• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN MAKNA SEMIOTIK DAN NILAI BUDAYA PADA BANGUNAN MASJID CHENG HOO DI PALEMBANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KAJIAN MAKNA SEMIOTIK DAN NILAI BUDAYA PADA BANGUNAN MASJID CHENG HOO DI PALEMBANG"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)KAJIAN MAKNA SEMIOTIK DAN NILAI BUDAYA PADA BANGUNAN MASJID CHENG HOO DI PALEMBANG 郑豪清真寺文化价值观与符号研究. (Zhèng háo qīngzhēnsì wénhuà. jiàzhíguān yǔ fúhào yánjiū). SKRIPSI SARJANA. Oleh : NAMA. : TRI SURATNO. NIM. : 120710061. PROGRAM STUDI SASTRA CINA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(2) Lembar Pengesahan. KAJIAN MAKNA SEMIOTIK DAN NILAI BUDAYA PADA BANGUNAN MASJID CHENG HOO DI PALEMBANG 郑豪清真寺文化价值观与符号研究. (Zhèng háo qīngzhēnsì wénhuà. jiàzhíguān yǔ fúhào yánjiū). PROPOSAL SKRIPSI SARJANA. Nama NIM. : TRI SURATNO : 120710061. Disetujui oleh Pembimbing I,. Drs. Warisman Sinaga, M.Hum.. Pembimbing II,. T. Kasa Rullah, S.S., MTCSOL. NIP 196207161988031002. PROGRAM STUDI SASTRA CINA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(3) ABSTRACT. This bachelor thesis titled "Study of Values and Semiotics Culture On the Cheng Hoo Mosque Building in Palembang." The purpose of this study is to solve the problem formulation as follows: (1) What are the meaning of semiotic that can be examined and understood in each element of the building or ornament in the Mosque Cheng Hoo Palembang? and (2) what cultural values that are located on each element of the mosque building Cheng Hoo Palembang. To study the problems of semiotic meaning the authors use semiotic theory of culture by Sander Pierce. As for knowing the value of cultural authors use the theory of cultural values. The methods and techniques used in this research is a descriptive method and qualitative method, the technique is based on the documentation, informant interviews, literature studies, field studies or observations and analyzing or sorting data. The results obtained from this research is: (1) on the study of meaning cultural semiotics contained in the Mosque building of Cheng Hoo Palembang are as follows: (i) the mosque function as a place of worship as well as a social and cultural activities, (ii) the dome as identity of Islamic buildings which acculturative, (iii) the symbol of the moon and the stars as an update and Islamic unity, (iv) octagonal star as a symbol of the philosophy Buddhism and Islam, (v) the tower resembles pagoda as a sign of "Hablum Minallah and Hablum Minannas", (vi) the red color symbol of the spirit, the green color symbol of the wealthy and the gold color symbol of luck, (vii) the drum as a form of cultural assimilation between China and Islam, (viii) pillar of the mosque as a symbol of luck because there are eight, (ix) roof Limas as the characteristic of the tribe Palembang, (x) gate as the entrance to the peace of the soul, (xi) the meaning of the door as the main road and symbol of the empire China (xii) the name board of the mosque refers to Admiral Cheng Hoo. (2) From the analysis of cultural values was in the Mosque building of Cheng Hoo Palembang is: (i) the spiritual value, (ii) the value of cultural identity, (iii) the aesthetic value, (iv) the value of humanity, and (v) social value.. Keywords: semiotics, mosque, cultural meanings, cultural values. i UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(4) ABSTRAK Skripsi ini berjudul “Kajian Nilai Dan Semiotik Budaya Pada Bangunan Masjid Cheng Hoo Di Palembang.” Tujuan penelitian ini adalah untuk menyelesaikan rumusan masalah sebagai berikut: (1) Apa saja makna semiotik yang dapat dikaji dan dipahami pada setiap unsur bangunan atau ornamen di Masjid Cheng Hoo Palembang? dan (2) Apa saja nilai budaya yang terdapat pada setiap unsur bangunan Masjid Cheng Hoo Palembang. Untuk mengkaji permasalahan makna semiotik penulis memakai teori semiotik budaya oleh Sander Pierce. Sedangkan untuk mengetahui nilai budaya yang ada penulis memakai teori nilai budaya. Metode dan teknik yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif dan metode kualitatif, dengan berdasar kepada teknik dokumentasi, wawancara informan, studi kepustakaan, studi lapangan atau observasi dan menganalisis atau memilah data. Hasil temuan yang diperoleh dari penelitian ini adalah: (1) dari kajian makna semiotik budaya yang terdapat dalam bangunan Masjid Cheng Hoo Palembang ini yaitu sebagai berikut: (i) masjid berfungsi sebagai tempat ibadah serta tempat kegiatan sosial dan kebudayaan, (ii) kubah sebagai identitas bangunan Islam yang akulturatif, (iii) simbol bulan dan bintang sebagai pembaruan dan persatuan islam, (iv) bintang segi delapan sebagai simbol filosofi agama Buddha dan Islam, (v) menara menyerupai pagoda sebagai tanda “Hablum Minallah dan Hablum Minannas”, (vi) warna merah simbol semangat, warna hijau simbol makmur dan warna emas simbol keberuntungan, (vii) bedug sebagai bentuk asimilasi budaya antara Cina dan islam, (viii) tiang masjid sebagai simbol keberuntungan karena berjumlah delapan, (ix) atap limas sebagai ciri khas suku Palembang, (x) gerbang sebagai pintu masuk ketenangan jiwa, (xi) makna pintu sebagai jalan utama dan lambang kekaisaran Cina (xii) tulisan nama masjid merujuk kepada laksamana Cheng Hoo. (2) Dari analisis nilai budaya yang ada dalam bangunan Masjid Cheng Hoo Palembang ini adalah: (i) nilai spiritual, (ii) nilai identitas budaya, (iii) nilai estetika, (iv) nilai kemanusiaan, dan (v) nilai sosial. Kata kunci: semiotik, masjid, makna budaya, nilai budaya. ii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(5) KATA PENGANTAR. Puji dan syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhana Wataala atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses akademik atau belajar secara formal di Departemen Sastra Cina, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Penulis juga mengucapkan Shalawat beriring salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, yang telah menuntun penulis dengan Islam dan iman. Adapun tujuan dari tulisan dalam bentuk skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu di Program Studi Sastra Cina, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Kajian Nilai Dan Semiotik Budaya Pada Bangunan Masjid Cheng Hoo Di Palembang.” Dalam skripsi ini penulis mengkaji makna semiotik dan nilai budaya yang terdapat pada bangunan Masjid Cheng Hoo yang berada kawasan Jakabaring kota Palembang. Sebuah hal yang sangat luar biasa sampai akhirnya tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik dan sesuai dengan yang diharapkan. Dalam penyelesaian skripsi ini, tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak yang telah memberikan semangat, waktu, bimbingan, arahan dan doa kepada penulis. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Rektor Universitas Sumatera Utara yang baru terpilih, yaitu Bapak Prof. Dr Runtung Sitepu SH, M.Hum. atas sebuah kesempatan yang diberikan kepada penulis sehingga penulis berstatus mahasiswa Program Studi Sastra Cina, Universitas Sumatera Utara berkesempatan untuk menyelesaikan Studi S-1 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dengan baik.. iii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(6) 2. Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang baru terpilih, yaitu Bapak Dr. Drs. Budi Agustono, M.S. atas kesempatan dan waktu yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Studi S-1 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dengan baik. 3. Ketua Departemen Program Studi Sastra Cina, Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. yang telah dengan baik dan tulus dalam mendidik dan memberikan pengarahan kepada penulis dari masa perkuliahan sampai saat ini. 4. Sekretaris Departemen Program Studi Sastra Cina, Ibu Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si. yang telah memberikan bimbingan dan masukan serta nasehat yang luar biasa kepada penulis mulai dari masa perkuliahan sampai saat ini. 5. Dosen pembimbing I, Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum. yang telah dengan sabar dalam membimbing, menasehati serta memberikan dukungan dalam pengerjaan tugas akhir kepada penulis sehingga dapat terselesaikan dengan baik dan sesuai harapan. 6. Dosen pembimbing II, Laoshi T. Kasarullah Adha, S.S, MTCSOL., yang telah dengan sabar membantu penulis dalam mengerjakan tugas akhir terjemahan bahasa Mandarin serta memberikan bimbingan, masukan dan semangat luar biasa kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini. 7. Kedua Orang tua saya yang sangat luar biasa, Almarhum Ayah Suhariyadi dan Ibu Rosdiana Zein, yang telah membesarkan, mendidik, mendoakan, menasehati dan menyekolahkan saya sampai jenjang yang tinggi khususnya di tingkat strata satu ini. Semua yang telah Ayah dan Ibu berikan tidak mampu saya balas dengan apapun. Hanya skripsi inilah yang bisa saya berikan sebagai tanggung jawab dan bakti anak kepada orang tuanya. Tak lupa juga Kakak-kakakku tersayang Winni Ayu Utami dan Dwi Ajeng Setiati dan Abang Iparku Nazmi Nasution serta seluruh Keluarga Besar Ramli di Medan dan Banyuwangi juga Keluarga Besar Zein di Medan yang telah memberikan dukungan, semangat dan doa kepada saya. 8. Seluruh dosen dan staf pegawai Program Studi Sastra Cina, Laoshi Julina, Laoshi Mei Hua, Laoshi Ali Sumardjo, Laoshi Vivi, Laoshi Sheyra, Laoshi Sheyla, Laoshi Intan, Laoshi Caca, Kak Endang selaku administrasi dan adik PKL Edo yang telah baik melayani dan membantu segala urusan akademik serta seluruh dosen dan staf pegawai Program Sastra Cina lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. iv UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(7) 9. Seluruh teman-teman seperjuangan stambuk 2012 Program Studi Sastra Cina yang telah banyak memberikan semangat dan dukungan serta senantiasa menemani selama 4 tahun masa perkuliahan yang penuh dengan suka cita dan canda tawa, Taufiq, Seltica, Fiqhi Nadiah, Rozalina, Alex, Andre, Lamhot, Afrah, Ayu, Icut, Devinta, Doin, Emy, Faeny, Nova, Febriyati, Hesti, Indri, Ira, Ivan, Janet, Jenyfer, Juliana, Windy, Lara, Lili, Manur, Margareth, Panji, Putri Sirait, Putri Sumityu, Dina, Rianly, Riska, Shella, Darwis, Sri Dila, Sri Ramayuna, Sugar, Mira, Oka, Via, Winona, Yoan, Yolanda, Yosanti, Yuni, Yulia dan Erni. Dan adik-adik junior dari stambuk 2013, 2014 dan 2015. 10. Pihak Tanoto Foundation yang telah membantu saya memberikan bantuan beasiswa dari awal kuliah sampai selesai saat ini. Saya ucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Bapak Sukanto Tanoto dan Ibu Tinah Binge Tanoto serta Kak Vika Puspita, Bapak Tonny Candra, Kak Kristin dan Kak Nicky. Kemudian teman-teman dari Tanoto Scholars Association Medan yaitu Andi, Nike, Jackson, Merry, Lili, Wella, Syahrul, Novrian, Suryani, Bang Simon dan yang lainnya yang tidak bias disebutkan satu persatu. 11. Abangda Rudiansyah, S.S. dan Kakak Elysa Afrilliani yang telah banyak membantu, membimbing, menasehati dan mengoreksi skripsi saya dengan baik sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan tepat waktu. 12. Teman-teman SD, SMP dan SMA yang ada di kota Medan. Kemudian, Dokter Hendra Gunawan, Bang Ricky dan Bang Kiki yang selalu memberikan semangat kepada saya untuk mengerjakan skripsi ini. Teman-teman dari ikatan Jaka Dara Medan, Duta Mahasiswa, Duta Koperasi, Komunitas Traveler dan Klub Photografi Medan yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya, terimakasih atas semua doa dan dukungan kalian. 13. Koko Deddy Huang yang telah membantu saya menemani perjalanan penelitian skripsi di Palembang, Bang Rudi serta Keluarga Kak Dea saya mengucapkan terimakasih banyak atas bantuan kalian semua sehingga skripsi ini dapat berjalan dengan lancer. 14. Informan yang telah berkenan untuk di wawancarai serta memberikan waktu dan kesempatan juga pengetahuan kepada penulis, yaitu Bapak Haji Ahmad Afandi selaku Dewan Pimpinan Wilayah PITI Sumatera Selatan dan Pendiri Masjid Cheng Hoo Palembang. Kemudian, Ibu Merry Effendi selaku administrasi Masjid Cheng Hoo yang telah menerima saya sebagai tamu dan bersedia diwawancarai. Ibu Cahyo Sulistya Ningsih yang bekerja di Museum Sriwijaya sebagai ahli sejarah dan memberikan saya v UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(8) buku kisah kehidupan Cheng Hoo. Koko Mulyadi sebagai penjaga Rumah Kapitan di Palembang dan mengetahui sejarah bangunan Palembang dan Cina. Dan terakhir, Bapak Burhan S.Ag, M.si yang bekerja di kementerian agama kota Medan dan mengetahui makna simbolis bangunan dan pengetahuan mengenai budaya Cina di Indonesia serta semua informan lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terimakasih banyak atas semua informasi, masukan yang membangun serta kerjasamany. Tanpa bantuan anda semua saya tidak mungkin dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu.. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata kesempurnaan. Penulis berharap agar tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, selain itu dapat menjadi sumbangan atau referensi untuk ilmu pengetahuan, khususnya di bidang Sastra Cina. Oleh sebab itu, kepada semua pihak penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, demi perbaikan skripsi ini.. Medan, 15 Desember 2016 Penulis,. TRI SURATNO NIM. 120710061. vi UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(9) DAFTAR ISI. ABSTRAK ………………………………………………………………… KATA PENGANTAR ……………………………………………………. DAFTAR ISI ............................................................................................... DAFTAR GAMBAR .................................................................................. DAFTAR TABEL ....................................................................................... i iii vii ix x. BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................... 1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1.2 Batasan Masalah ...................................................................... 1.3 Rumusan Masalah ................................................................... 1.4 Tujuan Penelitian .................................................................... 1.5 Manfaat Penelitian ................................................................... 1 1 15 15 15 16. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 2.1 Konsep .................................................................................... 2.1.1 Kajian ............................................................................. 2.1.2 Semiotik ......................................................................... 2.1.3 Nilai Budaya ................................................................... 2.1.4 Bangunan ....................................................................... 2.1.5 Masjid ............................................................................ 2.1.6 Laksamana Cheng Hoo .................................................. 2.2 Landasan Teori ......................................................................... 2.2.1 Teori Semiotik Budaya .................................................... 2.2.2 Teori Nilai Budaya ........................................................... 2.3 Tinjauan Pustaka .................................................................... 2.3.1 Penelitian Terdahulu ......................................................... 17 17 17 18 19 20 21 22 24 25 28 29 29. BAB III METODE PENELITIAN .......................................................... 3.1 Metode Penelitian Deskriptif .................................................. 3.2 Metode Penelitian Kualitatif ................................................... 3.3 Data dan Sumber Data ............................................................ 3.3.1 Data .......................................................................... 3.3.2 Sumber Data ................................................................ 3.4 Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 3.4.1 Dokumentasi ................................................................. 3.4.2 Wawancara ................................................................... 3.4.3 Studi Kepustakaan ......................................................... 3.4.4 Studi Lapangan .............................................................. 3.5 Teknik Analisis Data ................................................................ 30 30 31 32 32 32 33 33 33 34 34 35. vii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(10) BAB IV GAMBARAN UMUM KOTA PALEMBANG, BIOGRAFI LAKSAMANA CHENG HOO, RUMAH TAHFIZ, KEGIATAN PITI DAN MASJID CHENG HOO PALEMBANG ........................................................................................... . 4.1 Gambaran Umum Kota Palembang ........................................ 36 4.1.1 Letak Geografis ............................................................. . 36 4.1.2 Demografi Masyarakat .................................................. . 38 4.1.3 Sumber Daya .................................................................. 41 4.1.4 Kehidupan Sosial .......................................................... 42 4.2 Biografi Laksamana Cheng Hoo ............................................ . 44 4.3 Rumah Tahfiz Atau TPA ................................................... ….. 51 4.3.1 Tujuan Rumah Tahfiz ........................................................ 53 4.3.2 Rumah Tahfiz Masjid Cheng Hoo Palembang ................. . 53 4.4 Kegiatan PITI Sumatera Selatan ............................................. . 55 4.5 Masjid Cheng Hoo Palembang ............................................... . 56 4.5.1 Lokasi ................................................................................ . 58 4.5.2 Sejarah ............................................................................... . 59 BAB V KAJIAN SEMIOTIK TERHADAP MAKNA DAN NILAI BUDAYA 5.1 Makna Budaya ........................................................................ . 62 5.1.1 Fungsi dan Makna Masjid ................................................ . 62 5.1.2 Makna Kubah .................................................................. . 64 5.1.3 Makna Bulan dan Bintang .............................................. . 65 5.1.4 Makna Bintang Segi Delapan ......................................... . 67 5.1.5 Makna Menara di Kedua Sisi Masjid .............................. . 70 5.1.6 Makna Warna .................................................................. . 72 5.1.7 Makna Bedug .................................................................. . 73 5.1.8 Makna Tiang Masjid ....................................................... . 74 5.1.9 Makna Atap Limas .......................................................... . 75 5.1.10 Makna Gerbang Menyerupai Klenteng ........................ . 76 5.1.11 Makna Pintu ................................................................. . 77 5.1.12 Makna Tulisan Nama Masjid ....................................... . 78 5.2 Nilai Budaya ......................................................................... . 79 5.2.1 Nilai Spiritual .................................................................. . 80 5.2.2 Nilai Identitas Budaya ..................................................... . 81 5.2.3 Nilai Estetika ................................................................... . 83 5.2.4 Nilai Kemanusiaan .......................................................... . 84 5.2.5 Nilai Sosial ...................................................................... . 85 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………. 6.1 Kesimpulan ………………………………………………….. 6.2 Saran …………………………….………………………….. 86 86 88. DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………... LAMPIRAN ………………………………………………………………. Daftar Informan ……………………………………………………………. Daftar Pertanyaan ……………………………………………………….…. 89 92 92 93. viii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(11) DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 : Masjid Niujie di Beijing, Cina Gambar 1.2 : Pintu Masuk Utama Masjid Gambar 1.3: Masjid Dongguan di Qinghai, Cina Gambar 1.4 : Gerbang Masuk Masjid Gambar 1.5 : Ruang Utama Ibadah Masjid Dongguan Gambar 1.6 : Bangunan Masjid Jami’ Tan Kok Liong Gambar 1.7 : Masjid Cheng Hoo Surabaya Gambar 1.8 : Masjid Cheng Hoo Palembang Gambar 1.9 : Gerbang Masuk Masjid Cheng Hoo Palembang Gambar 1.10 : Papan yang bertuliskan aksara Mandarin Masjid Gambar 1.11 : Ayat-ayat Al-Qur’an terdapat dinding masjid Cheng Hoo Gambar 1.12 : Simbol Segi Delapan Terdapat di di Tiap Sudut dan Lantai Bangunan Gambar 4.1 : Peta Kota Palembang Gambar 4.2 : Laksamana Cheng Hoo Gambar 4.3 : Rumah Tahfiz (Taman Pendidikan Al-Qur’an) Gambar 5.1 : Kubah berwarna hijau pada masjid Cheng Hoo Gambar 5.2 : Simbol Bulan dan Bintang di Atas Kubah Masjid Gambar 5.3 : Simbol Bintang Segi Delapan di Lantai Masjid Gambar 5.4 : Menara di Kedua Sisi Bangunan Utama Masjid Gambar 5.5 : Bedug di Halaman Masjid Gambar 5.6 : Tiang Masjid tampak dari atas, depan dan belakang Gambar 5.7 : Atap Limas di Masjid Gambar 5.8 : Gerbang masuk Masjid Cheng Hoo Gambar 5.9 : Pintu Masuk Masjid Gambar 5.10 : Papan Nama Masjid di Gerbang Masuk ix UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(12) DAFTAR TABEL. Tabel 4.1 : Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin Tahun 2015 Tabel 4.2 : Jumlah Penduduk Menurut Agama yang Dianut Tahun 2014 Tabel 4.3 : Laju pertumbuhan Ekonomi Kota Palembang Tahun 2009-2011. x UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(13) BAB I PENDAHULUAN. 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang dicirikan oleh adanya keragaman. budaya. Keanekaragaman bangsa Indonesia dilatarbelakangi oleh jumlah suku bangsa dan etnis di Indonesia yang sangat banyak dan setiap suku bangsa tersebut mempunyai ciri atau karakter tersendiri, baik dalam aspek sosial, budaya maupun agama atau keyakinan. Menurut sensus Badan Pusat Statistik Tahun 2010, jumlah suku bangsa di Indonesia lebih dari 300 kelompok etnis, atau lebih tepatnya mencapai 1.340 suku bangsa. Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia adalah etnis kedua dengan jumlah populasi terbesar setelah etnis Jawa. Masyarakat keturunan Tionghoa tersebar di berbagai daerah yang ada di Indonesia. Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa dan daerah - daerah lain seperti Sumatera Utara, Bangka-Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (Budiman, 1982 : 14). Dari populasi dengan jumlah yang cukup besar, masyarakat keturunan Tionghoa dan masyarakat pribumi saling membaur dalam memperkenalkan seni, kebudayaan dan sistem religi. Ternyata dengan adanya pembauran tersebut sudah banyak masyarakat keturunan Tionghoa yang telah menganut kepercayaan Islam dengan menjadi seorang mualaf1.. Mualaf berasal dari bahasa Arab (‫ أل فه أي ص يره أل ي فا‬. ) yang berarti menjadikannya jinak. Sedangkan bahasa Arab lainnya ( ‫ ) ق لوب هم ال مؤل ف‬artinya orang yang hatinya dijinakan. Istilah ini digunakan untuk orang yang sedang dijinakkan hatinya oleh islam agar membela atau masuk islam (Hendropuspito, 1983 : 79). 1. 1 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(14) Lipman (1997 : 62) mengatakan, “Islam pertama kali diperkenalkan di Cina sejak 616618 Masehi oleh sahabat Nabi Muhammad (SAW) Sa’ad bin Abi Waqqas, Sayid, Wahab bin Abu Kabcha dan Wahab bin Abu Kabcha (Wahab abi Kabcha) mungkin telah menjadi putra AlHarth bin Abdul Uzza (juga dikenal sebagai Abu Kabsha) melalui jalur perdagangan dan pertukaran diplomatik.” Sa’ad bin Abi Waqqas bersama dengan tiga sahabat, yaitu Suhayla Aburaja, Uwais alQarani, dan Hassan ibnu Tsabit kembali ke Cina dari Arab Saudi pada 637 Masehi melalui rute Yunan – Manipur – Chittagong. Mereka dikirim sebagai utusan resmi untuk Kaisar Gaozong (Dinasti Tang) selama pemerintahan Khalifah Utsman. Berdasarkan penjelasan sebelumnya terdapat informasi yang menjelaskan bahwa muslim Tionghoa sudah ada sejak Islam masuk ke daratan Cina, khususnya di Provinsi Yunan yang mayoritas beragama Islam. Adapun di Indonesia sendiri, etnis muslim Tionghoa ini juga banyak terdapat di beberapa daerah di Indonesia, seperti kota Bandung, Palembang, dll. Ada yang mengatakan mereka memeluk islam karena perkawinan dengan penduduk pribumi, ada juga yang mengatakan karena penyebaran ajaran yang dulu dilakukan oleh Laksamana Cheng Hoo (Lipman, 1997 : 65). Sebelum islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Buddha. Dengan masuknya islam, Indonesia kembali mengalami proses akulturasi (proses bercampurnya dua (lebih) kebudayaan karena percampuran bangsa-bangsa dan saling mempengaruhi), yang melahirkan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia. Masuknya Islam tersebut tidak berarti kebudayaan Hindu dan Buddha hilang. Ajaran Islam mulai masuk ke Indonesia sekitar abad penyebaran awal Islam di nusantara. 2 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(15) dilakukan pedagang-pedagang Arab, Cina, India dan Persia. Setelah itu, proses penyebaran Islam dilakukan oleh kerajaan-kerajaan Islam nusantara melalui perkawinan, perdagangan dan peperangan (Tigor, 2004 : 30).. Masjid merupakan tempat umat Islam beribadah khususnya salat dan terutama dilakukan secara bersama-sama (berjamaah). Selain menjadi tempat ibadah, masjid adalah juga sebagai pusat peradaban Islam, seperti musyawarah, iktikaf (berzikir),. tausiyah (ceramah agama),. sampai juga tempat belajar agama, strategi perang di jalan Allah, dan lain-lainnya. Selain masjid, tempat umat Islam bersembahyang lainnya adalah musala (surau atau langgar). Perbedaan antara masjid dengan surau terutama adalah dari segi jumlah jemaah yang dapat ditampung serta kepengurusannya. Masjid dapat memuat jemaah yang relatif besar sekitar 40 atau lebih, dan biasanya memikiki badan kepengurusan yang disbut dengan nazir, serta masjid digunakan setiap hari Jumat untk melaksanakan shalat Jumat. Di sisi lain, surau adalah bangunan yang lebih kecil dari masjid, dan biasanya hanya dapat menampung jumlah jemaah kurang dari 40, meskipun memikiki kepengurusan namun tidak sekompleks kepengurusan masjid, dan biasanya tidak dijadikan sebagai tempat ibadah salat Jumat. Dalam konteks peradaban Islam, masjid merupakan bangunan yang bukan sekedar tempat bersujud, persucian, tempat salat, dan bertayamum, namun masjid juga merupakan tempat melaksanakan segala aktivitas kaum muslim yang bersangkut paut dengan ketaatan terhadap Tuhan. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam tersebar banyak masjid mulai dari pedesaan hingga kota-kota besar. Tuntutan kebutuhan pada masa sekarang ini menyebabkan semakin banyak terlihat bangunan masjid dengan segala kelengkapannya, dengan bentuk, gaya,. 3 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(16) corak, dan penampilannya berdasarkan kurun waktu, daerah, lingkungan kehidupan, adat istiadat dan kebiasaan, serta latar belakang dari yang membangun (Rochym, 1995 : 76). Masjid tidak hanya memiliki fungsi untuk masyarakat, tetapi juga sebagai identitas atau landmark suatu daerah. Masjid yang memiliki gaya bangunan yang unik dan menarik akan menambah rasa penasaran jemaah untuk datang sekaligus menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung. Banyak masjid. 2. di Indonesia yang tetap mempertahankan bentuk asalnya yang. menyerupai candi Hindu/Budha bahkan pagoda Asia Timur. Pada perkembangan selanjutnya arsitektur masjid lebih banyak mengadopsi bentuk dari Timur Tengah, seperti atap kubah bawang dan juga dari Cina seperti gerbang menyerupai klenteng atau vihara (Rochym, 1995 : 92). Masjid bergaya Cina saat ini sudah banyak ditemui khususnya di Indonesia Secara kultural bangunan yang mengadopsi gaya Cina khususnya masjid, sebagian ada yang mengikuti konsep kosmologi Cina yang disebut feng sui (geomansi) dan sebagian lagi tidak. Penggunaan warna-warna khusus, simbol dan arah mata angin dalam arsitektur tradisional Cina mencerminkan kepercayaan dalam ciri khususnya yang terkandung di dalam arsitektural itu sendiri (Tigor, 2004 : 82). Selain itu, ornamen bergaya Cina seperti gerbang, menara, atap dan sebagainya sering kita jumpai di dalam masjid bergaya Cina. Ornamen itu sendiri juga mempunyai makna khusus yang dapat dikaitkan dengan ilmu feng sui atau filosofi ajaran Buddha.. 2. Di dalam skripsi ini, digunakan penulisan masjid seperti terurai di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang ditulis oleh tim penulis dan penerbit Balai Pustaka, Jakarta. Di dalam kamus ini penulisan bisa dengan masjid dan bisa juga dengan mesjid. Kedua penulisan tersebut benar dan tidak salah. Kata ini adalah unsur serapan dan. sekaligus transliterasi dari kata masjid (. ) dalam bahasa Arab.. 4 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(17) Dalam konteks perkembangan Islam di seluruh dunia dan arsitektur masjid di kalangan masyarakat Tionghoa Islam, salah satu bangunan masjid yang terkenal adalah masjid Niujie di Provinsi Beijing, Cina. Masjid ini dibangun pada 996 Masehi selama Dinasti Liao (916-1125) sekaligus menjadi masjid terbesar dan tertua di Beijing, ibukota Cina. Masjid ini mengalami tiga kali renovasi yaitu pada tahun 1955, 1979 dan 1996. Arsitekturnya merupakan campuran dari Islam dan budaya Han Cina. Dari luar tampak fondasi atap, gerbang dan warna yang menonjol dari gaya Cina namun jika diperhatikan di pintu masuk utama terukir kaligrafi Arab khas Islam. Masjid ini juga menjadi inspirasi dari pembangunan masjid Cheng Hoo di Surabaya.. Gambar 1.1: Masjid Niujie di Beijing, Cina (Sumber:www.wikipedia.org/Niujie_Mosque). Gambar 1.2 : Pintu Masuk Utama Masjid (Sumber : www.wikipedia.org/Niujie_Mosque). 5 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(18) Pada jaman Dinasti Ming (1280 – 1364) Beijing sebuah kota di bagian utara Cina, menjadi pusat pemerintahan, sudah ramai dan banyak penduduk muslim. Nama masjid biasanya diambil dari nama pendirinya, kota dimana berada atau hal-hal yang menonjol dari bentuk, dekorasi maupun warnanya. Masjid ini tidak mengambil nama berdasarkan salah satu faktor tersebut, namun memakai nama jalan dimana masjid berada, yaitu jalan Niu Jie yang artinya “Jalan Lembu Jantan.” Salah satu hal yang unik dari masjid ini dibanding masjid lain di Cina adalah tata letaknya yang mengacu pada konsep tradisional Cina. Elemen – elemen utama dari kompleks yaitu gerbang, ruang sembahyang utama dan minaret berada pada satu garis sumbu timur – barat, mengikuti tradisi setempat (Sumalyo, 2000 : 465). Selain itu, salah satu masjid terkenal lainnya yang ada di Cina namun di lokasi berbeda yaitu masjid Dongguan di Provinsi Qinghai (bagian Cina barat laut). Masjid ini dibangun pada tahun 1379 selama Dinasti Ming (1368-1644) dan merupakan masjid terbesar di Qinghai. Bangunan masjid ini memiliki skala besar dan menggabungkan seni arsitektur tradisional Cina dengan bentuk arsitektur Islam. Pintu gerbang masjid menyerupai gapura yang elegan dengan nama masjid di atasnya. Dalam gerbang ada lima lengkungan tinggi 10 meter dan lebar 21 meter. Dua menara setinggi 8 meter berdiri di sisi kiri dan kanan bangunan utama dirancang untuk imam memanggil jemaah untuk beribadah (azan). Sekarang masjid ini berfungsi sebagai pusat pendidikan dan lembaga pendidikan tinggi untuk Islamisme.. 6 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(19) Gambar 1.3: Masjid Dongguan di Qinghai, Cina (Sumber : www.islamiCina.com). Gambar 1.4 : Gerbang Masuk Masjid (Sumber : www. www.islamiCina.com ). Gambar 1.5 : Ruang Utama Ibadah Masjid Dongguan (Sumber : www.islamiCina.com). Di Indonesia, ada beberapa masid dengan gaya bangunan Cina yang dibangun oleh masyarakat Tionghoa yang menganut agama Islam. Masyarakat tersebut memiliki persatuan komunitas yang dinamakan PITI, yaitu sebuah organisasi Tionghoa muslim di Indonesia yang didirikan di Jakarta pada tanggal 14 April 1961. Program PITI adalah menyampaikan dakwah Islam khususnya kepada masyarakat Tionghoa dan pembinaan dalam bentuk bimbingan agama. Pembina Iman Tauhid Islam atau biasa disebut Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) mempunyai khittah perjuangan yaitu mempersatukan muslim Tionghoa secara utuh, mempererat dan saling mendukung antara muslim Tionghoa dengan kaum muslimin di Indonesia maupun dunia internasional secara global, memperkenalkan agama Islam dengan benar dan utuh kepada masyarakat keturunan Tionghoa secara proporsional. Demi mewujudkan cita-cita tersebut, salah satu sarana yang dibangun oleh PITI yaitu masjid. Namun, masjid yang dibangun oleh PITI kebanyakan memiliki ornamen berciri khas Cina dipadukan dengan etnik. Hal ini dikarenakan PITI terinspirasi akan jasa laksamana Cheng 7 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(20) Hoo yang pernah mengunjungi Indonesia dan menyebarkan ajaran islam. Untuk menghormati jejak laksamana tersebut, PITI membangun masjid dengan ornamen cina sebagai tanda Cheng Hoo adalah orang Tionghoa dan menamakan nama masjid dengan “Masjid Al-Islam Muhammad Cheng Hoo.” Kantor persatuan atau pusat PITI terletak di pondok pesantren (Ponpes) At-taibin, pondok Rajeng, kecamatan Cibinong, kabupaten Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Ketua yang menjabat saat ini adalah Kiai Haji (K.H.) Tan Kok Liong, nama versi Cina Anton Medan dan nama lengkapnya sebagai seorang muslim adalah K.H. Muhammad Ramdhan Effendi. Anton Medan berasal dari Tebing Tinggi dan mantan narapidana kelas kakap. Kini, ia membangun sebuah masjid dengan gaya bangunan seperti klenteng, yaitu masjid Jami’ Tan Kok Liong. Masjid Jami’ Tan Kok Liong mulai dibangun pada tahun 2005. Tidak seperti bangunan masjid yang ada di Indonesia pada umumnya, masjid ini berbentuk mirip seperti klenteng karena masjid ini mengadopsi desain istana-istana raja-raja di Tiongkok zaman dahulu. Masjid ini terdiri dari 3 lantai. Lantai dasar digunakan sebagai kantor, lantai 1 digunakan sebagai ruang salat. Lantai 2 dan lantai 3 dibiarkan kosong karena di negara Cina, beberapa lantai atas di istana sengaja dikosongkan.. 8 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(21) Gambar 1.6: Bangunan Masjid Jami’ Tan Kok Liong (Sumber: www.google.com). Selain masjid tersebut, salah satu masjid terkenal yang lainnya di Indonesia dengan gaya bangunan bertipe Cina adalah Masjid Muhammad Cheng Hoo di Surabaya. Masjid Cheng Hoo Surabaya adalah masjid pertama di Indonesia yang dibangun dengan gaya dan ornamen Cina. Bentuk bangunan masjid Cheng Hoo Surabaya juga mirip dengan masjid Niujie di Beijing mulai dari atap, pintu dan ornamen lainnya. Kemudian disusul pula oleh bangunan dengan gaya sejenis dan juga dinamakan dengan masjid Cheng Hoo. Di antaranya terdapat di beberapa kota seperti: Palembang (Sumatera Selatan), Pasuruan (Jawa Timur), Selaganggang (Purbalingga), dan Batam (Kepulauan Riau). Di antara masjid Cheng Hoo lainnya, masjid Cheng Hoo di Palembang merupakan masjid dengan gaya bangunan Cina yang paling besar di Indonesia serta memiliki ciri khas etnik atau lokal di dalamnya.. Gambar 1.7 : Masjid Cheng Hoo Surabaya (sumber : www.google.com). Masjid Cheng Hoo Surabaya ini terletak di Jalan Gading, Kecamatan Genteng, Surabaya. Lokasinya sekitar 1 kilometer dari sebelah utara Balaikota Surabaya. Masjid ini selesai dibangun pada 13 Oktober 2002 dan berdiri di atas lahan seluas 21 x 11 m2 dan luas bangunan utama 11x9. 9 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(22) m2. Masjid yang didominasi warna merah, kuning, hijau dengan ornamen bernuansa Cina lama memiliki 8 sisi di bagian atas bangunan utama.. Gambar 1.8 : Masjid Cheng Hoo Palembang (Dokumentasi: Tri Suratno, 2016). Jika dibandingkan antara masjid Cheng Hoo Surabaya dengan masjid Cheng Hoo Palembang, tentu saja sangat berbeda terutama dari segi ukuran dan tipologi bangunan. Masjid Cheng Hoo di Palembang tidak mengacu pada bentuk klenteng seutuhnya namun masih memiliki ornamen khas Cina yang tidak dimiliki oleh masjid Cheng Hoo Surabaya yaitu menara yang seperti pagoda. Kemudian, ciri khas Palembang atap Limas dan rumah Tahfiz juga menjadi kelebihan yang dimiliki oleh masjid ini. Masjid Cheng Hoo Palembang memiliki bangunan utama berukuran 20 x 20 meter, di atas tanah seluas 4.990 m2 yang merupakan hibah dari Gubernur Provinsi Sumatera Selatan, Bapak Ir. Syarial Oesman, MM. Selain itu, masjid ini memiliki dua menara di kanan dan kiri dimana lantai dasar masing-masing menara merupakan tempat wudhu berukuran 4 x 4 m dan memiliki lima tingkat atap dengan tinggi 17 m yang memiliki makna khusus. Kemudian, jumlah pilar masjid, simbol dan artefak lainnya di kawasan masjid juga memiliki nilai dan makna budaya tersendiri yang diambil dari filosofi atau gagasan budaya Buddha dan Islam. Untuk mengkaji hal tersebut, penulis akan menggunakan teori Semiotik Sander pierce dan teori Nilai Budaya yang akan dibahas pada Bab berikutnya. 10 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(23) Peletakan batu pertama untuk pendirian masjid Cheng Hoo Palembang ini dilakukan pada bulan September tahun 2005. Kemudian, pada hari jumat tanggal 22 Agustus 2008, masjid Cheng Hoo mulai digunakan untuk salat jumat yang pertama kali dan dihadiri sekitar 1500 jemaah termasuk walikota Palembang. Di tahun 2015 lalu, bertepatan dengan ulang tahun kota Palembang sebanyak 600 orang datang ke masjid Cheng Hoo Palembang untuk meresmikan batu pertama yang dihadiri oleh Wakil Presiden Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla dan Gubernur Sumatera Selatan ke-13 Ir. H. Syarial Oesman M.M. Tak lupa juga Ketua PITI se-Indonesia, ketua dan anggota PITI Sumatera Selatan serta para biksu, masyarakat Palembang, dll. Masjid Al-Islam Muhammad Cheng Hoo Palembang dibangun oleh yayasan organisasi PITI Sumatera Selatan yang berjumlah 12 orang termasuk salah satunya Bapak H. Ahmad Afandi selaku ketua atau Dewan Pimpinan Wilayah PITI Sumatera Selatan. Adapun 11 anggota PITI yang lainnya yaitu Ahmad Herry Djohan, Ir. H. Karim Hasan, Drs. Herwansyah, M.Ag, H.Herryanto, H. Muhammad Siddik, Djunaidi, H.Hendra Kurniawan SE, M. Obrin Saleh, H.Ekik Salim SH, Merry Effendi dan H. Sulaiman Khuinadi Kho. Saat melangkah memasuki halaman masjid, dari jauh sudah terlihat menara masjid yang berbentuk pagoda dengan atap bersusun lima menjulang ke atas. Pada puncaknya ada kubah berbentuk lonjong, di atas kubah terpasang lambang bulan bintang dan Asma Allah. Ini menjadi pertanda bangunan tersebut masjid bukan menara pagoda seperti lazimnya tempat peribadatan masyarakat Konghucu. Masjid ini berbeda dengan masjid pada umumnya yang hanya memiliki satu kubah. Atap masjid memakai atap limas dan ada tiga pintu gerbang untuk memasuki halaman masjid, pintu gerbang utama berada di sebelah timur, dua gerbang lainnya ada di sebelah barat dan utara. Bagi jamaah yang datang berjalan kaki lebih memilih masuk dari gerbang sebelah 11 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(24) barat dan bagi yang membawa kendaraan masuk masjid dari gerbang sebelah utara. Padahal, gerbang utama di sebelah timur. Memandang ke atas atap masjid akan terlihat kubah utama berwarna hijau, seperti kubah masjid layaknya yang ada di Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Di bagian atap pada empat sudutnya ada atap rumah berbentuk limas berwarna hijau yang merupakan salah satu bentuk rumah adat di Palembang. Dua menara yang mengapit bangunan utama tidak menempel dengan bangunan utama desainnya mengambil bentuk pagoda yang menjadi ciri rumah peribadatan di Cina. Dua menara ini yang berada di sebelah utara dan selatan, di lantai dasarnya dimanfaatkan untuk tempat berwudhu. Tempat berwudhu bagi jamaah pria dan wanita terpisah. Fenomena menarik mengenai gaya bangunan Cina pada masjid ini membuat para jamaah tertarik untuk mengunjungi masjid. Masjid ini tidak pernah sepi pengunjung dan setiap jumat usai salat jumat, para anggota PITI yang terdiri dari etnis Tionghoa muslim akan berkumpul dan bermusyawarah dengan masyarakat sekitar. Sesekali ada juga kejadian saat warga Tionghoa asli datang ke masjid ini untuk memeluk islam dan mengucapkan kalimat syahadat. Masjid Cheng Hoo Palembang memiliki persamaan dengan masjid Dongguan yang ada di Cina. Bentuknya masing-masing memiliki bangunan utama yang diapit oleh kedua menara dan gerbang masuk menyerupai klenteng. Persamaan lainnya yaitu warna kubahnya yang berwarna hijau dan warna merah terakota di dalam ruangan masjid. Menurut Ibu Merry selaku administrasi masjid ini, ide rancangan bangunan memang mengambil salah satu contoh masjid yang ada di Cina sedangkan inspirasi membangun didapat saat organisasi PITI Sumatera Selatan mengunjungi masjid Cheng Hoo di Surabaya.. 12 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(25) Gambar 1.9: Gerbang Masuk Masjid Cheng Hoo Palembang Mengadopsi gaya Klenteng/Vihara Cina (Dokumentasi: Tri Suratno, 2016). Bila kembali dibandingkan dengan masjid lainnya seperti masjid Jami’ Tan Kok Liong, masjid Cheng Hoo memiliki ornamen atau artefak gaya Cina yang tidak menyatu dengan bangunan utama seperti menara pagoda lima tingkat dan gerbang seperti klenteng. Hal ini dikarenakan agar bentuk keaslian masjid tidak hilang seperti pada umumnya dan masyarakat masih mengenal identitas bangunan tersebut. Selain itu, di dalam masjid ini tidak memiliki simbol atau patung hewan, karena dalam ajaran islam patung hewan dianggap sebagai hal yang kurang baik atau makruh. Kelebihan lainnya adalah masjid ini memiliki rumah Tahfiz yang mengajarkan Al-Qur’an dan pengetahuan tentang Islam khususnya kepada mualaf Tionghoa. Masjid Tan Kok Liong tidak memiliki ciri khas etnik atau kota Bogor dan beberapa simbol seperti bintang segi delapan, bedug dan kegiatan PITI yang aktif.. Selain terdapat keunikan pada gaya bangunannya yang bercorak Cina, masjid ini juga tampak megah dengan warna merah, emas dan hijau yang khas. Tak lupa juga dengan tulisan aksara mandarin yang terdapat pada gerbang masuk masjid Muhammad Cheng Hoo.. 13 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(26) Gambar 1.10: Papan yang bertuliskan aksara Mandarin Masjid Muhammad Cheng Hoo di Palembang (Dokumentasi: Tri Suratno, 2016). Di bagian dalam masjid semua dindingnya berwarna merah. Terdapat juga beberapa ayat yang diambil dari kitab suci Al-Qur’an, yang terukir di dinding atas kiri dan kanan masjid. Kemudian, adanya beberapa penyangga berwarna merah khas budaya Cina yang berada di ruangan, pagar pembatas berwarna merah di lantai dua, pilar – pilar bangunan yang berjumlah banyak dan simbol segi delapan yang memiliki makna budaya. Lantai dua di dalam masjid tetap dipakai untuk melaksanakan salat dengan menaiki anak tangga yang berada di luar ruangan masjid.. Gambar 1.11: Ayat-ayat Al-Qur’an terdapat. Gambar 1.12 : Simbol Segi Delapan Terdapat di di. dinding masjid Cheng Hoo. Tiap Sudut dan Lantai Bangunan. (Dokumentasi: Tri Suratno, 2016). (Dokumentasi: Tri Suratno, 2016). Setelah penulis memaparkan penjelasan mengenai beberapa masjid di Cina dan Indonesia. Kini, penulis akan menjelaskan alasan memilih masjid Cheng Hoo Palembang sebagai objek penelitian. Alasan tersebut di antaranya yaitu adanya kelebihan yang banyak dimiliki oleh masjid Cheng Hoo Palembang yang sebelumnya telah dibandingkan dengan masjid Cheng Hoo Surabaya dan masjid Tan Kok Liong di Bogor baik dari segi bangunan, ornamen, fasilitas di kawasan masjid maupun kegiatan yang diadakan PITI Sumatera Selatan. 14 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(27) Selain itu, masjid Cheng Hoo Palembang merupakan kawasan wisata Sumatera Selatan yang banyak dikunjungi wisatawan setiap harinya baik dari domestik dan mancanegara. Namun, tidak banyak orang yang mengetahui akan makna atau nilai budaya yang terkandung di dalam bangunan masjid Cheng Hoo tersebut. Kebanyakan menganggap jika semua artefak, ornamen Cina di dalam masjid hanyalah sebuah hiasan yang dirancang oleh pendirinya. Mendengar hal tersebut, maka penulis kembali memiliki alasan untuk memilih masjid Cheng Hoo Palembang ini sebagai judul skripsi dan mengkaji makna dan nilai budaya di dalamnya. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat sekaligus dibaca nantinya oleh masyarakat, pengurus masjid dan khususnya mahasiswa Sastra Cina di Universitas Sumatera Utara. Dari latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya juga fenomena menarik mengenai bangunan bergaya Cina masjid Cheng Hoo Palembang ini. Maka, penulis akan mengkaji dari segi aspek budaya. Bangunan ini tentu saja mencerminkan kebudayaan Cina, namun memiliki fungsi masjid pada umumnya. Apa saja makna dan nilai kebudayaan yang dapat dikaji di dalam gaya bangunan dan ornamen masjid ini. Teori yang penulis gunakan dalam konteks ini adalah teori Semiotik Budaya dan teori Nilai Budaya.. 1.2. Batasan Masalah Setiap penulisan sebuah karya ilmiah sering didapati adanya sebuah permasalahan yang. bertolak belakang dari adanya masalah yang dihadapi dan perlu segera dipecahkan. Supaya penulisan dan pembahasan skripsi ini berjalan dengan baik serta tidak terjadi kesalapahaman dalam menafsirkannya, maka penulis akan membatasi permasalahan utama yang dipaparkan adalah makna dan nilai budaya pada setiap unsur bangunan. Dalam hal ini penulis memfokuskan 15 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(28) penelitian pada ornamen atau gaya bangunan seperti atap, pintu, gerbang, simbol, kubah, tiang dan papan nama masjid serta menara pada kedua sisi bangunan masjid utama dan warna-warna yang terdapat pada bangunan masjid Cheng Hoo tersebut.. 1.3. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan dan diuraikan pada. pendahuluan di atas, maka rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut : 1. Apa saja makna semiotik yang dapat dikaji dan dipahami pada setiap unsur bangunan Masjid Al Islam Muhammad Cheng Hoo Palembang? 2. Apa saja nilai budaya yang dapat terdapat pada setiap unsur bangunan Masjid Al Islam Muhammad Cheng Hoo Palembang?. 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis makna semiotik dari tiap ornamen atau gaya bangunan yang terdapat pada Masjid Al Islam Muhammad Cheng Hoo Palembang. 2. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis nilai budaya yang terdapat di dalam Masjid Al Islam Muhammad Cheng Hoo Palembang.. 1.5. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian yang dapat diambil dari hasil penelitian adalah sebagai. berikut : 1. Manfaat Teoritis. 16 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(29) Manfaat teoritis penelitian ini adalah menambah dan memberikan informasi, wawasan mengenai makna dan nilai budaya yang terdapat pada gaya bangunan Cina sekaligus simbol yang ada di masjid Cheng Hoo Palembang kepada khalayak umum, masyarakat lokal atau mancanegara yang mengunjungi masjid ini. 2. Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat menjadikan skripsi sarjana ini sebagai salah satu sumber informasi/acuan bagi mahasiswa khususnya jurusan sastra Cina mengenai semiotika bangunan bergaya Cina dan juga bagi masyarakat islam di Indonesia untuk membangun masjid-masjid di Indonesia terutama yang bergaya arsitektur Cina. Manfaat praktis lainnya adalah menumbuhkan kesadaran religius yang berbasis kepada keberadaan kebudayaan-kebudayaan yang begitu kaya di seluruh dunia, dalam konteks integrasi umat islam di seluruh dunia.. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. 17 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(30) 2.1. Pengertian Konsep Konsep adalah suatu abstraksi yang menggambarkan ciri-ciri umum sekelompok objek,. peristiwa atau fenomena lainnya. Woodruff ( Khalidin, 2005 ) mendefinisikan konsep sebagai berikut: (1) suatu gagasan/ide yang relatif sempurna dan bermakna, (2) suatu pengertian tentang suatu objek, (3) produk subjektif yang berasal dari cara seseorang membuat pengertian terhadap objek-objek atau benda-benda melalui pengalamannya (setelah melakukan persepsi terhadap objek/benda). Pada tingkat konkrit, konsep merupakan suatu gambaran mental dari beberapa objek atau kejadian yang sesungguhnya. Pada tingkat abstrak dan kompleks, konsep merupakan sintesis sejumlah kesimpulan yang telah ditarik dari pengalaman dengan objek atau kejadian tertentu. Dalam proposal skripsi sarjana yang berjudul “Kajian Nilai Dan Semiotik Budaya Pada Bangunan Masjid Cheng Hoo Di Palembang.” ini, maka perlu dijelaskan konsep-konsep berikut, yang bertujuan sebagai panduan dalam kajian ini. Konsep-konsep tersebut adalah: (1) kajian (2) semiotik (3) nilai budaya (4) bangunan (5) masjid (6) Cheng Hoo. 2.1.1. Kajian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan Suharso dan Ana Retnoningsih (2005),. Kata ”kajian” berasal dari kata ”kaji” yang berarti (1) ”pelajaran”; (2) penyilidikan (tentang sesuatu). Bermula dari pengertian kata dasar yang demikian, kata ”kajian” berarti ”proses, cara, perbuatan mengkaji; penyelidikan (pelajaran yang mendalam); penelaahan. Istilah kajian atau pengkajian, yang digunakan dalam penulisan ini menyaran pada pengertian penelaahan, penyelidikan. Pengkajian terhadap semiotik budaya berarti penyelidikan,. 18 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(31) atau mengkaji, menelaah, dan menyelidiki struktur bangunan atau simbol. Pada umumnya, penelitian. itu. disertai. oleh. analisis.. Istilah. analisis,. menyaran. pada. pengertian. yang mengkaji dan meneliti sisi struktur gaya bangunan itu, makna dan nilai budaya serta mencakup analisis terhadap orang-orang yang terlibat di dalam kerangka eksistensi masjid Cheng Hoo Palembang, yaitu yayasan PITI Sumatera Selatan, serta kegiatan di dalam masjid dan sejarah bangunannya.. 2.1.2 Semiotik Semiotika adalah cabang ilmu yang semula berkembang dalam bidang bahasa. Dalam perkembangannya kemudian semiotika bahkan merasuk pada semua segi kehidupan umat manusia. Sehingga Derrida (Sudrajat, 1995:21) mengikrarkan bahwa tidak ada sesuatupun di dunia ini sepenting bahasa, “there is nothing outside language”. Bahasa dalam hal ini dibaca sebagai “teks” atau “tanda”. Dalam konteks ini “tanda” memegang peranan sangat penting dalam kehidupan umat manusia sehingga : “manusia yang tidak mampu mengenal tanda, tak akan bertahan hidup.” Menurut Zoest (1993) semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya; cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda yang lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Semiotik juga lazim digunakan dalam mengkaji fenomena kebudayaan. Semiotik yang khusus mengkaji kebudayaan. ini biasa disebut dengan semiotik budaya. Yang dimaksud. semiotik budaya di dalam tulisan ini mengacu kepada pendapat Christomy (2005). Menurutnya, kebudayaan itu merupakan sistem tanda. Di dalam kajian semiotik ini, kebudayaan adalah menampilkan bentuk-bentuk representamen. Kemudian budaya ini memiliki makna interpretan. 19 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(32) yaitu berupa istilah, proposisi, dan argumen. Secara semiosis budaya adalah ekspresi dari ideologi, sebagai penjelmaan dari mata rantai pemaknaan. Dengan demikian semiotik budaya adalah studi terhadap makna-makna pada sistem tanda yang terdapat di dalam kebudayaan.. 2.1.3. Nilai Budaya Theodorson dalam Pelly (Saputra, 2011 : 47) mengemukakan nilai merupakan sesuatu. yang abstrak, yang dijadikan pedoman serta prinsip – prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku. Keterikatan orang atau kelompok terhadap nilai menurut Theodorson relatif sangat kuat dan bahkan bersifat emosional. Oleh sebab itu, nilai dapat dilihat sebagai tujuan kehidupan manusia itu sendiri. Masalah nilai budaya dan kaitannya dalam pembangunan wilayah berkaitan dengan hampir seluruh aspek kehidupan manusia dan masyarakat. Dengan demikian, jelas sekali bahwa penelitian ini tidak mungkin membicarakan ruang lingkup yang demikian luasnya, hal ini disebabkan oleh karena keterbatasan waktu dan kemampuan penulis untuk melakukan hal itu. Dengan demikian, pembatasan – pembatasan dalam penelitian ini perlu dilakukan supaya manfaatnya jelas. Adapun nilai – nilai yang akan dibicarakan dalam penelitian ini adalah nilai – nilai budaya yang terdapat dalam tiap gaya bangunan Masjid Cheng Hoo di Palembang. Untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman, maka ada baiknya terlebih dahulu dijelaskan apa yang dimaksud dengan nilai budaya itu. Menurut Koentjaraningrat (1987 : 85) nilai budaya terdiri dari konsepsi – konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai hal – hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya. yang dimiliki seseorang. 20 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(33) mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara – cara, alat – alat, dan tujuan – tujuan pembuatan yang tersedia.. 2.1.4 Bangunan Bangunan adalah suatu susunan elemen-elemen yang membentuk fungsi untuk mewadahi aktifitas manusia dengan segala komponen yang dibutuhkan dalam aktifitasnya. Ia memiliki bentuk dan dimensi yang dapat menaungi dengan memiliki kekakuan dan kekokohan yang dapat melindungi manusia dan segala aktifitas di dalamnya dari segala gangguan. Karena bangunan berfungsi untuk mewadahi aktifitas manusia maka ia harus mempunyai keadaan yang dibutuhkan oleh manusia yaitu kenyamanan, keamanan, dan efisiensi, serta kebutuhan-kebutuhan manusia yang lain (Soemardjan, 1988 : 101). Berdasarkan definisi tersebut, hampir semua bentuk yang didirikan atau dibangun dapat disebut sebagai bangunan, seperti gedung, rumah, jembatan, jalan, tugu, kios, warung dan banyak lagi contoh yang dapat disebutkan. Namun, dilihat dari arti yang lebih khusus bangunan harus memenuhi syarat-syarat khusus, sehingga ia benar-benar dapat disebut sebagai bangunan. Syarat-syarat itu meliputi fungsi, ukuran dan bentuknya, serta sifatnya. Dalam kenyataannya kita sering melihat yang telah dibangun oleh manusia lebih banyak bangunan dari pada arsitektur. Karena menurut ilmu arsitektur membuat bangunan itu lebih mudah dari pada membuat arsitektur, apalagi arsitektur yang benar-benar mempunyai nilai yang tinggi dan bermutu. Nilai itulah salah satu yang membedakan antara bangunan dan arsitektur. Bangunan ini lebih banyak menjurus pada sifat fungsional. Ia dibangun untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ia dimanfaatkan dari segi fungsi fisiknya saja.. 21 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(34) Bangunan sering hanya digunakan untuk tempat-tempat produksi, meskipun tidak selalu demikian. Misalnya pabrik, galangan, bangsal, penjara, tenda, bengkel, gudang, serta masjid sering menggunakan yang disebut bangunan, walau ada juga tempat-tempat itu yang dibangun dengan arsitektur dengan nilai seni tinggi yang tidak kalah menariknya wujud yang lain.. 2.1.5 Masjid Masjid berasal dari kata “sajada” yang artinya tempat sujud atau tempat menyembah Allah swt. Secara teknis sujud (sujudun) adalah meletakkan kening ke tanah. Secara maknawi, jika kepada Tuhan sujud mengandung arti menyem-bah, jika kepada selain Tuhan, sujud mengandung arti hormat kepada sesuatu yang dipandang besar atau agung. Sedangkan sajadah dari kata “sajjadatun” menga-ndung arti tempat yang banyak dipergunakan untuk sujud, kemudian mengerucut artinya menjadi selembar kain atau karpet yang dibuat khusus untuk salat orang per orang (Rochym, 1995 : 32). Oleh karena itu karpet masjid yang sangat lebar, meski fungsinya sama tetapi tidak disebut sajadah. Adapun masjid (masjidun) mempunyai dua arti, arti umum dan arti khusus. Masjid dalam arti umum adalah semua tempat yang digunakan untuk sujud dinamakan masjid. Setiap muslim boleh melakukan salat di wilayah manapun terkecuali di atas kuburan di tempattempat najis dan tempat yang menurut syariat islam tidak sesuai untuk dijadikan salat. Rasulullah saw bersabda: “Aku diberi lima hal yang tidak diberikan kepada seorang pun sebelumku: aku dimenangkan dengan perasaan takut yang menimpa musuhku dengan jarak sebulan perjalanan, bumi dijadikan bagiku sebagai mesjid dan suci, siapa pun dari umatku yang menjumpai waktu shalat maka shalatlah….”(HR.Bukhari 323). 22 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(35) Sedangkan masjid dalam pengertian khusus adalah tempat atau bangunan yang dibangun khusus untuk menjalankan ibadah, terutama salat berjamaah. Pengertian ini juga mengerucut menjadi, masjid yang digunakan untuk salat jum’at disebut masjid Jami`. Karena salat jum’at diikuti oleh orang banyak maka masjid Jami` biasanya besar. Sedangkan masjid yang hanya digunakan untuk salat lima waktu, bisa di perkampungan, bisa juga di kantor atau di tempat umum, dan biasanya tidak terlalu besar atau bahkan kecil sesuai dengan keperluan, disebut Musholla, artinya tempat salat. Di beberapa daerah, musholla terkadang diberi nama langgar atau surau. 2.1.6 Laksamana Cheng Hoo Pada tahun 1405, delapan puluh tujuh tahun lebih sebelum penjelajahan Columbus, seorang pelaut muslim Cina, laksamana Zheng He atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama Cheng Hoo telah lebih dahulu mengarungi lautan dunia dengan jarak tempuh yang lebih panjang dan lebih luas dibanding seorang penjajah Colombus. Kapal yang digunakan Cheng Hoo dengan panjang 400 kaki adalah jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kapal Columbus yang panjangnya hanya 85 kaki. Cheng Hoo melakukan penjelajahan dunia sebanyak tujuh kali dari tahun 1405 sampai 1433. Kapal-kapal Cheng Hoo mengunjungi Nusantara, Thailand, India, Arabia, dan Afrika Timur. Bahkan ada beberapa spekulasi yang mengatakan bahwa Cheng Hoo juga mencapai benua Amerika, meskipun banyak diragukan ahli lain karena kurang didukung bukti-bukti sejarah yang meyakinkan. Penjelajahan Cheng Hoo bukanlah suatu upaya untuk melakukan penaklukan atau penjajahan terhadap bangsa-bangsa lain oleh bangsa Cina. Perjalanan Cheng Hoo lebih merupakan upaya untuk mengenal bangsa-bangsa lain dan menjalin kerjasama perdagangan dan. 23 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(36) ekonomi. Cheng Hoo membawa hadiah kepada bangsa lain seperti emas, perak, porselin, dan sutera. Laksamana Cheng Hoo sebagai seorang muslim telah banyak mengadakan kegiatan agama islam baik di negerinya sendiri maupun orang lain selama dalam perjalanan mengemban misi perdamaian dan persahabatan. Sebagai laksamana yang menganut agama Islam, Cheng Hoo mengambil inisiatif untuk menyebarkan agama islam di negara-negara yang dikunjunginya. Dalam hal ini, peran Cheng Hoo sangat besar bagi perkembangan dan penyebaran islam, tidak terkecuali di Indonesia yang daerahnya sudah dikunjungi selama 7 kali pelayarannya (Groeneveldt, 1960 : 21). Kunjungan muhibah Cheng Hoo ke Indonesia terjadi pada enam abad yang lalu, namun kisahnya masih segar dan menarik di kalangan masyarakat Indonesia. Cerita-cerita yang tersiar dari mulut ke mulut, generasi ke generasi mencerminkan rasa hormat penduduk setempat sehubungan dengan jasa Cheng Hoo dalam memajukan persahabatan antar bangsa Indonesia dengan bangsa Tionghoa. Di Indonesia banyak sekali peninggalan Cheng Hoo sehingga menjadi legenda yang realistis. Beberapa bukti persinggahan Cheng Hoo di Nusantara yaitu ketika singgah di Kerajaan Samudra Pasai, ia memberikan peninggalan berupa lonceng raksasa bernama Cakradonya. Sekarang lonceng ini di gantung dan diletakkan pada bagian paling depan dari museum Banda Aceh. Kemudian, saat Cheng Hoo berlayar ke Palembang ia membebaskan Kerajaan Sriwijaya dari perompak Cina sehingga masyarakat membangun masjid Cheng Hoo sebagai peringatan akan jasanya. Kemudian Cheng Hoo juga pernah berlabuh di Muara Jati dan menghadiahi beberapa cindera mata khas Cina kepada Sultan Cirebon. Salah satu peninggalannya sebuah piring yang bertuliskan ayat kursi masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon.. 24 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(37) Setiap kali berlayar, banyak awak kapal dari armada Cheng Hoo beragama Islam yang turut serta. Sebelum melaut, mereka melaksanakan salat jamaah. Beberapa tokoh muslim yang pernah ikut adalah Ma Huan, Guo Chongli, Fei Xin, Hassan, Sha'ban, dan Pu Heri. Ma Huan dan Guo Chongli yang fasih berbahasa Arab dan Persia, bertugas sebagai penerjemah Sedangkan Hassan yang juga pimpinan masjid Tang Shi di Xian (Provinsi Shan Xi), berperan mempererat hubungan diplomasi Cina dengan negara islam. Hassan juga bertugas memimpin kegiatankegiatan keagamaan dalam rombongan ekspedisi, misalnya dalam melaksanakan penguburan jenazah di laut atau memimpin salat hajat ketika armadanya diserang badai. Kemakmuran masjid juga tak pernah dilupakan Cheng Ho. Tahun 1413 dia merenovasi masjid Qinging (timur laut Kabupaten Xian). Tahun 1430 masjid San San di Nanjing yang rusak karena terbakar mendapat bantuan langsung dari kaisar. Beberapa sejarawan meyakini bahwa petualang sejati ini sudah menunaikan ibadah haji. Memang tak ada catatan sejarah yang membuktikan itu, tapi pelaksanaan haji kemungkinan dilakukan saat ekspedisi terakhir (14311433) dan saat itu rombongannya memang singgah di Jeddah. Selama hidupnya Cheng Hoo memang sering mengutarakan hasrat untuk pergi haji sebagaimana kakek dan ayahnya. Obsesi ini bahkan terbawa sampai menjelang ajalnya. Sampaisampai ia mengutus Ma Huan pergi ke Mekah agar melukiskan Ka'bah untuknya. Muslim pemberani ini pun meninggal pada tahun 1433 di Calicut (India) dalam pelayaran terakhirnya. Untuk mengenang jasa dan kehebatannya dalam berlayar, setiap tahun kelahirannya di Cina mereka mengenang laksamana Cheng Hoo dengan upacara tertentu. Sama halnya dengan di Indonesia, beberapa daerah mendirikan masjid, klenteng/vihara dan lain-lain guna mengenang jasa dari laksamana Cheng Hoo yang pernah singgah ke Nusantara dalam misi kebudayaan dan persahabatan tersebut.. 25 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(38) 2.2. Landasan Teori Teori menurut F.M Kerlinger (Rakhmat, 2004 : 6) merupakan himpunan konstruk. (konsep), definisi, dan preposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut. Peran teori dalam sebuah penelitian diumpakan sebagai “pemandu” seseorang dalam meneliti. Teori juga dinyatakan sebagai sebuah set dari proposisi yang mengandung suatu pandangan sistematis dari fenomena. Terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan dalam mencermati lebih jauh mengenai teori (Rakhmat, 2004 : 8) yakni:. 1. Teori adalah sebuah set proposisi yang terdiri dari konstrak (construct) yang sudah didefinisikan secara luas dan dengan hubungan unsur-unsur dalam set tersebut secara jelas. 2. Teori menjelaskan hubungan antar variable atau antar konstrak sehingga pandangan yang sistematik dari fenomena fenomena yang diterangkan oleh variable dengan jelas kelihatan. 3. Teori menerangkan fenomena dengan cara menspesifikasi variable satu berhubungan dengan variable yang lain.. Suatu kajian atau analisis sudah sewajarnya memakai landasan teori tertentu, supaya penulis mudah menentukan langkah dan arah analisis. Pembahasan yang utama dalam penulisan ini adalah tentang Kajian Nilai Dan Semiotik Budaya Pada Bangunan Masjid Cheng Hoo Di Palembang melalui teori Semiotik Budaya dan teori Nilai Budaya. Penulis memilih teori 26 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(39) Semiotik karena di dalam kajian Semiotik penulis dapat mengetahui dan menganalisis garis besar suatu tanda atau gaya bangunan. Sedangkan teori nilai budaya karena penulis dapat memahami suatu makna tersirat yang ada dalam tiap simbol khusus.. 2.2.1. Teori Semiotik Budaya Semiotik (semiotika) berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda.. Semiotik adalah model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu objek secara representatif. Istilah semiotik sering digunakan dengan bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua merujuk pada ilmu tentangnya. Baik semiotik atau semiologi sering digunakan bersamasama, tergantung di mana istilah itu populer (Endraswara, 2008:64). Lebih jauh lagi, menurut Sudjiman (1992:5) semiotik adalah studi tanda dan segala yang berhubungan denganya: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya Semiotik dapat menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan lambang, penggunaan lambang, pemaknaan pesan dan cara penyampaiannya. Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkaitan dengan sebuah tanda dan simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengetahui cara memaknai sebuah bangunan. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki ketika tandatanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia. Teori semiotik mengarahkan perhatiannya pada tanda, yakni “sesuatu yang mewakili sesuatu.” Secara lebih khusus kita dapat mengatakanbahwa sesuatu yang diwakili itu adalah. 27 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(40) “pengalaman manusia,” baik pengalaman fisik maupun pengalaman mental. Pengalaman ada yang bersifat langsung dan tidak langsung. Pengalaman tak langsung dialami melalui tanda. Dalam sejarah perkembangan teori semiotik ini, maka muncullah berbagai pakar di bidangnya masing-masing. Selain Saussure, terdapat pula pakar lain yaitu: Pierce. Kemudian ada pula Roland Barthes, Michael Riffaterre, Malinowski, Halliday, Ruqaiyah, Endaswara, Yasraf Amir Piliang, van Zoet, Panuti Sudjiman, Littlejohn, dan masih banyak lagi yang lainnya. Terlepas dari berbagai paham dalam perkembangan teori semiotik ini, maka dalam konteks penilian terhadap makna dan nilai budaya Masjid Cheng Hoo di Palembang, penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Sander Pierce, terutama untuk kajian budaya. Selanjutnya oleh beberapa pakar semiotik, teori ini disebut dengan semiotik kebudayaan.. Bagi Pierce, tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu. Dalam teori semiotik ada yang disebut proses semiosis, yakni proses pemaknaan dan penafsiran atas benda atau perilaku berdasarkan pengalaman budaya seseorang. Dalam melihat kebudayaan sebagai signifying order, kita dapat membedakan empat faktor yang berkaitan satu sama lain dan perlu diperhatikan, yaitu: (1) jenis tanda (ikon, indeks, lambang), (2) jenis sistem tanda (bahasa, musik, gerakan tubuh, dan lukisan), (3) jenis teks (percakapan, grafik, lagu/lirik, komik, dan lukisan), dan (4) jenis konteks situasi yang mempengaruhi makna tanda (psikologis, sosial, historis, dan kultural). Semiotik dan hubungannya terhadap budaya sangat erat. Dalam hal ini kajian budaya tersebut dilihat dari tanda atau semiotik terhadap suatu hal. Pada semiotik strukturalis perannya sangatlah jelas dalam kajian budaya. Pada Pierce, semiotik lebih diarahkan pada pemahaman. 28 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(41) tentang bagaimana kognisi manusia memahami apa yang berada di sekitarnya, baik lingkungan sosial, alam, maupun jagat raya. Dalam lingkungan sosial yang berkaitan dengan budaya, semua kegiatan atau aktifitas merupakan sebuah tanda atau identitas mereka. Seperti yang kita ketahui, kebudayaan merupakan sesuatu yang cakupannya sangat besar, dimulai dari lingkungan sosial, lingkungan alam, tingkah laku, maupun kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan oleh seseorang. Kita melihat penggunaan semiotik untuk memahami kebudayaan manusia, sebagai teori tentang tingkah laku manusia (human behavior). Jika dalam suatu lingkungan terdapat bendabenda sebagai tanda mereka suatu kumpulan masyarakat, maka dapat disimpulkan kegiatan apa yang dilakukan sebagai masyarakat kebudayaan itu. Dalam tulisan ini, di lingkungan tersebut terdapat rumah tahfiz, bedug, Al-Qur’an. Kubah, bangunan gaya kelenteng, menara, gerbang, ukiran khas Cina, ayat-ayat suci Al-Qur’an di dinding bangunan, dan seterusnya, maka dapat kita lihat dan tafsirkan bahwa lingkungan ini adalah pusat pendidikan dan ibadah agama Islam, yang juga diekspresikan dengan gaya budaya Tionghoa. Dalam konteks penelitian ini penulis menggunakan teori semiotik oleh Barthes. Penulis mengkaji makna-makna pada tiap gaya bangunan, yang mencakup: (a) bangunan masjid (b) menara lima tingkat; (c) atap; (d) pintu; (e) simbol segi empat; (f) bedug, (g) warna pada bangunan (h) gerbang; (i). kubah (j) pagar dan lain-lainnya sebagai pendukung struktural. bangunan masjid. Dalam kajian ini, penulis perlu mengkaji fenomena budaya (khususnya keberadaan Masjid Cheng Hoo di Palembang) dengan perspektif semiotik. Seperti diketahui bahwa semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna.. 29 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(42) 2.2.2. Teori Nilai Budaya Dalam konteks menganalisis nilai-nilai budaya yang terkandung dalam bangunan Masjid. Cheng Hoo di Palembang, penulis menggunakan teori nilai budaya seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat. Menurutnya nilai-nilai budaya akan tampak pada simbol-simbol, slogan, moto, visi dan misi, atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok moto suatu lingkungan atau organisasi. Ada tiga hal yang terkait dengan nilai-nilai budaya ini yaitu: 1. Simbol-simbol, slogan (moto) atau yang lainnya yang kelihatan kasat mata (jelas), 2. Sikap, tindak laku, gerak gerik yang muncul akibat simbol atau tersebut, 3. Kepercayaan yang tertanam (believe system) yang mengakar dan menjadi kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku (tidak terlihat) (Koentjaraningrat, 1987:85).. 2.3. Tinjauan Pustaka Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 2008:1731 ) tinjauan adalah hasil meninjau,. pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki, mempelajari, dsb). Sedangkan pustaka adalah kitab, buku, primbon. Dalam menyelesaikan penelitian ini,dibutuhkan kepustakaan yang relevan karena hasil dari suatu karya ilmiah harus bisa dipertanggung jawabkan dan harus memiliki data yang kuat dan memiliki hubungan dengan yang diteliti.. 2.3.1 Penelitian Terdahulu. 30 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(43) Ada beberapa sumber pustaka atau hasil penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang analisis semiotik atau makna gaya tipe bangunan Tionghoa baik di kota Medan atau tempattempat lainnya. Adapun beberapa tinjauan pustaka yang peneliti gunakan adalah sebagai berikut: (1) Rudiansyah menulis skripsi sarjana pada FIB USU berjudul Makna dan Tipologi Rumah Tjong A Fie di Kota Medan, 2014. Dalam penelitiannya memaparkan makna simbolis pada elemen rumah tinggal Tjong A Fie di kota Medan. Skripsi sarjana ini penulis gunakan menjadi bahan pustaka penulis dalam mengkaji makna bangunan Masjid Jami’ Tan Kok Liong. (2). Elysa Afrilliani juga menulis sebuah skripsi sarjana, sebagai salah satu syarat. menyelesaikan studi pada Program Studi Sastra Cina, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara (FIB USU). Skripsi tersebut berjudul. Analisis Semiotik Budaya Terhadap. Bangunan Masjid Jami’ Tan Kok Liong Di Bogor, 2015. Dalam penelitiannya memaparkan bentuk dan makna simbolik di tiap ornament masjid. Skripsi sarjana ini penulis gunakan sebagai bahan acuan dalam menulis teori yang digunakan untuk mengkaji gaya bangunan Masjid Cheng Hoo di Palembang.. BAB III METODE PENELITIAN. 3.1. Metode Penelitian Deskriptif Dalam pemecahan masalah suatu penelitian diperlukan penyelidikan yang hati-hati,. teratur dan terus-menerus, sedangkan untuk mengetahui bagaimana seharusnya langkah penelitian harus dilakukan dengan menggunakan metode penelitian. Metode penelitian adalah suatu teknik atau cara mencari, memperoleh, mengumpulkan atau mencatat data, baik berupa. 31 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(44) data primer maupun data sekunder yang digunakan untuk keperluan menyusun suatu karya ilmiah dan kemudian menganalisa faktor-faktor yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan sehingga akan terdapat suatu kebenaran data-data yang akan diperoleh. Untuk lebih jelasnya ada beberapa pengertian metode penelitian menurut para ahli. Sugiyono (2005: 2) mengatakan “Metode Penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu”. Sedangkan pengertian menurut I Made Wirartha (2006:68) metode penelitian adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang membicarakan atau mempersoalkan cara-cara melaksanakan penelitian (yaitu meliputi kegiatan-kegiatan mencari, mencatat, merumuskan, menganalisis sampai menyusun laporannya) berdasarkan fakta-fakta atau gejala-gejala secara ilmiah. Berdasarkan rumusan tujuan sebelumnya, penelitian ini termasuk Metode penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun laporan tugas akhir ini menggunakan metode deskriptif, yaitu yang mengungkapkan gambaran masalah yang terjadi pada saat penelitian ini berlangsung.. Penelitian deskriptif adalah salah satu jenis metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya (Best, 1982:119). Penelitian deskriptif ini juga sering disebut noneksperimen, karena pada penelitian ini peneliti tidak melakukan kontrol dan manipulasi variabel penelitian. Dengan penelitian metode deskriptif, memungkinkan peneliti untuk melakukan hubungan antar variabel, menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan teori yang memiliki validitas universal. Di samping itu, penelitian deskriptif juga merupakan penelitian dimana pengumpulan data untuk mengetes pertanyaan penelitian atau hipotesis yang berkaitan dengan keadan dan. 32 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(45) kejadian sekarang. Mereka melaporkan keadaan objek atau subjek yang diteliti sesuai dengan apa adanya.. 3.2. Metode Penelitian Kualitatif Pendekatan dalam penelitian ini yaitu kualitatif. Dengan pendekatan ini, data. dikumpulkan dan disajikan dalam bentuk kata-kata. Data dalam penelitian ini yaitu foto-foto ornamen Cina yang terdapat pada Masjid Cheng Hoo di Palembang. Pengumpulan data pada penelitian ini yaitu mengumpulkan data sekunder dengan metode simak. Penelitian ini menggunakan teknik memotret tampilan dan mencatat secara runtut. Menurut Sukmadinata (2005) dasar penelitian kualitatif adalah konstruktivisme yang berasumsi bahwa kenyataan itu berdimensi jamak, interaktif, dan suatu pertukaran pengalaman sosial yang diinterpretasikan oleh setiap individu. Peneliti kualitatif percaya bahwa kebenaran adalah dinamis dan dapat ditemukan hanya melalui penelaahan terhadap orang-orang melalui interaksinya dengan situasi sosial mereka.. 3.3. Data dan Sumber Data. 3.3.1. Data Menurut Mulyanto (2009:15) data didefinisikan sebagai representasi dunia nyata. mewakili suatu objek seperti manusia, hewan, peristiwa, konsep, keadaan dan sebagainya yang direkam dalam bentuk angka, huruf, simbol, teks, gambar, bunyi atau kombinasinya. Dengan kata lain, data merupakan kenyataan yang menggambarkan suatu kejadian dan kesatuan yang. 33 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(46) nyata. Data merupakan material atau bahan baku yang belum mempunyai makna atau belum berpengaruh langsung kepada pengguna sehingga perlu diolah untuk dihasilkan sesuatu yang lebih bermakna.. 3.3.2. Sumber Data Sumber data penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan data sekunder. Sumber. data primer adalah berasal dari narasumber atau yang diwawancarai, yaitu sebagai berikut:. Sumber Data Primer : Profesi. :. 1. Bapak H. Ahmad Afandi Ketua/Dewan Pimpinan Wilayah PITI Sumatera Selatan, Pendiri Masjid Cheng Hoo Palembang dan Pengusaha.. Sumber Data Primer : Profesi. :. 2. Ibu Merry Effendi Administrasi dari Yayasan Masjid Cheng Hoo Palembang. Sedangkan sumber data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, artikel, skripsi dan data pendukung lainnya yang berkaitan dengan ornamen khas negara Cina.. 3.4. Teknik Pengumpulan Data Data diperoleh melalui skripsi, tesis, buku sejarah dan kebudayaan Cina, internet, brosur. dan artikel, yang kemudian dipilah-pilih. Secara metodologi dikenal beberapa macam teknik pengumpulan data, diantaranya studi dokumentasi, kepustakaan, observasi lapangan, dan 34 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini penulis membahas tentang MAKNA DAN FUNGSI SIMBOLIS DALAM TRADISI MANGURE LAWIK MASYARAKAT PESISIR SIBOLGA: KAJIAN

Tahapan Masjid Muhammad Cheng Hoo Surabaya dalam membuat perencanaan program membangun public relations ke berbagai elemen masyarakat. Berikut ini merupakan analisa

Sudiati Lumban Gaol, NIM 2123210019, Pergeseran Makna Terhadap Nilai Budaya Batak Toba Pada Sastra Lisan Aek Sipangolu Di Desa Simangulampe (Kajian Semiotik), Skripsi,

Peneliti mengambil pokok bahasan tentang makna dari objek yang terdapat pada Masjid Ampel seperti gapura, atap tajuk dan keberadaan Masjid Ampel bangunan baru

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, latar belakang timbulnya konversi agama yang dilakukan para muallaf di Masjid Cheng Hoo Surabaya disebabkan karena adanya

Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan metode penelitian secara kualitatif dengan teknik deskriptif dimana dalam penelitian ini lebih menekankan pada penjelasan makna

secara lebih baik terkait bentuk, fungsi, makna bangunan yang terdapat pada masjid.. (3) Afrilliani (2015) dalam skripsi berjudul Analisis Semiotik

Makna Filosofi yang terkandung pada tipologi mesjid Muhammad Cheng Hoo dari sisi bentuk langit-langit mesjid delapan sisi atau delapan penjuru mata angin artinya cinta dan