• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna dan Fungsi Simbolik Dalam Tradisi Mangure Lawik Pada Masyarakat Pesisir Sibolga: Kajian Semiotik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Makna dan Fungsi Simbolik Dalam Tradisi Mangure Lawik Pada Masyarakat Pesisir Sibolga: Kajian Semiotik"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

MAKNA DAN FUNGSI SIMBOLIS DALAM TRADISI MANGURE LAWIK  PADA MASYARAKAT PESISIR SIBOLGA: KAJIAN SEMIOTIK

SKRIPSI SARJANA

DISUSUN OLEH

NAMA : MARINTAN KARTIKA SARI SITOMPUL NIM : 110702017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU MEDAN 

MAKNA DAN FUNGSI SIMBOLIS DALAM TRADISI MANGURE LAWIK PADA MASYARAKAT PESISIR SIBOLGA:KAJIAN SEMIOTIK

SKRIPSI SARJANA

NAMA : MARINTAN KARTIKA SARI SITOMPUL NIM : 110702017

LEMBAR PENGESAHAN Disetujui Oleh :

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Yos Rizal. MSP Drs. Ramlan Damanik,M.Hum

NIP : 196606171992031003 NIP : 196302021991031004

Diketahui oleh : Departemen sastra daerah

Ketua 

PENGESAHAN

Diterima Oleh:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra dalam Bidang Ilmu Bahasa dan Sastra pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada :

Tanggal :

Hari :

Fakultas Ilmu Budaya USU

Dekan

Dr. Syahron Lubis, M.A

NIP: 195110131976031001

PANITIA UJIAN:

NO NAMA TANDA TANGAN

1. Drs. Warisman Sinaga, M.Hum 2. Dra. Herlina Ginting, M.Hum 3. Drs. Yos Rizal. MSP

DISETUJUI OLEH:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

MEDAN, AGUSTUS 2015 KETUA

Departemen Sastra Daerah

KATA PENGANTAR

Penulis terlebih dahulu mengucapakan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kasih dan rahmat-Nya yang telah memberikan kesehatan, kekuatan, serta pertolongan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi ini yaitu “Makna dan Fungsi Simbolik Dalam Tradisi Mangure Lawik Pada Masyarakat Pesisir Sibolga: Kajian Semiotik”.

Penulis berharap skripsi ini menjadi bahan informasi yang berguna bagi pembaca. Untuk memudahkan pemahaman skripsi ini, penulis membaginya menjadi lima bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang mencangkup latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian. Bab kedua merupakan tinjauan pustaka yang mencangkup kepustakaan yang relevan dan landasan teori. Bab ketiga merupakan metode analisis data. Bab keempat merupakan pembahasan tentang permasalahan yang ada pada rumusan masalah, serta bab kelima merupakan kesimpulan dan saran.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, karena itu penulis berharap kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. semoga apa yang diuraikan dalam skripsi ini berguna bagi kita semua.

Penulis

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul “Makna Dan Fungsi Simbolis Dalam Tradisi Mangure Lawik Pada Masyarakat Pesisir Sibolga, Kajian Semiotik ”. Skripsi ini disusun Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Hal ini disebabkan karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh penulis. Oleh karena itu, saran dan bimbingan yang bersifat membangun sangat penulis harapkan sehingga tulisan ini akan lebih sempurna seperti apa yang diharapkan.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah member dorongan dan kemudahan baik moril maupun materil yang berarti, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik, khususnya penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr.Syahron Lubis M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Yos Rizal. MSP selaku pembimbing I, tanpa bimbingan, waktu, tenaga dan cakrawala dari beliau maka penulisan skripsi ini tidak akan terlaksana sesuai dengan apa yang diharapkan.

4. Bapak Drs. Ramlan Damanik, M.Hum selaku pembimbing II yang begitu banyak memberikan arahan bimbingan serta masukan yang begitu berarti bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar di Jurusan Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

6. Ucapan terima kasih yang tiada tara untuk kedua orang tua penulis. Untuk Ayahnda U.Sitompul dan Ibunda Yuriah Panggabean yang telah menjadi orang tua terhebat sejagad raya, yang selalu memberikan motivasi, nasehat, cinta, perhatian, dan kasih sayang serta doa yang tentu takkan bisa penulis balas.

7. Untuk kedua adik penulis Baginda Wahyu Saputro Sitompul yang selalu menanyakan penulis kapan wisudanya kak? Makasih karena menjadi pemicu semangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terima kasih adek Shara Natalia Sitompul yang selalu setia berbagi cerita ketika penulis sedang penat. Terima kasih banyak kalian telah menjadi bagian dari motivator yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

bimbingan singakat sewaktu penulis mengadakan penelitian di Sibolga (terima kasih bu, jadi terkenang masa SMA bersama ibu guru tersayang). 9. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Camat Sibolga

Selatan, yang menjadi narasumber penulis dan mengizinkan penulis mengadakan penelitian lokasi Aek Habil, dan yang telah memberikan informasi sehingga penelitian penulis dapat berjalan denga lancar.

10. Kepada bou terima kasih sudah memberi tumpangan tempat tinggal selama intan mengadakan penelitian di Sibolga. Buat eda Lisa dan bang Bonggas terima kasih karena sudah membantu intan memberikan informasi seputar penelitian dan mencarikan informan buat intan. Maaf yah intan sering meropatkan.

Terima kasih buat paribanku Parlin Pasaribu yang selalu memberi semangat dan selalu nanyak “sudah bagaimana skripsinya ban?” dan disitu terkadang saya merasa sedih.

11. Sobat dekatku, Gundul (makasih ndul udah nyemangatin gue trus dan kadang bikin gue pingin cepat-cepat pulang ke Bogor), Ramli bbong , Kak Heni rojer, Tikatikul, Ayu parbada, kak Fanny, makasih kalian semua telah mengajarkan penulis arti kekeluargaan, tanggung jawab, dan kepedulian. Terima kasih atas segala kebersamaan dan waktu yang telah kalian berikan kepada penulis selama ini.

ya atas kegilaan kalian, strees saya sedikit berkurang. makasih juga kalian udah mau menampung aku kalau lagi galau.

13. Terima kasih buat abang-abang dan kakak-kakak stambuk 2008, 2009, 2010 yang selalu memberi bimbingan dan arahan-arahan yang bermanfaat.

14. Kepeda teman-teman seperjuangan stambuk 2011, Prayogo, Jesica, Rumondang, Hery, Imam, Hendra, Faiza, Rini, Lisna, Erma dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah melewati masa-masa kuliah bersama dalam perjuangan kita menggapai impian sebagai seorang Sastrawan. Semua menjadi kisah klasik untuk masa depan kawan. 15. Adik-adik junior stambuk 2012,2013,2014, yang tidak bisa disebutkan satu

persatu yang telah banyak memberikan dukungan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

16. Dan kepada pihak-pihak lain yang telah begitu banyak membantu namun tidak dapat disebutkan satu persatu.

Peneliti menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran akan peneliti dengan tangan terbuka, karena itu semua menjadi pemicu bagi diri peneliti untuk berusaha dan belajar mencapai hasil yang maksimal.

Medan, Agustus 2015

ABSTRAK

Marintan Kartika Sari Sitompul, 2015. Judul skripsi: Makna dan Fungsi Simbolis dalam Tradisi Mangure Lawik Pada Masyarakat Pesisir Sibolga: Kajian Semiotik. Terdiri dari 5 bab.

Dalam penelitian ini penulis membahas tentang MAKNA DAN FUNGSI SIMBOLIS DALAM TRADISI MANGURE LAWIK MASYARAKAT PESISIR SIBOLGA: KAJIAN SEMIOTIK. Permasalahan yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini adalah tat cara pelaksanaan, peralatan-peralatan yang digunakan, makna dan fungsi lambang-lambang serta pantangan yang harus dihindari dalam tradisi Mangure Lawik pada masyarakat Pesisir Sibolga.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tata cara pelaksanaan, peralatan-peralatan yang digunakan, makna dan fungsi lambang-lambang serta pantangan yang harus dihindari dalam tradisi Mangure Lawik pada masyarakat Pesisir Sibolga. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, dengan narasumber tokok-tokoh adat, pemuda, masyarakat, dan pemerintah Camat. Data dikumpulkan dengan teknik : observasi, wawancara dan studi dokumen.

Hasil penelitian menunjukan bahwa : Masyarakat nelayan Pesisir Sibolga masih mempercayai adanya pengaruh makhluk halus terhadap kehidupannya. Hal ini terlihat dari cara mengatasi tantangan hidup yang berhubungan dengan sistem mata pencaharian mereka dengan mengadakan suatu bentuk upacara untuk menghindari mara bahaya dari mereka. Melalui upacara mangure lawik rasa solidaritas terwujud dan dengan adanya aktivitas masyarakat, maka upacara mangure lawik  dapat diadakan. Adanya rasa solidaritas dan aktivitas ini dapat kembali menetralisir keadaan sebelumnya di mana di antara mereka satu dengan yang lainnya telah ada jarak demikian juga dengan penguasa laut.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

UCAPAN TERIMA KASIH... ii

ABSTRAK ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian... 6

1.4 Manfaat Penelitian... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Kepustakaan yang Relevan ... 8

2.2 Teori Yang Digunakan ... 9

2.2.1 Teori Semiotik ... 9

2.2.2 Teori Fungsi ... 10

BAB III METODE PENELITIAN ... 11

3.1 Metode Dasar ... 11

3.3 Instrumen Penelitian ... 12

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 13

3.4.1 Observasi ... 13

3.4.2 Wawancara ... 13

3.4.3 Metode Kepustakaan ... 14

3.4.4 Dokumentasi ... 14

3.5 Metode Analisis Data ... 15

BAB IV PEMBAHASAN ... 16

4.1 Tata Cara Pelaksanaan Upacara Tradisi Mangure Lawik ... 16

4.1.1 Upacara Mangure Lawik ... 16

4.1.2 Pawang Mangure Lawik ... 17

4.1.3 Persiapan Sebelum Upacara Tradisi Mangure Lawik ... 19

4.1.4 Pelaksanaan Upacara Tradisi Mangure Lawik ... 20

4.1.5 Tempat dan Waktu Pelaksanaan Tradisi Ritual Mangure Lawik ... 26

4.1.6 Masyarakat Tradisi Mangure Lawik ... 28

4.1.7 Perlengkapan Tradisi Mangure Lawik ... 29

4.1.8 Kegiatan-kegiatan dalam Tradisi Mangure Lawik ... 30

4.1.9 Waktu Upacara Tradisi Mangure Lawik ... 31

4.1.10 Syarat-syarat yang dilakukan Pawang ... 32

4.1.12 Kesenian Sikambang ... 36

4.1.13 Makan Bersama ... 38

4.2 Fungsi dan Makna Simbol dalam Tradisi Mangure Lawik ... 39

4.2.1 Makanan dan Jenis Tumbuhan ... 39

4.2.1.1 Setalam Kue ... 39

4.2.1.2 Beres Putih ... 40

4.2.1.3 Beras Kuning ... 40

4.2.1.4 Bertih ... 41

4.2.1.5 Sembilan Pohon Bakau ... 41

4.2.1.6 Limau Purut ... 42

4.2.1.7 Bungo Pagaran ... 42

4.2.1.8 Bungo Rampai ... 43

4.2.1.9 Sitawa, Sitawar, Sidingin ... 44

4.2.2 Jenis Hewan... 44

4.2.2.1 Kerbau Jantan ... 44

4.2.2.2 Ayam Putih... 44

4.2.3 Logam, Cawan, dan Pakaian ... 45

4.2.3.1 Cawan Putih ... 45

4.2.3.2 Pawang Berbaju Putih, Celana Putih, Ikat Kepala, Bersepatu ... 45

4.2.3.4 Air ... 46

4.2.4 Benda-benda Persembahan ... 46

4.2.4.1 Kemenyan ... 46

4.2.4.2 Tepung Tawar ... 47

4.2.4.3 Kain Lima Warna ... 51

4.2.5 Isyarat ... 52

4.2.5.1 Asal Mula Kegiatan dalam Persembahan ... 52

4.2.5.2 Pengibasan Kain Putih ... 52

4.2.5.3 Balai-balai ... 53

4.2.5.4 Pemuka Adat... 53

4.2.5.5 Penjaga Keamanan ... 53

4.2.5.6 Tempat Persembahan ... 53

4.2.6 Pelaksanaan Upacara Tradisi Mangure Lawik ... 54

4.2.5.1 Kegiatan Pawang ... 54

4.2.5.2 Tabu dalam Upacara ... 54

4.2.5.3 Memijak Haluan Kapal dan Membuang Kotoran ... 54

4.2.5.4 Menelusuri Muara... 55

4.2.5.5 Berkelahi ... 55

4.2.5.6 Larangan-larangan dan Menghempaskan ikan ... 55

4.2.5.7 Larangan Bagi Wanita ... 56

4.2.5.8 Membawa Makanan ... 56

4.2.5.10 Hukum Pantang Dilaut ... 57

BAB V KESIMPULAN ... 58

5.1 Kesimpulan ... 58

5.2 Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 61

LAMPIRAN ... 63

Daftar Pertanyaan ... 63

ABSTRAK

Marintan Kartika Sari Sitompul, 2015. Judul skripsi: Makna dan Fungsi Simbolis dalam Tradisi Mangure Lawik Pada Masyarakat Pesisir Sibolga: Kajian Semiotik. Terdiri dari 5 bab.

Dalam penelitian ini penulis membahas tentang MAKNA DAN FUNGSI SIMBOLIS DALAM TRADISI MANGURE LAWIK MASYARAKAT PESISIR SIBOLGA: KAJIAN SEMIOTIK. Permasalahan yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini adalah tat cara pelaksanaan, peralatan-peralatan yang digunakan, makna dan fungsi lambang-lambang serta pantangan yang harus dihindari dalam tradisi Mangure Lawik pada masyarakat Pesisir Sibolga.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tata cara pelaksanaan, peralatan-peralatan yang digunakan, makna dan fungsi lambang-lambang serta pantangan yang harus dihindari dalam tradisi Mangure Lawik pada masyarakat Pesisir Sibolga. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, dengan narasumber tokok-tokoh adat, pemuda, masyarakat, dan pemerintah Camat. Data dikumpulkan dengan teknik : observasi, wawancara dan studi dokumen.

Hasil penelitian menunjukan bahwa : Masyarakat nelayan Pesisir Sibolga masih mempercayai adanya pengaruh makhluk halus terhadap kehidupannya. Hal ini terlihat dari cara mengatasi tantangan hidup yang berhubungan dengan sistem mata pencaharian mereka dengan mengadakan suatu bentuk upacara untuk menghindari mara bahaya dari mereka. Melalui upacara mangure lawik rasa solidaritas terwujud dan dengan adanya aktivitas masyarakat, maka upacara mangure lawik  dapat diadakan. Adanya rasa solidaritas dan aktivitas ini dapat kembali menetralisir keadaan sebelumnya di mana di antara mereka satu dengan yang lainnya telah ada jarak demikian juga dengan penguasa laut.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Masyarakat yang tinggal disepanjang pinggiran pantai, lazimnya disebut masyarakat pesisir. Masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai barat disebut masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah masyarakat yang berdiam mulai dari ujung Aceh, Meulaboh, Tapak Tuan, Singkil, Barus, Sorkam, Sibolga, Pandan, Jago-jago, Natal, Padang, Seterusnya Bengkulu dan Belitung. Masyarakat Melayu sebagai salah satu suku bangsa (ethnic group) yang ada di Sumatera Utara telah sejak dulu membentuk, mengembangkan adat, tradisi, dan kebiasaan-kebiasaan yang menjadi kebutuhan dasarnya.

Salah satu kebutuhan dasar itu adalah bagaimana cara mempertahankan hidupnya seperti kehidupan sesama manusia maupun dengan alam yang menjadi sumber penghidupannya sehari-hari. Dengan berkembangnya kebudayaan Melayu seiring dengan dinamika zaman, maka tempat tinggal yang dahulu fungsinya hanya sebagai tempat berlindung dari bencana alam, sedikit demi sedikit mengalami pergeseran walaupun dipihak lain masih dapat ditemukan bentuk-bentuk aslinya.

tradisi upacara menjamu laut. Walaupun demikian, tradisi yang dipercaya sejak dahulu itu, kini mengalami pergeseran yang disebabkan oleh perkembangan teknologi, tingginya tingkat pendidikan dan pengaruh kepercayaan samawi membawa peerubahan dalam cara-cara penyajian tradisi tersebut.

Sejalan dengan perkembangan teknologi dan semakin tingginya tingkat pendidikan para generasi muda serta adanya jalinan dan kerjasama (kontak) dengan masyarakat luar maka norma-norma yang diyakini dan dipercaya sejak dahulu itu, kini mengalami perubahan yang signifikan. Perubahan ini berkaitan dengan aktivitas masyarakat yang mana dengan semakin baiknya tingkat kualitas hidup maka ada semacam tendensi untuk meninggalkan hal-hal yang tabu. Dalam hal ini, keyakinan atau agama (religion) yang dipegangnya bisa jadi merupakan salah satu faktor perubahan yang signifikan.

dilangsungkan secara turun-temurun. Tradisi Mangure Lawik adalah ritual sakral yang dipercaya memiliki kemampuan untuk membina hubungan baik dengan alam.

Kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat akan diwariskan ke generasi-kegenerasi yang lebih muda melalui serangkaian tindakan. Bentuk transmisi pewarisan budaya tersebut dapat dilakukan melalui sosialisasi yaitu proses belajar seorang anggota masyarakat untuk mengenal dan menghayati kebudayaan masyarakat dilingkungannya, internalisasi (proses) maupun inkulturasi atau usaha suatu agama untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat. Proses pewarisan atau transmisi nilai-nilai kebudayaan yang berlangsung itu, biasanya dilakukan melalui pranata sosial yang dimiliki oleh masyarakat yang juga selalu dimanfaatkan sebagai sarana pewarisan kebudayaan adalah tradisi yang bersarat tradisional seperti tradisi mangure lawik. Saat ini, utamanya di kota-kota besar, eksitensi tradisi mengalami persoalan dimana para masyarakat dari beragam suku yang ada di perkotaan tidak lagi mengenal apalagi mempraktekkan tradisi yang pernah hidup pada masyarakat itu. Kondisi demikian tentunya melahirkan sebuah kekhawatiran bahwa beberapa tahun kedepan akan semakin banyak bahagian-bahagian dari identitas atau ciri khas milik bangsa Indonesia yang hilang.

yang dimiliki oleh masyarakat Melayu yang sudah mulai punah. Hal ini menjadi penting sebab dalam setiap tradisi masyarakat terkandung nilai-nilai luhur yang selama beberapa waktu dinilai efektif membantu proses pembentukan karakter jiwa, keharmonisan masyarakat antara sesama maupun dengan alam.

Tradisi mangure lawik atau menjamu laut dilakukan oleh masyarakat Sibolga  yang mayoritas bertempat tinggal didaerah pesisir dimana sumber penghidupannya adalah menangkap ikan (nelayan). Mengingat pada masa awal bahwa masyarakat Melayu yang menganut paham animisme (kepercayaan kepada roh-roh) dan dinamisme (kepercayaan kepada benda-benda) diperkirakan mempunyai konsep tradisi yang mereka lakukan yakni sebagai jalan membina interaksi antara anggota masyarakat dengan penguasa alam. Bertambah besarnya tantangan yang dihadapi kelompok masyarakat serta semakin mempercepat meningkatnya keyakinan mereka terhadap roh-roh orang meninggal, pohon besar, penguasa laut dan bumi. Masuknya paham ajaran agama samawi seperti Hindu, Budha, Islam dan Kristen ikut pula membawa perubahan dalam cara-cara menyajikan tradisi tersebut.

Berbagai aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan laut seperti menangkap ikan kerap dibarengi dengan adanya pantangan-pantangan (taboo)  untuk dilakukan. Pantangan itu antara lain yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari yang dilakukan di laut pada saat upacara mangure lawik dilakukan, yang memiliki waktu selama tiga hari. Nelayan di Sibolga mengenal pandangan ini secara cermat dan harus dihindari agar kelak aktifitas tradisi yang dilakukan mendapat berkat dari penguasa laut. Sebagai sumber penghidupan harus dapat dicermati secara seksama, dan kekuatan yang dilakukan didalamnya, apa yang diambil untuk penghidupan, bagaimana cara memperolehnya, dengan alat apa dan bagaimana cara membuat alat tersebut sebagai cara mempermudah menaklukkan laut. Dengan demikian pula terdapat bagaimana masyarakat memandang laut, bagaimana menjinakkannya dan bagaimana untuk melindungi laut tersebut sebagai cara untuk melestarikannya.

1.2 Rumusan Masalah

Dari berbagai asumsi serta uraian latar belakang diatas, sekaligus untuk menjamin tercapainya hasil penelitian yang diinginkan, maka berikut ini disusun rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimanakah tata cara pelaksanaan upacara tradisi Mangure Lawik pada masyarakat pesisir Sibolga Tapanuli Tengah ?

2. Bagaimanakah fungsi dan makna simbolis dalam tradisi Mangure Lawik pada masyarakat pesisir Sibolga Tapanuli Tengah ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah diatas, tujuan penelitian ini adalah :

1. mengetahui bagaimana tata cara pelaksanaan upacara tradisi Mangure Lawik pada masyarakat pesisit Sibolga Tapanuli Tengah. 

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitiaan ini adalah sebagai berikut : 1. Memberi sumbangan secara teoritis tentang berbagai bentuk kepercayaan

tentang tradisi Mangure Lawik pada masyarakat pesisir Sibolga, Tapanuli Tengah.

2. Memperkuat identitas nelayan Melayu khususnya di Sibolga sebagai kelompok yang memiliki perhatian terhadap pelestarian lingkungan. 3. Inventarisasi dan dokumentasi khasanah budaya lokal yang hampir punah

akibat modernisasi.

4. Sebagai bahan referensi dalam penelitian-penelitian selanjutnya dengan tema yang sejenis yang belum dikaji dalam penelitian ini.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan Yang Relevan

Penelitian dan pembicaraan tentang Mangure Lawik atau yang dikenal dengan Jamu Laut atau Kenduri Laut, khususnya dalam khasanah/budaya Melayu Pesisir Timur

Sumatera Utara sudah ada dilakukan. Namun, secara khusus pembicaraan terhadap upacara tradisi Mangure Lawik pada masyarakat pesisir Sibolga di kawasan Sibustak-bustak Jalan Mojopahit Aek Habil Kota Sibolga Tapanuli Tengah belum pernah dilakukan. Adapun penelitian tentang Jamuan Laut yang pernah dilakukan adalah ;

2.2 Teori Yang Digunakan

Berdasarkan judul penelitian ini, maka secara umum teori yang digunakan untuk mendeskripsikan makna dan fungsi simbolis dalam tradisi Mangure Lawik pada masyarakat Melayu dikawasan Sibustak-bustak Jalan Mojopahit Aek Habil Kota Sibolga Tapanuli Tengah menggunakan dua teori yang penulis gunakan, yaitu teori semiotik dan teori fungsi. Berikut akan dijelaskan mengenai kedua teori tersebut.

2.2.1 Teori Semiotik

Semiotik atau (semiotika) adalah ilmu tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomenal sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti dalam lapangan kritik sastra (Preminger dalam Pradopo:1995)

Preminger 1974:980 (dalam Pradopo 1995) mengatakan, penelitian semiotik meliputi analisis serta sebagai sebuah bahasa yang tergantung pada (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna.

makna. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan, bahwa semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda, sistem-sistem, aturan-aturan dan konversi-konversi yang memungkinkan tanda-tanda mempunyai makna di dalam peristiwa sastra.

2.2.2 Teori Fungsi

Teori menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1984:19) ada empat yaitu:

1. Sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif.

2. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan. 3. Sebagai alat pendidikan anak.

4. Sebagai alat pemaksa dan pengawasan agar selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya

Fungsi adalah suatu kegunaan yang dapat diambil dalam melakukan sesuatu. Demikian juga dengan Tradisi Mangure Lawik, memiliki fungsi dalam masyarakat. Bagi masyarakat Sibolga fungsi Tradisi Mangure Lawik itu sebagai wadah pemeliharaan adat, pengajaran agama, pengajaran ilmu, pertahanan, hiburan, dan kepercayaan.

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Metode Dasar

Metode disini diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sadar dan hati-hati serta sistematis untuk mewujudkan kebenaran.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Berdasarkan metode ini akan dianalisis data yang diperoleh, sehingga dapat memberikan hasil secara positif dan setepat mungkin. Sekaligus digunakan sebagai upaya eksplorasi terhadap gejala dan kenyataan yang diamati dan dipelajari.

3.2 Lokasi Dan Sumber Data

Di dalam melakukan penelitian, penulis terjun ke lapangan yang berada di kawasan Sibustak-bustak Jalan Mojopahit Aek Habil Kota Sibolga Tapanuli Tengah yang mayoritas masyarakatnya adalah bermata pencaharian sebagai nelayan. Sumber data penelitian ini terdiri dari masyarakat setempat yang bertempat tinggal di kawasan Sibustak-bustak Jalan Mojopahit Aek Habil Kota Sibolga Tapanuli Tengah, tokoh masyarakat, tokoh adat, kepala Kecamatan, dan lembaga-lembaga adat.

3.3 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk memperoleh data penelitian. Pemilihan instrumen penelitian disesuaikan dengan karakteristik masalah yang hendak dicapai. Kedudukan penulis dalam penelitian ini ialah sebagai hasil penelitian. Dengan demikian, peran penulis dalam penelitian ini sangat penting karena keberadaannya tidak dapat diwakilkan oleh siapa pun.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Untuk menghimpun data-data, informasi dan masukan dalam penelitian ini dilakukan dengan sebagai berikut :

3.4.1 Observasi

yakni mengadakan pengamatan atau peninjauan langsung ke lokasi tempat penelitian yaitu di kawasan Sibustak-bustak Jalan Mojopahit Aek Habil Kota Sibolga. Dari observasi ini guna merancang desain pengumpulan data yang diperlukan.

3.4.2 Wawancara

Wawancara atau interview, yakni mengadakan wawancara terhadap informan, bertanya langsung tentang hal-hal yang berhubungan serta mencatat semua jawaban yang diberikan. Wawancara tidak langsung, yaitu sambil bercakap-cakap, lalu dicatat data yang diperlukan.

3.4.3 Metode Kepustakaan

Merupakan salah satu landasan dalam melakukan sebuah penelitian, yakni dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan untuk mendapatkan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber-sumber bacaan ini dapat berupa buku, ensiklopedi, jurnal, bulletin, artikel, laporan penelitian dan lain-lain. Dengan melakukan studi kepustakaan penulis akan mendapat cara yang efektif dalam melakukan penelitian lapangan dan penyusunan proposal skripsi ini. Studi kepustakaan dilakukan dalam rangka memperoleh pengetahuan dasar tentang apa yang akan diteliti. Dalam hal ini penulis mempelajari skripsi-skripsi kajian tentang Jamuan Laut yang sudah pernah ditulis oleh para sarjana atau para peneliti lainnya.

3.4.4 Dokumentasi

Dokumentasi yaitu metode yang digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan transkrip, buku, surat kabar, agenda dan lain sebagainya (Arikunto,2006:236).

3.5 Metode Analisis Data 

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Tata Cara Pelaksanaan Upacara Tradisi Mangure Lawik

Tahap pelaksanaan Tradisi Mangure Lawik di Sibolga merupakan tahapan-tahapan yang dilaksanakan pada upacara tradisi mangure lawik masyarakat Melayu pesisir Sibolga. Pelaksanan Mangure Lawik ini dilakukan oleh pawang dan dibantu oleh masyarakat yang terlibat pada lokasi pelaksanaan upacara tradisi Mangure Lawik.

4.1.1 Upacara Mangure Lawik

Pada umumnya upacara merupakan rangkaian perangkat lambang-lambang yang berupa benda atau materi, kegiatan fisik, hubungan tertentu, kejadian-kejadian, isyarat-isyarat, dan penggunaan secara simbolis/lambang ini dapat ditangkap maknanya melalui intrerpretasi orang-orang yang terlibat di dalamnya maupun para pengamat.

kekuatan gaib yang dianut masyarakat penduduknya. Jadi upacara dapat dikatakan sebagai upaya menghindari dari adanyaa hukum atas kelalian manusia itu sendiri.

Kelalaian manusia itu dapat disebabkan ketidak selarasan di dalam hidup manusia baik keselarasan yang ada di dalam diri manusia dengan sesamanya maupun keselarasan antara manusia dengan alam. Hilang atau susutnya keselarasan akan dilihat sebagai tanda mulai terjadinya seatu malapetaka, untuk itu manusia berusaha untuk menyelarasakan keadaan tersebut. Sehingga upacara merupakan salah satu sarana untuk menjaga keseimbangan antara manusia dengan sesamanya, tanah, laut, hasil bumi dan kekuatan adi-kodrati.

4.1.2 Pawang Mangure Lawik 

Kepercayaan para nelayan terhadap kekuatan magis dukun ternyata sama dengan kepercayaan mereka kepada pawang Upacara Tradisi Mangure Lawik, yaitu seorang yang mempunyai kekuatan magis, menguasai jin dan roh jahat yang tinggal di laut. Orang yang disebut pawang laut ini berperan penting dalam kehidupan para nelayan. Pawang laut menjadi tumpuan para nelayan bahwa laut adalah kawasan yang dihuni dan dikuasai makhluk halus tersebut akan marah dan mengganggu para nelayan jika dilanggar pantang dan larangan penguasa laut tersebut. Para nelayan dan masyarakat Melayu Pesisir Sibolga masih percaya bahwa gangguan makluk halus laut hanya dapat diatasi seorang pawang, beberapa masalah atau kejadian nyata yang dialami para nelayan masyarakat Melayu pesisir Sibolga dianggap gangguan atau kemarahan makhluk halus dilaut.

Seseorang menjadi pawang dalam istiadat atau Upacara Tradisi Mangure Lawik merupakan warisan dari keluarganya. Pada umumnya pawang adalah seorang

yang berusia lanjut, mengetahui silsilah kampung dan tempat Upacara Tradisi Mangure Lawik dilaksanakan, kemudian mengetahui dengan jelas para Nabi dan 

Dalam kehidupan sehari-hari kedudukannya sederajat dengan masyarakat awam, baik sebagai nelayan maupun pengawas. Kedudukan pawang tidak mendapatkan keistimewaan, sama dengan anggota masyarakat lain.

4.1.3 Persiapan Sebelum Upacara Tradisi Mangure Lawik

Dalam prosesi ritual ini masyarakat nelayan di kota Sibolga membentuk panitia khusus yang diketuai oleh tetua adat masyarakat kota Sibolga. Panitia tahunan tradisi mangure lawik ini diprakasai oleh KNTM (Kelompok Nelayan Tolong  Menolong) Sibolga bekerja sama dengan Dinas Kelautan, dan Perikanan Sibolga. Kepanitiaan yang sudah dibentuk ini kemudian bertugas sesuai dengan bagiannya masing-masing. Prosesi ritual ini melibatkan seluruh masyarakat Sibolga. Tugas ketua panitia dan semua panitia mengadakan pengecekan terhadap semua perlengkapan yang akan digunakan dalam ritual, urutan prosesi, tatanan dan aturan yang harus dilaksanakan selama prosesi ritual berlangsung.

4.1.4 Pelaksanaan Upacara Tradisi Mangure Lawik

Upacara dilakukan selama tiga hari dengan berbagai rangkaian kegiatan. Peserta upacara adalah seluruh masyarakat Sibolga yang dipimpin oleh tetua. Seluruh peserta yang terdiri dari para sesepuh, tetua adat, tamu undangan, dan masyarakat Sibolga.

Hari pertama:

1. Pemasangan Panji-panji.

Panji-panji (bendera) yaitu kain putih berukuran panjang sekitar 2 m dan lebar yang bertulisan kalimat syahadat dengan huruf Arab. Sebatang bambu berukuran kira-kira 6 m, berfungsi untuk memancangjan panji-panji.

2. Penaburan Limau dan Bunga.

Penaburan limau dan bunga dilakukan oleh pawang mangure lawik. Dengan membacakan doa-doa, limau dan bunga di taburkan disekeliling muara atau laut.

Hari Kedua:

1. Penyembelihan Kerbau

ُﺲْﻤ �ﺸﻟاَو ﴾٣٧﴿ َنﻮُﻤِﻠ ْﻈ�ﻣ ُﱒ اَذ � ﺎَﻓ َرﺎَ �ﳯ�ا ُﻪْنِﻣ ُﺦَﻠ ْﺴَ� ُﻞْﻴ�ﻠلا ُﻢُﻬ�ﻟ ٌﺔَﻳٓآَو ﴾٣٦﴿ َنﻮُﻤَﻠْﻌَﻳ َﻻ ﺎ�ﻤِﻣَو ْﻢِﻬ ِﺴُﻔﻧ�آ ْﻦِﻣَو ُض ْر� ْ�ا ُﺖِبﻨُﺗ ﺎ�ﻤِﻣ ﺎَﻬ� ُﳇ َجاَوْز� ْ�ا َﻖَﻠَ� يِ ��ا َنﺎَ�ْﺒ ُ�ﺳ ﴾٣٥﴿ ُﻖِﺑﺎ َﺳ ُﻞْﻴ �ﻠلا َﻻَو َﺮَﻤَﻘْﻟا َك ِر ْﺪُﺗ ن�آ ﺎَﻬَﻟ ﻲِﻐَبنَﻳ ُﺲْﻤ �ﺸﻟا َﻻ ﴾٣٩﴿ ِﱘِﺪَﻘْﻟا ِنﻮُﺟ ْﺮُﻌْﻟ َﰷ َدﺎَ� ٰ �ﱴَﺣ َلِزﺎَنَﻣ ُﻩ َ� ْر�ﺪَﻗ َﺮَﻤَﻘْﻟاَو ﴾٣٨﴿ ِﲓِﻠَﻌْﻟا ِﺰ�ِﺰَﻌْﻟا ُﺮ�ِﺪْﻘَﺗ َ ِ��َذ ۚ◌ﺎَﻬ�ﻟ ٍّﺮَﻘَﺘ ْ�ﺴُﻤِﻟ ي ِﺮْ َﲡ ْﻢُﻬَﻟ َﱗ ِ َﴏ َﻼَﻓ ْﻢُﻬْﻗ ِﺮْﻐُﻧ �أ َﺸ�� ن � اَو ﴾٤٢﴿ َنﻮُﺒَﻛ ْﺮَ� ﺎَﻣ ِ ِ�ْثِّﻣ ﻦِّﻣ ﻢُﻬَﻟ ﺎَنْﻘَﻠَ�َو ﴾٤١﴿ ِنﻮُﺤ ْﺸَﻤْﻟا ِ ْ�ُﻔْﻟا ِﰲ ْﻢُ َﳤ�� ِّرُذ ﺎَﻨْﻠَ َﲪ ���آ ْﻢُﻬ�ﻟ ٌﺔَﻳٓآَو﴾٤٠﴿ َنﻮُﺤَﺒ ْ�ﺴَ� ٍ َ�َﻓ ِﰲ � ُﰻَو ۚ◌ ِرﺎَ �ﳯ�ا �ﻻ � ا ْﻢِِّﲠ َر ِت َ�ٓآ ْﻦِّﻣ ٍﺔَﻳٓآ ْﻦِّﻣ ﻢِﳱِ��أَﺗ ﺎَﻣَو ﴾٤٥﴿ َنﻮُ َﲪ ْﺮُ� ْ ُﲂ�ﻠَﻌَﻟ ْ ُﲂَﻔْﻠَ� ﺎَﻣَو ْ ُﲂ�ِﺪْﻳ�آ َ ْﲔَﺑ ﺎَﻣ اﻮُﻘ�ﺗا ُﻢُﻬَﻟ َﻞيِﻗ اَذ � اَو ﴾٤٤﴿ ٍﲔِ� َٰﱃ�ا ﺎً�ﺎَتَﻣَو ﺎ�نِّﻣ ًﺔَ ْﲪ َر �ﻻ�ا ﴾٤٣﴿ َنوُﺬَﻘﻨُﻳ ْ ُﱒ َﻻَو ﴾٤٧﴿ ٍﲔِب�ﻣ ٍل َﻼ َﺿ ِﰲ �ﻻ�ا ْ ُﱲﻧ�آ ْن�ا ُﻪَﻤَﻌْﻃ�آ ُﻪ��ﻠلا ُءﺎَﺸَ� ْﻮ�ﻟ ﻦَﻣ ُﻢِﻌْﻄُﻧ�آ اﻮُنَﻣٓآ َﻦ�ِ��ِل او ُﺮَﻔَﻛ َﻦ�ِ ��ا َلﺎَﻗ ُﻪ��ﻠلا ُ ُﲂَﻗَز َر ﺎ�ﻤِﻣ اﻮُﻘِﻔﻧ�آ ْﻢُﻬَﻟ َﻞيِﻗ اَذ � اَو ﴾٤٦﴿ َﲔ ِﺿ ِﺮْﻌُﻣ ﺎَ ْﳯَﻋ اﻮُﻧ َﰷ َنﻮُﻌِﺟ ْﺮَ� ْﻢِﻬِﻠْﻫ�آ َٰﱃ�ا َﻻَو ًﺔَﻴ ِﺻْﻮَﺗ َنﻮُﻌﻴِﻄَﺘ ْ�ﺴَ� َﻼَﻓ ﴾٤٩﴿ َنﻮُﻤ ِّﺼَِﳜ ْ ُﱒَو ْ ُﱒُﺬُ��أَﺗ ًةَﺪِ�اَو ًﺔَ�ْﻴ َﺻ �ﻻ�ا َنو ُﺮ ُﻈﻨَﻳ ﺎَﻣ ﴾٤٨﴿ َﲔِﻗِدﺎ َﺻ ْ ُﱲﻨُﻛ ن�ا ُﺪْ�َﻮْﻟا اَﺬٰ�َﻫ َٰﱴَﻣ َنﻮُﻟﻮُﻘَﻳَو ن � ا ﴾٥٢﴿ َنﻮُﻠ َﺳ ْﺮُﻤْﻟا َقَﺪ َﺻَو ُﻦٰـَ ْﲪ �ﺮﻟا َﺪَ�َو ﺎَﻣ اَﺬٰ�َﻫ ۗ◌ ۜ◌ َ�ِﺪَﻗ ْﺮ�ﻣ ﻦِﻣ ﺎَﻨَﺜَﻌَﺑ ﻦَﻣ ﺎَﻨَﻠْﻳَو َ� اﻮُﻟﺎَﻗ ﴾٥١﴿ َنﻮُﻠ ِﺴنَﻳ ْﻢِِّﲠ َر َٰﱃ�ا ِثاَﺪْ�� ْ�ا َﻦِّﻣ ُﱒ اَذ�ﺎَﻓ ِرﻮ �ﺼﻟا ِﰲ َﺦِﻔُﻧَو ﴾٥٠﴿ َنﻮُﻬِﻛﺎَﻓ ٍﻞُﻐ ُﺷ ِﰲ َمْﻮَﻴْﻟا ِﺔ �ﻨَﺠْﻟا َبﺎَ ْﲱ�آ �ن�ا﴾٥٤﴿ َنﻮُﻠَﻤْﻌَﺗ ْ ُﱲﻨُﻛ ﺎَﻣ �ﻻ�ا َنْوَﺰُْﲡ َﻻَو ﺎًئْيَﺷ ٌﺲْﻔَﻧ َُﲅْﻈُﺗ َﻻ َمْﻮَﻴْﻟﺎَﻓ ﴾٥٣﴿ َنو ُ َﴬْﺤُﻣ ﺎَﻨْﻳَ�� ٌﻊﻴِ َﲨ ْ ُﱒ اَذ�ﺎ َﻓ ًة َﺪِ�اَو ًﺔَ�ْﻴ َﺻ �ﻻ�ا ْﺖَﻧَﰷ َنﻮُﻣ ِﺮْﺠُﻤْﻟا ﺎَ �ﳞ�آ َمْﻮَﻴْﻟا اوُزﺎَتْﻣاَو ﴾٥٨﴿ ٍﲓِﺣ �ر ٍّب �ر ﻦِّﻣ ًﻻْﻮَﻗ ٌم َﻼ َﺳ ﴾٥٧﴿ َنﻮُﻋ�ﺪَﻳ ﺎ�ﻣ ﻢُﻬَﻟَو ٌﺔَﻬِﻛﺎَﻓ ﺎَﳱِﻓ ْﻢُﻬَﻟ ﴾٥٦﴿ َنﻮُئِﻜ�تُﻣ ِﻚِﺋا َر� ْ�ا َﲆَ� ٍل َﻼِﻇ ِﰲ ْﻢُ ُ�اَوْز�آَو ْ ُﱒ ﴾٥٥﴿ ۖ◌ا ًﲑِﺜَﻛ �ﻼِب ِﺟ ْ ُﲂنِﻣ �ﻞ َﺿ�آ ْﺪَﻘَﻟَو ﴾٦١﴿ ٌﲓِﻘَﺘ ْ�ﺴ�ﻣ ٌطا َ ِﴏ اَﺬٰ�َﻫ ۚ◌ ِﱐو ُﺪُﺒْﻋا ِن�آَو ﴾٦٠﴿ ٌﲔِب�ﻣ �و ُﺪَ� ْ ُﲂَﻟ ُﻪ�ﻧ�ا ۖ◌ َنﺎ َﻄْﻴ ��ﺸﻟا او ُﺪُﺒْﻌَﺗ �ﻻ ن�آ َمَدٓآ ِﲏَﺑ َ� ْ ُﲂْﻴ َﻟ�ا ْﺪَﻬْﻋ�آ ْﻢَﻟ�آ ﴾٥٩﴿ ﺎَﻤِﺑ ﻢُﻬُﻠُ� ْر�آ ُﺪَﻬ ْﺸَ�َو ْﻢِﳞِﺪْﻳ�آ ﺎَﻨُﻤِّ َﳫُ�َو ْﻢِﻬِﻫاَﻮْﻓ�آ ٰ َﲆَ� ُ ِﱲْ َﳔ َمْﻮَﻴْﻟا ﴾٦٤﴿ َنو ُﺮُﻔْﻜَ� ْ ُﱲﻨُﻛ ﺎَﻤِﺑ َمْﻮَﻴْﻟا ﺎَﻫْﻮَﻠ ْﺻا ﴾٦٣﴿ َنو ُﺪَ�ﻮُﺗ ْ ُﱲﻨُﻛ ِﱵ�ﻟا ُ �ﲌَ َ� ِﻩِﺬٰ�َﻫ ﴾٦٢﴿ َنﻮُﻠِﻘْﻌَﺗ اﻮُﻧﻮُﻜَ� َْﲅَﻓ�آ َنﻮُﻌِﺟ ْﺮَ� َﻻَو ﺎ�ﻴ ِﻀُﻣ اﻮُﻋﺎ َﻄَﺘ ْ�ﺳا ﺎَﻤَﻓ ْﻢِ ِﳤَن َﲀَﻣ ٰ َﲆَ� ْ ُﱒﺎَﻨْﺨ َﺴَﻤَﻟ ُءﺎ َﺸَ� ْﻮَﻟَو ﴾٦٦﴿ َنو ُ ِﴫْﺒُﻳ ٰ�ﱏ�أَﻓ َطا َ ِّﴫﻟا اﻮُﻘَبَت ْﺳﺎَﻓ ْﻢِ ِﳯُﻴْﻋ�آ َٰﲆَ� ﺎَﻨ ْ�ﺴَﻤَﻄَﻟ ُءﺎ َﺸَ� ْﻮَﻟَو ﴾٦٥﴿ َنﻮُﺒ ِ�ﺴْﻜَ� اﻮُﻧ َﰷ ُلْﻮَﻘْﻟا �ﻖَِﳛَو ﺎ�يَﺣ َن َﰷ ﻦَﻣ َرِﺬﻨُﻴِّﻟ ﴾٦٩﴿ ٌﲔِب�ﻣ ٌنٓآ ْﺮُﻗَو ٌﺮْﻛِذ �ﻻ�ا َﻮُﻫ ْن�ا ۚ◌ َُ� ﻲِﻐَبنَﻳ ﺎَﻣَو َﺮْﻌ ِّﺸﻟا ُﻩﺎَﻨْﻤ�ﻠَ� ﺎَﻣَو ﴾٦٨﴿ َنﻮُﻠِﻘْﻌَﻳ َﻼَﻓ�آ ۖ◌ ِﻖْﻠَ�ْﻟا ِﰲ ُﻪ ْﺴِّﻜَﻨُﻧ ُه ْﺮِّﻤَﻌ�ﻧ ﻦَﻣَو ﴾٦٧﴿ ُﻊِﻓﺎَنَﻣ ﺎَﳱِﻓ ْﻢُﻬَﻟَو ﴾٧٢﴿ َنﻮُ ُﳇ�أَﻳ ﺎَ ْﳯِﻣَو ْﻢُ ُﲠﻮُﻛ َر ﺎَ ْﳯِﻤَﻓ ْﻢُﻬَﻟ ﺎَﻫﺎَﻨْﻠ�لَذَو ﴾٧١﴿ َنﻮُﻜِﻟﺎَﻣ ﺎَﻬَﻟ ْﻢُﻬَﻓ ﺎًﻣﺎَﻌْﻧ�آ ﺎَﻨﻳِﺪْﻳ�آ ْﺖَﻠِ َﲻ ﺎ�ﻤِّﻣ ﻢُﻬَﻟ ﺎَنْﻘَﻠَ� ���آ اْو َﺮَ� ْﻢَﻟَو�آ ﴾٧٠﴿ َﻦ� ِﺮِﻓ َﲀْﻟا َﲆَ� ۘ◌ ْﻢُﻬُﻟْﻮَﻗ َﻚﻧُﺰْ َﳛ َﻼَﻓ ﴾٧٥﴿ َنو ُ َﴬْﺤ�ﻣ ٌﺪنُﺟ ْﻢُﻬَﻟ ْ ُﱒَو ْ ُﱒ َ ْﴫَﻧ َنﻮُﻌﻴ ِﻄَﺘ ْ�ﺴَ� َﻻ ﴾٧٤﴿ َنو ُ َﴫﻨُﻳ ْﻢُﻬ�ﻠَﻌ�ﻟ ًﺔَﻬِﻟٓآ ِﻪ��ﻠلا ِنوُد ﻦِﻣ اوُﺬَ �ﲣاَو ﴾٧٣﴿ َنو ُﺮُﻜ ْﺸَ� َﻼَﻓ�آ ۖ◌ ُب ِرﺎ َﺸَﻣَو َ ِﱔَو َمﺎ َﻈِﻌْﻟا ِﲖْ ُﳛ ﻦَﻣ َلﺎَﻗ ۖ◌ ُﻪَﻘْﻠَ� َ ِﴘَ�َو ًﻼَثَﻣ ﺎَﻨَﻟ َب َ َﴐَو ﴾٧٧﴿ ٌﲔِب�ﻣ ٌﲓ ِﺼَﺧ َﻮُﻫ اَذ�ﺎَﻓ ٍﺔَﻔْﻄ�ﻧ ﻦِﻣ ُﻩﺎَنْﻘَﻠَ� ���آ ُنﺎ َﺴ�� ْﻻا َﺮَ� ْﻢَﻟَو�آ ﴾٧٦﴿ َنﻮُﻨِﻠْﻌُﻳ ﺎَﻣَو َنو � ِﴪُ� ﺎَﻣ َُﲅْﻌَﻧ ���ا يِ ��ا َﺲْيَﻟَو�آ ﴾٨٠﴿ َنوُﺪِﻗﻮُﺗ ُﻪْنِّﻣ ُﱲﻧ�آ اَذﺎَﻓ ا ًر َ� ِ َﴬْﺧ� ْ�ا ِﺮَﺠ �ﺸﻟا َﻦِّﻣ ُﲂَﻟ َﻞَﻌَﺟ يِ ��ا ﴾٧٩﴿ ٌﲓِﻠ َ� ٍﻖْﻠَ� ِّ ُﲁِ� َﻮُﻫَو ۖ◌ ٍة �ﺮَﻣ َل�و�آ ﺎَﻫ�أ َﺸ��آ يِ ��ا ﺎَﳱِﻴْ ُﳛ ْﻞُﻗ ﴾٧٨﴿ ٌﲓِﻣ َر ِﻩِﺪَﻴِﺑ يِ ��ا َنﺎَ�ْﺒ ُ�ﺴ َﻓ ﴾٨٢﴿ ُنﻮُﻜَيَﻓ ﻦُﻛ َُ� َلﻮُﻘَﻳ ن�آ ﺎًئْي َﺷ َدا َر�آ اَذ�ا ُه ُﺮْﻣ�آ ﺎَﻤ�ﻧ�ا ﴾٨١﴿ ُﲓِﻠَﻌْﻟا ُق �ﻼَ�ْﻟا َﻮُﻫَو ٰ َﲆَﺑ ۚ◌ﻢُﻬَﻠْثِﻣ َﻖُﻠْ َﳜ ن�آ ٰ َﲆَ� ٍرِدﺎَﻘ ِﺑ َض ْر� ْ�اَو ِتاَوﺎَﻤ �ﺴﻟا َﻖَﻠَ� ﴾٨٣﴿ َنﻮُﻌَﺟ ْﺮُ� ِﻪْﻴَﻟ � اَو ٍء ْ َﳾ ِّ ُﰻ ُتﻮُﻜَﻠَﻣ

3. Penyantunan Anak Yatim.

Penyantunan anak yatim yang diberikan pemerintah sebagai ucapan syukur telah dilaksanakan Upacara Mangure Lawik .

4. Pergelaran Seni Budaya Pesisir.

dan tarian India yang energik, ketangkasan gerakan barongsai dari etnis Tionghoa, tor-tor dan lagu Batak Toba, juga ada tari kolaborasi multi etnis dan lawakan kocak oleh Dewan Kesenian Sibolga.

Pameran dan pagelaran seni budaya merupakan ajaran untuk memperkenalkan serta evaluasi program dan mempromosikan produk-produk unggulan Sibolga, menimba ilmu pengetahuan, serta sarana silaturahmi, hiburan dan rekreasi bagi masyarakat. Selain ajang hiburan juga sebagai upaya memperkenalakan karakteristik masyarakat Sibolga dan upaya pelestarian seni budaya daerah. Terlebih kepada generasi muda. Sebagian pelaku pegelaran seni dan budaya ini kalangan anak-anak, pelajar dan remaja yang berbakat.

Hari Ketiga:

1. Kata sambutan.

Penyampaian nasehat yang bersifat pengarahan dan bimbingan dari Wakil Pemerintah Daerah. Didalam kata-kata nasehat atau sambutan itu dinyatakan bahwa pihak pemerintah mendukung dan mengukuhkan upacara mangure lawik sebagai aktifitas masyarakat.

2. Pertunjukan Sikambang.

senandung, pantun yang paling populer di kota sibolga. Kesenian ini sering dipertunjukkan pada upacara pernikahan, upacara adat dan hari-hari besar.

3. Makan Bersama.

Upacara Tradisi Mangure Lawik dengan penyampaian kata-kata nasehat yang bersifat pengarahan dan bimbingan dari Camat Sibolga Selatan. Kata-kata nasehat tersebut dinyatakan bahwa pemerintahan mendukung dan mengukuhkan Tradisi Mangure Lawik sebagai kegiatan masyarakat. Setelah kata-kata nasehat para panitia

mempersilahkan seluruh peserta makan bersama yang telah disediakan, karena masyarakat mempercayai bahwa penyelenggaraan Tradisi Mangure Lawik tidak sempurna jika sampai tujuan apabila ada salah satu seorang peserta yang belum makan. Sesudah makan bersama, pembacaan doa dipimpin ustadz, kemudian seluruh peserta upacara bubar kembali ke rumah masing-masing.

4.1.5 Tempat dan Waktu Pelaksanaan Tradisi Ritual Mangure Lawik

Adat istiadat ritual disebut sebagai upacara tradisi karena diselenggarakan secara turun temurun dari masa ke masa dan relatif tetap baik tempat maupun waktunya dan pelaksanaannya terjadwal dalam aktifitas masyatakat. Upacara Tradisi Mangure Lawik itu merupakan kegiatan sosial budaya, maka melibatakan anggota 

kampung. Saat Upacara Tradisi Mangure Lawik dilaksanakan, keadaan dirasakan seram dan banyak bahaya yang mencekam.

Pelaksanaan Upacara Tradisi Jamuan Laut masyatakat Melayu Pesisir Sibolga dapat dibagi beberapa tahap, pertama, tempat untuk persiapan penyelenggaraan dan musyawarah yaitu balai desa, kedua, tempat untuk keseluruhan peserta upacara, di pinggir laut atau pantai, sedangkan bagian ketiga, tempat para pawang untuk keperluan penyampaian persembahan, di pantai laut Sibolga.

Pantai laut Sibolga dipercayai masyarakat tempat mula-mula nelayan nenurunkan jala penangkap ikan, maka tempat tersebut dibangun balai upacara. Tempat pawang mengibarkan bendera dipercayai dapat memanggil makluk halus penunggu laut dan daerah ini ditabur bunga-bunga oleh pawang. Dan tempat upacara di hamparan laut, kawasan tersebut digunakan oleh para pawang untuk meletakan perlengkapan persembahan kepada makhuk halus dan penguasa laut.

Tempat Upacara Tradisi Mangure Lawik telah ditentukan dalam musyawarah ketua adat, pemuda masyarakat, pihak pegawai pemerintah daerah dan pawang. Adapun fungsi pawang di sini sebagai penunjuk. Kemudian, tempat Upacara Tradisi Mangure Lawik tersebut muat bagi orang banyak, lapangan luas dan diketahui bersih 

Tradisi Mangure Lawik dalam masyarakat pesisir Sibolga dilakukan setiap tahun pada tanggal 2 april bertepatan dengan hari jadi kota Sibolga, kecuali isyarat ada mimpi pawang, fenomena alam misalnya ikan mulai berkurang. Pelaksanaan tradisi tersebut dilaksanakan di kawasan Sibustak-bustak Jalan Mojopahit Aek Habil Kota Sibolga. waktu yang diperlukan dalam tradisi tersebut sebaiknya tiga hari, tujuh hari dan Sembilan hari sesuai kesepakatan pawang, pegawai pemerintah setempat, tokoh masyarakat dan para ustadz serta anggota masyarakat.

4.1.6 Masyarakat Tradisi Mangure Lawik

Kebudayaan secara universal meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral dan kebiasaan yang dibutuhkan manusia sebagai kegiatan adat masyarakat Melayu Pesisir Sibolga.

Secara rinci peranan masing-masing masyarakat dalam Tradisi Mangure Lawik tersebut seperti pemuda masyarakat baik ketua adat maupun ketua-ketua organisasi pemuda dan para kelompok nelayan serta pegawai pemerintah daerah sebagai sekretaris yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan Tradisi Mangure

Lawik , para pawang penyelenggara melepaskan perengkapan persembahan,

sedangkan para ustadz bertanggung jawab atas kelangsungannya. Pedagang ikan maupun nelayan mengusahakan perlengkapan yang di dalam ritual. Keseluruhan peserta patuh mengenai larangan yang telah ditetapkan

4.1.7 Perlengkapan Tradisi Mangure Lawik

Perlengkapan Tradisi Mangure Lawik telah diketahui dan dipahami seluruh warga masyarakat, karena sangat berkaitan dengan lingkungan masyarakat Melayu Pesisir Sibolga. Keseluruhan benda yang akan dipersembahkan pada Tradisi tersebut mempunyai kekuatan. Dan tujuan masing-masing upacara sebagai benda keramat, tetapi mempunyai makna khusus.

Adapun benda tersebut, yaitu:

1. Setalam kue, 2. Beras putih, 3. Beras kuning, 4. Bartih,

5. Pohon bakau,

6. Limau purut, pagaran, 7. Bunga rampai,

8. Kemenyan,

9. Sitawa, sitawar, sidingin,

10.Kain lima warna untuk bendera,yaitu warna kuning, putih, hitam, biru dan hijau, 11.Seekor kerbau jantan dan ayam putuh.

4.1.8 Kegiatan-kegiatan dalam Tradisi Mangure Lawik

Masyarakat pesisir Sibolga, terutama para nelayan mempercayai seluruh lautan dikuasai makhluk halus, yaitu jin dan roh jahat. Roh di laut disebut Mambang Laut. Masyarakat pada umumnya sebagai nelayan maka mengharapkan mendapat

ikan yang banyak.

mengantar ramuan atau sesajen laut. Di samping itu diumumkan hal-hal yang dilarang, penyampai kata sambutan dan kepada lingkungan, pengetua adat. Akhirnya membaca doa dan ikrar janji dan makan bersama.

4.1.9 Waktu Upacara Tradisi Mangure Lawik

Anggota masyarakat membentuk balai, yaitu sebuah bangunan sederhana uyang didirikan pada tempat upacara. Balai-balai tersebut terbuat dari batang pohon, tidak berdindin, beratap anyaman daun kelapa. Letaknya memanjang dan sejajar dengn sisi pantai. Balai-balai ini digunakan untuk meletakkan perlengkapan yang dipersembahkan dan dipercayai masyarakat agar proses upacara diterima makhlik halus. Selanjutnya disediakan seekor kerbau dan ayam untuk disembelih sebagai kurban. Dahulu, kepala kerbau dan ayam tersebut dipersembahkan kepada penguasa laut, sekarang kepala kerbau dan ayam tidak lagi dibuat persembahan tetapi dipotong dan dibagikan kepada tetua-tetua, tokoh adat sesuai dengan bagiannya masing-masing(seperti pembagian jambar). Sedangkan dagingnya dimasak untuk dimakan bersama-sama. Kerbau dan ayam sebelum dipotong dimandikan dengan air bunga oleh pawang.

tutup kepala berwarna putih. Sedangkan kaum lelaki mendirikan balai-balai dan kaum wanita memasak untuk dimakan bersama. Selanjutnya anggota panitia upacara menyediakan perlengkapan yang lain.

4.1.10 Syarat-syarat yang dilakukan Pawang

Pertama, pemancangan panji-panji, yaitu tujuh hari sebelum pelaksanaan

upacara. Pemancangan panji-panji dilakukan para pawang saat matahari mulai terbit, ini tandanya dimulai Upacara Tradisi Mangure Lawik.

Lokasi penyelenggaraan upacra tersebut selalu di tepi pantai atau laut. Bendera yang diikat pada potongan batang bambu dipecakkan di dua tempat penyelenggaraan upacara dan satu lagi dipecakkan seratus meter dari tempat upacara tersebut dekat muara. Sewaktu para pawang memancangkan bendera tersebut membaca mantra dan memercikkan air ramuan ke atas kain bendera dan tanah di tempat dipancangkan,

Kedua, sesudah pemancangan panji-panji, seekor kerbau dan ayam jantan

yang akan disembelih ditambat serta ayam jantan yang akan disembelih ditambat serta ayam dikurung di padang temapat upacara. Pagi hari setelah shalat subuh, salah seorang nazir yang didampingi pawang menyembelih kerbau dan ayam jantan. Tempat penyembelihan di atas sebuah lubang kecil yang digali tanah untuk menampung darahnya. Masyarakat menganggap kesepaduan darah dengan tanah berarti simbolik dari keeratan hubungan makhluk hidup terutama hubungan manusia dengan lingkungannya.

Kemudian kerbau dan ayam yang disembelih dipotong-potong dan dipisahkan menjadi dua bagian, yaitu bagian kepala dikemas untuk dipersembahkan pada siang hari kepada penguasa laut, tapi sekarang tidak lagi melainkan kepala kerbau tersebut dibagikan kepada tetua dan tokoh adat setempat. Selanjutnya bagian dagingnya dicincang halus, dimasak untuk hidangan dalam jamuan makan bersama. Hal ini dilakukan kaum lelaki, sedangan rempah-rempah masakan disediakan ibu-ibu. Penembelihan selesai bersamaan saat matahari terbit dan anggota masyarakat pun datang ke tempat upacara untuk membantu pelaksanaan upacara tersebut.

Ketiga, saat mengantar jamuan atau sesajen tersebut ketika matahari sudah 

anggota masyarakat. Diawali pawang dengan mengelilingi balai kemudian menabur bunga-bunga, dan berdiri sejenak menghadap kiblat sambil membaca mantera.

Kemudian pawang melanjutkan menaburkan jamuan atau sesajen keaarah delapan penjuru angin diiringi melepaskan tutup kepala, berupa sehelai kain putih dan melambai-lambaikan kea rah tengah laut diiringi dengan membaca mantera.

Upacara Tradisi Mangure Lawik dilakukan pada jarak sekitar satu mil dari pantai, yaitu disuatu tempat yang dipercayai masyarakat sebagai tempat pangkalan pusaran angin. Ketika upacara perahu berhenti dan semua peserta upacra berdiri menghadap kiblat. Bilal atau ustadz membaca shalawat diiringi suara azan dalam situasi hening. setelah membaca shalawat kemudian ustadz atau bilal membaca doa disertai seluruh peserta upacara meninggalkan tempat upacara dengan pantangan tidak boleh melihat ke belakang, tempat Upacara Tradisi Mangure Lawik.

4.1.11 Selesai Upacara Tradisi Mangure Lawik 

Pemberitahuan tentang larangan-larangan terhadap seluruh peserta sesudah pembacaan doa serta para pengantar jamuan atau sesajen upacara sampai ketepi pantai atau laut, larangan-larangan harus dipatuhi setiap anggota masyarakat sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan. Larangan tersebut dibacakan oleh pawang didampingi para ustadz dan seluruh anggota masyarakat yang hadir, sedangkan pengawasan dilakukan camat dan kepala kampung.

Larangan-larangan adalah seperti berikut:

1. Dilarang mengkap ikan hari jum’at dan hari-hari besar Islam.

2. Dilarang menelusuri muara pada hari Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus

3. Dilarang berkelahi di laut dan di sekitar muara

4. Dilarang membanting-bantingkan ikan disengaja maupun tidak. 5. Dilarang mengambil ikan orang lain.

6. Dilarang berjudi dan berjinah di sekitar muara.

7. Ketika penyelenggaraan Tradisi Ritual Mangure Lawik dan sehari sesudahnya

tidak boleh menangkap ikan.

4.1.12 Kesenian Sikambang

Sikambang merupakan kesenian masyarakat etnis Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga, namun sebutan diartikan sebagai ensambel musik. Sikambang juga bisa menyebutkan tari yakni tari sikambang. Namun tidak itu saja, sikambang juga bisa menyebutkan untuk alat musik yaitu gandang sikambang.

Kesenian sikambang ini, merupakan kesenian yang memadukan musik, tarian, senandung, pantun yang paling populer di kota sibolga. Kesenian ini sering dipertunjukkan pada acara adat-istiadat dan hiburan seperti upacara pernikahan, khitanan, penobatan, penyambutan, peresmian pesta, dan pertunjukan pergelaran. Dalam pertunjukan sikambang, gandang sikambang yang dipakai berjumlah antara 2-10 gendang, setiap gendang hanya dimainkan oleh satu orang.

Tari sikambang memiliki maksud-maksud tertentu misal tari sapu tangan dengan nyanyian kapri, mengambarkan kisah permulaan muda-mudi dalam mengikat persahabatan perlambangkan keterbukaan dan etika sosial.

Kok berlayar ka pulau penang

Ambil alunan si timur laut

Kok berlayar hati indak senang

Ai mato sepanjang laut

(Dengan sangat penat dan sedih suami meninggalkan istrinya tercinta, sampai-sampai air mata jatuh berlinang sepanjang lautan).

Maka si istri membalas pantun suaminya:

Pulau penang airnya dare

Banyaklah batang lintang bulintang

Pulau Penang dunianyo kareh

Banyaklah dagang pulau berutang

(Apabila nanti suami telah tiba dinegeri orang, hati-hati lah membaawa diri, karena dunia perdagangan pulau Pinang sangat sibuk dan banyak sekali godaan yang dapat melupakan kampung halaman).

Nyanyian Sikambang (Sikambang Botan) berbentuk pantun:

Talang rumah ketimban rahim Gabak pecah hujan tak jadi Serak sumerai bunga angin 2. Sudah berderai bunyi ketilang

Bunyi berderai lalu ke tapian Malam bagai rasa kehilangan Siang bagai rasa kematian

4.1.13 Makan Bersama

Tradisi Ritual Mangure Lawik dengan penyampaian kata-kata nasehat yang bersifat pengarahan dan bimbingan dari Camat Sibolga Selatan. Kata-kata nasihat tersebut dinyatakan bahwa pemerintah mendukung dan mengukuhkan Tradisi Ritual Mangure Lawik sebagai kegiatan masyarakat. Setelah kata-kata nasehat para panitia 

4.2 Fungsi dan Makna Simbol dalam Tradisi Mangure Lawik

Di balik pelaksanaan Tradisi Mangure Lawik tersebut apabila dikaji lebih dalam mengandung banyak fungsi dan makna. Fungsi dan makna tersebut dapat diungkap dari berbagai perlengkapan upacara, sampai dengan doa-doa, sesaji-sesaji yang dipergunakan dalam upacara tersebut. Bahkan perilaku yang ditjukan oleh pelaku upacara, isyarat dan larangan-larangan untuk menunjukan hubungannya itupun mempunyai fungsi serta makna.

4.2.1 Makanan dan Jenis Tumbuhan

Setiap persembahan disediakan jamuan jenis tumbuhan, masing-masing makanan yaitu kue, buah-buahan dan makanan. Ramuan tersebut mengandung semiotika sebagai berikut:

4.2.1.1 Setalam Kue 

sehingga tidak bermusuhan, sedangkan bilangan 7 disesuaikan dengan masing-masing sifat keangamaan yang dianut oleh anggota masyarakat.

Pada dasarnya macam kue ditentukan jumlah penduduk daerah masing-masing sebagai penyelenggara Upacara Tradisi Mangure Lawik. Oleh karena itu, apabila suatu daerah mempunyai penduduk lima suku, maka kuenya lima macam.

4.2.1.2 Beras Putih

Beras putih melambangkan rasa ikhlas dan kesungguhan, juga dianggap sebagai syarat kehidupan bagi manusia. Beras putih dalam persembahan melambangkan pengukuhan terhadap adat yang berlaku dan untuk menggambarkan rasa ikhlas dan setia kepada penunggu laut atau makhluk halus di laut.

Disamping itu, fungsi dari beras putih tersebut adalah sebagai tali penghubung di antara manusia dengan makhluk-makhluk di laut, sekaligus penghargaan kepada makhluk halus penguasa di laut yang menyenangi bersih, suci dan ikhlas seluruh anggota masyarakat.

4.2.1.3 Beras Kuning 

Sebagai persembahan agar para makhluk penunggu dilaut datang dalam persembahan, dan mendengarkan maksud-maksud anggota masyarakat dalam penyelenggaraan Uapcara Tradisi Mangure Lawik.

Beras putih dan kuning dibuat satu piring berfungsi kepada seluruh masyarakat di dalam upacara persembahan sebagai rasa sosial sesama masyarakat dan semua makhluk di laut agar anggota masyarakat memperoleh kesejahteraan, dan keamanan di laut, tempat mencari nafkah sehari-hari.

4.2.1.4 Bertih

Bertih adalah padi yang disangrai digongseng atau digoreng tidak pakai minyak. Padi tersebut disangrai sampai terpisah antara lapung padi dengan beras yang sudah kembang dan berwarna putih. Bertih menyatakan keilhlasan dan kesunggugan hati seluruh anggota masyarakat. Dan fungsinya sebagai penghargaan kepada makhluk halus penunggu laut.

4.2.1.5 Sembilan Pohon Bakau 

memberikan kesejahteraan, tempat bernaung, bermain dan menjadi sumber mencari nafkah, dan sebagai pelindung ikan-ikan dan makhluk lain yang hidup di laut.

4.2.1.6 Limau Purut

Limau purut sejenis limau yang harum selalu dipergunakan untuk mencuci rambut dan airnya selalu untuk pewangi dalam tepung tawar. Makna sebagai simbol raja dari semua limau sebagai adat yang mempunyai marwah, pembersih bagi siapa saja apalagi bagi para pelaksanaan adat. Juga makhluk halus yang dilaut sangat menyukainya.

4.2.1.7 Bungo Pagaran

Biasanya tumbuh di lereng perbukitan, dan dapat ditanam di pagar-pagar rumah, bentuknya berakar dan menjalar mengitari setiap sudut pagar. Bentuk daunnya seperti jarum dan bunganya mengembang bentuknya kecil dengan warna berubah-ubah. Saat mulai mengembang warnanya merah, setelah beberapa hari warna merahnya berubah menjadi warna putih. Buahnya seperti buah kacang panjang tetapi tidak sebesar kacang panjang. Buahnya biasanya digunakan untuk pengharum masakan seperti rendang daging dan gulai ikan.

4.2.1.8 Bungo Rampai

Bungo Rampai adalah sebuah bunga yang juga biasanya ditanam di pekarangan rumah. Bentuk bunganya menjulai ke bawah berbentuk oval berwarna kuning dan beraroma harum, biasanya bunga tersebut dicampur bedak pendingin wajah dijemur bersama dengan bedak tersebut sehingga apabila kering menjadi harum. Buahnya dapat digunakan sebagai pengobatan Bara (Kangker). Bunga ini melambangkan para tokoh masyarakat yang selalu menjadi panutan dan tempat mengadukan masalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Selain itu bunga rampai juga melambangkan wanginya persahabatan, manisnya persaudaraan dan harumnya keakraban.

4.2.1.9 Sitawa, Sitawar, Sidingin 

4.2.2 Jenis Hewan

4.2.2.1 Kerbau Jantan

Seekor kerbau jantan disembelih bagian kepala dan darahnya diambil sebagai Upacara Tradisi Mangure Lawik, sedangkan dagingnya untuk dimakan bersama sebagai hidangan.

Bagian kepala kerbau dan darah untuk menyatakan ketegaran dan menyatunya masyarakat dengan alam dan kepatuhan terhadap keagungan

4.2.2.2 Ayam Putih 

4.2.3 Logam, Cawan Putih dan Pakaian

Logam, cawan putih dan pakaian putih dibungkus menjadi satu untuk

perlengkapan persembahan. Logam, cawan putih dan pakaian putih untuk menyatakan jiwa yang ikhlas dan bersih sesame anggota masyarakat ataupun dengan makhluk halus. Di samping itu sebagai pemahaman mengenai tujuan persembahan dilaksanakan, fungsinya semua benda persembahan.

4.2.3.1 Cawan Putih

Cawan putih menyatakan perpaduan serta kebersamaan jiwa yang ikhlas dan bersih antara anggota masyarakat ataupun makhluk-makhluk di laut mengenai pemahaman terhadap tujuan persembahan dilaksanakan dan kegunaan semua benda yang dipersembahkan di dalam upacra tersebut.

4.2.3.2 Pawang Berbaju Putih, Celana Putih, Ikat Kepala, Bersepatu 

4.2.3.3 Darah dan Tulang

Darah dan tulang, melambangkan bahwa makhluk Tuhan terdiri dari berbagai jenis dan sifatnya masing-masing.

4.2.3.4 Air

Fungsi air sangat penting bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dan masyarakat mencari nafkah di laut yang banyak airnya. Air sebagai simbol kehidupan bagi masyarakat.

4.2.4 Benda-benda Pelengkap

4.2.4.1 Kemenyan 

disandari oleh Baginda Rasullullah ketika tetap dalam suatu peperangan. Asap kemenyan sebagaiikatan para makhluk halus dan para pemimpinnya dan merupakan lambang kesenangan mereka.

4.2.4.2 Tepung Tawar

Tepung tawar artinya menghapuskan atau membunagkan segala penyakit. Tepung tawar dilakukan sebagai perlambang mencurahkan rasa kegembiraan dan sebagai rasa syukur atas acara atau niat yang akan atau telah dapat dilaksanakan,baik terhadap benda bergerak (manusia) maupun benda mati ( yang tidak bergerak).

Dalam acara tepung tawar kegiatan berpantun bagian dalam upacara tersebut. Oleh karena itu pantun tepung tawar dilakukan dalam acara apa saja asalkan ada tepung tawarnya.

Inilah contoh pantun tepung tawar:

Mengenai bunga ada cerita

Ada yang merah membanggakan diri

Ada yang wangi dipagar duri

Ada yang kuning menantang mentari

Ada yang putih menyembunyikan diri

Yang merah sibunga raya

Yang wangi mawar namanya

Yang kuning si matahari

yang putih kembang melati

Anda boleh pilih yang mana

Senang warna atau aroma

Memetik bunga di dalam duri

Hati-hati terkena jari

Bila anda senang semua

Jangan dipetik nikmati aja

Untuk sembahkan di majelis ramai

Tak lupa pula kapur sepiring

Dipiliskan sedikit ke kening

Tertentu niat jangan berpaling

Mengingatkan sujud supaya sering

Juga oleskan ke telapak tangan

Ini bermaksud punya tujuan

Waktu meminta hendaklah sopan

Waktu memberi takabur jauhkan

Kapur itu punya ibarat

Warna putih mudah dilihat

Bila dioleskan mudah melekat

Kesannya lama mudah diingat

Warna putih harus dijaga

Jangan sampai terkena nista

Hitam sedikit menjadi noda

Mangkuk putih berperan pula

Untuk perintis si air jeruk

Bermakna tinggi penawar dahaga

Hati yang panas supaya sejuk

Seikat daun untuk dipegang

Tujuh jenis sebesar kapal

Sugi-sugi, panggil-panggil dan silinjung

Sepuluh, sikilap, sidingin sikapal

Tujuh daun selengkap dapat

Ada penawar untuk pembersih

Ada penghapus dendam kesumat

Dan pelegakan hati yang sedih

Ada lagi pelengkap lain

Cerana indah berbungkus kain

Dicicipi bersama para hadirin

4.2.4.3 Kain Lima Warna

Dalam upacara Mangure Lawik, ada salah satu tanda peryaratan seperti kain lima warna untuk bendera yaitu kuning, putih, hitam, biru dan hijau. Makna warna

kuning adalah tanda kebesaran, kekuasaan, denfan fungsi senagai penghormatan dan pengukuhan kepada semua makhluk yang dianggap sebagai panglima penguasa laut.

Warna putih, bermakna kesucian dengan fungsi bahwa hati harus bersih, ikhlas dan tulus agar terhindar dari perbuatan yang dimurkai Tuhan Yang Maha Esa.

Warna hitam, bermakna bahwa masyarakat harus bersikap hati-hati, karena laut sebagai wadah pencaharian, bisa murka bila ada tindakan dan perlakuan yang menyebabkan para penguasa/penjaga laut marah, mengakibatkan rezeki atau pendapatan berkurang atau berduka.

Warna biru, bermakna sebagai warna laut atau samudra, tempat kehidupan  makluk penghuni laut seperti ikan dan makhluk yang hidup lainnya di dalam laut.

4.2.5 Isyarat

Isyarat maksudnya tanda khusus bahwa upacara persembahan akan segera dimulai. Para pawang dan seluruh anggota masyarakat tenang khusuk demi mengadakan persembahan.

4.2.5.1 Asal Mula Kegiatan dalam Persembahan

Pawang menjelaskan bahwa persemabahan tersebut merupakan kepentingan segala makhluk ciptaan Allah SWT. Sesuatu benda dan makhluk mempunyai asal mula. Apabila hal tersebut sudah dipahami dapat mewujudkan keiklasan, takabur dalam jiwa masing-masing agar tidak menimbulkan kesombongan. Di samping itu juga agar menyadari bahwa kekuasaan Allah Yang Maha Tinggi.

4.2.5.2 Pengibasan Kain Putih 

4.2.5.3 Balai-balai

Balai-balai, sebuah bangunan yang bersifat sementara dengan empat buah tiang kayu dengan atap daun kelapa tanpa berdinding. Letaknya memanjang dan sejajar dengan sisi pantai. Dibangun dekat dengan muara di mana akan dilakukan penyelenggaraan upacara Mangure Lawik.

4.2.5.4 Pemuka Adat

Pemuka adat pada umumnya untuk membantu dan membimbing pawang untuk melihat sudah sesuai benda-benda persembahan tersebut, tidak ada yang kurang. Pemuka adat juga hadir untuk menandakan kebersamaan.

4.2.5.5 Penjaga Keamanan

Penjaga keamanan untuk mengawasi pelaksanaan Upacara Tradisi Mangure Lawik terlaksana dengan aman sampai selesai.

4.2.5.6 Tempat Persembahan 

4.2.6 Pelaksanaan Upacara Tradisi Mangure Lawik

Pelaksanaan Upacara Tradisi Mangure Lawik di kawasan Sibustak-bustak Aek Habil setiap tahunnya, merupakan masa yang dianggap anggota masyarakat banyak cobaan, rezeki kurang, dan banyak musibah.

4.2.6.1 Kegiatan Pawang

Pawang mengelilingi balai-balai tiga kali, bilangan tiga tersebut dianggap masyarakat sesuai dengan Islam dan sebagai tangkal untuk gangguan makhluk halus di laut.

4.2.6.2 Tabu dalam Upacara

Pawang menyatakan tabu dan larangan-larangan dalam perbuatan menyangkut moral, juga norma-norma. Apabila tabu dan larangan diabaikan akan mendatangkan malapetaka kepada masyarakat atau pribadi.

4.2.6.3 Memijak Haluan Kapal dan Membuang Kotoran 

4.2.6.4 Menelusuri Muara

Para nelayan dilarang menangkap ikan pada hari-hari besar Islam. hal tersebut telah diberitahukan pengetua adat kepada anggota masyarakat karena dipercayai makhluk halus tersebut titisan Nabi Allah Khaidir Alaihissalam. Oleh karena itu harus dihormati, kegiatannya juga secara turun-temurun. Masyarakat juga mempercayai pada hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia para nelayan tidak boleh menangkap ikan. Seluruh masyarakat harus menghormati hari tersebut.

4.2.6.5 Berkelahi

Para penjaga laut dan makhluk halus di laut selalu menyenangi suasana ketenangan dan kedamaian. Di samping itu sifat dengki, dendam, judi, pemabuk, dan zinah sangat tidak disukai. Masyarakat bila tidak mengindahkan larangan-larangan tersebut akan mendatangkan bala. Menurut kepercayaan berkelahi ketika bersampan atau di sekitar muara juga tidak boleh.

4.2.6.6 Larangan-larangan dan Menghempaskan Ikan 

4.2.6.7 Larangan Bagi Wanita

Wanita yang sedang berhalangan tidak dibolehkan datang ke tempat persembahan. Tempat persembahan dipercayai bersih dan suci.

4.2.6.8 Membawa Makanan

Masyarakat setelah selesai persembahan makan bersama, tetapi kalau ada makanan yang tersisa dilarang dibawa pulang. Bila kita membawa pulang makanan tersebut dianggap perilaku yang buruk.

4.2.6.9 Mengambil Sesuatu Benda dan Memakan Ikan 

4.2.6.10 Hukam Pantang Di Laut

1. Ular laut harus disebut akar (ia tidak akan menggigit atau mengejar jika disebut akar),

2. Pantang mandi pakai gayung (akan datang bala, memanggil binatang buas laut),

3. Pantang tidak memberi ikan sekedarnya yang ada disampan, jika diminta orang, yaitu sebelum ikan dijual (akan sial rezeki, menghalang rezeki),

4. Pantang dalam air melaga batu, besi dan benda-benda berbunyi gemeraing lainnya (akan datang bala, berarti memanggil binatang buas laut/ sungai karena suaranya),

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi Refisi. Jakarta: PT.Rineka Cipta.2006.

Arman, Sofian Harahap. Peran Pawang Dalam Upacara Ritual Masyarakat Melayu. Skripsi, Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.2008.

Danandjaja, James. Foklor Indonesia, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti Pers.1984.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1997.

M.Atar Semi, Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa. 2012.

Nurhayati Lubis. Analisis Semiotika Dalam Upacara Ritual Jamuan Laut Di Jaring Halus. Tesis.2008

Pradopo, Rahmat Djoko. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995

Ratna,Nyoman Kutha. Teori, Metode, Dan Teknik Penerapan Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006

Tampil Rambe. Jamu Laut (Studi Terhadap Masyarakat Melayu Nelayan Di Desa Jaring Halus Pulau Beting Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat

Sumatera Utara). Tesis, Program Pascasarjana Antropologi Sosial Pasca Sarjana

Universitas Negeri Medan. 2011.

Tengku Akhirul. Upacara Masyarakat Melayu Pesisir (Kajian Tentang Upacara Tolak Bala Di Pantai Labu Deli Serdang). Tesis, ProgramPascasarjana Antropologi

Sosial Universitas Negeri Medan, 2011.

Uniawati. Mantra Melaut Suku Bajo: Interprestasi Semiotik Reffiaterre. Tesis, Program Pascasarjana Universitas Diponogoro. 2007. Penelitian lanjutan Dari Fungsi Mantra Melaut Suku Bajo (2006).

Wan Sayifuddin. Peran Pawang Bagi Masyarakat Melayu Sumatera Timur. 2002

. Tarian Lukah Atau Jambang Lukah Menari. Medan: Universitas 

LAMPIRAN

Lampiran I

Daftar Pertanyaan

1. Pokok- pokok ritual Mangure Lawik : • Nama rirual ?

• Tempat ritual ? • Waktu ritual ? • Peserta ritual ? • Tujuan ritual ?

2. Apakah tradisi ini masih atau rutin dilaksanakan ?

• Jika rutin, setiap tanggal berapa? Atau waktu kapan ? • Jika tidak, mengapa ? apa faktor penyebabnya ? 3. Sejarah tradisi Mangure Lawik ?

4. Tokoh yang terlibat dalam tradisi Mangure Lawik ?

5. Peralatan yang digunakan dalam tradisi Mangure Lawik ? serta makna dalam simbol.

6. Harapan dalam pelaksanaan tradisi Mangure Lawik ? 7. Tata cara upacara Mangure Lawik ?

• Persiapan sebelum upacara ?

• Pelaksanaan upacara Mangure Lawik ? hari pertama – hari ke tiga. 8. Fungsi tradisi mangure lawik ?

9. Pantangan / larangan sebelum atau sesudah upacara dilaksanakan ? 10. Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi mangure lawik?

Lampiran II

Foto-Foto Penelitian

Laut di kawasan Sibustak-bustak-Aek Habil.

Data penduduk Kecamatan Sibolga Selatan.

Referensi

Dokumen terkait

Kajian Fungsi dan Makna Tradisi Penghormatan Leluhur dalam Sistem Kepercayaan Masyarakat Tionghoa di Medan. Medan: Universitas

Fungsi dan Struktur Tari Anak yang Diiringi Musik Sikambang dalam Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah di Kecamatan Sibolga Kota, Skripsi

Namun bagi sebagian masyarakat Melayu di Kabupaten Batubara khususnya, yang berada di pesisir pantai dan di tempat yang jauh dari perkotaan, tradisi ini masih dipegang teguh

2011.Makna dan Fungsi Simbolis Dalam Tradisi Mangure Lawik Pada Masyarakat Melayu Di Kawasan Sibustak-bustak.USU Press,Medan.. Jakarta:

karena penulis merasa tertarik untuk mengetahui arti bentuk, fungsi, makna, nilai, simbol yang ada dalam tradisi nengget pada etnik Karo. 1.2

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fungsi dan makna simbol budaya, yang dikaji dengan ilmu semiotik yang terkandung dalam tradisi menerbeb etnik Pakpak dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fungsi dan makna simbol budaya, yang dikaji dengan ilmu semiotik yang terkandung dalam tradisi menerbeb etnik Pakpak dan

Dalam konteks Proposal skripsi tentang “FUNGSI DAN MAKNA SIMBOL PADA MEMORIAL MAKAM MUNSON DAN LYMAN : KAJIAN SEMIOTIKA”, Teori semiotik dapat diterapkan untuk menganalisis