelum kedatangan Belanda sangat luas. Namun
setelah kedatangan Belanda (Putro, 1981), Wilayah Karo ini di bagi atas
beberapa daerah. Pembagian ini bermotif kepentingan politik pemerintahan
1. Pada tahun 1908 (stbl no.604) ditetapkan batas- batas daerah kabupaten
Karo dengan kabupaten Dairi, dengan memasukkan daerah Karo
Baluren, sepanjang sungai Renun kecamatan tanah Pinem dan
kecamatan Lingga, masuk menjadi daerah kabupaten Dairi.
2. Pada tanggal 19 April 1912, dengan besluit Government Bijblad No.
7645, menetapkan batas- batas kabupaten Karo dengan kabupaten
Simalungun sekarang dengan memasukkan Urung Silima Kuta ke
dalam daerah tingkat II kabupaten Simalungun.
3. Pada tanggal 19 April 1912, dengan besluit government no.17, telah
ditetapkan pula batas antara kabupaten Karo sekarang dengan Deli
Hulu, dengan memisahkan seluruh pantai timur dengan kabupaten Karo
sekarang.
1. Karo Bingei, yang terdiri atas kecamatan Selapian dan kecamatan
Bahorok dimasukkan ke Kabupaten Langkat sekarang.
2. Karo Dusun, yang terdiri atas kecamatan Serbanyaman, kecamatan
Sunggal dan kecamatan Delitua dimasukkan ke kabupaten Deli
Pada masa penjajahan Belanda, pemerintahan jajahan Belanda
membagi daerah Karo menjadi 5 wilayah yang terdiri dari : a. wilayah
Lingga, b. wilayah Sarinembah, c. wilayah Suka, d. wilayah Barusjahe, dan
e. wilayah Kutabuluh. Dan masing-masing mempunyai beberapa desa. Pada
masa Pemerintahan Jepang, wilayah ini tidak mengalami perubahan.
Namun setelah Indonesia merdeka, wilayah ini masuk menjadi bagian
daerah tingkat II kabupaten Karo yang dikepalai oleh seorang Bupati yang
berkedudukan di Kabanjahe.
Hingga sampai sekarang kabupaten Karo terdiri dari 13 kecamatan
mencakup kecamatan Barus Jahe, kecamatan Tiga Panah, kecamatan
Kabanjahe, kecamatan Merek, kecamatan Payung, kecamatan Tigandreket,
kecamatan Kutabuluh, kecamatan Munte, kecamatan Laubaleng, kecamatan
Tiga Binanga, kecamatan Juhar , kecamatan Mardingding , dan kecamatan
Simpang Empat ( lokasi penulis meneliti).
Kabupaten daerah tingkat Karo ini mempunyai relief bergelombang
yang terdiri dari bukit-bukit dan gunung. Puncak tertinggi adalah gunung
Dairi. Daerah ini juga merupakan daerah vulkanik. Gunung yang aktif
adalah gunung Sinabung dan gunung Sibayak.
Kabupaten dati II Karo ini terletak pada koordinat 2 0 50 ‘ sampai 30
10 ‘ lintang utara dan 97 0 55’ sampai 98 0 38 ‘ bujur timur , dengan
ketinggian 140 m – 1400 m di atas permukaan laut. Luas kabupaten Karo
2.127, 25 Km2 atau 3,01 % dari wilayah Propinsi Sumatera Utara (lihat peta
kabupaten dati II Karo). Curah hujan tahunan berkisar 1000 hingga 4000
mm/tahun. Curah hujan maksimum jatuh pada bulan November dan
minimum pada bulan Juli. Suhu udara berkisar dari 16 0 hinggga 27 0
celsius dengan kelembaban udara rata- rata 82 %.
4.3. Sejarah Terbentuknya Desa Lingga
Asal usul desa Lingga berasal dari daerah Pak-pak. Seorang yang
bermarga Lingga di Pak-pak merantau ke kampung tersebut dan namanya
disebut Sitading Lingga, lama kelamaan nama tersebut berubah menjadi
Lingga orang Karo berasal dari orang Pak – pak yang merantau ke desa
Lingga. (Hasil wawancara penelitian)
4.4. Letak Geografis dan Sistem Sosial Desa Lingga
Suku Karo pada umumnya mendiami daerah tanah Karo sebagai
daerah pemirantahan Kabupaten Karo, yang meliputi : Kecamatan Brastagi,
Kecamatan Simpang Empat, Kecamatan Kabanjahe, Kecamatan Tiga
Panah, Kecamatan Lau Baleng, Kecamatan Juhar, Kecamatan Kuta Buluh,
Kecamatan Munthe, Kecamatan Mardinding, Kecamatan Merek.
Masyarakat Karo memiliki berbagai nilai budaya, salah satu
diantaranya adalah nilai budaya pada arsitektur tradisional yang ada pada
rumah adat. Hal ini pula yang menjadi penelitian penulis. Penulis
memfokuskan objek penelitian di kecamatan Simpang Empat, dan menitik
beratkan permasalahan pada fungsi ornamen tradisional rumah adat
masyarakat Karo yang ada di desa Lingga kecamatan Simpang Empat
Desa Lingga merupakan desa pertanian, yang mayoritas
penduduknya bermata pencaharian petani, pedagang, dan pegawai. Luas
desa lingga adalah 2624 Ha.
Sebelah Utara berbatasan dengan desa Surbakti,
Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Kacaribu,
Sebelah Timur berbatasan dengan desa Kaban, dan
Sebelah Barat berbatasan dengan desa Nang belawan.
Jarak desa Lingga dengan Ibukota Kabanjahe lebih kurang 4,5 km.
4.5. Ornamen Rumah Adat Karo
Rumah adat Karo merupakan bangunan tradisional yang ditandai
ornamen yang keseluruhan ornamen memiliki hal – hal yang berhubungan
dengan lambang yang bermakna adat istiadat. Dalam pembuatan ornamen
rumah adat Karo akan melewati berbagai proses perencanaan yang matang
dan tidak terlepas dari adat istiadat yang telah ditetapkan sebagai sumber
hukum yang berlaku di tengah – tengah masyarakat, melalui sidang adat
raja, yang kemudian dikirim kepada ahli kesenian (penggerga) yang
Setiap lembar papan yang dihiasi ornamen pada masyarakat Karo
ada yang bermakna keindahan, kekeluargaan dan yang mengandung unsur
mistik untuk menjaga pemilik rumah dan sebagai pengerat sistim
kekeluargaan pada masyarakat Karo. Ornamen yang diteliti pada skripsi ini
adalah ornamen yang terdapat pada Rumah adat Karo.
4. 5.1. Ornamen Lumut-lumut Lawit
a. Bentuk
Ornamen Lumut-lumut lawit berbentuk persegi empat sama sisi yang
Kotak-kotak tersebut terdiri dari empat bagian. Antara bagian yang
pertama, kedua, ketiga dan ke empat memiliki sisi yang sama. Adapun
panjang, lebar dan luas dari masing-masing kotak berukuran sama.
Kotak-kotak pada bagian tengah tersebut berwarna putih, sedangkan sisi yang
menutupi kotak-kotak tersebut berwarna hitam.
Ornamen Lumut-lumut lawit bermotif geometris karena merupakan
gambaran tumbuh-tumbuhan yang ada di alam laut. Adapun ornamen ini
diambil dari gambaran rumput laut dengan lumut-lumut yang bertebaran di
laut pada batu karang. Rumput laut yang licin akan menjaga batu karang
yang merupakan kekuatan untuk menjaga kelangsungan hidupnya di alam
laut dari segala macam gangguan yang di timbulkan oleh alam dan manusia
untuk merusak laut.
Hal tersebutlah yang melatarbelakangi masyarakat Karo membentuk
ornamen Lumut-lumut lawit yang mereka percaya dapat menggelincirkan
Ornamen ini terbuat dari bambu yang dibelah dan dianyam
sedemikian rupa membentuk segi empat yang diletakkan pada ayo-ayo
depan rumah adat Karo.
Adapun bambu yang dianyam itu diberikan warna hitam dan putih
yang merupakan tiruan dari batu karang dan Lumut yang mana lumut
berwarna hitam sedangkan batu karang berwarna putih.
b.Fungsi
Ornamen Lumut-lumut lawit diatas diletakkan pada ayo-ayo rumah
adat Karo yang berfungsi yakni:
1. Penolakan kepada segala niat jahat
Penolakan berarti menepis segala hal-hal yang tidak baik karena
masyarakat Karo pada zaman dahulu masih percaya akan adanya roh-ro0h
jahat yang hendak mengganggu ketentraman rumah. Roh-roh jahat itu
dikirim melalui bantuan dukun yang gunanya untuk merusak dan
membinasakan orang yang tinggal di rumah, sehingga mereka mempercayai
ornamen Lumut-lumut lawit dapat dijadikan penangkal untuk
2. Sebagai ventilasi udara
Ornamen Lumut-lumut lawit di letakkan pada ayo-ayo depan rumah
adat Karo memiliki fungsi sebagai ventilasi udara. Ornamen ini akan
memberikan cahaya matahari karena ornamen ini diletakkan pada ayo-ayo
rumah adat yang dibuat dengan cara dianyam sehingga udara segar masuk
melalui ornamen tersebut.
c. Makna
Lumut-lumut lawit dalam masyarakat Karo memiliki makna berupa
keamanan. Ornamen Lumut-lumut lawit akan menjaga keamanan dari
setiap anggota keluarga dari segala niat jahat orang. Niat jahat tersebut
bentuknya tidak terlihat karena dibuat untuk menghancurkan dan
membinasakan orang yang ada dalam rumah adat. Roh-roh jahat tersebut
dikirim dengan bantuan dukun yang berusaha untuk merusak keharmonisan
Niat jahat orang tersebut akan menjadikan pertengkaran antara satu
keluarga dengan keluarga lainnya yang tinggal di rumah adat. Kekuatan
jahat tersebut juga dapat membinasakan orang yang ada di rumah adat.
Dengan datangnya penyakit yang secara tiba-tiba sehingga sebelum terjadi
hal-hal tersebut harus dicegah.
Ornamen Lumut-lumut lawit di percaya dapat menghancurkan niat
jahat tersebut dan menjaga ketentraman anggota keluarga yang ada dalam
rumah adat. Ornamen Lumut-lumut lawit dipercaya dapat menghalau dan
menggelincirkan segala niat jahat orang tersebut sehingga ketentraman
4.5.2. Ornamen Bindu Matagah
a. Bentuk
Bentuk ornamen ini berupa garis yang menyilang diagonal dan
membentuk persegi yang melambangkan pesilah simehuli (menyingkirkan
yang tidak baik). Penyingkiran yang tidak baik itu merupakan kekuatan
ornamen Bindu Matagah untuk menjaga lingkungan dan manusia dari
roh-roh alam semesta yang ditimbulkan oleh manusia sendiri ataupun alam
adalah kayu yang tehnik pembuatannya di ukir dan dibuat garis menyilang
membentuk persegi.
b. Fungsi
Ornamen ini memiliki fungsi sebagai penyingkir yang tidak baik
dalam masyarakat Karo yang memiliki arti apabila seorang tamu hendak
memasuki kampung atau rumah maka ornamen Bindu Matagah akan
dilukiskan di tanah dan tamu tersebut harus memijak ornamen Bindu
Matagah.
Ada anggapan masyarakat bahwa tidak semua orang mempunyai
sifat baik apalagi kalau ada orang asing yang datang ke kampung atau ke
rumah, maka orang tersebut harus memijak ornamen bindu matagah dengan
kaki kanan agar supaya segala niat jahat yang mungkin di bawa orang
tersebut hilang, dan tidak masuk ke rumah atau kampung, sehingga
ketentraman tetap terjaga.
Ornamen ini juga berfungsi untuk menjaga pemilik rumah atau orang
kampung yang sedang berburu kehutan. Apabila penghuni kampung di
seperti ular, harimau dan hewan-hewan liar yang berusaha mengganggu dan
mengancam jiwa mereka, maka ornament ini dilukiskan ditanah dan
dipijakkan dengan kaki kanan, maka hal-hal buruk tidak akan terjadi.
c. Makna
Makna yang terdapat pada ornamen ini adalah makna kekuatan dan
makna kepercayaan
1. Makna Kekuatan
Ornamen Bindu Matagah mempunyai kekuatan untuk menjaga orang
kampung dari niat jahat orang ketika mereka kedatangan tamu dari luar
desa yang tidak dikenal.
Masyarakat Karo menganggap setiap orang yang tidak dikenal
belum tentu mempunyai niat baik maka ornamen Bindu Matagah akan
memiliki kekuatan untuk menjaga orang kampung dan pemilik rumah dari
segala ancaman dan gangguan yang datangnya terlihat maupun tidak
Gangguan yang terlihat seperti merusak hubungan persaudaraan
masyarakat yang menghuni kampung dan gangguan yang tidak terlihat
berupa gangguan yang dikirim lewat udara dengan bantuan dukun.
2. Makna kepercayaan
Makna Kepercayaan terlihat dari kepercayaan masyarakat Karo pada
ornamen Bindu Matagah saat kedatangan tamu, tamu tersebut harus
memijak ornamen Bindu Matagah dengan kaki kanan agar niat jahat tidak
masuk ke kampung atau kerumah. Ornamen ini juga dipercaya akan
memperkuat roh orang yang akan berburu kehutan ketika mereka berjumpa
dengan hewan binatang buas di hutan dengan melukisan ornamen ini di
4.5.3. Ornamen Embun Sikawiten
a. Bentuk
Ornamen ini bermotif alam yang merupakan tiruan dari awan akan
tetapi ornamen ini dibuat menyerupai gambar bunga yang menjalar
membentuk segitiga. Ornamen ini merupakan gambar awan yang beriring
dilangit yang memiliki gumpalan tebal yang ketika lapisan awan atas
bergerak maka bayangan awan dibawahnya akan ikut.
Terjemahan secara bebas ornamen ini adalah awan yang berkaitan
atau rangkaian awan yang beriringan yang berarti rakut sitelu dalam
masyarakat Karo. Lapisan awan atas menunjukkan Kalimbubu dan lapisan
Bahan dasar ornamen ini adalah kayu yang tehnik pembuatannya di
ukir dan dipahat sesuai gambar awan yang beriringan. Warna dasar
ornamen diambil dari warna bunga yang merah yang berarti kekuatan
kalimbubu dalam acara adat Karo yang menjaga keharmonisan
kekeluargaannya dengan anak berru.
b. Fungsi
Ornamen Embun Sikawiten merupakan gambar alam yang berupa
segitiga yang memiliki bayangan yang berfungsi menunjukkan hubungan
kalimbubu dan anak berru yang posisinya berbeda yaitu kalimbubu di atas
dan anak berru di bawah sesuai dengan gambar awan yang beriringan.
Dalam masyarakat Karo, kalimbubu memegang peranan yang
penting, orang yang sangat dihormati dan disegani. Masyarakat Karo
percaya menghormati kalimbubu akan mendapatkan usaha dan rejeki yang
baik. Oleh karena itu kalimbubu disebut juga Dibata Idah yang maksudnya
Anak Berru ialah pihak keluarga Laki-laki yang kawin atau
mengambil anak perempuan suatu keluarga dan kalimbubunya ialah pihak
keluarga perempuan yang dikawininya. Dan anak berru harus menghormati
kalimbubunya dan kalimbubu akan memberikan perlindungan kepada anak
berru.
Ornamen ini juga berfungsi untuk menolak segala niat jahat orang
yang berusaha untuk mengganggu ketentraman satu keluarga anak berru
yang memiliki konflik. Posisi kalimbubu sebagai pelindung anak berru akan
terlihat dan kalimbubu akan membuat keputusan yang baik sesuai dengan
warna merah yang berarti pemberi semangat pada ornamen Embun
Sikawiten.
c. Makna
Makna yang terdapat pada ornamen Embun Sikawiten ialah makna
kekeluargaan. Makna kekeluargaan itu terlihat dari hubungan antara
kalimbubu dan anak berru. Ornamen Embun Sikawiten berarti rakut sitellu
terpisahkan dalam masyarakat Karo. Sebagai contoh perkawinan antara
marga dan sub marga dalam masyarakat Karo.
Perkawinan tersebut menghasilkan keturunan baru disamping ada
keluarga lama, maka terjadilah pertukaran kedudukan dan fungsi pihak
keluarga laki-laki dinamakan anak berru pihak keluarga perempuan. Dan
selanjutnya kelurga pihak perempuan disebut kalimbubu oleh pihak
keluarga laki-laki. Dan hal ini yang menimbulkan kekelurgaan yang di
sebut rakut sitellu.
Rakut artinya suatu ikatan dan sitellu artinya kelengkapan dari tiga
unsur. Selain itu ornamen ini juga mempunyai makna keindahan yang
memberikan kesan indah pada dapur-dapur rumah adat Karo. Unsur mistik
dalam ornament ini tidak ada , akan tetapi ornament ini menunjukkan rakut
4.5.4. Ornamen Cimba Lau (Tutup Dadu)
a. Bentuk
Ornamen ini bermotif geometris (alam) yang membentuk persegi
panjang dengan garis-garis melintang membentuk tutup stoples pada bagian
dalamnya. Bahan dasar ornamen ini adalah papan (ayo-ayo) yang di ukir
dan dipahat membentuk tutup stoples melintang.
Warna dasar ornamen ini ialah hitam dan putih yang mana ornamen
ini menunjukkan awan hitam yang berarak di langit yang akan segera
menunjukkan datangnya hujan. Ornamen ini terdapat pada bagian atas dan
Ornamen yang merupakan bentuk awan yang berarak di langit
menunjukkan doa masyarakat Karo kepada sang pencipta yang memberikan
kecerahan pada hidup mereka.
b. Fungsi
Ornamen Cimba Lau (Tutup Dadu) diletakkan pada dapur-dapur
rumah adat Karo yang berfungsi sebagai:
1. Doa masyarakat Karo kepada penciptanya.
Masyarakat Karo pada zaman dahulu percaya pada kekuatan gaib
dan roh-roh halus sebagai suatu bentuk kekuatan yang dapat
membahagiakan dan menghancurkan. Oleh karena itu kepercayaan
animesme merupakan sistem religius yang mereka anut. Kepercayaan
kepada Dibata atas, Dibata tengah dan Dibata Terruh dibagi lagi atas
beberapa bagian seperti kepercayaan akan adanya pembagian sibiak atau
Dewa yang mereka yakini sudah mempunyai peranan masing-masing.
Doa masyarakat Karo pada langit menunjukkan permohonan mereka
pada Dewa hujan agar ketika mereka bertanam diturunkan hujan yang
2. Ornamen ini berfungsi sebagai hiasan yang memperindah rumah adat
Karo. Ornamen Cimba Lau tidak mengandung unsur mistik akan tetapi
hanya merupakan sebagai keindahan dan doa masyarakat Karo pada
penciptanya.
c. Makna
Makna yang terdapat pada ornamen Cimba Lau ini tidak jauh dari
fungsinya yaitu sebagai makna keindahan dan makna kepercayaan.
1. Makna keindahan
Makna keindahan itu terlihat pada ornamen Cimba Lau yang
memberikan kesan keindahan pada dapur-dapur sepanjang rumah adat
Karo.
2. Makna kepercayaan.
Makna Kepercayaan terlihat pada upacara-upacara ritual masyarakat
Karo seperti dalam meminta hujan akibat terjadinya kekeringan pada suatu
kampung. Kekeringan tersebut akan mengganggu pertumbuhan tanaman
yang akan menguning. Air yang ada di sungaipun sudah mulai surut
(sibiak udan), agar hujan turun dengan acara ritual yang diadakan di sungai
yang dikenal dengan nama ndilo wari udan.
4.5.5. Ornamen Pengret-ret (Pengerat)
a. Bentuk
Bentuk Ornamen yang terdapat pada gambar ini bila di perhatikan
secara seksama akan hampir mirip dengan rupa hewan yang menyerupai
gambar cecak. Ornamen ini memiliki lambang yang berupa kekuatan.
Ornamen ini dalam masyarakat Karo diartikan sebagai lambang
untuk memperkuat derpih rumah adat Karo. Dalam pembuatan ornamen
cecak. Ornamen ini juga yang menghubungkan tiap lembar papan dalam
pembuatan rumah adat Karo.
Ornamen pengeret-ret sebagai paku yang mempunyai kekuatan
untuk memperkuat tiap lembar papan yang terdapat pada rumah adat Karo.
Ketahanan rumah adat juga berkisar empat ratus tahun di tempat penulis
mengadakan penelitian. Bahan dasar ornamen ini adalah sejenis tali (ijuk)
yang dibentuk membentuk cecak dan lengket pada derpih rumah adat Karo.
b. Fungsi
Pengret-ret ini dalam masyarakat Karo diletakan pada derpih depan
rumah adat Karo yang berfungsi sebagai
1. Tolak Bala
Tolak bala merupakan penolakan masyarakat Karo terhadap segala
bahaya yang datangnya dari roh-roh jahat di udara yang dapat mengganggu
ketentraman orang yang berada dalam rumah adat.
Didalam rumah adat Karo terdiri dari delapan rumah tangga yang
semuanya diikat oleh rasa kesatuan yang merasa senasib sepenanggugan,
datangnya dari luar mereka percaya bahwa ornamen pengret-ret akan
menjaga mereka.
2. Pagar Rumah
Ornamen ini merupakan pagar rumah yang berfungsi menjaga
pemilik rumah dari orang yang berusaha untuk mengganggu ketentraman
dari pemilik rumah. Mereka percaya bahwa kekuatan jahat yang ada di
sekitar mereka dapat merusak keharmonisan yang ada dalam rumah adat.
Untuk menghalau kekuatan jahat itu mereka percaya bahwa ornamen
pengeret-ret sebagai penolak kekuatan jahat
pelindung yang melindungi seisi rumah orang tersebut agar terhindar dari
perbuatan jahat orang lain yang memiliki niat yang akan mengganggu
ketentraman orang yang ada dalam rumah adat.
c. Makna
Makna dalam ornamen pengret-ret ini tidak jauh dari fungsinya
yaitu sebagai makna kekuatan dan kepercayaan.
a. Makna kekuatan ini ditunjukkan pada saat pembangunan rumah yang
mempergunakan pengret-ret sebagai paku yang merupakan tali yang
mengikat setiap lembar papan yang ada dalam rumah adat. Masyarakat
Karo memiliki keyakinan pengret-ret lebih kuat untuk menjaga
ketahanan rumah dari gangguan alam seperti gempa, karena setiap
lembar yang di ikat oleh pengret-ret lebih kuat dan lebih tahan lama.
b. Makna Kepercayaan dimana mereka percaya bahwa ornamen pengret-ret
memberikan perlindungan yang menolak segala niat jahat orang dan
sebagai pagar rumah yang melindungi orang yang ada dalam rumah.
4.5.6. Ornamen Bendi-Bendi
a. Bentuk
Ornamen di atas berbentuk satu garis panjang dengan tiga lubang
pegangan apabila memasuki rumah adat. Ornamen tersebut dipahat dari
bahan kayu. Adapun bahan kayu yang membentuk ornamen ini disebut
kempawa.
Kempawa memiliki arti kayu yang sudah tua. Kayu yang sudah tua
itu dipahat hingga membentuk setengah lingkaran. Ornamen ini berwarna
hitam dan pada bagian kiri dan kanan pintu rumah adat Karo. Ornamen ini
ditempatkan pada bagian kiri dan kanan pintu rumah adat Karo agar
menjadi pegangan ketika masuk ke rumah. Ornamen tersebut juga sebagai
pegangan ibu-ibu hamil saat proses persalinan.
b. Fungsi
Ornamen Bendi – bendi di atas diletakkan padasebelah kiri dan
kanan pintu rumah adapt Karo yang memiliki fungsi
a. Pegangan ketika akan memasuki rumah
Ornamen Bendi-bendi diletakkan pada pintu sebelah kiri dan kanan
rumah adat Karo disebabkan karena bendi-bendi sebagai pegangan saat
kita memegang bendi-bendi sebagai pegangan dan penyambut kedatangan
kita untuk masuk dan melangkahkan kaki untuk masuk kerumah.
b. Pegangan ibu-ibu hamil saat melakukan proses persalinan
Ornamen Bendi-bendi juga merupakan pegangan Ibu-ibu hamil saat
proses persalinan. Saat akan melakukan proses persalinan ibu-ibu hamil
akan didudukkan di atas danggulen (pijakan waktu akan memasuki rumah)
dan tangan ibu tersebut akan di ikatkan pada ornamen Bendi-bendi yang
berfungsi sebagai pegangan dan dukun beranak (sibaso) akan memulai
proses persalinan.
c. Makna
Makna yang terdapat pada ornament Bendi-bendi ialah makna
kekuatan dan makna komunikasi.
a. Makna kekuatan
Makna kekuatan ini ditunjukkan pada kekuatan seorang ibu ketika
akan melahirkan anaknya dimana pada saat proses persalinan ibu yang akan
saat itu dunia kedokteran belum mereka kenal jadi ibu tersebut hanya di
temani sibaso (dukun beranak) dalam proses persalinan.
b. Makna Komunikasi
Ornamen ini bermakna komunikasi yang menunjukkan hubungan
komunikasi antara penghuni rumah dengan lingkungan tempat mereka
tinggal. Bendi-bendi yang berada didekat pintu masuk merupakan
pengalo-alo (penyambut tamu) yang menunjukkan sikap keterbukaan masyarakat
Karo dengan dunia luar. Namun keterbukaan itu ada batasnya sesuai dengan
etika. Apabila tergantung seutas benang pada ornamen Bendi-bendi tamu
tersebut harus masuk melalui pintu yang lain.
4.5.7. Ornamen Bunga Gundur Sitelinen
a. Bentuk
Ornamen ini memiliki bentuk persegi dengan dihiasi kotak-kotak.
Bunga tersebut merupakan bunga labu yang saling menelan.
Ornamen ini berbentuk kotak-kotak yang merupakan tiruan dari gambar
bunga labu. Yang setiap kotak yang di gambarkan pada ornamen memiliki
sisi, lebar dan luas yang sama.
Ornamen ini dapat kita lihat pada bagian depan (ayo-ayo) rumah
adat Karo, dengan warna dasar hitam dan putih, di katakan ayo-ayo karena
memiliki arti bahwa benda yang dipergunakan dalam pembuatan ornamen
tersebut terbuat dari bambu yang di iris tipis-tipis lalu dianyam membentuk
rupa bunga labu yang saling.
Bentuk yang melatar belakangi pembuatan pada ornamen ini di latar
belakangi oleh masyarakat Karo yang melihat bunga labu yang saling
menelan menunjukkan kelemahan dari bunga yang merupakan sebagai
suatu bentuk perlawanan masyarakat Karo terhadap musuh.
b. Fungsi
Ornamen ini diletakkan pada ayo-ayo rumah adat Karo yang
memiliki fungsi
1. Mengetahui kelemahan lawan
Bunga tersebut yang melatar belakangi masyarakat Karo untuk melihat
segala kelemahan dari pada lawan yang berusaha untuk mengganggu
ketentraman rumah dan kampung yang ada pada masyarakat Karo.
2. Sebagai ventilasi udara
Ornamen ini diletakkan pada ayo-ayo rumah adapt Karo berfungsi
sebagai ventilasi udara yang memberikan kesegaran pada rumah adat
karena ornament ini di tempatkan di atas bagian depan yang berbentuk
segitiga dari rumah adat Karo.
c. Makna
Ornamen Bunga Gundur Sitelinen merupakan gambaran bunga labu
yang saling menelan. Ornamen ini mempunyai makna sebagai keamanan.
Keamanan yang ditunjukkan pada ornamen Bunga Gundur Sitelinen
dimana ornamen ini sebagai pelindung yang melindungi anggota keluarga
yang ada dalam rumah adat dengan mempelajari setiap kelemahan dari
pada lawan.
melatarbelakangi pembuatan ornamen ini pada ayo-ayo rumah adat Karo.
Perlindungan tersebut berupa kekuatan dari pada lawan yang ingin merusak
kampung atau anggota keluarga dengan mengetahui maksud jahat orang
tersebut sehingga bisa dibuat penangkal dan kampong atau orang yang
berada dalam rumah adat terlindungi.
4.5.8. Ornamen Ser-ser Sigembel
a. Bentuk
Ornamen ini berbentuk persegi empat sama sisi, yang bahagian
tengahnya membentuk kotak-kotak membentuk persegi panjang yang
keempat memiliki sisi yang sama dan bagian dalam ornamen membentuk
persegi panjang.
Ornamen ini terdapat pada ayo-ayo depan rumah adat Karo dengan
warna dasar hitam. Ornamen ini dibuat dengan cara dianyam dari bambu
yang diiris tipis dan dibelah membentuk kotak persegi dan persegi panjang
yang menunjukkan pembagian tugas kepala keluarga yang ada di dalam
rumah adat dan kesatuan mereka untuk bermusyawarah dalam mengambil
keputusan.
b. Fungsi
Ornamen ini diletakkan pada Ayo-ayo rumah adat Karo yang
mempunyai fungsi
Sebagai penolak segala bala yang ada pada masyarakat Karo yang
mengganggu ketentraman rumah. Setiap bahaya datangnya tidak
disangka-sangka maka setiap anggota keluarga yang berada dalam rumah adat akan
Ornamen ini juga memperlihatkan tugas dari masing-masing kepala
keluarga yang ada dalam rumah adat.
Didalam Rumah adat masyarakat Karo terdiri dari delapan keluarga
maka setiap keluarga menempati masing-masing jabu dan dua keluarga
memiliki satu tempat masak.
Kepala keluarga yang ada dalam rumah adat tersebut juga memiliki
fungsi sendiri –sendiri dalam rangkaian pengelolaan kegiatan masyarakat
terkecil dirumah itu. Ada yang berfungsi sebagai kepala dari seluruh
penghuni rumah, petugas keamanan dan penghubung pemberi kabar
informasi, penjaga ketentraman, juru bicara, pemberi nasihat.
Masing-masing cara kerja kepala keluarga sudah ditentukan melalui musyawarah.
Ornamen Ser-ser Sigembel yang diletakkan pada ayo-ayo rumah
adat Karo juga memiliki fungsi sebagai ventilasi udara yang memberikan
c. Makna
Saat kita melihat ornamen diatas maka terdapat makna
kebijaksanaan dan kepercayaan.
1. Makna Kebijaksanaan
Penghuni rumah adat masyarakat Karo terdiri dari delapan keluarga
yang menempati rumah adat maka dalam urusan untuk ketentraman rumah
perlu diambil suatu keputusan yang tidak merugikan salah satu keluarga
maka diambil suatu kebijaksanaan. Hal ini terlihat jika sekiranya dalam
rumah adat itu terjadi suatu kecurangan ataupun pertengkaran maka
pertama sekali personalannya diselesaikan oleh anggota-anggota keluarga
penghuni rumah dan ada pihak yang membuka persoalan (anak berru) dan
pihak yang tertuduh juga dapat membela dirinya baik oleh dirinya maupun
anak sampai penyelesaian masalah ditemukan.
2. Makna Kepercayaan
Ornamen ini bermakna kepercayaan, karena mereka percaya setiap
bahaya datangnya tidak disangka-sangka maka setiap anggota keluarga
4.5.9. Ornamen Taruk-taruk
a. Bentuk
Ornamen ini berbentuk gambar bunga yang merupakan tiruan dari
tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan itu merupakan sulur labu yang
menjalar. Tumbuhan Sulur labu yang menjalar menunjukkan kesuburan dan
kemakmuran yang memberikan kebahagian.
Kebahagian itu didapatkan dari hasil pengolahan pertanian yang
akan mendatangkan rejeki yang baik pada masyarakat Karo. Hal inilah yang
melatarbelakangi masyarakat Karo membentuk ornamen Taruk-taruk yang
Ornamen ini di bentuk dengan teknik tatah dan diberi warna sesuai
dengan gambar Sulur labu yang menjalar.
b. Fungsi
Ornamen Taruk-taruk di atas diletakkan pada dapur-dapur rumah
adat Karo yang berfungsi sebagai hiasan yang memperindah sepanjang
dapur-dapur rumah adat Karo. Keindahan dari sulur labu ditunjukkan pada
pertanian Karo yang sampai pada saat sekarang ini masih dapat terlihat.
Sulur labu yang menjalar menunjukkan kesuburan pertanian Karo yang
pada umumnya masyarakat Karo menyukai pertanian sebagai mata
pencaharian mereka. Pertanian juga memberikan rejeki yang baik pada
masyarakat Karo.
c. Makna
Makna yang terdapat pada ornamen Taruk-taruk ialah makna
atau orang yang bekerja dilembaga instansi juga akan menyempatkan waktu
kosongnya dengan bertani.
Pertanian yang ada di Karo dengan menanam sayur mayur,
buah-buahan dan padi sebagai tanaman yang mereka anggap mendatangkan
rejeki yang baik.
Penanaman yang dilakukan juga bertukar-tukar menurut musim
tanam masing-masing sehingga mendatangkan rejeki yang baik bagi
mereka. Pada zaman dahulu tanah yang mereka olah adalah tanah adat yang
berdasarkan keturunan. Pelaksanaan pengolahan tanah juga dengan gotong
royong yang disebut dengan aron (kelompok kerja) sehingga pekerjaan juga
cepat selesai.
Akan tetapi pada saat sekarang ini pengolahan tanah tidak
berdasarkan tanah adat lagi, tetapi menurut kemampuan ekonomi yang ada
4.5.10. Ornamen Pantil Manggis
a. Bentuk
Ornamen ini berbentuk persegi empat yang bagian tengahnya dibagi
atas empat bagian seperti gambar kelopak bunga. Antara kelopak bunga
yang pertama, kedua, ketiga dan ke empat memiliki ukuran yang sama.
Keempat kelopak bunga tersebut berwarna putih dan persegi dan yang
menutupi kelopak tersebut berwarna hitam.
Ornamen ini bermotif tumbuh-tumbuhan berupa bagian bawah buah
manggis. Bagian bawah buah manggis tersebut menunjukkan isi dari pada
Adapun ornamen ini bermotif tumbuh-tumbuhan karena merupakan
tiruan dari buah manggis dan isi dari buah manggis. Warna hitam persegi
pada ornamen ini menunjukkan kulit dari buah manggis dan putih yang
membentuk kelopak bunga menunjukkan isi dari buah manggis tersebut.
Bahan dasar ornamen ini adalah papan (ayo-ayo) yang tehnik
pembuatannya dengan cara di ukir yang menyerupai bagian bawah buah
manggis dengan warna dasar putih membentuk kelopak bunga yang setiap
bentuknya sama.
b. Fungsi
Ornamen pantil manggis diatas di letakkan pada dapur-dapur rumah
adat Karo yang berfungsi sebagai
1. Hiasan yang memperindah rumah adat Karo. Bunga yang merupakan
bagian bawah buah manggis akan memberikan kesan indah pada
dapur-dapur rumah adat Karo.
2. Ornamen Pantil Manggis juga menunjukkan kemurah hatian masyarakat